• Tidak ada hasil yang ditemukan

AMBISI MATARAM ISLAM UNTUK MENGUASAI BLAMBANGAN : MASA SULTAN AGUNG DAN AMENGKURAT I ABAD KE-17.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "AMBISI MATARAM ISLAM UNTUK MENGUASAI BLAMBANGAN : MASA SULTAN AGUNG DAN AMENGKURAT I ABAD KE-17."

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

AMBISI MATARAM ISLAM UNTUK MENGUASAI BLAMBANGAN: MASA SULTAN AGUNG DAN AMANGKURAT I ABAD KE-17

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh: Laila Mufidah NIM: A82212145

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Ambisi Mataram Islam untuk Menguasai Blambangan: Masa Sultan Agung dan Amangkurat I Abad ke-17”. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini meliputi, (1) bagaimana gambaran kepemerintahan antara Sultan Agung dan Amangkurat I ? (2) mengapa Sultan Agung dan Amangkurat I berupaya menaklukkan wilayah Blambangan? (3) bagaimana hasil dari penaklukkan terhadap Blambangan oleh Sultan agung dan Amangkurat I ?.

Metode yang digunakan dalam skripsi ini dengan metode Sejarah (historis), Metode ini berfungsi untuk mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa masa lampau. Mengumpulkan jejak-jejak masa lalu yang dikenal sebagai data sejarah atau kegiatan pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menelusuri berbagai literatur. Kemudian melakukan kritik sumber yang didapat untuk mendapatkan keabsahan sumber. Setelah itu melakukan interpretasi atau penafsiran terhadab sumber. Tahap selanjutnya yaitu historiografi, Di dalam tahap ini, aspek kronologis sangat penting. Penulisan dalam penelitian ini diuraikan berdasarkan sistematika yang terdiri dari beberapa bab. Teori yang digunakan dalam skripsi ini menggunakan teori konflik dan teori kekuasaan Karl Marx.

(7)

ABSTRACT

This thesis titled “Islamic Mataram Kingdom Ambition to Blambangan: Past the Great Sultan Agung and Amangkurat I 17Th Century”. Issues discussed in this paper (1) how the image of governance between the great Sultan Agung and Amangkurat I ? (2) why the great Sultan seeks conquer blambangan region? (3) how the outcome of conquest againts Blambangan by Sultan Agung and Amangkurat I?.

The method used in this thesis with the historical method (historis), this method serves to describe and analyze the events of the past. Collect traces of the past are known as historical data or data collection activities conducted by searching the literature. And then make criticsms source obtained to get the validity of the source. After that make an interpretation or interpretation of source. The next stage of historiography, in this stage the chronological aspect is very important. Writing in this study are described based on the systematics which consists of several chapters. Theories used in this thesis uses the theory of conflict and power theory Karl Marx.

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... xi

DAFTAR ISI ... xiii

TRANSLITERASI ... xv

BAB I: PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian ... 7

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 7

F. Penelitian Terdahulu ... 9

G. Metode Penelitian ... 10

(9)

BAB II: KERAJAAN MATARAM ISLAM ... 14

A. Struktur Kerajaan Mataram Islam ... 14

B. Perkembangan Mataram Islam ... 30

BAB III: MATARAM DALAM MEMPEREBUTKAN WILAYAH BLAMBANGAN ... 34

A. Wilayah Blambangan ... 34

B. Hubungan Antara Mataram Islam dengan Blambangan ... 36

C. Perebutan Wilayah Blambangan oleh Sultan Agung ... 38

D. Perebutan Wilayah Blambangan oleh Amangkurat I ... 42

BAB IV: HASIL AKHIR MATARAM DALAM MEMPEREBUTKAN WILAYAH BLAMBANGAN ... 47

A. Hasil Ekspedisi Mataram ke Blambangan ... 47

B. Pasca Ekspedisi Mataram ke Wilayah Blambangan ... 48

C. Dampak Terhadap Kerajaan Mataram ... 57

BAB V: PENUTUP ... 60

A. Kesimpulan ... 60

B. Saran ... 62

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kerajaan Mataram berdiri pada tahun 1582. Pusat kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Di dalam sejarah Islam kerajaan Mataram ini berperan penting dalam perjalanan kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Hal ini ditunjukkan dengan semangat raja-raja Mataram untuk memperluas daerah kekuasaan dan mengislamkan para penduduk daerah kekuasaannya dengan keterlibatan para pemuka agama, hingga pengembangan kebudayaan yang bercorak Islam di Jawa.

Mataram Islam ini memberlakukan politik ekspansi ketika masa kejayaannya di bawah kepemerintahan Sultan Agung. Dalam pemerintahan Sultan Agung hampir seluruh wilayah Jawa dapat dikuasai oleh Mataram tekecuali wilayah Batavia dan Blambangan. Penyerangan Mataram terhadap Batavia dilakukan dengan dua kali, namun kedua penyerangan tersebut gagal dilakukan.

(11)

2

bagi Mataram, maka dari itu dalam skripsi ini dibahas dua periode, pertama pada masa kepemimpinan Sultan Agung dan yang kedua pada masa kepemimpinan Amangkurat I. Menurut beberapa literatur memang Kerajaan Blambangan ini sempat ditaklukan oleh Sultan Agung akan tetapi kerajaan tersebut mampu untuk bangkit kembali dari kekuasaan kerajaan Mataram.

Kerajaan Blambangan terletak di Timur kota Banyuwangi Jawa Timur. Letak kerajaan ini berbatasan langsung dengan selat Bali. Tidak ada berita yang pasti tentang kapan berdirinya kerajaan ini. Untuk melacak sejarah kemunculan kerajaan Blambangan diakui cukup sulit dikarenakan minimnya data dan fakta membuat para ilmuwan kesukaran untuk menentukan sejarah awal kerajaan ini.

Beberapa referensi menjelaskan bahwa sejarah kerajaan Blambangan ini sendiri melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang, pusat-pusat pemerintahan seringkali berpindah-pindah namun perpindahannya cenderung ke arah wilayah Jawa Timur. Seperti yang kita sudah ketahui bahwa kerajaan Blambangan ini berpusat di ujung paling timur pulau Jawa dianggap sebagai kerajaan bercorak Hindu terakhir di Pulau Jawa. Di abad ke-16, satu-satunya kerajaan Islam yang berarti di Jawa Timur adalah Pasuruan. Daerah lain masih dipimpin penguasa yang beragama Hindu.

(12)

3

untuk menguasai pulau-pulau sekitarnya, dengan gigih melawan usaha Mataram memperluas kekuasaannya atas negeri pantai di seberang Bali. Perlawanan mereka terhadap dominasi politik Jawa membuat Bali terus mempertahankan struktur sosial kuno mereka. Karena itu, Islam tidak mendapat banyak pengikut di pulau itu.1

Keberadaan kerajaan Blambangan yang diperebutkan oleh Mataram disini keberadaannya seringkali disebutkan dalam roman, tradisi oral, dan tulisan lokal (babad). Blambangan ini diperebutkan oleh Mataram Islam dan Kerajaan Hindu (Gegel, Buleleng, dan Mengwi) di Bali. Kerajaan-kerajaan di Bali ingin menjadikan Blambangan sebagai “wilayah antara” untuk melawan ekspansi Mataram Islam dan penyokong ekonomi Bali. Sedangkan Mataram Islam menginginkannya sebagai bentuk kekuasaan penuh atas Pulau Jawa. Rakyat Blambangan ini mempertahankan kepercayaan Shiwais mereka dan kadang-kadang mereka disokong Bali yang juga berhasil bertahan dari dampak Islam.2 Disinilah terlihat bahwa Pasukan Mataram pun merasa kesulitan ketika Blambangan di bawah bantuan Bali.

Kerajaan-kerajaan Bali seperti Mengwi dan Gelgel juga terus berusaha merebut wilayah Blambangan. Memang sebelumnya yang sudah dipaparkan diatas kerajaan-kerajaan Bali itu selalu memberikan bantuan kepada Blambangan

1

Bernard H.M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia (Jakarta: KPG(Kepustakaan Populer Gramedia),

2008), 146.

2

(13)

4

saat peperangan melawan VOC maupun melawan kerajaan-kerajaan Islam. Kemudian suatu ketika kerajaan Blambangan ini menginginkan kerja sama dengan kerajaan Mataram, yang bertujuan agar memutuskan hubungan Blambangan dengan Bali dengan jalan Islamisasi Blambangan. Disini mulailah pihak Mataram menempatkan orang-orang Islam untuk dijadikan raja Blambangan dengan harapan proses Islamisasi berlangsung lebih cepat.

Ketika Sultan Agung wafat, dia belum bisa menuntaskan secara sempurna penaklukan atas Blambangan. Kemudian setelah wafatnya Sultan Agung pada tahun 1645 kemudian tahta kerajaan digantikan oleh Susuhunan Amangkurat I atau yang dikenal dengan Amangkurat Tegalwangi (Tegalarum) yang merupakan putranya. Susuhunan Amangkurat I ini memerintah pada tahun 1646-1677 M. Dalam pemerintahannya Amangkurat I ini melakukan beberapa program pokok diantaranya yaitu mensentralisasikan administrasi dan keuangan, serta menumpas semua perlawananan.

