• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Komite Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan di Tiga SMP Negeri Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali T2 942009033 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Komite Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan di Tiga SMP Negeri Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali T2 942009033 BAB II"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Desentralisasi Pendidikan

Sejarah pendidikan di Indonesia sampai dengan awal tahun 2000 menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia bersifat sentralisasi, segala sesuatu di atur dari tingkat pusat dan berlaku sama diseluruh wilayah Indonesia tanpa memperhatikan kondisi dan situasi daerah. Segala bentuk kegiatan penyelenggaraan pendidikan dilakukan berdasarkan petunjuk dari pusat yang dituangkan dalam bentuk juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis) yang harus dipedomani oleh semua sekolah secara sama. Kurikulum yang digunakan di semua tingkat sekolah baik SD, SMP ataupun SMA dan SMK satu jenis, kita mengenal hanya satu kurikulum nasional yang berlaku sama dari Sabang sampai Merauke, daerah tidak mendapat ruang untuk mengembangkan kurikulumnya sesuai potensi daerah masing-masing. Segala sesuatu diatur secara rinci oleh pemerintah pusat, pemerintah di daerah hanya sebagai pelaksana kebijakan.

Hal sentralisasi dan desentralisasi pendidikan, Tilaar(2002) berpendapat sebagai berikut :

(2)

2

memungkinkan lahirnya masyarakat terbuka yang demokratis dimana setiap manusia mempunyai kesempatan mengembangkan potensinya dan menyumbangkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi pendidikan akan melahirkan warga negara yang inovatif, yang bisa bersaing tetapi yang juga dapat bekerja sama membangun suatu masyarakat yang demokratis.

Desentralisasi menurut Maddick (dalam Kuncoro,2004) didefinisikan sebagai proses dekonsentrasi dan devolusi. Dekonsentrasi adalah pendelegasian wewenang atas fungsi-fungsi tertentu kepada staf pemerintah pusat yang tinggal diluar kantor pusat, sedangkan devolusi merupakan penyerahan kekuasaan untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah pada umumnya dianggap sebagai manifestasi struktural dari desentralisasi. Dengan demikian desentralisasi berarti pendelegasian wewenang dan penyerahan kekuasaan kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu. Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada orang-orang pada level bawah (daerah).

(3)

3 kekuasaan politik dan otoritas administrasi ditetapkan Undang-undang No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang meletakkan dasar-dasar hubungan pusat-daerah. Pasca Orde Baru (1998 sampai sekarang) yang dikenal dengan era Reformasi telah ditetapkan Undang-Undang No.22tahun 1999 yang mengatur tentang Pemerintah Daerah. Menurut UU N0. 22 tahun 1999 pasal 7 menyebutkan bahwa:

Kewenangan kabupaten dan kota mencakup semua bidang pemerintahan yaitu pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, investasi, lingkungan hidup, urusan tanah, koperasi, tenaga kerja.

Dengan demikian jelaslah bahwa kebijakan pendidikan berada di bawah kewenangan pemerintah kabupaten dan kota.

Fattah(2004) menyatakan bahwa:

(4)

4

diharapkan sekolah menjadi lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangannya yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakatnya.

Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah Otonom dalam bidang pendidikan dan kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan pemerintah meliputi hal-hal antara lain:

penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya; penetapan standar materi pelajaran pokok; penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik; penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan; penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah, dan luar sekolah; pengaturan dan pengembangan pendidikap tinggi, pendidikan jarak jauh, serta pengaturan sekolah internasional.

(5)

5 Standar Nasional Pendidikan menjadi dasar dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.

Desentralisasi pendidikan menurut Mulyasa (2002) memberikan kewenangan kepada sekolah dan masyarakat setempat untuk mengelola pendidikan. Hal ini memungkinkan adanya kerjasama yang erat antara staf sekolah, kepala sekolah, guru dan masyarakat dalam upaya pemerataan, efisiensi, efektivitas, peningkatan kualitas dan produktivitas pendidikan.

