• Tidak ada hasil yang ditemukan

NEO-RESOLUSI JIHAD : JIHAD KONTEKSTUAL KH. SALAHUDDIN WAHID.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "NEO-RESOLUSI JIHAD : JIHAD KONTEKSTUAL KH. SALAHUDDIN WAHID."

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

NEO-RESOLUSI JIHAD

(JIHAD KONTEKSTUAL KH. SALAHUDDIN WAHID)

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi tugas akhir guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Pemikiran Islam

Oleh:

ERISTA NUR AMALIYANTI NIM : E81211043

PRODI FILSAFAT AGAMA

JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)

NEO-RESOLUSI JIHAD

(JIHAD KONTEKSTUAL KH. SALAHUDDIN WAHID)

SKRIPSI Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Guna Memenuhi Sebagian Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Pemikiran Islam

Oleh:

ERISTA NUR AMALIYANTI NIM : E81211043

PRODI FILSAFAT AGAMA

JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan KH. Salahuddin Wahid tentang konsep jihad dalam Islam serta untuk mengetahui konsep jihad kontekstual KH. Salahuddin Wahid serta relevansinya dengan keindonesiaan saat ini. Teknik pengumpulan datanya dengan dokumentasi, wawancara, dan observasi lapangan. Untuk analisis data, digunakan teknik analisis deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jihad dalam pandangan KH.Salahuddin Wahid tidak jauh dari karakter, latar belakang pendidikan, hubungan social, serta kepandaiannya dalam berpolitik sehingga tidak heran jika lantas pemikiran yang ia sumbang dan tawarkan kepada masyarakat Indonesia ialah tak lain untuk mencerdaskan bangsa, mengejar ketertinggalan

ekonomi dengan membantu kaum mustadz’afin, melawan musuh Islam berdasarkan

ukhuwah insaniyah, serta menegakkan keadilan.

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Balakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Masalah ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 8

F. Kerangka Teoritik ... 8

G. Telaah Pustaka ... 11

H. Metode Penelitian ... 15

I. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JIHAD ... 20

(8)

B. Jihad Dalam Al Qur’an ... 26

C. Historitas Jihad ... 32

1. Jihad Pada Periode Makkah ... 32

2. Jihad Pada Periode Madinah ... 35

3. Historitas Jihad di Indonesia ... 37

D. Jihad Dalam Islam Menurut KH. Salahuddin Wahid ... 45

BAB III LATAR BELAKANG KH. SALAHUDDIN WAHID DENGAN KONDISI INDONESIA SAAT INI ... 52

A. Biografi KH. Salahuddin Wahid. ... 52

B. Perkembangan Akademik KH. Salahuddin Wahid. ... 53

C. Latar Belakang Pemikiran KH. Salahuddin Wahid ... 57

D. Kondisi Indonesia Saat Ini ... 61

E. Transformasi Jihad dari KH. Hasyim Asy’ari ke KH. Salahuddin Wahid ... 68

BAB IV NEO-RESOLUSI JIHAD KH. SALAHUDDIN WAHID ... 71

A. Pendidikan Karakter Berbasis Pesantren. ... 71

B. Mengejar Ketertinggalan Ekonomi. ... 80

C. Melawan Musuh Islam yang Kapitalis dan Komunis dengan Persatuan ... 88

D. Menegakkan Keadilan dalam Pemerintahan ... 94

BAB V PENUTUP... 96

(9)

B. Saran ... 97

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara majemuk yang masyarakatnya terdiri atas

berbagai suku, ras, agama, adat istiadat dan aliran kepercayaan. Berdasarkan analisis

dari hasil pengamatan yang tampak, dapat diketahui bahwa dengan adanya

kemajemukan menjadikan Indonesia negara yang kaya. Kaya akan budaya, seni, serta

bahasa yang seharusnya dari kekayaan tersebut menjadikan Negara lebih indah, adil

dan beradab. Namun kenyataannya, di samping bernilai positif, kemajemukan juga

mempunyai nilai negatif yang dapat menimbulkan konflik, perpecahan dan

disintegrasi.1

Salah satu konflik yang akhir-akhir ini kembali meresahkan adalah konflik

akibat gesekan beragama. Bagi Islam, faktor pemicu konflik ini, salah satunya adalah

adanya pemahaman jihad yang diambil hanya secara tekstual dan tanpa

mempertimbangkan tempat dan waktu tertentu. Hampir bisa dipastikan, istilah jihad

merupakan salah satu konsep Islam yang paling sering disalahpahami, khususnya

dikalangan para ahli dan pengamat Barat.2 Pemahaman jihad sebagai perang melawan

orang-orang non muslim sangat dominan dan melekat dalam pemahaman masyarakat.

1

Sulastomo, Cita-cita Negara Pancasila (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2014), vii

2Abul ‗Ala Maududi, Hasan Al Banna, dan Sayyid Quthb,

Jihad(Perang Suci Islam)

(11)

Ketika istilah ini disebutkan, maka citra yang muncul di kalangan masyarakat Barat

adalah laskar muslim yang menyerbu ke berbagai wilayah Timur Tengah, memaksa

mereka orang-orang non muslim memeluk Islam. Begitu melekatnya citra ini,

sehingga fakta dan argumen apapun yang dikemukakan oleh pihak muslim, sulit

diterima oleh mayoritas masyarakat Barat. Mereka sudah appriori terhadap konsep

jihad dalam Islam.3 Kekeliruan pandangan ini, seperti argumen Jansen dalam militan

Islam,4 yang terus menerus menyesatkan masyarakat dengan menggaung-gaungkan

bahwa Islam merupakan agama damai, sementara rata-rata muslim menganggap

Barat sebagai ―rumah perang‖. Dari sini dapat diketahui bahwa Jansen ―bukan teman

Islam‖. Dan semua ini tentu saja bertentangan dengan kenyataan, bahwa tidak ada

laskar muslim dalam masa modern yang dapat atau yang melakukan jihad.

Akibat pemahaman tekstual ini, Islam semakin dikesankan berparadigma

kacamata kuda, tidak sensitif konteks dan kini seolah-olah menjadi agama yang lekat

dengan kekerasan. Nilai-nilai Islam yang pemberi rahmat bagi seluruh alam, hewan,

tumbuhan, jin dan sesama manusia, kini semakin tidak tampak dari luar. Persoalan

semakin krusial tatkala trend kekerasan yang diakibatkan oleh pemahaman Islam

tekstual ini mulai menggoyahkan sendi-sendi kebangsaan yang Bhinneka Tunggal

Ika.

Kondisi konflik horizontal yang semakin meluas ini perlu segera diatasi.

Konsep kerahmatan dan keramah-tamahan Islam harus kembali dikuatkan. Bahwa

3

Ubaidillah Nafi‘, ‖Jihad Dalam Perspektif Al Qur‘an‖, Majalah Aula, No.11, XXIII (November, 2001), 11

4

(12)

Islam adalah ―Rahmatan Lil „Alamin” dan tidak hanya ―Rahmatan Lil Muslimin”

perlu dibuktikan kembali sesegera mungkin dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Seperti Firman Allah dalam Surat al-Anbiya ayat 107: 5

Artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat

bagi semesta alam”.

Melihat Indonesia yang kondisinya seperti ini, banyak ulama dan pemikir

muslim lainnya terlibat dalam pembicaraan tentang jihad. Baik dengan kaitannya

dengan doktrin fiqih maupun dengan konsep politik Islam. Dan konsep-konsep jihad

yang mereka kemukakan sedikit banyak mengalami pergeseran dan perubahan sesuai

dengan konteks sosio-historis masing-masing pemikir muslim. Seperti yang telah

disimpulkan oleh Abdul Aziz Schedina, Situasi-situasi politik kongkrit membuat para

ulama dan pemikir muslim bersikap pragmatis dan realistis dalam

perumusan-perumusan mereka tentang justifikasi untuk melakukan jihad.6

Bahkan KH. Hasyim Asy‘ari sendiri pernah memfatwakan sebuah konsep

tentang perlunya resolusi jihad pada masanya. Di mana kondisi lingkungan sudah

dapat dikatakan jauh dari perikemanusiaan. Namun perbincangan mengenai topik

tersebut hingga kini masih banyak dilakukan oleh pakar dari berbagai bidang. Makna

jihad sedikit banyaknya telah mengalami pergeseran dan perubahan seiring dengan

5Al Qur‘an, 21: 107

6

(13)

konteks dan lingkungan masing-masing pemikir.7 Lebih-lebih dalam konteks

Indonesia, sejak terjadinya banyak kasus pengeboman di berbagai hotel tempat

wisatawan mancanegara, serta serentetan teror lainnya dari gerakan Islam lain seperti

gerakan ISIS yang sedang merebak akhir-akhir ini. Sejak saat itulah kata jihad

menjadi sangat familiar terutama di lingkungan masyarakat Indonesia, dan dari sini

jugalah yang lantas membuat KH. Salahuddin Wahid merasa terpanggil untuk turut

menyuarakan makna jihad tersebut.