(14)

5

Dalam sebuah tulisan kompeni tidak lama sebelum tahun 1700 sesekali ia disebut sebagai susuhan Amangkurat Senapati Ingalaga.3

Di masa pemerintahan Amangkurat I ini banyak terjadi pemberontakan selama masa pemerintahannya. Pada awal-awal pemerintahan Tegalwangi ini terlihat memiliki rasa benci tehadap Tumenggung Wiraguna serta menggantikan abdi-abdinya yang lebih tua dengan yang lebih muda. Tumenggung sendiri menganggap tindakan ini sebagai suatu anugrah dari raja, akan teapi padakenyatannya raja menggrogoti kekuasaan tumenggung dengan melemparkan keluar penasehat penasehatnya yang terbaik, kemudian pada tahun 1647 raja memperoleh sebuah kesempatan untuk melaksanakan rencananya yang sudah lama terpendam dalam dirinya.

Ketika Blambangan diserbu oleh orang-orang Bali, sejumlah orang Jawa terbunuh. Sunan yang berpura-pura marah besar memutuskan untuk pergi sendiri kesana, tetapi abdi-abdinya yang terdekat yang tahu tentang rencananya itu, mencegah dan mengusulkan supaya mengirimkan Tumenggung Wiraguna saja. Uraian pendek mengenai ekspedisi ke bagian Timur Jawa dan meninggalnya Tumenggung Wiraguna itu disusul oleh berita yang dilakukannya adalah tindakan balas dendam terhadap Tumenggung.

Dari gambaran yang telah dipaparkan diatas menimbulkan beberapa pertanyaan bagi penulis misalnya apakah wilayah Blambangan memang

3

(15)

6

benar bisa ditaklukkan oleh Mataram. Kerena memang dari beberapa buku meskipun menyatakan Blambangan telah dikuasai oleh Mataram akan tetapi wilayah Blambangan ini mampu bangkit kembali dari kekuasaan Mataram, dan hal tersebut tidak terjadi sekali saja tapi beberapa kali seperti itu. Hingga sampai benar-benar ditaklukkan masanya begitu panjang maka dari itu penulis membatasi pembahasan dari masa Sultan Agung sampai Amangkurat I saja.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut maka ada beberapa permasalahan yang akan ditekankan pada penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana gambaran kepemerintahan antara Sultan Agung dan Amangkurat I ?

2. Mengapa Sultan Agung dan Amangkurat I berupaya menaklukan wilayah Blambangan ?

3. Bagaimana hasil dari penaklukan terhadap wilayah Blambangan oleh Sultan Agung dan Amangkurat I ?

C. Tujuan Penelitian

(16)

7

1. Untuk mengkaji dan menggali tentang sejarah Kerajaan Mataram Islam 2. Mencari tahu bagaimana proses Raja Mataram Islam khususnya Sultan

Agung dan Amangkurat I dalam menguasai wilayah Blambangan yang bukan non Islam.

3. Untuk mengetahui bagaimana dampak dari penyerangan Mataram ke wilayah Blambangan bagi kerajaan Mataram maupun wilayah Blambangan itu sendiri.

D. Kegunaan Penelitian

1. Sebagai tambahan bacaan dan literatur untuk para pembaca penelitian ini. 2. Sebagai ilmu pengetahuan yang menerangkan tentang bagaimana

penyerangan Mataram untuk memperebutkan wilayah Blambangan masa Sultan Agung maupun Amangkurat I.

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Dalam Skripsi ini pembahasan lebih menggunakan pada pendekatan historis, yang mana pendekatan historis tersebut adalah memandang suatu peristiwa yang berhubungan dengan masa lampau.4 Dengan pendekatan ini penulis mengharapkan dapat mengungkap secara jelas tentang latar balakang sejarah Kerajaan Islam Mataram dan perjuangan raja Mataram dalam

4

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah(Jakarta: PT Gramedia

(17)

8

mempersatukan wilayah Pulau Jawa. Salah satu contoh perjuangan Sultan Agung dalam melakukan politik ekspansinya dalam usaha mempersatukan wilayah Pulau jawa.

Selain pendekatan historis tersebut, dalam penelitian ini, penulis juga akan mengacu pada pendekatan teori konflik karena sejarah yang sedang berlangsung pada waktu itu menggambarkan perselisihan antara dua golongan yang menginginkan kekuasaan atas daerah Blambangan tersebut. Dimana dalam permasalahan ini, keinginan Mataram yang ingin memperluas kekuasaanya ke daerah Blambangan tersebut yang pada saat itu juga sedang di perebutkan oleh kerajaan Hindu(Gegel, Buleleng, Bali). Dengan pendekatan tersebut diharapkan mampu menjelaskan bagaimana gejala-gejala atau sebab akibat yang relevan dengan waktu, tempat, dan peristiwa yang terjadi.

(18)

9

sebaliknya kelas atas akan tetap mempertahankan peran kekuasaannya sebagai kelas atas. Karena itu, perubahan sosial akan hanya dapat tercapai dengan jalan revolusi.

Maka itu lah, mengapa marxisme menententang semua usaha untuk perdamaian kelas atas dan kelas bawah yang saling bertentangan karena usaha perdamaian kelas atas dan kelas bawah hanya akan menguntungkan kelas atas dan memberhentikan usaha kelas bawah untuk membebaskan diri dari penindasan.

F. Penelitian Terdahulu

Sudah ada penelitian terdahulu yang membahas mengenai Mataram Islam ini diantaranya yaitu:

1. Buku dari H. J. de Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram (Politik Ekspansi Sultan Agung) dari judul asli De Regering van Sultan Agung, Vorst van

Mataram, 1613-1645, en Die van Zijn Voorganger Panembahan Seda-ing

Krapjak, 1601-1613 (Jakarta: PT Pustaka Grafitipers, 1958). Buku ini lebih

mengutamakan ulasan tentang perpolitikan Kerajaan Mataram yang dimulai dari masa pemerintahan Panembahan Seda Ing Krapyak sampai pemerintahan Sultan Agung.

(19)

10

Agung Sebagai Raja Mataram Tahun 1613 M sampai 1646 M”. Skripsi

tersebut menjelaskan tentang Sultan Agung sebagai raja Mataram yang memiliki peran dalam berbagai bidang seperti bidang politik, sosial, budaya, keagamaan, politik, dan bidang ekonomi. Berbeda dengan penelitian ini, penelitian ini lebih menekankan kepemimpinan raja Mataram dalam perluasan wilayahnya.

3. Skripsi karya Siti Ma’rifah (mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014)

yang berjudul “ Perlawanan Sultan Agung Terhadap VOC 1628-1629”.

G. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu dengan metode penelitian sejarah. Metode ini berfungsi untuk mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa masa lampau. Terdapat beberapa tahap yang harus dilalui dalam metode penelitian sejarah diantaranya yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.

Heuristik adalah mengumpulkan jejak-jejak masa lalu yang dikenal sebagai data sejarah atau kegiatan pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menelusuri berbagai literatur.5 Dengan begitu didalam pengumpulan sumber peneliti mengumpulkan sumber sumber literatur yang ada hubungannya dengan pembahasan Mataram dalam memperebutkan wilayah Blambangan. Diantaranya

5

(20)

11

yaitu peneliti mengambil dari Babad Tanah Jawi karangan W. L. Olthof, Babad Blambangan karangan Winarsih Partaningrat Arifin, Babad Sultan Agung

karangan Soenarko H Poespita. Penulis juga menggunakan sumber arsip Babad Mataram versi digital yang berbahasa campuran Jawa dan Belanda, maka dari itu

peneliti harus memahami isi yang terkandung dari babad tersebut agar dapat mengetahui alur yang terjadi pada kejadian penyerangan Mataram tersebut.

(21)

12

Tahap setelah Interpretasi yaitu historiografi. Historiografi merupakan cara penulisan. Pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan.6 Di dalam tahap ini, aspek kronologis sangat penting. Penulisan dalam penelitian ini diuraikan berdasarkan sistematika yang terdiri dari beberapa bab. Penulis akan mengaitkan data-data yang penulis peroleh dengan pembahasan dalam judul skripsi ini. Untuk menganalisis sumber-sumber sejarah yang penulis peroleh tersebut adalah dengan menyusun dan mendaftar sumber sejarah yang diperoleh, selanjutnya penulis menganalisis sumber-sumber tersebut sesuai dengan judul skripsi.

H. Sistematika Pembahasan

Berikut ini merupakan suatu sistematika pembahasan yang terdiri dari empat bab. Yang mana sistematika pembahasan ini merupakan kesatuan yang utuh, sehingga dapat memudahkan bagi penulis sendiri dalam melakukan penulisan skripsi ini, dan memberikan kemudahan bagi pembaca untuk lebih paham pada skripsi ini. Maka berikut ini akan dijelaskan oleh penulis sistematika pembahasan dengan susunan sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan keramngka teoritik, penelitian terdahulu, metode penelitian, sistematika bahasan.Melalui bab ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum tentang

6

(22)

13

seluruh rangkaian penulisan penelitian sebagai dasar atau pijakan untuk pambahasan pada bab selanjutnya.

