• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA A."

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sawo (Achras zapota)

Sawo merupakan tanaman buah tropis yang dapat hidup di daerah kering. Tanaman ini mudah beradaptasi pada berbagai suhu, tumbuh baik pada tanah aluvial dan berpasir serta lempung. Kedudukan tanaman sawo dalam taksonomi tumbuhan menurut Tjitrosoepomo (2000) diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Sub Divisi : Magnoliopshida Kelas : Dicotyledonae Sub Kelas :Sympetalae Ordo : Ebenales Famili : Sapotaceae Genus : Achras

Species : Achras zapota L.

Sawo merupakan salah satu jenis tanaman buah-buahan yang banyak diusahakan dalam skala kecil, biasanya ditanam bersama tanaman buah lain dalam sistem pekarangan. Sawo cukup disukai banyak orang karena buahnya enak dan rasa serta aroma yang khas. Sawo cukup memberikan prospek ekonomi yang baik bila diusahakan dengan baik. Tanaman ini dapat tumbuh sampai pada ketinggian 900 mdpl, kisaran pH tanah 6-7, curah hujan antara 1.250-2.500 mm per tahun (Purnomosidhi et al. 2002).

Tanaman sawo merupakan tanaman berkayu, tumbuh menahun dengan pohon yang besar dan rindang, dapat tumbuh hingga setinggi 30-40 m. Bercabang rendah, batang berkulit kasar abu-abu kehitaman sampai coklat tua. Pada pohon yang sudah tua terdapat banyak lentisel dan seluruh bagian tanaman mengandung lateks yaitu getah berwarna putih susu yang kental. Daun tunggal, terletak berseling, sering mengumpul pada ujung ranting. Helaian daun bertepi rata, sedikit berbulu, warna hijau tua mengkilap, bentuk bulat telur jorong sampai agak lanset, pangkal dan ujungnya bentuk baji, panjang tangkai daun 1 - 3,5 cm, tulang

(2)

daun utama menonjol di sisi sebelah bawah. Bunga majemuk, tumbuh di ketiak daun, menggantung, berkelamin dua, bertangkai panjangnya 1-2 cm, karangan bunga tiga sampai delapan, daun kelopak bulat, benang sari enam, putik menjulang ke luar, mahkota bentuk tabung warna kuning muda. Buah buni, bertangkai pendek, berbentuk lonjong atau bulat telur dengan diameter sekitar 6-7 cm dan panjang 10 cm. Kulit buah yang masih muda berwarna cokelat tua, kasar dan tipis, sedangkan yang tua berubah menjadi cokelat muda keputihan dan halus. Daging buah tebal, berair, berwarna cokelat muda atau cokelat kemerahan. Buah yang masih muda bergetah dan rasanya sepat, sedangkan buah yang matang rasanya manis dan masir, tidak sepat dan tidak bergetah (Rai et al. 2015).

Sawo umumnya diperbanyak dengan biji ataupun cangkok. Sawo yang ditanam berasal dari biji mulai berbuah setelah berumur 5 tahun, sedangkan yang ditanam berasal dari hasil cangkok biasanya berbuah lebih cepat. Buah sawo dapat dipanen 9-10 bulan setelah berbunga. Buah sawo tidak dipetik/dipanen dalam keadaan masak di pohon, tetapi saat buah sudah menunjukkan tanda-tanda ketuaan, dengan terdapat bagian yang berwarna kemerahan, dalam keadaan keras. Buah yang dipanen pada kondisi tua akan matang setelah 3-7 hari. Hasil yang diperoleh pada tahun-tahun pertama tidak stabil, setelah 10 tahun baru hasilnya akan stabil. Sawo biasanya berbuah sepanjang tahun dan dapat menghasilkan buah maksimal sebanyak 280-300 kg dalam satu tahun (Purnomosidhi et al. 2002, Erfandi 2008, Rai et al. 2015, Sentana 2010).

B. Kultur In Vitro

Perbanyakan tanaman sawo dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu generatif dan vegetatif. Perbanyakan generatif menggunkaan biji dan vegetatif melalui pencangkokan, okulasi, kultur jaringan dan lain-lain. Usaha perbanyakan yang belum banyak dilakukan yaitu melalui kultur jaringan, padahal menurut Mariska (2004) aplikasi teknologi kultur jaringan untuk perbanyakan bibit telah banyak memberikan keuntungan terutama pada tanaman hortikultura. Melalui kultur jaringan tanaman dapat diperbanyak setiap waktu sesuai kebutuhan dengan faktor multiplikasi yang cukup tinggi.