Tokoh yang terkenal dengan panggilan Gus Sholah ini tertarik mendalami

fenomena konflik, terutama konflik yang berkaitan dengan pemahaman jihad dengan

label Islam. Satu dari pikiran beliau yang menarik tentang ini adalah perlunya

Resolusi Jihad jilid II. Alasan KH. Salahuddin Wahid mencetuskan istilah ini

dikarenakan pemaknaan jihad yang sebelumnya pernah ditawarkan oleh KH. Hasyim

Asy‘ari mengenai kewajiban berperang melawan penjajah demi kembalinya hak-hak

progresif yang dimiliki bangsa sehingga dapat menciptakan kembali masyarakat yang

sejahtera, kini menurut KH. Salahuddin wahid jihad yang seperti itu tidak lagi sesuai

dengan kondisi masyarakat yang ada. Sebab itulah yang menjadi faktor utama

dicetuskannya Neo-Resolusi Jihad oleh KH. Salahuddin Wahid.

Tidak lepas dari latar belakang keluarga dan organisasi NU yang

membesarkannya. KH. Salahudddin Wahid mencetuskan beberapa pernyataan dalam

sebuah artikel kecil yang berjudul ―Menggagas NU Masa Depan‖, bahwasannya

7 Fitrul Huda, ―Studi Analisis Tentang Jihad Menurut Pemikiran Politik Hasan Al

(14)

organisasi NU saat ini sudah mulai melencengkan dari jalur fitrahnya. fitrah sebagai

organisasi yang berpotensi dalam meningkatkan kinerja untuk menghadapi

tantangan-tantagan ke depan bangsa dan umat agar bisa memberikan sumbangsih seperti sekian

tahun yang lalu. Khususnya tantangan yang sedang mengurangi Aqidah umat Islam

yang berada di seluruh Indonesia sehingga menyalahartikan makna jihad yang

sesungguhnya. Pernyataan ini tidak hanya ia pertegas melalui surat kabar dan media

elektronik, tetapi juga melalui ceramah dan khutbah langsungnya di berbagai

pertemuan.8

Melihat perlunya sumbangsih pemikiran dari anak bangsa untuk Indonesia

sehingga dapat menjadi Negara yang maju tanpa adanya serangan dari kaum

kapitalis. Mengingat beberapa dekade sebelumnya bumi Indonesia secara

habis-habisan dibumi hanguskan oleh mereka, baik dari sektor politik, ekonomi, budaya,

pendidikan, hingga sistem pemerintahan. Di mana lantas semua itu menjadikan

Indonesia menjadi Negara terbelakang bahkan jauh dari kemajuan. Maka untuk

mengantisipasi datangnya kembali serangan dari kaum kapitalis tersebut KH.

Salahuddin Wahid menegaskan perlunya membentuk gerakan Neo-Resolusi Jihad.

Maka inilah yang menjadi dasar dari adanya ketertarikan peneliti untuk turut

mengkaji pemikiran KH. Salahuddin Wahid mengenai Neo-Resolusi Jihad.

Adapun alasan lain dari penelitian ini adalah menariknya pemikiran beliau di

tengah-tengah masyarakat sehingga kemungkinan besar dapat mempengaruhi mindset

8

(15)

serta aplikasi masyarakat Indonesia untuk mewujudkan makna Pancasila dalam Sila

yang kedua, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab. Berdasarkan latar belakang

inilah peneliti memberikan penegasan ulang akan perlunya penelitian dari pemikiran

KH. Salahuddin Wahid.

B. Identifikasi Masalah.

Agar permasalahan yang akan diteliti ini lebih jelas, maka penulis akan

memfokuskan pembahasan pada konsep jihad dalam pemikiran KH. Salahuddin

Wahid yang sedikit banyaknya pemikiran tersebut dipengaruhi oleh KH. Hasyim

Asyari, KH. Wahid Hasyim, dan KH. Abdurrahman Wahid. Tiga tokoh Pemikir

Muslim besar di zamannya masing-masing yang juga merupakan keluarga besar NU

yang sedarah dengannya.

Permasalahan yang ada mengenai jihad, dikarenakan banyaknya kelompok

garis besar Islam di Indonesia yang hingga kini salah dalam memahami jihad. Seperti

kelompok ISIS (the Islamic State of Iraq and Syria) yang akhir-akhir ini

menggelisahkan masyarakat sekitar. Dimana ISIS dikenal karena memiliki

interpretasi yang keras pada Islam seperti bom bunuh diri hingga menjarah Bank. Hal

tersebut mereka lakukan tak lain adalah sebagai upayanya dalam berjihad. Sedangkan

menurut Prof. Haidar Bagir, Jihad yang demikian bukanlah jihad yang benar karena

jihad baginya merupakan sebuah usaha yang didasarkan pada seluruh kemampuan

yang ada untuk selalu berada di jalan Allah serta tidak bermaksiat kepadaNya

(16)

baik dalam menggunakan waktu, energi, dan harta untuk kebaikan. Salah satunya

dengan melawan penindasan.9

Adapun resolusi jihad yang pernah di fatwakan oleh Hadratus Syekh Hasyim

Asy‘ari pada tahun 1945-1949, yang saat ini memiliki perbedaan sangat jelas dari

segi situasi dan kondisi. Menelisik lebih dalam dengan memahami kondisi

masyarakat pada saat ini maka dari sinilah perlu adanya pandangan seorang tokoh

seperti KH. Salahuddin Wahid dalam Neo-Resolusi Jihadnya untuk masyarakat

Indonesia khususnya kaum intelektual.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas. Mengenai beberapa masalah

yang akan dikaji dalam studi ini maka ada beberapa pertanyaan yang kompleks dan

berkaitan antara satu dengan yang lain, diantaranya:

1. Bagaimana pandangan KH. Salahuddin Wahid tentang konsep jihad

dalam Islam?

2. Bagaimana konsep Neo-Resolusi Jihad KH. Salahuddin Wahid serta

relevansinya dengan konteks keindonesiaan saat ini?

D. Tujuan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat diketahui beberapa tujuan dari

penelitian ini. Di antaranya sebagai berikut:

9

(17)

1. Untuk mengetahui pandangan KH. Salahuddin Wahid tentang konsep

jihad dalam Islam.

2. Untuk mengetahui konsep Neo-Resolusi Jihad KH. Salahuddin Wahid

serta relevansinya dengan keindonesiaan saat ini.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini sangat penting dilakukan, karena akan menghasilkan informasi

yang secara rinci, akurat dan aktual, yang akan memberikan jawaban dari

permasalahan penelitian baik secara teoritis maupun praktis. Beberapa manfaat dari

diadakannya penelitian ini, yaitu:

1.

Memberikan sumbangsih pengetahuan baru tentang Neo-Resolusi Jihad

dalam pandangan KH. Salahuddin Wahid di dunia akademi.

2.

Memberikan pemahaman yang benar mengenai makna jihad dalam Islam.

3.

Mengubah mindset masyarakat dalam memaknai jihad.

4.

Memberikan dorongan perubahan untuk menjadi masyarakat, pemerintah,

serta Negara yang lebih baik.

F. Kerangka Teoritik

Penelitian ilmiah ini berusaha untuk menemukan teori baru dalam konsep

jihad baru. Yaitu sebuah langkah awal dalam usaha untuk memecahkan suatu

(18)

informatif, peneliti dapat mencari data lapangan yang tepat sehingga tujuan dari

penelitian dapat berhasil dengan baik karena hal tersebut mempunyai pengaruh yang

cukup besar terhadap kesimpulan akhir. Oleh karena itu kerangka berpikir dari dasar

teori penelitian ilmiah ini harus disusun dan direncanakan sesuai dengan arah dan

sasaran yang diinginkan.

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sudut pandang sosial kebangsaan

dalam konsep jihad menurut KH. Salahuddin Wahid. Mengingat ia merupakan salah

satu tokoh yang bergelut didunia politik pemerintahan. Jika beberapa golongan

fundamental menganggap bahwa jihad merupakan salah satu upaya dalam

mempertahankan Islam secara tekstual, maka berbeda dengan konsep jihad yang

ditawarkan oleh KH. Salahuddin Wahid dalam wawancara pertama peneliti dengan

narasumber. Menurut KH. Salahuddin Wahid, jihad yang qital (perang) hanya sesuai

dengan kondisi Indonesia pada tahun 1945-1949 yakni Resolusi Jihad yang

ditawarkan oleh KH. Hasyim Asy‘ari.10

Sedangkan mengenai cara jihad saat ini lebih

ditekankan pada upaya dalam mempersatukan NKRI yang telah final hampir setengah

abad ini dengan pencapaian hasil yang masih jauh dari harapan masyarakat.

Mengenai deskripsi pembahasan yang ada maka perlu adanya sitematika penelitian

lebih lanjut.