Bab II menjelaskan tentang gambaran umum Kerajaan Mataram dari pemerintahanya hingga perkembangannya.

Bab III Menguraikan tentang bagaimana cara yang dilakukan antara Sultan Agung dan Amangkurat I untuk memperebutkan wilayah Blambangan tersebut dan beberapa kendala yang dihadapi oleh raja Mataram baik Sultan Agung maupun Amangkurat I.

Bab IV menjelaskan tentang bagaimana hasil akhir dari penaklukkan wilayah Blambangan.

(23)

BAB II

KERAJAAN MATARAM ISLAM

A. Struktur Kerajaan Mataram Islam 1. Wilayah

Jauh sebelum menjadi kerajaan, wilayah ini merupakan hutan yang bertumbuhan tropis di atas puing-puing Istana tua Mataram Hindu. Wilayah ini sampai pada akhir abad ke-16 M merupakan bawahan Pajang setelah di babat kembali oleh seorang panglima Pajang Ki Ageng Pemanahan.

Wilayah ini dianugrahkan oleh Sultan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan beserta putranya yaitu Senapati, atas jasa mereka dalam ikut serta melumpuhkan Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan.1

Ki Ageng Pemanahan yang lebih dikenal dengan nama Kiai Gede Mataram adalah perintis Kerajaan Mataram. Dialah yang dalam waktu singkat menjadikan daerahnya sangat maju. Kiai ageng Pemanahan ini tidak sempat menikmati hasil usahanya, karena dia meninggal pada tahun 1575. Akan tetapi, anaknya yang bernama Sutawijaya yang dikenal dengan Senapati melanjutkan usahanya dengan giat.2

1

Akhwan Mukarrom, Kerajaan-kerajaan Islam Indonesia (Surabaya: Jauhar, 2010), 39.

2

Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Pinus

(24)

15

Pada tahun 1586 dia mengangkat dirinya sebagai raja Mataram. Pada saat dia menjadi raja Mataram, Senopati baru menguasai beberapa wilayah diantaranya yaitu Mataram, Kedu, Banyumas. Ketika pada saat dia meninggal Jawa Tengah dan sebagian wilayah Jawa Timur sudah dapat ditaklukan.

(25)

16

ini merupakan negara pertanian. Kesultanan Mataram ini tetap merupakan negara pertanian, tidak dapat menjadi negara maritim.3

Setelah Senopati wafat, pada tahun 1601 dia digantikan oleh putranya, yaitu Mas Jolang yang hanya sempat mempertahankan daerah-daerah yang telah ditundukkan oleh ayahnya, sebab daerah-daerah tersebut selalu memberontak.

Jawa baru dapat dikuasai Mataram pada saat Mataram dipegang oleh Sultan Agung (Raden Mas Rangsang), dia memerintah dari tahun 1613-1645.

Jika para pendahulunya mengambil ibu kotanya di Kotagede, maka Sultan Agung mengambil ibu kotanya di kera/ Karta. Konon, dipindahnya keraton ke sebelah selatan karena dekat pantai selatan.

Dalam pemerintahannya, Sultan Agung menerapkan politik ekspansi sehingga bukan hanya Jawa saja yang ingin dikuasainya, melainkan wilayah Nusantara. Pada masa Sultan Agung ini untuk pencapaiannya hampir seluruh Pulau Jawa berhasil dikuasai olehnya. Hingga pada saat Sultan Agung wafat wilayah kekuasaannya adalah seluruh Pulau Jawa terkecuali wilayah Batavia, Panarukan dan Blambangan.

3

Asvi Warman Adam, Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di

(26)

17

2. Pemerintahan Mataram Islam

a. Awal berdirinya Kerajaan Mataram Islam

Pada awalnya berbicara tentang kerajaan Mataram ini diawali dengan keterlibatan Sultan Hadiwijaya, Sultan Hadiwijaya yaitu raja dari kerajaan Pajang. Dalam usahanya untuk menegakkan kekuasaan Pajang, Arya Panangsang yang merupakan putra Sinuwunn Sekar Seda Lepen yang tak rela tahta Demak diambil Sultan Hadiwijaya. Sultan Hadiwijayapun merasa tidak mudah untuk mengalahkannya, dan Sultan Hadiwijaya tetap membuat strategi yaitu dengan mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat mengalahkan Penangsang tersebut akan mendapatkan hadiah, tanah Pati dan Mataram.

(27)

18

Yogyakarta. Pemanahan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Ki Gede Mataram.4

Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat pada tahun 1575, Sutawijaya diangkat menjadi bupati di Mataram. Karena ketidakpuasan Sutawijaya menjadi bupati dan keinginanya menjadi raja, ia mulai memperkuat sistem pertahanan Mataram. Hal itu ternyata telah diketahui oleh Sultan Hadiwijaya, sehingga Sultan Hadiwijaya mengirim pasukan untuk menyerang Mataram. Dalam peperangan ini pasukan Pajang mengalami kekalahan, kondisi Sultan Hadiwijaya juga sedang sakit. Kemudian pada saat terjadi perebutan kekuasaan antara bangsawan Pajang, Pangeran Pangiri yang merupakan menantu Hadiwijaya yang menjabat sebagai bupati di Demak datang menyerbu Pajang untuk merebut takhta. Hal tersebut tentu saja sangat ditentang oleh para bangsawan Pajang yang bekerjasama dengan Sutawijaya, bupati Mataram. Pada akhirnya pangeran Pangiri telah tersingkirkan dan diusir dari Pajang.

Kemudian setelah keadaan aman, pangeran Benawa yang merupakan anak dari Hadiwijaya menyerahkan tahtanya kepada Sutawijaya yang kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Mataram pada tahun 1586. Sejak saat itulah berdiri kerajaan Mataram.

4

Purwadi, The History of Javanese kings: Sejarah Raja-raja Jawa (Yogyakarta: Ragam Media, 2010),

(28)

19

Sutawijaya mengangkat dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati, dengan ibukota kerajaan berada di Kota Gede. Berbeda dengan ayahnya yang mematuhi sebagai bawahan Pajang, dimana tiap tahun melakukan penghadapan serta mengirim upeti kepada raja Pajang. Senopati memang sengaja mempersiapkan diri untuk suatu pembangkangan yang direncananakan. Hal ini terlihat dari upaya membuat benteng sebagai pertahanan. Akhirnya raja Pajang memutuskan untuk menyelesaikan pembangakangan Senopati dengan kekuatan militer. Penyerbuan ke Mataram berada langsung dibawah komando dari Sultan Pajang sendiri akan tetapi usaha mereka mengalami kegagalan.

Setelah wafatnya Sultan Pajang maka semakin kokoh kekuasaan Senopati atas Mataram. Sebagai founding father kerajaan Mataram, Ia sadar betul bagaimana mengelola konflik intern maupun menghegemoni wilayah lain. Langkah politik kedalam, misalnya harus menyingkirkan Ki Ageng Mangir tokoh lokal yang selama ini menjadi batu sandungan bagi kekuasaan Senopati. Adapun langkah politik keluar, Senopati metaram kemudian melakukan politik ekpansionis kewilayahan.5 Tindakan-tindakan penting yang dilakukan adalah meletakkan dasar-dasar kerajaan Mataram dan berhasil memperluas wilayah kekuasaan ke

5

(29)

20

Timur, Surabaya, Madiun, Ponorogo, dan ke wilayah Barat berhasil menundukkan wilayah Cirebon dan Galuh.

Pengganti Panembahan Senopati adalah Mas Jolang. Dalam pengangkatannya menimbulkan pemberontakan-pemberontakan. Diantaranya timbul pemberontakan Pangeran Puger di Demak pada tahun 1602-1605. Pangeran Jayanegara di Ponorogo pada tahun 1608 M. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan dalam waktu yang cukup lama, Surabaya masih menyusun kekuatan dan tidak tunduk ke Mataram, sehingga sampai beberapa dekade Surabaya dan sekitarnya masih merupakan rival bagi Mataram. Kemudian Ia gugur di daerah Krapyak dalam upaya memperluas wilayah, sehingga disebut Panembahan Seda Krapyak. Setelah meninggalnya Mas Jolang, ia digantikan oleh putranya yaitu Raden Mas Rangsang yang dikenal sebagai raja terbesar Kerajaan Mataram dengan gelar Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645).

b. Masa Pemerintahan Sultan Agung

(30)

21

Panembahan Senopati yang merupakan raja pertama kerajaan Mataram Islam. Beliau juga meneruskan politik ekspansi sebagaimana yang dilakukan oleh kakeknya di berbagai wilayah yang pada masa Panembahan Senopati belum bisa terlaksana secara tuntas.

Beberapa keinginan Sultan Agung diantaranya yaitu mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram dan mengusir kompeni (VOC) dari Batavia. Beberapa wilayah telah terwujud telah ia taklukkan, Mataram melakukan beberapa penyerangan di sekitar Jawa Timur. Seperti pada tahun 1614 M Mataram ini menyerang Surabaya bagian selatan; Ujung Timur Pulau Jawa, Malang, dan Pasuruan. Ia juga dapat menduduki Wirasaba pada tahun 1615 M. Penaklukan Wirasaba ini dirasa sangat penting, hal itu dikarenakan merupakan pintu masuk ke Surabaya. Kemudian pada tahun 1616 M, ia melalui pantai Utara dan dapat menaklukkan Lasem dan terus ke Timur sampai Pasuruan. Bahkan pada tahun 1620 M pasukan Mataram dengan melalui laut mengancam Surabaya dan setelah itu Madura ditaklukkan dan disatukan dalam satu pemerintahan dibawah keturunan kepangeranan Madura dengan ibukota Sampang.

