PENGARUH KEPADATAN RUANG KELAS TERHADAP PROSES PEMBELAJARAN PAI
DI SMA NEGERI 2 SIDOARJO
SKRIPSI
Oleh:
MENIK OKTAFIA C.N NIM. D71211124
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
ABSTRAK
Menik Oktafia C.N (D71211124), 2016: Pengaruh Kepadatan Ruang Kelas
Terhadap Proses Pembelajaran PAI di SMA Negeri 2 Sidoarjo.
Dalam sistem pendidikan, para generasi akan menjadi come in untuk
diproses sehingga mencetak come out yang mampu menopang keberlanjutan
perkembangan bangsa. Begitu sentralnya fungsi pendidikan, sehingga setiap detail dari sistem yang dijalankannya harus diperhatikan dan dijaga. Seperti halnya proses pembelajaran di dalam kelas dengan kondisi ruang kelas yang padat, ini merupakan salah satu contoh kesalahan dalam penerapan sistem yang harus segera diperbaiki. Ruang kelas dengan jumlah peserta didik yang tidak sesuai kapasitas ukuran kelas akan menyebabkan beberapa gangguan dalam berjalannya proses pembelajaran. Oleh karena itu, penulis menggunakan kondisi kepadatan ruang kelas sebagai bahan penelitian skripsi, tepatnya kepadatan ruang kelas di SMA Negeri 2 Sidoarjo.
Penelitian ini memiliki tiga rumusan masalah, yaitu: 1) Bagaimanakah kepadatan ruang kelas di SMA Negeri 2 Sidoarjo? 2) Bagaimanakah proses pembelajaran PAI di SMA Negeri 2 Sidoarjo? 3) Apakah kepadatan ruang kelas berpengaruh terhadap proses pembelajaran PAI di SMA Negeri 2 Sidoarjo?
Penulis menggunakan penelitian kuantitatif untuk menjawab rumusan masalah tersebut. Agar hasil penelitian valid dan dapat dipertanggung jawabkan, peneliti menggunakan empat metode pengumpulan data, yaitu: metode dokumentasi, wawancara, observasi dan pengisian angket. Keempat metode tersebut kemudian menghasilkan data kualitatif dan kuantitatif regresi sederhana.
Analisis hasil data kualitatif menunjukkan bahwa kepadatan ruang kelas di SMA Negeri 2 Sidoarjo sebagian besar diluar standar kapasitas luas kelas. Kelas yang ukurannya 7,5m x 7,5m seharusnya memiliki jumlah peserta didik maksimal 28-29 siswa (dengan rasio 2m²/peserta didik), namun di SMA Negeri 2 Sidoarjo rata-rata tiap kelasnya memiliki 39-41 peserta didik. Sedangkan, proses pembelajaran PAI di SMA Negeri 2 Sidoarjo sudah menggunakan K13 yang dimana dalam prosesnya banyak sekali varian kegiatan edukatif. Analisis hasil data kualitatif menyatakan bahwa kepadatan ruang kelas berpengaruh terhadap proses pembelajaran PAI. Kemudian dari analisis hasil data kuantitatif dengan
menggunakan penghitungan statistika regresi sederhana, menyatakan bahwa Fo >
ABSTRACT
Menik Oktafia C.N (D71211124), 2016: The Affect of The Classroom Density
toward PAI Learning Process in SMA’ Negeri 2 Sidoarjo.
Within the education system, the young generation will be “come in” for being processed to create “come out” which able to hold nation development sustainability. Education’s function is very important, every details of it’s system must be payed and guarded. Just like a learning process in a dense classroom, this is the one example of many fault system applications which must be repaired as soon as possible. Classroom with out of capacity student amount can cause any interruptions in the learning process. Therefore, I used this problem as a research object, specifically the classroom density in SMA Negeri 2 Sidoarjo.
This research has three problem formulations, these are: 1) How is the classroom density in SMA Negeri 2 Sidoarjo? 2) How is the PAI leraning process in SMA Negeri 2 Sidoarjo? 3) Does the classroom density has affect toward PAI learning process in SMA Negeri 2 Sidoarjo?
This research used quantitative method to get answer of those three problem formulations. Four data collect methods had been used by this research in case to get high validity answers. Those data collect methods are documentation,
interview, observation and questioner. Those four methods produced qualitative and quantitative datas.
The result of qualitative datas analysis showed that the most classroom
density in SMA Negeri 2 Sidoarjo are out of the class’s size standart capacity. The
size of each classroom are 7,5 × 7,5 meter and it should has amount about 28-29
student in each classroom (with rasio 2m2/student), in fact in SMA Negeri 2
Sidoarjo has amount about 39-41 students in each classroom. Then, The PAI learning process in that school has been using K13 which there are many educative activity processes within it. Whereas, the quantitative data analysis showed that the classroom density in SMA Negeri 2 Sidoarjo has affect toward PAI learning process. It’s simple regression statistic count showed that F0 ≥ Ftabel..
therefore, H0 was rejected and Ha was recognized, which means there is a
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN SKRIPSI ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii
PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C.Tujuan Penelitian ... 7
D.Kegunaan Penelitian ... 7
E. Definisi Operasional ... 8
F. Sistematika Pembahasan ... 9
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan tentang Kepadatan Ruang Kelas ... 11
1. Pengertian Kepadatan Ruang Kelas ... 11
2. Kriteria Kepadatan Ruang Kelas ... 14
B. Tinjauan tentang Proses Pembelajaran PAI ... 23
1. Pengertian Proses Pembelajaran ... 23
2. Persyaratan dan Pelaksanaan Proses Pembelajaran ... 24
3. Pendidikan Agama Islam dan Aspek-Aspeknya ... 30
4. Proses Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) ... 39
C. Pengaruh Kepadatan Ruang Kelas terhadap Proses Pembelajaran PAI ... 40
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 46
C.Variabel dan Indikator Penelitian ... 49
D.Populasi dan Sampel ... 51
E. Teknik Pengumpulan Data ... 53
F. Teknik Analisis Data ... 55
BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 60
1. Identitas Sekolah ... 60
2. Identitas Kepala Sekolah ... 60
3. Sejarah Singkat SMA Negeri 2 Sidoarjo ... 61
4. Struktur dan Muatan Kurikulum ... 63
5. Visi dan Misi SMA Negeri 2 Sidoarjo ... 65
6. Struktur Organisasi SMA Negeri 2 Sidoarjo ... 66
7. Tenaga Pendidik dan Kependidikan ... 68
8. Peserta Didik ... 69
B. Penyajian dan Analisis Data Kualitatif ... 70
1. Data Hasil Dokumentasi ... 71
2. Data Hasil Wawancara ... 71
C. Penyajian dan Analisis Data Kualitatif ... 77
1. Data Hasil Observasi ... 77
2. Data Hasil Angket ... 82
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 101
B. Saran ... 102
DAFTAR TABEL
Tabel I : Sarana Kelas untuk SD/MI ... 15
Tabel II : Sarana Kelas untuk SMP/MTs ... 18
Tabel III : Sarana Kelas untuk SMA/MA ... 21
Tabel IV : Standar Kompetensi Lulusan ... 64
Tabel V : Status Kepegawaian, Golongan dan Jenis Kelamin ... 68
Tabel VI : Usia dan Masa Kerja ... 68
Tabel VII : Lahan Sekolah ... 69
Tabel VIII : Tingkat Rombongan Belajar ... 70
Tabel IX : Jadwal Observasi ... 78
Tabel X : Hasil Angket Kepadatan Ruang Kelas ... 83
Tabel XI : Hasil Angket Proses Pembelajaran PAI ... 84
Tabel XII : Presentase Kepadatan Ruang Kelas ... 86
Tabel XIII : Presentase Proses Pembelajaran PAI ... 88
Tabel XIV : Tabel Penolong ... 90
Tabel XV : Tabel Uji Linieritas Regresi ... 94
Tabel XVI : Tabel Ringkasan Uji Linieritas Regresi ... 97
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Pedoman Interview
Lampiran II : Pedoman Observasi
Lampiran III : Kisi-kisi Angket
Lampiran IV : Angket
Lampiran V : Absensi siswa
Lampiran VI : Biodata Penulis
Lampiran VII : Pernyataan keaslian tulisan
Lampiran VIII : Surat izin penelitian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara padat penduduk terbesar ke-4 di dunia
setelah USA. Indonesia juga menerima predikat sebagai jamrud khatulistiwa
karena kekayaan hutan yang di dalamnya melimpah sumber daya alam.