Berikut peta konsep jihad pada masa KH. Hasyim Asyari dengan ―Jihad Baru‖

yang akan ditawarkan oleh KH. Salahuddin Wahid :

10

(19)

Dalam melancarkan penelitian ini diperlukan suatu tempat untuk memperoleh

data sebagai pendukung untuk tercapainya tujuan penelitian. Sebab itu, Penelitian ini

berlangsung di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Yang merupakan Salah satu

Pondok Pesantren unggulan dari zaman ke zaman, mengingat dari segi pendirinya

yang merupakan tokoh utama penggagas Organisasi NU, KH. Hasyim Asy‘ari hingga

KH. Salahuddin Wahid, yang merupakan cucu dari KH. Hasyim Asy‘ari serta adik

JIHAD

Keagamaan

Kebangsaan

Pesantren

Pemerintahan

Masa

Penjajahan

Otoriter

Penguasa

Perang Fisik

a. Mencerdaskan bangsa

b. Mengejar ketertinggalan ekonomi dan Membantu kaum mustad‘afin c. Melawan Musuh Islam.

d. Menegakkan Keadilan

KH. Salahuddin Wahid

(20)

kandung KH. Abdurrahman Wahid yang juga merupakan salah satu tokoh ternama di

era kontemporer ini. Dimana keempatnya tentu memiliki latar belakang pendidikan,

karakter, serta lingkungan yang berbeda-beda. Maka dapat dipastikan bahwa

pemikiran dari setiap tokohnya juga berbeda meskipun dasar yang dipegang adalah

sama. Sebab itu obyek penelitian ini adalah konsep ―Jihad Baru‖ atau jihad

kontekstual menurut KH. Salahudiddin Wahid. Penelitian ini berlangsung empat

bulan setelah proposal disetujui oleh dosen pembimbing setelah mendapat ijin dari

pihak-pihak yang berwenang.

G. Telaah Pustaka

Sejauh ini ada beberapa telaah pustaka yang berupa skripsi, buku, teks/artikel

yang kemungkinan belum ada yang mengupas secara detail mengenai pemikiran KH.

Salahuddin Wahid mengenai jihad kontekstual. Namun meski begitu seluruh telaah

pustaka ini mampu untuk dijadikan teori dasar dalam perumusan masalah yang akan

diteliti. Meskipun dengan spesifikasi pembahasan yang berbeda-beda namun tetap

memiliki relasi yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain.

Pembahasan pertama mengenai Jihad menurut Gunaji dalam skripsinya

tentang Resolusi Jihad NU 1945; Peran politik dan militer NU dalam

Mempertahankan Kedaulatan NKRI bahwa resolusi jihad NU memiliki peran yang

sangat vital dalam mempertahankan kedaulatan NKRI yang selama berabad-abad

dijajah oleh Bangsa Barat. Hal ini terbukti dengan adanya sejarah tentang resolusi

(21)

Indonesia. Sedangkan dewasa ini, nyatanya resolusi jihad sudah tidak berarti karena

penguasa negeri yang melupakan sejarah resolusi jihad tersebut dari sejarah

Indonesia. Sehingga di medan politik, NU disingkirkan dan dalam hal pendidikan

juga selalu di nomor duakan.11

Pembahasan kedua menurut Achmad Muafi dalam skripsinya yang berjudul

Resolusi Jihad NU dalam pembentukan Nasionalisme Indonesia Perspektif Kajian

Fiqh Siyasah. Skripsi ini membahas tujuan resolusi jihad, yang dilakukan tidak lain

atas dasar inspirasi nasionalisme rakyat di berbagai daerah Indonesia untuk mengusir

penjajah. Bentuk gagasan dari substansinya lebih mementingkan iman dan amal dari

pada bentuknya.12

Pembahasan skripsi yang ketiga oleh Mahir dengan judulnya Pengaruh

Resolusi Jihad pada masa KH. Hasyim Asy‟ari terhadap penetapan hukum fiqh

politik NU di Indonesia. Arah pembahasan dalam skripsi ini lebih difokuskan pada

penetapan hukum politik NU, dengan obyek pembahasannya adalah pengaruh

Resolusi Jihad pada masa KH. Hasyim Asy‘ari terhadap penetapan hukum politik

NU.13

11 Gunaji, ―Resolusi Jihad NU 1945; Peran Politik dan

Militer NU dalam Mempertahankan Kedaulatan NKRI, (Skripsi tidak diterbitkan, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009)

12 Achmad Muafi, ―Resolusi Jihad NU dalam pembentukan Nasionalisme Indonesia

Perspektif Kajian Fiqh Siyasah‖, (Skripsi tidak diterbitkan, IAIN Sunan Ampel Surabaya,

2013)

13 Mahir, ―Pengaruh Resolusi Jihad pada masa KH. Hasyim Asy‘ari terhadap

(22)

Mengenai pembahasan ke-empat, dalam skripsi yang diangkat oleh Muzakki

dengan judul Resolusi Jihad NU sebuah Konstribusi Spiritual NU dalam

Memperjuangkan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Arah pembahasan

dalam skripsi ini lebih difokuskan pada konstibusi spiritual NU dengan obyek

pembahasannya adalah sejarah dalam upaya mempertahankan kemerdekaan

Indonesia. 14

Sekian banyaknya pembahasan jihad yang dijelaskan oleh sebagian kaum

akademisi menunjukkan akan keorisinilan penelitian ini. Banyaknya pembahasan

mengenai Resolusi Jihad, tidak lebih arah pembahasannya mengenai jihad yang

difatwakan oleh KH. Hasyim Asy‘ari. Sedangkan penelitian lain yang membahas

tentang tokoh KH. Salahuddin Wahid hingga saat ini belum ditemui.

Sumber penting mengenai sekilas pandang pemikiran KH. Salahuddin Wahid

mengenai jihad tertuang dalam sebuah artikel di Majalah Mimbar yang bertemakan

―Kemerdekaan di Tengah Lintas Perbedaan‖ yang di dalamnya tertuang pandangan

KH. Salahuddin Wahid mengenai Resolusi Jihad pada tahun 1945. bahwasannya

Resolusi jihad tersebut terjadi karena di awali tentara Belanda yang ikut dalam tentara

sekutu menyerbu Surabaya. Hal ini dikarenakan Jepang yang sudah kalah dengan

sekutu, sebab itu menurut sekutu Indonesia harus kembali ke tangan Belanda. Melihat

Indonesia yang saat itu sudah menyatakan kemerdekaannya, maka para Ulama

14 Muzakki, ―Resolusi Jihad NU sebuah Konstribusi

(23)

bersama-sama bertemu di Surabaya dan membicarakan masalah itu. dari latar

belakang inilah yang kemudian tercetus Resolusi Jihad.

Diantara yang tertuang dalam Resolusi Jihad saat itu menyatakan bahwa wajib

hukumnya bagi umat Islam mempertahankan kemerdekaan. Kedua, memberi fatwa

agar rakyat membantu tentara Indonesia melawan Belanda. Yang ketiga, semua orang

dewasa yang berada dalam radius 90 km (daerah sekitar Surabaya), wajib untuk

berperang membantu TNI melawan Belanda. ―Siapa yang gugur di perang itu akan

memperoleh predikat mati syahid. Fatwa inilah yang mendorong masyarakat bejuang

melawan Belanda.15 Demikian sekilas pemikiran KH. Salahuddin Wahid dalam

memaknai Jihad pada masa 1945. Hal tersebut berbeda dengan saat ini. KH.

Salahuddin Wahid menyarankan masyarakat untuk lebih memprioritaskan kondisi

pemerintahan yang cenderung kurang tegas dalam menyikapi kondisi yang ada. Baik

dari segi pendidikan, ekonomi, social, maupun hukum. Seperti tawarannya untuk

mencerdaskan anak bangsa dengan pendidikan karakter, mengejar ketertinggalan

ekonomi dengan memanfaatkan SDM (Sumber Daya Manusia) yang ada agar

menjadi lebih berkualitas serta upayanya untuk membantu kaum mustadz‘afin,

melawan musuh Islam yang dengan tegas merebut hak-hak progresif masyarakat, dan

tawarannya untuk menegakkan keadilan.

15

(24)

H. Metode Penelitian

Seperti yang tersirat dalam rumusan masalah bahwa penelitian ini

menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu sebuah penelitian untuk mencari

kebenaran secara ilmiah dengan melakukan analisis terhadap dinamika hubungan

antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah. Serta

menggambarkan secara sistematik dan akuratnya fakta mengenai jihad. Tidak hanya

itu penelitian ini juga berupaya menganalisis perkembangan pola dan urutan suatu

perubahan negeri dari waktu ke waktu, sejalan dengan adanya perubahan konsep

jihad dari tempat ke tempat.

Pendekatan yang ditempuh yakni menggunakan pendekatan

historis-sosiologis. Tujuan menggunakan pendekatan historis adalah untuk mengetahui jihad

dari tahun ke tahun yang dilakukan masyarakat Indonesia. khususnya pada masa

terbesar Islam dalam jihadnya melawan G 30 S/PKI pada tahun 1945-1949 dengan

gerakan terkenalnya yakni resolusi jihad. serta menggunakan pendekatan sosiologis

dengan tujuan agar terdapat hubungan yang relevan antara peristiwa dengan

masyarakat sekitar, baik secara internal maupun eksternal.

