BAB I PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Proses globalisasi membawa akibat tolok ukur utama hubungan antar
bangsa atau negara tidak lagi ideologi, melainkan ekonomi yakni keuntungan atau
hasil nyata apa yang dapat diperoleh dari adanya hubungan tersebut. Pengaruh
luar dapat cepat sekali masuk ke Indonesia sebagai implikasi terciptanya sistem
ekonomi yang terbuka. Aspek dari sistem ekonomi adalah masalah produk yang
pemasarannya tidak lagi terbatas pada satu negara melainkan juga mengglobal.
Hal ini menuntut standar kualitas dan persaingan yang fair, serta terhindarnya
produk industri palsu, berdasarkan pada kesepakatan-kesepakatan dunia
internasional.
Keberadaan Hak Kekayaan Intelektual dalam hubungan antar manusia dan
antar negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. Hak Kekayaan
Intelektual juga merupakan sesuatu yang industri kebudayaan dalam sebuah
masyarakat. Keberadaannya senantiasa mengikuti dinamika perkembangan
masyarakat itu sendiri. Begitu pula halnya dengan masyarakat dan bangsa
Indonesia yang mau tidak mau harus bersinggungan dan terlibat langsung dengan
masalah Hak Kekayaan Intelektual.
Hak dalam Hak Kekayaan Intelektual merupakan Hak Ekonomi (economic
rights). Hak Ekonomi adalah hak untuk memperoleh keuntungan ekonomi atas
adalah benda yang dapat dinilai dengan uang. Hak Ekonomi tersebut berupa
keuntungan sejumlah uang yang diperoleh karena penggunaan oleh pihak lain
berdasarkan lisensi. Hak Ekonomi itu diperhitungkan karena Hak Kekayaan
Intelektual dapat digunakan/dimanfaatkan oleh pihak lain dalam perindustrian
atau perdagangan yang mendatangkan keuntungan. Dengan kata lain, Hak
Kekayaan Intelektual adalah objek perdagangan.1
Folklore (kesenian tradisional) sebagai warisan budaya bangsa dilihat
sebagai bentuk pengetahuan tradisional (traditional knowledge) dan ekspresi
kebudayaan tradisional (traditional cultural expression) dari masyarakat lokal
Indonesia, baik dalam bentuk teknologi berbasis tradisi maupun ekspresi
kebudayaan seperti seni musik, tari, seni lukis atau seni rupa lainnya, arsitektur,
tenun, batik, cerita, dan legenda. Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya,
pengetahuan tradisional dan ekspresi kebudayaan adalah bagian integral dari
kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan. Beberapa peristiwa penting
dalam kehidupan manusia di dalam kelompok masyarakat tertentu, seringkali
ditandai dengan ekspresi seni, baik yang mengandung dimensi sakral maupun
profan.
Perlindungan terhadap hak masyarakat atas kekayaan budaya tradisional
disadari penting oleh pemerintah. Kewajiban ini menjadi salah satu kewajiban
konstitusional negara sesuai yang tercantum dalam Amandemen Undang-Undang
Dasar NKRI Tahun 1945. Di mana negara menghormati kebudayaan tradisional
dari masyarakat adat sebagai bagian dari kebudayaan nasional Indonesia di tengah
1
peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya. Selanjutnya dalam Pasal 18 B ayat (2)
Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa :
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.2
Pasal 28 (i) ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa :
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.3
Berdasarkan Pasal tersebut di atas, maka folklore merupakan sebuah
bentuk identitas budaya dan di dalamnya terdapat hak masyarakat tradisional,
untuk itu perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional perlu dilakukan guna
menghormati dan melindungi hak masyarakat tradisional. Hal ini juga termaktub
di dalam Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa:
“Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah beradaban
dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dalam mengembangkan nilai-nilai budayanya”.4
Indonesia sebagai salah satu negara yang terdiri dari berbagai macam suku
dan sangat kaya akan keragaman tradisi dan budaya, tentunya memiliki
kepentingan tersendiri dalam perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual
masyarakat asli tradisional. Akan tetapi karena perlindungan hukum terhadap
kekayaan intelektual masyarakat asli tradisional masih lemah, potensi yang
2
Lihat Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945. 3
Lihat Pasal 28 (i) ayat 3 Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945 4
dimiliki oleh Indonesia tersebut justru seringkali dimanfaatkan oleh pihak asing
secara tidak sah. Seperti salah satu contoh kasus yang telah terjadi dan pernah
heboh adalah kasus di mana Malaysia menjadikan lagu yang berirama sama persis
dengan 'Rasa Sayange' sebagai "jingle" promosi pariwisata negeri jiran itu. Meski
syair lagunya tidak sama, 'Rasa Sayange' versi Malaysia yang berjudul 'Rasa
Sayang Hey' itu memiliki notasi dan irama yang hampir sama persis dengan lagu
'Rasa Sayange' yang lebih dahulu ada di Indonesia. Malaysia juga mengklaim
Tarian Reog Ponorogo sebagai warisan budaya mereka. Selain itu juga berencana
mematenkan Tari Tortor dan alat musik Gondang Sembilan dari Mandailing
sebagai kebudayaan.