Mengingat dua unsur penting suatu negara tersebut sudah dimilikinya dengan
jumlah tidak sedikit, untuk menjadi negara maju seharusnya tidaklah sulit bagi
Indonesia. Namun kenyataan berkata lain, dalam kegemilangan potensi yang
dimilikinya, Indonesia justru tertinggal dengan negara-negara tetangga yang
Sumber Daya Alam (SDM) dan Sumber Daya Manusia (SDA)-nya jauh lebih
sedikit. Buruknya pengembangan SDM berdampak pada pemborosan SDA
yang mengakibatkan lambannya pembangunan negara disegala sektor.
Masalah sumber daya manusia merupakan masalah jangka panjang yang
proses pembangunan, pengembangan dan perbaikannya membutuhkan waktu
cukup lama. Begitu pula dengan dampaknya, baik buruknya sumber daya
manusia memiliki dampak jangka panjang terhadap kehidupan bangsa.
Dalam prosesnya, pembangunan sumber daya manusia sudah dimulai
sejak generasi muda ada di dalam janin para ibu, seperti perbaikan gizi ibu
hamil, program-program kesehatan bagi ibu hamil, dan sebagainya. Kemudian
generasi muda tersebut dilahirkan, tumbuh dan berkembang melewati
fase-fase usia hingga mencapailah usia produktif dimana pada usia tersebut mereka
Generasi muda yang berkompeten tentu akan memilih profesi yang
berkompeten pula, sehingga akan berdampak baik terhadap kehidupan bangsa
di segala sektor, seperti ekonomi, sosial, pendidikan, industri, dan lainnya.
Hasilnya, ini akan membawa bangsa ke tingkat kesejahteraan tinggi. Begitu
pula sebaliknya, apabila generasi muda tidak atau kurang berkompeten, tentu
akan membawa bangsa ke tingkat kesejahteraan yang lebih rendah. Oleh
karena itu, perlu adanya perhatian khusus dan serius terhadap pembangunan
sumber daya manusia pada tiap-tiap fase, salah satunya adalah fase remaja
yang pada fase ini mereka dalam masa sekolah baik tingkat menengah pertama
(SMP) ataupun menengah akhir (SMA). Masa ini merupakan masa dimana
pendidikan-lah yang memegang kunci utama atas pembentukan karakter
berpikir manusia.
Berbicara mengenai pendidikan, sudah tentu tidak lepas dari unsur
pokoknya yaitu pendidik dan peserta didik. Keduanya merupakan unsur pokok
pendidikan yang saling melengkapi dan mempengaruhi. Sebuah sistem
pendidikan tidak akan terjadi/terlaksana apabila di dalamnya tidak ada salah
satu dari keduanya. Adanya pendidik dikarenakan adanya kebutuhan dari
peserta didik. Begitu pula sebaliknya, peserta didik ada dikarenakan adanya
pendidik yang akan memenuhi kebutuhan peserta didik.
Pendidik merupakan bahasa etimologis dari guru. Secara terminologis,
guru sering diartikan sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan siswa dengan mengupayakan perkembangan kognitif, potensi
bertanggung jawab memberikan pertolongan pada siswa dalam perkembangan
jasmani dan ruhaninya agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri
sendiri memenuhi tugasnya sebagai hamba (‘abd) dan khalifah Allah
(khalÎfatullâh), dan mampu sebagai makhluk sosial dan individual yang
mandiri.1
Sedangkan peserta didik merupakan bahasa etimologis dari siswa.
Dalam suatu sistem pendidikan, siswa merupakan input pendidikan yang akan
mempengaruhi output pendiidkan. Di dalam suatu sistem, setiap input akan
diproses menjadi output yang telah diharapkan sebelumnya. Siswa juga dapat
dikatakan sebagai individu yang menerima pengaruh pendidikan dari guru dan
lingkungan. Pengaruh tersebut diberikan secara sengaja dan sistematis.
Dalam sudut pandang pedagogis, siswa merupakan anak didik yang
memiliki hak untuk dididik dan kewajiban untuk belajar dalam suatu sistem
pendidikan secara komprehensif dan integratif. Guru bertanggung jawab
dalam membuat keputusan tentang apa yang akan dipelajari, bagaimana
caranya dan kapan waktunya. Siswa harus berinteraksi terus menerus dan
saling berasimilasi antara pengetahuan ilmiah dan pengembangannya.2
Diantara pendidik dan peserta didik dibutuhkan kesinambungan interaksi
sehingga tujuan pembelajaran tercapai dengan baik. Dengan kata lain,
pendidik dapat mengoptimalkan strategi pembelajaran yang telah
direncanakan, dan peserta didik dapat aktif mengikuti kegiatan pembelajaran
sehingga potensinya terasah dengan baik.
1
Chaerul Rochmad dan Heri Gunawan, Pengembangan Kompetensi Kepribadian Guru (Bandung: Nuansa Cendekia, 2011), 15.
2
Diantara interaksi keduanya, terdapat beberapa unsur pendukung yang
memiliki posisi sangat penting untuk menunjang kelancaran proses
berjalannya kegiatan belajar mengajar, yaitu sarana dan prasarana, khususnya
yang akan peneliti bahas adalah prasarana kelas.
Ruang kelas memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap proses
hasil belajar peserta didik. Guru perlu mengkondisikan ruang kelas yang
mampu menunjang perkembangan peserta didik secara optimal, karena
sebagian besar waktu yang dihabiskan oleh peserta didik adalah berada di
ruang kelas.3 Namun bagaimana bila kondisi ruang kelas tidak sesuai dengan
apa yang dibutuhkan oleh peserta didik? Khususnya dalam hal kepadatan
siswa di setiap kelas.
Berdasarkan peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tahun
2007 tentang Sarana dan Prasarana untuk SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA,
bahwa kapasitas maksimum ruang kelas pada jenjang SMA/MA adalah 32
peserta didik dan rasio minimum luas ruang kelas 2 m²/peerta didik. Itu
berarti, luas minimum ruang kelas adalah 64 m².
Sedangkan pada kenyataannya, banyak sekolah yang tidak memenuhi
standar persyaratan ruang kelas yang telah ditetapkan oleh pemerintah
tersebut. Seperti pada SMA Negeri 2 Sidoarjo, ruang kelas memiliki ukuran
8x8 m², sehingga apabila dihitung sesuai dengan peraturan pemerintah yang
mengharuskan rasio minimum ruang kelas 2 m²/peserta didik, maka kelas
seharusnya hanya berkapasitas 32 siswa. Namun setiap ruang kelas di SMA
3
Negeri 2 Sidoarjo berisi 38-40 siswa. Dampaknya sangat peneliti rasakan
sekali saat peneliti melaksanakan program PPL II (Praktik Pengalaman
Lapangan II). Proses belajar mengajar sangat sulit untuk dikondusifkan,
terutama dalam hal penilaian, peneliti sebagai guru PPL saat itu sangat sulit
untuk melakukan observasi siswa, karena tidak mungkin seorang pendidik
mampu mengobservasi sedemikian banyaknya peserta didik, sekalipun bisa
namun tidak mungkin secara optimal. Bahkan terkadang para pendidik
cenderung mengarang nilai observasi dikarenakan kemustahilan untuk
mengamati satu per satu peserta didik. Hal ini berakibat dangkalnya
pemahaman seorang guru terhadap potensi anak didiknya, sehingga potensi
anak didik tidak terasah dengan baik. Akhirnya Tujuan pembelajaran pun
tidak pernah mencapai kata maksimal.
Terlebih pada kurikulum K13, guru dituntut untuk merancang
pembelajaran aktif dengan berbagai variasi permainan edukatif. Bisa
dibayangkan apabila kelas yang seharusnya berkapasitas 32 peserta didik
namun diisi 40 peserta didik dan dilaksanakan kegiatan pembelajaran aktif di
dalamnya, yang ada bukan kefokusan peserta didik terhadap tujuan permainan,
namun kekacauan akibat dari sesaknya kelas. Hasilnya, kurikulum K13 cukup
sampai pada formalitas saja karena kondisi dilapangan tidak memungkinkan
untuk diterapkan setiap detail isi dari K13.