(6)

6

2.2

Manajemen Berbasis Sekolah

Menurut KBBI manajemen berarti penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran, basis berarti asas, dasar, berbasis mempunyai arti menjadikan sesuatu sebagai basis, sedangkan sekolah berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran, dari arti katanya maka manajemen berbasis sekolah mempunyai arti penggunaan sumber daya sekolah secara efektif sebagai dasar untuk pelaksanaan proses pembelajaran.

Menurut penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 51 ayat (1) yang

dimaksud dengan manajemen berbasis

(7)

7 langsung kepada kelompok-kelompok terkait dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan. Pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah merupakan sarana peningkatan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Dengan keterlibatan kepala sekolah dan guru dalam pengambilan keputusan-keputusan sekolah akan mendorong rasa kepemilikan yang tinggi terhadap sekolahnya. Dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sekolah pemerintah akan terbantu dalam kontrol maupun pembiayaan pendidikan.

Menurut Chapman (dalam Fattah,2004) Manajemen Berbasis Sekolah adalah suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk meredisain pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada Kepala Sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup pendidik dan tenaga kependidikan, siswa, kepala sekolah, orang tua/wali murid dan masyarakat. Manajemen berbasis sekolah merubah pengambilan keputusan dengan memindahkan otoritas dalam pengambilan keputusan dan manajemen ke setiap yang berkepentingan di tingkat lokal (local stakeholders).

(8)

8

sekolah, mendorong partisipasi secara langsung dari warga sekolah (guru,siswa, kepala sekolah,karyawan) dan masyarakat(orang tua siswa,tokoh masyarakat, ilmuwan,pengusaha) dan meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi sekolah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan sekolah serta tuntutan masyarakat yang ada.

Karakteristik dasar MBS menurut Saud (dalam Mulyasa, 2003) adalah pemberian otonomi yang luas kepada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang tinggi, kepemimpinan sekolah yang demokratis dan professional, serta adanya team work yang tinggi dan professional.

(9)

9 masyarakat yang mampu, sementara yang kurang mampu menjadi tanggung jawab pemerintah. MBS memberi peluang bagi kepala sekolah, pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik untuk melakukan pembaharuan di sekolah, yang berhubungan dengan masalah kurikulum, pembelajaran maupun manajerial yang tumbuh dari aktifitas, daya kreasi dan profesionalisme yang dimiliki.

Sejalan dengan pendapat Mulyasa, Rohiat (2010:48) menyatakan bahwa tujuan penerapan MBS adalah meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata pengelolaan sekolah yang bermutu, yaitu partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Kinerja sekolah sendiri meliputi peningkatan mutu, efektivitas dan efisiensi, produktivitas dan inovasi pendidikan.

Sedangkan menurut Fattah(2004) MBS mempunyai tujuan agar otonomi sekolah dan partisipasi masyarakat atau local stakeholders

mempunyai keterlibatan yang tinggi. MBS menawarkan kebebasan kekuasaan yang besar pada sekolah dengan tetap disertai seperangkat tanggung jawab yang harus dipikul.

(10)

10

sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya memperbaiki kinerja sekolah yang mencakup guru, kepala sekolah, staf, orang tua siswa dan masyarakat (Fattah, 2004). Prinsip MBS adalah menempatkan kewenangan yang bertumpu pada sekolah dan masyarakat, menghindari format sentralisasi dan birokratisasi, sekolah memperoleh kewajiban, wewenang dan tanggung jawab yang tinggi dalam meningkatkan kinerjanya. Secara konsepsional MBS akan membawa dampak terhadap peningkatan kinerja sekolah dalam hal mutu,efisiensi keuangan,pemerataan kesempatan dan pencapaian tujuan publik.

Dengan MBS sekolah diberi kesempatan untuk menyusun kurikulum sendiri sesuai kebutuhan masyarakat setempat. Melalui penyusunan kurikulum rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan peserta didik dan masyarakat. Prestasi peserta didik dapat dioptimalkan melalui peningkatan partisipasi orang tua, kesempatan berpartisipasi dapat meningkatkan komitmen kepada sekolah. Adanya kontrol dari masyarakat dan monitoring dari pemerintah maka pengelolaan sekolah lebih transparan, akuntabel dan demokratis, serta menghapus monopoli dalam pengelolaan pendidikan.