(31)

22

masing tetap menolak mengadakan ikatan dengan Mataram, apapun bujukan maupun ancaman yang dilontarkan dari pihak Mataram. Walaupun hubungan Banten dan Batavia tegang sejak dulu Banten tetap tidak ingin Batavia jatuh ke tangan Mataram. Hanya pada Hari Natal 1627, Banten mengadakan usaha yang tidak matang untuk menguasai Batavia dengan tiba-tiba, tetapi gagal.

Bagi Mataram, Batavia merupakan lawan yang lebih berat daripada Banten, yang mungkin pada tahun 1597 diserang oleh kakeknya dengan 15.000 prajurit dari sebelah laut.6

Sejak awal hubungan antara Sultan Agung dengan kumpeni Belanda (VOC) memang tidak baik. Hal ini terlihat dari kasus perutusan VOC yang ditolak karena Sultan tetap menganggap bahwa VOC ingin menguasai Jawa.7 Konflik pertama muncul ketika pemerintah Jepara (bawahan Sultang Agung) membunuh tiga orang Belanda. Pada tahun yang sama Belanda membalas dengan membakar kapal-kapal yang sedang berlabuh.

Seperti yang kita ketahui Sultan Agung yang merupakan raja ketiga dari kerajaan Islam Mataram dan memerintah pada tahun 1613-1646. Pada masa tersebut merupakan puncak kekuasaan Mataram.

6

H.J. De Graaf, Puncak Kejayaan Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi sultan Agung (Jakarta:

Pustakan Utama Grafiti, 1990), 137.

7

(32)

23

Tentu saja hal ini tidak lepas dari bagaimana cara kepemimpinan Sultan agung terhadap Mataram.

Jauh sebelum penyerangan Mataram di Batavia 1628, sebelumnya pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua belah pihak saling mengirim duta besar. Ternyata, pihak VOC menolak membantu saat Kesultanan Mataram menyerang Surabaya. Penolakan VOC ini berakibat hubungan diplomatik dengan Kesultanan Mataram putus. Pertama kecurigaan dan isu-isu tertentu atas maksud Mataram memberi alasan kepada pangeran Jayawikarta untuk membangun tembok. Kedua, beberapa kali VOC mengutus delegasi ke Mataram supaya hubungan jangan memburuk. VOC yang sebelumnya bermarkas di Ambon, kepulauan Maluku, mengirimkan dutanya untuk mengajak Sultan Agung agar mengizinkan VOC untuk mendirikan loji-loji dagang di pantai Utara Mataram. Namun hal ini ditolak Sultan Agung karena bila diizinkan maka ekonomi di pantai Utara akan dikuasai oleh VOC. Penolakan ini membuat hubungan Mataram dan VOC sejak saat itu renggang.

(33)

24

Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingannya menghadapi Surabaya dan Kesultanan Banten.

Sasaran Mataram berikutnya setelah Surabaya jatuh adalah Banten yang ada di ujung Barat pulau Jawa. Akan tetapi posisi Batavia yang menjadi penghalang perlu diatasi terlebih dahulu oleh Mataram.8 Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran tersebut ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang.

Pada tanggal 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa, Bupati kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja. Jika ditotal semuanya berjumlah 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di benteng Holandia. Pasukan mengalami kehancuran karena kurangnya perbekalan. Menanggapi kekalahan ini sultan Agung bertindak tegas, pada bulan Desember 1628 dia mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurarejo.9

Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin

8

Ibid., 69

9

(34)

25

Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Dengan jumlah 14.000 prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Kerawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya. Meskipun telah mengalami kegagalan yang kedua kalinya, serangan kedua ini Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gurbernur Jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.

Dalam mewujudkan ambisinya untuk menguasai seluruh Pulau Jawa, setelah penaklukkan Surabaya dan beberapa daerah Timur, upayah selanjutnya yaitu untuk menaklukkan Giri.

Dalam perlawanan terhadap Giri, Sultan Agung melakukan kolusi Pangeran Pekik, seorang putera adipati di Surabaya, yang konon masih merupakan keturunan Sunan Ampel. Pada tahun 1636 Pangeran Pekik atas nama Sultan Mataram menggempur Giri dengan bantuan banyak dari lasykar Surabaya dan Mataram.10 Akhirnya Giri dapat ditaklukkan oleh Mataram dan Surabaya pada tahun 1636 M. Setelah penaklukkan Giri ini, Mataram tinggal berhadapan dengan Belanda, Portugis, Blambangan atau Panarukan yang dibantu Gelgel dari Bali.

10

(35)

26

c. Pemerintahan Amangkurat I

Sebagai pengganti Sultan Agung Hanyakrakusuma yaitu putranya sendiri Susuhunan Amangkurat I (1646-1677 M). Program pokok pemerintahannya adalah usaha mengkonsolidasikan kerajaan Mataram, mensentralisasikan administrasi dan keuangan, serta menumpas semua perlawanan. Amangkurat I ini mendapatkan warisan wilayah yang sangat luas. Dalam hal ini ia menerapkan sentralisasi atau sistem pemerintahan terpusat. Amangkurat I juga menyingkirkan tokoh-tokoh senior yang tidak sejalan dengan pandangan politiknya. Misalnya, Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya tahun 1647 dikirim untuk merebut Blambangan yang telah dikuasai Bali, namun keduanya dibunuh di tengah jalan.

(36)

27

kebijakannya, Amangkurat I mengucilkan orang-orang yang kuat dan daerah-daerah yang penting, yang akhirnya menyebabkan berkobarnya suatu pemberontakan yang terbesar selama abad 17. Hal ini mengakibatkan tumbangnya wangsa tersebut dan campurtangan VOC.

Putra pengganti Sultan Agung, Amangkurat I mengambil jalan lebih berdamai dengan Batavia dan pada 1646 Mataram juga menyepakati suatu perjanjian berdamai. Untuk mempermudah keadaan, pemerintah Batavia memutuskan mengirimkan duta utuk meminta damai, dan menawarkan pelayanan mereka untuk Sultan kalau dia membutuhkan. Akibatnya, perjanjian tersebut menetapkan bahwa Batavia harus mengirimkan duta tahunan, membawa hadiah dan barang dagangan luar negri yang diperintahkan Sultan. Pemberian-pemberian ini menjadi sumber penghasilan yang besar bagi Sultan.

Sejak awal pemerintahannya Amangkurat I menunjukkan sikap balas dendam, seperti terhadap orang-orang yang terlibat dalam skandal pada saat Amangkurat menjadi putra mahkota dulu yang melibatkan istri orang dalem senior, Tumenggung Wiraguna.

Tak lama setelah menerima tampuk pemerintah, Amangkurat I mulai memindahkan keratonnya dari Kerta ke Plered pada tahun 1647, tepat di sebelah timur laut Karta.11 Berbeda dengan ayahnya, raja ini tidak bijaksana dan cenderung kejam dan kurang memperhatikan

11

(37)

28

kepentingan rakyat. Banyak rakyat dan kaum bangsawan tidak menyukainya.

Hal yang sangat tidak disenangi ialah persahabatannya dengan VOC yang dahulu sangat dibenci oleh ayahnya. Akibat dari hal tersebut muncullah pemberontakan Trunojoyo (1674–1680).

(38)

29

Sementara itu, di ujung lain pulau itu, Sultan Banten berusaha memperluas wilayahnya atas daerah-daerah Mataram. Kalau dia berhasil, Batavia akan dikepung oleh wilayah Banten.12

Melihat Sultan Banten mengancam Batavia dari barat sementara Trunajaya dan pendukung-pendukung Makasarnya menyulut bara di negeri Mataram di Timur, Kompeni harus bertindak. Walaupun tentara kompeni menduduki Surabaya dan kota-kota pantai serta sebagian pulau Madura, Trunajaya berhasil mengalahkan tentara Susuhan Amangkurat.13

Amangkurat I yang dikalahkan pemberontak, tiba-tiba menemukan bahwa dia ditinggalkan semua pengikutnya dan bahkan sebagian besar anggota keluarganya.

Amangkurat I tidak kuasa mengatasi penderitaan selama pelariannya. Dia wafat pada tanggal 13 Juli 1677 putranya memakamkannya di TegalWangi (ke selatan dari Tegal), di pesisir utara. Dulu ketika raja melarikan diri, ia harus meninggalkan harta kekayaannya dan sebagian tanda-tanda kebesaran kerajaan yang sempat dibawanya lari sekarang menjadi milik putra mahkota. Dengan demikian, hanya dengan tanda-tanda kebesaran kerajaan yang keramat tersebut namun tanpa harta kekayaan, suatu pasukan, sebuah istana,

12

Bernard H.M.Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia (Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer

Gramedia), 2008), 197.