Berdasar pengalaman PPL II yang sudah dilakukan oleh peneliti,
beruntung sekali peneliti mengemban tugas menjadi guru PAI selama dua
MIPA 1 dan X MIPA 7. Kelas X MIPA 1 hanya berisi 25 peserta didik
dikarenakan kelas tersebut merupakan kelas akselerasi/percepatan, sedangkan
kelas X MIPA 7 adalah kelas biasa dan berisi 40 siswa. Selama proses
pembelajaran, peneliti berusaha sangat keras untuk menerapkan metodologi
K13 dan hasilnya pun berbeda. Di X MIPA 1, peneliti sangat leluasa
mengkondusifkan kelas dan melaksanakan bebrgai kegiatan/permainan
edukatif. Sedangkan di X MIPA 7, keadaannya menjadi kacau dan tujuan
permainan pun tidak tercapai meskipun peneliti menerapkan permainan yang
sama diantara kedua kelas tersebut. Begitu pula dalam hal penerapan metode
lainnya seperti ceramah dan diskusi, peneliti sangat leluasa di kelas X MIPA 1
dan keadaan menjadi kurang kondusif saat diterapkan di X MIPA 7.
Euis Karwati dan Donni Juni Priansa dalam bukunya yang berjudul
Manajemen Kelasmengatakan bahwa “Ruang kelas yang diciptakan oleh guru
perlu memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan potensi, fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, serta
psikologi peserta didik dengan memperhatikan aspek kognitif, afektif, dan
psikomotor.”4
Sejalan dengan apa yang sudah peneliti katakana pada paragraf
sebelumnya, dalam ruang kelas yang tidak memenuhi standar kepadatan kelas
yang sudah ditetapkan pemerintah, pendidik sangat kesulitan dalam
melakukan berbagai kegiatan pembelajaran terutama dalam hal penilaian,
yaitu penilaian kognitif, afektif, dan psikomotor, sehingga pertumbuhan dan
perkembangan potensi, fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, serta
4
psikologi peserta didik tidak berkembang secara optimal. Berdasarkan asumsi
diatas, peneliti ingin melakukan sebuah penelitian yang berjudul “Pengaruh
Kepadatan Ruang Kelas terhadap Proses Pembelajaran PAI di SMA
Negeri 2 Sidoarjo.”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kepadatan ruang kelas di SMA Negeri 2 Sidoarjo?
2. Bagaimana proses pembelajaran PAI di SMA Negeri 2 Sidoarjo?
3. Apakah kepadatan ruang kelas berpengaruh terhadap proses pembelajaran
PAI di SMA Negeri 2 Sidoarjo?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menjelaskan seperti apakah kepadatan ruang kelas di SMA Negeri 2
Sidoarjo.
2. Untuk mengetahui adakah pengaruh kepadatan ruang kelas terhadap
proses pembelajaran PAI di SMA Negeri 2 Sidoarjo.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara Akademis Teoritis
Penelitian ini dilaksanakan dengan landasan teori dan metode yang
sistematis, sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan oleh para pendidik,
pemikir pendidikan dan instansi pemerintah sebagai rujukan untuk
berinovasi dalam mengatasi masalah prasarana sekolah yang masih perlu
2. Secara Sosial Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu mengoptimalkan proses
pengasahan potensi peserta didik sehingga menjadikan peserta didik
sebagai out come yang berkualiats dalam perilaku dan prestasi.
E. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi yang dirumuskan oleh peneliti
tentang istilah-istilah yang ada pada masalah peneliti dengan maksud untuk
menyamakan presepsi antara peneliti dan dengan orang-orang yang terkait
dengan penelitian. 5
Sesuai dengan judul dan rumusan masalah di atas, maka yang perlu
peneliti rumuskan definisi operasionalnya adalah sebagai berikut:
1. Kepadatan Ruang Kelas
Ruang kelas adalah ruang yang ada di dalam kelas yang berfungsi
sebagai sarana bagi proses pembelajaran peserta didik. Sedangkan
kepadatan ruang kelas adalah jumlah peserta didik dalam kelas yang akan
mempengaruhi kualitas proses belajar.6
2. Proses Pembelajaran
Proses transformasi pesan edukatif berupa materi pembelajaran dari
guru kepada peserta didik.7
5
Wina Sanjaya, Penelitian Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2014), 287. 6 Euis Karwati & Donni Juni Priansa, Manajemen Kelas… 49. 7
3. Pendidikan Agama Islam
Menurut Dzakiyah Darajat pendidikan islam adalah suatu kegiatan
yang lebih ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud
dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain.
Selain itu pendidikan islam tidak hanya bersifat teoritis saja tetap juga
praktis.8 Karena pendidikan agama islam bertujuan untuk membentuk
akhlak yang baik bagi peserta didik.
F. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan ini dimaksudkan untuk mempermudah pembaca
dalam memahami skripsi yang akan ditulis. Untuk itu penulis membuat
pembahasan sebagai berikut:
Bab Pertama adalah Pendahuluan, pada Bab ini penulis menguraikan
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, definisi operasional dan sistematika pembahasan.
Bab dua adalah Landasan Teori, dalam bab ini akan dibahas: 1)
Tinjauan tentang Kepadatan Ruang Kelas, meliputi: Pengertian kepadatan
ruang kelas, kriteria kepadatan ruang kelas; 2) Tinjauan tentang Proses
Pembelajaran PAI, meliputi: pengertian proses pembelajaran, persyaratan dan
pelaksanaan proses pembelajaran, tinjauan tentang Pendidikan Agama Islam
dan aspek-aspeknya, dan proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam; 3)
8
Tinjauan tentang Pengaruh Kepadatan Ruang Kelas terhadap Proses
Pembelajaran PAI dan Hipotesis.
Bab tiga adalah Metode penelitian, meliputi: A) Jenis dan Rancangan
Penelitian; B) Jenis Data dan Sumber Data; C) Variabel dan Indikator
Penelitian; D) Populasi dan Sampel; E) Teknik Pengumpulan Data; F) Teknik
Analisis Data.
Bab empat adalah Laporan Hasil Penelitian, meliputi: latar belakang
obyek penelitian, penyajian data dan analisis data.
BAB II
LANDASAN TEORI A. Tinjauan Tentang Kepadatan Ruang Kelas
1. Pengertian Kepadatan Ruang Kelas
Arikunto menjelaskan pengertian kelas sebagai sekelompok peserta
didik yang pada waktu yang sama menerima pelajaran yang sama dari
guru yang sama. Jadi, jika ada sekelompok peserta didik yang pada waktu
bersamaan menerima pelajaran yang sama dari guru yang berbeda, jelas itu
tidak dapat dinamakan kelas. Sementara Nawawi mengartikan kelas
sebagai suatu masyarakat kecil yang merupakan bagian dari masyarakat
sekolah sebagai satu kesatuan diorganisasikan menjadi unit kerja yang
secara dinamis menyelenggarakan kegiatan-kegiatan belajar-mengajar
yang kreatif untuk mencapai tujuan.1
Secara sederhana kelas dapat diartikan sebagai unit kerja terkecil di
sekolah yang digunakan sebagai tempat untuk kegiatan belajar-mengajar.
Pembagian kelas sebagai sebuah unit biasanya ditentukan oleh jenjang usia
peserta didik. Misalnya untuk jenjang peserta didik usia 6 hingga 12 tahun
yang belajar di SD/MI, mereka belajar mulai dari kelas I, II, III, IV, V, dan
VI. Kemudian untuk jenjang peserta didik usia 12 hingga 14 tahun yang
belajar di SMP/MTs, mereka belajar mulai dari kelas VII, VIII, dan IX.
Sementara itu, di tingkat SMA/MA yang peserta didiknya berusia 15-17
tahun, kelas ditentukan bukan hanya dengan jenjang dan umur, tetapi juga
1
minat peserta didik. Misalnya, setelah belajar di kelas X, peserta didik naik
kelas XI kemudian XII dan diperkenankan memilih program yang ia
minati, misalnya program IPA, IPS atau Bahasa sehingga ada kelas XI
IPA, XI IPS, XI Bahasa, XII IPA, XII IPS, dan XII Bahasa.