Sehubungan dengan kelancaran penelitian, maka diperlukan adanya beberapa

sumber data. Sependapat dengan H.B. Sutopo (2006:2) ―sumber data penelitian

kualitatif dapat berupa manusia, peristiwa dan tingkah laku, dokumen dan arsip serta

berbagai benda lain.‖

Adapun sumber data dalam penelitian ini sebagai berikut:

(25)

2. Arsip : Data peneliti yang diperoleh selama penelitian

berlangsung, baik berupa artikel atau paper.

3. Dokumen : Data yang disimpan oleh narasumber.

Ada beberapa teknik pengumpulan data diantaranya dengan memecahkan

suatu masalah untuk dapat diselesaikan secara tuntas dengan suatu data yang

validitas. Selain itu peneliti harus memperhatikan cara atau teknik pengumpulan data

yang digunakan sebagai alat pengumpulan data. Sesuai dengan sumber data yang

digunakan dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah:

1. Wawancara

Sebuah teknik, di mana peneliti diharuskan mengumpulkan data dengan

cara mengajukan pertanyaan kepada narasumber, kemudian dilanjutkan

kepada informan lain yang ditunjuk oleh key informan karena dipandang

lebih menguasai masalah. Dan sebelumnya peneliti telah mempersiapkan

paduan wawancara yang berupa daftar pertanyaan dan kemudian

pertanyaan itu akan dapat berkembang sesuai dengan data dan informasi

yang dibutuhkan.

2. Observasi

Observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan menggunakan

pengamatan langsung ke lokasi dan melakukan pencatatan secara

(26)

langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh data yang mendukung

melalui pengamatan langsung.

3. Arsip dan Dokumentasi

Analisis dokumentasi ini dilakukan dengan menganalisis buku-buku,

laporan, serta dokumentasi yang berkaitan dengan jihad yang terjadi di

Indonesia dari era klasik hingga kontemporer, serta pemikiran beberapa

tokoh yang berbeda-beda sudut pandang, asal usul, hingga pemikirannya

yang radikal. Bisa berupa catatan, transkrip, surat kabar, majalah,

prasasti, notulen rapat, agenda, dan lain sebagainya. Namun dari sekian

banyaknya sumber data, tetap yang menjadi focus dalam riset ini adalah

arsip dan dokumen dari peneliti ketika melakukan penelitian di Pondok

Pesantren Tebuireng Jombang.

Untuk mempermudah penulisan laporan penelitian ini, maka diperlukan suatu

prosedur penelitian, yang merupakan tahap-tahap yang harus ditempuh dalam suatu

penelitian. Adapun dalam prosedur penelitian ini, peneliti menggunakan

langkah-langkah sebagai berikut:

1. Tahap Pra-lapangan

Pada tahap pra-lapangan ini dilakukan mulai dari pembuatan usulan

penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, pengesahan judul,

pembuatan proposal, sampai dengan mencari berkas perijinan untuk

(27)

2. Tahap Lapangan

Pada tahap lapangan ini dilakukan untuk menggali data yang relevan

dengan tujuan penelitian. Dan peneliti sudah mulai terjun ke lokasi

penelitian sejak dari analisis data ini, dan dilakukan setelah penggalian

data dianggap cukup mendukung maksud dan tujuan penelitian.

3. Analisis

Pada tahap ini peneliti melaksanaan analisis awal, kemudian dilanjutkan

dengan melakukan analisis akhir yang dalam hal ini peneliti

menggunakan teknik analisa data dengan model interaktif. Pada proses

analisis akhir, di dalamnya langsung bisa menghasilkan kesimpulan

sementara dan apabila kesimpulan dirasa kurang mantap, maka peneliti

dapat mengulang lagi untuk kegiatan analisis awal. Setelah merasa data

sudah cukup kuat kebenarannya dan keakuratannya, data disimpulkan

secara keseluruhan.

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika dalam pembahasan ini dapat di jelaskan dalam lima bab. Di

antaranya, Bab I yang berisi tentang pendahuluan dengan beberapa sub bab pengantar

permasalahan yang terbentuk dalam beberapa bagian yaitu: latar belakang masalah,

rumusan masalah, telaah pustaka, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan yang

(28)

Bab II, berisi tentang tinjauan umum tentang jihad berdasarkan pandangan

dari beberapa tokoh cendekiawan dan ulama serta beberapa ayat-ayat yang

mendukung akan konsep jihad, historisistas jihad pada masa Nabi Muhammad SAW

serta historisitas jihad di Indonesia, dan penjelasan dari pemikiran total KH.

Salahuddin Wahid terhadap jihad dalam Islam.

Bab III, berisi tentang tentang biografi serta perkembangan akademik KH.

Salahuddin Wahid, Kondisi Indonesia saat ini, serta transformasi tentang resolusi

jihad pada masa KH. Hasyim Asy‘ari dengan KH. Salahuddin Wahid.

Bab IV, berisi tentang sumbangsih serta tawaran KH. Salahuddin Wahid

terhadap perlunya Resolusi Jihad jilid II atau bisa diistilahkan dengan gerakan jihad

baru (Neo-Resolusi Jihad).

Dan yang terakhir adalah Bab V, yang berisi tentang kesimpulan berupa

(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG JIHAD

A. Pengertian Jihad

Secara etimologis jihad berasal dari kata juhd yang berarti kekuatan atau

kemampuan, sedangkan makna jihad sendiri adalah perjuangan.16Apabila kata jihad

tersebut digabungkan dengan kalimat fi sabilillah atau menjadi jihad fi sabilillah

maka bermakna perjuangan atau berperang di jalan Allah. Dari kata yang sama, jihad

juga dapat diartikan sebagai ujian, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al

Qur‘an Surat Ali Imran ayat 14217

. Dimana Allah bersabda :

Artinya : ―Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.”

Menurut Al Raghib Al Ashfahani, sebagaimana dikutib oleh Rohimin kata al

Jihad dan mujahadah berarti mencurahkan kemampuan dalam menghadapi musuh.18

Tidak hanya itu, Ibnu Faris dalam bukunya Mu‟jam al Maqayis fi al Lughah, seperti

yang terkutip dalam buku wawasan Qur‘an karya Quraish Shihab, menyatakan bahwa

16

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia (Yogyakarta: Al Munawwir, 1984), 234

17Al Qur‘an, 3:142

18

(30)

semua kata yang terdiri dari hurup jim, ha‟, dan dal pada awalnya mengandung

sebuah arti kesulitan, kesukaran, atau yang mirip dengannya.19 Dalam kamus besar

Indonesia, jihad memiliki tiga makna yaitu:

1. Usaha dalam upaya untuk memperoleh kebaikan.

2. Usaha sungguh-sungguh dalam upaya membela agama Allah (Islam)

dengan mengorbankan harta benda, jiwa dan raga.

3. Perang suci melawan kekafiran untuk mempertahankan keimanan.

Sedangkan menurut istilah syara‟ (terminologi) jihad adalah mencurahkan

kemampuan untuk membela dan mengalahkan musuh demi menyebarkan agama

Islam.20 Yusuf Qardhawi juga membagi jihad menjadi tiga tingkatan. Pertama, jihad

terhadap musuh yang tampak. Kedua, Jihad terhadap godaan setan. Dan yang ketiga,

jihad melawan hawa nafsu.21 Untuk mencapai semua ini, Sultan Mansur memberikan

arti khusus dalam upaya pencapaian jihad tersebut. Adapun beberapa tahapan-tahapan

di antaranya:

1. Adanya roh suci untuk menghubungkan makhluk dengan Khaliknya.

2. Roh suci yang menimbulkan tenaga dinamis aktif yang tahu berbuat sesuai

dengan tempat, waktu dan keadaan.

19

M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur‟an: Tafsir Maudu‟I atas Berbagai Persoalan

Umat. Vol.I (Bandung: Mizan, 2005), 501 20

Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad: Sebuah KArya Monumental Terlengkap Tentang

Jihad Menurut Al Qur‟an dan Sunnah (Bandung: Mizan,2010), 3

21

(31)

3. Dimulai dengan ilmul yakin, yang dengan peningkatan iman sampai

kepada haqqul yakin.22

Menurut Sutan, perintah jihad (perang) sangat terbatas. Adapun pada waktu

damai berarti membangun, menegakkan dan menyusun. Maka pada waktu damai

inilah sebenarnya jihad yang besar, karena jihad ini menghendaki kepada kekuatan

otak, keikhlasan berkorban dengan harta dan benda dalam mendidik jiwa umat.