13

(39)

30

atau kerajaan. Susuhunan Amangkurat II (1677-1703) memulai masa pemerintahannya. Dengan satu satunya cara agar dapat mengangakat dirinya sebagai penguasa di Jawa yaitu dia harus menghubungi VOC supaya mau bertempur di pihaknya.

B. Perkembangan Kerajaan Mataram Islam 1. Ekonomi

Dilihat dari letak geografisnya yang berada di pedalaman dan memiliki tanah yang subur, menjadikan kerajaan Mataram sebagai daerah pertanian (agraris) yang cukup berkembang, bahkan menjadi daerah pengekspor beras terbesar pada masa itu. Rakyat Mataram juga banyak melakukan aktivitas perdagangan laut. Hal ini dapat terlihat dari dikuasainya daerah-daerah pelabuhan disepanjang pantai Utara Jawa. Perpaduan dua unsur ekonomi, yaitu agraris dan maritim mampu menjadikan kerajaan Mataram kuat dalam percaturan politik di nusantara.

(40)

31

Sampai ditaklukanya oleh Mataram, pelabuhan-pelabuhan Jawa terus berdagang dengan Malaka dan Maluku. Pertumbuhan kekuatan Belanda di kepulauan Indonesia bagian timur dan sikap raja Mataram yang meremehkan para raja-pedagang daerah pantai pelan-pelan menjadi dua penyebab turunnya perdagangan luar negeri Jawa. Belanda dengan cara baik dan buruk, berusaha mendapatkan monopoli perdagangan cengkeh dan pala. Kebangkitan Mataram mengalihkan pusat kehidupan politik, budaya, dan ekonomi dari pantai ke pedalaman Jawa.

Saat itu Banten menjadi kuat sebagai negara sepenuhnya akibat perdagangan lada, dan para penguasanya sangat menyadari hal tersebut, walaupun kadang-kadang mereka meniru sikap menghina terhadap segala macam perniagaan seperti yang ditunjukkan tetangga mereka yang lebih kuat itu. Banten menjadi pusat dagang yang penting selama sebagian besar abad ke-17, sementara Mataram tetap menjadi negara pertanian murni. Tapi tidak lama kemudian produk pertanian wilayah Mataram secara ekonomis menjadi sama pentingnya dengan rempah-rempah dari daerah timur dan barat Jawa. Bahkan, seluruh perdagangan rempah pasti akan anjlok bila Mataram dan Makasar berhenti mengekspor beras, entah ke Maluku atau ke pemukiman-pemukiman Belanda.14

14

(41)

32

Pada masa pemerintahan Amangkurat I (1646-1677), Kerajaan Mataram ingin dikonsolidasikan di bawah kekusaannya, dengan kebijakan dalam bidang ekonomi seperti: memusatkan administrasi dan keuangan, dengan menumpas semua perlawanan yang muncul. Sentralisasi di bidang administrasi yang di terapkan oleh Amangkurat I, tidaklah terlalu beda dengan pemerintahan pendahulunya. Sementara untuk sentralisasi di bidang keuangan, setidaknya terdapat dua sumber keuangan Kerajaan Mataram, yakni yang berasal dari “upeti” tahunan yang diberikan pihak VOC dan pajak dari daerah kekuasaan Mataram.

2. Sosial-Budaya

(42)

33

muncul kitab Nitisruti, Nitisastra, dan Absarta yang berisi ajaran tabiat baik yang bersumber pada kitab Ramayana.

Ketika tinggal Banten di barat dan Blambangan di ujung Timur pulau itu yang masih bebas dari dominasi Mataram. Blambangan, yang lemah, dengan gigih disokong oleh orang Bali yang doyan perang, karena sangat sadar akan klaim lama jawa untuk menguasai pulau-pulau sekitarnya, dengan gigih melawan usaha Mataram memperluas kekuasaannya atau negeri pantai di seberang Bali. Perlawanan mereka terhadap dominasi politik Jawa membuat Bali terus mempertahankan struktur sosial kuno mereka. Karena itu, Islam tidak mendapat banyak pengikut di pulau itu.15

15

(43)

BAB III

MATARAM DALAM MEMPEREBUTKAN WILAYAH BLAMBANGAN

A. Wilayah Blambangan

Beberapa tempat di wilayah Banyuwangi, yang sebelum zaman Islam merupakan tempat raja-raja Blambangan mendirikan istana. Di berbagai tempat ditemukan peninggalan-peninggalan bangunan tembok, tetapi banyak di antara bangunan-bangunan itu milik penguasa-penguasa setempat yang hidup pada abad ke-17 atau ke-18.1 Jika dilihat dari pernyataan tersebut Kerajaan Blambangan ini terletak di timur kota Banyuwangi di Jawa Timur. Melihat letak Blambangan ini wilayahnya langsung berbatasan dengan selat Bali, dengan begitu kita yakin bahwa kerajaan tersebut merupakan kerajaan pesisir.

Setelah kerajaan Majapahit runtuh pada abad ke-16, Blambangan menjadi perebutan antara kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, Pajang, dan Mataram pada masanya masing-masing, sebagai bagian ekspansi karajaan-kerajaan itu ke wilayah Jawa bagian Timur. Kerajaan-kerajaan di Bali, seperti Gelgel dan Mengwi juga berkepentingan dengan Blambangan untuk menangkal masuknya Islam. Sehingga, ibukota Blambangan yang semula di Panarukan (yang sekarang

1

H.J. De Graaf, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peraliahan dari Majapahit ke Mataram (Jakarta:

(44)

35

merupakan daerah Situbondo) dan bercorak maritim, semakin terdesak ke pedalaman.

Ketika Kerajaan Demak memperlebar wilayah kekuasaannya di bawah pemerintahan Sultan Trenggana, sebagian dari wilayah Jawa Timur telah dikuasainya. Demak sendiri adalah kerajaan yang masih muda dan belum berpengalaman sebagaimana Majapahit. Wilayah kekuasaannya juga belum seluas Majapahit. Sementara diujung Jawa Timur masih ada kerajaan Hindu Blambangan, dengan pelabuhan Pasuruan dan Panarukan yang masih belum dipengaruhi Islam. Pelabuhan ini merupakan urat nadi perdagangan dengan portugis yang ketika itu, mulai masuk ke perairan timur.2 Pada saat wilayah Pasuruan telah ditaklukkan oleh Demak pada 1545, sejak saat itu menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Meski demikian kerajaan Demak tetap mengalami kendala dalam menaklukkan panarukan/Blambangan, hal ini dikarenakan kerajaan ini menolak Islam. Bahkan, pada 1546, Sultan Trenggana sendiri terbunuh di dekat Panarukan setelah selama tiga bulan tak mampu menembus kota Panarukan. Akibat dari meninggalnya Sultan Demak pada saat ekspedisi ke terhadap Panarukan dan juga saat itu berkuasanya Sultan Pajang atas Jawa Tengah yang nafsu ekspansinya tidak sebesar sultan yang mendahuluinya menyebabkan kerajaan di ujung timur Jawa ini lebih dari tiga perempat abad bebas dari serangan-serangan para raja Islam dari sebelah barat.

2

(45)

36

Kemudian pada abad ke-16 wilayah Blambangan ini berada dalam kekuasaan Bali. Kerajaan Gelgel di Bali yang dirajai Dalem Waturengong mampu memperluas wilayahnya hingga ke bagian timur Jawa Timur, Lombok dan Sumbawa. Setelah Dalem Waturenggong digantikan oleh putranya yakni Dalem di Made, satu persatu wilayah kekuasaan Gelgel melepaskan diri, diantaranya Blambangan dan Bima pada tahun 1633 dan Lombok pada tahun 1640.

Dari beberapa raja yang pernah berkuasa di Blambangan Tawang Alun II (1665-1691) merupakan raja terbesar. Wilayah kekuasaannya menjangkau Jember, Lumajang, Situbondo, dan Bali. Masyarakat Blambangan saat itu hidup damai dan makmur, setelah sekian lamanya terlibat dalam berbagai peperangan ekspansi kerajaan-kerajaan dari barat dan timur.

B. Hubungan Blambangan dengan Mataram

Blambangan merupakan kerajaan yang paling gigih bertahan terhadap serangan Mataram dan VOC serta Blambanganlah yang paling akhir ditaklukkan di Pulau Jawa. Akibat peperangan yang tiada henti baik dengan Mataram, Bali, maupun Belanda menyebabkan tanah Blambangan kehilangan penduduk dalam jumlah yang besar, baik meninggal karena peperangan maupun sebagai tawanan perang.

(46)

37

terhadap Blambangan untuk membendung pengaruh Islam, maka dimulailah babak baru hubungan yang pelik antara Blambangan, Mataram dan Bali.

Pada masa Tawan Alun, dia mempunyai guru yang bernama Wangsakarya. Gurunya tersebut diajak oleh Tawang Alun ke keraton Mataram untuk menyatakan hormat dan baktinya. Ketika itu mereka diterima oleh Senapati di pasebahan yang penuh sesak. Karena suatu kejadian yang dirasa Sunan Mataram adalah suatu penghinaan hingga bupati Mataram hendak memberi perintah supaya Wangsakarya ditahan. Saat itu isi pesebahan tersebut bubar, kacau balau dan Tawang Alun Pulang tanpa minta diri.3 Dilihat dari sedikit pemaparan cerita tersebut yang menunjukkan hubungan tidak baik antara Mataram dengan Blambangan.