Sebagai suatu unit kerja terkecil di sekolah, di dalam suatu kelas
terdiri dari sekelompok peserta didik dan berbagai sarana belajar.
Sekelompok peserta didik tersebut tentu tidaklah homogen, tetapi
heterogen atau beraneka ragam, mulai dari perbedaan fisik seperti
perbedaan jenis kelamin, perbedaan tinggi badan, perbedaan berat badan,
hingga perbedaan keadaan alat indra yang mereka miliki serta perbedaan
psikis seperti perbedaan tingkat intelektualitasnya hingga perbedaan tipe
belajar.2
Pengertian kelas tersebut akan menjadi lebih spesifik apabila terdapat
kata “ruang” sebelumnya, yaitu ruang kelas. Ruang dalam perspektif
bangunan adalah rongga yang dibatasi oleh permukaan bangunan. Ruang
dapar berupa ruang dalam dan ruang luar. Pada umumnya, ruang dalam
dibatasi oleh tiga bidang, yaitu sebuah lantai, sebuah dinding, dan sebuah
langit-langit. Sedangkan ruang luar adalah ruang yang terjadi dengan
membatasi alam. Ruang dapat diamati oleh semua pancaindra manusia
terutama oleh mata dengan bantuan cahaya. Dalam arti luas, ruang kelas
dapat dipahami sebagai ruang yang ada di dalam bangunan maupun yang
ada di luar bangunan yang dijadikan tempat berlangsungnya proses
2
pembelajaran. Dalam arti sederhana, ruang kelas adalah ruang yang ada di
dalam kelas yang berfungsi sebagai sarana bagi proses pembelajaran
peserta didik.3
Agar tercipta suasana belajar yang menggairahkan, perlu
diperhatikan pengaturan atau penataan ruang kelas. Pengaturan dan
penataan ruang kelas hendaknya memungkinkan anak duduk
berkelompok dan memudahkan guru bergerak secara leluasa untuk
membantu siswa dalam belajar. Dalam pengaturan ruang kelas
perlu diperhatikan hal-hal berikut, yaitu:4
a. Ukuran dan bentuk kelas
b. Bentuk serta ukuran bangku dan meja peserta didik
c. Jumlah peserta didik dalam kelas
d. Jumlah peserta didik dalam setiap kelompok
e. Jumlah kelompok dalam kelas
f. Komposisi peserta didik dalam kelompok (seperti siswa pandai
dengan siswa kurang pandai, pria dan wanita).
Sedangkan kepadatan ruang kelas adalah jumlah peserta didik dalam
kelas yang akan mempengaruhi kualitas proses belajar.5 Kepadatan ruang
kelas merupakan salah satu unsur dari kriteria kenyamanan kelas yang
harus diperhatikan karena merupakan bagian dari prinsip-prinsip
pengaturan kelas.
3
Euis Karwati & Donni Juni Priansa, Manajemen Kelas (Bandung: Alfabeta, 2014), h. 45.
4
2. Kriteria Kepadatan Ruang Kelas
Kepadatan ruang kelas berkaitan dengan pengelolaan ruang kelas.
Apabila kepadatan suatu ruang kelas tidak sesuai dengan kapasitas yang
seharusnya, maka sistem pengelolaan kelas tersebut perlu diperbaiki lagi
sehingga mampu menciptakan kondisi kelas yang diharapkan yaitu kondisi
kelas yang mendukung keberhasilan kegiatan belajar-mengajar.
Pemerintah telah mengatur standar kelas di semua tingkat pendidikan
formal, yaitu SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA. Berikut adalah standar
kelas tingkat SMA/MA berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana
untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA:6
a. Kelas untuk SD/MI
SD/MI memiliki minimum 6 kelas dan maksimum 24 kelas.
Kapasitas maksimum ruang kelas 2 m²/peserta didik, untuk kelas
dengan peserta didik kurang dari 15 orang luas minimum ruang kelas
30 m² dengan lebar minimum ruang kelas 5 m.
Ruang kelas berfungsi sebagai tempat kegiatan pembelajaran
teori, praktik, yang tidak memerlukan peralatan khusus atau praktik
dengan alat khusus yang mudah dihadirkan. Ruang kelas harus
memiliki fasilitas yang memungkinkan pencahayaan yang memadai
untuk membaca buku dan untuk memberikan pandangan ke luar
ruangan.
6
Ruang kelas juga harus memiliki pintu yang memadai agar
peserta didik dan guru dapat segera keluar ruangan jika terjadi bahaya
dan dapat dikunci dengan baik saat tidak digunakan. Ruang kelas
dilengkapi sarana sebagai berikut:
No. Jenis Rasio Deskripsi
1. Perabot
a. Kursi Peserta
Didik
1 buah /
peserta didik
Kuat, stabil, dan mudah dipindahkan
oleh peserta didik.
Ukuran memadai untuk duduk
dengan nyaman.
Desain dudukan dan sandaran
membuat peserta didik nyaman
belajar.
b. Meja peserta
didik
1 buah /
peserta didik
Kuat, stabil, dan mudah dipindahkan
oleh peserta didik.
Ukuran memadai untuk belajar
dengan nyaman.
Desain memungkinkan kaki peserta
didik masuk dengan leluasa ke
bawah meja.
c. Kursi guru 1 buah / guru Kuat, stabil, dan tidak mudah
Tabel I
dipindahkan.
Ukuran memadai untuk duduk
dengan nyaman.
d. Meja guru 1 buah / guru Kuat, stabil, dan mudah dipindahkan
oleh peserta didik.
Ukuran memadai untuk bekerja
dengan nyaman.
e. Lemari 1 buah /
ruang
Ukuran memadai untuk menyimpan
perlengkapan yang diperlukn kelas.
Tertutup dan dapat dikunci.
f. Rak hasil
karya peserta
didik
1 buah /
ruang
Ukuran memadai untuk meletakkan
hasil karya seluruh peserta didik
yang ada di kelas.
Dapat berupa rak terbuka atau
lemari.
2. Peralatan Pendidikan
a. Alat peraga 1 buah /
ruang
Peralatan sesuai dengan daftar sarana
laboratorium IPA
3. Media Pendidikan
a. Papan tulis 1 buah /
ruang
Ukuran minimum 90 cm × 200 cm.
Ditempatkan pada posisi yang
melihatnya dengan jelas.
4. Peralatan Pendidikan
a. Tempat
sampah
1 buah /
ruang
b. Tempat cuci
tangan
c. Jam dinding
d. Soket listrik 1 buah /
ruang
b. Kelas untuk SMP/MTs
Pada satu SMP/MTs memiliki minimum 3 kelas dan maksimum
24 kelas. Ruang kelas digunakan sebagai tempat kegiatan
pembelajaran, teori, dan praktik yang tidak memerlukan perlatan
khusus atau praktik dengan perlatan khusus yang mudah dihadirkan.
Kapasitas maksimum ruang kelas 32 peserta didik.
Rasio minimum luas ruang kelas 2 m² / peserta didik. Untuk
kelas dengan peserta didik kurang dari 15 orang, luas minimum ruang
kelas 30 m² dengan lebar minimum ruang kelas 5 m. ruang kelas
memiliki fasilitas yang memungkinkan pencahayaan yang memadai
untuk membaca buku dan untuk memberikan pandangan ke luar
Ruang kelas juga memiliki pintu yang memadai agar peserta
didik dan guru dapat segera keluar ruangan jika terjadi bahaya dan
dapat dikunci dengan baik saat tidak digunakan. Ruang kelas
dilengkapi dengan sarana berikut ini:
No. Jenis Rasio Deskripsi
1. Perabot
a. Kursi Peserta
Didik
1 buah /
peserta didik
Kuat, stabil, dan mudah dipindahkan
oleh peserta didik.
Ukuran memadai untuk duduk
dengan nyaman.
Desain dudukan dan sandaran
membuat peserta didik nyaman
belajar.
b. Meja peserta
didik
1 buah /
peserta didik
Kuat, stabil, dan mudah dipindahkan
oleh peserta didik.
Ukuran memadai untuk belajar
dengan nyaman.
