PROFIL BERPIKIR ANALITIS SISWA
DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA
BERDASARKAN GAYA KOGNITIF VISUALIZER
DAN VERBALIZER DI SMPN 25 SURABAYA
SKRIPSI
Oleh: ROSIDATUL ILMA
NIM. D04212028
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROFIL BERPIKIR ANALITIS SISWA
DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA
BERDASARKAN GAYA KOGNITIF VISUALIZER
DAN VERBALIZER DI SMPN 25 SURABAYA
SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh: Rosidatul Ilma NIM. D04212028
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROFIL BERPIKIR ANALITIS SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA BERDASARKAN GAYA KOGNITIF VISUALIZER DAN
VERBALIZER DI SMPN 25 SURABAYA
Oleh: Rosidatul Ilma
ABSTRAK
Berpikir analitis merupakan proses memilah dan mengidentifikasi bagian-bagian yang penting dan relevan dari suatu masalah, menentukan strategi penyelesaian, dan menarik kesimpulan dari hasil penyelesaian tersebut. Berpikir analitis perlu dilatihkan dan ditingkatkan dalam proses pembelajaran agar siswa dapat menyelesaikan masalah secara tepat dan logis. Setiap siswa memiliki gaya kognitif yang dapat mempengaruhi berpikir analitisnya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil berpikir analitis siswa dalam menyelesaikan masalah matematika berdasarkan gaya kognitif visualizer dan verbalizer.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Subjek yang digunakan 3 siswa bergaya kognitif visualizer dan 3 siswa bergaya kognitif verbalizer berdasarkan angket VVQ. Teknik pengumpulan data menggunakan tes tertulis dan wawancara, kemudian dianalisis berdasarkan indikator berpikir analitis dalam menyelesaikan masalah berdasarkan tahapan Polya. Pada tahap memahami masalah, indikator yang diungkap adalah membedakan. Pada tahap merencanakan dan melakukan rencana penyelesaian, indikator yang diungkap adalah mengorganisasi. Pada tahap melihat kembali penyelesaian, indikator yang diungkap adalah memberikan atribut.
Hasil penelitian yang didapat adalah siswa bergaya kognitif visualizer: (1) pada tahap memahami masalah dari subindikator menyebutkan yang diketahui dan yang ditanyakan tergolong baik dan menjelaskan keterkaitan antara yang diketahui dan yang ditanyakan tergolong cukup; (2) pada tahap merencanakan dan melakukan rencana penyelesaian, terdapat tiga subindikator mengorganisasi dan ketiganya tergolong baik; dan (3) pada tahap melihat kembali penyelesaian dari kedua subindikator memberikan atribut tergolong baik. Sedangkan, siswa bergaya kognitif verbalizer: (1) pada tahap memahami masalah terdapat dua subindikator membedakan dan tergolong baik; (2) pada tahap merencanakan dan melakukan rencana penyelesaian terdapat tiga subindikator mengorganisasi dan ketiganya tergolong baik; dan (3) pada tahap melakukan rencana penyelesaian terdapat dua subindikator memberikan atribut yang keduanya tergolong baik. Pada hasil akhir, tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir analitis antara siswa bergaya kognitif visualizer dan verbalizer dalam menyelesaikan masalah karena keduanya sama-sama tergolong baik.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ………. iv
MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Batasan Penelitian ... 6
F. Definisi Operasional ... 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9
1. Berpikir ... 9
2. Berpikir Analitis ... 11
B. Penyelesaian Masalah Matematika ... 15
1. Masalah Matematika ... 15
2. Penyelesaian Masalah Matematika ... 17
C. Berpikir Analitis dalam Menyelesaikan Masalah Matematika ... 20
D. Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer ... 22
1. Gaya kognitif ... 22
2. Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer …. 23 E. Hubungan antara Berpikir Analitis dengan Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer ... 26
F. Prediksi Berpikir Analitis dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer ………. 29
G. Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV) ... 33
BAB III METODE PENELITIAN ... 37
A. Jenis Penelitian ... 37
B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 37
C. Subjek Penelitian ... 38
D. Teknik Pengumpulan Data ... 40
E. Instrumen Penelitian ... 40
F. Keabsahan Data ... 42
G. Teknik Analisis Data ... 43
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 51
A. Berpikir Analitis Subjek Visualizer dalam Menyelesaikan Masalah Matematika ... 52
1. Deskripsi Data Subjek Visualizer-1 (VS1) ... 52
2. Analisis Data Subjek Visualizer-1 (VS1) ... 59
3. Deskripsi Data Subjek Visualizer-2 (VS2) ... 66
4. Analisis Data Subjek Visualizer-2 (VS2) …. 72 5. Deskripsi Data Subjek Visualizer-3 (VS3) ... 78
6. Analisis Data Subjek Visualizer-3 (VS3) ... 84
B. Berpikir Analitis Subjek Verbalizer dalam
Menyelesaikan Masalah Matematika ... 99
1. Deskripsi Data Subjek Verbalizer-1 (VB1) .. 99
2. Analisis Data Subjek Verbalizer-1 (VB1) …. 106 3. Deskripsi Data Subjek Verbalizer-2 (VB2) .. 113
4. Analisis Data Subjek Verbalizer-2 (VB2) …. 119 5. Deskripsi Data Subjek Verbalizer-3 (VB3) .. 126
6. Analisis Data Subjek Verbalizer-3 (VB3) …. 132 7. Perbandingan Data Subjek Verbalizer …….. 138
C. Perbedaan Berpikir Analitis Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer ... 146
BAB V PEMBAHASAN ... 155
A. Pembahasan Hasil Penelitian ………... 155
1. Berpikir Analitis Siswa Bergaya Kognitif Visualizer dalam Menyelesaikan Masalah Matematika ………... 155
2. Berpikir Analitis Siswa Bergaya Kognitif Verbalizer dalam Menyelesaikan Masalah Matematika ………... 156
3. Perbedaan Berpikir Analitis Siswa Bergaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer dalam Menyelesaikan Masalah Matematika ……... 157
B. Diskusi Hasil Penelitian ……….. 158
BAB VI PENUTUP ... 161
A. Simpulan ……….. 161
B. Saran ……… 162
DAFTAR PUSTAKA ... 165
DAFTAR TABEL
2.1 Indikator Berpikir Analitis ………. 15
2.2 Indikator Berpikir Analitis dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Tahapan Polya …… 21
2.3 Perbandingan antara Simbol Visual dan Simbol Verbal ………. 24
2.4 Kesamaan antara Strategi Berpikir dan Taksonomi Bloom Revisi ……….. 28
2.5 Prediksi Indikator Berpikir Analitis dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer ………... 29
3.1 Jadwal Penelitian ……… 37
3.2 Skor VVQ Tiap Pernyataan ………... 38
3.3 Pengelompokkan Gaya Kognitif ……… 39
3.4 Daftar Subjek Penelitian Terpilih ………... 40
3.5 Daftar Validator Instrumen Penelitian ………... 41
3.6 Rubrik Penilaian ………. 45
3.7 Kategori Berpikir Analitis ……….. 49
4.1 Perbandingan Proses Berpikir Analitis Subjek VS1, VS2, dan VS3 ……….. 90
4.2 Perbandingan Kemampuan Berpikir Analitis Subjek VS1, VS2, dan VS3 ……….. 94
4.3 Kemampuan Berpikir Analitis Subjek Visualizer …….. 96
4.4 Perbandingan Proses Berpikir Analitis Subjek VB1, VB2, dan VB3 ………. 138
4.5 Perbandingan Kemampuan Berpikir Analitis Subjek VB1, VB2, dan VB3 ……… 141
4.7 Perbandingan Berpikir Analitis Subjek Visualizer dan
Verbalizer ………... 146
4.8 Perbandingan Kemampuan Berpikir Analitis Subjek
DAFTAR GAMBAR
2.1 Yeap’s Model Linking Thinking, Learning And
Cognitive Style ………... 27
4.1 Jawaban Tertulis Subjek VS1 ……….. 52
4.2 Jawaban Tertulis Subjek VS2 ……….. 66
4.3 Jawaban Tertulis Subjek VS3 ……….. 78
4.4 Jawaban Tertulis Subjek VB1 ………. 99
4.5 Jawaban Tertulis Subjek VB2 ………. 113
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A (Angket Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer)
1. Angket Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer
Sebelum Revisi ………... 172
2. Revisi Angket Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer ………. 177
