• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARKINSONISME | Karya Tulis Ilmiah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PARKINSONISME | Karya Tulis Ilmiah"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB XXI

PARKINSONISME

TUJUAN BELAJAR TUJUAN KOGNITIF

Setelah membaca bab ini dengan seksama, maka anda sudah akan dapat: 1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Parkinson.

1.1.Menjelaskan tentang Parkinson.

1.2.Menjelaskan dengan kata-kata sendiri mengenai pentingnya memahami Parkinson.

2. Mengetahui bagaimana pendekatan pelayanan kesehatan pada pasien geriatri.

2.1.Menjelaskan cara pendekatan pelayanan kesehatan dalam bidang Parkinson dan sosial budaya yang biasa digunakan pada pasien geriatri.

3. Menjelaskan cara terapi baik farmakologis maupun non farmakologis pada kelainan neurologis.

TUJUAN AFEKTIF

Setelah membaca bab ini dengan penuh perhatian, maka penulis mengharapkan anda akan dapat:

1. Menunjukkan perhatian akan kesehatan neurologis lanjut usia. 1.1.Membaca lebih lanjut mengenai neurologis geriatri.

1.2.Membimbing keluarga pasien bagaimana cara menghadapi lanjut usia dengan kelainan neurologis.

1.3.Mengusulkan cara pengobatan yang memadai.

(2)

I. PENDAHULUAN

Dengan meningkatnya kemajuan di berbagai bidang terutama di bidang ekonomi, angka harapan hidup manusia Indonesia meningkat pula sampai saat ini telah melampaui 60 tahun. Keadaan ini berakibat pada perubahan pola penyakit yang kita jumpai pada masyarakat. Penyakit atau kelainan seperti Demensia, Stroke, Parkinson menjadi lebih sering kita hadapi.

Yang diinginkan bagi seorang lanjut usia tentunya proses menua yang sukses, antara lain mencakup:

1.

Dapat tetap berdikari.

2.

Sehat mental dan mampu mempertahankan harga diri.

3.

Hambatan fisik yang minimal dan mampu diatasinya.

4.

Puas dengan keadaan dan hidupnya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dicegah timbulnya penyakit sejak dini, termasuk salah satunya adalah penyakit Parkinson. Dan untuk mencegahnya, kita harus mengetahui terlebih dahulu mengenai penyakit tersebut.

Penyakit Parkinson atau lebih tepat disebut sebagai sindrom Parkinson, yang dijumpai pada semua bangsa. Kebanyakan para penderita mulai dilanda penyakit ini pada usia antara 40 – 60 tahun, dengan perbandingan laki-laki dan wanita 5 : 4. Sekitar 1% dari kelompok usia di atas 50 tahun dan sekitar 2% dari mereka yang berusia di atas 70 tahun. Penyakit Parkinson atau sindrom Parkinson mencakup berbagai kondisi dengan beragam etiologi dengan gejala klinis yang serupa atau hampir serupa. Johnson dkk. mengemukakan bahwa diagnosis klinis penyakit Parkinson dapat ditegakkan bila dijumpai sekurang-kurangnya 2 dari 4 gejala berikut, yaitu: tremor, rigiditas, bradikinesia, dan instabilitas postural.

.

I.1. Anatomi

Gejala-gejala Parkinson tidak terlepas dari hubungannya dengan sirkuit ekstrapiramidal. Sirkuit ekstrapiramidal adalah sirkuit intraserebral yang mengatur gerakan tangkas volunter.

Sirkuit ini disusun oleh : 1. Korteks cerebri (4,6 dan 8).

2. Ganglia basalis yang terdiri dari nukleus caudatus, putamen, globus palidus, substansia nigra, nukleus ventrolateralis talami, nukleus subtalamikus. 3. Nukleus rubber.