Berbeda dengan Quraish Shihab yang mendefinisikan jihad sebagai cara untuk

mencapai tujuan. Menurutnya, Jihad tidak mengenal putus asa, menyerah, kelesuan

dan berjuang tanpa pamrih. Namun begitu, jihad tidak dapat dilakukan tanpa modal,

karena itu jihad selalu disesuaikan dengan modal yang dimiliki berdasarkan tujuan

yang ingin dicapai. Selama tujuan tercapai dan selama masih memiliki modal, maka

selama itu juga jihad dituntut untuk tetap dilaksanakan. Jihad merupakan puncak

segala aktifitas. Jihad bermula dari kesadaran, sedangkan kesadaran harus

berdasarkan pengetahuan dan tidak ada paksaan, karena seorang mujahid harus

bersedia berkorban tanpa adanya paksaan dari pihak lain.23

Menurut Salih Ibn Abdullah al Fauzan, sebagaimana dikutip oleh Kasjim

Salendra. Ia mengemukakan bahwa terdapat lima sasaran dalam jihad. Pertama, jihad

melawan hawa nafsu, meliputi pengendalian diri dalam menjalankan perintah Allah

dan menjauhi larangan-Nya. Jihad melawan hawa nafsu merupakan perjuangan yang

amat berat (jihad akbar), meski jihad ini berat dilakukan, namun sangat diperlukan

22

Sutan Mansur, Jihad (Sumatra: Panji Masyarakat,1982), 9

23

(32)

sepanjang kehidupan manusia.24 Sebab jika seseorang tidak mampu mengendalikan

hawa nafsunya maka sangat mustahil ia akan mampu berjihad untuk orang lain.

Karena jihad ini adalah akar dari bentuk jihad-jihad yang lain.

Kedua, Jihad melawan setan merupakan musuh nyata manusia. Setan

mempunyai tekad untuk senantiasa menggoda manusia dan memalingkannya agar

selalu durhaka kepada Allah serta menjauhi segala yang telah diperintahkan Allah

kepadanya.25 Hal ini dikarenakan setan telah berjanji pada Allah untuk senantiasa

menggoda umat manusia hingga akan datangnya hari kiamat, waktu di mana pintu

taubat telah ditutup selamanya.

Ketiga, Jihad dalam menghadapi orang yang berbuat maksiat (orang-orang

durhaka) dan orang-orang yang menyimpang dari kalangan mukmin.26 Dalam hal ini

metode yang digunakan adalah Amar Ma‟ruf Nahi Mungkar. Jihad dalam bentuk ini

memerlukan kesabaran dan ketabahan serta hendaknya disesuaikan dengan

kemampuan orang yang berjihad (mujahid) dan kondisi objek dakwah. Dengan

maksud agar aplikasi jihad dapat bermanfaat kepada umat. Jihad model ini dapat

dilakukan oleh siapa saja, sebab jihad yang dimaksud dapat menjadi sangat familiar

di tengah-tengah umat manusia ketika jihad dengan ini telah dilakukan dengan

perbuatan, namun nyatanya jauh dari harapan, maka langkah selanjutnya adalah

dengan lisan. Namun demikian, jika dengan lisan kemungkaran tersebut belum dapat

24

Kasjim Salendra, Jihad dan Terorisme Dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), 133

25

Kasjim Salendra, Jihad dan Terorisme…, 133 26

(33)

dihindarkan maka cukup jihad dengan menggunakan hati. Sebab hati merupakan

selemah-lemahnya iman. Model yang seperti inilah yang selalu menjadi pegangan

Rosulullah dalam upaya mengislamkan umat Islam jauh pada abad ke-7 silam.

Keempat, jihad melawan orang-orang munafik, yaitu mereka yang

berpura-pura Islam dan beriman tetapi hati mereka sebenarnya masih mengingkari keesaan

Allah SWT dan kerasulan nabi Muhammad SAW.27 berjihad dalam menghadapi

orang munafik lebih sulit dibandingkan dengan macam jihad yang lain karena mereka

sangat pandai menyembunyikan kebusukan yang terdapat pada dirinya.

Kelima, jihad melawan orang-orang kafir.28Model jihad ini yang sering

dipahami sebagai jihad perang. Dalam menafsirkan jihad perang ini para ulama

berbeda pendapat. Sebagimana dikutip Zulfi Mubarraq, Imam Syafi‘I dalam kitab Al

Umm nya adalah orang pertama yang merumuskan doktrin jihad melawan orang kafir

karena kekufurannya. Atas dasar ini jihad kemudian ditransformasikan sebagai

kewajiban kolektif bagi kaum muslim untuk memerangi orang kafir.29 Berbeda

dengan pandangan Al Sarakhsi, pengarang kitab al Mabsut menerima doktrin Imam

Syafi‘I bahwa memerangi kaum kafir adalah tugas yang tetap sampai akhir zaman.

dan pendapat ini yang kemudian dijadikan dasar oleh sebagian umat Islam untuk

memerangi orang yang mereka anggap kafir.

27

Kasjim Salendra, Jihad dan Terorisme…, 134

28

Ibid., 135 29

Zulfi Mubarraq, Tafsir Jihad: Menyikap Tabir Fenomena Terorisme Global

(34)

Gamal Al Banna, menyatakan bahwa istilah jihad adalah menunjukkan suatu

kandungan tertentu yang memiliki pengertian sebagai sebuah alat atau tujuan yang

bisa mengantar kepada tujuan. Jihad yang dilakukan tidak harus menggunakan

perang, walaupun tidak dipungkiri bahwa ada juga jihad yang mengharuskan

perang.30 Menurutnya perang qital adalah jihad dalam pilihan terakhir. Al Qur‘an

tidak menjadikan perang qital sebagai prinsip, akan tetapi jihadlah yang disahkan

sebagai prinsip dasar. Perang qital hanyalah sarana yang digunakan untuk

mempertahankan prinsip tersebut ketika kondisi benar-benar terdesak.

Akhir-akhir ini pengertian jihad sering kali dikonotasikan dengan peperangan,

padahal jika melihat asal kata dari jihad maka tentunya kurang tepat. Hal ini

diperparah dengan kesalahan sebagian ilmuan yang menerjemahkan jihad dengan

perang suci. Padahal perang dalam bahasa Arab adalah al Harb sedangkan

peperangan adalah al qital, namun kata sucinya dalam bahasa Arab adalah al

Muqaddas. Dari sini dapat diketahui bahwa seharusnya perang suci jika

diterjemahkan menjadi qital Muqaddas atau Harbu al Muqaddas bukan jihad. Dilihat

dari konteks ini, sudah dapat dipastikan akan perlunya kajian secara mendalam

mengenai pengertian jihad secara tepat.31

Perintah jihad pada dasarnya merupakan bentuk untuk melindungi, membela

diri dari ancaman dan tantangan kaum kafir serta menyebarkan dakwah Islam. Hal ini

dapat dipahami secara historis bahwa perintah jihad pada periode Makkah tidak ada

30

Gamal Al Banna, al Jihad (Jakarta: Mata Air Publishing, 2006), xxiv

31 Muhammad Rahmatullah, ―Pemikiran Jihad KH. Hasyim Asy‘ari dan Imam

(35)

ayat Al Qur‘an yang mengarah pada perang akan tetapi lebih kepada jihad dalam

bentuk pengendalian diri, berdakwah dan bersikap sabar terhadap tantangan yang

dilancarkan oleh orang-orang kafir Quraish. Sebagaimana dikatakan Rohimin bahwa

perintah jihad pada periode Makkah lebih dipahami sebagai jihad persuasif.32 Hal ini

menunjukkan bahwa jihad dalam arti upaya perang dalam melawan orang kafir baru

dianjurkan setelah mendapat tantangan yang serius dari Madinah.

Dari berbagai pengertian yang telah dipaparkan di atas, dapat diketahui bahwa

pengertian jihad sebenarnya terbagi menjadi menjadi dua, yaitu pengertian umum dan

pengertian khusus. Secara umum, jihad merupakan usaha sungguh-sungguh untuk

melaksanakan Amar Ma‟ruf Nahi Mungkar dalam upaya mendekatkan diri kepada

Allah serta berusaha memperoleh Ridha dari-Nya. Sedangkan dalam pengertian

khusus jihad adalah memerangi orang-orang kafir yang menghalang-halangi dakwah

demi tegaknya agama Islam.

B. Jihad dalam Al Qur’an

Menurut Muhammad Solikin, kata jihad dengan berbagai perkembangannya

disebutkan sebanyak 41 kali dalam Al Qur‘an. Dari 41 kali penyebutan tersebut,

Solikin membaginya menjadi dua kelompok. Pertama, Kelompok penyebutan

setingkat kata yang terdapat dalam 5 ayat. Kedua, ditambah dengan 1 ayat yang

berawalan dan berakhiran. Dari keenam ayat tersebut dapat diperoleh makna jihad. Di

antaranya sebagai berikut:

32Rohimin, Jihad: Makna dan Hikmah…, 20

(36)

1. Sikap bersungguh-sungguh dalam mewujudkan kehidupan bersama

mukmin lainnya (Q.S. Al Maidah ayat 53).