3. Lembar Validasi Angket Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer ………... 179
4. Angket Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer Sesudah Revisi ………... 181
5. Hasil Angket Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer Kelas IX-D ………. 186
6. Hasil Angket Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer Kelas IX-F ……….. 188
7. Hasil Angket Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer Kelas IX-H ………. 190
Lampiran B (Instrumen Penelitian) 1. Tes Berpikir Analitis Sebelum Revisi ……… 193
2. Revisi Tes Berpikir Analitis ………... 201
3. Lembar Validasi Tes Berpikir Analitis ……….. 206
4. Tes Berpikir Analitis Sesudah Revisi ……… 212
5. Pedoman Wawancara Sebelum Revisi …... 220
6. Revisi Pedoman Wawancara ……….. 223
7. Lembar Validasi Pedoman Wawancara ………. 227
Lampiran C (Hasil Penelitian)
1. Jawaban Tertulis Subjek VS1 ………. 238
2. Jawaban Tertulis Subjek VS2 ………. 239
3. Jawaban Tertulis Subjek VS3 …………... 241
4. Jawaban Tertulis Subjek VB1 ………. 242
5. Jawaban Tertulis Subjek VB2 ………. 243
6. Jawaban Tertulis Subjek VB3 ………. 244
7. Hasil Wawancara Terhadap Subjek VS1 ……… 246
8. Hasil Wawancara Terhadap Subjek VS2 ……... 250
9. Hasil Wawancara Terhadap Subjek VS3 ……… 253
10. Hasil Wawancara Terhadap Subjek VB1 ………... 256
11. Hasil Wawancara Terhadap Subjek VB2 ………... 260
12. Hasil Wawancara Terhadap Subjek VB3 ………... 264
Lampiran D (Surat dan Lain-Lain) 1. Surat Izin Penelitian …………... 268
2. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ……….. 269
3. Surat Tugas Dosen Pembimbing ………... 270
4. Kartu Konsultasi ………. 271
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia.1 Peran penting matematika juga diakui oleh Cockcroft yang mengatakan, “it would be very difficult - perhaps impossible - to live a normal life in very many part of the world in the twentieth century without making use of mathematic of some kind”.2 Peran penting yang dimaksud oleh Cockcroft memiliki arti bahwa akan sangat sulit atau tidaklah mungkin bagi seseorang untuk hidup di bagian bumi ini pada abad ke-20 tanpa sedikitpun memanfaatkan matematika. Peran penting matematika selain yang dinyatakan Cockcroft yaitu menjadi ilmu dasar bagi perkembangan ilmu-ilmu yang lain dan juga sebagai alat berpikir. Penyelesaian soal matematika menuntut seseorang untuk menggunakan pikirannya pada waktu menentukan berbagai alternatif yang mungkin dan kemudian memilih dari berbagai alternatif yang ada untuk digunakan dalam menyelesaikan soal matematika.3
Salah satu kemampuan berpikir dalam matematika yang harus dimiliki oleh siswa adalah kemampuan berpikir analitis. Kemampuan berpikir analitis adalah kemampuan berpikir yang digunakan untuk menguraikan, merinci, dan menganalisis informasi-informasi yang digunakan untuk memahami suatu pengetahuan dengan menggunakan akal dan pikiran yang logis.4 Pengertian tersebut menunjukkan bahwa pentingnya kemampuan berpikir analitis bagi siswa dan perlu dibekalkan sejak siswa berada di sekolah dasar. Hal ini sejalan dengan standar isi mata
1 DEPDIKNAS, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Mata Pelajaran Matematika, (Jakarta: Depdiknas, 2006).
2 WH Cockcroft, Mathematics Counts(London: Her Majesty’s Stationery Office, 1982), 1. 3 TIM PUSPENDIK, Kemampuan Matematika Siswa SMP Indonesia Menurut Benchmark Internasional TIMSS 2011, (Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012), 6.
2
pelajaran matematika dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan bekerjasama.5
Fakta yang dijumpai di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan berpikir analitis siswa masih rendah. Sebuah laporan dari Mckinsey Indonesian’s Today dan sejumlah data rangkuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan hanya 5% dari pelajar Indonesia yang memiliki kompetensi (kemampuan) berpikir analitis sedangkan sebagian besar pelajar Indonesia lainnya baru pada tingkat mengetahui.6
Hasil survey yang dilakukan oleh TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) pada tahun 2011 menunjukkan bahwa kemampuan matematika siswa-siswi Indonesia masih tergolong rendah yakni berada pada peringkat 38 dari 42 negara yang terlibat dalam penelitian tersebut dengan skor 386 (masih di bawah skor rata-rata internasional yakni 500).7 Soal-soal yang dimunculkan dalam TIMSS tidak hanya pada level kognitif rendah seperti mengingat, memahami, dan menerapkan tetapi pada level tinggi yaitu penalaran yang memuat kemampuan menganalisis, menggeneralisasi, sintesa, menilai, penyelesaian masalah nonrutin.8 Hasil survey TIMSS 2011 juga menunjukkan bahwa kemampuan menganalisis siswa-siswi Indonesia masih tergolong rendah.
Hasil survey TIMSS 2011 memberikan gambaran bahwa siswa Indonesia belum mampu menganalisis masalah yang kompleks. Kemampuan matematika siswa Indonesia berada pada tingkatan kognitif mengetahui (knowing) yang merupakan tingkatan terendah menurut kriteria tingkatan kognitif dari Mullis
5 DEPDIKNAS, Op. Cit.
6 Reni Rupini, “Betulkah, Kemampuan Analitis Pelajar Indonesia Lemah?”, diakses dari catatanpendidikanindonesia.blogspot.co.id/2013/01/betulkah-kemampuan-analitis-pelajar.html, pada tanggal 04 Februari 2016.
7 Ina V.S. Mullis et. al., TIMSS 2011 International Results in Mathematics (Chestnut Hill: Boston College, 2012), 42.
8
3
et. al.9 Menurut kriteria tingkatan kognitif dari Mullis et. al. siswa Indonesia juga belum dapat menerapkan pengetahuan dasar yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah (applying) serta belum mampu memahami dan menerapkan pengetahuan dalam masalah yang kompleks, membuat kesimpulan serta menyusun generalisasi (reasoning). Tingkatan kognitif tertinggi menurut Mullis et. al. ialah reasoning yang mencakup lima aspek.10 Salah satu aspek di dalamnya adalah aspek menganalisis (analyze).
Kemampuan berpikir analitis dalam memecahkan masalah matematika antara siswa yang satu berbeda dengan siswa lainnya. Penelitan yang dilakukan oleh Rodliyah mengungkapkan bahwa siswa kategori Creativity Quotient cukup tinggi dapat dikatakan memiliki kemampuan berpikir analitis yang baik, siswa kategori
Creativity Quotient sedang dapat dikatakan memiliki kemampuan berpikir analitis yang cukup baik dalam memecahkan masalah matematika, dan siswa kategori Creativity Quotient agak rendah dapat dikatakan memiliki kemampuan berpikir analitis yang kurang baik dalam memecahkan masalah matematika.11 Penelitian lain tentang berpikir analitis juga dilakukan oleh Marini, dimana hasil penelitian tersebut menunjukkan prosentase rata-rata dua siswa yang dikategorikan memiliki kemampuan berpikir analitis dengan gaya belajar tipe investigatif adalah 87,5% termasuk pada kategori sangat tinggi dan siswa tipe investigatif dominan tidak memenuhi satu indikator yaitu tidak mengetahui akibat dan dampak dalam menyelesaikan soal.12
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Marini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir analitis dipengaruhi oleh gaya belajarnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Diptoadi et. al. bahwa pada dasarnya diketahui siswa belajar sesuai dengan gaya belajarnya dan setiap gaya belajar berpengaruh pada proses
9 Ina V.S. Mullis et. al., Op. Cit., hal 87.
10 Ina V.S. Mullis et. al., TIMSS 2011 Assessment Frameworks (Chestnut Hill: Boston College, 2009), 46.
11 Nur Rodliyah, Skripsi Sarjana: “Deskripsi Kemampuan Berpikir Analitis dalam Memecahkan Masalah Matematika Siswa Kelas Akselerasi 1 SMP Negeri 1 Purwokerto Ditinjau dari Creativity Quootient (CQ)”. (Purwokerto: Universitas Muhammadiyah Purwokerto, 2015).