4. Formatio retikularis batang otak. 5. Serebelum dan intinya.

6. Nukleus vestibularis lateralis.

Pada Parkinsonisme, bagian otak yang terganggu adalah ganglia basalis. Ganglia basalis merupakan suatu sistem untuk mengubah suatu output motorik, dimana daerah tersebut menerima input dari daerah-daerah motorik dan mengembalikannya sebagai output ke daerah motorik kortikal melalui talamus. Korteks striatum yang dihubungkan oleh neuron-neuron substansia nigra sebagian

terdiri dari neuron-neuron dopaminergik dan kolinergik. Diantara neuron-neuron tersebut didapatkan keseimbangan yang dinamik. Jika neuron dopaminergik itu tidak mendapat suplai dopamin dari substansia nigra maka neuron akan kehilangan fungsinya sehingga komponen kolinergik akan lebih berperan.

(3)

“pemicu” dalam hal ini adalah asetilkolin beserta glutamat dan neurotransmiter “penghambat” yaitu dopamin dan GABA (Gama Amino Butiric Acid). Pada Parkinsonisme, neuron-neuron pembentuk dopamin pada ganglia basalis (substansia nigra) mengalami kerusakan sehingga tidak dapat mengirimkan akson-akson ke korpus striatum dan mengakibatkan defisiensi dopamin di korpus striatum.

Berkurangnya transmisi dopaminergik pada lintasan nigrostriatal mungkin diakibatkan oleh :

 Deplesi dopamin pada striatal yang terjadi pada Parkinsonisme idiopatik, pasca ensefalitis atau karena obat-obatan (reserpin, tetrabenosin).

 Blokade pada reseptor dopamin di striatal seperti misalnya pada Parkinsonisme akibat fenotiazin, butirophenon.

Sebagai akibat berkurangnya dopamin, maka talamus menyalurkan impulsnya secara tidak terkendali ke korteks pre motorik dan motorik sehingga pada penderita timbul gejala-gejala gangguan ekstrapiramidal berupa tremor, rigiditas, bradikinesia dan gangguan postural. Gejala-gejala ini timbul bila sudah lebih dari 50% sel substansia nigra dopaminergik telah rusak. Pada Parkinsonisme kehilangan tenaga otot yang dominan dan tidak terdapat kehilangan sensibilitas.

I.2. Klasifikasi

Umumnya diagnosis sindrom Parkinson mudah ditegakkan, namun harus diusahakan menentukan jenisnya agar didapat gambaran mengenai etiologi, prognosis serta penatalaksanaannya.

Parkinson dapat dibagi atas 3 bagian besar, yaitu:

1.

Primer atau Idiopatis (disebut juga sebagai Paralisis Agitans).

2.

Sekunder atau Simptomatik.

3.

Parkinson Plus (disebut juga sebagai “ParaParkinson”).

I.2.1 Parkinson Primer / Idiopatis / Paralisis Agitans

Parkinson Primer/Idiopatis merupakan suatu kelainan yang progresif secara gradual dan didapatkan gerakan volunter yang lamban dan miskin disertai tremor dan rigiditas. Pada pemeriksaan patologi, di bagian mesensefalon tidak dijumpai melanin di daerah substansia nigra. Pemeriksaan mikroskopis menunjukkan hilangnya neuron di zona compacta. Neuron yang masih hidup tampak abnormal dan mengandung inklusi hialin intrasitoplasmik (Lewy bodies).

Etiologi

Etiologi Parkinson primer atau Paralisis Agitans hingga kini belum jelas. Terdapat berbagai dugaan (hipotesis), diantaranya: infeksi oleh virus yang non-konvesional (belum diketahui), reaksi yang abnormal terhadap virus yang sudah umum, pemaparan terhadap zat toksik yang belum diketahui, terjadinya penuaan yang prematur atau dipercepat. Walaupun saat ini hanya neurotoksin MPTP (1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-tetrahydropyridine) yang dapat diidentifikasi menyebabkan timbulnya Parkinson dalam waktu 14 hari dan faktor lainnya dari lingkungan seperti penggunaan pestisida dan herbisida dikaitkan dengan

(4)

peningkatan risiko mendapat penyakit ini. Faktor genetik juga diduga berperan terjadinya Parkinson. Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan peningkatan risiko (2-3x) timbulnya penyakit Parkinson pada keluarga derajat satu dari pasien Parkinson. Di samping itu telah diidentifikasi mutasi di gen alfa-synuclein pada kromosom 4 pada keluarga dengan Parkinson yang autosomal dominan, dan gen parkin di kromosom 6 yang autosomal resesif. Terdapat dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme degenerasi neuronal pada penyakit Parkinson yaitu: hipotesis radikal bebas dan hipotesis neurotoksin.

