• Tidak ada hasil yang ditemukan

V9f4lLahey masyarakat hukum adat petalangan dan hak tanah adat uir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "V9f4lLahey masyarakat hukum adat petalangan dan hak tanah adat uir"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

PENELITIAN

MASYARAKAT HUKUM ADAT PETALANGAN DAN

HAK-HAK TANAH ADAT TRADISIONALNYA

DI PROPINSI RIAU

Oleh :

LEMBAGA PENELITI UNIVERSITAS ISLAM RIAU

KERJASAMA ANTARA

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

DAN

UNIVERSITAS ISLAM RIAU

(2)

Masyarakat Hukum Adat Petalangan dan Hak-hak Tanah Adat

Tradisionalnya di Propinsi Riau.

(Kajian Mengenai Pengakuan dan Penghormatan Negara.) Oleh : Lembaga Penelitian Universitas Islam Riau

1. Latar Belakang Masalah:

Kehadiran masyarakat adat sejak dahulu adalah suatu kenyataan sosial.

Masyarakat adat tidak tumbuh dan berkembang dengan idealisme politik yang utopis . Eksistensi nya sudah ada sejak ratusan tahun, yang ditandai adanya berbagai kelompok

manusia dengan tatanan kehidupan dalam sebuah teritorial tertentu. Pergaulan mereka selalu didasarkan pada filosofi hidup yang sudah mereka tentukan, yang umumnya ditandai dengan adanya kebersamaan dan kekeluargaan1.

Dalam kenyataannya bahwa peristilahan yang berkenaan dengan masyarakat adat banyak dikenal, misalnya masyarakat terasing, masyarakat pedalaman, masyarakat

tradisional, masyarakat suku terkebelakang2, dan beberapa istilah lainnya3. Namun demikian guna memberikan persepsi yang sama maka masyarakat adat yang dimaksud disini adalah masyarakat dalam sebuah tatanan organisasi kemasyarakatan yang memiliki wilayah tempat tinggal, mempunyai pimpinan, harta kekayaan, serta kebersamaan hidup antar sesama anggota masyarakat 4, atau persekutuan-persekutuan hukum di mana warganya mempunyai hubungan erat atas keturunan yang sama ( geneologische factor) yang dapat disebut sebagai persekutuan hukum geneologis.

1

Ronald Z Titahelu, Masyarakat Adat dan Pembangunan, Menuju Keutuhan Makna Pembangunan Bagi

Manusia dn Masyarakat Adat, Makalah Seminar, Pekanbaru, Oktober 1998, hal 6

2

Bandingkan Muchtar Naim,, Identikkah Masyarakat Hukum Adat dengan Indigenous Peaople, Makalah disampaikan pada sarasehan Nasional Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Melalui Pemenuhan Hak-hak Konstitusionalnya, 13-14 Desember 2008

3

Keadaan ini terkait dengan berbagai peristilahan yang banyak dijumpai pada masyarakat dengan berbagai istilah lainnya, seperti di dataran Sumatera yang sering disebut suku Talang Mamak, Sakai, Kubu, Anak Dalam dan Orang Laut,

4

(3)

Pengertian lainnya adalah persekutuan hukum dimana warganya terikat oleh suatu daerah wilayah ( grondgebeid) yang tertentu, dimana faktor teritoir ( territoriale factor) adalah penting sekali. Persekutuan hukum ini disebut dengan persekutuan hukum territorial, Peengertian ketiga adalah persekutuan–persekutuan hukum dimana baik faktor geneologis maupun faktor teritoir mempunyai tempat yang berarti. Persekutuan hukum

ini disebut dengan persekutuan hukum geneologis-territorial5

Konsep di atas merupakan deskripsi dari kehidupan masyarakat adat. Adanya kumpulan atau kelompok dari masyarakat merupakan identitas yang menggambarkan bahwa kehidupan mereka penuh dengan kebersamaan dan kesatuan. Konsistensi masyarakatnya terhadap hukum yang mereka anut menggambarkan bahwa mereka akan selalu menginginkan tatanan guna terealisasi tujuan hidup bersama, yaitu ketenangan, ketentraman dan keamanan. Berbagai sisi pergaulan hidup masyarakat adat telah melahirkan berbagai kebiasaan

yang tergambar pada dua dimensi, yaitu kebiasaan yang berdimensi pada nilai seni dan

tradisi serta kebiasaan yang berdimensi nilai hukum yang biasa disebut hukum adat.

Kedua dimensi tersebut dalam banyak hal berbaur jadi satu pada sebuah keadaan seperti pesta rakyat, aneka budaya dan sebagainya, namun dilain pihak juga dapat berdiri sendiri, tergantung pada situasi konkrit, seperti kelembagaan hukum perkawinan, kelembagaan

hukum pertanahan dan sebagainya. Kebiasaan diatas jika dilihat dari perspektif ketatanegaraan ternyata ”sarat” dengan hak-hak yang dalam berbagai perspektif politik

hukum pemerintah cendrung disebut dengan hak konstitusional, hak-hak ini, dinilai oleh para pemuka adat dan pakar, banyak terabaikan bahkan tidak diakui sama sekali, sedangkan disisi lain masyarakat tetap menjadikan hak-hak ini sebagai sebuah hubungan

yang sakral antara sesama anggota masyarakat bahkan dengan masyarakat luar.

5

(4)

Secara objektif keadaan ini bisa diterima, karena hak konstitusional masyarakat adat ini belum secara keseluruhan teridentifikasi dan terkonsepsi dalam tatanan kenegaraan,

bahkan pandangan ini juga mengandung multiinterpretasi dan debatable, sedangkan dalam tatanan kemasyarakatan adat keadaan ini merupakan sebuah keadaan yang diyakini telah diakui secara turun temurun serta masyarakat adat telah menerimanya secara wajar.

Deskripsi ini berkaitan erat dengan masyarakat adat Petalangan sebagai sebuah masyarakat hukum adat yang berada di Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau. Masyarakat

hukum adat Petalangan merupakan sebuah kelompok masyarakat yang memiliki dukungan historis serta keberadaannya tidak diragukan. Menurut tombo 6, mereka berasal

dari Johor menggunakan perahu, dan membuka hutan di pemukiman mereka sekarang ini.

Mereka menjadi kawula Kerajaan Kampar yang sekarang lebih dikenal dengan Pelalawan. Di bawah pemerintahan Kesultanan Pelalawan mereka mendapat pengakuan hak atas

wilayah hutan mereka (Hutan Tanah Perbatinan Kurang Satu Tiga Puluh), yang dipimpin oleh kepala adat yang dikenal dengan sebutan batin. Hak perlindungan hukum atas hukum adat dan tanah adat pada masyarakat Petalangan telah mendapat legitimasi7 . Hak

ini terbukti dengan diterbitkan Surat Keterangan Hutan Tanah ( Grand Sultan) bagi masyarakat adat yang memiliki Tombo atau Terombo8.

Secara sosiologis empiris keberadaan masyarakat adat Petalangan tidak terbantahkan, mereka hidup berpuluh tahun bahkan beratus tahun dalam lingkungan yang ditopang oleh dukungan sumber daya alam yang berlimpah. Mereka memiliki otoritas wilayah berupa

tanah, hutan dan air yang didalamnya kaya akan sumber penghidupan. Terdapat pengaturan dalam sebuah tatanan hidup baik berlaku bagi pribadi, kelompok bahkan untuk

6

Suatu silsilah yang membuktikan dan menggambarkan nama tokoh-tokoh utama persekutuan yang membuka hutan pertama kali, sehingga dalam bukti itu dapat diketahui lokasi dan batas-batas wilayah persekutuan.