12Marini MR, “Analisis Kemampuan Berpikir Analitis Siswa dengan Gaya Belajar Tipe
4
berpikir dan hasil belajarnya.13 Keefe dalam pendapatnya mengemukakan bahwa gaya kognitif merupakan bagian dari gaya belajar yang menggambarkan kebiasaan berperilaku yang relatif tetap dalam diri seseorang dalam menerima, memikirkan, memecahkan masalah maupun dalam menyimpan informasi.14 Pendapat Keefe tersebut menunjukkan bahwa gaya kognitif berhubungan dengan gaya belajar.
Berkenaan dengan gaya kognitif yang berkaitan dengan kebiasaan siswa menggunakan alat indranya dibagi menjadi dua kelompok yaitu: (1) visualizer: seseorang dengan gaya kognitif visualizer cenderung memiliki kemampuan melihat sehingga lebih mudah menerima, memproses, menyimpan maupun menggunakan informasi dalam bentuk gambar; (2) verbalizer: seseorang dengan gaya kognitif verbalizer cenderung memiliki kemampuan mendengar sehingga lebih mudah menerima, memproses, menyimpan maupun menggunakan informasi dalam bentuk teks.15 Perbedaan antara gaya kognitif visualizer dan verbalizer diakibatkan perbedaan pandangan seseorang dalam menggambarkan sesuatu, ada yang kuat dalam simbol visual dan yang lainnya kuat dalam simbol verbal. Skemp kemudian membandingkan antara simbol visual dan simbol verbal tersebut, menurutnya simbol visual lebih integratif menunjukkan struktur sedangkan simbol verbal lebih analitis menunjukkan secara detail.16 Perbandingan tersebut menunjukkan adanya hubungan antara berpikir analitis dengan gaya kognitif visualizer dan verbalizer.
13 Diptoadi et. al. dalam Rino Richardo, et. al, “Tingkat Kreativitas Siswa dalam Memecahkan Masalah Matematika Divergen Ditinjau dari Gaya Belajar Siswa”, Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika, 2: 2 (April, 2014), 144.
14 Keefe dalam Hamzah B Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), 186.
15 McEcwan dalam Rohma Indahwati, “Profil Penalaran Mahasiswa Calon Guru SD dalam Membuktikan Rumus Luas Bangun Datar Ditinjau dari Perbedaan Gaya Kognitif Visualiser dan Verbaliser”, Jurnal Pendidikan Interaksi, 9: 2, (Juli, 2014). 120. 16 Skemp dalam Sabrina Apriliawati Sa’ad, Tesis Magister: “Proses Berpikir Matematis
5
Indahwati dalam penelitiannya menyatakan ada perbedaan mendasar antara hasil pekerjaan subjek visualizer dan verbalizer.17 Subjek visualizer lebih cenderung untuk membuktikan dengan membuat puzzle bangun untuk melengkapi gambar persegipanjang, sedangkan subjek verbalizer membagi suatu bangun yang diketahui menjadi beberapa bangun datar.
Hasil penelitian Indahwati serta penjelasan gaya kognitif visualizer dan verbalizer di atas menunjukkan bahwa kebiasaan seseorang dalam menggunakan alat indranya berpengaruh pada pemrosesan dan penerapan informasi yang diterima. Pendapat lain mengatakan bahwa gaya kognitif visualizer dan verbalizer didasarkan pada perbedaan dalam mengkomunikasikan pemikiran sehingga gaya kognitif ini yang paling berhubungan dengan kemampuan mengkomunikasikan pemikirannya.18
Berdasarkan uraian di atas, peneliti bermaksud untuk meneliti lebih lanjut tentang berpikir analitis siswa dalam menyelesaikan masalah matematika berdasarkan gaya kognitif visualizer dan verbalizer sehingga penelitian ini berjudul, “Profil Berpikir Analitis Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer di SMPN 25 Surabaya”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka disusun rumusan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana berpikir analitis siswa dengan gaya kognitif visualizer dalam menyelesaikan masalah matematika di SMPN 25 Surabaya?
2. Bagaimana berpikir analitis siswa dengan gaya kognitif verbalizer dalam menyelesaikan masalah matematika di SMPN 25 Surabaya?
3. Bagaimana perbedaan berpikir analitis siswa dalam menyelesaikan masalah matematika dengan gaya kognitif visualizer dan verbalizer di SMPN 25 Surabaya?
17 Rohma Indahwati, Op. Cit., hal 126.
6
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan berpikir analitis siswa dengan gaya kognitif visualizer dalam menyelesaikan masalah matematika di SMPN 25 Surabaya.
2. Untuk mendeskripsikan berpikir analitis siswa dengan gaya kognitif verbalizer dalam menyelesaikan masalah matematika di SMPN 25 Surabaya.
3. Untuk mendeskripsikan perbedaan berpikir analitis siswa dalam menyelesaikan masalah matematika dengan gaya kognitif visualizer dan verbalizer di SMPN 25 Surabaya.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Dapat menambah khasanah keilmuan, khususnya dalam
bidang pendidikan matematika mengenai profil berpikir analitis siswa dalam menyelesaikan masalah matematika berdasarkan gaya kognitif visualizer dan verbalizer.
2. Dapat memberikan gambaran kepada guru tentang berpikir analitis siswa dalam menyelesaikan masalah matematika berdasarkan gaya kognitif visualizer dan verbalizer sehingga dapat memberikan pembinaan lebih lanjut untuk meningkatkan kemampuan yang lebih baik lagi.
3. Dapat memberikan gambaran kepada guru tentang perbedaan berpikir analitis siswa dengan gaya kognitif visualizer maupun verbalizer sehingga dapat digunakan guru dalam mendesain pembelajaran yang melatihkan berpikir analitis berdasarkan gaya kognitif visualizer dan verbalizer sebagai upaya perbaikan pengajaran di sekolah.
E. Batasan Penelitian
Agar penelitian ini tidak menyimpang dari tujuan penelitian maka perlu batasan masalah dalam penelitian ini. Batasan penelitian ini adalah:
7
2. Siswa SMP yang dimaksud dalam penelitian ini adalah siswa kelas IX-D, IX-F, dan IX-H.
F. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahan pengertian dalam penelitian ini, maka diberikan definisi yang terkait dalam penyusunan penelitian ini:
1. Profil adalah gambaran, sketsa atau penjelasan yang utuh tentang sesuatu.
2. Berpikir analitis adalah suatu proses kognitif yang meliputi membedakan (differentiating), mengorganisasi (organizing), dan memberikan atribut (attributing).
a. Membedakan (differentiating) adalah proses memilah bagian-bagian yang penting dan relevan dari masalah. b. Mengorganisasi (organizing) adalah proses
mengidentifikasi bagian-bagian yang penting dan relevan dari masalah sehingga didapatkan informasi yang utuh serta membangun sebuah cara atau strategi untuk menyelesaikan masalah.
c. Memberikan atribut (attributing) adalah proses menentukan tujuan atau kesimpulan dari hasil penyelesaian masalah.
3. Penyelesaian masalah matematika adalah proses penyelesaian masalah matematika nonrutin berdasarkan tahapan Polya yakni memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melakukan rencana penyelesaian, dan melihat kembali penyelesaian.