(3)

Kultur jaringan tanaman adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan semua prosedur budidaya tanaman secara aseptik. Karena pertumbuhannya memerlukan tempat steril dengan wadah yang biasanya tembus cahaya, maka disebut juga kultur in vitro yang berarti kultur di dalam gelas. Secara lebih rinci, kultur jaringan dapat didefinisikan sebagai suatu metode mengisolasi bagian dari tanaman, seperti protoplasma sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ serta menumbuhkannya dalam media yang sesuai dan kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Ada beberapa karakter yang dapat dipakai untuk mencirikan teknik kultur jaringan, yaitu: terbebas dari segala mikroorganisme, lingkungan tumbuh optimal, pola perkembangan normal tanaman dapat dimodifikasi, manipulasi jaringan untuk perbaikan tanaman (Suliansyah 2013).

Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan dikembangkan berdasarkan teori sel yang pertama kali dikemukakan oleh Schleiden dan Schwan, yaitu totipotensi sel. Totipotensi sel dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan sel untuk tumbuh dan berkembang menjadi individu yang sempurna jika ditempatkan pada suatu lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhannya dan terkendali. Sifat totipotensi sel tumbuhan lebih besar dibandingkan sel hewan karena pada tumbuhan masih terdapat sel atau jaringan yang belum terdiferensiasi yang bersifat meristematik (Suliansyah 2013 ; Fictor dan Ariebowo 2007).

Kultur jaringan adalah suatu upaya mengisolasi bagian-bagian tanaman (protoplas, sel, jaringan, dan organ) kemudian mengkulturkannya pada nutrisi buatan yang steril di bawah kondisi lingkungan terkendali sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali. Pada prinsipnya budidaya jaringan adalah menumbuhkan atau membiakkan atau membudidayakan eksplan pada media buatan dan dipelihara dalam suatu ruangan yang terkontrol lingkungannya secara steril/aseptik. Keberhasilan dari kultur jaringan dipengaruhi oleh sumber eksplan, media dan lingkungan (suhu dan lama penyinaran) (Sparta 2014).

(4)

Pemanfaatan teknologi kultur jaringan untuk tujuan perbanyakan bibit telah diaplikasikan pada berbagai tanaman tahunan. Beberapa kelebihan dari penggunaan teknik kultur jaringan dibandingkan dengan cara konvensional adalah: faktor perbanyakan tinggi, tidak tergantung pada musim karena lingkungan tumbuh in vitro terkendali, bahan tanaman yang digunakan sedikit sehingga tidak merusak pohon induk, tanaman yang dihasilkan bebas dari penyakit meskipun dari induk yang mengandung patogen internal, tidak membutuhkan tempat yang sangat luas untuk menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak. Masalah yang dihadapi dalam mengaplikasikan teknik kultur jaringan yaitu modal investasi awal yang cukup besar dan sumber daya manusia yang menguasai dan terampil dalam bidang kultur jaringan tanaman masih terbatas (Mariska et al. 1992).

Kultur jaringan tanaman memiliki banyak tipe diantaranya yaitu kultur embrio, kultur meristem, kultur kalus, dan kultur protoplas. Kultur jaringan akan lebih besar keberhasilannya apabila menggunakan jaringan meristem. Kultur meristem atau mikropropagasi merupakan isolasi dan pertumbuhan aseptik ujung tunas atau meristem secara in vitro yang bertujuan untuk mendapatkan klon-klon tanaman, tanaman bebas virus, atau untuk konservasi plasma nutfah. Teknik kultur meristem yang paling banyak digunakan adalah untuk tujuan memproduksi klon-klon secara cepat. Teknik kultur meristem telah digunakan untuk berbagai species tanaman, antara lain pisang, kentang, sawit, krisan dan strowberi. Penggunaan kultur meristem yang tidak kalah penting adalah produksi tanaman bebas virus, seperti pada tanaman kentang, tebu, dan anggrek (Suliansyah 2013).