7

Lihat Tenas Effendi, Hutan Tanah Wilayah Masyarakat Petalangan, Makalah Seminar, Pekanbaru 1998, hal 4

8

(5)

masyarakat luar tentang pemanfaatan kekayaan yang berada dalam wilayah yang diakui sebagai miliki turun temurun. Mereka miliki sistem hidup dalam sebuah naungan hukum

adat, pola kepemimpinan, bahasa, agama dan banyak yang lainnya.

Data lapangan dari Responden menyebutkan bahwa Masayarakat Petalangan mempunyai pengaturan mengenai Fungsi, Pemanfaatan dan Pelestarian Hutan Tanah.

Ketetapan inilah yang dipegang teguh oleh masyarakat Petalangan sampai kerajaan berakhir sebagai konsekwensi diterimanya kemerdekaan Indonesia dan menjadi bagian

dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Semasa awal kemerdekaan, eksistensi Persekutuan Hukum Adat dan hak ulayat ini memiliki peran dalam penentuan batas wilayah kecamatan, yang pada awalnya

wilayah Masyarakat Petalangan dimasukkan ke dalam 4 (empat) wilayah kecamatan, yaitu Pangkalan Kuras, Langgam, Bunut dan Kuala Kampar, semasa wilayah ini masih

berada dalam kawasan Kabupaten Kampar. Dengan dibukanya perkebunan besar seperti perkebun sawit swasta dan nasional serta hak-hak yang diberikan pemerintah pada pengusaha dalam memanfaatkan hasil hutan, terjadilah awal perubahan yang berakibat

pada eksistensi hak ulayat masyarakat. Dengan dibukakannya usaha besar ini telah membawa pengaruh besar terhadap masyarakat hukum adat. Hak-hak mereka atas tanah

yang semula dijadikan sebagai sumber ekonomi dan jaminan kelangsungan hidup generasi berikutnya, kenyataannya sudah berubah.

Dalam perkembangan yang ada ternyata keberadaan masyarakat hukum adat

mengalami reformasi bahkan revolusi yang berakibat terjadinya berbagai permasalah yang ada. Jika disikapi bahwa akar permasalah ini berawal dari adanya kekuatan yang tidak

seimbang, melebihi kekuatan yang ada pada masyarakat adat yang bercirikan kebersamaan, kekeluargaan, sedangkan disisi lain terdapatnya imperium swasta (multi and

(6)

pemerintahan yang dilengkapi dengan kekuasaan lembaga negara sebagai pendukungnya. Bahkan terlihat tidak adanya jaminan di dalam negara nasional akan mendapat

pengakuan, penghormatan serta perlindungan yang lebih baik dari masa sebelumnya9. Deskripsi di atas adalah sebuah kenyataan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Keadaan ini sangat memerlukan perhatian banyak orang. Perhatian ini tidak sebatas pada

pemahaman atas apa yang terjadi, melainkan juga perlu mendapat tempat dalam berbagai kajian ilmiah untuk mencari dan merumuskan solusi yang tepat. Ini semua merupakan

sebuah keniscayaan, sebab semenjak berbagai wilayah daerah masyarakat hukum adat di nyatakan berada dalam sebuah kedaulatan negara dengan berbagai konsekwensi yang ada, telah membawa perubahan dan permasalahan di tingkat lokal serta nasional. Semula

wilayah daerah masyarakat adat berada pada tatanan tersendiri dengan komunalitas hidup yang damai dan tenteram, kini banyak mengalami perubahan mendasar, sehingga stigma

isu disintegrasi bangsa telah menjadi isu penting.

Oleh karena itu masalah kajian adalah bagaimanakah kenyataan dari masyarakat adat Petalangan, serta pengelolaan hak-hak yang ada pada lingkungannya? Serta bagaimana

pengakuan dan penghormatan negara atas masyarakat adat serta hak-hak tanah adatnya dalam persepktif hukum positif iaitu hukum pertanahan dan hukum kehutanan ?

2. Metoda Penelitian .

Dari penjelasan di atas kaitannya dengan metodalogi penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Jenis dan Sifat Penelitian.

Penelitian ini adalah sosiologi empiris dengan objeknya masyarakat dan hukum

adat Petalangan. Ditilik dari jenis penelitian, maka penelitian ini adalah observational research dengan cara survai dengan menjumpai responden di lokasi penelitian. Dilihat

9

(7)

dari sifat, penelitian ini bersifat deskriptif, karena bermaksud mendeskripsikan kenyataan yang diteliti secara jelas dan sistematis.

b. Lokasi Penelitian dilakukan di wilayah Persekutuan Masyarakat Adat Melayu yang ada di Propinsi Riau, dalam hal ini adalah masyarakat adat Petalangan di Kabupaten Pelalawan.

c. Sumber Data dalam hal ini adalah :

1. Pebatinan sebagai pimpinan kelompok pada Masyarakat Adat Petalangan.

2. Pemerintah Daerah yang berkompeten, antara lain Bupati, serta instansi yang terkait, yaitu BPN, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

3. Kesatuan Masyarakat Adat yang telah terorganisir, dalam hal ini ada Lembaga Adat

Melayu Riau.

4. Para pakar dan pemerhati di bidang hukum dan budaya.

d. Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpul dalam hal ini adalah:

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari responden tentang

masyarakat adat Petalangan..

2. Data Sekunder, yaitu data dalam bentuk angka , table, dokumen, catatan, buku

laporan, baik masalh pokok yang diteliti, maupun tentang monografi , kabupaten, kecamatan dan desa.

e.Alat Pengumpul data:

Alat pengumpul data yang digunakan dalm penelitian ini adalah:

1. Kuesioner yaitu daftar pertanyaan yang disusun secara tertutup dan terbuka

sebagai pedoman dalam wawancara dengan responden

(8)

dimaksudkan agar lebih fleksibel dan dapat menghimpun data relatif lebih banyak.

2. Wawancara yaitu tanya jawab secara langsung dengan responden f. Analisa Data.

Setelah data terkumpul baik melalui kuesioner dan wawancara diteliti ulang dan

diedit, kemudian diolah dengan mengelompokkannya menurut jenis dan sifatnya. Kajian penelitian ini difokuskan pada pengakuan adanya hak masyarakat

adat, artinya masyarakat adat sebagai persekutuan hukum memiliki tempat tinggal, memiliki cadangan tempat untuk pengharapan hidup sebagai penopang ekonomi generasi berikutnya.

3. Hasil penelitian.

a. Masyarakat Adat Petalangan Sebuah Kenyataan

Masyarakat Petalangan adalah salah satu puak "suku asli" di' Riau yang bermukim di wilayah Kecamatan Langgam, Pengkalan Kuras, Bunut dan Kuala Kampar, Kabupaten Pelalawan. Dahulu mereka memagari kampungnya dengan buluh "Talang" dan lazim

pula mengambil air dengan mempergunakan buluh tersebut, maka mereka disebut "Orang Talang", dan keseluruhan`puaknya disebut "Orang Petalangan".10

Secara historis disebutkan bahwa masyarakat ini datang dari Johor menggunakan perahu, dan membuka hutan di pemukiman mereka sekarang ini. Mereka kemudian menjadi kawula Kerajaan Kampar. Di bawah pemerintahan Kesultanan Pelalawan

mereka mendapat pengakuan hak atas wilayah hutan mereka (Hutan Tanah Perbatinan

Kurang Satu Tiga Puluh), yang dipimpin oleh kepala adat yang dikenal dengan sebutan

batin. Pada Masyarakat ini memiliki 29 Pebatinan.