2. Kesungguhan bersumpah demi nama Allah (Q.S. Al An‘am ayat 109).

3. Pengutan sumpah mentaati Rosulullah (Q.S. Al Fatir ayat 42).

4. Kesanggupan untuk beramal secara individual (Q.S. At Taubah ayat 79).

5. Sumpah untuk berjuang dan perang, dalam keadaan tertentu ( Q.S. An Nur

ayat 53).33

Kelima komponen tersebut dapat disimpulkan bahwa jihad adalah

bersungguh-sungguh dalam mengimplementasikan keimanan serta ketundukkan

kepada Allah dan Rosul dalam menjalankan perintah-Nya serta menjauhi segala

larangan-Nya.

Adapun beberapa ayat pendukung lainnya mengenai ketentuan dalam berjihad

di antaranya, Q.S. Al Hajj Ayat 39:34

Artinya : “Diizinkan (Berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Maha Kuasa menolong mereka itu.”

Ayat berikutnya, masih di Surah yang sama yakni Surah Al Hajj ayat 40.35

Allah berfirman :

33

Muhamةad Solikin, The Power of Sabar (Jakarta: Tiga Serangkai,2009), 93

(37)

Artinya : “yaitu orang-orang yang telah diusir dari rumah-rumah mereka tanpa hak,

hanya karena mereka berkata “Tuhan kami adalah Allah”. dan sekiranya tidak ada tangisan Allah terhadap sebagian manusia oleh sebagian yang lain, maka akan hancurlah biara-biara serta gereja-gereja Nasrani dan rumah-rumah ibadah Yahudi serta masjid-masjid yang banyak disebut nama Allah di dalamnya. Dan pasti Allah akan menolong siapa yang

menolongNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Perkasa.36

Dari beberapa ayat tersebut para Ulama sepakat bahwa ayat ini adalah ayat

pertama yang memberi izin kepada umat muslim untuk mengangkat senjata demi

melindungi diri mereka.

Melihat faktor minimnya pendidikan masyarakat Indonesia yang ada, pada

umumnya tidak sedikit yang mengonsumsi pengertian jihad secara mentah-mentah

tanpa melihat unsur latar belakang sebelumnya. Sehingga dampak dari hal itu

melahirkan istilah serta pemahaman jihad yang berbeda. Dewasa ini jihad lebih sering

dimaknai oleh banyak orang untuk merujuk pada arti perang, meskipun sebenarnya di

dalam Al Qur‘an kata itu digunakan tidak hanya dalam arti tersebut. Dalam hal ini

35Al Qur‘an

, 22:40

36

Salahuddin Wahid, Diskursus Pesantren dalam Pemaknaan Jihad Kebangsaan

(38)

Harun Ibn Musa (2 Hijriyah), Misalnya menyebutkan bahwa kata jihad ini memiliki

tiga kemungkinan makna. Di antaranya :

1. Bermakna al Jihad bi aL Qaul, seperti dalam Q.S. Al Furqan Ayat 52 :37

Artinya : “Maka janganlah engkau taati (keinginan) orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al Quran) dengan (semangat) perjuangan yang besar”

dan Q.S. At Taubah Ayat 73 :38

Artinya : ―Wahai Nabi berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka jahannam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.

2. Bermakna al Qital bi al Silah(Perang), seperti dalam Q. S. An Nisa‘ Ayat

95 :39

37Al Qur‘an, 25: 52

38Al Qur‘an, 9:73

39

(39)

Artinya : “Tidalah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak

turut berperang) dan tidak mempunyai udzur (halangan) dengan orang yang berjihad dijalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang tanpa halangan). Kepada masing-masing, Allah menjanjikan (pahala) yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan

pahala yang besar.”

3. Bermakna al „Amal (Kerja keras), seperti dalam Q.S. Al Ankabut Ayat

6:40

Artinya : “Dan barang siapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu

untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Maha Kaya (tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu, dan

40Al Qur‘an, 29:6

41

(40)

(Begitu pula) dalam (Al Qur‟an), agar Rosul (Muhammad) itu

menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah sholat dan tunaikanlah Zakat, dan berpegang teguhlah kepada Allah. Dialah pelindungmu, Dia sebaik-baik pelindung dan

sebagik-baik penolong.”

Dari beberapa ayat diatas dapat diketahui bahwa Jihad merupakan perintah

Allah untuk orang-orang muslim dalam memerangi kaum mmunafik dan kafir. Di

dalamnya terdapat Janji Allah akan pahala surga bagi orang-orang muslim yang

berjuang dengan tulus atas nama Allah. Mengenai cara berjihad, beberapa Ulama

mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Ada yang memaknainya sebagai jihad

dengan menggunakan diri dalam mengendalikan hawa nafsu, Namun ada yang

berjihad dengan cukup menggunakan harta, tapi lebih dari itu, ada yang beranggapan

bahwa jihad yang sesungguhnya adalah dengan menggunakan nyawa (Perang).

Berdasarkan keterangan sebelumnya, di mana ayat Al Qur‘an yang dijadikan

Ulama sebagai dasar adanya Jihad Qital adalah Surah Al Hajj ayat 39-40,42 maka

tindakan perang yang seperti inilah yang selama ini telah dimaksudkan oleh Allah,

akan sebuah kondisi di mana saat itu umat muslim telah terpojokkan pada satu posisi

yang benar-benar darurat, seperti pengusiran tempat tinggal tanpa alasan tertentu

(penjajahan). Hal ini sudah merupakan kewajiban bagi umat muslim untuk ikut serta

dalam pengangkatan senjata dan turun kedalam medan perang. Jika tidak demikian

maka dikhawatirkan generasi umat Islam akan hilang sehingga tidak ada lagi nama

Allah di muka bumi ini. Sebab itulah yang dinamakan Jihad fi Sabilillah yakni jihad

42

(41)

yang tujuannya hanya atas nama Allah. Seperti yang pernah dilakukan Nabi

Muhammad pada masa periode dakwah di Makkah dan Madinah serta beberapa

tokoh-tokoh Islam lainnya.

C. Historisitas Jihad

1. Jihad pada Periode Makkah

Pada usia empat puluh tahun lebih enam bulan dua belas hari, dengan

wahyu pertamanya, Muhammad telah diangkat menjadi Nabi, namun saat itu

ia belum mendapatkan perintah untuk menyerukan apa yang diwahyukan

Allah kepadanya.43 Setelah turun wahyu kedua yaitu surat Al Muddassir ayat

1-7, Nabi Muhammad diangkat menjadi Rosul sehingga mendapat amanah

untuk menyampaikan apa yang diwahyukan Allah kepadanya. Dengan

turunnya ayat tersebut Nabi Muhammad selalu bangkit untuk berdakwah

kepada Allah, tidak mengeluh dalam menyampaikan amanat besar ini,

meskipun dalam proses ini ia harus bertaruh nyawa dalam berbagai medan

perang melawan kam kafir Quraish.

Sejarahwan membagi jihad pada masa Nabi Muhammad menjadi dua

bagian. Pertama periode Makkah, yang dilakukan kurang lebih selama tiga

belas tahun. Kedua, periode Madinah yang berjalan selama sepuluh tahun

43Ali Mufrodi, ―Islam di Kawasan Kebudayaan Arab‖.

(42)

penuh.44 Awalnya Nabi Muhammad menyampaikan risalah tersebut secara

Mutawwatir (Sembunyi-sembunyi). Dan lebih memprioritaskan dakwahnya

untuk seluruh keluarga, kerabat serta para sahabat-sahabatnya dan berhasil

mengislamkan mereka. Di antaranya Khadijah (Istri Nabi), Zaid bin Haritsah

(Sepupu Nabi), Ali Bin Abi Thalib (Pemuda yang menjadi menantu Nabi

setelah menikah dengan Fatimah Az Zahra, Putri Nabi), dan Abu Bakar

As-Shidiq (Sahabat dekatnya). Mereka merupakan golongan orang-orang yang

mempercayai kenabian Muhammad serta orang-orang yang pertama kali

masuk Islam.

Dalam dakwahnya yang sembunyi-sembunyi ini, Abu Bakar juga

berhasil mengislamkan beberapa teman dekatnya, seperti Ustman Bin Affan,

Zubair Bin Awwam, Abdurrahman Bin Auf, Sa‘ad Bin Abi Waqqash, dan

Thalhah Bin Zubair.45 Dan masih banyak lagi sahabat yang masuk Islam.

Setelah tiga tahun berdakwah secara Mutawwatir, turunlah perintah

agar Muhammad berdakwah secara terang-terangan. Baik dari golongan

bangsawan, maupun hamba sahaya. Dengan dilakukannya dakwah secara

terang-terangan ini jumlah pengikut Muhammad semakin meningkat, terutama

dari kaum wanita, budak pekerja, dan orang-orang yang tidak punya. Namun

jauh dari harapan yang ada justru para penentang Muhammad terletak pada

44

Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Ar—Rahiqul Makhtum, Bahtsun fi al Sirah al Nabawiyah ala Shahibiha afdhali al-Shalati Wassalam. ter. Kathur Suhardi kedalam bahasa Indonesia menjadi Sirah Nabawiyah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2010), Hal 69

45

(43)

sekelompok golongan aristokrat, seperti keluarga Umayyah bahkan paman

Muhammad (Abu Lahab yang berasal dari Bani Hasyim) sekalipun.