4. Profil berpikir analitis siswa dalam menyelesaikan masalah matematika adalah gambaran proses kognitif dan kemampuan siswa yang meliputi membedakan (differentiating), mengorganisasi (organizing), dan memberikan atribut (attributing) dalam menyelesaikan masalah matematika berdasarkan tahapan Polya.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Berpikir Analitis 1. Berpikir
Berpikir berasal dari kata dasar “pikir” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti akal budi, ingatan, dan angan-angan, sedangkan “berpikir” artinya menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu.1 Menurut kamus psikologi arti kata berpikir (thinking) adalah proses-proses yang menyajikan atau memanipulir pengalaman-pengalaman selengkapnya misalnya dalam melakukan recall, mengkhayal, dan mempertimbangkan sesuatu.2 Senada dengan hal itu, Santrock juga mengungkapkan bahwa berpikir adalah manipulasi dan mengubah informasi dalam memori.3
Liputo berpendapat bahwa berpikir merupakan aktivitas mental yang disadari dan diarahkan untuk maksud tertentu.4 Ahmadi juga berpendapat bahwa berpikir merupakan aktivitas psikis yang intersional dan terjadi apabila seseorang menjumpai problema (masalah) yang harus dipecahkan.5 Gilmer mengungkapkan bahwa berpikir merupakan suatu pemecahan masalah dan proses penggunaan gagasan atau lambang-lambang pengganti suatu aktivitas yang tampak secara fisik.6 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Glass dan Holyoak, berpikir dapat didefinisikan sebagai proses menghasilkan representasi mental yang baru melalui transformasi informasi yang melibatkan interaksi secara
1
TIM Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa IndonesiaEdisi 3 Cetakan 2(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 872.
2 Kartini Kartono – Dali Gulo, Kamus Psikologi (Bandung: CV Pionir Jaya, 1987), 510. 3 John W Santrock, “Psikologi Pendidikan Edisi 5 Buku 2”. Translated by Harya
Bhimasena, (Jakarta: Salemba Humanika, 2014), 9.
4 Liputo dalam Susiyati, “Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik dalam
Pemecahan Masalah”, (Paper Presented at Seminar Nasional Pendidikan Matematika PPS STKIP Siliwangi, Bandung, 2014), 172.
5 Abu Ahmadi, Psikologi Umum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), 81.
10
kompleks antara atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, penalaran, imajinasi, dan pemecahan masalah.7
Prawira menyatakan bahwa berpikir adalah suatu proses dialektis yakni selama kita berpikir maka pikiran kita mengadakan dialog atau tanya jawab dengan pikiran kita untuk dapat meletakkan hubungan-hubugan antara pengetahuan yang kita miliki dengan tepat.8 Hal tersebut menjelaskan bahwa ketika seseorang berpikir, ia juga melakukan sebuah proses mencari suatu solusi atau penyelesaian dari masalah yang sedang dipikirkan. Sebagian ahli juga berpendapat bahwa berpikir selalu berhubungan dengan suatu persoalan yang ingin dicari jalan keluarnya.9 Proses-proses berpikir secara umum meliputi pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, pembentukan keputusan, dan pembentukan kesimpulan.10
Marpaung menyatakan bahwa proses berpikir merupakan proses yang terdiri dari penerimaan informasi (dari luar atau dalam siswa), pengelolaan, penyimpanan, dan pemanggilan kembali informasi itu dari ingatan siswa.11 Mayer menjelaskan bahwa proses berpikir meliputi tiga komponen pokok yaitu: (1) berpikir adalah aktivitas kognitif yang terjadi di dalam mental atau pikiran seseorang, tidak tampak tetapi dapat disimpulkan berdasarkan perilaku yang tampak; (2) berpikir merupakan suatu proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan di dalam sistem kognitif; (3) aktivitas berpikir diarahkan untuk menghasilkan pemecahan masalah.12 Berdasarkan uraian di atas, definisi berpikir dalam penelitian ini adalah aktivitas kognitif yang terjadi di dalam mental atau pikiran seseorang untuk menghasilkan informasi yang digunakan dalam menyelesaikan suatu masalah. Macam-macam kemampuan
7 Glass – Holyoak dalam Suharnan, Psikologi Kognitif (Surabaya: Srikandi, 2005), 280. 8 Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Umum dengan Perspektif Baru (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012), 138. 9 Suharnan, Op.Cit, hal 282.
10 Purwa Atmaja Prawira, Op. Cit., hal 140.
11 Marpaung dalam Milda Retna, et. al., “Proses Berpikir Siswa dalam Menyelesaikan Soal
Cerita Ditinjau Berdasarkan Kemampuan Matematika”, Jurnal Pendidikan Matematika
STKIP PGRI Sidoarjo, 1: 2 (September, 2013), 73. 12
11
berpikir menurut standar isi mata pelajaran Matematika dalam Peraturan Menteri Pendidkan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 adalah kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Fokus dalam penelitian ini adalah berpikir analitis.
2. Berpikir Analitis
Berpikir analitis atau analytical thinking, menurut Amer adalah …analytical thinking is a powerful thinking tool-for understanding the parts of situation. It is defined as:
(1) the ability to scrutinize and break down facts and thoughts into their strengths and weaknesses; (2) developing the capacity to think in a thoughtful, discerning way, to solve problems, analyze data and recall and use information.13 Berpikir analitis adalah cara berpikir yang sangat diutamakan dalam memahami bagian dari situasi. Keadaan ini didefinisikan sebagai: (1) kemampuan untuk memeriksa dengan teliti dan membagi kenyataan menjadi kekuatan dan kelemahannya; (2) mengembangkan kapasitas untuk berpikir dalam pemikiran, membedakan cara dalam menyelesaikan masalah, menganalisa data, mengingat, dan menggunakan informasi. DePorter dan Hernacki menjelaskan dalam bukunya bahwa berpikir analitis adalah suatu proses memecahkan masalah atau gagasan menjadi bagian-bagian, menguji setiap bagian untuk melihat bagaimana bagian tersebut saling cocok satu sama lain, dan mengeskplorasi bagaimana bagian-bagian ini dapat dikombinasikan kembali dengan cara-cara baru.14
Chaowakeeratipong mengungkapkan bahwa berpikir analitis adalah kemampuan individu dalam mengklasifikasikan dan membedakan suatu permasalahan menjadi sub-sub masalah dan menentukan hubungan yang logis dari permasalahan yang terjadi.15 Senada dengan hal itu, menurut Siswono berpikir analitis adalah kemampuan
13 Ayman Amer, Analytical Thinking (Cairo: Cairo University, 2005), 1.
14 Bobby DePorter –Mike Hernacki, “Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan”. Translated by Alwiyah Abdurrahman, (Bandung: Kaifa, 2002), 298.
15 Chaowakeeratipong dalam Sudjit Montaku, et. al., “The Model of Analytical Thinking
12
berpikir siswa untuk menguraikan, merinci, dan menganalisis informasi-informasi yang digunakan untuk memahami suatu pengetahuan dengan menggunakan akal dan pikiran yang logis bukan berdasar perasaan atau tebakan.16 Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat diketahui bahwa berpikir analitis selalu didasari dengan pemikiran yang logis serta langkah-langkah yang logis dalam menyelesaikan masalah. Selain itu, berpikir analitis juga dilakukan dengan penuh kesadaran akan informasi dan operasi yang terlibat.17
Berpikir analitis diperlukan ketika siswa mengalami situasi ambigu (mengalami keraguan atau kekaburan) yang kemudian digunakan untuk mengidentifikasi atau menyelesaikan masalah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Robbins …analytical thinking is necessary when an ambiguous situation requires the learner to identify or create a problem to solve.18 Permasalahan dalam matematika berkaitan dengan suatu pertanyaan tetapi tidak semua pertanyaan merupakan pertanyaan analisis. Beberapa pertanyaan yang termasuk pada pada kategori analisis diantaranya: (1) menentukan hubungan satu ide dengan ide yang lain; (2) menentukan ide-ide pokok; (3) menentukan informasi yang relevan dan memberikan argumen yang sah dari setiap yang dikatakan maupun yang ditulis.19
Amer berpendapat bahwa berpikir analitis merupakan proses kognitif yang berhubungan dengan berpikir sintetis, berpikir sistemik, berpikir kritis, dan berpikir kreatif.20 Berpikir analitis adalah tingkat keempat dari proses berpikir dalam taksonomi Bloom. Hal ini sesuai dengan pernyataan …analytical thinking is the fourth level of thinking
16
Siswono dalam Fajar Budi Utomo, Tesis Magister: “Profil Proses Berpikir Siswa SMP Al Hikmah Surabaya dalam Pemecahan Masalah Geometri Ditinjau dari Perbedaan Gaya Belajar dan Gender”. (Surabaya: Universitas Negeri Surabaya, 2013), 13. 17 S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar (Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2000), 11.