Salah satu isu yang menarik dalam hak kekayaan intelektual (HKI) adalah
perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh
masyarakat asli atau masyarakat tradisional. Kekayaan intelektual yang dihasilkan
oleh masyarakat asli tradisional ini mencakup banyak hal mulai dari sistem
pengetahuan tradisional ini mencakup banyak hal mulai dari sistem pengetahuan
tradisional (traditional knowledge), karya-karya seni, hingga apa yang dikenal
sebagai indigenous science and technology. Berdasarkan hal tersebut, mengingat
begitu pentingnya perlindungan terhadap aset-aset budaya terutama mengenai
Folklore (Kesenian Tradisional) Indonesia, baik secara nasional maupun
internasional, maka penulis memilih judul: ”Perlindungan Hukum Terhadap Folklore Dalam Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia dan Hukum
B. Latar Belakang Masalah
Kebudayaan (seni dan budaya) semakin disadari sebagai sebuah fenomena
kehidupan manusia yang paling progresif, baik dalam hal pertemuan dan
pergerakan manusia secara fisik ataupun ide/gagasan serta pengaruhnya dalam
bidang ekonomi. Karenanya banyak negara yang kini menjadikan kebudayaan
(komersial atau non komersial) sebagai bagian utama strategi pembangunannya.
Selanjutnya, dalam jangka panjang akan terbentuk sebuah sistem industri budaya.
Dimana kebudayaan bertindak sebagai faktor utama pembentukan pola hidup,
sekaligus mewakili citra sebuah komunitas. Di Indonesia, poros-poros seni dan
budaya seperti Jakarta, Bandung, Jogja, Denpasar (Bali) telah menyadari hal ini
dan mulai membangun sistem industri budayanya masing-masing. Meski dalam
beberapa kasus, industri budaya lebih merupakan ekspansi daripada pengenalan
kebudayaan, tetapi dalam beberapa pengalaman utama, industri budaya justru
merangsang kehidupan masyarakat pendukungnya.
Hak Kekayaan Intelektual adalah padanan kata yang digunakan untuk
Intellectual Property Rights, yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang
menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Dalam
Perjanjian TRIPs, HAKI didefinisikan sebagai “the right [of Creators] to prevent
others from using their inventions, designs, or other creations”.5
Pada intinya Hak Kekayaan Intelektual adalah hak untuk menikmati secara
ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam Hak
Kekayaan Intelektual adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena
5
kemampuan intelektual manusia. Hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari
suatu kreativitas intelektual muncul dari hak eksklusif yang diberikan negara
kepada individu pelaku Hak Kekayaan Intelektual (inventor, pencipta, pendesain
dan sebagainya) tiada lain dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya
(kreativitasnya) dan agar orang lain terpacu untuk dapat lebih lanjut
mengembangkannya lagi.6
Hak Kekayaan Intelektual pada hakikatnya merupakan suatu hak dengan
karakteristik khusus dan istimewa, karena hak tersebut diberikan oleh negara.
Negara berdasarkan ketentuan Undang-undang, memberikan hak khusus tersebut
kepada yang berhak sesuai dengan prosedur dan syarat-syarat yang harus
dipenuhi.7 Hak kekayaan di sini menyangkut pengertian “pemilikan” (ownership) yang menyangkut lembaga sosial dan hukum, keduanya selalu terkait dengan
“pemilik” (owner) dan sesuatu benda yang dimiliki (something owned). Secara
luas konsep “kepemilikan” dan “kekayaan” apabiladikaitkan dengan “hak”, maka
ditinjau dari segi hukum, dikenal hak yang menyangkut kepemilikan dan hak yang
menyangkut kebendaan. Pada dasarnya hak kebendaan meliputi juga hak
kepemilikan karena kepemilikan senantiasa berhubungan dengan benda tertentu
baik secara materiil maupun immaterial. Menurut W.R. Cornish, “hak milik
intelektual melindungi pemakaian idea dan informasi yang mempunyai nilai
6
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, Tangerang: Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2006, hal. 3.