Desain memungkinkan kaki peserta
didik masuk dengan leluasa ke
bawah meja.
c. Kursi guru 1 buah / guru Kuat, stabil, dan tidak mudah
Tabel II
dipindahkan.
Ukuran memadai untuk duduk
dengan nyaman.
d. Meja guru 1 buah / guru Kuat, stabil, dan mudah dipindahkan
oleh peserta didik.
Ukuran memadai untuk bekerja
dengan nyaman.
e. Lemari 1 buah /
ruang
Ukuran memadai untuk menyimpan
perlengkapan yang diperlukn kelas.
Tertutup dan dapat dikunci.
f. Papan
panjang
1 buah /
ruang
Ukuran minimum 60 cm × 120 cm
2. Media Pendidikan
a. Papan tulis 1 buah /
ruang
Ukuran minimum 90 cm × 200 cm.
Ditempatkan pada posisi yang
memungkinkan seluruh peserta didik
melihatnya dengan jelas.
3. Peralatan Pendidikan
a. Tempat
sampah
1 buah /
ruang
b. Tempat cuci
c. Jam dinding
d. Soket listrik 1 buah /
ruang
c. Kelas untuk SMA/MA
Pada sebuah SMA/MA memiliki minimum 3 kelas dan
maksimum 27 kelas. Fungsi ruang kelas adalah sebagai tempat
kegiatan pembelajaran, teori dan praktik yang tidak memerlukan
peralatan khusus atau praktik dengan alat khusus yang mudah
dihadirkan.
Kapasitas maksimum ruang kelas 32 peserta didik. Rasio
minimum luas ruang kelas 2 m²/peserta didik. Untuk kelas dengan
peserta didik kurang dari 15 orang, luas minimum ruang kelas 30 m²
dengan lebar minimum ruang kelas 5 m.
Ruang kelas memiliki fasilitas yang memungkinkan pencahayaan
yang memadai untuk membaca buku dan untuk memberikan
pandangan ke luar ruangan. Ruang kelas memiliki pintu yang memadai
agar peserta didik dan guru dapat segera keluar ruangan jika terjadi
bahaya dan dapat dikunci dengan baik saat tidak digunakan. Ruang
kelas dilengkapi dengan sarana berikut ini:7
No. Jenis Rasio Deskripsi
1. Perabot
a. Kursi Peserta
Didik
1 buah /
peserta didik
Kuat, stabil, dan mudah dipindahkan
oleh peserta didik.
Ukuran memadai untuk duduk
dengan nyaman.
Desain dudukan dan sandaran
membuat peserta didik nyaman
belajar.
b. Meja peserta
didik
1 buah /
peserta didik
Kuat, stabil, dan mudah dipindahkan
oleh peserta didik.
Ukuran memadai untuk belajar
dengan nyaman.
Desain memungkinkan kaki peserta
didik masuk dengan leluasa ke
bawah meja.
c. Kursi guru 1 buah / guru Kuat, stabil, dan tidak mudah
dipindahkan.
Ukuran memadai untuk duduk
dengan nyaman.
d. Meja guru 1 buah / guru Kuat, stabil, dan mudah dipindahkan
[image:31.595.141.517.135.768.2]oleh peserta didik. Tabel III
Ukuran memadai untuk bekerja
dengan nyaman.
e. Lemari 1 buah /
ruang
Ukuran memadai untuk menyimpan
perlengkapan yang diperlukn kelas.
Tertutup dan dapat dikunci.
f. Papan
panjang
1 buah /
ruang
Ukuran minimum 60 cm × 120 cm
2. Media Pendidikan
a. Papan tulis 1 buah /
ruang
Ukuran minimum 90 cm × 200 cm.
Ditempatkan pada posisi yang
memungkinkan seluruh peserta didik
melihatnya dengan jelas.
3. Peralatan Pendidikan
a. Tempat
sampah
1 buah /
ruang
b. Tempat cuci
tangan
c. Jam dinding
d. Soket listrik 1 buah /
B. Tinjauan tentang Proses Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) 1. Pengertian Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran adalah merupakan suatu sistem.8 Sistem adalah
satu kesatuan komponen yang satu sama lain saling berkaitan dan saling
berinteraksi untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan secara optimal
sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan pengertian di atas, maka ada tiga hal penting yang
menjadi karakteristik suatu sistem. Pertama, setiap sistem pasti memiliki
tujuan. Tujuan merupakan arah yang harus dicapai oleh suatu pergerakan
sistem. Semakin jelas tujuan maka semakin mudah menentukan
pergerakan sistem. Kedua, sistem selalu mengandung suatu proses. Proses
adalah rangkaian kegiatan. Kegiatan diarahkan untuk mencapai tujuan.
Semakin kompleks tujuan, semakin rumit juga proses kegiatan. Ketiga,
proses kegiatan dalam suatu sistem selalu melibatkan dan memanfaatkan
berbagai komponen atau unsur-unsur tertentu. Oleh sebab itu, suatu sistem
tidak mungkin hanya memiliki satu komponen saja. Sistem memerlukan
dukungan berbagai komponen yang satu sama lain saling berkaitan.
Suatu sistem memiliki ukuran dan batas yang relatif. Bisa jadi suatu
sistem tertentu pada dasarnya merupakan subsistem dari suatu sistem yang
lebih luas. Misalnya, sistem pembelajaran yang memiliki
komponen-komponen tertentu pada dasarnya merupakan subsistem dari system
pendidikan, dan system pendidikan merupakan subsistem dari sistem
8
sosial masyarakat. Dalam sistem pembelajaran itu pun memiliki
subsistem-subsistem yang lebih kecil, misalnya subsistem media,
subsistem strategi, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, mengapa pembelajaran dikatakan sebagai suatu
sistem karena pembelajaran adalah kegiatan yang bertujuan, yaitu
membelajarkan siswa. Proses pembelajaran itu merupakan rangkaian
kegiatan yang melibatkan berbagai komponen.9
Sementara Wina Sanjaya menjelaskan secara detail tentang proses
pembelajaran dari sudut pandang cakupan sebuah sistem pembelajaran,
Euis Karwati dan Donni Juni Priansa secara singkat mengatakan bahwa
proses pembelajaran adalah proses transformasi pesan edukatif berupa
materi pembelajaran dari guru kepada peserta didik.10 Penjelasan dari
keduanya memiliki satu kesamaan pemikiran yaitu bahwa keseluruhan
proses belajar mengajar pasti terjadi interaksi antar komponen dan
masing-masing komponen saling mempengaruhi sehingga tujuan pendidikan dapat
tercapai. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran
adalah suatu rangkaian kegiatan edukatif antara guru dan peserta didik
dengan melibatkan/menggunakan komponen pembelajaran lainnya sebagai
penunjang untuk mencapai tujuan pembelajaran secara optimal.
2. Persyaratan dan Pelaksanaan Proses Pembelajaran
Seluruh rangkaian kegiatan proses pembelajaran dalam sistem
pendidikan formal SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA telah diatur dalam
9Ibid., h. 49.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, biasa disingkat RPP. Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana kegiatan pembelajaran
tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih. RPP dikembangkan dari
silabus untuk mengarahkan kegiatan pembelajaran peserta didik dalam
upaya mencapai Kompetensi Dasar (KD). Setiap pendidik pada satuan
pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis
agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, efisien, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif,
serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis peserta didik.
Proses pembelajaran secara khusus telah diatur dalam Permendikbud
Nomor 65 Tahun 2013 tentang pengembangan RPP Kurikulum 2013.
Dalam mengembangkan RPP bagi pembelajaran dalam konteks kurikulum
2013, minimal ada dua hal utama yang harus diperhatikan, yaitu
persyaratan pelaksanaan proses pembelajaran dan pelaksanaan proses
pembelajaran. Kedua hal yang harus diperhatikan sejalan dengan regulasi
dimaksud adalah sebagai berikut: 11
a. Persyaratan Pelaksanaan Proses Pembelajaran
1) Alokasi waktu jam tatap muka pembelajaran SD/MI 35 menit,
SMP/MTs 40 menit, SMA/MA 45 menit, dan SMK/MAK 45
menit.
11
2) Buku teks pelajaran digunakan untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan peserta
didik.