18 Joanne K Robbins, “Problem Solving, Reasoning, and Analytical Thinking In
Classroom Environment”, The Behavior Analyst Today, 12: 1, (-, 2011), 41.
19Abdul Haris Rosyidi, “Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa dalam Menyelesaikan
Soal Analisis Berkaitan dengan Luas Daerah Bidang dan Volume Benda Putar”, (Paper Presented at SEMNASTIKA UNESA, Surabaya, 2011), 2.
20
13
process of Bloom’s taxonomy which is one of the Higher
Order Thinking Skills (HOTS).21 Sependapat dengan pernyataan tersebut, Kusnawa menyatakan dalam taksonomi Bloom, penggolongan tingkatan yang lebih tinggi setelah pemahaman dan penerapan adalah melibatkan berpikir analisis.22
Sanjaya mengungkapkan analisis adalah kemampuan menguraikan atau memecah suatu bahan pelajaran ke dalam bagian-bagiannya dan merupakan tujuan pembelajaran yang kompleks yang hanya mungkin dipahami oleh siswa yang telah dapat menguasai kemampuan memahami dan menerapkan.23 Berdasarkan pernyataan dan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum siswa memiliki kemampuan menganalisis, terlebih dulu siswa harus mempunyai ketiga level kemampuan sebelumnya yakni kemampuan mengingat, kemampuan memahami, dan kemampuan menerapkan.
Ruseffendi menjelaskan bahwa menganalisis adalah: (1) kemampuan memisahkan materi (informasi) ke dalam bagian-bagiannya yang perlu, mencari hubungan antara bagian-bagiannya dan mengamati sistem bagiannya; (2) mampu melihat (mengenal) komponen-komponennya, bagaimana komponen-komponen itu berhubungan, dan terorganisasikan, membedakan fakta dari khayalan.24 Ruseffendi menambahkan bahwa analisis itu termasuk juga kemampuan menyelesaikan soal-soal yang tidak rutin, menemukan hubungan, membuktikan dan mengomentari bukti, dan merumuskan serta menunjukkan benarnya suatu generalisasi.25
21 Anderson dalam Sornnate Areesophonphichet, “A Development of Analytical Thinking
Skills of Graduate Students by Using Concept Mapping”, (Paper Presented at The Asian
Conference on Education, Osaka, 2013), 6. 22 Wowo Sunaryo Kuswana, Op.Cit., hal 53.
23 Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 127.
24 E T Ruseffendi, Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA (Bandung: Tarsito, 1988), 222.
25
14
Anderson, et. al. mengungkapkan bahwa menganalisis melibatkan proses memecah-mecah materi menjadi bagian-bagian kecil dan menentukan bagaimana hubungan antar bagian, antara setiap bagian dan struktur keseluruhannya.26 Tujuan pendidikan yang diklasifikasikan dalam menganalisis mencakup belajar untuk menentukan potongan-potongan informasi yang relevan atau penting (membedakan), menentukan cara-cara untuk menata potongan-potongan informasi tersebut (mengorganisasikan) dan menentukan tujuan di balik informasi itu (memberikan atribut).27 Hal ini menunjukkan bahwa dalam menganalisis meliputi proses-proses kognitif membedakan, mengorganisasi, dan memberikan atribut, dimana dalam proses-proses tersebut harus berurutan yakni sebelum siswa melakukan proses memberikan atribut, terlebih dahulu siswa harus melalui proses membedakan dan mengorganisasikan.
Berikut adalah penjelasan dari masing-masing proses kognitif membedakan (differentiating), mengorganisasi (organizing), dan memberikan atribut (attributing):
a. Membedakan (differentiating), melibatkan proses memilah-milah bagian-bagian yang relevan dan penting dari sebuah struktur. Membedakan terjadi ketika siswa mendiskriminasikan informasi yang relevan dan tidak relevan, yang penting dan tidak penting, kemudian memperhatikan informasi yang relevan atau penting.28 b. Mengorganisasi (organizing), melibatkan proses
mengindentifikasi elemen-elemen komunikasi atau situasi dan proses mengenali bagaimana elemen-elemen ini membentuk sebuah struktur yang koheren. Dalam mengorganisasi, siswa membangun hubungan-hubungan yang sistematis dan koheren antarpotongan informasi.29 c. Memberikan atribut (attributing), melibatkan proses
dekonstruksi yang di dalamnya siswa menentukan tujuan dari elemen atau bagian yang membentuk sebuah
26 Lorin W Anderson, et. al.,“Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran dan
Asesmen”. Translated by Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), 120.
27 Ibid. 28 Ibid., hal 121. 29
15
struktur. Memberikan atribut terjadi ketika siswa dapat menentukan sudut pandang, pendapat, nilai atau tujuan dibalik komunikasi.30
[image:30.420.71.364.102.400.2]Berdasarkan penjelasan di atas, berpikir analitis dalam penelitian ini didefinisikan sebagai suatu proses kognitif yang meliputi membedakan (differentiating), mengorganisasi (organizing), dan memberikan atribut (attributing). Adapun indikator berpikir analitis disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Indikator Berpikir Analitis
Indikator Deskripsi
Membedakan (differentiating)
- Memilah bagian yang penting dari masalah
- Memilah bagian yang relevan dari masalah
Mengorganisasi (organizing)
- Mengidentifikasi bagian-bagian yang penting dan relevan dari masalah sehingga didapatkan informasi yang utuh untuk menyelesaikan masalah
- Membangun cara atau strategi dalam menyelesaikan masalah Memberikan Atribut
(attributing)
- Menentukan tujuan atau kesimpulan dari hasil penyelesaian masalah
(Diadaptasi dari proses kognitif Taksonomi Bloom Revisi)
B. Penyelesaian Masalah Matematika
1. Masalah Matematika
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan (dipecahkan).31 Masalah bersifat subjektif artinya sesuatu yang merupakan masalah bagi seseorang namun belum tentu menjadi masalah bagi orang lain. Baroody mendefinisikan
30 Ibid., hal 124.
31
16
masalah sebagai suatu situasi membingungkan (puzzling), dimana seseorang tertarik untuk mengetahui penyelesaiannya, akan tetapi strategi penyelesaiannya tidak serta merta tersedia, lebih jelasnya suatu masalah memuat: (1) keinginan untuk mengetahui; (2) tidak adanya cara yang jelas untuk mendapatkan penyelesainnya; (3) memerlukan suatu usaha dalam menyelesaikannya.32
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Bell ...a situation is a problem for a person if he or she aware of its existence, recognize that it require action, wants of need to act and does so and is not immediately able to resolve the program.33 Ungkapan Bell tersebut menunjukkan bahwa suatu situasi merupakan masalah bagi seseorang jika ia menyadari adanya persoalan dalam situasi tersebut, mengetahui bahwa persoalan tersebut penyelesaian, ada kemauan bertindak, dan menyelesaikannya tetapi tidak segera dapat menyelesaikannya. Ruseffendi menambahkan bahwa suatu persoalan dikatakan sebagai suatu masalah jika: (1) persoalan ini tidak dikenalnya, maksudnya ialah siswa belum memiliki prosedur atau algoritma tertentu untuk
menyelesaikannya; (2) siswa harus mampu
menyelesaikannya, baik kesiapan mentalnya maupun pengetahuan yang dimiliki, terlepas dari apakah dia sampai atau tidak pada jawabannya; (3) sesuatu merupakan permasalahan baginya bila dia ada niat untuk menyelesaikannya.34
Masalah matematika umumnya berbentuk soal matematika tetapi tidak semua soal matematika merupakan masalah. Seperti yang diungkapkan oleh Ruseffendi bahwa masalah dalam matematika adalah suatu persoalan yang ia sendiri mampu menyelesaikannya tanpa menggunakan cara
32 Baroody dalam Husna, et. al., “Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share(TPS)”, Jurnal Peluang, 1: 2, (April, 2013), 83.
33 Bell dalam Abidatul Ma’rufah, Skripsi Sarjana: “Profil Kemampuan Siswa dalam
Menyelesaikan masalah Matematika Berdasarkan Adversity Quotient (AQ)”. (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2012), 9.