10

(9)

Nama-Nama Batin di Masyarakat Petalangan

18 Batin Tuk Ajo Bilang Bungsu. 19 Batin Pelabi.

Dalam pergaulan hidupnya, masyarakat adat Petalangan menduduki sebuah wilayah yang masing-masing pebatinan memiliki wilayah tersendiri. Wilayah tersebut biasa disebut ulayat. Dalam kebiasaan adat dikenal pengaturan tentang pemanfaatan

yang berkaitan dengan lingkungan tersebut, misalnya; 1. Fungsi Hutan Tanah Wilayat:

Bagi masyarakat Petalangan, hutan tanah bukan hanya sekedar tempat hidup dan

mencari nafkah, tetapi juga menjadi sumber budaya dan nilai-nilainya, bahkan yang dianggap terpenting adalah sebagai pengukuhan "tuah" dan "marwah" pesukuan atau

Pebatinannya.

(a). Fungsi sebagai pengukuhan "tuah" dan "marwah":

Orang tua-tua Petalangan mengatakan, bahwa pesukuan atau Pebatinan yang tidak memiliki hutan tanah, adalah ibarat "semut tidak bersarang, ibarat ayam tidak bereban", maksudnya dapat dianggap lebih hina dari hewan yang paling kecil dan

(10)

anak cucunya. Dengan demikian, pesukuan atau Pebatinan ini tidaklah memiliki "tuah" dan "marwah" sehingga tidak dapat "duduk sama rendah dan tegak sama

tinggi" dengan pesukuan dan Pebatinan lainnya. Di dalam ungkapan adat dikatakan: "bersuku tidak bertuah, berbatin tidak bermarwah, ke laut hanyut ke darat sesat, ke hulu malu ke hilir aib". Dari sisi lain, pesukuan yang tidak

memiliki hutan tanah dianggap "tidak asal" dan tidak "soko", sehingga keberadaannya tidak kokoh dan sewaktu-waktu dapat "dihalau" oleh yang

memiliki hutan tanah wilayat.

Acuan ini menyebabkan setiap pesukuan atau Pebatinan tetap bermukim di kawasan "Hutan Tanah Wilayat"nya masing-masing dan tetap pula memanfaatkan dan

memeliharanya dengan cermat sesuai menurut ketentuan adat yang berlaku. Dan masing-masing pesukuan atau Pebatinan tetap pula memelihara "tombo " dan hutan

tanahnya.

(b).Fungsi sebagai sumber nafkah dan tempat hidup:

Hutan Tanah, selain dijadikan untuk pemukiman, juga dijadikan tempat mencari

nafkah seperti berkebun, berladang mengambil hasil hutan dan ikan. Hutan tanah dan isinya memberikan pula bahan-bahan untuk pengobatan yang amat penting dalam

kehidupan mereka. Karenanya, hutan tanah ini tidak boleh dirusak, dijual atau digadaikan. Agar hutan tanah beserta suak sungai, tasik dan danaunya tidak rusak dan tetap bermanfaat, ditetapkanlah berbagai ketentuan adat, antara lain:

"Adat Menyusuk Kampung", yakni membuat perkampungan; "Adat Menyusuk Dusun", yakni membuat perkebunan tanaman keras; "Adat Berladang", yakni

(11)

mengambil kayu di hutan; "Adat Berburu", "Adat Berdamar", "Adat Berikan", "Adat Menuba" dan sebagainya, yang hakekatnya mengacu kepada upaya

pemanfaatan hutan tanah dan isinya dengan baik dan tidak menimbulkan kerusakan. Konsep ini jelas menunjukkan bahwa masyarakat Petalangan adalah masyarakat yang memiliki wawasan lingkungan.

(c). Fungsi sebagai Sumber Budaya:

Budaya Petalangan tak dapat dipisahkan dari alam sekitar atau lingkungannya, yakni

"hutan tanah wilayat"nya. Mereka rneyakini, bahwa dirinya adalah bagian tak terpisahkan dari alam, bersebati dengan alam. Karenanya orangtua-tua mereka mengatakan: "alam adalah diri kita, merusak alam bermakna merusak diri sendiri".

Keyakinan ini dipaterikan di dalam berbagai lambang, seperti "pohon alam" atau lambang-lambang lainnya yang menunjukkan persebatian mereka dengan alamnya.

Ungkapan-ungkapan Petalangan selalu mengacu kepada eratnya hubungan mereka dengan alam, seperti: bercermin ke hutan, berkaca ke tanah, bercontoh ke laut, bermisal ke langit".

Ungkapan lain berbunyi: "di dalam hutan banyak contoh teladan, di dalam rimba banyak yang bersua, di tanah banyak yang berfaedah, di laut banyak yang patut.

Dari sisi lain terlihat pula banyak upacara yang berkaitan dengan alam sekitar, dan banyak pula alat dan kelengkapan yang dihasilkan dari alamnya. Karenanya bila hutan tanah ini habis, hilanglah beragam jenis upacara adat dan tradisi, dan hilang

lenyap pula berbagai alat dan kelengkapan seni budaya yang selama ini dihasilkan dari alamnya.

2. Pemanfaatan Hutan Tanah Wi1ayat:

Hakekatnya, pemanfaatan "hutan tanah" adalah untuk kepentingan umum, yakni

(12)

raja-raja Pelalawan tetap mengakui dan bahkan melindungi hutan tanah di maksud dan adat Petalangan mengatur pemanfaatan Hutan Tanah Wilayatnya dengan

membaginya dalam 4 (empat) kelompok, yakni:

a.Tanah Kampung "Tanah Dusun" "Tanah Peladangan" dan ” Rimba larangan . "Tanah Kampung" : ialah tanah tempat pemukiman, tempat mendirikan rumah dan

pekarangan, di atas tanah ini ada hak milik pribadi, yakni untuk perumahan dan pekarangan.

b.Tanah Dusun": ialah tanah untuk berkebun tanaman keras, seperti durian, rambutan, cempedak, karet dan lain-lain. Tanah juga sebagai cadangan perluasan kampung. Di atas tanah inipun ada hak milik pribadi, yakni tanah kebunnya.

c.Tanah Peladangan": ialah tanah khusus tempat berladang yang lazimnya dilakukan secara barpindah-pidah. Adat mereka menetapkan, bahwa hak seseorang atas tanah

ini hanya selama "3 (tiga) tahun naik berladang". Maksudnya, seseorang boleh menguasai lahan itu selama 3 kali musim berladang atau 3 kali melanjutkan berladang ke arah "kepala" ladang sebelumnya. Di sini pun tidak diperbolehkan

menanam tanaman keras, kecuali bila status tanah itu sudah ditetapkan menjadi "tanah dusun". Sesudah 3 tahun berladangan orang lain boleh berladang di sana dan

seterusnya.

d.Rimba Larangan": ialah kawasan rimba belantara yang sama sekali. tidak boleh dirusak (kecuali untuk keperluan umum seperti menambah tanah peladangan, tanah

dusun atau membuka perkampungan baru). "Rimba Larangan" ini dibagi dua yakni: "Rimba Kepungan Sialang": tempat tumbuh pohon kayu Sialang atau kayu yang

(13)

bermanfaat pula untuk kehidupan habitat lainnya, karenanya pantang dirusak dan haruslah dipelihara secara cermat dan berkesinambungan.