Hipotesis Radikal Bebas

Diduga bahwa oksidasi enzimatik dari dopamin dapat merusak neuron nigrostriatal, karena proses ini menghasilkan hidrogen peroksida dan radikal oksida lainnya. Walaupun ada mekanisme pelindung untuk mencegah kerusakan dari stress oksidatif, namun pada lanjut usia mungkin mekanisme ini gagal.

Hipotesis Neurotoksin

Diduga bahwa satu zat neurotoksin atau lebih berperan dalam proses neurodegenerasi pada Parkinson. Sebagai contoh dikemukakan kemampuan zat MPTP (1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-tetrahydropyridine) atau sejenis toksin MPTP yang secara selektif toksik terhadap substansia nigra dan lokus ceruleus serta mencetus sindrom yang serupa dengan Parkinson pada manusia.

I.2.2 Parkinson Sekunder / Simptomatik

Beragam kelainan atau penyakit yang dapat menyebabkan Parkinson sekunder diantaranya: aterosklerosis, iskemi otak, obat-obatan (fenotiazin, butirofenon, obat-obatan golongan anti psikotik misalnya: haloperidol, fluphenazine, klorpromazin, anti emetik misalnya metoklopramid), zat toksik (CO, karbondisulfida, mangan, sianida), penyakit infeksi otak (Encefalitis virus), perdarahan serebral petekial pasca trauma yang berulang-ulang pada petinju, infark lakunar, dan tumor serebri.

I.2.3 ParaParkinson

Pada kelompok ini, gejala Parkinson merupakan sebagian dari gambaran penyakit secara keseluruhan.

Manifestasi berbagai penyakit gejala klinis berupa sindrom Parkinson: a. Sindrom Shy-Drager .

Pada sindrom ini, selain gejala Parkinson, juga ada gangguan otonom. Gejala berupa Parkinsonisme dan gangguan otonom inilah yang disebut sebagai sindrom Shy Drager. Gejala lain selain gejala-gejala Parkinsonisme tersebut adalah menghilangnya keringat, mulut kering, miosis, retensi urin (inkontinensia urin), impoten. Kelumpuhan pita suara merupakan gejala permulaan gangguan otonom, menyebabkan stridor dan sumbatan nafas sehingga memerlukan trakheostomi.

b. Sindrom Steele-Richardson olzewski (Progressive Supranuclear Palsy). Ditemukan sekitar 8% dari semua jenis Parkinson dan biasanya pada umur 64 tahun (50-77). Gejalanya berupa: supranuklear oftalmoplegi, akinesia, rigiditas, nuchal dystonia, pseudobulbar palsy (disartria, disfagi), gangguan kognitif.

(5)

Etiologinya dikarenakan kekurangan enzim seruloplasmin (alfa-2-globulin) sehingga Cu tidak dapat diikat mengakibatkan terjadi pengendapan Cu di ganglia basal (korpus striatum dan nukleus lentikularis), hati dan membran descement pada kornea mata. Pada hati lama kelamaan akan mengalami sirosis post nekrosis. Biasanya terjadi pada orang muda, familial dan progresif. Gambaran patologi berupa pelunakan atrofi otak dan warna kecoklatan pada korpus striatum, sirosis hepatik dan astrosit yang dapat berubah menjadi glia (sel) alzheimer jenis I dan II. Pigmentasi pada membran descement kornea disebut kayser-Fleischer ring (hijau kecoklatan).

d. Hidrosephalus Normotensif.