(11)

11 guru, staf dan masyarakat setempat dapat melaksanakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan, perkembangan zaman, karakteristik lingkungan dan tuntutan global. Cook dan Macaulay (dalam Mulyasa 2002) memberikan definisi pemberdayaan sebagai alat penting untuk memperbaiki kinerja organisasi melalui penyebaran pembuatan keputusan dan tanggung jawab. Dalam dunia pendidikan pemberdayaan merupakan cara yang praktis dan produktif untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari kepala sekolah, guru dan pegawai, dengan membagi tanggung jawab secara proporsional kepada para guru dan melibatkan para guru dalam proses pengambilan keputusan dan tanggung jawab sehingga guru memiliki rasa percaya diri. Pemberdayaan sekolah juga ditempuh melalui pemberdayaan peserta didik dan masyarakat setempat. Menurut Mulyasa(2002) pemberdayaan terjadi melalui beberapa tahap yaitu:

Pertama, masyarakat mengembangkan sebuah kesadaran awal bahwa mereka dapat melakukan tindakan untuk meningkatkan kehidupannya dan memperoleh ketrampilan agar mampu bekerja lebih baik; kedua, mengalami pengurangan perasaan ketidakmampuan dan peningkatan kepercayaan diri; ketiga tumbuhnya ketrampilan dan kepercayaan diri, masyarakat bekerja sama dalam pengambilan keputusan dan memilih sumber daya yang berdampak pada kesejahteraannya.

(12)

12

yaitu efektivitas, efisiensi dan produktivitas. Efektivitas MBS berarti bagaimana MBS berhasil melaksanakan tugas pokok sekolah, mendorong partisipasi masyarakat, memperoleh dan memanfaatkan sumber daya, dana dan sumber belajar untuk mewujudkan tujuan sekolah. Efisiensi dapat dianalisis dari input dan out put, dan dari proses pendidikan yang merupakan interaksi dari faktor-faktor manusiawi dengan non manusiawi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan waktu yang disediakan, dikatakan efisien jika melakukan banyak proses dalam waktu yang relatif singkat. Efisiensi biaya pendidikan dalam MBS memberi penekanan kepada alokasi anggaran atau penggunaan dana terhadap kegiatan belajar mengajar secara langsung, dengan demikian penggunaan biaya ditujukan untuk peningkatan mutu pendidikan, dengan memprioritaskan kebutuhan proses belajar mengajar dibanding dengan belanja investasi lainnya. Produktivitas dalam pendidikan berkaitan dengan keseluruhan proses penataan dan penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.

Manfaat yang diperoleh dalam melaksanakan MBS menurut Dadi Permadi dan Daeng Arifin (2007) adalah :

(13)

13

pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan; (3) pengambilan keputusan partisipatif yang dilakukan dapat memenuhi kebutuhan sekolah karena tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya; (4) penggunaan sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif apabila masyarakat turut serta mengawasi; (5) keterlibatan warga sekolah dalam pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat; (6) sekolah bertanggung jawab tentang mutu pendidikan di sekolah kepada pemerintah, orang tua, peserta didik dan masyarakat; (7) sekolah dapat bersaing dengan sehat untuk peningkatan mutu pendidikan; (8) sekolah dapat merespon aspirasi masyarakat yang berubah dengan pendekatan yang tepat dan cepat.

2.3

Komite Sekolah

Komite sekolah dibentuk berdasarkan Kepmendiknas RI Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002, pasal 1 ayat 2 berbunyi:

”pada setiap satuan pendidikan atau kelompok satuan pendidikan dibentuk komite sekolah atas prakarsa masyarakat, dewan pendidikan, dan/atau pemerintah kabupaten/kota. BP3, komite sekolah dan atau majelis sekolah yang sudah ada dapat memperluas fungsi, peran dan keanggotaan sesuai dengan acuan ini”

(14)

14

10 ayat (2) dan Kepmen Dikbud nomor 0490/U/1992, pasal 10 ayat (1) menegaskan, bahwa untuk membantu penyelenggaraan kegiatan pendidikan menengah pada setiap sekolah menengah dibentuk Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Pembentukan dan pelaksanaan organisasi tersebut secara khusus diatur dalam Kepmen Dikbud nomor 0293/U/1993 tentang Pembentukan Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan, pembentukan BP3 dimaksudkan sebagai upaya mewadahi dan meningkatkan peran serta orang tua siswa khususnya, dan masyarakat pada umumnya secara nyata dan terus-menerus.