3) Pengelolaan Kelas
a) Guru menyesuaikan pengaturan tempat duduk peserta didik
sesuai dengan tujuan dan karakteristik proses pembelajaran.
b) Volume dan intonasi suara guru dalam proses pembelajaran
harus dapat didengar dengan baik oleh peserta didik.
c) Guru wajib menggunakan kata-kata santun, lugas, dan mudah
dimengerti oleh peserta didik.
d) Guru menyesuaikan materi pelajaran dengan kecepatan dan
kemampuan belajar peserta didik.
e) Guru menciptakan ketertiban, kedisiplinan, kenyamanan, dan
keselamatan dalam menyelenggarakan proses pembelajaran.
f) Guru memberikan penguatan dan umpan balik terhadap respons
dan hasil belajar peserta didik selama proses pembelajaran
berlangsung.
g) Guru mendorong dan menghargai peserta didik untuk bertanya
dan mengemukakan pendapat.
h) Guru berpakaian sopan, bersih, dan rapi.
i) Pada tiap awal semester, guru menjelaskan kepada peserta
j) Guru memulai dan mengakhiri proses pembelajaran sesuai
dengan waktu yang dijadwalkan.
b. Pelaksanaan Proses Pembelajaran
Pelaksanaan proses pembelajaran merupakan implementasi RPP,
meliputi kegiatan pendahuluan, inti dan penutup.
1) Kegiatan pendahuluan. Dalam kegiatan pendahuluan, guru:
a) Menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk
mengikuti proses pembelajaran.
b) Member motivasi belajar siswa secara kontekstual sesuai
manfaat dan aplikasi materi ajar dalam kehidupan sehari-hari,
dengan memberikan contoh dan perbandingan local, nasional,
dan internasional.
c) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan
pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari.
d) Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang
akan dicapai.
e) Menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan
sesuai silabus.
2) Kegiatan inti
Kegiatan inti menggunakan model pembelajaran, metode
pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar yang
disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran.
saintifik dan/atau inkuiri dan discovery dan/atau pembelajaran yang
menghasilkan karya berbasis pemecahan maslaah (project based
learning) disesuaikan dengan karakteristik kompetensi dan jenjang
pendidikan.
a) Sikap
Sesuai dengan karakteristik sikap, salah satu alternative yang
dipilih adalah proses afeksi mulai dari menerima, menjalankan,
menghargai, menghayati, hingga mengamalkan. Seluruh
b) Pengetahuan
Pengetahuan dimiliki melalui aktivitas mengetahui,
memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, hingga
mencipta. Karakteristik aktivitas belajar dalam domain
pengetahuan ini memiliki perbedaan dan kesamaan dengan
aktivitas belajar dalam domain keterampilan. Untuk
memperkuat pendekatan saintifik, tematik terpadu, dan tematik
sangat disarankan untuk menerapkan belajar berbasis
penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning). Untuk
mendorong peserta didik menghasilkan karya kreatif dan
kontekstual, baik individual maupun kelompok, disarankan
menggunakan pendekatan pembelajaran yang menghasilkan
karya berbasis pemecahan masalah (project based learning).
Keterampilan diperoleh melalui kegiatan mengamati,
menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta. Seluruh
isi materi (topik dan subtopik) mata pelajaran yang diturunkan
dari keterampilan harus mendorong siswa untuk melakukan
proses pengamatan hingga penciptaan. Untuk mewujudkan
keterampilan tersebut perlu melakukan pembelajaran yang
menerapkan modus belajar berbasis penyingkapan/penelitian
(discovery/inquiry learning) dan pembelajaran yang
menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project
based learning).
3) Kegiatan Penutup
Dalam kegiatan penutup, guru bersama siswa baik secara
individual maupun kelompok melakukan refleksi untuk
mengevaluasi:
a) Seluruh rangkaian aktivitas pembelajaran dan hasil-hasil yang
diperoleh untuk selanjutnya secara bersama menemukan
manfaat langsung maupun tidak langsung dari hasil
pembelajaran yang telah berlangsung;
b) Memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil
pembelajaran;
c) Melakukan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pemberian
d) Menginformasikan rencana kegiatan pembelajaran untuk
pertemuan berikutnya.
Persyaratan pelaksanaan proses pembelajaran dan pelaksanaan
proses pembelajaran tersebut merupakan peraturan yang dibuat untuk
diterapkan kesemua mata pelajaran, demikian pula dalam proses
pembelajaran pendidikan agama Islam (PAI), mengingat bahwa peraturan
tersebut merupakan bagian dari sistem proses pembelajaran yang
merupakan subsistem dari pendidikan nasional.
3. Pendidikan Agama Islam dan Aspek-aspeknya
a. Pengertian Pendidikan Agama Islam (PAI)
Pendidikan Agama Islam terdiri dari tiga kata, yakni; Pendidikan,
agama dan Islam. Pendidikan dalam arti sempit dapat di artikan
sebagai manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan
nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.
Kata agama sebagai pecahan dari kata-kata “A” artinya “ tidak”
dan “gama” artinya “kacau”, jadi “Agama” berarti “ tidak kacau”.
Pengertian tersebut mengandung makna bahwa agama sebagai
pedoman aturan hidup akan memberikan petunjuk kepada manusia
sehingga dapat menjalani kehidupan ini dengan baik, teratur, aman,
dan tidak terjadi kekacauan yang berujung pada tindakan anarkis.
Sedangkan kata Islam adalah memberikan keseluruhan jiwa raga
seseorang kepada Allah SWT, dan mempercayakan seluruh jiwa raga
Menurut Dzakiyah Darajat pendidikan Islam adalah suatu
kegiatan yang lebih ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang
akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri
maupun orang lain. Selain itu pendidikan islam tidak hanya bersifat
teoritis saja tetap juga praktis.12 Karena pendidikan agama Islam
bertujuan untuk membentuk akhlak yang baik bagi peserta didik.
b. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Agama Islam (PAI)
Pendidikan agama Islam (PAI) sebagai suatu disiplin ilmu
mempunyai karakteristik dan tujuan yang berbeda dari disiplin ilmu
yang lain. Bahkan sangat berbeda sesuai dengan orientasi dari
masing-masing lembaga yang menyelenggarakannya. Pusat kurikulum
Depdiknas mengemukakan bahwa pendidikan agama Islam di
Indonesia adalah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan
keimanan peserta didik melalui pemberian dan pemupukan
pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik
tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus
berkembang dalam hal keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah
SWT, serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Allah berfirman dalam al-Qur’an surah ali-Imran ayat 138:13
12
Dzakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 28. 13
Artinya:
“(al-Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan
petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.”
Ayat di atas secara jelas menerangkan bahwa pendidikan agama
Islam yang berpedoman dari al-Qur’an dan as-Sunnah adalah untuk
menuntun umat manusia ke jalan kebenaran yaitu jalan taqwa.
Peserta didik yang telah mencapai tujuan pendidikan agama
Islam dapat digambarkan sebagai sosok individu yang memiliki
keimanan, komitmen, ritual dan sosial pada tingkat yang diharapkan.
Dengan demikian, pendidikan agama Islam disamping bertujuan
menginternalisasikan (menanamkan dalam pribadi) nilai-nilai Islami,
juga mengembangkan anak didik agar mampu mengamalkan nilai-nilai
itu secara dinamis dan fleksibel dalam batas-batas konfigurasi idealitas
wahyu Tuhan. Dalam arti, pendidikan agama Islam secara optimal
harus mampu mendidik anak didik agar memiliki “ kedewasaan atau
kematangan” dalam berpikir, beriman, dan bertaqwa kepada Allah
SWT. Disamping itu juga mampu mengamalkan nilai-nilai yang
mereka dapatkan dalam proses pendidikan, sehingga menjadi pemikir
yang baik sekaligus pengamal ajaran Islam yang mampu berdialog
dengan perkembangan kemajuan zaman.14
14
Dalam pengertian umum, pendidikan Islam sering diartikan
sebagai usaha pendewasaan manusia.15 Bila merujuk pada informasi
al-Qur’an, pendidikan Islam mencakup segala hal dalam kehidupan ini.