Hidrosefalus normotensif pada lanjut usia tampak dalam 3 trias khusus, yaitu gangguan berjalan, demensia, dan inkontinensia. Gangguan berjalan termasuk bagian dari gangguan berjalan apraxia, yaitu cara berjalan magnetik dengan langkah pendek, kesulitan berputar dan kurangnya balance kontrol.

Sindroma ini bermanifestasi ke dalam dua varian, yaitu simptomatik dan idiopatik. Jenis simptomatik memiliki penyebab yang jelas, misalnya meningitis atau perdarahan subarachnoid. Sedang jenis idiopatik tidak jelas penyebabnya, maka diagnosis jenis ini tergantung dari adanya perbaikan setelah terapi pintas.

Perbedaan pergerakan pada penyakit ini dengan penyakit Parkinson adalah ayunan lengan lebih jelas dibandingkan dengan penyakit Parkinson, dan tidak adanya resting tremor. Untuk membantu diagnosa digunakan pemeriksaan CT-Scan, MRI dan Radioisotop sisternography. Dapat dilakukan terapi dengan lumbal pungsi cairan serebrospinal dan terapi pintas (ventrikulo peritoneal shunt).

e. Penyakit Jacob Creutfeldt.

Penyakit prion jarang disertai dengan sejumlah mutasi gen protein prion yang berbeda, namun terdapat dalam bentuk infeksius familial dan sporadik (sebagai dominan autosomal). Onsetnya pada usia pertengahan. Bentuk yang paling umum pada berbagai derajat degenerasi neuron berbentuk seperti spons, hilangnya neuronal, gliosis dan pembentukan plak amiloid, demensia progresif yang cepat, mioklonus, gangguan motorik, perubahan karakteristik pada EEG. Sebagian besar akan meninggal satu tahun setelah onset, dan pada kasus infeksius yang disebabkan oleh prosedur bedah serta infeksi hormon pertumbuhan manusia yang terbuat dari kelenjar hipofisis. f. Atrofi Palidal (Parkinson Juvenilis).

Keadaan yang berkembang pada kehidupan awal biasanya bersifat familial tapi kadang-kadang terjadi sporadis, yang ditandai dengan peningkatan tonus otot dengan perilaku khas dan fasies paralisis agitans yang disebabkan oleh degenerasi progresif pada globus pallidus, substansia nigra, dan traktus piramidalis.

g. Hallerverdon Spatz Disease.

Gangguan herediter ditandai dengan pengurangan jumlah selaput mielin yang nyata di globus palidus dan substansia nigra, penumpukan pigmen besi, polidisartria, dan kemunduran mental progresif. Disebut juga status dismielinatus. Gangguan ini diturunkan sebagai resesif autosomal, dimulai pada dekade pertama atau kedua. Kematian sebelum usia tiga puluhan.

(6)

II. GAMBARAN KLINIS 1. Tremor

Tremor pada penyakit Parkinson sering timbul unilateral dan terbatas pada satu ekstremitas atas selama berbulan-bulan dan kadang sampai bertahun-tahun. Tremor biasanya bermula di satu ekstremitas atas dan kemudian melibatkan ekstremitas bawah pada sisi yang sama. Beberapa waktu kemudian sisi lainnya juga terlibat dengan urutan yang serupa. Tremor mula-mula terlihat pada jari-jari dan ibu jari dengan gerakan seperti membuat pil ( pill rolling tremor). Frekuensi tremor Parkinson berkisar antara 4-7 gerakan per menit. Tremor terutama timbul bila penderita dalam keadaan istirahat (resting tremor) dan dapat ditekan sementara bila ekstremitas digerakkan. Tremor dapat menjadi hebat dalam keadaan emosi dan menghilang bila tidur.

2. Rigiditas

Pada stadium dini, rigiditas otot terbatas pada satu ektremitas, dan hanya terdeteksi pada gerakan pasif. Salah satu gejala dini rigiditas ialah hilangnya gerak asosiasi lengan bila berjalan.

3. Bradikinesia

Pada bradikinesia gerakan volunter menjadi lamban, dan memulai suatu gerakan menjadi sulit. Sulit untuk bangun dari kursi, sulit memulai berjalan, lamban mengenakan pakaian, lambat mengambil suatu objek.