7
Sentosa Sembiring, Hak Kekayaan Intelektual dalam Berbagai Perundangan-undangan
komersiil atau nilai ekonomi”.8 Pemilikannya tidak berupa hasil kemampuan
intelektual manusianya yang baru berupa idea tertentu. Hak milik intelektual ini
baru ada, bila kemampuan intelektual manusia itu telah membentuk sesuatu yang
dapat dilihat, didengar, dibaca, maupun digunakan secara praktis.
Pemakaian istilah folklore untuk kebudayaan tradisional pada awalnya
dipandang oleh sebagian orang memiliki konotasi negatif, menggambarkan
sesuatu kreasi yang rendah. Guna menghilangkan citra negatif tersebut diperlukan
suatu pengertian yang tepat. Maka dari itu, dikembangkan suatu pengertian
folklore yang baru sebagai hasil elaborasi dan resultante dari beberapa pengertian
yang berkembang sehingga pengertiannya dapat diterima luas dan pantas sesuai
dengan maksudnya serta relevan dengan perjanjian internasional. Dengan harapan
seperti itu maka folklore mengandung pengertian tidak semata terfokus pada hal
artistik kesusasteraan serta seni pertunjukan, namun sangat luas cakupannya
meliputi semua aspek kebudayaan. Terminologi folklore sendiri juga dipisahkan
dari tradisional knowledge oleh WIPO (The World Intellectual Property
Organization) dan UNESCO (The United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization), yaitu sebagai berikut:
“… expression of folklore means productions consisting of characteristic elements of the traditional artistic heritage developed and maintain by a community of (a country) or by individuals reflecting the traditional artistic expectations of such a community, in particular: verbal expressions, such a s folk tales, folk poetry and riddles; musical expressions, such as folk songs and instrumenta l music; expressions by action, such asfolk dances, plays and artistic forms or rituals; whether or not reduced to material form; and tangible expressions, such as: productions of folk art, in particular, dra wings, paintings carvings,
8
sculptures, pottery, terracotta, mosaic, woodwork, metalware, jewellery, basket weaving, needlework, textiles, ca rpets, costumes; musical instruments; architectural forms”.9
Di dalam hukum internasional perlindungan hak kekayaan intelektual atas
folklore diatur di dalam TRIPs (Agreement on Trade Related Aspect of
Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods) dan kemudian
diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). TRIPs sebagai lampiran WTO
(World Trade Organization) Agreement merupakan dokumen yang mengikat
Indonesia. Berdasarkan hukum internasional, persetujuan internasional yang telah
diratifikasi merupakan hukum nasional bagi Negara itu sendiri.10 Selain TRIPs,
UNESCO dan WIPO telah melaksanakan berbagai usaha untuk pengaturan
folklore. Atas prakarsa kedua organisasi internasional ini, pada tahun 1976
pengaturan folklore telah dimuat juga di dalam Tunis ModelLa w on Copyright for
Developing Countries. WIPO pada tahun 1982 telah juga mengaturnya dalam
model Provisions for National La ws on the Protection of Expressions of Folklore
against Illicit Exploitation and Other Prejudical Actions.11 Konferensi
Internasional mengenai Hak Budaya dan Hak Kekayaan Intelektual dari Penduduk
Asli yang diadakan pada tahun 1993 di Mataatua Selandia Baru berhasil
mengeluarkan Deklarasi Mataatua, yang pada intinya menyatakan bahwa :12
9
Tim Lindsey, dkk, Hak Kekayaan Intelektual (Suatu Pengantar), Bandung : PT. Alumni, 2006, hal. 276.
10
Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung: PT Alumni, 2005, hal. 17.
