MAKALAH
Hukum Perlindungan Konsumen Dan Persaingan Usaha
Persaingan Usaha
Oleh:
Nama : Dian Aryani Kusady NIM : B 111 11 279
Kelas : A
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwataala yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Makalah tentang Persaingan Usaha ini, penyusun selesaikan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perlindungan Konsumen dan Persaingan Usaha.
Makalah ini berisi tentang pembahasan mengenai sejarah dan pengertian Persaingan Usaha, pentingnya Persaingan Usaha beserta penjelasan dari Undang-Undang No. 5 tahun 1999 yang merupakan sumber hukum dari Persaingan Usaha.
Penyusun menyadari bahwa tugas makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penyusun mengharapkan kritik, saran dan solusinya agar penyusun dapat menyempurnakan makalah ini di masa yang akan datang.
Dengan demikian, penyusun sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penyusun dan pembaca umumnya.
Makassar, 22 Mei 2014
DAFTAR ISI Halaman Sampul………... ……….………. Kata Pengantar………... ... Daftar Isi………... ... BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...………...…………. ………
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pesaingan Usaha………... ………..
B. Persaingan Usaha di
Indonesia... C. Pentingnya Hukum Persaingan
Usaha...
D. Perjanjian, Kegiatan, dan Posisi Dominan yang Dilarang dalam Hukum Persaingan Usaha di
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan………... ...
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Persaingan sangat dibutuhkan dalam peningkatan kualitas hidup manusia. Dunia yang kita kenal sekarang ini adalah hasil dari persaingan manusia dalam berbagai aspek. Persaingan yang dilakukan secara terus-menerus untuk saling mengungguli membawa manusia berhasil menciptakan hal-hal baru dalam kehidupan yang berangsur-angsur menuju arah yang semakin maju dari sebelumnya. Untuk terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi semua pihak, persaingan yang harus dilakukan adalah persaingan yang sehat. Kegiatan ekonomi dan bisnis pun tidak luput dari sebuah persaingan, mengingat kegiatan ini dilakukan banyak pihak untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, hukum yang mengatur persaingan usaha dalam kegiatan ekonomi dan bisnis sangat diperlukan semua pihak supaya tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Persaingan Usaha
Hukum persaingan usaha merupakan hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha. Menurut Arie Siswanto, hukum persaingan usaha (competition law) adalah instrumen hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus dilakukan. Menurut Hermansyah hukum persaingan usaha adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai segala aspek yang berkaitan dengan persaingan usaha, yang mencakup hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha. Sedangkan kebijakan persaingan (competition policy) merupakan kebijakan yang berkaitan dengan masalah-masalah di bidang persaingan usaha yang harus dipedomani oleh pelaku usaha dalam menjalankan usahanya dan melindungi kepentingan konsumen. Tujuan kebijakan persaingan adalah untuk menjamin terlaksananya pasar yang optimal, khususnya biaya produksi terendah, harga dan tingkat keuntungan yang wajar, kemajuan teknologi, dan pengembangan produk.
Sejak 1989, telah terjadi diskusi intensif di Indonesia mengenai perlunya perundang-undangan antimonopoli. Reformasi sistem ekonomi yang luas dan khususnya kebijakan regulasi yang dilakukan sejak tahun 1980, dalam jangka waktu 10 tahun telah menimbulkan situasi yang dianggap sangat kritis. Timbul konglomerat pelaku usaha yang dikuasai oleh keluarga atau partai tertentu, dan konglomerat tersebut dikatakan menyingkirkan pelaku usaha kecil dan menengah melalui praktek usaha yang kasar serta berusaha untuk mempengaruhi semaksimal mungkin penyusunan undang-undang serta pasar keuangan.