"Rimba Simpanan": tempat hidup berbagai jenis pohon dan hewan, yang menjadi sumber nafkah masyarakat. Hutan ini sama fungsinya dengan "Rimba Kepungan Sialang" dan karenanya tidak boleh dirusak.

3. Pelestarian Hutan Tanah Wilayat

"Hutan Tanah Wilayat", pemeliharaan dan pelestariannya ditentukan dan

ditetapkan berdasarkan keputusan musyawarah adat dan menjadi "hukum adat" tempatan. Hal ini tercermin dari berbagai ketentuan adat seperti: "Adat Menyusuk Kampung'', "Adat, Menyusuk Dusun", "Adat Berladang", "Adat Kepungan

Sialang, dan lain-lain yang sudah disebutkan di atas. Selain itu, ditetapkan pula "pantang larang" terhadap pemanfaatan dan pemeliharaan hutan tanah, tasik dan

danau, suak dan sungai, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Pelanggarannya dikenakan sanksi yang berat, termasuk dikucilkan dari masyarakat atau "diasingkan".

Kearifan masyarakat Petalangan dalam memelihara dan rnelestarikan hutan tanah dan lingkungannya akan 1ebih kelihatan bila mau menyimak berbagai ketentuan

adat dan "pantang larang" mengenai pemanfaatan dan pemeliharaan hutan tanahnya. Mereka pun sudah mengenal "tataruang" sederhana dalam memanfaatkan hutan tanah, kemudian menetapkan prinsip-prinsip cagar alam untuk memelihara

keseimbangan dan pelestarian lingkungan. Mereka yang hidup sederhana, mengetahui benar detak jantung alam sekitarnya. Karenanya mereka "menyatu"

dengan alamnya dan menjadikan alam sebagai bagian dari dirinya.

(14)

penuh kearifan. Membuka kampung, dusun, peladangan, dan hutan, dimusyawarahkan terlebih dahulu, dan dipertimbangkan buruk baiknya terhadap

masyarakat dan alam itu sendiri. Bahkan secara rinci mereka menjaga agar jenis-jenis flora dan fauna tidak pupus dan harus tetap berkembang. Upaya ini dapat disimak dari ketentuan adat berladang, beramu kayu, menuba ikan, berburu,

mengambil hasil hutan dan sebagainya 11

Dari keterangan di atas terlihat bahwa dalam kehidupan masyarakat adat

Petalangan mengenal fungsi pemanfaatan sumber daya manusia sebagai sebuah ekosistem yang harus dijaga kelestariannya. Pembenaran akan adat masyarakat ini dapat dilihat dari informasi sejarah bahwa semenjak semasa kerajaan ratusan tahun

yang lalu sudah mendapat pengakuan, misalnya ketika Said Abdurrahman (1798-1822 M) adik Sultan Syarif Siak Sri Indrapura merebut tahta Pelalawan dari Maharaja Lela,

beliau mengumumkan antara lain:

a. "Adat istiadat yang berlaku dalam kerajaan Pelalawan tetap diakui dan diberlakukan sebagaimana biasa, dan raja (yang) baru tidak akan mencampurinya"

b. "Seluruh hak milik rakyat dan pesukuan tetaplah menjadi hak milik mereka seperti sediakala"

c. "Kedudukan Kepala Pesukuan dan Pemangku Adat (Satin dan Ketiapan) tetaplah seperti semula"

d."Maharaja Lela, (Raja Pelalawan yang digantikan Said Abdurrahman) diangkat

menjadi Pucuk Batin Kurang Satu Tigapuluh"

e."Terhadap penduduk "bawaan" (yakni pendatang baru yang ikut bersama Said

Abdurrahman) ketentuannya akan diatur dan ditetapkan kemudian"

f. "Hutan Tanah, suak dan pulau, tasik dan danau yang belum berpunya seluruhnya

11

(15)

dikuasai oleh raja, dan penggunaannya diatur oleh raja"

Kebijakan Sultan Abdurrahrnan ini kemudian rnenjadi acuan dasar bagi raja-raja

Pelalawan berikutnya sampai yang terakhir. Bahkan, di zarman Sultan Jaafar (1866-1872) , hak-hak adat ini dikukuhkan dengan memberikan "Surat Keterangan Hutan Tanah" yang lazim disebut "Geran Sultan" kepada semua Pebatinan di kerajaan

Pelalawan, sekaligus kepada siapa saja yang mendapat hutan tanah dari Sultan (di luar milik Pebatinan). Surat-surat ini lazimnya diperbaharui oleh Sultan Pelalawan

berikutnya.

Menjelang akhir pemerintahannya Sultan Jaafar menegaskan pula pembagian hutan tanah di Kerajaan Pelalawan, antara lain:

a. Seluruh "Hutan Tanah Wilayat Pebatinan" yang disebut "Pebatinan Kurang Satu Tigapuluh" tetaplah menjadi hak milik mereka turun temurun. Selain

mengukuhkannya dengan "Surat Keterangan Hutan Tanah" turut pula mengawasinya agar tidak diperjual belikan ke pihak lain.

b. Tanah-tanah yang belum berpunya, terutama yang terletak di daerah pesisir sungai

Kampar hingga ke Kuala, diserahkan kepada rakyat bawaan" dan orang-orang besar Kerajaan Pelalawan. Tanah-tanah ini ada yang boleh dimiliki turun temurun seperti

"Hutan Tanah Wilayat Petalangan" ada pula yang bersifat sernentara atau sekedar menggarap. Hutan tanah inipun tidak boleh diperjual belikan ke pihak luar, kecuali atas persetujuan Sultan. Terhadap tanah-tanah ini Sultan juga memberikan "Surat

Keterangan Hutan Tanah” kepada pemiliknya masing-masing. Hutan tanah ini disebut "Tanah Ayat"atau "Tanah Kaya ". Secara umum tanah dari pinggir sungai

ke daratnya ditetapkan "sepenggal gendang basah" atau " setahun naik peladangan”. c. Tanah-tanah tumbuh dan tanah baru, serta tanah-tanah yang tidak termasuk dalam

(16)

lik Sultan pribadi dan keluarganya, dan boleh diberikan Sultan kepada siapa saja. Tanah ini disebut "Tanah Tumbuh" atau "Tanah Menyorong", karena lazimnya terdiri

dari pulau dan tanjung atau sisa-sisa tanah yang tidak dimiliki orang lain. Tanah ini lah yang diberikan Sultan kepada keluarga atau sahabat terdekatnya, atau untuk digarap oleh anggota masyarakat yang memerlukannya.

Pada sisi lain untuk membertikan kekuatan hukum pada keberadaan hutan tanah masyarakat ini sebagai hak konstitusionalnya maka Raja Pelalawan memberikan ”Surat

Keterangan Hutan Tanah" atau. "Geran Sultan" dengan berdasarkan kepada "tombo" atau "terombo kepada masing-masing pesukuan (Pebatinan). Sedangkan "Surat Keterangan Hutan Tanah" yang diberikan kepada Orang-Orang Besar Kerajaan dan

anggota masyarakat di luar Petalangan tidaklah memerlukan "tombo". Tetapi kepada siapa saja yang menerimanya diwajibkan untuk menyimpan dan memegang surat

tersebut sebagai "tombo" bagi anak cucunya, sepanjang belum ada pembatalan atau pencabutan dari Sultan.