Kultur meristem adalah kultur jaringan tanaman menggunakan eksplan berupa jaringan meristematik. Jaringan meristem yang digunakan dapat berupa meristem pucuk terminal atau meristem tunas aksilar. Dalam kultur meristem pertumbuhan dan perkembangan plantlet diarahkan untuk mendapatkan tanaman sempurna. Dengan demikian teknik ini dapat sekaligus dimanfaatkan sebagai cara perbanyakan tanaman. Kultur meristem sudah secara luas diterapkan untuk tujuan perbanyakan tanaman, terutama pada tanaman hortikultura. Sel-sel meristem pada umumnya stabil karena mitosis pada sel-sel meristem terjadi bersama dengan

(5)

pembelahan sel yang berkesinambungan, sehingga ekstra duplikasi DNA dapat dihindarkan. Hal ini menyebabkan tanaman yang dihasilkan identik dengan tanaman donornya. Selain untuk perbanyakan tanaman, aplikasi kultur meristem juga dimanfaatkan untuk eliminasi virus dari jaringan tanaman, dan penyimpanan

materi plasma nutfah dalam suhu rendah (teknik kriopreservasi) (Karjadi dan Buchory 2007).

Sterilisasi bahan tanaman (eksplan) merupakan langkah awal yang cukup penting dan dapat menentukan keberhasilan penanaman secara in vitro. Eksplan yang akan ditanam pada media tumbuh harus bebas dari mikroorganisme kontaminan. Tahap sterilisasi sering menjadi kendala utama keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro. Terlebih iklim tropis seperti Indonesia yang memungkinkan kontaminan seperti cendawan dan bakteri terus tumbuh sepanjang tahun. Untuk tanaman tertentu, sterilisasi sulit dilakukan karena kontaminan berada pada bagian internal dari jaringan tanaman (Sukmadjaja dan Mariska 2003).

C. Media

Media merupakan faktor utama dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Keberhasilan perbanyakan dan perkembangbiakan tanaman dengan metode kultur jaringan secara umum sangat tergantung pada jenis media. Media tumbuh pada kultur jaringan sangat besar pengaruhnya terhadap partumbuhan dan perkembangan eksplan serta bibit yang dihasilkannya (Tuhuteru et al. 2012).

Sebelum pembuatan media kultur jaringan, perlu diketahui media apa yang akan dibuat. Jenis media dengan komposisi unsur kimia yang berbeda dapat digunakan untuk media tumbuh dari jaringan tanaman yang berbeda pula. Misalkan, medium Vacin Went sangat baik untuk media tumbuh Anggrek, tetapi tidak cocok untuk media tumbuh tanaman yang lain. Untuk menanam eksplan dari tanaman keras sering menggunakan medium WPM, sedangkan untuk tanaman semusim (sayuran dan tanaman hias) sering rnenggunakan medium MS. Medium Knudson C hanya cocok untuk menanam eksplan kelapa Kopyor dan Anggrek. Pada dasarnya tidak ada satu macam media kultur yang dapat memberikan pertumbuhan optimal untuk semua sel, penggantian media atau salah satu

(6)

komponen media seringkali diperlakukan untuk merespon setiap tipe pertumbuhan dari satu macam eksplan (Budisantoso 2013).

Medium deferensiasi adalah medium yang digunakan untuk menumbuhkan tunas dan membentuk akar. Medium deferensiasi yang digunakan dalam kultur jaringan yaitu medium standar dengan modifikasi beberapa zat tambahan, antara lain : 2,4-D harus dihilangkan (bila masih ada, akan terbentuk kalus saja), gula (sukrosa) diturunkan atau dihilangkan, hormon ditambahkan sesuai kebutuhan. Biasanya kombinasi ZPT antara auksin dan sitokinin sering ditambahkan pada media untuk mengetahui berapa dosis kombinasi yang pas untuk pertumbuhan tanaman eksplan. Medium untuk induksi kalus yang sering digunakan yaitu media MS. Sedangkan untuk eksplan berkayu, medium yang sering digunakan yaitu WPM (Hendaryono dan Wijayani 1994). Perbedaan media MS dan WPM salah satunya terdapat pada ion hara makro yang terkandung di dalamnya.