4. Wajah Parkinson

Bradikinesia mengakibatkan kurangnya ekspresi muka serta mimik muka. Muka menjadi seperti topeng.

5. Mikrografia

Bila tangan yang dominan yang terlibat, maka tulisan secara gradual menjadi kecil dan rapat.

6. Sikap Parkinson

Bradikinesia mengakibatkan langkah menjadi kecil, yang khas pada penyakit Parkinson. Pada stadium yang lebih lanjut sikap penderita dalam keadaan fleksi. Kepala difleksikan ke dada, bahu membongkok ke depan, punggung melengkung ke depan, dan lengan tidak melenggang bila berjalan.

7. Bicara

Rigiditas dan bradikinesia otot pernafasan, pita suara, otot faring, lidah, dan bibir mengakibatkan berbicara atau pengucapan kata-kata yang monoton dengan volume yang kecil, yang khas pada penyakit Parkinson.

8. Disfungsi Otonom

Disfungsi otonom mungkin disebabkan oleh menghilangnya secara progresif neuron di ganglia simpatetik. Ini mengakibatkan keringat yang berlebihan, gangguan sfingter terutama inkontinensia, dan hipotensi ortostatik.

9. Sialorrhea

Banyak pasien yang mengalami sekresi ludah berlebihan. 10. Gerakan Bola Mata

Mata kurang berkedip, melirik ke atas terganggu sehingga konvergensi menjadi sulit. Gerakan bola mata mengikuti terganggu dan gerakan mata sakadik kualitasnya tidak mulus („jerky“).

11. Refleks Glabela

Dilakukan dengan jalan mengetok di daerah glabela berulang-ulang. Pasien dengan Parkinson tidak dapat mencegah mata berkedip pada tiap ketokan.

(7)

Pada keadaan penyakit yang lanjut pasien tiba-tiba bisa terhenti bila sedang berjalan (“membeku”) sehingga bisa jatuh terjungkal dan mengalami kesulitan untuk memulai lagi berjalan.

13. Demensia

Penyakit yang berkelanjutan menyebabkan timbulnya demensia. Penderita penyakit Parkinson idiopatik banyak menunjukkan perubahan status mental selama perjalanan penyakitnya. Disfungsi visuospasial merupakan defisit kognitif yang sering dilaporkan pada penyakit Parkinson.

III. STADIUM PENYAKIT PARKINSON

 Stadium 1 : Tremor, rigiditas, akinesia atau abnormalitas postural unilateral.

 Stadium 2 : Tremor, rigiditas, akinesia atau abnormalitas postural bilateral dengan atau tanpa gejala aksial.

 Stadium 3 : Stadium ini sedikit perbedaannya dengan stadium 2, yaitu lebih berat dan terlihat gangguan keseimbangan, serta disekuilibirium.

 Stadium 4 : Pasien membutuhkan bantuan untuk aktivitas sehari-hari.

 Stadium 5 : Pasien hanya dapat berada di kursi atau tempat tidur bila tidak dibantu.

IV. TERAPI

IV.1. Terapi Farmakologis

Sindroma Parkinson dapat dianggap sebagai keadaan dimana terdapat insufisiensi relatif dari dopamin di susunan saraf pusat. Sistem dopaminergik serebral yang tertekan sehingga terdapat ketidakseimbangan aktivitas dan interaksi antara sistem dopaminergik dengan sistem lain di otak. Saat ini terapi obat terutama ditujukan untuk memperbaiki sistem dopaminergik di otak. Tujuan terapi obat tersebut adalah meningkatkan ketersediaan dopamin atau agonis dopamin di neostriatum atau mengurangi aktivitas kolinergik dengan obat anti kolinergik. Mengingat akan komplikasi pada pemakaian obat jangka panjang, pengobatan sebaiknya dimulai bila gejala Parkinson telah mengakibatkan gangguan fungsional yang cukup berarti.