"Tombo" Petalangan ada yang disebut "tombo pendek", yakni langsung

menyebutkan nama tokoh utama pesukuan atau Batin yang pertarna sekali "mernbuka" hutan tanah atau yang pertama sekali mendapatkan hutan tanah dimaksud, kemudian

menyebutkan lokasi dan batas-batasnya; ada pula "tombo panjang" yang dituturkan dalam bentuk cerita rakyat (`radisi lisan) disebut "Nyanyi Panjang" yang memang secara panjang lebar menceritakan asal- usul pesukuan atau Pebatinan dimaksud (salah satunya

adalah Nyanyi Panjang "Bujang Tan Domang”yang menceritakan asal usul dan hutan tanah pesukuan Monti Raja di Talau Betung).

(17)

hutan anah beserta seluruh isinya, yang kemudian menjadi ketentuan adat yang wajib ditaati oleh setiap orang dan berlaku turun temurun.

Sultan Jaafar pula yang menegaskan pernbagian kelompok masyarakat di kerajaan Pelalawan beserta hak-haknya. Penegasan itu antara lain:

a. "Rakyat Darat", yakni masyarakat Petalangan yang juga disebut "Pebatinan Kurang

Sato-Tigapuluh" . Mereka ini memiliki "Hutan Tanah Wilayat" yang dikukuhkan oleh Sultan Pelalawan.

b. "Rakyat Pesisir dan Pulau", yakni masyarakat yang di luar Petalangan dan bermukim di pinggir-pinggir sungai dan pesisir pantai Sumatera dan di kepulauan yang masuk wilayah kerajaan Pelalawan, lazimnya disebut "Melayu Pesisir". Masyarakat ini

dapat memiliki hutan tanah tetapi atas "karunia" atau "pemberian" Sultan. Kepemilikannya dapat berlaku turun temurun, dapat pula sebagai "tanah garapan" se

masa ia masih hidup. Penegasan hak ini dikeluarkan oleh Sultan Pelalawan seperti terhadap hak adat Petalangan.

c. "Rakyat Dagang", terdiri dari para pendatang dan menetap sementara dan tidak pula

mau "masuk” ke dalam salah satu pesukuan atau masyarakat yang ada. Mereka ini tidak mendapatkan hutan tanah, dan kalaupun mau berusaha statusnya sebagai

"penumpang". Kelompok ini dikepalai oleh "Penghulu Dagang" atas pilihan rnasyarakatnya kemudian dikukuhkan oleh Sultan Pelalawan.

d. "Rakyat Asing", adalah masyarakat non Melayu, seperti Cina yang hanya dibenarkan

"rnenumpang" untuk sementara dalam kawasan tertentu saja. Kelompok Cina dikepalai-oleh "Xapi tan Cina" berkedudukan di pulau Mendol ( Penyalai, Kuala

(18)

Ketetapan inilah yang selanjutnya dikekalkan di kerajaan Pelalawan sampai kerajaan itu berakhir. Ketetapan ini pula yang menyebabkan di kerajaan Pelalawan tidak ada

orang luar apalagi bangsa asing yang memiliki hutan tanah.

Keteguhan masyarakat Petalangan mematuhi ketentuan Sultan dan adat istiadat mengenai hutan tanah, menyebabkan kawasan mereka selama ratusan tathun tetap terpelihara, dan

tidak pula terjadi sengketa perbatasan atau penyerobotan lahan. Hal ini pula yang meyakinkan pemerintah R.I. untuk menentukan tata batas desa dan kabupaten di kawasan

itu berdasarkan kepada tatabatas yang disebutkan "tombo" Petalangan. Diantaranya adalah penetapan tatabatas antara Kecamatan Pasir Penyu ( Kab.Indragiri-Hulu sekarang) dengan Kecamatan Pengkalan Kuras (Kab.Kampar) yang merujuk kepada

batas "tombo" hutan tanah Batin Tua Napuh. Tata batas itulah yang dipakai oleh Wedana Pelalawan waktu itu (A.Wahab) pada tanggal 5 Mel 1948.

Penetapan tatabatas-desa yang berdasarkan tatabatas hutan tanah dalam "tombo" dimaksud, bermula sejak tahun 1947. Dalam tahun itulah dikumpulkan seluruh "Surat Keterangan Hutan Tanah" milik Pebatinan' yang dikeluarkan Sultan Pelalawan.

Surat-surat dimaksud diantarkan ke Pelalawan yang sudah menjadi ibu kewedanaan Pelalawan. Sayangnya, surat-surat dimaksud harmpir tidak dikembalikan lagi kepada para Batin atau

pesukuan yang bersangkutan, dan ketika terjadi agresi 1949, surat-surat itupun musnah baik akibat dibawa mengungsi maupun

dibakar bersama arsip-arsip lainnya. Yang tersisa hanya sebagian kecil atau hanya

"tombo" yang diingat oleh masing-masing Pebatinan, serta surat-surat tanah milik pribadi atau kelompok masyarakat di luar Pebatinan.

(19)

pribadi Sultan Hasyim Pelalawan), Tengku Tonel (Jaksa terakhir kerajaan Pelalawan), Tengku Said Jaafar Muhammad (pencatat sejarah dan adat istiadat Pelalawan, dan pernah

beberapa tahun kemudian menjadi Assisten Wedana di Kecamatan Pengkalan Kuras dan Ketua DPRD Kampar), Tengku Nazir Alwy (pencatat sejarah dan kebudayaan Petalangan dan pernah menjadi Assisten Wedana. di Bunut dan Ketua DPRD Kampar)

dan lain-lain.

Dari catatan beliau-beliau ini dan keterangan lisannya, banyaklah diperoleh informasi,

baik mengenai asal-usul pesukuan maupun hutan tanahnya. Hal ini diakui pula oleh seluruh Batin-Batin dan Ketiapannya.12

b. Pengaruh Penataan Hukum Pertanahan dan Hukum Kehutanan bagi Masyarakat Adat Petalangan serta Hak Tanah Adat Tradisional.

Semasa awal kemerdekaan eksistensi Persekutuan Hukum Adat dan hak ulayat masyarakat Petalangan memiliki peran dalam penentuan batas Walayah

Kecamatan, yang pada awalnya wilayah Masyarakat Petalangan dimasukkan kedalam 4 (empat) wilayah Kecamatan, yaitu Pangkalan Kuras, Langgam, Bunut dan Kuala

Kampar, semasa wilayah ini masih berada dalam kawasan Kabupaten Kampar.

Dibukanya perkebunan besar seperti perkebun sawit swasta dan Nasional serta hak-hak yang diberikan pemerintah pada pengusaha dalam memanfaatkan hasil hutan

adalah awal perubahan yang terjadi pada eksistensi hak ulayat masyarakat.

Data lapangan menjelaskan bahwa nama perusahaan yang bergerak dibidang HPH

dan Kelapa Sawit di wilayah masyarakat petalangan adalah sebagai berikut:

12

(20)

1. Perusahaan yng bergerak dibidang Hak Pengusahaan Hutan ada 3 (tiga) secara garis besar, yaitu : PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP), PT Arara Abadi dan

PT Nanjak Makmur yang wilayah operasionalnya adalah Kecamatan Pangkalan Kuras, Kecamatan Ukui, Kecamatan Pangkalan Lesung dan Kecamatan Kerumutan dan Kecamatan Langgam. Dalam kawasan operasional perusahaan ini

juga banyak merupakan kawasan / wilayah Pebatinan, antara lain Batin Sengiri dan Batin Monti Raja.