Tekanan dan ancaman yang didapat Muhammad dari kaum kafir

Quraish tidak ada henti-hentinya, baik dari penyiksaan, hinaan, cemohan,

pemboikotan, hingga upaya untuk membunuh-Nya juga dilakukan untuk

menghentikan dakwah Nabi Muhammad saat itu. Dari kondisi yang kurang

nyaman seperti inilah yang kemudian mendorong Nabi Muhammad untuk

hijrah ke Madinah (Yastrib).

Jadi, jihad yang dilakukan Nabi pada periode Makkah merupakan

perintah untuk menegakkan kebajikan serta menjauhi keburukan. Menurut

Rohimin, keadaan umat Islam di Makkah dalam Al Qur‘an dapat digambarkan

sebagai berikut :

a. Bersikap apa adanya sebagai penerima amanat yang harus

disampaikan.

b. Memberi maaf dan bersikap tidak peduli.

c. Melakukan pembantahan setelah dilakukan cara hikmah dan

mau‟izhah.

d. Mengucapkan kata-kata yang baik.

e. Menolak dengan cara yang sopan.

(44)

g. Tidak bersikap sebagai penguasa.46

Uraian di atas, menunjukkan bahwa ayat-ayat jihad yang diturunkan

pada periode Makkah tidak menggambarkan kontak fisik dengan musuh. Hal

ini dibuktikan dengan ayat-ayat Makkiyah, seperti Surat An Nahl ayat 82, An

Nur ayat 54, Yasin ayat 17, Al Maidah ayat 13, dan lain-lain.

Pelaksanaan jihad pada periode ini Makkah ini lebih ditekankan pada

pengendalian diri agar tidak mudah terpancing oleh tindakan-tindakan yang

mengusik emosi dan harus bersikap sabar dalam menghadapi semua cobaan.

Jihad dalam mendakwahkan Islam di Makkah saat itu belum dilakukan

dengan fisik melalui perang, hal ini mungkin dikarenakan minimnya jumlah

umat muslim sehingga belum sanggup untuk menghadapi ancaman

orang-orang kafir secara terang-terangan.

2. Jihad pada Periode Madinah

Berbeda dengan kondisi saat di Makkah, Nabi Muhammad

mendapatkan banyak dukungan di Madinah bahkan tidak sedikit penduduk

yang tidak sabar dalam menunggu kedatangannya. Sebelum sampai di

Madinah, Nabi Muhammad singgah di Quba‘ selama tiga hari dan mendirikan

masjid yang pertama kali dibangun dalam Islam, yang kemudian di dikenal

dengan nama masjid Quba‘.

46

(45)

Hijrahnya umat Islam ke Madinah merupakan titik balik dari

penderitaannya ketika di Makkah, Nabi Muhammad juga berhasil menjadikan

kota Madinah menjadi kota yang jauh lebih bagus. Tidak hanya itu di sana ia

jauh lebih disegani dan dihormati banyak orang.

Setelah Islam memperoleh perlindungan serta jumlahnya bertambah,

orang-orang Makkah semakin marah. berbagai ancaman dan pengiriman

pasukan dilakukan untuk memerangi umat Islam di Madinah. Dalam situasi

yang rawan seperti ini, Allah mengizinkan umat muslim untuk berperang

namun belum bersifat wajib. Hal ini dibuktikan dengan turunnya surat Al Hajj

ayat 39 tentang perintah perang dalam kondisi memang benar-benar teraniaya.

Mengingat golongan kaum kafir Quraish merupakan sekumpulan

orang-orang yang diketahui selalu berupaya menghentikan dakwah Nabi

Muhammad bahkan membunuh dan menghancurkan umat muslim maka pada

bulan Rajab 2 Hijriyah, Nabi Muhammad mengirimkan Abdullah bin Jahsy al

Asadi ke Nahlah bersama dua belas Muhajirin untuk menyelidiki rombongan

dagang kaum kafir Quraish. Sesampainya di sana Abdullah bin Jahsy

memergoki dan menghadang rombongan dagang Quraish yang mana saat itu

membawa kismis, kulit, dan berbagai macam dagangan. Dalam peristiwa ini,

golongan Quraish meninggal karena terkena panah, sedangkan Ustman dan al

Hakam di tawan ke Madinah sebagai rampasan perang.47

47

Syaikh Shafiyyurrahman al Mubarakfuri, Ar Rahiqul Makhtum, Bahtssun fi al

(46)

Setelah mereka sampai di Madinah, Nabi Muhammad tidak

sependapat dengan apa yang dilakukan Abdullah bin Jahsy. Nabi Muhammad

bersabda : ―aku tidak memerintahkan kalian untuk berperang pada bulan

suci‖.48

Berawal dari perang kecil inilah yang kemudian menjadikan kaum

kafir Quraish ketakutan. Dan sebaliknya ketakutan kaum yang terjadi saat itu

menjadi motivasi tersendiri bagi para pembesar dan pemimpin mereka.

Akhirnya merekapun bertekad untuk berperang secara besar-besaran. Hingga

lahirlah perang Badr, perang Uhud serta perang-perang lainnya.

Berdasarkan historitas jihad periode Madinah di atas, pengertian jihad

cenderung pada peperangan. Hal ini terbukti dengan banyaknya peperangan

umat Islam dengan orang-orang kafir Makkah yang telah menganiaya dan

mengusirnya dari kampung halaman mereka.

3. Historisitas Jihad di Indonesia

Istilah jihad dalam kacamata sejarahwan Indonesia sudah mulai

terdeteksi sejak akhir abad ke-17, ketika kerajaan Banten dan Mataram jatuh

ke tangan Belanda.49 Menurut Maria Vekle, sebenarnya konsep ini sudah ada

sejak lama dan dikenal oleh umat Islam Indonesia, namun penjabaran secara

pastinya masih tidak begitu jelas. Mengenai apa itu makna jihad dan

bagaimana penerapannya. Baru setelah mereka berhadapan secara nyata

48

Ibid., 222 49

Luthfi Assyaukanie, ―Pengantar dalam Bernard Hubertus Maria Vekle‖,

(47)

dengan orang-orang kafir londo, maka saat itu juga arti jihad menjadi jelas,

sebagaimana pernyataan Vekle:

―Kejatuhan Mataram, lebih-lebih Banten telah menyebabkan reaksi besar dalam dunia muslim Indonesia. Orang mulai berbicara tentang jihad melawan orang kafir. Laut Jawa dibuat tidak aman oleh sekelompok perompak Melayu Minangkabau yang menyebut dirinya Ibn Iskander (Keturunan Iskandar Agung) dan seorang Nabi Islam‖.50

Wacana jihad ini dengan segera mengobarkan semangat juang

penduduk pribumi, umat Islam yang merasa tidak puas juga turut terpancing

untuk terlibat dalam gerakan-gerakan jihad. Belanda harus benar-benar

bekerja keras untuk membasmi gerakan Jihad pribumi yang sudah terlanjur

berkobar.

Di abad selanjutnya, di tahun 1880 an perang Jawa (Diponegoro)

lagi-lagi membuat trauma wong-wong londo. Hingga akhirnya mereka berupaya

untuk mengundang Christian Snouck Horgronje, seorang profesor studi Islam

di universitas Leiden, untuk melakukan studi menyeluruh tentang Islam di

Indonesia.51 berkat jasa Christian Snouck dalam mengkaji Islam mampu

meluluhkan ketakutan wong-wong Londo terhadap orang-orang Islam, namun

demikian taktik yang digunakan semakin menggelisahkan warga pribumi

karena strategi yang digunakan bukan lagi secara terang-terangan melainkan

menggerogoti kesatuan Indonesia dari dalam.

50

Ibid., xxi

51

(48)

Berlanjut hingga pada abad ke-19, pada akhirnya jihad kembali

diserukan pada masa KH. Hasyim Asy‘ari. Di mana saat itu kondisi pribumi

masih tetap sama seperti abad-abad sebelumnya. Belanda tidak pernah lelah

melumpuhkan sistem pemerintahan Indonesia baik dari segi sektor ekonomi,

industri, pendidikan, sosial bahkan dalam tatanan pemerintahan.