17
atau algoritma yang rutin.35 Holmes menyatakan bahwa terdapat dua kelompok masalah dalam pembelajaran matematika yaitu masalah rutin dan masalah nonrutin.36 Masalah rutin dapat dipecahkan dengan menggunakan metode yang sudah ada. Masalah rutin sering disebut sebagai masalah penerjemahan karena deskripsi situasi dapat diterjemahkan dari kata-kata menjadi simbol-simbol. Masalah nonrutin mengarah kepada masalah proses. Masalah nonrutin membutuhkan lebih dari sekedar penerjemahan masalah menjadi kalimat matematika dan penggunaan prosedur yang sudah diketahui. Masalah nonrutin mengharuskan pemecah masalah untuk membuat sendiri metode pemecahannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka definisi masalah matematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal matematika nonrutin yang dalam menyelesaikannya menggunakan algoritma nonrutin (tidak menggunakan cara penyelesaian pada umumnya). Berdasarkan definisi tersebut menunjukkan bahwa dalam menyelesaikan masalah matematika nonrutin memerlukan langkah-langkah penyelesaian masalah matematika.
2. Penyelesaian Masalah Matematika
Penyelesaian masalah berkaitan dengan pemecahan masalah, yang mana hal tersebut sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Widjajanti bahwa pemecahan masalah adalah proses yang digunakan untuk menyelesaikan masalah.37 Mayer mendefinisikan bahwa pemecahan masalah sebagai suatu proses banyak langkah dengan si pemecah masalah harus menemukan hubungan antara pengalaman (skema) masa lalunya dengan masalah yang sekarang harus
dihadapinya dan kemudian bertindak untuk
menyelesaikannya.38 Hudojo juga mendefinisikan bahwa
35 E T Ruseffendi, Op.Cit., hal 335.
36 Holmes dalam Sri Wardhani, et. al., Pembelajaran Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika di SD (Yogyakarta: PPPPTK Matematika, 2010), 16.
37 Djamilah Bondan Widjajanti., “Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Mahasiswa Calon Guru Matematika: Apa dan Bagaimana Mengembangkannya”, (Paper Presented at Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Yogyakarta, 05 Desember 2009), 402.
38
18
pemecahan masalah merupakan proses penerimaan masalah yang dianggap sebagai tantangan untuk menyelesaikannya.39 Evans menjelaskan bahwa pemecahan masalah ialah aktivitas yang berhubungan dengan pemilihan jalan keluar atau cara yang cocok bagi tindakan dan pengubahan kondisi sekarang (present state) menuju kepada situasi yang diharapkan (future state atau desired goal).40
Davis dan McKlip menyatakan ...the ability to solve the problems is one of the most important objective in the study of mathematics.41 Kemampuan memecahkan masalah merupakan salah satu tujuan yang paling penting dalam belajar matematika. Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Holmes bahwa pemecahan masalah adalah jantung dari matematika (hearts of mathematics).42 Pemecahan masalah dalam pengajaran matematika berarti serangkaian operasi mental yang dilakukan sesorang untuk mencapai suatu tujuan tertentu.43 Alawiyah dalam pendapatnya mengatakan bahwa memecahkan suatu masalah matematika itu bisa merupakan kegiatan menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang tidak rutin (nonrutin), mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-sehari atau keadaan lainnya, dan membuktikan atau menciptakan atau menguji konjektur.44
Salah satu langkah pemecahan masalah matematika yang terkenal adalah pemecahan masalah Polya. Menurut
39 Hudojo dalam Siti Jurotul Aini, Skripsi Sarjana: “Identifikasi Dimensi Pengetahuan Yang Digunakan Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Ditinjau dari
Tingkat Kemampuan”, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015), 25.
40
Evans dalam Suharnan, Op.Cit., hal 289.
41 David – McKlip dalam Desti Haryani, “Pembelajaran Matematika dengan Pemecahan Masalah untuk Menumbuhkembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa”, (Paper Presented at Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 14 Mei 2011), 122.
42 Holmes dalam Desti Haryani, Ibid.
43 Tombokan Runtukahu – Selpius Kandou, Pembelajaran Matematika Dasar bagi Anak Berkesulitan Belajar (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), 192.
44 Tuti Alawiyah, “Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan
19
Polya, pemecahan masalah matematika terdiri dari empat langkah yaitu:45
a. Memahami masalah (Understanding the Problem) Pemberian masalah kepada siswa tanpa adanya pemahaman mengakibatkan siswa tidak mungkin mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan benar. Langkah ini dimulai dengan pengenalan akan apa yang diketahui atau apa yang ingin didapatkan kemudian pemahaman apa yang diketahui serta data yang tersedia dilihat apakah data tersebut mencukupi untuk menentukan apa yang ingin didapatkan.
b. Merencanakan penyelesaian (Devising Plan)
Dalam menyusun rencana pemecahan masalah diperlukan kemampuan untuk melihat hubungan antara data serta kondisi apa yang tersedia dengan data apa yang diketahui atau dicari. Langkah selanjutnya yakni menyusun sebuah rencana pemecahan masalah dengan memperhatikan atau mengingat kembali pengalaman sebelumnya tentang masalah-masalah yang berhubungan. Tujuan langkah ini yakni siswa dapat membuat suatu model matematika untuk selanjutnya dapat diselesaikan dengan menggunakan aturan-aturan matematika yang ada.
c. Melakukan rencana penyelesaian (Carrying Out the Plan)
Rencana penyelesaian yang telah dibuat sebelumnya kemudian dilaksanakan secara cermat pada setiap langkah. Dalam melaksanakan rencana atau menyelesaikan model matematika yang telah dibuat pada langkah sebelumnya, siswa diharapkan memperhatikan prinsip-prinsip atau aturan-aturan pengerjaan yang ada untuk mendapatkan hasil penyelesaian model yang benar. Kesalahan jawaban model dapat mengakibatkan kesalahan dalam menjawab permasalahan soal, sehingga pengecekan pada setiap
20
langkah penyelesaian harus selalu dilakukan untuk memastikan kebenaran jawaban model tersebut.
d. Melihat kembali penyelesaian (Looking Back)
Hasil penyelesaian yang didapat harus diperiksa kembali untuk memastikan apakah penyelesaian tersebut sesuai dengan yang diiginkan dalam soal. Jika hasil yang didapat tidak sesuai dengan yang diminta maka perlu pemeriksaan kembali atas setiap langkah yang telah dilakukan untuk mendapatkan hasil sesuai dengan masalahnya dan melihat kemungkinan lain yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan soal tersebut. Pemeriksaan tersebut diharapkan agar berbagai kesalahan yang tidak perlu dapat terkoreksi kembali sehingga siswa dapat sampai pada jawaban yang benar sesuai dengan soal yang diberikan.
Berdasarkan penjelasan di atas, langkah penyelesaian masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah langkah penyelesaian masalah matematika dari Polya. Adapun definisi penyelesaian masalah matematika dalam penelitian ini adalah proses penyelesaian masalah matematika nonrutin berdasarkan tahapan Polya yakni memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melakukan rencana penyelesaian dan melihat kembali penyelesaian.