11
Tim Lindsey, dkk, Op.cit, hal. 276-277. 12
a. Hak untuk melindungi pengetahuan tradisional adalah sebagian dari hak menentukan nasib sendiri;
b. Masyarakat tradisional seharusnya menentukan untuk dirinya sendiri apa yang merupakan kekayaan intelektual dan budaya mereka;
b. Mekanisme perlindungan kekayaan tradisional kurang memadai; c. Kode etik harus dikembangkan yang harus ditaati user asing apabila
melakukan observasi dan pencatatan-pencatatan pengetahuan tradisional dan adat;
d. Sebuah lembaga harus dibentuk untuk melestarikan budaya dan memantau komersialisasi karya-karya dan pengetahuan ini, untuk memberi usulan kepada penduduk asli mengenai bagaimana mereka dapat melindungi sejarah budayanya dan untuk berunding dengan pemerintah mengenai undang-undang yang berdampak atas hak tradisional;
b. Sebuah sistem tambahan mengenai hak budaya dan kekayaan intelektual harus dibentuk yang mengakui;
c. Kepemilikan berkelompok yang berlaku surut berdasarkan asal-usul dari karya-karya bersejarah dan kontemporer;
d. Perlindungan terhadap pelecehan dari benda budaya yang penting; e. Kerangka yang mementingkan kerja sama dibandingkan yang bersifat
bersaing; dan
f. Yang paling berhak adalah keturunan dari pemelihara pengetahuan tradisional.
Selain dengan diterbitkannya model hukum dan peraturan untuk
melindungi folklore ini, juga telah diselenggarakan oleh UNESCO/WIPO suatu
pertemuan di Phuket, Thailand, dari 8 to 10 April 1997 berupa forum dunia, yaitu
World Forum on the Protection of Folklore.
Sedangkan dalam ranah hukum nasional, hak kekayaan intelektual telah
diatur dengan berbagai peraturan perundang-undangan sesuai dengan tuntutan
TRIPs, yaitu UU No. 29 Tahun 2000 (Perlindungan Varietas Tanaman), UU No.
30 Tahun 2000 (Rahasia Dagang), UU No. 31 Tahun 2000 (Desain Industri), UU
No. 32 Tahun 2000 (Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu), UU No. 14 Tahun 2001
(Paten), UU No. 15 Tahun 2001 (Merek), dan UU No. 19 Tahun 2002 (Hak
pelestariannya di Indonesia sudah dimulai sejak diterbitkannya Undang-undang
Hak Cipta. Kepemilikan atas Folklore ini atau pemegang Hak Ciptanya menurut
ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta:
“Negara memegang Hak Cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian kaligrafi, dan karya seni lainnya”.13
Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta, Negara memegang Hak Cipta terhadap karya peninggalan prasejarah,
sejarah, dan benda budaya nasional lainnya, folklor dan hasil kebudayaan rakyat
yang menjadi milik bersama. Di samping itu, negara juga seyogyanya
berkewajiban untuk memelihara dan melindunginya dari gangguan pihak lain.
Dalam rangka melindungi folklore dan hasil kebudayaan rakyat lain, Pemerintah
dapat mencegah adanya monopoli ataupun komersialisasi serta tindakan yang
merusak atau pemanfaatan komersialisasi serta tindakan yang merusak atau
pemanfaatan komersil tanpa seizin Negara Republik Indonesia sebagai Pemegang
Hak Cipta. Jadi apabila pihak asing memanfaatkan karya budaya/pengetahuan
tradisionalnya tanpa mengindahkan kepentingan Indonesia atau masyarakat
tradisional, negara harus mempertahankannya dan menggugatnya.14
Seperti contoh kasus di mana Malaysia menjadikan lagu yang berirama
sama persis dengan 'Rasa Sayange' sebagai "jingle" lagu Truly Asia untuk
promosi pariwisata negeri jiran itu. Meski syair lagunya tidak sama, 'Rasa
13
Lihat Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. 14
Sayange' versi Malaysia yang berjudul 'Rasa Sayang Hey' itu memiliki notasi dan
irama yang hampir sama persis dengan lagu 'Rasa Sayange' yang lebih dahulu ada
di Indonesia. Malaysia juga mengklaim Tarian Reog Ponorogo sebagai warisan
budaya mereka. Reog Malaysia yang muncul di website Kementerian
Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Malaysia dengan alamat situs
http://www.heritage.gov.my itu terdapat banyak kemiripan dengan reog
Ponorogo.15 Selain itu Kantor berita Malaysia, Bernama, pada tanggal 15 Juni
2012, melansir berita bahwa Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan
Datuk Seri Rais Yatim berencana mendaftarkan Tari Tortor dan alat musik
Gondang Sembilan dari Mandailing dalam Seksyen 67 Akta Warisan Kebangsaan
2005.16 Kasus-kasus tersebut bisa dijadikan pelajaran bagi Pemerintah Indonesia
dalam rangka melindungi folklore dan hasil kebudayaan rakyat, untuk segera
mematenkan hasil-hasil kebudayannya.