Peristiwa bermula dari kegelisahan Presiden Soekarno, yang melihat

kedatangan tentara sekutu di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di tanah air,

yang hendak merebut kedaulatan NKRI. Di mana saat itu Indonesia belum

genap berusia satu bulan. Sebagai Negara baru, harga tawar Indonesia sangat

lemah. Mengingat infrastruktur pemerintahan termasuk badan kemiliteran

sangat terbatas. Kemungkinan terburuknya adalah dengan perlawanan dari

rakyat dari seluruh sudut kota di Indonesia. Namun untuk menggerakkan

rakyat agar mengangkat senjata, Bung Karno masih merasa kebingungan.52

Pergerakan ini bukan hanya sekedar hentakkan kaki dengan teriakan

emosi namun sejatinya juga didasari dengan adanya beban mental untuk

berani berkorban dan rela mati. Yang menjadi pertanyaan saat itu adalah siapa

yang mampu secara sukarela menyerahkan nyawa demi Bangsa dan Negara,

mengingat di satu sisi Indonesia juga miskin senjata. Berharap pada politisi

tentu pengaruhnya sangat kecil. yang bisa berjuang tanpa pamrih itu tidak lain

adalah para Kiai. Bung Karno sempat ragu, perang dalam Islam hanya

52

(49)

dimungkinkan untuk membela agama bukan membela Negara. Terutama

negara yang tidak berasaskan Islam. Namun atas seruan dari Panglima

Soedirman, Bung Karno mengirimkan utusan khusus kepada Hadratus Syekh

KH. Hasyim Asy‘ari, Roisul Akbar NU di Tebuireng Jombang untuk meminta

KH. Hasyim Asy‘ari mengeluarkan fatwa mengenai hukum berjihad dalam

membela Negara yang jelas bukan berasaskan Islam seperti NKRI.53

Awalnya ia menolak untuk diadakannya peperangan, namun setelah

melihat banyaknya propaganda, hinaan, kekejaman, serta perampokan yang

dilakukan gerakan ini menjadikan Indonesia kesusahan dalam bersatu untuk

bersama mengusir penjajah. Bagaimana tidak, jauh dari harapan yang terjadi

PKI tidak hanya berusaha untuk membinasakan kaum beragama melainkan

justru bekerjasama dengan Belanda untuk menindas masyarakat Indonesia,

khususnya para Kyai dan santri. Setelah diusut lebih dalam, PKI tidak hanya

ingin memberantas Pondok Pesantren yang ada, melainkan juga untuk

merebut kekuasaan negara sebagai upayanya dalam merubah negara agar

menjadi Negara Komunis yang liberal dan imperialis.

Mengetahui akal bulus itu, KH. Hasyim Asy‘ari percaya penuh dengan

kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sebab Ir. Soekarno sendiri

bukanlah bagian dari PKI meskipun ia mendukung dan memberi peluang

kepada gerakan ini untuk bersaing dalam pemilu tahun 1957. Namun jauh dari

apa yang dipikirkan oleh masyarakat Indonesia, tujuan dari Ir. Soekarno

53

(50)

memberikan peluang tersebut adalah tak lebih hanya sekedar untuk

menempatkan dirinya sebagai kepala negara sedangkan mereka adalah salah

satu bagian dari negara meskipun memiliki pandangan yang berbeda.

Kebijakan itu ternyata dimanfaatkan oleh PKI untuk dapat dengan

mudah menguasai Indonesia. Mengingat watak dan kebiasaan golongan PKI

adalah melakukan pembantaian, perampokan, pembunuhan, serta perampasan

hak milik warga dengan semenah-menah.54 Maka dengan alasan seperti itulah,

KH. Hasyim Asyari mengumpulkan seluruh cabang NU Jawa-Madura di

kantor pusat Ansor di Jl. Bubutan Surabaya, untuk membahas jihad melawan

penjajah. Rapat dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, setelah KH.

Hasyim Asyari memberikan amanat dalam rapat tersebut. Ia menyerukan

kepada seluruh warga Indonesia khususnya warga NU apabila dengan adanya

kebijakan dari Ir. Sukarno itu, masyarakat masih tetap mendapatkan perlakuan

yang semenah-mena dari PKI maka wajib hukumnya umat Islam untuk

bertindak tegas melakukan pembelaan terhadap hak-hak hidup mereka.

Hampir semua tulisan NU menyebutkan bahwa perang melawan PKI

merupakan bagian dari Jihad. Melalui diskusi yang panjang esok harinya,

pada tanggal 22 Oktober 1954 berhasil dirumuskan keputusan yang dikenal

dengan ―Resolusi Jihad‖.

54 Abdul Mun‘im,

(51)

Tujuan dari dibentuknya fatwa ini adalah untuk membela Islam dan

membela Negara serta melawan tentara sekutu yang hendak menjajah

Indonesia kembali. Keputusan itu begitu tinggi dan mengikat. Bung Tomo

melalui radio pemberontakannya, terus mengobarkan semangat juang yang

tinggi. Dengan diikuti Takbir ―Allahu Akbar‖, ia kobarkan semangat juang

tersebut hingga api dan ruh fatwa jihad NU itu semakin terbakar. Bersama

dengan para Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah, serta laskar rakyat yang

lainnya untuk menyerang dan mengusir para penjajah (tentara sekutu) dari

tanah air Indonesia.55

Esensi ―Resolusi jihad‖ tidak pada tataran normatifitas agama, tetapi

lebih pada spirit jihad untuk membebaskan bangsa Indonesia dari

cengkeraman kaki tangan penjajah. Hal itu senafas dengan pemikiran Farid

Esack, menjadikan agama sebagai elan pembebasan.56

Sampai kini Resolusi Jihad yang dicetuskan pada tanggal 22 Oktober

1945 belum diakui keberadaannya dan tidak ditemukan naskah atau catatan

tentang Resolusi Jihad NU dalam perspektif sejarah nasional Indonesia,

padahal pemicu meletusnya peristiwa 10 November di Surabaya dan kota-kota

lainnya, tidak lepas dari adanya Resolusi Jihad NU tersebut. Kenyataan tragis

itu terjadi karena pada beberapa dasawarsa awal kemerdekaan kalangan santri

55

PCNU Surabaya, Kebangkitan Umat Islam dan Peranan NU di Indonesia

(Surabaya: Bina Ilmu,1980), 60-62

(52)

tidak punya ahli sejarah.57 Mengingat begitu bersejarah dan heroiknya resolusi

jihad NU, para kader NU yang bergabung dalam keluarga besar NU, seperti

GP Ansor, Muslimat, Fatayat, IPNU, dan IPPNU bermaksud menghidupkan

kembali spirit ruh dari resolusi jihad NU dengan melalui beberapa kegiatan

yang bertajuk ―Kirab Resolusi Jihad‖.

Melalui kirab ini, para kader ingin memberikan seruan agar resolusi

jihad harus diperingati setiap tahun untuk mengenang sejarah dan meneladani

perjuangan ulama dan kiai NU dalam mempertahankan bangsa, negara dan

agama dari ancaman musuh. Memberikan pesan kepada generasi muda agar

mentransformasikan jihad di era globalisasi dengan berjihad membangun

negeri, menghadirkan kesejahteraan, menebarkan rasa aman dan kedamaian

serta kesatuan di bumi nusantara, dan meneguhkan kembali komitmen

kebangsaan umat Islam di Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan

keutuhan NKRI serta pancasila sebagai sebuah kewajiban yang tidak boleh

diabaikan.58

Pada abad ini, jihad juga dianjurkan oleh beberapa kalangan ulama

seperti al Fatani. Ajaran al Fatani tentang jihad sepertinya mempunyai

hubungan dengan gagasannya mengenai Negara Islam. Menurutnya Negara

Islam harus di dasarkan pada Al Qur‘an dan Hadist. Jika tidak maka ia akan

57

Salahuddin Wahid, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Wawancara, Jombang, 26 November 2014

58

Gambar

Tabel : Badan Pusat Statistika, Mei 201599
Grafik : Badan Pusat Statistik, Mei 2015100

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bersifat Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan mengambil materi Peningkatan Minat Belajar Bahasa Indonesia Menulis Ringkasan Semester I Melalui Metode Jigsaw

Solusi alternatif penentuan posisi titik tetap dapat dilaksanakan dengan pengamatan GPS secara stand- alone.Dalam penelitian ini, pengamatan dilaksanakan menggunakan

Mekanisme kontrol serta audit Sistem Informasi dan audit Teknologi Informasi yang digunakan adalah audit kerangka kerja COBIT 5 dan ITIL V.3, dimana IT assurance ini

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat patogenisitas dan leukosit total ikan lele dumbo ( C. gariepinus ) yang telah diinfeksi Isolat bakteri K14 dengan

Hasil sampel menunjukkan bahwa ada indikasi manajemen laba sebelum merger dan akuisisi.Selanjutnya kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan Current Ratio, Cash

KEPUTUSAN PEMBELIAN KUALITAS PRODUK BRAND IMAGE BRAND TRUST PRICE.. Pada variabel kualitas produk untuk indikator smartphone oppo memiliki spesifikasi yang selalu update

Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti laksanakan, ternyata guru penjasorkes Sekolah se- Kecamatan Tanah Pinoh Kabupaten Melawi, jumlah guru yang termasuk

Terdapat perbezaan yang signifikan antara faktor bangsa dengan aspek identifikasi identiti biseksual, sokongan sosial dan kesihatan mental dalam kalangan individu biseksual