Menurut Fattah (2004) BP3 belum berjalan sesuai harapan terutama kelemahan dalam implementasi peran dan fungsinya, hal ini dibuktikan dengan kondisi umum yang terjadi antara lain :

(1) BP3 dipersepsikan sebagian masyarakat sekolah terbatas pada pengumpulan dana pendidikan dari orang tua siswa; (2) BP3 belum langsung merumuskan, melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan sekolah; (3) sekolah dan BP3 belum membangun budaya kemitraan yang khas untuk mencapai kualitas pelayanan PBM kepada peserta didik yang bermuara pada kualitas hasil.

(15)

masing-15 masing, terutama dalam upaya menciptakan saling pengertian semua pihak yang terkait. Kegiatan BP3 merupakan prakarsa murni orang tua siswa dan masyarakat dalam ikut serta membantu terselenggaranya kegiatan pendidikan dan pelatihan. Melalui lembaga BP3, sekolah dapat mengajukan kebutuhan bantuan kepada orang tua siswa dan masyarakat pada umumnya untuk mengatasi

masalah-masalah yang dihadapi dalam

penyelenggaraan pendidikan.

Dengan adanya Kepmendiknas RI Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002, maka disetiap satuan pendidikan sudah tidak ada BP3 lagi dan sebagai gantinya dibentuklah komite sekolah. Perbedaan yang prinsip antara BP3 dan komite sekolah adalah dalam peran dan fungsi, keanggotaan serta pemilihan dan pembentukan kepengurusannya.

Pengertian Komite Sekolah seperti yang terdapat dalam Kepmendiknas RI Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 adalah sebagai berikut :

(16)

16

Komite sekolah merupakan penyempurnaan dan perluasan badan kemitraan dan komunikasi antara sekolah dengan masyarakat. Badan ini bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hirarkis dengan sekolah maupun lembaga pemerintahan. Sekolah dan komite sekolah memiliki kemandirian masing-masing, namun merupakan mitra yang harus bekerja sama sejalan dengan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS). Hubungan antara komite sekolah dengan satuan pendidikan, Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota dan institusi lainnya yang bertanggungjawab dalam pengelolaan pendidikan bersifat koordinatif.

Pembentukan Komite Sekolah sebagai suatu organisasi masyarakat sekolah seperti yang tertuang dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 memiliki tujuan sebagai berikut :

(1) Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan; (2) Meningkatkan tanggung jawab dan peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; (3) Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.

(17)

17 pendidikan, dunia usaha/industri, organsasi profesi/ tenaga kependidikan,wakil alumni dan wakil peserta didik; (2) unsur dewan guru, badan pertimbangan desa maksimal 3 orang. Jumlah anggota komite sekolah sekurang-kurangnya 9 orang dan jumlahnya ganjil. Komite sekolah wajib memiliki AD dan ART.

2.4 Peran komite sekolah dalam penyelenggaraan

pendidikan.

Secara harafiah kata peran berarti kapasitas, kedudukan, posisi, fungsi,tugas, sedangkan kata peran serta berarti keikutsertaan, keterlibatan, kontribusi, partisipasi (Endarmoko 2006). Menurut Cohen (dalam Karim 2012) partisipasi adalah keterlibatan dalam proses pembuatan keputusan, pelaksanaan program, memperoleh kemanfaatan dan mengevaluasi program.Karim(2012:104)menyebutkan tiga pengertian pokok dalam konsep partisipasi yaitu: (1)keterlibatan mental emosional; (2)adanya kontribusi; dan (3)tanggung jawab. Lebih lanjut Abdul Karim menjelaskan implementasi partisipasi masyarakat dapat berbentuk:

(18)

18

Dari penjelasan diatas peran serta komite sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan merupakan partisipasi komite sekolah dalam pelaksanaan MBS di sekolah yang melibatkan mental emosional, kontribusi dan tanggung jawab. Peran komite sekolah seperti yang tertuang dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 adalah sebagai berikut :

(1) pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan; (2) pendukung (supporting agency), baik yang berwujud financial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; (3) pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan; dan (4) mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan.