Keinginan Sultan Agung untuk menaklukkan wilayah Blambangan bukan hanya sekedar keinginannya untuk mengislamisasikan wilayah tersebut, akan tetapi faktor lain yaitu pemenuhan doktrin yang diemban sebagai raja Mataram. Jika ditinjau dari doktrin “gung binantara” yang menjadi prinsip raja-raja Mataram dimana mengharuskan kekuasaan raja Mataram harus merupakan ketunggalan yang utuh dan bulat. Kekuasaan itu tidak tersaingi, tidak terkotak-kotak terbagi-bagi dan merupakan keseluruhan. Dalam doktrin “gung binatara” pun ada semboyan “ngendi ono surya kembar” yang artinya tidak membenarkan adanya kekuasaan raja atau orang lain yang sederajat. Atas doktrin yang dianut

3

Winarsih Partaningrat Arifin, Babad Blambangan (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995),

(47)

38

inilah maka setiap raja-raja Mataram mengemban misi menyatukan seluruh pulau Jawa dalam panji Mataram tak terkecuali daerah-daerah yang sebelumnya telah menganut agama Islam. Hal ini bisa kita lihat bagaimana ekspansi Sultan Agung ke Surabaya dan Gresik yang mana kedua daerah itu merupakan kantong-kantong Islam di pulau Jawa bagian Timur.

C. Perebutan wilayah Blambangan oleh Sultan Agung

Raden Mas Rangsang yang dikenal dalam sejarah sebagai Sultan Agung, memerintah dengan amat tegas. Masa pemerintahan Sultan Agung yaitu selama tiga puluh dua tahun dan selama Lima belas tahun masa pemerintahannya berjalan dengan baik. Sultan Agung mendorong proses Islamisasi kebudayaan Jawa. Dia mengadakan pembaharuan tata hukum dalam usaha penyesuaian dengan hukum Islam, dan memberi kesempatan bagi peranan para ulama dalam lapangan hukum kerajaan.4

Sultan Agung memiliki cita-cita mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekusaan Mataram dan mengusir kompeni (VOC) dari Batavia. Pada tahun 1613-1629 merupakan masa peperangan untuk mewujudkan cita-cita menyatukan seluruh Jawa. Sultan Agung menundukkan Gresik, Surabaya, Kediri, Pasuruan dan Tuban, selanjutnya Lasem, Pamekasan, dan Sumenep. Dengan demikian seluruh Jawa telah tunduk di bawah Mataram, dan luar Jawa kekuasaan meluas sampai Palembang, Sukadana (Kalimantan), dan Goa.

4

(48)

39

Setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Cirebon berhasil dikuasai, Sultan Agung merencanakan untuk menyerang Batavia. Serangan ke Batavia mengalami kegagalan, karena kurangnya perbekalan makanan, kalah persenjataan, jarak antara Mataram dan Jakarta sangat jauh. Pihak Mataram mengalami banyak penderiataan yang disebabkan oleh penyakit dan kelaparan, dan tentaranya bercerai-berai dalam perjalanan pulang mereka.5 Setelah kegagalan yang dialami Sultan Agung selain serangan ke Batavia dan Surabaya dalam perjalanannya Sultan Agung menyatukan seluruh tanah Jawa di bawah panji Mataram. Yang juga menarik perhatian adalah serangan Sultan Agung ke Ujung Timur pulau Jawa. Dalam ini yang dimaksud dengan Ujung Timur pulau Jawa adalah Blambangan. Blambangan merupakan kantong pertahanan Hindu dan merupakan kerajaan Hindu terakhir di pulau Jawa. Sama halnya dengan penyerangan Sultan Agung ke Batavia maupun ke Surabaya, penyerangan Sultan Agung ke Blambangan juga mengalami hambatan yang cukup besar.

Blambangan yang terlihat lemah dengan gigih disokong oleh orang Bali yang sering berperang, karena sangat sadar akan klaim lama Jawa untuk menguasai pulau-pulau sekitarnya, dengan gigih melawan usaha Mataram memperluas kekuasaannya atas negeri pantai di seberang Bali. Perlawanan mereka terhadap dominasi politik Jawa membuat Bali terus mempertahankan struktur sosial kuno mereka. Karena itu, Islam tidak mendapat banyak pengikut di pulau itu.

5

(49)

40

Beberapa tahun setelah usahanya yang gagal di barat, Sultan Agung mulai bersiap melakukan serangan habis-habisan di wilayah non muslim ini. Ekspansi yang dilakukan oleh Sultan Agung ke Blambangan banyak megalami kendala bahkan memerlukan waktu yang cukup lama untuk benar-benar membuat Blambangan takluk. Pada waktu ekpansi Mataram ke Blambangan ibukotanya tidak lagi berada di Lamajang, tetapi sudah bergeser ke arah timurnya yaitu Kedhawung (saat ini wilayah kabupaten Jember). Blambangan yang waktu itu masih Hindu selalu di bantu oleh Bali, hal tersebut dikarenakan Bali merasa satu emosi keagamaan dengan Blambangan yang masih Hindu.

Sebelum penaklukan Blambangan tersebut Sultan Agung telah menguasai wilayah Giri. Dalam sumber-sumber Jawa, penaklukan Giri terjadi di antara pemberontakan Pati dan pengepungan Batavia (1628-1629).6 Gelombang penyerangan tidak berhenti dengan penaklukan atas Giri saja. Pada tahun 1633, Sultan Agung sudah mengadakan penyerangan di timur diantaranya yaitu Blambangan, Panarukan, dan Blitar. Pada tahun 1635, serangan besar-besaran Mataram yang pertama dilancarkan untuk menaklukkan Blambangan. Sultan Agung mengirim pangeran Selarong yang diiringi oleh para bupati manca-negari dan para bupati seberang pesisir, serta seorang kepercayaan raja, Padurekso (yang harus mengawasi orang bawahan) untuk menaklukan Blambangan yang terletak di ujung timur Pulau Jawa. Pasukan-pasukan berkumpul di Pasuruhan. Pangeran Selarong mengambil jalan lewat Kediri. Para bupati manca-negari dan

6

(50)

41

para pesisiran beserta prajurit-prajuritnya juga sudah berkumpul disana. Mulailah bersama bergerak menuju Blambangan. Orang-orang Blambangan ketakutan, geger mengungsi ke kota. Sang Adipati Blambangan lalu meminta bantuan ke Bali.7

Adipati Blambangan mengirim 500 orang bantuan Bali, dengan pimpinannya bernama Dewa Lengkara dan dewa Agung, dibantu Panji Baleleng dan Panji Macan Kuning. Sang Adipati beserta prajurit dan bantuan dari Bali berangkat menyambut musuh dari Mataram itu di batas kota. Pagi hari perang pun terjadi, saling menembak, menombak, sengit pertempuran itu. Bala prajurit Bali bersenjata tulup, paser yang beracun.8 Bala Mataram berjatuhan kena anak tulup beracun yang ditiupkan orang Bali. Namun orang Blambangan akhirnya terpaksa menyerah. Ibukota diduduki tentara Mataram. Diatas gunung, pasukan-pasukan masih menangkap banyak orang, diantaranya seorang ajar. Ia dibunuh atas perintah Selarong. Tubuh ajar musna, tetapi ada suara yang mengancam bahwa kematiannya akan dibalas nanti bila Mataram diperintah oleh seorang raja yang cacat pada bahu kirinya (yang dimaksudkan Sunan Mangkurat II).9

Pada 12 Mei 1636 kapal Wilde Vercken, pasukan Belanda kembali dari Bali dan melaporkan bahwa Raja Mataram menjelajahi seluruh Blambangan dengan 40.000 orang, membakar dan menghancurkannya, tetapi karena bantuan

7

W. L. Olthof, Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647 (Yogyakarta: Narasi,

2009), 171.

8

Ibid.,172.

9

(51)

42

raja Bali, Blambangan dapat bangkit kembali.10 Setelah menghancurkan daerah tersebut, tentara Agung berhasil dipukul mundur oleh laskar Bali.

Pasukan Mataram di bawah pimpinan Pangeran Selarong mengalami kesulitan ketika Blambangan mendapat bantuan Bali. Akan tetapi mereka kembali melakukan penyerangan pada tahun 1639 Sultan Agung mengirimkan pasukan kedua, pada serangan ini pasukan Mataram juga menghalau pasukan Bali. Pada serangan ini Mataram berhasil menguasai Blambangan sepenuhnya, akan tetapi usaha Sultan Agung untuk menyerang Bali mengalami kegagalan. Bali tetap saja menjadi kekuatan Hindu dan bertahan dari proses Islamisasi. Bagaimanapun juga, kekuasaanya atas wilayah Blambangan ini kemungkinan besar sangat lemah, dan penduduk daerah ini tetap tidak masuk Islam.