Tabel 1. Komposisi ion hara makro pada media dasar MS dan WPM

Ion Media (mM) MS WPM NH4+ 20.6 5.0 NO3- 39.4 9.7 PO4- 1.3 1.3 SO4²- 3.0 14.4 K+ 20.0 12.6 Total N 60.0 14.7 Rasio NO3-/NH4+ 1.9 2.0

Berdasarkan tabel 1. diketahui bahwa kandungan ion hara N (nitrogen) pada media MS lebih besar dibandingkan media WPM dan kandungan ion hara S (Sulfur) pada media WPM lebih besar dibandingkan media MS (George dan Sherrington 1984, Bell et al. 2009).

Media MS (Murashige dan skoog) merupakan media yang banyak digunakan dalam kultur jaringan. Media ini mengandung garam dan nitrat yang lebih tinggi dibanding media lainnya. Penggunaan media MS dalam kultur

(7)

jaringan juga ditambahkan zat pengatur tumbuh sesuai dengan kebutuhan. Untuk inisiasi kalus ditambahkan auksin 2,4-D, untuk multiplikasi tunas ditambahkan sitokinin seperti BAP dan auksin seperti NAA dalam konsentrasi rendah, sedangkan untuk inisiasi akar ditambahkan IBA. Dalam menentukan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang akan digunakan, perlu dilakukan penelitian kecil menggunakan media dasar dan meneliti konsentrasi zat pengatur tumbuh terbaik dengan membandingkan dua zat pengatur tumbuh yang berbeda (Yuliarti 2010).

Media yang digunakan untuk kultur jaringan terdiri atas beberapa komponen yaitu: nutrisi, sumber besi, vitamin, asam amino, zat pengatur tumbuh, sumber karbon, pemadat atau agar dan akuades. Formulasi nutrisi media yang tepat merupakan faktor yang mendukung keberhasilan teknik tersebut. Komponen tersebut memenuhi satu atau lebih fungsi di dalam pertumbuhan tanaman secara in vitro. Vitamin paling penting untuk berbagai reaksi bio kimia. Level zat pengatur tumbuh (ZPT) biasanya merupakan fakta pembatas untuk keberhasilan diferensiasi pertumbuhan dari kultur sel tanaman, ZPT yang sering di gunakan dalam kultur jaringan adalah auksin dan sitokinin (Sparta 2014).

Komponen yang dibutuhkan dalam pembuatan media salah satunya yaitu gula (sukrosa). Sukrosa berfungsi untuk memacu diferensiasi dan perkembangan akar, sehingga ketersediaanya mutlak dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Hasil-hasil penelitian kultur jaringan menunjukkan kebutuhan sukrosa yang berbeda untuk setiap jenis tanaman. Penambahan sukrosa mampu meningkatkan berat kering dan luas daun serta dapat memelihara kualitas bibit selama masa penyimpanan (Warreing dan Phillips 1981, Wilson et al. 1998

cit. Marlin et al. 2008 ).

D. ZPT (Zat Pengatur Tumbuh)

Zat Pengatur Tumbuh adalah senyawa organik yang dalam konsentrasi rendah dapat mempengaruhi proses-proses fisiologi, terutama proses pertumbuhan, perkembangan dan diferensiasi (Davies 1987 cit. Shofiyani dan Purnawanto 2010). Zat pengatur tumbuh yang umum digunakan untuk menumbuhkan organ-organ baru dalam kultur in vitro adalah golongan auksin dan sitokinin. Auksin adalah zat pengatur tumbuh yang mempunyai sifat mampu

(8)

mengatur berbagai proses yang menyangkut pertumbuhan dan pemanjangan sel. Senyawa auksin yang banyak digunakan dalam kultur jaringan adalah senyawa alami IAA dan senyawa sintetis seperti NAA, IBA dan 2,4-D. Secara alami beberapa eksplan memproduksi auksin dalam jumlah yang cukup, tetapi kebanyakan memerlukan tambahan auksin dari luar, seperti auksin yang tidak stabil, misalnya IAA dalam konsentrasi rendah. Penambahan auksin dalam konsentrasi yang lebih tinggi atau penambahan auksin yang lebih stabil seperti NAA atau 2,4-D cenderung menyebabkan terjadinya pertumbuhan kalus dari eksplan dan menghambat regenerasi tanaman serta sintesis klorofil (Shofiyani dan Purnawanto 2010, Fonnesbech 1972 ).