Peran sebagai pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan dijabarkan oleh Mulyasa (2003) dan (Dadi Permadi dan Daeng Arifin, 2007) dalam kegiatan operasional sebagai berikut :

(19)

19

penyelenggaraan pembelajaran yang menyenangkan; (6)memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan dalam penyusunan, pembahasan dan penetapan anggaran sekolah (APBS); (7)membahas dan turut menetapkan pemberian tambahan kesejahteraan yang diperoleh dari masyarakat kepada kepala sekolah, tenaga guru, tenaga administrasi sekolah; (8)bersama sekolah mengembangkan potensi kearah prestasi unggulan, baik yang bersifat akademis maupun non akademis (keagamaan, keolahragaan, seni, dan ketrampilan).

Sedangkan peran sebagai pemberi

pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Penddikan dan Peraturan Menteri Pendidkan Nasional RI Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidkan oleh Satuan Pendidkan Dasar dan Menengah meliputi kegiatan operasional sebagai berikut :

(20)

20

didik, serta penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana; (6)memberikan pertimbangan dalam pemilhan buku teks pelajaran yang akan digunakan sekolah.

Peran sebagai pendukung (supporting agency) baik yang berwujud financial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan, dijabarkan oleh Mulyasa (2003) dan(Dadi Permadi dan Daeng Arifin,2007) dalam kegiatan operasional sebagai berikut :

(1)menggalang dana dari orang tua/wali murid dan masyarakat untuk pemenuhan sarana prasarana guna meningkatkan kualitas pelayanan dan peningkatan mutu pendidikan di sekolah; (2)mencari bantuan dana dari dunia usaha dan industri untuk biaya pembebasan uang sekolah bagi siswa yang tidak mampu; (3)mengelola kontribusi masyarakat berupa uang, tenaga, pikiran, barang dan peluang yang diberikan kepada sekola; (4)memberikan motivasi atau penghargaan (baik berupa materi maupun non materi); (5)memberikan otonomi professional kepada guru dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikannya sesuai kaidah dan kompetensi guru; (6)memberikan dukungan dalam pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler; (7)memberikan dukungan kepada sekolah untuk secara preventif dan kuratif dalam penyebarluasan narkoba di sekolah; (8)mengidentifikasi berbagai permasalahan dan memecahkannya bersama-sama pihak sekolah.

(21)

21 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Penddikan dan Peraturan Menteri Pendidkan Nasional RI Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidkan oleh Satuan Pendidkan Dasar dan Menengah dan Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 meliputi kegiatan operasional sebagai berikut :

(1)pengambilan keputusan di bidang non akademik; (2)memberikan persetujuan dalam pelaksanaan pengelolaan sekolah yang tidak sesuai dengan rencana kerja tahunan; (3)membuat/memutuskan pedoman tentang pengelolaan biaya investasi dan operasional sekolah (APBS); (4)menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di sekolah.

Peran sebagai pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan dijabarkan oleh Mulyasa (2003) dan (Dadi Permadi dan Daeng Arifin, 2007)dalam kegiatan operasional sebagai berikut :

(22)

pertanggung-22

jawaban pelaksanaan program yang dikonsultasikan oleh kepala sekolah.

Sedangkan peran sebagai Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan seperti yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Penddikan dan Peraturan Menteri Pendidkan Nasional RI Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidkan oleh Satuan Pendidkan Dasar dan Menengah dijabarkan dalam kegiatan operasional sebagai berikut :

(1)melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan pengelolaan sekolah untuk menilai efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas sekolah; (2)menerima laporan dari kepala sekolah yang beris hasl evaluasi pengelolaan sekolah setiap akhir semester; (3)menerima pertanggung-jawaban pelaksanaan pengelolaan pendidikan dari kepala sekolah dalam rapat dengan dewan pendidik; (4)melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.