IV.1.1. Levodopa (L-dopa)

Levodopa yang digunakan sejak tahun 1960, sampai saat ini masih merupakan obat pilihan (standar emas) bagi terapi medik Parkinson. Pasien dengan cepat merasakan khasiatnya. Namun kelemahan obat ini terjadi komplikasi on-off, wearing off setelah penggunaan jangka panjang, kira-kira setelah 5 tahun sejak mulai digunakan. Itulah sebabnya banyak pakar mencoba mengurangi penggunaan obat ini atau memakai obat lain dulu. Penundaan pengobatan dengan Levodopa ini sangat individual, tergantung apakah gejalanya sudah mengganggu kegiatan sehari-hari. Levodopa melintasi sawar darah otak dan memasuki susunan saraf pusat sehingga mengalami perubahan enzimatik menjadi dopamin oleh enzim dopa-dekarboksilase. Dopamin menginhibisi aktivitas neuron di ganglia basalis. Neuron ini juga dipengaruhi oleh aktivitas eksitasi dari sistem kolinergik.

(8)

mencakup nausea dan hipotensi ortostatik. Untuk mencegah agar levodopa tidak diubah menjadi dopamin di perifer, maka levodopa dikombinasikan dengan inhibitor enzim dopa-dekarboksilase. Dalam hal ini dapat menggunakan karbidopa atau benserazide. Dengan demikian akan lebih banyak levodopa yang dapat menembus sawar darah otak.

Efek samping:

1.

Nausea, muntah, distres abdominal.

2.

Hipotensi postural.

3.

Aritmia jantung.

4.

Diskinesia.

5.

Fluktuasi respons (on-off, wearing off).

6.

Respon bifasik.

7.

Gangguan tidur.

8.

Depresi.

Dosis : Dosis Levodopa dimulai dari rendah dan secara perlahan ditingkatkan menjadi 300-400 mg/hari dalam kurun waktu 2-3 minggu.

IV.1.2.Agonis-dopamin

Merupakan obat yang langsung menstimulasi reseptor dopamin yang digunakan untuk mengurangi limitasi pada terapi dengan levodopa. Bromokriptin (Parlodel ®) adalah salah satu agonis dopamin derivat ergot.

Agonis dopamin lainnya adalah: Pergolide (Permax ®), Cabergoline, Pramipexole. Alasan untuk menggunakan agonis dopamin sebagai monoterapi pada penyakit yang masih dini yaitu untuk menangguhkan penggunaan levodopa dengan demikian mengurangi komplikasi sistem motorik pada penggunaan levodopa jangka panjang. Didapatkan lebih sedikit komplikasi diskinesia dan fluktuasi pada pasien yang diobati dengan monoterapi bromokriptin daripada dengan monoterapi levodopa. Namun penggunaan jangka panjang bromokriptin memperlihatkan efek yang menurun. Belum jelas apakah penurunan ini disebabkan oleh berlanjutnya penyakit atau adanya toleransi terhadap obat. Secara umum dapat dikatakan bahwa monoterapi dengan bromokriptin efektif untuk jangka waktu pengobatan kurang dari satu tahun.

Efek samping: 1. Nausea. 2. Puyeng 3. Mengantuk. 4. Halusinasi. 5. Konfusi. 6. Gejala on-off. Dosis :

Dosis bromokriptin dapat dimulai dengan 1,25 mg pada malam hari, kemudian ditingkatkan menjadi 2,5 mg sehari, 2x2,5 mg, kemudian sampai 40-45 mg bergantung pada respons.

(9)

Anti kolinergik pada umumnya bermanfaat pada pasien Parkinson dengan gejala utama tremor. Obat ini lebih efektif terhadap tremor Parkinson daripada terhadap rigiditas dan bradikinesi serta membantu memperbaiki fungsi motorik dengan jalan memblokade reseptor kolinergik-muskarinik di striatum. Obat anti kolinergik merupakan obat pilihan yang efektif terhadap gejala Parkinson yang disebabkan oleh obat-obatan. Sayangnya khasiat obat anti kolinergik dibatasi oleh efek sampingnya.