21
Tabel 2.2
Indikator Berpikir Analitis dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Tahapan Polya
Tahapan Polya
Indikator Berpikir Analitis dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Memahami
Masalah
Membedakan (differentiating)
Membedakan bagian yang penting dalam soal meliputi:
- Menyebutkan apa yang diketahui
- Menyebutkan apa yang ditanyakan
Membedakan bagian yang relevan dalam soal meliputi:
- Menjelaskan keterkaitan antara yang diketahui dengan yang ditanyakan Merencanakan
Penyelesaian
Mengorganisasi (organizing)
Menyatakan kembali masalah ke dalam bentuk atau model matematika
Memilih konsep matematika dalam menyelesaikan masalah matematika
Memilih strategi penyelesaian dari masalah matematika Melakukan
Rencana Penyelesaian
Mengorganisasi (organizing)
Menggunakan konsep
matematika dalam
menyelesaikan masalah
matematika
Menjelaskan keterkaitan konsep matematika dengan yang ditanyakan
Menggunakan strategi
penyelesaian Melihat
Kembali Penyelesaian
Memberikan Atribut (attributing)
Membuktikan bahwa hasil penyelesaian sesuai dengan yang ditanyakan
[image:36.420.71.362.112.520.2]22
Tahapan Polya
Indikator Berpikir Analitis dalam Menyelesaikan Masalah Matematika
penyelesaian
D. Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer 1. Gaya Kognitif
Setiap individu mempunyai cara yang berbeda dalam memperoleh, menyimpan, memproses, dan menggunakan informasi yang telah diterimanya. Setiap individu akan memilih cara yang disukai dalam memproses dan mengorganisasi informasi sebagai respon terhadap lingkungannya.46 Cara orang untuk menerima, memproses, menyimpan, dan menggunakan informasi tersebut untuk menanggapi tugas atau berbagai jenis situasi ligkungan disebut dengan gaya kognitif.47
Gaya kognitif mencerminkan karakteristik seseorang dan relatif bertahan sehingga dapat digunakan untuk menggambarkan perilaku seseorang. Hal ini sesuai dengan pendapat Winkel bahwa gaya kognitif sebagai cara khas yang digunakan seseorang dalam mengamati dan beraktivitas mental di bidang kognitif yang bersifat individu dan kerapkali tidak disadari dan cenderung bertahan terus.48 Ausburn merumuskan bahwa gaya kognitif mengacu pada proses kognitif seseorang yang berhubungan dengan pemahaman, pengetahuan, persepsi, pikiran, imajinasi, dan pemecahan masalah.49
Woolfolk menjelaskan bahwa gaya kognitif seseorang dapat memperlihatkan variasi individu dalam hal perhatian, penerimaan informasi, mengingat, dan berpikir yang muncul atau berbeda diantara kognisi dan kepribadian.50
46 Hamzah B Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), 186
47 Sabrina Apriliawati Sa’ad, Tesis Magister: “Proses Berpikir Matematis Siswa SMP
dalam Menyelesaikan Masalah Pola Bilangan Ditinjau dari Perbedaan Gaya Kognitif Visualizer-Verbalizer”. (Surabaya: Universitas Negeri Surabaya, 2014), 27.
48 Winkel dalam Qomaroh, Skripsi Sarjana: “Profil Pengajuan Masalah Matematika Siswa Ditinjau dari Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif Kelas VIII Di MTs Jabal Noer Taman
Sidoarjo”. (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2013), 18.
49 Ausburn dalam Hamzah B Uno, Op. Cit. 50
23
Senada dengan hal itu, Jackson & Lawty-Jones mengungkapkan bahwa gaya kognitif merupakan karakter individu dan pendekatan yang konsisten dalam mengorganisasikan dan memproses informasi.51 Slameto menjelaskan bahwa gaya kognitif dikonsepsikan sebagai sikap, pilihan atau strategi yang secara stabil menentukan cara seseorang yang khas dalam menerima, mengingat, berpikir, dan menyelesaikan masalah.52
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, maka gaya kognitif dalam penelitian ini didefinisikan sebagai cara khas seseorang dalam menerima, memproses, menyimpan, dan menggunakan informasi dalam menanggapi suatu situasi yang dihadapinya. Terdapat macam-macam gaya kognitif yang dikembangkan oleh para ahli diantaranya gaya kognitif
Field Independent dan Field Dependent yang didasarkan pada perbedaan aspek psikologis, gaya kognitif Reflektif dan Impulsif yang didasarkan pada waktu pemahaman konsep, dan gaya kognitif Visualizer dan Verbalizer yang didasarkan pada kebiasaan seseorang dalam menggunakan alat indranya. Fokus dalam penelitian ini adalah gaya kognitif visualizer dan verbalizer.
2. Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer
Menurut McEcwan, gaya kognitif yang berkaitan dengan kebiasaan siswa menggunakan alat indranya dibagi menjadi dua kelompok yaitu: (1) visualizer: seseorang dengan gaya kognitif visualizer cenderung memiliki kemampuan melihat sehingga lebih mudah menerima, memproses, meyimpan maupun menggunakan informasi dalam bentuk gambar; (2) verbalizer: seseorang dengan gaya kognitif verbalizer cenderung memiliki kemampuan mendengar sehingga lebih mudah menerima, memproses, menyimpan
51 Jackson & Lawty-Jones dalam Andrew L Mendelson, “For Whom is a Picture Worth a Thousand Words? Effects of the Visualizing Cognitive Style and Attention on
Processing of News Photos”, Jurnal of Visual Literacy, 24: 1, (2004), 86.
24
maupun menggunakan informasi dalam bentuk teks.53 Perbedaan antara gaya kognitif visualizer dan verbalizer diakibatkan perbedaan pandangan seseorang dalam menggambarkan sesuatu. Skemp mengemukakan bahwa ada seseorang yang kuat dalam penggunaan gambar tetapi ada juga yang kuat dalam menggambarkan dalam bentuk kata-kata, ada juga seseorang yang memiliki kedua kemampuan tersebut namun hanya satu kemampuan yang menonjol.54 Bentuk penggambaran tersebut dinamakan bentuk simbol verbal dan simbol visual.
[image:39.420.70.367.73.436.2]Skemp menjelaskan simbol visual adalah gambar yang menyerupai objek nyatanya, sedangkan simbol verbal adalah kata yang digunakan untuk menyatakan objeknya. Perbandingan antara simbol visual dan simbol verbal menurut Skemp yang disajikan pada Tabel 2.3 berikut:55
Tabel 2.3
Perbandingan antara Simbol Visual dan Simbol Verbal
Simbol Visual Simbol Verbal
Bersifat abstrak ruang seperti misalnya bentuk dan kedudukan
Bersifat abstrak yang bebas dari susunan ruang seperti misalnya bilangan
Lebih sulit untuk
dikomunikasikan
Lebih mudah untuk
dikomunikasikan Lebih mewakili hasil
pemikiran yang lebih individual
Lebih mewakili hasil kesepakatan dari pemikiran bersama
Integratif menunjukkan struktur
Analitis menunjukkan secara detail
Simultan atau bersamaan Sekuensial atau berurutan Bersifat intuitif Bersifat logika
53McEcwan dalam Rohma Indahwati, “Profil Penalaran Mahasiswa Calon Guru SD dalam
Membuktikan Rumus Luas Bangun Datar Ditinjau dari Perbedaan Gaya Kognitif Visualiser dan Verbaliser”, Jurnal Pendidikan Interaksi, 9: 2, (Juli, 2014). 120.
54Skemp dalam Sabrina Apriliawati Sa’ad, Op.Cit., hal 27.
55
25
Jonassen dan Grabowski berpendapat bahwa individu visualizer belajar lebih baik ketika melihat informasi visual seperti gambar, diagram, dan peta, sedangkan indiuvidu verbalizer belajar lebih baik ketika mereka dapat membaca informasi.56 Lebih lanjut, Jonassen dan Grawboski menjelaskan bahwa individu yang memiliki gaya kognitif visualizer lebih banyak berorientasi dengan gambar, lebih suka menunjukkan bagaimana mereka melakukannya, dan menyukai permainan yang lebih visual seperti teka-teki, sedangkan individu yang memiliki gaya kognitif verbalizer lebih berorientasi dengan kata-kata, lancar dalam berkomunikasi, lebih suka membaca tentang ide-ide, dan menyukai permainan kata.57
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya kognitif visualizer adalah kecenderungan seseorang dalam memperoleh informasi dengan cara melihat sehingga lebih mudah menerima, memproses, menyimpan maupun menggunakan informasi dalam bentuk gambar. Sedangkan, gaya kognitif verbalizer adalah kecenderungan seseorang dalam memperoleh informasi dengan cara mendengar sehingga lebih mudah menerima, memproses, menyimpan maupun menggunakan informasi dalam bentuk teks atau tulisan.
Kriteria gaya kognitif visualizer dan verbalizer dapat diidentifikasi melalui Visualizer and Verbalizer Questionnaire (VVQ) yang dikembangkan oleh Richardson.58
Questionnaire tersebut digunakan oleh Mendelson dalam artikelnya yang berjudul “for whom cognitive style and attention on processing of new photos”. Instrumen VVQ
terdiri dari 20 item yang berisi pernyataan yang mengarah pada gaya kognitif visualizer dan verbalizer. Setiap siswa diminta untuk memilih pernyataan-pernyataan yang sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.