Pembentukan tunas secara in vitro selain dipengaruhi oleh media, juga dipengaruhi oleh ZPT (zat pengatur tumbuh). Salah satu ZPT yang digunakan untuk multiplikasi tunas yaitu sitokinin (Lestari 2011). Penggandaan tunas pada tanaman berkayu atau tanaman tahunan, umumnya memerlukan sitokinin dalam konsentrasi yang tinggi berkisar antara 5-10 mg/l, untuk meningkatkan kemampuan proliferasi tunas dan ditambahkan auksin dalam konsentrasi yang rendah (0,1-0,3 mg/l). Sebaliknya pada tanaman herba seperti mentha, seruni, dan rami, diperlukan sitokinin dalam konsentrasi yang rendah, yaitu berkisar 0,1-1 mg/l (Seswita et al. 1996 cit. Lestari 2011).

Penggunaan zat pengatur tumbuh dalam kultur jaringan bertujuan untuk menginisiasi pembentukan organ. Pembentukan organ merupakan tahap pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Untuk memacu pembentukan tunas dalam kultur jaringan dapat ditambahkan zat pengatur tumbuh yaitu sitokinin. Golongan sitokinin yang sering digunakan yaitu BAP. BAP memiliki kelebihan mampu memacu pembentukan dan pemanjangan tunas lebih aktif dibandingkan kinetin (Hartman et al. 1990, Bhojawani dan Razdan 1983 cit. Marlin et al. 2008, Farhan 2013). Dalam memacu pembentukan tunas dapat pula ditambahkan auksin dalam konsentrasi yang rendah (Susilawati 2008). Hal ini sesuai dengan penelitian mengenai kultur jaringan pisang yang dilakukan oleh Srivastava et al. (2012) yang menyatakan bahwa induksi tunas pisang terbaik diperoleh pada media MS dengan tambahan BAP 6 ppm dan IAA 1 ppm, juga penelitian tentang albizia oleh

(9)

Perveen et al. (2011) yang menyatakan bahwa penambahan BA 7,5 ppm dan NAA 0,5 ppm memberikan hasil tertinggi terhadap jumlah dan panjang tunas albizia.

Zat pengatur tumbuh dibutuhkan untuk merangsang pertumbuhan tanaman. Zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin dapat diberikan bersama-sama atau auksin saja ataupun sitokinin saja. Penambahan zat pengatur tumbuh ini tergantung dari tujuan, misalnya untuk menginduksi pertumbuhan kalus saja atau ingin menumbuhkan akarnya saja atau tunasnya dahulu atau kedua-duanya. ZPT yang termasuk auksin yaitu Indol Asam Asetat (IAA), Indol Asam Butirat (IBA), Naftalen Asam Asetat (NAA) dan 2,4 D. ZPT yang termasuk sitokinin yaitu kinetin, Zeatin, Ribosil dan Benzil Aminopurin (BAP) (Hendaryono dan Wijayani 1994).

Referensi

Dokumen terkait

Kami, atas nama direksi dan pemegang saham perusahaan ini, bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku jika dalam proses verifikasi bertolak belakang

Penelitian Siti Masfufah mahasiswa IAIN Purwokerto, dengan judul “ Peningkatan Prestasi Belajar Mata Pelajaran Bahasa Inggris Sub Pokok Calendar Melalui Metode

Pada Tabel 1, enam topik yang dijadikan bahan penelitian mempunyai skor rerata lebih rendah daripada skor ideal yang artinya mahasiswa mengalami kesulitan tentang

Semakin besar motivasi seseorang dalam berwirau- saha akan berpengaruh positif terhadap penggunaan alternatif pem- biayaan metode bootstrap financing yang sumber

5HSXEOLND GHQJDQ 7KH $VLD )RXQGDWLRQ \DQJ GLODNXNDQ SDGD WDKXQ PHQHPXNDQ VHGLNLWQ\D SHUV ,VODP GL ,QGRQHVLD \DQJ WHUELW DQWDUD 6HFDUD VHGHUKDQD VXUYHL LQL PHUXPXVNDQ SHQJHUWLDQ

Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Sundyah (1997) yang menggunakan rasio keuangan pada industri manufaktur pada tahun1993-1995

Berdasarkan penjelasan dan fenomena tersebut, penulis memilih judul penelitian yang akan dilakukan adalah Pengaruh Operation Cash Flow, Earning Per Share, Return

Terdapat perbedaan hasil belajar siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe numbered head