Peran sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/ DPRD (legislatif) dengan masyarakat oleh Mulyasa (2003) dan (Dadi Permadi dan Daeng Arifin, 2007)dalam kegiatan operasional sebagai berikut :

(23)

23

(2)membina hubungan dan kerjasama yang harmonis dengan seluruh stakeholders

pendidikan disekitar sekolah; (3)membangun kerjasama dengan pihak luar sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan proses dan hasil pendidikanl; (4)menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat; (5)menyampaikan usul atau rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah.

Sedangkan peran sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD (legislatif) dengan masyarakat seperti yang terdapat dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 dalam kegiatan operasional sebagai berikut :

(1) Melakukan kerjasama dengan masyarakat (Perorangan/organisasi/dunia usaha dan dunia industri (DUDI)) dan pemerintah berkenaan dengan penyelengaraan pendidikan bermutu; (2)menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat; (3)mendorong orang tua siswa dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu pendidikan dan pemerataan pendidikan.

(24)

24

berikut : (1)memberikan pertimbangan dan masukan dalam rangka merumuskan dan menetapkan visi, misi dan tujuan sekolah; (2)memberikan pertimbangan dan masukan dalam penyusunan kurikulum sekolah (KTSP); (3)memberikan pertimbangan dalam merumuskan dan menetapkan rencana strategis pengembangan sekolah dan rencana kerja tahunan sekolah; (4)memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi dalam penyusunan, pembahasan dan penetapan anggaran sekolah (APBS); (5)memberikan masukan dalam merumuskan dan menetapkan pedoman tentang struktur organisasi sekolah; (6)memberikan masukan dalam menetapkan tata tertib sekolah yang meliputi tata tertib pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik; (7)memberikan masukan dalam penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana.

(25)

25 (3)memberikan persetujuan dalam kegiatan sekolah di bidang non-akademik; (4)memberikan persetujuan dalam pelaksanaan pengelolaan sekolah yang tidak sesuai dengan rencana kerja; (5)membuat pedoman tentang pengelolaan biaya investasi dan operasional sekolah; (6)memberikan motivasi atau penghargaan (baik berupa materi maupun non materi) kepada guru, staf dan siswa; (7)memberikan otonomi professional kepada guru dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikannya sesuai kaidah dan kompetensi guru; (8)memberikan dukungan kepada sekolah untuk secara preventif dan kuratif dalam

penyebarluasan narkoba di sekolah;

(9)mengidentifikasi berbagai permasalahan dan memecahkannya bersama-sama pihak sekolah.

(26)

26

(4)menerima pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan pendidikan dari kepala sekolah dalam rapat dengan dewan pendidik; (5)mengevaluasi program sekolah secara proporsional meliputi: pengawasan penggunaan sarana dan prasarana sekolah, pengawasan keuangan secara berkala dan berkesinambungan.

Peran yang ke empat sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD(legislatif) dengan masyarakat oleh dijabarkan dalam kegiatan operasional sebagai berikut:(1)melakukan kerja sama dengan masyarakat baik perorangan maupun kelompok/organisasi/ dunia usaha dan dunia industri (DUDI) dan pemerintah berkenaan dengan penyelengaraan pendidikan bermutu; (2)membina hubungan dan kerjasama yang harmonis dengan seluruh stakeholders pendidikan disekitar sekolah; (3)menampung dan menganalisis gagasan, pandangan, ide, usulan dan berbagai kebutuhan pendidikan, yang diajukan oleh masyarakat; (4)menyampaikan usul atau rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah.

(27)

27 Penelitian yang dilakukan oleh Riyanto, (2007), yang berjudul Peran Komite Sekolah di SD Negeri Karanglo Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, menunjukkan bahwa peran komite sekolah sebagai badan pendukung adalah dalam kategori baik, demikian juga peran komite sekolah sebagai mediator dalam kategori baik, sedangkan peran komite sekolah sebagai badan pertimbangan dan badan pengawas adalah dalam kategori sedang.