Ini karena al-Qur’an merupakan asas dalam pendidikan Islam sehingga
bisa dipahami bahwa tujuan dari pendidikan Islam adalah untuk
mentauhidkan diri kepada Allah. Artinya, mentauhidkan diri kepada
Allah adalah prioritas utama dalam pendidikan Islam selain dari tujuan
keilmuan.16
Para tokoh telah menyebutkan ada beberapa tujuan pendidikan
agama Islam, diantaranya:
1) Menurut Athbiya’ al-Abrasy tujuan pendidikan Islam ada lima,
yaitu:17
a) Membantu pembentukan akhlak yang mulia
b) Mempersiapkan untuk kehidupan dunia dan akhirat
c) Membentuk pribadi yang utuh, sehat jasmani dan rohani
d) Menumbuhkan ruh ilmiah, sehingga memungkinkan murid
mengkaji ilmu semata untuk ilmu itu sendiri
e) Menyiapkan murid agar mempunyai profesi tertentu sehingga
dapat melaksanakan tugas dunia dengan baik, atau singkatnya
persiapan untuk mencari rizki.
15
Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 41.
16
Muhammad Takdir Ilahi, Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 131.
17
2) Menurut D. Marimba, bahwa tujuan akhir dari pendidikan Islam
adalah menjadi atau membentuk kepribadian muslim.
3) Dzakiyah Darajat, menyebutkan bahwa tujuan akhir dari
pendidikan Islam adalah menjadi insan kamil.18
4) Suroso Abdussalam mengatakan bahwa tujuan akhir pendidikan
Islam diarahkan pada upaya merealisasikan pengabdian manusia
kepada Allah, baik pada tingkat individual, maupun masyarakat,
dan kemanusiaan secara luas.19
Sedangkan dalam segi fungsi, keberadaan pendidikan agama
Islam sudah barang tentu didalam rangka melestarikan sistem nilai
taqwa itu sendiri. Sebab merupakan sunnatullah bahwa sistem nilai
tertentu akan menuntun sistem pendidikan yang dikembangkan,
strategi yang ditempuh, teknik yang digunakan, materi pelajaran
sebagai muatannya, kebijakan-kebijakan pendidikan dari tingkat satu
lembaga pendidikan hingga tingkat pusat dan sistem kurikulumnya
secara menyeluruh, tidaklah boleh bertentangan dengan sistem nilai
tersebut.20
Secara rinci, pendidikan agama Islam berfungsi untuk:
1) Penanaman nilai-nilai kesadaran beribadah siswa kepada Allah
SWT, sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup didunia
maupun di akhirat.
18
Dzakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam… h. 31. 19
Suroso Abdussalam, Sistem Pendidikan Islam (Bekasi: Sukses Publishing, 2011), h. 31. 20Ibid.,
2) Pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, serta
akhlak mulia peserta didik seoptimal mungin, yang telah di
tanamkan terlebih dahulu dalam lingkungan keluarga.
3) Perbaikan kesalahan dan kelemahan siswa dalam keyakinan
keimanan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari
4) Pembentukkan kedisiplinan, tanggung jawab, jujur baik di sekolah
maupun di rumah.
5) Pembekalan bagi siswa terhadap pendidikan islam dalam
kehidupan sehari-hari.
c. Urgensi Pendidikan Agama Islam di Sekolah
Dalam pandangan agama Islam, keyakinan agama itu dibangun
di atas logika berpikir yang kukuh, tidak mungkin kita memahaminya
kecuali dengan melibatkan seluruh potensi logika dan nalar kita.
Seandainya kita memakai konsep pendidikan agama mereka (barat)
yang hanya berdasar pada gerak emosi dan fenomena social semata
dalam konsep pendidikan agama kita, maka yang terjadi adalah
kegagalan dan tidak ada satupun tujuan pendidikan yang akan kita
capai.
Dalam masalah akidah, pandangan teori filsafat dan pendidikan
Barat yang terbaru, juga harus tumbuh dari keinginan dan mengikuti
kemauan. Sementara kemauan terhadap sesuatu, yang tidak muncul
kecuali karena ada tujuan adalah yang menumbuhkan dalam akal,
dengan kemauan dan selera mereka. Di atas konsep pendidikan ini,
akal meretas jalannya menuju bangunan ideologi sehingga
mengabaikan aspek moralitas dalam membangun pendidikan sesuai
dengan ajaran agama yang benar.
Sementara akidah dalam pandangan Islam adalah dasar utama
bagi setiap kemauan dan keinginan anak manusia. Karena itulah semua
keinginan dan kemauan itu bertolak dari nol, tidak ada yang
mengawalinya kecuali akal dan logika, tetapi dengan syarat keduanya
jernih dan sehat. Di atas konsep pendidikan ini, aqidah kita meretas
jalan kepada kebebasan dan kemerdekaan dengan tetap
mempertahankan keyakinan terhadap agama. Disinilah pentingnya
pendidikan Islam perlu diterapkan secara optimal dalam setiap
lembaga pendidikan, karena fenomena yang terjadi adalah moralitas
bangsa kita sudah jauh dari nilai-nilai keislaman dan keluhuran bangsa
dalam membangun karakter yang baik bagi kemajuan pendidikan
secara nasional.21
Penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah menganut dasar
negara yaitu pancasila. Sila pertama menyebutkan bahwa “Ketuhanan
Yang Maha Esa”, sila tersebut mengandung makna bahwa seluruh
bangsa Indonesia harus percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa,
dengan kata lain harus beragama. Usaha untuk meningkatkan
ketaqwaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah
21
dengan jalan menanamkan jiwa agama. Penanaman jiwa agama tidak
mungkin dilakukan oleh orang tua dirumah apalagi jika orang tuanya
tidak faham tentang agama, maka pengajaran agama harus dilakukan
dengan bimbingan seorang guru yang mengetahui agama.
Kita tahu bahwa agama merupakan salah satu faktor utama dalam
Pendidikan Nasional dalam membangun manusia seutuhnya, karena itu
Pendidikan Agama di sekolah-sekolah, mutlak diperlukan, salah
satunya adalah agama Islam. Pendidikan agama Islam adalah usaha
berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah
selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan
ajaran-ajaran Islam serta menjadikan sebagai the way of life (jalan hidup).
Jadi, pendidikan agama Islam adalah ihtiar manusia dengan jalan
bimbingan dan pimpinan untuk membantu mengarahkan fitrah agama
si anak didik menuju terbentuknya kepribadian utama sesuai dengan
ajaran agama.22
Pendidikan Islam dapat diselenggarakan pada seluruh lembaga
pendidikan baik formal maupun non formal. Pada lembaga pendidikan
umum seperti sekolah dasar sampai perguruan tinggi, pendidikan Islam
diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan Agama
Islam, sedangkan pada lembaga pendidikan bercirikan Islam,
pendidikan agama Islam diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran
Al-Qur’an dan Hadist, Aqidah Akhlaq, Fiqih dan Sejarah Islam.
22
Pendidikan agama Islam perlu diajarkan sebaik-baiknya dengan
memakai metode dan alat yang tepat serta manajemen yang baik. Bila
pendidikan agama Islam di sekolah dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya, maka insya Allah akan banyak membantu mewujudkan
harapan setiap orang tua, yaitu memiliki anak yang beriman, bertakwa
kepada Allah SWT, berbudi luhur, cerdas, dan terampil.
Bagi umat Islam tentunya pendidikan agama Islam wajib diikuti.
Mengingat betapa pentingnya pendidikan agama Islam dalam
mewujudkan harapan orang tua dan untuk mewujudkan tujuan
nasional, maka pendidikan agama Islam harus diberikan dan
dilaksanakan di sekolah dengan sebaik-baiknya.23
d. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam (PAI)
Ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Agama Islam kelas X,
yaitu:24
1) Aspek Al-Qur’an:
a) Q.S al-Anfal (8): 72 ; Q.S al-Hujurat (49): 10 dan 12, serta
hadits tentang kontrol diri (mujahadah an-nafs), prasangka baik
(husnuzzhan), persaudaraan (ukhuwah).
b) Q.S al-Isra’ (17): 32 dan Q.S an-Nur (24): 2, serta hadits larangan pergaulan bebas & perbuatan zina.
c) Q.S at-Taubah (9): 122 dan hadits terkait tentang semangat menuntut ilmu.