Sebagai anggota World Trade Organization (WTO), maka Indonesia
harus menyesuaikan semua ketentuan Hak Kekayaan Intelektual yang ada dengan
ketentuan TRIPS, dengan catatan bahwa dalam hal ini harus sejauh mungkin
diupayakan agar penerapan dan implementasi ketentuan TRIPS tersebut tidak
merugikan kepentingan Indonesia. Namun, karena sistem hukum Indonesia
menganut Civil La w system, ada perbedaan dengan negara yang sistem hukumnya
menganut Common La w system. Salah satu ciri negara-negara yang menganut
15
Antara News, Reog Malaysia Asli Buatan Indonesia, http://www.antaranews.com/view/?i=1195762369&c=SBH&s=, diakses pada tanggal 01 November 2011.
16
Civil La w system biasanya membuat peraturan yang detail karena hukum harus
tertulis dan ada pemisahan secara tegas dan jelas antara hukum publik dengan
hukum privat Sedangkan negara yang Common La w system didominasi oleh
hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan melalui putusan hakim dan tidak ada
pemisahan yang tegas dan jelas antara hukum publik dan privat. Selain itu, hukum
internasional belum mempunyai aturan tegas mengenai folklore. Hal ini tidak
terlepas dari kenyataan bahwa Hak Kekayaan Intelektual pada awalnya
didominasi negara-negara industri Eropa dan Amerika Utara yang lebih
memprioritaskan pada hak cipta dan hak industrial.17 Hal inilah tentunya yang
akan menjadikan perbedaan dalam pengaturan pengaturan Hak Kekayaan
Intelektual atas folklore (kesenian tradisional) dalam hukum nasional dan
internasional. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji
secara mendalam melalui analisa ilmu hukum mengenai perlindungan hukum
terhadap folklore (kesenian tradisional) dalam hukum Hak Kekayaan Intelektual
nasional dan hukum Hak Kekayaan Intelektual internasional.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap folkfore dalam hukum Hak
Kekayaan Intelektual Indonesia?
17
2. Bagaimana perlindungan terhadap folkfore dalam hukum Hak Kekayaan
Intelektual internasional ?
3. Apakah Hukum Hak Kekayaan Intelektual sudah memberikan
perlindungan yang memadai atas folklore Indonesia?
D. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui perlindungan hukum terhadap folkfore dalam hukum Hak
Kekayaan Intelektual nasional.
2. Mengetahui perlindungan hukum terhadap folkfore dalam hukum Hak
Kekayaan Intelektual internasional.
3. Mengetahui apakah Hukum Hak Kekayaan Intelektual sudah memberikan
perlindungan yang memadai atas folklore Indonesia
E. Manfaat Penelitian
Penulisan penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah masukan bagi perkembangan
ilmu pengetahuan hukum, khususnya mengenai perlindungan terhadap
folkfore dalam hukum Hak Kekayaan Intelektual nasional dan hukum Hak
Kekayaan Intelektual internasional.
2. Secara Praktis
Untuk menambah pengetahuan dan wawasan akademisi di bidang ilmu
F. Metode Penelitian
Metode adalah suatu teknik/cara/usaha/jalan yang dirancang sedemikian
rupa dan dipakai dalam proses memperoleh pengetahuan.18 Dengan metode yang
tepat akan diperoleh hasil yang representatif sehingga penelitan yang dilakukan
dapat menjawab rumusan masalah dan memenuhi tujuan penelitian yang
dirumuskan, meliputi:
1. Jenis Pendekatan
Metode penelitian yang digunakan adalah hukum normatif. Penelitian
hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.19 Dalam
penelitian ini, penelitian hukum normatif digunakan untuk menjelaskan
perlindungan hukum terhadap folkfore dalam hukum Hak Kekayaan Intelektual
nasional dan hukum internasional. Maka untuk menjawab isu hukum dalam
penelitian, penulis akan menggunakan dua pendekatan:
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach).
Pendekatan perundang-undangan diperlukan karena yang menjadi fokus
sekaligus tema sentral penelitian ini yaitu perlindungan hukum terhadap
folkfore dalam hukum Hak Kekayaan Intelektual nasional dan hukum
internasional. Untuk itu peneliti harus melihat hukum sebagai sistem
tertutup yang mempunyai sifat-sifat: comprehensive, all-inclusive,
systematic.20 Selain itu dalam metode pendekatan perundang-undangan,
18
Lasiyo Yuwono, Pengantar Ilmu Filsafat, Yogyakarta: Liberty, 1982, hal.24. 19
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu Media, 2011, hal. 57.