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Riyanto, penelitian yang dilakukan Armansyah(2009) dengan judul Peranan dan

Pemberdayaan Komite Sekolah dalam

Penyelenggaraan Pendidikan SMA Negeri di Kota Binjai menunjukkan bahwa komite belum berhasil mendapat dana dari masyarakat sekitar seperti dunia usaha/dunia industri maupun dari masyarakat yang peduli pendidikan, dan hanya dari bantuan orang tua melalui iuran komite sekolah, dan dalam pelaksanaan perannya baru sebatas hanya pemberi pertimbangan dan pengawasan, sedang peran sebagai pendukung dan mediator belum sepenuhnya terlaksana.

(28)

28

Menengah Pertama (SMP) Negeri dan Swasta di Kotamadya Jakarta Selatan menunjukkan bahwa kinerja komite sekolah dalam hal Pemberian Pertimbangan (advisory) kurang berhasil (69,31); dalam hal Pendukung (supporting) kurang berhasil (67,50); dalam hal Pengontrol (controlling) kurang berhasil (68,27) demikian juga dalam hal sebagai Mediator kurang berhasil (62,71).

Penelitian Hendarmoko dan Samsudin sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hapsawati Taan, (2009) dengan judul Peranan Komite Sekolah dalm Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan yang bertujuan untuk mendiskripsikan peran komite sekolah sebagai badan penasehat, pendukung, pengawasan dan badan mediator pada SMA yang sederajat di Kabupaten Bone Bolango Prop Gorontalo yang menunjukkan bahwa peran komite sekolah secara umum “tidak cukup baik”, dengan rata-rata 49,24, peran sebagai pemberi pertimbangan adalah 47,51%, peran sebagai agen pendukung 36,67%, peran sebagai agen pengendali 49,50%, dan peran sebagai mediator antara pemerintah dan masyarakat sebesar 63,26%.

(29)

29 Dasar Gugus Maju kecamatan Secang menunjukkan hasil bahwa komite sekolah di Sekolah Dasar Gugus Maju Kecamatan Secang dalam melaksanakan perannya baik sebagai badan pertimbangan, badan pendukung, badan pengontrol maupun sebagai mediator masih belum optimal, peran sebagai badan pengontrol merupakan peran yang paling kurang optimal.

(30)

30

untuk memenuhi sarana prasarana sekolah, sebagai badan pengontrol belum melaksanakan fungsi pengontrol dengan baik dan sebagai badan penghubung belum sepenuhnya berperan.

Berbeda dengan penelitia-penelitian diatas, penelitian Asrori (2008) yang berjudul Peran serta Komite Sekolah Sebagai Badan Pengontrol (Controlling Agency) terhadap Peningkatan Kualitas SD Pandean 2 Kecamatan Ngablak menunjukkan hasil yang baik, hal ini terlihat dalam mengontrol dan memantau perencanaan dan pelaksanaan program sekolah komite telah dapat menegur langsung guru dan kepala sekolah setiap saat ditemukan ketidak sesuaian dalam menjalankan program, dan dalam memantau out put pendidikan komite turut terlibat dalam menentukan strategi menghadapi UAS dan berpartisipasi dalam menentukan KKM.

(31)

31 membentuk tim audit independen dalam mengaudit penggunaan dana sekolah.

(32)

32

Referensi

Dokumen terkait

Perhitungan yang dilakukan akan menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan risiko yang memperlukan lebih lanjut atau tidak dengan melihat matriks risk grade pada Gambar

Dari faktor-penyebab selisih (varians) diatas dapat diketahui bahwa suatu selisih baik itu menguntungkan (farforable) ataupun tidak menguntungkan (unfarforable), dimana

Factors Factors Affecting Affecting Channel Channel CHOICE CHOICE Factors Factors Affecting Affecting Channel Channel CHOICE CHOICE Producer Factors Producer Factors

1) Dari konsumen menuju manusia. Hubungan yang saling menghormati antara perusahaan dengan konsumen, yang menganggap bahwa konsumen bukan hanya sebagai objek, tetapi

[r]

Ibu (Janatin) dan Ayah (Hadi Winarko) yang selalu memberikan dukungan, semangat, do’a, kepercayaan, dan kasih sayang yang tidak terhingga, sehingga

[r]

sehingga komitmen organisasi yang dimiliki oleh karyawan dengan masa kerja yang1. pendek cenderung lebih