2. Perusahaan di bidang Perkebunan Sawit serta letak wilayah operasional yaitu: a. PT Surya Brata Sena, wilayah operasinya adalah Kecamatan Pangkalan

Kuras dan Sebahagian di Kecamatan Langgam.

b. PT Musim Mas, wilayah operasinya adalah di Kecamatan Ukui, Kecamatan Pangkalan Lesung dan sebahagian di Kecamatan Pangkalan

Kuras.

c. PT Inti Indo Sawit, wilayah operasinya di Kecamatan Pangkalan Kerinci dan Kecamatan Ukui.

d. PT Sari Lembah Subur, wilayah operasinya adalah Kecamatan Ukui, Kecamatan Pangkalan Lesung dan Kecamatan Kerumutan.

e. PT Serikat Putra, wilayah operasinya adalah Kecamatan Pangkalan Kuras, dan Kecamatan Bunut.

f. PT Adei, wilayah operasi usahanya adalah Kecamatan Pangkalan Kuras

dan Kecamatan Bunut.

g. PT Inti Langgam, wilayah operasinya di Kecamatan Pangkalan Kuras

(21)

Landasan kebijakan undang-undang pertanahan dan undang-undang kehutanan adalah Pasal 33 UUD 1945. yang menyatakan bahwa :

Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan.

Cabang produksi yang terpenting bagi negara, yang menguasai hajad hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Bumi, air dan Ruang Angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Khususnya di bidang pertanahan, Pasal 33 ayat ( 3) UUD 1945 diimplementasikan

oleh UUPA No 5 Tahun 1960

Pasal 2 UUPA menyatakan bahwa:

1. Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkat tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai

organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

2. Hak menguasai dari negara termasuk dalam ayat (1) pasal ini memberikan

wewenang untuk:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan , penggunaan , persediaan dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut

b. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.

c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

3. Wewenang yang bersumber dari hak menguasai negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam

arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

(22)

diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan peraturan pemerintah.

Berkaitan dengan hak menguasai negara dalam mengatur bentuk hubungan hukum antara perorangan dengan tanah dan hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum antara orang dengan tanah , maka Pasal 16 UUPA telah mengatur

tentang bentuk-bentuk hubungan hukum antara orang dengan tanah, antara lain : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak guna Bangunan, Hak Pakai dan hak yang bersifat

sementara. Apabila pasal ini dikaitkan dengan Pasal 3 UUPA , maka jelas pada pasal ini tidak dimasukkan jenis hak ulayat sebagai hak salah satu bentuk hak yang dapat dimiliki oleh masyarakat atas tanah. Akibat lebih lanjut adalah dalam rangka

pendaftaran tanah yang mengatur dengan Pasal 19 UUPA dan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997, hak tersebut tidak termasuk kedalam salah satu hak yang harus di

daftarakan dan karakternyapun tidak diketahui akan termasuk ke dalam kelompok hak yang mana dalam Pasal 16 UUPA.

Dengan diundangkannya UUPA No 5 Tahun 1960, konsepsi Hak ulayat

memiliki dimensi yang berbeda dengan konsep hak ulayat dalam pandangan Persekutuan Hukum. Karena UUPA cakupan keberlakuannya bersifat nasional

dalam kawasan teritorial Negara RI. Oleh sebab itu banyak pandangan pro dan kontra terhadap sikap UU ini terhadap hak ulayat yang ada.

Undang-undang ini mencabut Domein Verklaring, mengakui hak ulayat di bawah

Hak Menguasai Negara sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang

berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.

(23)

“ Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan Negara sebagai yang disebut dalm Pasal 1 dan 2, maka di dalam Pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu di dalam hukum agraria yang baru. Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyatannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusabn hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi di dalam undang-undang. Dengan akibat bahwa di dalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu sering kali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam UUPA, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya sepanjang hak tersebut menurut kenyataaanya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya di dalam pemberian sesuatu hak atas tanah ( umpamanya hak guna usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan di dengar pendapatnya dan akan diberi “ recognitie”, yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat,… “

Sejarah membuktikan bahwa menjelang Tahun 1960-an tidak banyak menimbulkan

persoalan, namun setelah itu perlindungan dan penghormatan negara terhadap masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya atas tanah dan hutannya,

mengalami penurunan secara sangat berarti. Berbagai interpretasi atas konsepsi yang ada pada masyarakat hukum beserta hak-hak komunalnya banyak bermunculan dengan parameter yang berbeda. Pada satu sisi masyarakat hukum adat memiliki

pemahaman konsep pada lingkungan hukumnya, disisi lain negara yang berdaulat juga demikian. Keadan ini berjalan berpuluh tahun, khususnya dimasa orde baru yang

sarat dengan kepentingan politik pembangunan ekonomi, yang berlindung dibalik hukum perundang-undangan sebagai instrumen kekuasaan13. Penguasa negara banyak berbuat kebijakan sepihak dengan kurang memperhatikan dan mengindahkan hak-hak

masyarakat lokal. Berbagai produk hukum yang ada apakah dalam bentuk beschikking

13

(24)

maupun regeling telah membuat berbagai perubahan yang berakibat pada masyarakat adat dengan segala hak yang dimilikinya, yang pada akhirnya diakui atau atau tidak

dalam kenyataannya keberadaan mereka terpinggirkan bahkan dalam hal-hal tertentu tidak dianggap ada sama sekali. Banyak contoh yang dapat dilihat, antara lain sebagai akibat diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA14.

Undang-Undang No 5 Tahun 1967 yang kemudian diganti dengan Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 15, dengan beberapa peraturan pelaksanannya16.

Konsekwensi dari pengaturan produk hukum, ini merubah bahkan merusak tatanan adat yang pada akhirnya telah membawa pengaruh besar bagi organisasi masyarakat hukum adat yang ada di dalamnya yang sebelumnya juga mempunyai otoritas

tersendiri atas pengaturan, fungsi serta pengelolaan sumber daya alam yang ada pada mereka. Secara Nasional banyak contoh kebijakan hukum yang dikeluarkan pemerintah

14

Sebagai produk politik, bahwa undang-undang ini sebagai perwujudan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sehingga telah menetapkan konsepsi hak menguasai negara dibidang pertanahan, bahwa negara sebagai kekuasaan tertinggi memiliki hak atas penguasaan bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang ada. Makna yang terkandung dari semua ini adalah bahwa negara sebagai kekuasaan organisasi yang tertinggi memiliki hak-hak atas bumi, air, ruang angkasa beserta alam yang terkandung di dalamnya. Berkaitan dengan hak menguasai negara dalam mengatur bentuk hubungan hukum antara perorangan dengan tanah dan hubunganan hukum antara orang dan perbuatan hukum antara orang dengan tanah , maka Pasal 16 UUPA telah mengatur tentang bentuk-bentuk hubungan hukum antara orang dengan tanah, antara lain : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak guna Bangunan, Hak Pakai dan hak yang bersifat sementara. Apabil pasal ini dikaitkan dengan Pasal 3 UUPA , maka jelas pada pasal ini tidak dimasukkan jenis hak ulayat sebagai hak salah satu bentuk hak yang dapat dimiliki oleh masyarakat atas tanah. Akibat lebih lanjut adalah dalam rangka pendaftaran tanah yang mengatur dengan Pasal 19 UUPA dan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997, hak tersebut tidak termasuk kedalam salah satu hak yang harus di daftarakan dan karakternyapun tidak diketahui akan termasuk ke dalam kelompok hak yang mana dalam Pasal 16 UUPA.