56 Jonassen dan Grawboski dalam Andrew L Mendelson, Op. Cit., hal 87. 57 Ibid.
26
Kriteria pengelompokkan gaya kognitif diperoleh dari jumlah skor akhir dari pernyataan pada masing-masing kelompok gaya kognitif yang dipilih siswa kemudian dikalikan dua. Siswa dikatakan bergaya kognitif visualizer jika memperoleh skor visualizer lebih dari sama dengan 40 dan selisih antara skor visualizer dan verbalizer lebih dari sama dengan 20, sedangkan siswa dikatakan bergaya kognitif verbalizer jika memperoleh skor verbalizer lebih dari sama dengan 40 dan selisih antara skor visualizer dan verbalizer lebih dari sama dengan 20. Jika skor visualizer dan verbalizer yang diperoleh siswa masing-masing kurang dari 40 atau selisih skor visualizer dan verbalizer kurang dari 20 maka siswa tersebut bergaya kognitif negligible (bukan visualizer ataupun verbalizer) dan siswa dengan gaya kognitif tersebut diabaikan karena berbeda dengan tujuan penelitian yang akan dicapai.
E. Hubungan antara Berpikir Analitis dan Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer
Setiap siswa memiliki gaya kognitif yang berbeda. Hal ini memungkinkan pendekatan yang digunakan siswa dalam memecahkan masalah matematika juga berbeda. Alamolhodaei mengatakan bahwa jika siswa dengan gaya kognitif yang berbeda pendekatan pengolahan informasi maka dalam memecahkan masalah matematika juga menggunakan cara yang berbeda.59 Pada subbab sebelumnya, dijelaskan bahwa berpikir analitis adalah level keempat dari taksonomi Bloom Revisi yaitu menganalisis. Hubungan antara berpikir analitis dan gaya kognitif dapat dilihat pada Gambar 2.1: 60
59 Hassan Alamolhodaei, “Convergent/Divergent Cognitive Styles and Mathematical Problem Solving”, Journal of science and Mathematics Education In S.E. Asia, 24: 2, 103.
60 Yeap Lay Leng – Chong Tian Hoo, “Explaining The Thinking, Learning Styles and
27
Menurut Leng dan Hoo, kognitif dibagi menjadi tiga yakni gaya kognitif, strategi berpikir, dan kemampuan berpikir yang ketiganya saling berhubungan. Gaya kognitif berhubungan dengan strategi berpikir seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.1. Strategi berpikir yang dimaksud adalah strategi berpikir dalam pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan pengkonsepan yang melibatkan menganalisis masalah, menyusun bukti terpisah melalui sintesis, pemberian nilai pada hasil, menerapkan data, dan pengetahan, pemahaman, dan pengalaman mengingat.61 Strategi berpikir tersebut sama halnya dengan level atau tingkat domain proses kognitif taksonomi Bloom Revisi (mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalasis, mengevaluasi, dan mencipta), untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 2.4.
61
Ibid., hal 120.
Gambar 2.1
28
Tabel 2.4
Kesamaan antara Strategi Berpikir dan Taksonomi Bloom Revisi
Strategi Berpikir Taksonomi Bloom Revisi
Strategi berpikir dalam
pemecahan masalah,
pengambilan keputusan dan pengkonsepan yang melibatkan:
Pengalaman mengingat Mengingat
Pemahaman Memahami
Menerapkan data dan
pengetahuan
Mengaplikasikan
Menganalisis masalah Menganalisis
Pemberian nilai pada hasil Mengevaluasi Menyusun bukti terpisah
melalui sintesis
Mencipta (Sintesis)
Dimensi gaya kognitif (salah satu diantaranya adalah visual dan verbal) mempengaruhi pendekatan individu untuk berpikir strategis dalam pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan pengkonsepan.62 Beberapa diantaranya membutuhkan instruksi langkah demi langkah, impulsif, memunculkan banyak masalah, dan beberapa bekerja secara lambat, membuat sedikit kesalahan. Beberapa melihat pola secara keseluruhan dan beberapa menganalisis pola pada bagian yang berbeda, beberapa lebih menyukai kerjasama. Beberapa pemahaman konsepnya melalui visual dan beberapa memahami konsep melalui verbal.
Gaya kognitif visualizer dan verbalizer memiliki karakteristik yang berbeda dalam menghadapi suatu masalah atau tugas. Siswa dengan gaya kogntif visualizer cenderung menggunakan gambar dalam menerima, memproses, menyimpan maupun menggunakan informasi sedangkan siswa dengan gaya verbalizer cenderung menggunakan teks atau kata-kata. Hal tersebut diakibatkan adanya perbedaan pandangan seseorang dalam menggambarkan sesuatu. Menurut Skemp, siswa dengan simbol
62
[image:43.420.73.364.106.430.2]29
visual lebih integratif menunjukkan struktur sedangkan simbol verbal lebih analitis menunjukkan secara detail. Perbandingan tersebut menunjukkan adanya hubungan antara berpikir analitis dengan gaya kognitif visualizer dan verbalizer. Perbedaan tersebut juga memungkinkan adanya perbedaan antara proses berpikir analitis siswa bergaya kognitif visualizer dengan siswa bergaya kognitif verbalizer dalam menyelesaikan masalah matematika.
F. Prediksi Berpikir Analitis dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer
Berdasarkan penjelesan-penjelasan di atas dibuatlah prediksi indikator berpikir analitis siswa dalam menyelesaikan masalah matematika berdasarkan gaya kognitif visualizer dan verbalizer. Prediksi indikator tersebut diturunkan dari indikator berpikir analitis siswa dalam menyelesaikan masalah matematika berdasarkan tahapan Polya pada Tabel 2.2 dan disesuaikan dengan penjelasan-penjelasan dari gaya kognitif visualizer dan verbalizer. Adanya prediksi indikator tersebut bertujuan untuk memberikan gambaran (prediksi) berpikir analitis siswa visualizer dan verbalizer dalam menyelesaikan masalah matematika. Berikut adalah tabel prediksi indikator berpikir analitis siswa dalam menyelesaikan masalah berdasarkan gaya kognitif visualizer dan verbalizer yang disajikan pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5
Prediksi Indikator Berpikir Analitis dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif Visualizer dan Verbalizer
Tahapan Polya
Indikator Berpikir Analitis dalam Menyelesaikan Masalah Matematika
Prediksi Berpikir Analitis Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan
Gaya Kognitif Visualizer Verbalizer Memahami
Masalah
Membedak an (differentia ting)
Membedak an bagian yang penting dalam soal
Subjek menyebutka
n yang
diketahui dan yang
Subjek menyebutka
n yang
30 Tahapan Polya Indikator Berpikir Analitis dalam Menyelesaikan Masalah Matematika
Prediksi Berpikir Analitis Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan
Gaya Kognitif Visualizer Verbalizer meliputi:
- Menye butkan apa yang diketah ui - Menye
[image:45.420.71.370.68.526.2]butkan apa yang ditanya kan ditanyakan dengan disertai sketsa gambar ditanyakan dengan menggunaka n kata-kata yang dipahaminya
Membedak an bagian yang relevan dalam soal meliputi:
- Menjel askan keterka itan antara yang diketah ui dengan yang ditanya kan Subjek menjelaskan keterkaitan antara yang diketahui dengan yang ditanyakan dengan melihat kembali sketsa gambar yang sudah dibuat pada tahap menyebutka
n yang
diketahui dan yang ditanyakan
Subjek menjelaskan keterkaitan antara yang diketahui dengan yang ditanyakan dengan bahasa yang dipahaminya
31 Tahapan Polya Indikator Berpikir Analitis dalam Menyelesaikan Masalah Matematika
Prediksi Berpikir Analitis Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan
Gaya Kognitif Visualizer Verbalizer kan Penyelesai an nisasi (organizin g)
n kembali masalah ke dalam bentuk atau model matematik a
[image:46.420.71.371.68.526.2]menyatakan kembali masalah ke dalam bentuk atau model matematika dengan disertai ilus