23Ibid., h. 23. 24
2) Aspek aqidah akhlaq:
a) Asmaul Husna Kariim, Mu’min, Wakiil, Mattin,
al-Jaami’, al-Adl’ dan al-Akhiir.
b) Beriman kepada Malaikat-malaikat Allah SWT.
3) Aspek fiqih:
a) Kedudukan al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber hukum Islam.
b) Pengelolaan wakaf.
4) Aspek sejarah:
a) Substansi dan strategi dakwah Rasulullah saw di Mekkah.
b) Substansi dan strategi dakwah Rasulullah di Madinah.
4. Proses Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI)
Berdasarkan penjelasan mengenai proses pembelajaran sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa tahap proses pembelajaran
yang harus dilalui oleh seorang guru, yaitu:
a. Tahap Pra Instruksional, yaitu tahap yang ditempuh pada saat memulai
sebuah proses belajar.
b. Tahap Instruksional, tahap pemberian bahan pelajaran yang meliputi 5
inti dari pendekatan scientifik yaitu: mengamati, menanya, mencoba,
mengasosiasi, dan mengkomunikasikan
c. Tahap Evaluasi dan Tindak Lanjut, yaitu bertujuan untuk mengetahui
keberhasilan tahap instruksional. Kegiatan yang dapat dilakukan pada
tahap ini adalah mengajukan beberapa pertanyaan kepada siswa
materi sebelumnya. Pertanyaan ini digunakan untuk menguji seberapa
besar pemahaman siswa terhadap materi yang telah disampaikan,
pemberian tugas kemudian dari hasil tersebut guru dapat memberi skor
nilai guna mengetahui tingkat prestasi yang diperoleh siswa dengan
melaksanakan analisis hasil evaluasi.
Sedangkan proses pembelajaran PAI adalah suatu rangkaian/tahap
kegiatan edukatif dalam proses pembelajaran mata pelajaran PAI,
berdasarkan nilai iman dan taqwa antara guru dan peserta didik dengan
melibatkan/menggunakan komponen pembelajaran lainnya sebagai
penunjang untuk merealisasikan pengabdian manusia kepada Allah secara
maksimal, baik pada tingkat individual, maupun masyarakat, dan
kemanusiaan secara luas.
Perihal persyaratan dan pelaksanaannya adalah sesuai dengan yang
sudah peneliti jelaskan pada sub bab “Persyaratan dan Pelaksanaan Proses
Pembelajaran” mengingat bahwa poin-poin peraturan tersebut merupakan
bagian dari sistem proses pembelajaran yang merupakan subsistem dari
pendidikan nasional yang harus terpenuhi dalam proses pembelajaran
semua mata pelajaran, termasuk juga yaitu mata pelajaran PAI.
C. Pengaruh Kepadatan Ruang Kelas terhadap Proses Pembelajaran PAI Ruang kelas yang unsur kenyamanannya bergantung pada pengaturan
tata letak sarana dan kepadatannya, memiliki andil yang sangat besar terhadap
tercapainya tujuan pembelajaran. Pengaturan sarana kelas yang buruk dan
kemungkinan besar akan menyebabkan iklim pembelajaran kurang
menggairahkan dan secara otomatis akan mengurangi semangat peserta didik
untuk melakukan kegiatan-kegiatan edukatif yang ada di dalam proses
pembelajaran.
Allah Berfirman dalam al-Qur’an surah as-Saff ayat 4:25
Artinya:“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam
barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”
Ayat tersebut menerangkan bahwa Allah memerintahkan hambaNya
untuk melakukan segala sesuatu dengan teratur dan terorganisir, karena
apapun yang dilaksanakan dengan teratur dan terorganisir akan berjalan
dengan baik hingga tujuan yang diinginkan tercapai secara maksimal. Begitu
pula dalam hal organisasi kecil di dalam sekolah, yaitu kelas. Kemungkinan
besar pengelolaan kelas yang buruk akan menyebabkan kelas tersebut sulit
teratur dan terorganisir.
Pengelolaan kelas secara khusus disebutkan dalam Permendikbud
Nomor 65 Tahun 2013 sebagai persyaratan proses pembelajaran. Peraturan
tersebut menyebutkan “Persyaratan Pelaksanaan Proses Pembelajaran”
sebelum “Pelaksanaan Proses Pembelajaran”, karena “Persyaratan
25
Pelaksanaan Proses Pembelajaran” sangat berpengaruh terhadap “Pelaksanaan
Proses Pembelajaran”. Persyaratan pelaksanaan proses pembelajaran mutlak
adanya sebagai tolak ukur kesuksesan pelaksanaan proses pembelajaran.
Pelaksanaan proses pembelajaran tidak bisa dikatakan berhasil apabila
terdapat salah satu poin dari persyaratan pelaksanaan proses pembelajaran
yang tidak terpenuhi.
Hampir setengah dari sepuluh subpoin dari poin pengelolaan kelas yang
telah disebutkan dalam Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tersebut
ketercapaiaannya sangat bergantung dengan kepadatan ruang kelas. Seperti
misalnya: Guru menyesuaikan pengaturan tempat duduk peserta didik sesuai
dengan tujuan dan karakteristik proses pembelajaran, volume dan intonasi
suara guru dalam proses pembelajaran harus dapat didengar dengan baik oleh
peserta didik, guru menyesuaikan materi pelajaran dengan kecepatan dan
kemampuan belajar peserta didik, guru menciptakan ketertiban, kedisiplinan,
kenyamanan, dan keselamatan dalam menyelenggarakan proses pembelajaran.
Itu semua tidak akan bisa dilaksanakan dengan baik oleh guru apabila
kepadatan ruang kelas tidak sesuai dengan standar kapasitas yang semestinya.
Euis Karwati dan Donni Juni Priansa menyatakan bahwa ruang kelas
memberikan pengaruh yang besar terhadap proses dan hasil belajar peserta
didik.26 Hal ini sejalan dengan pernyataan Novan Ardy Wiyani bahwa
sebagian besar kondisi fisik ruang kelas memang memiliki pengaruh terhadap
kemungkinan munculnya gangguan belajar.27
Standar pemerintah mengenai kepadatan ruang kelas pada jenjang
pendidikan tingkat SMA/MA yaitu kapasitas maksimum ruang kelas 32
peserta didik dan rasio minimum luas ruang kelas 2 m²/peserta didik.
Sedangkan pada kenyataannya di lapangan, banyak sekolah yang memiliki
40-45 siswa per kelas dan rasio minimum yang diperoleh setiap peserta didik
rata-rata adalah 1,5 m²/peserta didik. Hal ini menyebabkan ruang kelas sangat
padat dan terlihat penuh, sekalipun ventilasi ruang kelas telah memenuhi
standar. Akibatnya, peserta didik merasakan hawa yang sesak, tidak semangat
belajar, gaduh dan sebagainya. Berbagai kegiatan edukatif yang menuntut
guru untuk membentuk tempat duduk sesuai dengan kebutuhan materi,
membentuk kelompok, melaksanakan permainan aktif, tidak akan mudah
dilaksanakan karena kemungkinan yang terjadi adalah ketidak kondusifan
akibat sesaknya kelas. Sehingga kegiatan demi kegiatan pembelajaran tidak
terlaksana dengan baik dan keseluruhan proses pembelajaran pun juga ikut
terdampak.
Seperti yang sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, bahwa
kepadatan ruang kelas merupakan salah satu unsur dari kriteria kenyamanan
kelas yang harus diperhatikan karena merupakan bagian dari prinsip-prinsip
pengaturan kelas. Dengan kata lain bahwa pengaturan kelas yang dilakukan
dengan melupakan pentingnya kenyamanan kelas tentu akan menyebabkan
27
ketidak kondusifan proses pembelajaran. Sehingga dalam proses pembelajaran
PAI yang notabennya adalah sebagai dasar proses perealisasian pengabdian
manusia kepada Allah, tidak akan tercapai secara maksimal, baik pada tingkat
individual, maupun masyarakat, dan kemanusiaan secara luas.
Berlandaskan teori-teori di atas, maka peneliti dapat membuat
kesimpulan sementara atau hipotesis. Hipotesis adalah dugaan atau jawaban
sementara terhadap suatu permasalahan penelitian. Kata dugaan sementara
atau prediksi menunjukkan bahwa suat