Efek samping:

1.

Mulut kering.

2.

Retensio urin.

3.

Pandangan kabur.

4.

Keringat berkurang.

5.

Konstipasi.

6.

Konfusi.

7.

Palpitasi.

8.

Pupil lebar.

9.

Memori menurun. 10. Psikosis.

Karena efek samping ini lebih buruk dengan melanjutnya usia, penggunaan obat ini pada lanjut usia harus hati-hati.

Dosis :

 Triheksilfenidil 2-5 mg, 3x sehari

 Etopropazin 10-20 mg, 3x sehari

 Benztropin 0,5-4 mg, 2x sehari

IV.1.4.Selegiline

Selegiline (Eldepryl ®) merupakan obat dari jenis MAO-B inhibitor. Obat ini menghambat metabolisme dopamin oleh MAO. Selain itu dapat menginduksi superoxide dismutase dan catalase, yang meningkatkan eliminasi free radical, sehingga selegiline dianggap mempunyai kemampuan neuroprotektif. Obat ini di metabolisme menjadi amfetamin yang mungkin bertanggung jawab sebagian terhadap efek euforianya.

Dosis: 5 mg, 2x sehari

IV.1.5.COMT Inhibitor

Inhibisi enzim COMT telah dibuktikan dapat meningkatkan waktu on dan mengurangi fluktuasi motorik pada pasien Parkinson yang sudah lanjut. Tolcapon dan Entacapon adalah dua obat yang menghambat COMT, tolcapon menghambatnya di perifer dan sentral, sedangkan entacapon hanya di perifer. Obat ini jelas meningkatkan bioavailabilitas levodopa dengan jalan meningkatkan konsentrasi levodopa di plasma, dengan demikian lebih banyak levodopa tersedia bagi sistem susunan saraf pusat. Obat ini juga berguna mengobati wearing off levodopa pada pasien dengan Parkinson yang sudah lanjut. Obat ini efektif mengurangi fluktuasi motorik.

Efek samping:

1.

Diskinesia.

(10)

2.

Halusinasi.

3.

Nausea.

Dosis: 100-200 mg, 3x sehari

IV.1.6. Amantadin

Amantadin (Symmetrel ®) merupakan obat antiviral yang secara kebetulan dilaporkan khasiatnya oleh pasien Parkinson yang diobati influenzanya dengan amantadin. Amantadin dapat digunakan sebagai obat tunggal pada pasien Parkinson dini, terutama untuk bradikinesia. Mekanisme kerja amantadin diduga bahwa obat ini membebaskan sisa dopamin yang ada pada neuron presinap di jalur nigrostriatal.

Efek samping :

1.

Gelisah.

2.

Konfusi.

3.

Depresi.

4.

Nausea.

5.

Hipotensi.

6.

Edema.

Dosis: 100 mg, 2 x sehari

IV.2. Terapi Non Farmakologis IV.2.1. Terapi Bedah Ada 2 tipe terapi bedah : a. Bilateral thalamotomy b. Ventrolateral thalamotomy

Pada tindakan operatif dikerjakan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat berat dan tidak dapat terkontrol dengan obat anti Parkinson. Tindakan operatif jenis ini umumnya saat ini sudah jarang dikerjakan karena gejala klinis penyakit Parkinson sering timbul kembali setelah 6–18 bulan pasca operasi.

IV.2.2. Fisioterapi

(11)

menentukan. Sering terjadi perbedaan pendapat antara dokter dan penderita, di mana dokter sering mengevaluasi gangguan secara objektif dan penderita merasakan secara subjektif betapa berat gangguan yang dideritanya. Dengan demikian untuk menentukan kapan dimulainya terapi medikal sangat ditentukan oleh kemampuan seorang dokter untuk menghayati dan merasakan penderitaan pasien sebagai suatu realitas. Jika gejala tremor dan rigiditas yang sangat mengganggu, dapat dipertimbangkan pemberian obat antikolinergik. Jika bradikinesia yang menjadi keluhan utama dapat diberikan amantadine.

Pada penyakit Parkinson tahap berat, penderita sudah sangat terganggu oleh penyakitnya dan obat-obat golongan antikolinergik atau amantadine sudah tidak bermanfaat lagi. Pada tahap ini dapat diberikan L-dopa (ditambah penghambat dekarboksilase). Pemakaian L-dopa yang lama ( 6-9 tahun ) dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan (efek on off atau sampai efek end of dose). Keadaan ini dapat ditolong dengan penghentian pemberian obat (drug holiday dan pemberian direct acting dopamine agonist, misalnya bromokriptin ). Jika terapi L-dopa dihentikan sama sekali dan mempergunakan bromokriptin sebagai obat tunggal, maka dosis harian bromokriptin yang efektifberkisar antara 15–20 mg dan bila perlu dapat ditingkatkan sampai mencapai 40–100 mg untuk mendapat hasil yang baik.

V. KESIMPULAN

Penyakit Parkinson merupakan suatu penyakit akibat dari gangguan pada ganglia basalis dengan penurunan atau tidak adanya pengiriman dopamine dari substansia nigra ke globus palidus. Sedangkan Sindrom Parkinson adalah penyakit yang menyerupai Parkinson, namun memiliki etiologi tertentu yang sebagian atau keseluruhannya telah diketahui.

Gejala klinis terdiri atas rigiditas, tremor, bradikinesia, instabilitas postural. Semua jenis Parkinsonismus atau sindrom Parkinson yang gejala utamanya terdiri atas rigiditas, tremor, bradikinesia, instabilitas postural, dapat diobati sesuai dengan terapi penyakit Parkinson, di samping terapi kausatif sesuai dengan diagnosis.

DAFTAR PUSTAKA

Adams and Victor’s.(2001), Principales of Neurology International Edition. McGraw-Hill, USA.

Bagian Farmakologi FKUI. (1995), Farmakologi dan Terapi edisi ke 4. Gaya baru, Jakarta.

(12)

Harsono(2003), Kapita Selekta Neurologi edisi ke 2. Gajah Mada university Press, Yogyakarta.

Hazzard, W.R, et al. (1990), Principles of Geriatric Medicineand Gerontology Second edition. McGraw-Hill, USA.

Setiabudhi,T. (2005), Kuliah Gerontology : Neurogeriatri.

Samekto Wibowo, Abdul Gofir.(2001). Farmakoterapi dalam neurology. Jakarta: Penerbit Saalemba medica.

www. Merck.com

www.yahoo.com.

www.google.com

www. Id.novartis.com/bul_cns.shtml.

Referensi

Dokumen terkait

Sampai November 2016, inflasi IHK Jawa Timur tercatat sebesar 3,02% (yoy) atau 2,16% (ytd) terutama didorong oleh rendahnya tekanan inflasi pada kelompok AP akibat koreksi

Bentuk ornamen pada kelima gapura masjid (yaitu : gapura Panyeksen, gapura Madep, gapura Ngamal, gapura Poso dan gapura Munggah) yang dipadukan dengan

Pekerjaan Pemeliharaan Periodik dan Rekonstruksi Perkerasan Pada Jalan Tol Jakarta- Cikampek Jalur A Tahun 2017, dengan ini kami mengundang Saudara untuk

Permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada Faktor-Faktor Yuridis apa saja yang Mendorong Pembentukan Bank Industri dan Faktor-Faktor Yuridis apa saja yang Berpotensi

Banyak pihak menilai/ iklan-iklan capres dan cawapres yang banyak ditampilkan di media massa/ belum efektif// Dalam iklan-iklan politik untuk tujuan berkampanye tersebut/ ketiga

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis..

Susunan perkuliahan ini juga dirancang agar sejak sekarang kebutuhan untuk merespon akreditasi internasional pendidikan arsitektur yang mensyaratkan lama waktu lima (5) tahun

Berdasarkan hasil dari analisa data, dapat diambil kesimpulan bahwa hasil sesuai hipotesa dimana ada pengaruh pemberian metode NDT terhadap perkembangan motorik