D. Perebutan wilayah Blambangan oleh Amangkurat I

Putra dan pengganti Sultan Agung sebagai penguasa Kerajaan Mataram adalah Susuhanan Amangkurat I (1646-1677). Beberapa kebijakan dalam pemerintahannya dengan program pokok pemerintahannya yang diantaranya adalah mengonsolidasikan kerajaan Mataram, menyentralisasikan administrasi dan keuangan serta menumpas semua perlawanan. Sebagai akibat dari kebijakan-kebijakannya, Amangkurat I mengucilkan orang-orang yang kuat dan daerah-daerah yang penting, yang akhirnya menyebabkan meletupnya

10

H.J. De Graaf, Puncak Kejayaan Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi sultan Agung (Jakarta:

(52)

43

pemberontakan yang terbesar selama abad XVII; hal ini mengakibatkan tumbangnya dinasti tersebut dan masuknya campur tangan VOC.11

Tidak jauh dari hari pelantikkannya, Raja Blambangan dengan dibantu angkatan perang dari daerah Bali kembali melakukan upaya pemberontakan kepada Mataram dan pasukan tentara dikirim untuk mengatasi mereka. Akan tetapi, bala tentara tidak lama kemudian mulai membuat rencana untuk menggulingkan kekuasaan raja, dengan bantuan adik laki-laki sang raja. Dalam perencanaan tersebut menyebabkan terbunuhnya Pangeran Alit. Diceritakan bahwa sang pangeran tampak sangat sedih karena adiknya yang telah meninggal itu dan ketika waktu berdukanya telah usai, dia kemudian melampiaskan rasa dendamnya itu kepada semua orang yang dianggapnya sebagai penyebab terjadinya musibah yang memakan korban adiknya tersebut, dengan memerintahkan pasukannya melakukan pembunuhan besar-besaran, dan dilukiskan sebagai cerita yang tidak ada tandingan kekejamannya daripada perbuatan tersebut di semua cerita yang ada di negeri itu.12

Sikap kejam Amangkurat I yang lainnya juga diperlihatkan sejak awal masa pemerintahannya. Sebelumnya ketika pada tahun 1637, ketika masih berstatus putra mahkota, dia terlibat dalam suatu skandal yang melibatkan istri seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna. Karena hal tersebut pada

11

M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008),

164.

12

(53)

44

tahun 1647, raja baru tersebut mengutus Wiraguna ke Ujung Timur yang kekuasaanya sangat lemah oleh Mataram, diutusnya Wiraguna ke Ujung Timur seolah-olah untuk mengusir pasukan Bali, yang sebelumnya melakukan pemberontakan kepada Mataram tersebut.

Pada waktu terjadinya peperangan melawan Blambangan, walaupun angkatan bersenjata Mataram berhasil meguasai ibukota kerajaan, namun pada penyerangan tersebut, sang raja dan para pengikutnya berhasil melarikan diri ke Bali. Pada saat itu dengan semangatnya Tumenggung Wiraguna untuk mengejar mereka, namun sebuah wabah penyakit yang ganas telah menyebar ke seluruh bala tentara yang dipimpinnya, dan itu memaksanya untuk menarik mereka kembali, dan pulang hanya disertai beberapa sisa tentaranya yang masih selamat, yang berjumlah tidak lebih dari 1000 orang saja. Sesampainya di Kediri, seorang mata-mata dikirimkan menuju Mataram untuk memberitahukan kegagalan dari upaya pengejaran ini. Kemudian setelah mendengar hal itu dengan segera Amangkurat mengambil tindakan untuk memerintahkan agar menghukum mati pemimpin pasukan tersebut, yaitu Wiraguna, beserta seluruh anggota keluargannya, dengan dalih bahwa hukuman tersebut dilakukan karena adanya keinginan Wiraguna untuk dapat menggulingkan kekuasaannya kelak.

(54)

45

pengaduan yang terlalu berlebihan kepada susuhunan, yaitu dituduh telah melarikan diri salah satu selir yang dimilikinya.13

Satu-satunya upaya untuk menguasai Ujung Timur pada tahun 1647 ini mengalami kegagalan, sehingga sesudah itu wilayah Blambangan tetap bebas dari pengaruh Mataram. Pihak Bali menyerang pesisir timur, dan Mataram tidak dapat berbuat apa-apa.

Ketika tahun 1652 M Mataram sedang merencanakan dan membuat persiapan-persiapan perang. Tetapi rencana-rencana itu, sebagaimana juga banyak berita diceritakan oleh berita Belanda, tidak sampai kepada suatu pelaksanaan.14

Untuk menyenangkan Amangkurat I Batavia memesan kuda-kuda terbesar yang terbaik dari Parsi dan juga mengirimkan artileri modern ke istana Mataram. Selain itu, Kompeni juga mengirimkan uang, benda-benda baru yang aneh serta berlian kepada Amangkurat I, dimana dari hadiah yang telah diberikan kepada Mataram tersebut Kompeni menghabiskan biaya kira-kira 60.000 gulden. Selain telah menaikkan permintaannya, Amangkurat I juga berkali-kali menanyakan keadaan Batavia, apakah dalam keadaan damai atau sedang berperang dengan Bali. Sebab Mataram akan minta bantuan sebagaimana adanya perjanjian dengan Kompeni di tahun 1646, sehingga dapat membalaskan

13

Ibid., 513.

14

Bayu Widiyatmoko, Kronik Peralihan Nusantara Liga Raja-raja Hingga Kolonial (Yogyakarta:

(55)

46

(56)

BAB IV

HASIL AKHIR MATARAM DALAM MEMPEREBUTKAN WILAYAH BLAMBANGAN

A. Hasil Ekpsedisi ke Blambangan

Mataram, dalam memperebutkan wilayah Blambangan memang belum bisa sepenuhnya menguasai wilayah tersebut. Ketika pada masa Sultan Agung pada awal penyerangan terhadap Blambangan, mampu menahan serangan Sultan Agung yang terjadi pada tahun 1635 dengan mengirim 30000 orang laskar dan menyerang Puger dan Panarukan, Sultan Agung menawan 5000 orang Blambangan yang kemudian dibawa ke Mataram. Karena bantuan dari Raja Bali, Blambangan secara perlahan dapat bangkit kembali.1 Meskipun pada penyerangan berikutnya wilayah Blambangan memang sempat berhasil ditaklukkan oleh Sultan Agung ini akan tetapi wilayah tersebut bisa bangkit kembali akibat bantuan dari Bali. Setelah Blambangan dapat ditaklukkan Sultan Agung Bali berusaha merebut Wilayah Blambangan, terjadi perebutan antara Bali dengan Mataram berlangsung hingga meninggalnya Sultan Agung tahun 1646 yang kemudian tahtanya diteruskan oleh Amangkurat I.

1

H.J. De Graaf, Puncak Kejayaan Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi sultan Agung (Jakarta:

(57)

48

Pada masa pemerintahan Amangkurat I ini memang ditunjukkan bahwa Amangkurat I telah mengirimkan pasukan ke Blambangan untuk merebut kembali Blambangan dari tangan Bali. Pada saat terjadinya peperangan melawan Blambangan, walaupun angkatan bersenjata Mataram berhasil meguasai ibukota kerajaan, namun pada penyerangan tersebut, sang raja dan para pengikutnya berhasil melarikan diri ke Bali. Pasukan Mataram dengan pimpinan Wiraguna pada saat itu hendak mengejar hingga ke wilayah Bali, akan tetapi karena adanya wabah penyakit mengancam Wiraguna memutuskan untuk kembali. Yang pada akhirnya Amangkurat I ini memerintahkan untuk menghukum mati pimpinan pasukan tersebut yaitu Wiraguna karena mereka gagal dalam perlawanan terhadap Bali.

B. Pasca Ekspedisi Mataram ke Wilayah Blambangan 1. Keadaan Kerajaan Mataram

(58)

49

sehingga Amangkurat mulai melakukan pengawasan yang semakin ketat terhadap daerah pesisir sehingga membangkitkan kembali antagonisme yang mendalam terhadap daerah pesisir dan daerah pedalaman.

Amangkurat I melakukan beberapa tindakan untuk mengatasi hubungan dagang di beberapa daerah pesisir diantaranya, pada tahun 1655 Amangkurat I memerintahkan agar pelabuhan-pelabuhan ditutup seluruhnya. Dalam hal ini para pejabat dikirim untuk mengambil alih kapal-kapal yang besar dan memusnahkan semua kapal kecil. Tampaknya tindakan-tindakan tersebut dimaksudkan untuk mempermudah pengumpulan pajak, tetapi dibalik semua itu terlihat jelas adanya keinginan raja untuk menghancurkan daerah-daerah pesisir apabila dia tidak dapat menguasainya. Kemudian pada tahun 1657 pelabuhan-pelabuhan yang sebelumnya ditutup tiba-tiba dibuka kembali, tetapi pada tahun 1660 dinyatakan tertutup lagi bagi pedagang dan kali ini pos pedagang VOC di Jepara juga ditutup. Penutupan tersebut sebagian merupkan pembalasan atas tindakan VOC yang menghancurkan Palembang pada tahun 1659. Akan tetapi pelabuhan-pelabuhan tersebut dibuka kembali pada tahun 1661.

(59)

50

Munculnya pemberontakan itu salah satunya dikarenakan sikapnya yang kejam, seperti yang telah diceritakan pada saat mengutus Wira Guna untuk menghadapi orang Bali di wilayah Blambangan dan motif sebenarnya merupakan semata-mata untuk balas dendam terhadap Wira Guna. Setelah kejadian tersebut kekejaman Amangkurat juga nampak terhadap keluarganya, dia pernah menyakiti putrinya sendiri, Ratu Brawa, yang disukai oleh putra dari Panambahan Giri Laya dari Cheribon. Juga setelah peristiwa kematian salah seorang dari istri-istrinya yaitu Ratu Pamalang, sang raja juga menghukum enam puluh orang pembantunya ke dalam sebuah ruangan gelap dan tidak memberikan mereka sesuap makanan pun hingga mereka semua meninggal.

Begitu banyak ketidakadilan yang dilakukan oleh Amangkurat I ini semakin menjadi kejam seiring dengan bertambah usianya. Dilihat dari sikapnya yang seperti itu maka wajar jika timbul beberapa pemberontakan dalam menentang Amangkurat I ini.

Pada tahun 1675, pemberontakan benar-benar berkobar ketika orang-orang Makasar menyerang dan membakar pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur sampai ke Tuban.2 Angkatan laut VOC juga berhadapan dengan orang-orang makasar, dan hanya memperoleh kemenangan yang kecil.

Sementara itu pasukan Madura di bawah pimpinan Trunajaya kini memasuki Jawa dan merebut Surabaya. Akibatnya kesetiaan orang pesisir

2

(60)

51

menjadi terpecah belah. Pelabuhan-pelabuhan dari Juwana ke timur tampaknya mendukung pemberontakan tersebut, sedangkan pelabuhan-pelabuhan yang letaknya ke barat tampaknya masih setia kepada Amangkurat I. Kondisi di dalam Istana pun juga kacau balau, perbedaan pendapat juga muncul antara satu pihak mendukung permintaan bantuan kepada VOC dan pihak lainnya yang tampaknya dipenagaruhi oleh Panembahan Giri yang mengajukan usul agar tidak menjalin hubungan dengan orang-orang Kristen. Panembahan Giri berpendapat bahwa Mataram tidak akan pernah sejahtera selama VOC masih tetap berada di Jawa.

Amangkurat I mengalami dilema besar dimana dirinya merasa tidak mampu, baik untuk memindahkan penduduk Makasar maupun untuk menundukkan orang-orang Madura. Akhirnya dalam menghadapi pemberontakan yang semakin meluas Amangkurat I mengambil tindakan untuk mengutus putranya yang bernama Pangeran Pugar untuk menghadap pemerintah Belanda pada tahun 1676 M, dengan membawa serta berbagai macam hadiah, dengan mengharapkan akan adanya bantuan dari mereka.

Kemudian Belanda memberikan bantuan dengan mengirimkan tentara Belanda yang jumlahnya tidak sedikit ke Jepara sebelumnya, dan sang pemimpin Makasar berhasil diusir keluar dari kedudukannya.

(61)

52

pasukan untuk mengikutinya dan pergi bersamanya menuju medan pertempuran. Sebagai usaha terakhirnya Pangeran Purbaya melakukan peperangan yang gigih hingga akhirnya kuda yang ditungganginya itu, mati tertembak di kaki bagian bawah, namun pada pertempuran itu, akhirnya ia berhasil dikalahkan dan tentaranya yang telah tercerai-berai secara terpaksa harus mundur dan kembali lagi ke Mataram.3 Dalam pertempuran tersebut Bangsawan Mataram yang gugur diantaranya yaitu Panji Wirabumi, Kiai Ngabei Wirajaya, Kiai Rangga Sidayu dan Pangeran Purbaya.

Kemudian, secara berturut-turut laskar Trunojoyo berhasil pula dalam menaklukkan Lasem, Rembang, dan Jepara. Namun, karena kota ini dilindungi oleh VOC-Belanda, pasukan Madura keluar dari Jepara. Nampaknya Trunojoyo tidak ingin berperang dengan VOC, dimana hal ini berlaku pula untuk kota Kudus. Selanjutnya, Demak jatuh pada tanggal 11 Desember 1676, dimana kurang lebih 11.000 pasukan Mataram meninggalkan Demak akibat kekurangan pasokan bahan pangan. Lalu pada 24 Oktober 1676, Laskar Madura telah masuk dan membakar kota Semarang. Adipati Semarang Nayacitra melarikan diri, sementara itu, bawahannya Astrayuda, menyebrang ke pihak musuh. Dan menjelang

3

(62)

53

pergantian tahun, sebuah kapal Cirebon memberi tahu bahwa Laskar Madura sudah merebut Pekalongan.4

Pada akhir Februari 1677, VOC menekan persekutuan Wangsadipa yang bertindak atas nama susuhan Amangkurat I. VOC berjanji melindungi Susuhan Amangkurat I dari semua musuh yang tidak terikat perjanjian damai dengan VOC. Sebagai imbalanya atas apa yang dilakukan terhadap Mataram, VOC akan dibebaskan dari pajak lalu lintas barang. Bebas mengimpor dan mengekspor komoditas apapun. Bebas mendirikan pos dagang di manapun, termasuk diberi keleluasaan menggunakan kayu dan tenaga kerja manusia Mataram sebanyak yang dibutuhkan. Sebaliknya Mataram dilarang mengadakan hubungan dagang dengan pihak Makasar, Melayu dan Moor (kaum Muslim non-Indonesia).

Trunojoyo pada bulan April 1677 memberitahukan kepada utusan VOC-Belanda bahwa separuh wilayah Mataram telah ditaklukkan olehnya dan bersiap untuk melakukan penyerangan ke ibukota Mataram di Plered.5

Pasukan Trunojoyo berhasil mengalahkan pasukan Mataram di bawah pimpinan Adipati Anom yang berbalik mendukung ayahnya pada bulan Oktober 1676. Dan kemudian berhasil menyerbu Ibukota Mataram, Plered. Kemudian Amnagkurat I terpaksa melarikan diri dari keratonnya dan berusaha menyingkir ke arah barat, akan tetapi dalam pelariannya kondisi

4

Bayu Widiyatmoko, Kronik Peralihan Nusantara Liga Raja-raja Hingga Kolonial (Yogyakrta: Mata

Padi Pressindo, 2014), 470.

5

(63)

54

kesehatan Amangkurat sendiri sedang menurun. Setelah terdesak ke Banyumas kemudian ke Ajibarang dan Wonoyoso, ia akhirnya meninggal di daerah Tegalwangi (sebelah selatan Tegal). Sesudahnya Susuhan Amangkurat I kemudian juga dikenal dengan julukan Sunan Tegal Arum.

2. Keadaan Wilayah Blambangan

Setelah pengaruh Mataram ketika memperjuangkan wilayah Blambangan eksistensi keberagamaan Hindu di Blambangan pun berubah. Sejak saat itu, perlahan-lahan Islam mulai diimani oleh sebagian masyarakat Blambangan dan juga agama Nasrani yang diperkenalkan oleh Belanda.

Pada masa Kesultanan Mataram, penguasa Blambangan kembali menyatakan diri sebagai wilayah yang merdeka. Usaha para penguasa Mataram dalam menundukkan Blambangan mengalami kegagalan. Hal ini mengakibatkan kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk ke dalam budaya Jawa Tengahan. Maka dari itu, sampai sekarang ini kawasan Banyuwangi memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh Bali-lah yang lebih menonjol pada berbagai bentuk kesenian dari wilayah Blambangan.6

Atas ketidakberhasilan Amangkurat I untuk menguasai wilayah Blambangan salah satu faktornya mungkin saja karena pada masa tersebut

6

Winarsih Partaningrat Arifin, Babad Blambangan (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995),

(64)

55

Blambangan yang dibawah pemerintahan Tawang Alun yang cukup gigih untuk mempertahankan wilayahnya. Banyak diceritakan pemerintahan Blambangan pada masa pemerintahan Tawang Alun maju dengan pesat. Kerajaan Blambangan pada masa ini selain mampu membangun kembali kekuasaan, dan kejayaannya setelah kekalahannya dalam perang paregreg juga dapat membendung serangan dari kerajaan Demak dan kerajaan Mataram. Wilayah kekuasaan Blambangan meluas hingga mencakup wilayah Jember, Situbondo, Lumajang. Tawang Alun ini berusaha sangat keras untuk keluar dan melepaskan diri dari pengaruh Mataram.

Dari beberapa sumber menyebutkan bahwa pada masa kekuasan Prabu Tawang Alun II pada tahun 1655 sampai dengan tahun 1692 bahwa Blambangan ini telah mencapai kemakmuran dan kewibawaan yang luar biasa. Kerajaan Blambangan dalam mempertahankan eksistensinya mampu bergerak dengan mobilitas yang sangat tinggi. Terbukti kerajaan Blambangan telah memindahkan ibukota kerajaan sampai enam kali. Diantaranya yaitu Lumajang, Panarukan, Kedawung (Jember), Macan Putih, Ulupampang, Lateng (Banyuwangi). 7

Pada masa Tawang Alun II berhasil meningkatkan pertanian, ekspor Blambangan meliputi sarang burung, beras, dan juga hasil hutan.

Sejak setelah ekspedisi ke Blambangan memang terlihat tidak adanya hubungan baik antara Mataram dengan Bali. Sekalipun tiada lagi tentara

7

(65)

<

Referensi

Dokumen terkait