20
peneliti perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan
perundang-undangan.21 Dengan demikian, pendekatan perundang-undangan dalam
penelitian ini merupakan legislasi dan regulasi mengenai pengaturan folkfore
nasional dan internasional.
b. Pendekatan konsep (conseptual approach)
Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari
aturan hukum yang ada.22 Dalam penelitian ini, maka penulis akan menggali
konsep perlindungan hukum terhadap folkfore dalam hukum Hak Kekayaan
Intelektual nasional dan hukum internasional. Meskipun tidak secara
eksplisit, konsep hukum dapat juga diketemukan di dalam undang-undang.23
Jadi konsep-konsep hukum tersebut akan dijadikan penulis sebagai pijakan
dalam membangun argumen-argumen hukum dalam memecahkan isu
mengenai perlindungan hukum terhadap folkfore dalam hukum Hak
Kekayaan Intelektual nasional dan hukum internasional.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif. Deskripsi atau pemaparan merupakan kegiatan menentukan isi aturan
hukum setepat mungkin, sehingga kegiatan mendeskripsikan tersebut dengan
sendirinya mengandung kegiatan interprestasi.24 Maksud dari digunakannya tipe
penulisan ini kurang lebih adalah agar dapat memberikan data yang seteliti
21
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 96.
22
Ibid, hal 137. 23
Ibid, hal 138. 24
mungkin dan kemudian mempertegas teori-teori, sehingga dapat membantu
memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka menyusun teori -teori baru.25
Dalam penelitian ini yang diinterprestasikan yaitu mengenai perlindungan hukum
terhadap folkfore dalam hukum Hak Kekayaan Intelektual nasional dan hukum
internasional.
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini yaitu bahan primer yang meliputi
peraturan perundang-undangan yang relevan dengan isu hukum penelitian ini. Di
samping bahan hukum primer, sumber penelitian lainnya adalah bahan hukum
sekunder, misalnya: publikasi ilmiah dari pakar-pakar di bidang Hukum Hak
Kekayaan Intelektual Nasional dan Hukum Internasional yang dapat ditemukan
dalam buku-buku teks, opini koran, jurnal, juga terbitan berkala. Berikut rincian
bahan hukum primer dan sekunder yang digunakan:
a. Bahan Hukum Primer:
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-Undang No 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya.
3. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
5. Keputusan Presiden RI No. 15 Tahun 1997 Tentang Pengesahan
Organisasi WIPO (WIPO Copyright Treaty).
6. Keputusan Presiden RI No. 18 tahun 1997 Tentang pengesahan Konvensi
Bern (Bern Convention of The Protection ofLiterary and Artistic Works).
25
7. Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works
8. TRIPs (Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property
Rights, including Trade in Counterfeit Goods).
9. Tunis Model Law on Copyright for Developing Countries.
10.Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore
against Illicit Exploitation and Other Prejudical Actions 1982.
11.Deklarasi Mataatua.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah publikasi ilmiah dari
pakar-pakar di bidang Hak Kekayaan Intelektual.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode yang pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah melalui
studi kepustakaan yang dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisa
bahan-bahan tertulis seperti perundang-undangan (baik nasional maupun
internasional), karya ilmiah dari pakar-pakar dan buku-buku literatur yang
berkaitan dengan penelitian.
5. Metode Penyajian Data
Metode penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
deskriptif yaitu setelah mendapatkan berbagai data dan informasi dari sumber data
yang ada maka data tersebut akan disajikan dalam bentuk uraian keterangan
mengenai perlindungan hukum terhadap folkfore dalam hukum Hak Kekayaan
Intelektual nasional dan hukum internasional.
Analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yaitu
suatu metode analisis yang dilakukan dengan cara mengumpulkan semua bahan
yang diperoleh, ditelaah dan dianalisa berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan teori yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Pendekatan
kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data
deskriptif-analitis, yaitu apa yang dinyatakan secara tertulis atau lisan dan perilaku nyata.
Dengan demikian seorang peneliti terutama bertujuan untuk mengerti atau
memahami gejala yang ditelitinya.26 Selanjutnya penulis akan menyimpulkan dan
memberikan saran berkaitan dengan isu penelitian yang dikaji oleh penulis.
26