Dengan latar belakang demikian, maka disadari bahwa pembubaran ekonomi yang dikuasai Negara dan perusahaan monopoli saja tidak cukup untuk membangun suatu perekonomian yang bersaing. Disadari juga hal-hal yang merupakan dasar pembentukan setiap perundang-undangan antimonopoli, yaitu justru pelaku usaha itu sendiri yang cepat atau lambat melumpuhkan dan menghindarkan dari tekanan persaingan usaha dengan melakukan perjanjian atau penggabungan perusahaan yang menghambat persaingan serta penyalahgunaan posisi kekuasaan ekonomi untuk merugikan pelaku usaha yang lebih kecil.
Disadari adanya keperluan bahwa Negara menjamin keutuhan proses persaingan usaha terhadap gangguan dari pelaku usaha terhadap gangguan dari pelaku usaha dengan menyusun undang-undang, yang melarang pelaku usaha mengganti hambatan perdagangan oleh Negara yang baru saja ditiadakan dengan hambatan persaingan swasta.
perusahaan-perusahaan besar yang disebut konglomerat menikmati pangsa pasar terbesar dalam perekonomian nasional Indonesia. Dengan berbagai cara mereka berusaha mempengaruhi berbagai kebijakan ekonomi pemerintah sehingga mereka dapat mengatur pasokan atau supply barang dan jasa serta menetapkan harga-harga secara sepihak yang tentu saja menguntungkan mereka. Koneksi yang dibangun dengan birokrasi Negara membuka kesempatan luas untuk menjadikan mereka sebagai pemburu rente. Apa yang mereka lakukan sebenarnya hanyalah mencari peluang untuk menjadi penerima rente (rent seeking) dari pemerintah yang diberikan dalam bentuk lisensi, konsesi, dan hak-hak istimewa lainnya. Kegiatan pemburuan rente tersebut, oleh pakar ekonomi William J. Baumol dan Alan S. Blinder dikatakan sebagai salah satu sumber utama penyebab inefisiensi dalam perekonomian dan berakibat pada ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai tindak lanjut hasil Sidang Istimewa MPR-RI yang digariskan dalam Ketetapan MPR-RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional, maka Indonesia memasuki babak baru pengorganisasian ekonomi yang berorientasi pasar.
C. Pentingnya Hukum Persaingan Usaha.
1) Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2) Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar;
3) Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional.
dalam berusaha, dengan cara mencegah timbulnya praktik-praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, di mana setiap pelaku usaha dapat bersaing secara wajar dan sehat. Adapun beberapa tujuan diadakannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 antara lain:
1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat.
3. Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4. Berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
berdiri sebelum undang-undang ini diundangkan, selama perusahaan-perusahaan tersebut tidak melakukan praktik-praktik yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
D. Perjanjian, Kegiatan, dan Posisi Dominan yang Dilarang dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia 1) Perjanjian yang dilarang
Menurut Pasal 1 ayat (7) Undang-undang No. 5 Tahun 1999, perjanjian didefinisikan sebagai: “Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.”
Dengan adanya definisi perjanjian yang dirumuskan oleh Undang-undang No. 5 Tahun 1999, dapat diketahui bahwa Undang-Undang No. 5 tahun 1999 merumuskan bahwa perjanjian dapat dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis, kedua-duanya diakui atau digunakan sebagai alat bukti dalam kasus persaingan usaha.
Sebelumnya perjanjian tidak tertulis umumnya dianggap tidak begitu kuat sebagai alat bukti di pengadilan, karena hukum acara perdata yang berlaku pada saat ini lebih menekankan dan mengganggap bukti tertulis dan otentik sebagai alat bukti yang kuat.
adalah sangat tepat dan telah sesuai dengan rezim Hukum Persaingan Usaha yang berlaku di berbagai negara. Pada umumnya para pelaku usaha tidak akan begitu ceroboh untuk memformalkan kesepakatan diantara mereka dalam suatu bentuk tertulis, yang akan memudahkan terbuktinya kesalahan mereka. Oleh karenanya perjanjian tertulis diantara para pelaku usaha yang bersekongkol atau yang bertentangan dengan Hukum Persaingan Usaha akan jarang ditemukan.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur beberapa perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:
1. Oligopoli,
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Dimana pelaku usaha tersebut patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
2. Penetapan harga
mengatur harga. Hal ini bisa juga disebut kartel harga. Penetapan harga adalah salah satu bentuk perjanjian pengaturan harga. Di luar itu ada bentuk perjanjian price discrimination (diskriminasi terhadap pesaing), predatory pricing (banting harga), dan resale price maintenance (mengatur harga jual kembali atas suatu produk).
3. Pembagian wilayah,
Perjanjian di antara pelaku usaha yang seharusnya bersaing, untuk berbagi wilayah pemasaran.
4. Pemboikotan,
Perjanjian di antara beberapa pelaku usaha untuk: a) Menghalangi masuknya pelaku usaha baru (entry
barrier);
b) Membatasi ruang gerak pelaku usaha lain untuk menjual atau membeli suatu produk.
5. Kartel,
Perjanjian di antara pelaku usaha yang seharusnya bersaing, sehingga terjadi koordinasi (kolusi) untuk mengatur kuota produksi, dan/atau alokasi pasar. Kartel juga bisa dilakukan untuk harga (menjadi price fixing).
6. Trust,
besar, tetapi eksistensi perusahaan masing-masing tetap ada.
7. Oligopsoni,
Perjanjian untuk menguasai penerimaan pasokan barang/jasa dalam suatu pasar oleh 2 s.d. 3 pelaku usaha atau 2 s.d. 3 kelompok pelaku usaha tertentu. 8. Integrasi vertikal (vertical integration),
Perjanjian di antara perusahaan-perusahaan yang berada dalam satu rangkaian jenjang produksi barang tertentu, namun semuanya berada dalam kontrol satu tangan (satu afiliasi), untuk secara bersama-sama memenangkan persaingan secara tidak sehat.
9. Perjanjian tertutup (exclusive dealing),
Perjanjian di antara pemasok dan penjual produk untuk memastikan pelaku usaha lainnya tidak diberi akses memperoleh pasokan yang sama atau barang itu tidak dijual ke pihak tertentu.
10. Perjanjian dengan luar negeri
Semua bentuk perjanjian yang dilarang tidak hanya dilakukan antar sesama pelaku usaha dalam negeri, tetapi juga dengan pelaku usaha dari luar negeri.
2) Kegiatan yang dilarang
1. Monopoli, yaitu kegiatan menguasai atas produksi dan/atau pemasaran barang atau menguasai penggunaan jasa oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha tertentu.
2. Monopsoni, yaitu kegiatan menguasai atas penerimaan pasokan barang/jasa dalam suatu pasar oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha tertentu.
3. Penguasaan pasar. Ada beberapa kegiatan yang termasuk kategori kegiatan penguasaan pasar yang dilarang:
a) menolak/menghalangi masuknya pelaku usaha baru (entry barier);
b) menghalangi konsumen berhubungan dengan pelaku usaha saingannya;
c) membatasi peredaran/penjualan barang/jasa pelaku usaha lain;
d) melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha lain;
e) menjual rugi (banting harga).
4. Persekongkolan, yaitu kegiatan (konspirasi) dalam rangka memenangkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat, dalam bentuk:
1. persekongkolan untuk memenangkan tender;
3. persekongkolan merusak kualitas/citra produk saingan.
3) Posisi Dominan
Pengertian posisi dominan dikemukakan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Lebih lanjut, dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan bahwa suatu pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dianggap memiliki "posisi dominan" apabila:
a. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar atau jenis barang atau jasa tertentu; atau
b. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
dalam dunia usaha karena dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat dibedakan menjadi 4 macam yakni:
a. Kegiatan posisi dominan yang bersifat umum; b. Jabatan rangkap atau kepengurusan terafiliasi; c. Kepemilikan saham mayoritas atau terafiliasi;
d. Penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan perusahaan.
E. Lembaga KPPU
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga baru yang diperkenalkan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Pembentukannya secara resmi melalui Kepres No. 75 Tahun 1999 dengan melalui serangkaian tahap pemilihan yang cukup alot melibatkan Pemerintah dan DPR.
KPPU berkedudukan di Jakarta, tetapi boleh membuka perwakilan di ibukota provinsi. Organisasi KPPU hanya terdiri dari anggota dan sekretariat. Jumlah anggota seluruhnya (termasuk seorang ketua dan seorang wakil) paling sedikit sembilan orang. Keanggotaan KPPU periode yang pertama (2000–2005) ada 11 orang, dan mereka masih mungkin dipilih untuk satu periode berikutnya.
Pasal 35 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menentukan bahwa tugas tugas KPPU terdiri dari:
2. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha.
4. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi. 5. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan
Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
6. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1999
7. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan DPR.
Dalam menjalankan tugas tugasnya tersebut, Pasal 36 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 memberi wewenang kepada KPPU untuk:
1. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan komisi sebagai hasil penelitiannya.
4. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
5. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999.
6. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran ketentuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999.
8. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang yang dimaksud dalam nomor 5 dan 6 tersebut di atas yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi.
9. Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999.
10. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain untuk keperluan penyelidikan dan atau pemeriksaan.
11. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat. 12. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku
13. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999.
Jadi, KPPU berwenang untuk melakukan penelitian dan penyelidikan dan akhirnya memutuskan apakah pelaku usaha tertentu telah melanggar Undang-Undang No. 5 tahun 1999 atau tidak. Pelaku usaha yang merasa keberatan terhadap Putusan KPPU tersebut diberikan kesempatan selama 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut untuk mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri.
KPPU merupakan lembaga administratif. Sebagai lembaga semacam ini, KPPU bertindak demi kepentingan umum. KPPU berbeda dengan pengadilan perdata yang menangani hak-hak subyektif perorangan. Oleh karena itu, KPPU harus mementingkan kepentingan umum dari pada kepentingan perorangan dalam menangani dugaan pelanggaran hukum antimonopoli.
Hal ini sesuai dengan tujuan Undang-Undang No. 5 tahun 1999 yang tercantum dalam Pasal 3 huruf a Undang-Undang No. 5 tahun 1999 yakni untuk “menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat”.
A. Kesimpulan
1. Hukum persaingan usaha merupakan hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha.
2. Adapun falsafah yang melatarbelakangi kelahiran undang-undang tersebut ada tiga hal, yaitu:
1) Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2) Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar;
3) Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional.
a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat.
c. Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
d. Berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
4. Perjanjian yang dilarang dalam persaingan usaha: a. Oligopoli,
b. Penetapan harga c. Pembagian wilayah, d. Pemboikotan,
e. Kartel,
f. Trust,
g. Oligopsoni, h. Integrasi vertikal i. Perjanjian tertutup
5. Kegiatan yang dilarang dalam persaingan usaha a. Monopoli,
b. Monopsoni,
c. Penguasaan pasar, d. Persekongkolan.
6. Posisi Dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
7. KPPU adalah sebuah lembaga yang bersifat independen, dimana dalam menangani, memutuskan atau melakukan penyelidikan suatu perkara tidak dapat dipengaruhi oleh pihak manapun, baik pemerintah maupun pihak lain yang memiliki conflict of interest, walaupun dalam pelaksanaan wewenang dan tugasnya bertanggung jawab kepada presiden.
DAFTAR PUSTAKA
http://alisarjuni.blogspot.com/2013/05/hukum-persaingan-usaha.html. Diakses tanggal 20 Mei 2014 Pukul 00:39
http://business-law.binus.ac.id/2013/01/20/catatan-seputar-hukum-persaingan-usaha/. Diakses tanggal 20 Mei 2014 Pukul 00:33
http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/hukum-persainganusaha-di-susun-guna.html. Diakses tanggal 20 Mei 2014 Pukul 00:27
http://prokum.esdm.go.id/uu/1999/uu-5-1999.pdf. Diakses tanggal 20 Mei 2014 Pukul 00:20