15. Political will Pemerintah dalam Undang-undang Kehutanan tidak mengakui Hak ulayat, karena menganut paham Domein Negara dengan mengklaim semua hutan yang tidak dapat dibuktikan sebagai hutan milik, adalah hutan negara . Hak ulayat bukanlah hak milik, akibatnya hak ulayat atas tanah menjadi objek sengketa dengan Departemen Kehutanan. Dan sumber sengketa bertambah karena peta hutan yng dibuat oleh Departemen Kehutanan tidak berdasarkan kepada survei, sehingga kebun rakyat dipetakan sebagai hutan. Sementara Badan Pertanahan Nasional tidak mempunyai kewenangan atas yang dinyatakan sebagai hutan. Konversi hutan dalam kenyataan tidak memberikan peluang kepada masyarakat secara individual, terutama setelah izin pembukaan tanah menurut PMDN Nomor 6 Tahun 1972 dicabut. Kebijakan untuk mendapatkan tanah melalui konversi tata guna hutan oleh Departemen Kehutanan lebih menguntungkan instansi Pemerintah seperti Transmigrasi, Pertambangan dan pengusaha dibidang Pertanian dan Perkebunan dengan menggunakan koperasi sebagai alat penyertaan rakyat. Berkaitan dengan ketentuan status hutan , yaitu hutan negara dan hutan milik ( lihat pasal 5 ayat (1) uu No 41 Tahun 1999, Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah ( lihat Pasal 1 angka 3 UU No 41 Tahun 1999). Termasuk kedalm hutan negara ini adalah hutan adat ( lihat pasal 1 angka 6 UU No 41 Tahun 1999) Sementara yng dimksud dengan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanaha yang dibebankan hak atas tanah ( Pasal 1 angka 5 UU No 41 Tahun 1999) sebagai mana yang di atur dalam Pasal 16 UUPA.

16

(25)

sehubungan dengan tanah sebagai basis keberadaan masyarakat adat dengan segala hak-hak konstitusinya. Dengan hanya bermodal sebuah dokumen akan dapat membawa akibat

hilangnya hubungan sakral antara masyarakat adat dengan wilayah yang dimilikinya. Walaupun dalam hal tertentu ada maksud baik dari pemerintah dalam pengelolaan tanah dan hutan17, akan tetapi dalam kenyataannya tidak ada jaminan semua itu akan berjalan

baik.

Keadaan ini mulai terjawab semenjak berjalannya era reformasi disaat adanya

pengakuan secara konstitusi terhadap masyarakat hukum adat dengan segala hak-hak konstitusinya yang lebih lanjutnya diatur pada sebuah undang-undang 18. Kemudian secara jelas terlihat pengembangan dalam bentuk pembinaan dan perlindungan atas

legalitas masyarakat adat merupakan kewenangan Negara melalui Pemerintah Daerah.19 Adalah suatu kemajuan, legalitas hukum atas masyarakat adat sudah banyak diatur,

serta dalam konsep pengakuan dan penghormatan itu bisa saja dihormati20, tapi dalam

17

Bandingkan Djamaloedin, Pembangunan Kehutanan Pada PJP II, Kerbijakan dan Permasalahannya Dalam

Rangka Amanat UUD 1945, Makalah, Pekanbaru 1994:49, bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam pembangunan

kehutanan adalah, 1. Peningkatan mutu hutan alam, rehabilitasi hutan alam yang rusak dan pemantapan kawasan hutan tetap agar fungsi hutan dalam mendukung pembangunan ber kelanjutan dapat ditingkatkan. 2. Peningkatan efisiensi dan produktifitas pengelolaan hutan alam dan industri pengelolaan hasil hutan agar lebih hemat dalam pemanfaatan hutan dan hasil hutan. 3. Pengembangan hutan tanaman baru , baik HTI maupun hutan rakyat untuk meningkatkan tambahan pendapatan bagi masyarakat terutama di daerah kritis sekaligus dalam rangka meningkatkan mutu lingkungan hidup. 4. Peningktan kemampuan dunia usaha swasta dan masyarakat untuk mengembangkan pengelolaan hutan alam yang berwawasan lingkungan dengan penerapan system yang berwawasan lingkungan dengan penerapan sistem silvikultur intensif dan pendekatan social ekonomi yang tetap. Peningkatan kesejahteraan penduduk miskin di dalam dan di sekitar hutan melalui pengembangan usaha produktif atas dasar kemitraan kerja dan usaha yang mantap sekaligus untuk meningkatkan pendapatan daerah tertinggal.5. Pengembangan hasil hutan untuk ekspor yang berasal dari hutan yang dikelolah secara lestri. 6. Peningkatan kemampuan dan kepedulian Pemerintah Daerah dalam pelestarian fungsi hutan sebagai sumber daya ekonomi dan penyediaan jasa lingkungan hidup.

18

Pasal 18B ayat (2) bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih ada dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang di atur dalam UU, Pasal 281 ayat (3) bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembanganh zaman dan peradaban

19

Lihat Bab VI Amendemen UUD 1945 Tahun 2000 dengan judul Pemerintah Daerah.

20

(26)

tahap implementasi mungkin tidak mudah dengan alasan jumlah masyarakat hukum adat dengan segala bentuk dan dasar filosofisnya yang berbeda harus diatur dalam sebuah

Undang-undang. Mengingat pengembangan lebih lanjut peranan pemerintah daerah sangat menentukan, dengan demikian kajian-kajian yang memberikan dukungan sebagai masukan membantu amanah konstitusi harus selalu dilakukan21. Keadaaan ini lebih efektif bila

melalui sebuah kajian ilmiah dalam bentuk penelitian. Yang pada akhirnya dapat dijadikan referensi dalam pengakuan dan perlindungan oleh negara, tentunya tetap memperhatikan

prinsip Berwawasan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kebersamaan, berdaya guna dan berhasil guna, berkeadilan dan berkekuatan hukum 22.

3. Kesimpulan

Melalui berbagai produk hukumnya, negara telah mengambil kebijakan yang tidak memberikan perlindungan dan penghomatan atas hak-hak tradisional masyarakat adat,

yaitu hak-hak atas kebendaan (tanah, hutan, sungai) dalam hal ini masyarakat adat

II Kampar. Namun apabila penduduk yang bersangkutan tidak bersedia dilakukan ganti rugi maka terhadap kebun rakyat/tanah garapan penduduk tersebut harus dikeluarkan dari perkebunan.

21Beberapa kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Daerah Provinsi Riau menunjukkan keinginan untuk

memberikan perlindungan pada hak-hak masyarakat adat. Gubernur Riau telah mengeluarkan SK Gubernur No. 118/Kpts/IX/1972 tentang perlindungan terhadap Jenis-jenis Kayu milik masyarakat yang harus dilindungi dan mutlak tidak boleh ditebang karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat adat. Hal serupa juga dilakukan oleh Bupati Kampar pada tahun 1989, saat dimana kabupaten Kampar meliputi juga wilayah Pelalawan sekarang. Bupati Kampar pada tanggal 11 Nopember 1989, mengeluarkan Surat keputusan tentang rambu-rambu bagi pengusaha agar tidak membuka lahan dalam jarak 1,5 km sampai 2 km dari jalan atau perkampungan masyarakat, serta penetapan beberapa wilayah yang di inclave dan tidak boleh diolah perusahaan seperti kebun masyarakat, perkampungan dan pekuburan dan yang lainnya. Namun, ternyata dalam kenyataannya kekuatan korporasi yang didukung oleh rezim penguasa yang sangat berpihak pada kaum pemodal, tidak dapat dikalahkan oleh kebijakan oleh pemerintah daerah.

Untuk menggambarkan konflik lahan masyarakat dengan sejumlah perusahaan berikut ini beberapa berita di mass media pada awal tahun 2000-an. Tanah Ulayat Pangkal Sengketa Masyarakat dengan Perusahaan ( Riau Pos, 11 Maret 2000), Tanah Ulayat Penyebab Ratusan Demo (Riau Pos, 10 Februari 2000), Gawat Ganti Rugi tanah Ulayat ( Riau Pos, 27 April 2000), Adat dan Pertanahan Pelalawan Dibahas Khusus, Kasus Tanah Akibat Ketidakmengertian (Riau Pos, 4 Oktober 2000), BPN belum jamin tanah ulayat aman (Riau Pos, 5 Oktober 2000), Mendesak Perda Tanah Ulayat (Riau Pos, 12 Juli 2000), Diduga Kepala DesaKembangbunga, Jual Tanah Ulayat 9 Pekanbaru Pos, 14 februari 2001), Kembalikan Tanah Ulayat pada Rakyat (Riau Pos, 16 Juli 2001), Protes Hutan Ulayat Dibabat ( Riau Pos, 17 November 2001), Warga Tuntut PT Misim Mas Kembalikan Lahan (Riau Pos, 17 Oktober 2001).

22

(27)

Petalangan, di Kabupaten Pelalawan. Di luar hak-hak itu, terkait dengan kesenian, kebudayaan serta pelembagaannya dalam bentuk Lembaga Adat Melayu, negara tetap

memberikan apresiasi dan menghomatinya. Namun penghormatan yang demikian ini, dinilai sebagai telah kehilangan ruh dan marwah masyarakat adat, mengingat tanah dan hutan tempat berdiri dan kokohnya masyarakat adat, belum menunjukkan ada upaya untuk

memulihkannya. Perpanjangan hak-hak atas hutan dan atas tanah di atasnya, pada puluhan perusahaan-perusahaan yang beropreasi di wilayah wilayat tanah masyarakat adat

Pealangan, yang sebetulnya dapat dimusyawarahkan dengan masyarakat adat, ternyata sama sekali tidak mempertimbangkan eksistensi masyarakat adat. Hal yang lebih menyedihkan adalah ketika pemimpin daerah di Pelalawan dipimpin oleh kepala daerah

yang dipilih sendiri oleh rakyatnya, ternyata tidak menunjukkan upaya perlindungan atau penghormatan atas hak-hak tradisional masyarakat adat, khususnya yang berkaitan dengan

tanah wilayatnya.

Daftar Keputakaan.

Amidhan Shaberah, Legalitas Masyarakat hukum Adat dan Kendala Pelaksanannya dalam Paper 14 Desember 2008

Bushar Muhammd, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1988.

B Ter-Har, Dalam Asas dan Susunan Hukum Adat ( Terjemahan K Ng Soebakti , PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1976.

Djamaluddin, Pembangunan Kehutanan Pada PJP II, Kerbijakan dan Permasalahannya Dalam Rangka Amanat UUD 1945, Bahan Seminar Nasional, Pekanbaru 1984.

Mahadi, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat sejak RR Tahun 1854, Perpustakaan Fak Hukum USU, Medan 1987.

Mohd Koesno, Hak-Hak Persekutuan Hukum Adat Dalam Sistem hukum Indonesia, dalam Makalah Seminar, Pekanbaru, 1994.

(28)

M Nasroen, Dasar Falsafah Adat Minang Kabau, Bulan Bntang, Djakarta, 1971.

Djamaluddin, Pembangunan Kehutanan Pada PJP II, Kerbijakan dan Permasalahannya Dalam Rangka Amanat UUD 1945, Bahan Seminar Nasional, Pekanbaru 1984.

Ramli Zein, Refungsionalisasi Hak Ulayat dalam Sistem Demokratisasi Ekonomi Indonesia, Makalah Seminar, Pekanbaru, 1998.

Ronald Z Titahelu, Masyarakat Adat dan Pembangunan, Menuju Keutuhan Makna Pembangunan Bagi Manusia dn Masyarakat Adat, Makalah Seminar, Pekanbaru, Oktober 1998.

Safroedin Bahar, Kebijakan Negara Dalam Rangka Pengakuan, penghormatan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Iondonesia, Makalah, Lombok, 21-23 Oktober 2008

Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, CV Rajawali, Jakarta, 1981. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pkok Agraria. Undang-Undang No 5 Tahun 1967 Tentang Kehutanan.

Undang-Undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

PP No 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan hasil Hutan.

PP No 28 tahun 1985 tentang Perlindungan Hasil Hutan.

SKB Menteri Kehutanan dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No 361/Kpts-VII/90 tentang Petunjuk Teknis Penataan Batas dan Pengukuran Kadastral Dalam Rangka Pelepasab Kawasan Hutan dan Pemberian Hak Guna Usaha untuk Pengembangan Usaha Pertanian.

SKB Menteri Kehutanan, Pertanian dan Badan Pertanahan No 364/Kpts-II / 90, 519/Kpts/HK 050/7/90 dan 23-VIII-1990 tanggal 25 juli 1990 tentang pelepasan kawasan hutan untuk budi daya pertanian..

SKB Menteri Trasmigrasi dan Menteri Kehutanan No. 80/MEN/1990 dan 375/Kpts-II/1990 tanggal 28 Juli 1990 tentang pelepasan hutan untuk kawasan Transmigrasi.

PP No 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi.

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan pembelajaran berbasis masalah dirancang untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan penalaran, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan

Petir/kilat merupakan gejala listrik alami dalam atmosfer Bumi yang tidak dapat dicegah (Pabla, 1981 dan Hidayat, 1991) yang terjadi akibat lepasnya muatan listrik baik

Retribusi Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit adalah pembayaran atas jasa pelayanan kesehatan RSUN, dengan kata lain Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah sebagian atau seluruh

Alasan utama dipilihnya bunglon sebagai sumber ide untuk berkarya, karena bunglon merupakan hewan reptil yang memiliki wajah ekspresif seperti manusia dan dapat merubah

Sedangkan pada kondisi KHDTK ULM tutupan tajuk pohon di lokasi penelitian tutupan tajuknya sedang sehingga tumbuhan pasak bumi tersebut tumbuh mendekati pohon

Studi mengenai kinerja perusahaan telah banyak dilakukan oleh para peneliti dengan berbagai ukuran rasio keuangan maupun model analisis yang dapat digunakan dalam

755 Yohanes SMP Bunda Hati Kudus DKI Jakarta srt baptis 756 Giovanie Anggasta Yogg SMP Katolik RICCI II Banten lengkap 757 Agustinus Dimas Riyandi SMP YPPK Santu

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan