• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kewarisan Pada Masyarakat Di Kelurahan Empoang Selatan Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto SKRIPSI Diajukan Untuk Memen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kewarisan Pada Masyarakat Di Kelurahan Empoang Selatan Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto SKRIPSI Diajukan Untuk Memen"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syari’ah (S.H) Pada Program Studi

Hukum Ekonomi Syari’ah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar

RAHMADANI RAJAMUDDIN 105 250 286 15

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 1440 H/ 2019 M

(2)

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kewarisan Pada Masyarakat Di Kelurahan Empoang Selatan Kecamatan Binamu

Kabupaten Jeneponto

SKRIPSI

RAHMADANI RAJAMUDDIN 105 250 286 15

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 1440 H/ 2019 M

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Sebuah kata yang paling indah dan patut penulis ucapkan alhamdulillah dan syukur kepada Allah Swt. yang senantiasa melimpahkan Rahmat dan hidayah-Nya berupa nikmat kesehatan, kekuatan dan kemampuan yang tercurah pada diri penulis sehingga diberikan kemudahan dalam usaha untuk menyelesaikan skripsi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kewarisan Pada Masyarakat Di Kelurahan Empoang Selatan Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto.”

Salawat dan taslim selalu tercurah kepada baginda Rasulullah Muhammad Saw, kepada para keluarganya dan sahabat yang senantiasa menjadi suri tauladan kepada kita sebagai ummat-Nya. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak hambatan dan tantangan yang penulis hadapi. Akan tetapi dengan pertolongan Allah SWT. yang datang melalui dukungan dari berbagai pihak yang telah digerakkan hatinya baik secara langsung maupun tidak langsung serta dengan kemauan dan ketekunan penulis sehingga hambatan dan tantangan tersebut dapat teratasi. Oleh karena itu, penulis menyampaikan

(8)

ix

penghargaan dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua yang telah memberikan dukungan sehingga skripsi ini dapat diwujudkan.

1. Kedua orang tuaku, ayahanda Rajamuddin Tompo, SH dan ibundaku Yadania yang senantiasa memanjatkan do’a sucinya. Serta saudara-saudaraku yang selalu memberikan motivasi baik dari dekat maupun jauh. 2. Prof. Dr. H. Abdul Rahman Rahim, SE., MM., selaku Rektor Universitas

Muhammadiyah Makassar.

3. Drs. H. Mawardi Pewangi, M.Pd.i. selaku Dekan fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar.

4. Dr.Ir. H. Muchlis Mappangaja, MP, selaku Ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah.

5. Hasanuddin, SE.Sy,.ME. selaku Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah.

6. Dibimbing oleh Ibunda Dra. St. Rajiah Rusydi, M.Pd.I dan Bapak Hasanuddin, SE.Sy,.ME, terima kasih atas bimbingan dan pengarahannya dalam penyusunan skripsi selama ini.

7. Seluruh Bapak dan Ibu dosen serta staf pegawai dalam lingkup Fakultas Agama Islam yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar.

(9)

8. Hardin Nasri, SIP selaku Lurah diKelurahan Empoang Selatan Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto yang telah mengijinkan penulis melakukan penelitian di Masyarakat Kelurahan Empoang Selatan.

9. Segenap masyarakat Kelurahan Empoang Selatan yang telah memberikan arahan serta bimbingan dalam pelaksanaan penelitian.

10. Sahabat-sahabatku As’ad anantama, Ilham Abdillah basri Idris, Reski Kamalia, Rikawati, Syamsuddin, Dani, Kiki, Windah, Isri, Ayu, Eni, Nurul, Rahmadyanto, Erwin dan Gifar serta rekan-rekan seperjuangan, terima kasih atas dukungan, kerjasama dan motivasi yang telah kita bagi bersama. 11. Teman-teman angkatan 2015 Hukum Ekonomi Syariah, terima kasih atas

dukungannya.

12. Kakanda dan Adinda di Fakultas Agama Islam, terima kasih atas cinta kasih dan dukungannya baik moral maupun moril.

13. Terimakasih juga terhadap kalian yang pernah hadir kemudian pergi, dan yang telah hadir dan berusaha tetap menetap, semoga kita abadi.

14. Serta semua pihak yang tidak sempat dituliskan satu persatu yang telah memberikan bantuannya kepada penulis secara langsung maupun tidak langsung, semoga menjadi amal ibadah di sisi-Nya.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi diri penulis. Dengan segala kerendahan hati, penulis

(10)

ix

mengharapkan saran dan kritikan dari berbagai pihak yang sempat membaca demi kesempurnaan skripsi ini.

Billahi fi sabililhaq, fastabiqulkhaerat.

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Makassar, 16 Dzulqaidah1440 H 18 Juli 2019 M Peneliti Rahmadani Rajamuddin Nim. 10525028615 x

(11)

xi dan Bapak Hasanuddin.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dasar hukum kewarisan Islam, pelaksanaan pembagian warisan dan tinjauan hukum Islam terhadap masyarakat di kelurahan Empoang Selatan Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto. Agar dapat menambah wawasan dan kemampuan berfikir tentang dasar hukum kewarisan Islam, menjadikan sebagai gambaran pelaksanaan warisan, serta sebagai sarana strategi pengembangan dalam tinjauan hukum Islam tersebut.

Penelitian dilaksanakan pada masyarakat dikelurahan Empoang Selatan Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Instrument penelitian yang digunakan yakni observasi, pedoman wawancara, catatan dokumentasi, serta teknik pengumpulan data yang digunakan yakni meliputi kutipan langsung dan tidak langsung dan Field researct ( lapangan), meliputi observasi dan wawancara.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat mengetahui dasar hukum kewarisan sesuai dengan syariat Islam. Akan tetapi, mayoritas dalam penerapan teknik pembagian warisan ada yang sesuai dengan hukum Islam dan ada yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Waktu terbukanya pewarisan pada masyarakat diKelurahan Empoang Selatan Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto terdapat tradisi, yakni: pewarisan tersebut terbuka pada saat pewaris/orangtua masih hidup. Salah satu alasan masyarakat melakukannya adalah agar tidak terjadi suatu yang tidak diinginkan oleh pewaris di kemudian hari dan harta yang telah dibagikan oleh pewaris pada masyarakat muslim disana, harta tersebut dianggap sebagai harta warisan. Dalam peninjauan hukum Islam sendiri tinjau dari konsep takharuj atau tasaluh tetap tidak sesuai dengan hukum Islam karena praktik kewarisan dimana kebiasaan tersebut dikenal dan telah lama berjalan pada suatu masyarakat tetapi menyalahi atau pun bertentangan dengan hukum syara’.

(12)

xii ABSTRACT

RahmadaniRajamuddin (10525028615). Thesis Title: “Overview of Islamic Law Against Inheritance in the Community in Empoang Selatan Village Binamu District Jeneponto Regency”. Guided by Mother RajiahRusydi and Mr. Hasanuddin.

This thesis aims to find out the legal basis of Islamic inheritance, the implementation of the distribution of inheritance and a review of Islamic law towards the community in the village of South Empoang, Binamu District, Jeneponto Regency. In order to be able to add insight and ability to think about the basis of Islamic inheritance law, make it as an illustration of the implementation of inheritance, as well as a means of developing strategies in reviewing Islamic law.

The study was conducted in the communities in the village of South EmpoangBinamu District Jeneponto Regency. This type of research is qualitative research. The research instrument used was observation, interview guidelines, documentation notes, and data collection techniques used that included direct and indirect quotations and Field Researct (field), including observation and interviews.

The results of this study indicate that the public knows the legal basis for inheritance in accordance with Islamic law. However, the majority in the application of inheritance distribution techniques are in accordance with Islamic law and some are not in accordance with Islamic law. When the inheritance was opened to the community in Empoang Selatan Village, Binamu District, Jeneponto Regency there was a tradition, namely: inheritance was open when the heir / parent was still alive. One of the reasons people do this is so that nothing happens that is not desired by the testator in the future and the assets that have been distributed by the testator to the Muslim community there, the property is considered as inheritance. In reviewing Islamic law itself, the review of the concept of takharuj or tasaluh is still not in accordance with Islamic law because of the practice of inheritance in which the custom is known and has been running for a long time but violates or contradicts the syariah law '.

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... iv

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... v

HALAMAN BERITA ACARA MUNAQASAH ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... .8

A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam ... 8

B. Dasar Hukum Kewarisan dan Asas-Asas Kewarisan Islam ... 11

C. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam ... 12

1. Asas Ijbari ... 13

2. Asas Bilateral ... 14

3. Asas Individual ... 14

4. Asas Keadilan Berimbang ... 16

5. Kewarisan Semata Akibat Kematian ... 18

(14)

xiv

D. Rukun dan Syarat Pembagian Warisan ... 19

1. Rukun Waris ... 19

2. Syarat-syarat Mendapat Warisan ... 21

E. Sebab-Sebab Pewarisan dalam Islam ... 24

1. Hubungan kekerabatan ... 25

2. Hubungan perkawinan ... 25

3. Hubungan karena sebab al-wala’ ... 26

F. Penghalang/Penggugur Ahli Waris ... 27

1. Perbudakan ... 27

2. Karena Pembunuhan ... 27

3. Karena Berlainan Agama (Ikhtilafu Ad-Din) ... 29

4. Karena murtad (riddah)... 30

5. Karena hilang tanpa berita... 31

G. Macam Ahli Waris dan Pembagiannya ... 31

BAB III METODE PENELITIAN ... 34

A. Jenis Penelitian ... 34

B. Lokasi dan Obyek Penelitian ... 35

C. Fokus Penelitian ... 35

D. Deskripsi Fokus Penelitian ... 35

E. Sumber Data ... 35

F. Instrumen Penelitian ... 36

G. Teknik Pengumpulan Data ... 38

H. TeknikAnalisis Data ... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

A. Hasil Penelitian ... 39

1. Gambaran Umum Kabupaten Jeneponto ... 39

(15)

b. Letak dan Kondisi Geografis ... 41

c. Topografi ... 42

d. Morfologi ... 42

e. Klimatologi ... 43

f. Visi dan Misi Kabupaten Jeneponto ... 44

B. Dasar Hukum Kewarisan Islam Kel. Empoang Selatan ... 46

C. Pelaksanaan Pembagian Warisan pada Masyarakat Kelurahan Empoang Selatan ... 47

D. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kewarisan diKelurahan Empoang Selatan ... 52

BAB V PENUTUP ... 55

A. Kesimpulan ... 55

B. Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 59

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 61

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Jeneponto

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam bukan hanya berisi ajaran tentang keimanan dan berbagai hal yang harus dilakukan dalam rangka ibadah kepada Allah, akan tetapi juga mengandung aturan tentang interaksi antar individu didunia yang disebut mu’amalah, dan termasuk juga aturan tentang pembagian warisan.Segi kehidupan manusia tidak terlepas dari kodrat kejadiannya sebagai manusia yang diatur Allah dikelompokkan menjadi dua.Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lahir manusia dengan Allah pencipta-Nya.Aturan tersebut disebut ‘hukum ibadat’ yang bertujuan untuk menjaga hubungan atau tali antara Allah dengan hamba-Nya.Kedua, berkaitan dengan hubungan manusia dan alam sekitarnya, aturan tersebut disebut ‘hukum mua’amalat’ yang bertujuan untuk menjaga hubungan antara manusia dan alam sekitarnya.

Hukum Islam merupakan hukum Allah. Dan sebagai hukum Allah, ia menuntut kepatuhan dari umat Islam untuk melaksanakannya sebagai kelanjutan dari keimanannya terhadap Allah SWT. Keimanan akan wujud Allah menuntut kepercayaan akan segala sifat, kudrat dan iradat Allah. Aturan Allah tentang tingkah laku manusia itu sendiri merupakan satu bentuk dari iradat Allah dan k arena itu maka kepatuhan menjalankan

aturan Allah merupakan perwujudan dari iman kepada Allah.1

1Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana,2008),

(18)

2

Diantara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian.Harta warisan menurut hukum Islam ialah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris secara hukum dan dapat beralih kepada ahli warisnya.Dalam pengertian ini dapat dibedakan antara harta warisan dan harta peninggalan, harta warisan ialah harta peninggalan yang secara hukum syara’ berhak diterima oleh ahli waris, sedangkan harta peninggalan ialah apa-apa yang ada pada seseorang saat kematiannya atau semua harta yang ditinggalkan oleh si mayit.

Pewarisan merupakan suatu kejadian hukum yang mengalihkan hak milik dari pewaris kepada ahli waris. Hukum kewarisan islam merupakan salah satu persoalan penting dalam islam dan merupakan tiang diantara tiang-tiang hukum yang secara mendasar tercermin langsung dari teks-teks suci yang telah disepakati keberadaanya, salah satu hal yang tidak dapat dipungkiri keberadaan hukum kewarisan Islam dipresentasikan

dalam teks-teks yang rinci, sistematis, konkrit, dan realistis. 2

Hukum kewarisan Islam atau dalam kitab-kitab fikih biasa disebut faraid adalah hukum kewarisan yang diikuti oleh umat Islam dalam usaha mereka menyelesaikan pembagian harta peninggalan keluarga yang meninggal dunia.Dibeberapa negara berpenduduk mayoritas beragama Islam Faraid telah menjadi hukum positif, meskipun sebagaimana yang berlaku di Indonesia hanya berlaku untuk warga Negara beragama Islam, tidak berlaku secara

2Abdul Ghofur Anshori, filsafat hukum islam konsep kewarisan bilateral

(19)

normal.Namun, dibeberapa Negara hukum tersebut telah menjadi hukum nasional seperti yang berlaku di Saudi Arabia.

Hukum kewarisan Islam diikuti dan dijalankan oleh umat Islam seluruh dunia terlepas dari perbedaan bangsa, Negara maupun latar belakang budanya.Pada masa sebelum faraid atau hukum kewarisan Islam dilaksanakan, biasanya mereka telah memakai dan melaksanakan aturan tertentu berkenaan dengan pembagian warisan berdasarkan adat-istiadat yang menjadi hukum tak tertulis diantara mereka. Hukum tak tertulis ini dirancang dan disusun oleh nenek moyang mereka berdasarkan apa yang baik dan adil menurut mereka dan disampaikan

kepada generasi berikutnya secara lisan dari mulut kemulut.3

Pendapat as-Shabuni, bahwa A;-Qurtuby, salah seorang cendekiawan muslim terkemuka mengemukakan didalam kitab tafsirnya bahwa ilmu fara’id merupakan salah satu rukun agama lainnya, tiang dari berbagai tiang hukum dan induk ayat suci Al-Qur’an. Ilmu fara’id adalah ilmu pengetahuan yang paling tinggi kedudukannya bagi para sahabat Nabi, Mereka sangat memperhatikan

ilmu fara’id.4 Namun, banyak orang yang menyia-nyiakannya ilmu

tersebut.Karena ketinggian nilainya, maka ilmu fara’id merupakan separuh dari kandungan ilmu pengetahuan.Dalam komplikasi hukum Islam, hukum kewarisan dirumuskan dengan hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menetukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Agama Islam datang sebagai rahmatan lil alamin tidak dapat dibatasi oleh sekat-sekat apapun termasuk jenis kelamin.Laki-laki dan perempuan

3Muhammad Ali As-Shabuni, Hukun Waris Islam, terj, sarmin syukur, cet, ke-1

(Surabaya: Al-Ikhlas,1995) h, 21-22

4 Komis Simanjuntak, S.H, Hukum Kewarisan Islam, cet Ke-1 (Surabaya: Sinar

(20)

4

hanya istilah yang membedakan manusia dari unsur reproduksi, bentuk fisik dan psikis.Tabiat antara laki-laki dan perempuan persis, termasuk kemampuan memikul tanggungjawab. Salah satu persoalan yang sangat penting dalam pembagian warisan adalah sesuai dengan tuntutan Al- Qur’an dan As-Sunnah. Hukum syari’atpun meletakkan keduanya dalam satu kerangka.Hal ini dibuktikan dengan berhaknya perempuan terhadap harta warisan yang ditinggalkan pewaris.

Seseorang yang akan mendapatkan bagian dari harta peninggalan harus ada hubungan nasab (hubungan darah) antara ahli waris dengan pewaris, adanya hubungan perkawinan (meskipun antara suami-istri belum pernah berkumpul/melakukan hubungan biologis atau telah bercerai tetapi dalam masa iddah talak raj’i atau walak yaitu hubungan antara bekas budak dengan orang yang memerdekakannya apabila

bekas budak itu tidak punya ahli waris).5

Pembagian harta warisan yang dilakukan secara musyawarah agar antara para ahli waris yang satu dengan yang lain saling rela dan saling terima serta menjaga keutuhan keluarga. Meskipun pembagiannya dengan musyawarah terlebih dahulu, ada ketetapan bahwa anak laki-laki lebih besar bagiannya dibandingkan dengan anak perempuan.

Di Indonesia persoalan warisan sangat fleksibel, terkadang pembagian warisan tidak sesuai dengan pembagian yang sudah diisyaratkan oleh agama.Salah satu daerah masih mengedepankan pembagian warisan dengan

5Wahyu Muljono, Hukum Waris Islam dan Pemecahannya, cet, ke-1

(21)

budaya, adat istiadat, dan kesepakatan adalah masyarakat di Kelurahan Empoang Selatan Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto.

Secara geografis, Kabupaten Jeneponto terletak di 5°23'- 5°42' Lintang Selatan dan 119°29' - 119°56' Bujur Timur. Kabupaten ini berjarak sekitar 91

Km dari Makassar. Luas wilayahnya 749,79 km2 dengan kecamatan Bangkala

Barat sebagai kecamatan paling luas yaitu 152,96 km2 atau setara 20,4 persen

luas wilayah Kabupaten Jeneponto. Sedangkan kecamatan terkecil

adalah Arungkeke yakni seluas 29,91 km2.6

Kecamatan Binamu adalah salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Indonesia. salah satu kecamatan di jeneponto yang memiliki sejarah yang panjang dari awalnya yang berbentuk kerajaan dan sekarang menjadi salah satu kecamatan di bumi turatea

jeneponto. Dan kemudian Empoang Selatan adalah salah

satu kelurahan di Kecamatan Binamu, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi

Selatan, Indonesia. Yang dimana Kabupaten ini memiliki luas wilayah

749,79 km2 dan berpenduduk sebanyak 330.735 jiwa. Dalam pembagian harta

waris masih ada beberapa dikalangan masyarakat belum sesuai dengan syariat Islam yang sebenar-benarnya.Mereka masih mengedepankan adat istiadat, kebiasaan, dan culture.Mirisnya, masyarakat yang sudah mengetahui bagaimana pembagian harta waris yang seharusnya. Akan tetapi belum ada penerapan yang dijalankan.

(22)

6

Sebagai akibat dari keadaan masyarakat seperti di kemukakan di atas.Bahwa hukum waris yang berlaku di jeneponto dewasa ini bergantung pada hukumnya pewaris. Hukum pewaris adalah hukum waris mana yang berlaku bagi orang yang meninggal dunia atau pewaris termasuk golongan penduduk indonesia, maka yang berlaku adalah hukum waris adat. Dengan adanya beragam bentuk tinjauan kewarisan hukum adat, menimbulkan akibat yang berbeda pula. Maka pada intinya hukum waris harus disesuaikan dengan adat dan kebudayaan masing-masing daerah dengan kelebihan dan kekurangan yang ada pada tinjauan kewarisan tersebut.

Berdasarkan gambaran diatas maka penulis tertarik untuk membuat penelitian tentang “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kewarisan Pada Masyarakat Di Kel. Empoang Selatan Kec. Binamu Kab. Jeneponto.”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah dasar hukum kewarisan Islam pada masyarakat di Kelurahan Empoang Selatan Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto?

2. Bagaimanakah pelaksanaan pembagian warisan pada masyarakat di Kelurahan Empoang Selatan Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto?

3. Bagaimanakah tinjauan hukum Islam terhadap kewarisan di Kelurahan Empoang Selatan Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto?

(23)

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimanakah dasar hukum kewarisan Islam pada masyarakat di Kelurahan Empoang Selatan Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto.

2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pembagian warisan pada masyarakat di Kelurahan Empoang Selatan Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto.

3. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap kewarisan di Kelurahan Empoang Selatan Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto.

D. Manfaat Penelitian

1. Menambah wawasan dan kemampuan berpikir mengenai dasar hukum kewarisan Islam pada masyarakat di Kelurahan Empoang Selatan Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto.

2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai gambaran pelaksanaan pembagian warisan pada masyarakat di Kelurahan Empoang Selatan Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto.

3. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai sarana untuk menyusun strategi pengembangan dalam tinjauan hukum Islam terhadap kewarisan di Kelurahan Empoang Selatan Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto.

(24)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam

Kata “waris” berasal dari bahasa Arab Al-miira>ts, dalam bahasa arab adalah bentuk masdar (infinititif) dari kata waritsa- yaritsu- irtsan- miira>tsan. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang

kepada orang lain. Atau dari suatu kaum kepada kaum lain. 7

Ilmu yang mempelajari warisan disebut ilmu mawaris atau lebih dikenal dengan istilah fara’id.Kata fara’id merupakan bentuk jamak dari faridah, yang diartikan oleh para ulama’ farridiyun semakna dengan kata mafrudah, yaitu bagian yang telah ditentukan kadarnya.Warisan berarti perpindahan hak kebendaan dari orang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup.

Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari

peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya.8

Harta warisan yang dalam istilah fara’id dinamakan tirkah (peninggalan) adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh syariat Islam

7Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta:

Gema Insani Press, 1996), h, 33.

8Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

Cet. IV, 2000), h, 19

(25)

untuk diwariskan kepada ahli warisnya.Hukum kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini disebut dengan berbagai nama. Dalam literatur hukum islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam seperti: Faraid, Fikih Mawaris dan Hukm Al-Waris. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan dalam arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Kata yang tak lazim dipakai adalah

faraid.9

Kata ini digunakan oleh An-Nawawi dalam kitab fikih Minhaj Al-Thalibin.Oleh Al-Mahalliy dalam komentarnya atas matan minhaj, disebutkan alasan penggunaan kata tersebut.Hukum kewarisan Islam dalam ilmu Faraid dimana Kata faraid, merupakan bentuk jamak dari kata faridah,

yang berasal darikata farada yang artinya adalah ketentuan.10

Dengan demikian kata faraid ataufaridah artinya adalah ketentuan-ketentuan tentang siapa yang termasuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, ahli waris yang tidak berhak mendapatkannya, dan berapa bagian masing-masing.

Untuk itu ada beberapa istilah dalam fikih mawaris, yaitu:

1. Waris adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.Hak-hak waris dapat timbul karena hubungan darah dan karena hubungan perkawinan. Ada ahli waris yang sesungguhnya memiliki

9 Tengku Muhammad Hasbi, Fikih Mawaris Hukum Pembagian Warisan Sesuai

Syariat Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putera, 2010), h. 27-28.

(26)

10

hubungan kekerabatan yang dekat, akan tetapi tidak berhak mendapatkan warisan, ahli waris yang demikian itu disebut zawu al-arham,

2. Muwaris, artinya orang yang diwarisi harta benda peninggalannya, yaitu orangyang meninggal dunia, baik itu meninggal secara hakiki atau karena melalui putusan pengadilan, seperti orang yang hilang (al-mafqud) dan tidak diketahui kabar berita dan domisilinya,

3. l-irs, artinya harta warisan yang siap dibagi oleh ahli waris sesudah diambil untuk keperluan pemeliharaan jenazah, pelunasan utang serta melaksanakan wasiat,.

4. Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.Tirkah, yaitu semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat yang dilakukan oleh orang yang meninggal ketika

masih hidup.11

Dengan demikian penyebutan faraid didasarkan pada bagian yang diterima oleh ahli waris. Adapun penggunaan kata mawarits lebih melekat kepada yang menjadi objek dari hukum ini yaitu harta yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup. Sebab, kata mawarits merupakan bentuk dari kata miwrats yang berarti mauruts, harta yang diwarisi.Dengan demikian maka arti kata warits yang dipergunakan dalam beberapa kita menunjukkan

11Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, Cet. Keempat (Jakarta: PT. Raja Grafindo

(27)

kepada orang yang menerima harta warisan itu, karena kata warits artinya

adalah orang pewaris.12

Dalam literature hukum di Indonesia, digunakan pula beberapa nama yang keseluruhannya mengambil dari bahasa Arab, yaitu: waris, warisan, pusaka dan hukum kewarisan. Yang menggunakan nama hukum ‘waris’, memandang kepada orang yang berhak menerima harta warisan, yaitu yang

menjadi subjek dari hukum ini.13 Sedangkan yang menggunakan nama warisan

memandang kepada harta warisan yang menjadi objek dari hukum itu. Untuk maksud terakhir ini ada yang memberi nama dengan ‘pusaka’ yaitu nama lain dari harta yang dijadikan objek dari warisan, terutama yang berlaku dilingkungan adat minangkabau.

B. Dasar Hukum Kewarisan dan Asas-Asas Kewarisan Islam

Hukum kewarisan Islam mengatur hal ihwal harta peninggalan (warisan) yang ditinggalkan oleh si mayit, yaitu mengatur peralihan harta peninggalan dari mayit (pewaris) kepada yang masih hidup (ahli waris). Adapun dasar-dasar hukum yang mengatur tentang kewarisan Islam adalahsebagai berikut:

Sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an surah An- Anfaal (8) Ayat :75

ٌ ِ َ ٍءْ

َ

ِ

ّ ُ

ِ َ ا نِإ ِۚ ا ِب َ ِ ِ ٍ

ْ َ ِ َٰ!ْو

َ

أ ْ ُ$ ُ%ْ َ& ِم َ(ْر

َ ْ

*ا +

ُ

ُ

أَو

ۚ-ْ-)

.

(

12Dr.Mardani, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Penerbit Erlangga,2000) h 107. 13Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia,(Surabaya: Sinar Grafika,

(28)

12

Terjemahannya:

“…Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui segala

sesuatu.14

C. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam

Hukum kewarisan Islam atau lazim disebut fara’id dalam literature. Hukum Islam adalah salah satu bagian dari keseluruhan hukum Islam yang mengatur peralihan harta dari orang yang meninggal kepada orang yang masih hidup. Sebagai hukum agama yang terutama yang bersumber kepada wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku pula dalam hukum kewarisan yang bersumber dari akal manusia. Di samping itu hukum kewarisan Islam dalam hal tertentu mempunyai corak tersendiri, berbeda dengan hukum kewarisan Islam yang lain. Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dari hukum kewarisan Islam itu.

Hukum kewarisan digali dari keseluruhan ayat hukum dalam Al-Qur’an dan penjelasan tambahan yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw dalam sunnahnya. Dalam pembahasan ini akan dikemukakan lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima

dan waktu terjadinya peralihan harta itu.15

14 Dapertemen Agama RI, Quran dan Terjemahannya, (Surabaya:

Al-Hidayah, 2002), h – 279.

(29)

Asas-asas tersebut adalah: asas ijbari, asas bilateral, asas individual,asas keadilan berimbang dan asas semata akibat kematian.

1. Asas Ijbari

Secara etimologis kata ijbari mengandung arti paksaan, yaitumelakukan sesuatu di luar kehendak sendiri dalam hal hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendirinya, maksudnya tanpa ada perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari si pewaris, bahkan si pewaris (semasa hidupnya) tidak dapat menolak atau menghalang-halangi terjadi peralihan harta tersebut. Dengan perkataan lain, dengan adanya kematian si pewaris secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya, tanpa terkecuali apakah ahli warisnya suka menerima atau tidak, demikian juga dengan halnya bagi si pewaris.

Asas ijbari ini dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu : a) Dari segi peralihan harta.

b) Dari segi jumlah harta yang beralih. c) Dari segi kepada siapa harta itu beralih.

Unsur ijbari dari segi cara peralihan mengandung arti bahwa harta orang yang mati itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan siapa-siapa kecuali oleh Allah SWT. Kata nasib berarti bagian atau jatah dalam bentuk sesuatu yang diterima dari pihak lain. Dari kata nasib itu dapat dipahami

(30)

14

bahwa dalam jumlah harta yang ditinggalkan si pewaris, disadari atau tidak telah terdapat hak ahli waris.

Bentuk ijbari dari penerima peralihan harta itu berarti bahwa mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti, sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia pun dapat mengubahnya dengan cara memasukan orang lain atau mengeluarkan orang yang

berhak.16

2. Asas Bilateral

Asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah bahwa seseorang menerima hak warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu dari garis keturuan perempuan maupun garis keturunan laki-laki. Bahkan proses pemberian harta kepada ahli waris khususnya kepada anak, baik kepada anak laki-laki maupun anak perempuan umumnya telah dimulai sebelum orangtua atau pewaris masih hidup. Dan sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat ini adalah individual artinya bahwa harta peninggalan dapat dibagi-bagikan dari pemiliknya atau pewaris kepada para

ahli warisnya, dan dimiliki secara pribadi.17Asas bilateral ini juga berlaku

pula untuk kerabat garis ke samping yaitu melalui ayah dan ibu. 3. Asas Individual

Pengertian asas individual ini adalah setiap ahli waris (secara individual) berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahliwaris lainnya, dengan demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris dariharta pewaris, dimiliki secara perorangan, dan ahli waris yang lainnya

16 Muhammad Bin Shalihah Al-Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris

(Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir,2008).h 38.

17

(31)

tidak ada sangkut paut sama sekali dengan bagian yang diperoleh tersebut, sehingga individu masing-masing ahli waris bebas menentukan (berhak penuh) atas bagian yang diperolehnya.

Sifat individual dalam kewarisan itu dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan Al-Qur’an.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an surah An-Nisa (4) ayat: 7

َ ْ

*اَو ِناَ ِ/اَ+

ْ

,ا َكَ1َ2 3ِّ4 ٌ5 ِ6َ7 ِء َ8ِّ9 ِ,َو َن+ُ:َ1ْ;

َ ْ

*اَو ِناَ ِ/اَ+

ْ

,ا َكَ1َ2 3ِّ4 ٌ5 ِ6َ7 ِل َ=ِّ1 ِ

ّ

>

ِء َ8ِّ9 ِ,َو َن+ُ:َ1ْ;

ً@وُ1ْAB َن+ُ:َ1ْ;

َ ْ

*اَو ِناَ ِ/اَ+

ْ

,ا َكَ1َ2 3ِّ4 ٌ5 ِ6َ7

)

C

(

Terjemahannya:

Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak

menurut bahagian yang telah ditetapkan”.18

Surat An-Nisa’ ayat 7 yang mengemukakan secara garis besar bahwa laki-laki maupun perempuan berhak menerima warisan dari orangtua dan karib kerabatnya, terlepas dari jumlah harta tersebut dengan bagian yang telah ditentukan.Dan dapat disimpulkan bahwa jumlah bagian untuk setiap ahli waris tidak ditentukan oleh banyak atau sedikitnya harta yang ditinggalkan. Sebaliknya, jumlah harta itu tunduk kepada ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini berlaku pepatah: “ Banyak bagi bertumpuk, sedikit bagi bercecah”. Diantara ahli waris yang tidak memenuhi ketentuan untuk

(32)

16

bertindak atas hartanya (seperti belum dewasa), maka harta warisan yang diperolehnya berada dibawah kuasa walinya dan dapat dipergunakan untuk belanja kebutuhan sehari-hari anak tersebut.

4. Asas Keadilan Berimbang

Kata ‘adil’ merupakan bahasa Indonesia yang berasal dari kata al-‘adlu. Dalam Al-Qur’an kata al-‘adlu atau turunannya disebutkan lebih dari 28 kali. Sebagian diantaranya diturunkan Allah dalam bentuk kalimat perintah dan sebagian dalam bentuk kalimat berita.Kata al-‘adlu itu dikemukakan dalam konteks yang berbeda dan arah yang berbeda pula, sehingga akan memberikan defenisi yang berbeda sesuai dengan konteks dan tujuan penggunaannya.

Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara hakdan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Dalam hubungannya dengan hak yang menyangkut materi khususnya yang menyangkut dengan kewarisan, kata tersebut dapat diartikan keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.Atas dasar pengertian tersebut di atas terlihat asas keadilan dalam pembagian harta warisan dalam hukum Islam. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Artinya sebagaimana pria, wanita pun mendapatkan hak yang samakuat untuk mendapatkan warisan.Hal ini secara jelas disebutkan dalam

(33)

Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 7 yang menyakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hak mendapatkan warisan.

Tentang jumlah bagian yang didapatkan laki-laki dan perempuan terdapat dua bentuk:

Pertama: Laki-laki mendapat jumlah yang sama banyak dengan perempuan, seperti ibu dan ayah sama-sama mendapat seperenam dalam keadaan pewaris meninggalkan anak kandung, begitu pula saudara laki-laki dan saudara perempuan sama-sama mendapat seperenam dalam kasus pewaris adalah seseorang yang tidak memiliki ahli waris langsung.

Kedua: laki-laki memperoleh bagian lebih banyak atau dua kali lipat dari yang didapat oleh perempuan dalam kasus yang sama yaitu anak laki-laki dengan anak perempuan dan saudara laki-laki-laki-laki dan saudara

perempuan. 19

Dalam kasus yang terpisah duda mendapat dua kali bagian yang diperoleh oleh janda yaitu setengah banding seperempat bila pewaris tidak ada meninggalkan anak, dan seperempat banding seperdelapan bila pewaris meninggalkan anak. Ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti tidak adil karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan.

Secara umum, dapat dikatakan pria membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan wanita.Hal tersebut dikarenakan pria dalam ajaran

19Suhrawardi K. Lubis, Dkk. Fiqih Mawaris, (Jakarta: Gaya Mulia Pratama,

(34)

18

Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya termasuk para wanita. Bila dihubungkan kembali maka akan terlihat bahwa kadar manfaat yang akan dirasakan laki-laki sama dengan apa yang dirasakan oleh pihak perempuan. Meskipun pada mulanya, laki-laki menerima dua kali lipat dari perempuan, namun sebagian dari yang diterima akan diberikannya kepada perempuan dalam kapasitasnya sebagai pembimbing yang bertanggung jawab. Inilah keadilan dalam konsep Islam. 5. Kewarisan Semata Akibat Kematian

Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata disebabkan adanya kematian. Dengan perkataan lain harta seseorang tidak dapat beralih (dengan pewarisan) seandainya dia masih hidup. Walau pun ia berhak untuk mengatur hartanya, hal tersebut semata-mata hanya sebatas keperluannya semasa ia masih hidup, dan bukan untuk penggunaan harta tersebut sesudah ia meninggal dunia. Dengan demikian hukum waris Islam tidak mengenal seperti yang ditemukan dalam ketentuan hukum waris menurut kitab undang-undang hukum perdata (BW), yang dikenal dengan pewarisan secara ab intestato

dan secara testamen.20 Memang di dalam ketentuan hukum Islam dikenal

juga istilah wasiat, namun hukum wasiat terpisah sama sekali dengan persoalan kewarisan.

20 Dr. Henny Tanuwidjaja, SH, SpN, Hukum Waris Menurut WB, (Jakarta:

(35)

Asas kewarisan akibat kematian ini mempunyai kaitan erat dengan asas ijbari yang disebutkan sebelumnya. Pada hakikatnya, seseorang yang telah memenuhi syarat sebagai subjek hukum dapat menggunakan sepanjang hayatnya.Namun, setelah meninggal dunia ia tidak lagi memiliki kebebasan tersebut. Kalaupun ada, maka pengaturan untuk tujuan penggunaan setelah kematian terbatas dalam koridor maksimal sepertiga dari hartanya, dilakukan setelah kematiannya, dan tidak disebut dengan istilah kewarisan. Asas kewarisan akibat kematian ini dapat digali dari penggunaan kata-kata “waratsa” yang banyak terdapat dalam Al-Qur’an. Kata waratsa ditemukan beberapa kali digunakan dalam ayat-ayat kewarisan.Dari keseluruhan pemakaian kata itu terlihat bahwa peralihan harta berlaku setelah yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Demikianlah asas hukum kewarisan Islam yang menunjukkan karakteristik

dari kewarisan dalam hukum Islam.21 Dari asas-asas tersebut dapat ditarik

perbedaan antara hukum Islam dengan sistem kewarisan lain, meskipun terlihat beberapa titik kesamaan.

D. Rukun dan Syarat Pembagian Warisan 1. Rukun Waris

Rukun waris itu ada tiga macam, yaitu : a. Waris (ahli waris)

21 Prof. R. Subekti, SH, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, (Jakarta:

(36)

20

Waris adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan lantaran mempunyai hubungan sebab-sebab untuk mempusakai seperti adanya ikatan perkawinan, hubungan darah (keturunan) yang hubungan hak

perwalian dengan si muwaris.22

b. Muwaris (yang mewariskan)

Muwaris adalah orang yang meninggal dunia, baik mati hakiki maupun mati hukmi. Mati hukmi ialah suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim atas dasar beberapa sebab, walaupun ia

sesungguhnya belum mati sejati.23

Adapun menurut ulama dapat dibedakan menjadi 3 macam:

1. Mati sejati (Mati Haqiqy)

Mati sejati adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.

2. Mati menurut putusan hakim atau yuridis (mati Hukmy)

Mati hukmy adalah suatu kematian yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan, maka dengan putusan hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat kemungkinan muwaris masih hidup.Menurut

22 Abdullah, Fiqih Mawaris, (Jakarta: PT, Raja Grafindo Persada, 1960), h – 57. 23Rahman, Hukum Kewarisan Islam, (Surabaya: PT Persada, 1981), h – 37.

(37)

pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah, apabila lamam meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama Mazhab lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai segi kemungkinan. 3. Mati menurut dugaan (Mati Taqdiry)

Mati taqdiry adalah sebuah kematian (muwaris) berdasarkan dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun.Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.

c. Maurusun atau tirkah (harta peninggalan)

Maurus adalah harta benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang akan diwarisi kepada ahli waris setelah diambil biaya-biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan ini oleh para faradhiyun disebut juga dengan

tirkah atau turats.24

2. Syarat-syarat Mendapat Warisan

Sebagaimana permasalahan-permasalahan lainnya di dalam warisan juga ada beberapa syarat dan rukun yang mesti dipenuhi.Tidak terpenuhinya salah satu syarat atau rukun menyebabkan harta warisan tidak

24Prof. Dr.H. Muhammad Amin Suma, S.H,M.A,M.M, Keadilan Hukum Waris.

(38)

22

dapat dibagi kepada ahli waris menyebutkan ada 4 (empat) syarat yang mesti dipenuhi dalam warisan.Keempat syarat tersebut adalah:

a. Orang yang mewariskan harta nyata-nyata telah meninggal dunia.Bila orang yang hartanya akan diwaris belum benar-benar meninggal, umpamanya dalam keadaan koma yang berkepanjangan, maka harta miliknya belum dapat diwarisi oleh ahli waris yang berhak menerimanya. Ini dikarenakan adanya warisan itu karena adanya kematian.Selain nyata-nyata telah meninggal harta warisan juga bisa dibagi bila seseorang dinyatakan meninggal secara hukum oleh hakim. Umpamanya dalam kasus seorang yang telah lama hilang tanpa diketahui kabarnya kemudian atas ajuan pihak keluarga hakim memutuskan bahwa orang tersebut telah meninggal dunia.Dengan putusan hakim tersebut maka harta milik orang tersebut bisa dibagi kepada ahli waris yang ada.

b. Ahli waris yang akan mendapat warisan nyata-nyata masih hidup ketika orang yang akan diwarisi hartanya meninggal, meskipun masa hidupnya hanya sebentar saja. Artinya ketika orang yang akan diwarisi hartanya meninggal maka yang berhak menerima warisan darinya adalah orang yang nyata-nyata masih hidup ketika si mayit meninggal. Meskipun tak lama setelah meninggalnya si mayit, dalam hitungan menit misalnya, ahli warisnya kemudian menyusul meninggal, maka si ahli waris ini berhak mendapatkan bagian warisan dari si mayit.

(39)

c. Diketahuinya hubungan ahli waris dengan si mayit karena hubungan kekerabatan, pernikahan, atau memerdekakan budak (walâ’).

Hadist Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat Al – Bukhari:

Terjemahannya :

Dari Ibnu Abbas dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Berikan bagian-bagian warisan kepada ahli warisnya, selebihnya

kepada laki-laki yang dekat.25

d. Satu alasan yang menetapkan seseorang bisa mendapatkan warisan secara rinci. Syarat keempat ini dikhususkan bagi seorang hakim untuk menetapkan apakah seseorang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan atau tidak. Seorang saksi yang menyatakan pada hakim bahwa “orang ini adalah ahli warisnya si fulan” tidak bisa diterima kesaksiannya dengan ucapan begitu saja. Dalam kesaksiannya itu ia mesti menjelaskan alasan kepewarisan orang tersebut terhadap si mayit.

Adapun rukun warisan disebutkan oleh Dr. Musthafa Al-Khin ada 3 (tiga) yakni:

1) Orang yang mewariskan (al-muwarrits), yakni mayit yang diwarisi oleh orang lain yang berhak mewarisinya.

2) Orang yang mewarisi (al-wârits), yaitu orang yang bertalian dengan mayit dengan salah satu dari beberapa sebab yang menjadikan ia bisa mewarisi.

25Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mahrus Ali, Terjemahan,

(40)

24

3) Harta warisan (al-maurûts), yakni harta warisan yang ditinggalkan

mayit setelah kematiannya.26

E. Sebab-Sebab Pewarisan dalam Islam

Sebelum menguraikan apa yang dimaksud dengan harta warisan ada sebaiknya diutarakan terlebih dahulu apa yang disebut dengan “Harta Peninggalan” atau dalam bahasa Arab disebut dengan tirkah/tarikah.

Maksud dengan harta peninggalan adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia, baik yang berbentuk benda (harta benda) dan hak-hak kebendaan, serta hak-hak yang bukan hak

kebendaan.27

Beberapa harta peninggalan diantaranya dapat diuraikan sebagai berikut:

a) Benda dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan yang termasuk dalam kategori ini adalah benda bergerak, benda tidak bergerak, piutang-piutang.

b) Hak-hak kebendaan yang termasuk dalam kategori ini adalah seperti sumber air minum, irigasi pertanian dan perkebunan, dan lain-lain.

c) Hak-hak yang buka kebendaan yang termasuk dalam kategori hak-hak yang bukan kebendaan ini seperti hak beli yang diutamakan bagi salah seorang anggota syarikat atau hak tetangga atas tanah pekarangan dan lain-lain.

26 Drs.H. Amin Husein Nasution, M.A, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:

Rajawali, 2010). h 58 – 59.

27 Oemarsalim,S.H, Dasar-Dasar Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta,2005),

(41)

Dalam kewarisan Islam, sebab-sebab adanya hak kewarisan ada tiga, yaitu; hubungan kekerabatan, hubungan perkawinan dan hubungan karena sebab al-wala’.

1. Hubungan kekerabatan

Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab memperoleh hak mewarisi yang terkuat, karena kekerabatan termasuk unsure causalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan. Berlainan dengan perkawinan, jika perkawinan telah putus (cerai) maka dapat hilang.

2. Hubungan perkawinan

Hubungan perkawinan yang menyebabkan terjadinya saling mewarisi adalah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya terpenuhi. Dalam hal ini, terpenuhinya rukun dan syarat secara agama.Tentang syarat administrative masih terdapat perbedaan pendapat. Hukum perkawinan di Indonesia, memberikan kelonggaran dalam hal ini.Yang menjadi ukuran sah atau tidaknya perkawinan bukan secara administrasi (hukum positif, Pen.) tetapi ketentuan agama disebagian negara muslim, seperti Pakistan, perkawinan yang tidak dicatat dapat dihukum penjara atau denda atau bahkan kedua-duanya. Di Indonesia hendaknya ini menjadi perhatian, karena perkawinan yang tidak terpenuhinya secara administrative (hukum positif) akan dapat

(42)

26

menimbulkan kemudlaratan, seperti penyangkalan terhadap suatu perkawinan karena tidak adanya bukti tertulis (secara administratif). Berkaitan dengan perkawinan yang menyebabkan saling mewarisi adalah perkawinan yang masih utuh atau dianggap masih utuh.

Yang dimaksud dengan perkawinan yang dianggap masih utuh ialah apabila perkawinan telah diputus dengan thalak raj’i (cerai pertama dan kedua) dan masa iddah raj’i bagi seorang isteri belum selesai. Perkawinan tersebut dianggap masih utuh karena selama masa iddah, suami berhak penuh merujuk isterinya tanpa memerlukan kerelaan isteri, tanpa membayar mas kawin baru dan tanpa menghadirkan dua orang saksi dan wali.Sehingga isteri yang sedang berada dalam masa iddah talak raj’i, apabila suaminya meninggal ia berhak mewarisi harta suaminya. Demikian pula

sebaliknya, suami berhak mewarisi harta isterinya.28

3. Hubungan karena sebab al-wala’

Wala’ dalam pengertian syariat adalah ;

a) Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan (memberi hak emansipasi) budak.

b) Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan

seseorang yang lain.29

Wala’ yang pertama disebut dengan wala’ul ‘ataqah (disebabkan karena adanya sebab telah membebaskan budak) Orang yang membebaskan budak disebut mu’tiq jika laki-laki dan mu’tiqah jika perempuan. Sedangkan wala’ yang kedua disebut dengan walaul-muwalah, yaitu wala’ yang timbul akibat kesediaan seseorang tolong menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian. Misalnya

28Ibid, h 103 – 104.

29KH. Ahmad Ashar Basyir, MA, Hukum Waris Islam, (Surabaya: Edisi Revisi,

(43)

seseorang berkata kepada orang lain; wahai fulan engkau dapat mewarisi hartaku bila aku telah mati dan dapat mengambil diyat (denda) untukku bila aku dilukai seseorang, demikian pula aku dapat mewarisi hartamu dan mengambil diyat karenamu. Kemudian orang lain tersebut menerima perjanjian itu. Pihak pertama disebut al-mawali dan pihak kedua disebut al-mawala. Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya (budak) adalah 1/6 (seperenam) dari harta peninggalan.

F. Penghalang/Penggugur Ahli Waris

Ada bermacam-macam sebab penghalang seorang menerima warisan antara lain:

1. Perbudakan

Seorang budak ialah milik dari tuannya secara mutlak, karena ia tidak berhak untukk memiliki harta, sehingga ia tidak berhak untuk memiliki harta, dan ia tidak bisa menjadi orang yang mewariskan dan tidak akan mewarisi dari siapapun.

2. Karena Pembunuhan

Seseorang yang membunuh ahli warisnya atau seseorang yang membunuh orang lain (dengan cara) yang tidak dibenarkan oleh hukum, maka ia tidak dapat mewarisi harta yang terbunuh itu. Ketentuan ini mengandung kemaslahatan agar orang tidak mengambil jalan pintas untuk mendapat harta warisan dengan membunuh orang yang mewariskan. Pada dasarnya pembunuhan itu ialah merupakan tindak

(44)

28

pidana kejahatan namun dalam beberapa hal tertentu pembunuhan tersebut tidakk di pandang sebagai tindak pidana dan oleh karena itu tidak di pandang sebagai dosa. Untuk lebih mendalami pengertiannya ada baiknya di kategorikan sebagai berikut:

a) Pembunuhan secara hak dan tidak melawan hukum, seperti pembunuhan di medan perang, melaksanakan hukuman mati, dan membela jiwa, harta dan kehormatan.

b) Pembunuhan secara tidak hak dan melawan hukum (tindak pidana kejahatan), seperti: pembunuhan dengaan sengaja dan pembunuhan tidak sengaja. Tentang bentuk-bentuk pembunuhan yang menjadi penghalang untuk mendapatkan warisan ini, tidak ada kesamaan

pendapat, dan pendapat yang berkembang ialah sebagai berikut:30

1) Menurut Imam Syafi’i, bahwa pembunuhan dalaam bentuk apapun menjadikan penghalang bagi si pembunuh untuk mendapatkan warisan.

2) Menurut Imam Maliki, pembunuhan yang menghalangi hak kewarisan hanyalah pembunuhan yang di sengaja.

3) Menurut Imam Hanafi, bahwa pembunuhan yang menghalangi hak kewarisan ialah pembunuhan yang dikenai sangsi qishos, sedangkan pembunuhan yang tidak berlaku padanya qishos (kalaupun disengaja

30Maman Suparman, Hukum Waris Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h –

(45)

seperti yang dilakukan anak-anak atau dalaam keadaan terpaksa

tidak menghalangi kewarisan).31

Terhalangnya sipembunuh untuk mendaptkan hak kewarisan dari yang di bunuhnya, di sebabkan alasan -alasan berikut:

a. Pembunuhan itu memutuskan silaturrahmi yang menjadi sebab adanya kewarisan, dengan terputusnya sebab tersebut maka terputus pula musababnya.

b. Untuk mencegah seseorang mempercepat terjadinya proses pewarisan.

c. Pembunuhan ialah suatu tindak pidana kejahatan yang di dalam istilah agama disebut dengaan perbuatan ma’siat, sedangkan hak kewarisan merupakan nikmat, maka dengan sendirinya ma’siat tidak boleh di pergunakan sebagai suatu jalan untuk mendapatkan nikmat.

3. Karena Berlainan Agama (Ikhtilafu Ad-Din)

Adapun yang dimaksud berlainan agama ialah berbedanya agama yang dianut antara pewaris dan ahli waris, artinya seorang seorang muslim tidakklah mewarisi dariyang bukan muslim, begitu pula sebaliknya seorang yang bukan muslim tidaklah mewarisi dari seorang muslim.

Menurut jumhurul ulama’ fiqih, yang menjadi ukuran dalam penetapan perbedaan agama ialah pada saat meninggal orang yang mewariskan. Apabila meninggal seorang muslim, maka ia terhalang

(46)

30

mendapat warisan walaupun kemudian ia masuk islam sebelum pembagian harta warisan di laksanakan. Apabila pembunuh dapat memutuskan hubungan kekerabatan hingga mencabut hak kewarisan, maka demikian jugalah hanya dengaan perbedaan agama, sebab wilayah hukum islam (khususnya hukum waris) tidak mempunyai daya berlaku bagi orang-orang non muslim.Selain itu hubungan antara kerabat yang berlainan agama dalam kehidupan sehari-hari hanya terbatas dalam pergaulan dan hubungan baik (hubungan kemasyarakatan), dan tidak termasuk dalaam hal pelaksanaan hukum syari’ah (termasuk hukum waris).

Majelis Ulama’ Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H 26-29 juli 2005 M menetapkan fatwa tentang kewarisan beda agama bahwa “Hukum waris islam tidak memberikan hak salaing mewarisi antara orang-orang yan g berbeda agama (antara muslim dengan non muslim). Pemberian harta antara orang yang berbeda agama hanya dapt di

lakukan dalam bentuk hibah, wasiat, dan hadiah.32

4. Karena murtad (riddah)

Murtad artinya bila seseorang pindah agama atau keluar dari agama islam. Di sebabkan tindakan murtadnya itu maka seseorang batal dan kehilangan hak warisnya. Berdasarkan hadits rasul riwayat Abu Bardah, menceritakan bahwa saya telah diutus oleh Rasulullah SAW kepada seorang laki-laki yang kawin dengan istri bapaknya, rasulullah menyuruh

32Dr. Musthafa Al-Khin dalam kitab al-Fiqhul Manhaji, (Damaskus: Darul Qalam,

(47)

supaya dibunuh laki-laki tersebut dan membagi hartanya sebagai harta rampasan karena ia murtad (berpaling dari agama islam).

5. Karena hilang tanpa berita

Karena seseorang hilang tanpa berita tak tentu dimana alamat dan tempat tinggal selama 4 (empat) tahun atau lebih , maka orang tersebut di anggap mati karena hukum (mati hukmy) dengan sendirinya tidak mewarisi dan menyatakan mati tersebut harus dengan putusan hakim.

G. Macam Ahli Waris dan Pembagiannya

Apabila dicermati ahli waris ada dua macam, yaitu:

1) Ahli waris nasabiyah, yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul karena hubungan darah.

2) Ahli waris sababiyah, yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena

suatu sebab tertentu, yaitu:Perkawinan yang sah

(al-mushaharah);Memerdekakan hamba sahaya (al-wala’) atau karena

adanya perjanjian tolong menolong.33

Apabila dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima mereka, ahli waris dapat dibedakan kepada:

1) Ahli waris ashab al-furudh, yaitu ahli waris yang menerima bagian-bagian yang telah ditentukan oleh syariat islam yang dimana besar kecilnya telah ditentukan dalam Qur’an dan Hadist. seperti ½, 1/3, ¼, 1/6, 1/8 atau 2/3. Adapun pembagian ashab al-furudh yaitu:

(48)

32

1. Yang mendapat setengah (1/2), diantaranya: a) Anak perempuan jika dia sendiri.

b) Anak perempuan dari anak laki-laki atau tidak ada anak perempuan.

c) Saudara perempuan seibu sebapak atau sebapak saja, kalau saudara perempuan sebapak seibu tidak ada dan dia seorang saja.

d) Suami bila istri tidak punya anak.

2. Yang mendapat sepertiga (1/3), diantaranya:

a) Ibu, bila tidak ada anak atau cucu (anak dari anak laki-laki ), dan tidak ada pula dua orang saudara.

b) Dua orang saudara atau lebih dari saudara seibu. 3. Yang mendapat seperempat (1/4), diantaranya:

a) Suami, bila istri ada anak atau cucu.

b) Istri, bila suami tidak ada anak dan tidak ada cucu, istri lebih dari satu maka dibagi rata.

4. Yang mendapat seperenam (1/6), diantaranya:

a) Ibu, bila besertaanak dari anak laki-laki atau dua orang saudara atau lebih.

b) Bapak, bila jenazah mempunyai anak atau anak dari laki-laki. c) Nenek yang shahih atau ibunya ibu/ibunya ayah.

(49)

d) Cucu perempuan dari anak laki-laki (seorang atau lebih), bila bersama seorang anak perempuan, bila anak perempuan lebih dari satu maka cucu perempuan tidak mendapat harta warisan.

e) Kakek, bila bersama anak atau cucu dari anak laki-laki dan bapak tidak ada.

f) Suadara perempuan sebapak (seorang atau lebih) bila beserta saudara perempuan seibu sebapak. Bila saudara seibu sebapak lebih dari satu, maka saudara perempuan sebapak tidak mendapat warisan.

5. Yang mendapat seperdelapan (1/8), diantaranya: a) Istri (satu atau lebih) bila ada anak atau lebih. 6. Yang mendapat dua pertiga (2/3), diantaranya:

a) Dua anak perempuan atau lebih, bila tidak ada anak laki-laki. b) Dua anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki bila anak

perempuan tidak.

c) Saudara perempuan sebapak dua orang atau lebih.34

2) Ahli waris ‘ashabah, yaitu ahli waris yang bagian yang diterimanya adalah sisa setelah harta warisan dibagikan kepada ahli waris ashab al-furudl. Contohnya kerabat atau ahli waris si mayit yang berhak mendapatkan sisa harta waris diantaranya anak perempuan satu atau

34 Sutanto L. Tjokro, Ahli Waris Ke-6, (DKI Jakarta: PT. Alam Cipta

(50)

34

lebih bersama anak laki-laki satu atau lebih, saudara perempuan sekandung atau seayah dengan catatan dalam hal ini bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.

3) Ahli waris ddzawi al-arham, yaitu ahli waris yang sesungguhnya memiliki hubungan darah, akan tetapi menurut ketentuan Al-Qur’an tidak berhak menerima warisan.

Apabila dilihat dari jauh dekatnya hubungan kekerabatannya sehingga yang dekat lebih berhak menerima warisan daripada yang jauh, dapat dibedakan:

1) Ahli waris hajib, yaitu ahli waris yang dekat yang dapat menghalangi ahli waris yang jauh, atau karena garis keturunannya yang menyebabkannya dapat menghalangi ahli waris yang jauh. Contohnya saudara anak laki-laki seayah, saudara laki-laki sekandung dan bapak dan anak laki-laki posisi hajib bagi seluruh ahli waris yang ada.

2) Ahli waris mahjub, yaitu ahli waris yang jauh yang terhalang oleh ahli waris dekat hubungan kekerabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan jika yang menghalanginya tidak ada. Contohnya adalah paman kandung atau paman seayah apabila penghalangnya

sudah tidak ada.35

(51)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian kualitatif dengan mengeksploitasi data dilapangan dengan metode analisis deskriptif yang bertujuan memberikan gambaran secara tepat tentang tinjauan hukum Islam terhadap analisis kewarisan di Kelurahan .Empoang Selatan Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto.

Metode penetilian kualitatif adalah metode penelitian yang berdasarkan pada filsafat postpositivisme, digunakan pada obyek kondisi alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebuah instrumen kunci, pengambilan sumber sampel data dilakukan secara snowbaal, teknik pengumpulan data dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.

Metode Analisis Deskriptif menurut Sugiyono, yaitu: Menganalisis data dengan cara menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang

berlaku umum untuk generalisasi.36

36Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,

(Cet, II, Bandung: Alfabet, 2010), h, 15.

(52)

36

B. Lokasi dan Objek Penelitian

Adapun lokasi penelitian ini adalah di Kelurahan Empoang Selatan

Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto. Sedangkan objek penelitiannya

adalah Masyarakat. C. Fokus Penelitian

Adapun yang menjadi fokus penelitian ini yaitu tinjauan hukum Islam terhadap kewarisan pada masyarakat di Kelurahan Empoang Selatan Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto.

D. Deskripsi Fokus Penelitian

Tinjauan hukum Islam terhadap kewarisan pada masyarakat sekitar. Dalam hal ini masyarakat harus mengetahui, memberikan dan melaksanakan serta menerapkan seperti apa pembagian warisan yang seharusnya ditinjau berdasarkan hukum Islam.Hukum Islam melingkupi seluruh kehidupan bagi manusia didunia ini baik mewujudkan kebahagiaan didunia maupun diakhirat, dengan demikian terdapat lima hal yang merupakan syarat bagi kehidupan manusia diantaranya Harta. Untuk itu pendidikan sangat penting apalagi mengenai agama yang baik kepada masyarakat agar tidak terjerumus pada perbuatan-perbuatan negatif yang merugikan diri mereka sendiri dan lingkungan sekitar.

E. Sumber Data

Adapun sumber data dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

(53)

1. Sumber Data Primer

Secara teknis informan adalah orang yang dapat memberikan penjelasan yang kaya warna, detail, dan komprehensif mengenai apa, siapa, dimana, kapan, bagimana, dan mengapa. Dalam penelitian ini yang menjadi informasi kunci (key informan) adalah masyarakat. 2. Sumber Data Sekunder

Sumber Sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen dan sumber data sekunder dalam penelitian adalah dokumentasi di dapatkan dari Data masyarakat”.

F. Instrumen Penelitian

Penelitian menggunakan instrumen penelitian sebagai alat bantu agar kegiatan penelitian berjalan secara sistematis dan terstuktur, dalam pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:

1) Pedoman Observasi

Observasi merupakan alat pengumpul data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki. Hal yang hendak diobservasi haruslah diperhatikan secara detail. Dengan metode observasi ini, bukan hanya hal yang didengar saja yang dapat dijadikan informasi tetapi gerakan-gerakan dan raut wajahpun memengaruhi observasi yang dilakukan.

(54)

38

2) Pedoman Wawancara

Wawancara merupakan proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dimana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan secara mendalam dan detail. Dalam mengambil keterangan tersebut digunakan model Snow-Ball sampling yaitu menentukan jumlah dan sampel tidak semata-mata oleh peneliti. Peneliti bekerjasama dengan informan, menentukan sampel berikutnya yang dianggap penting.

Menurut Frey ibarat bola salju yang menggelinding saja dalam

menentukan subjek penelitian.37Jumlah sampel tidak ada batas minimal

atau maksimal, yang penting telah memadai dan mencapai data jenuh,yaitu tidak ditentukan informasi baru lagi tentang subjek penelitian. 3) Dokumentasi

Dokumentasi merupakan sejumlah fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumen. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, catatan harian, cendramata, foto dan lain memberi ruang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam. Secara detail bahan dokumenter terbagi beberapa macam yaitu autobiografi, surat-surat pribadi, buku catatan harian, memorial, klipping, dokomen pemerintah atau swasta, data

37 Stanton. William J. 2002, Prinsip Pemasaran, terj. Oleh Alexander Sindoro.

(55)

diserver dan flashdisk, data tersimpan di website dan lain-lain. Tehnik ini digunakan untuk mengetahui sejumlah data tertulis yang ada di lapangan yang relevan dengan pembahasan.

G. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa tehnik untuk mengumpulkan data Sebagai berikut :

1. Observasi, yaitu mengamati menggunakan komonikasilangsung dengan suber informasi tentang objek peneliti.

2. Interview, yaitu melakukan wawancara langsung terhadap orang tua adalah objek yang akan diteliti dalam peningkatan mendidik anak. 3. Dokumentasi, yaitu mencatat semua data secara langsung

darireferensi yang membahas tentang objek penelitian. H. Teknik Analisis Data

Penelitian ini merupakan deskriptif dengan menggunakan data kualitatif, lalu dianalisis beberapa metode teknik analisis data yaitu:

1. Metode induktif, yaitu tehnik analisis data dengan bertitik tolak dari suatu data yang bersifat khusus, kemudian dianalisis dan disimpulkan dengan bersifat umum.

2. Metode deduktif, yaitu suatu tehnik analisis data yang bertitik tolak dari data yang bersifat umum kemudian dianalisis dan diambil kesimpulan yang bersifat khusus.

(56)

40

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Kabupaten Jeneponto

a. Luas dan Batas Wilayah Administrasi

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Jeneponto, Kabupaten Jeneponto memiliki wilayah seluas 74.979 ha atau 749,79 km2 dan secara administrasi terbagi menjadi 11 kecamatan. Luas wilayah Kabupaten Jeneponto tersebut hanya kurang lebih 1,20 persen dari luas wilayah administrasi Propinsi Sulawesi Selatan. Terkait luas wilayah Kabupaten Jeneponto, terdapat 4 sumber data yang berbeda.Data BPS Sulawesi Selatan (90.335 ha), Permendagri Nomor 6 tahun 2008 (70.652 ha), dan RTRW Kab.Jeneponto 2012-2013 yang berdasarkan foto citra satelit (79.953 ha) menampilan data yang berbeda. Namun berdasarkan Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 maka yang digunakan adalah luas wilayah yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Jeneponto. Untuk menyeragamkan data luas wilayah tersebut maka kedepannya diperlukan koordinasi yang baik antara Pemerintah Kabupaten Jeneponto dengan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Kementerian Dalam Negeri dan Bakorsurtanal.31 Berdasarkan wilayah administrasi Kabupaten Jeneponto berbatasan dengan sebelah Utara dengan Kabupaten Gowa dan Takalar, sebelah Selatan dengan Laut

Gambar

Tabel 4.1  Luas Wilayah Kecamatan di Kabupaten Jeneponto
Gambar 1. Wawancara dengan Bapak Mustamu dg Nuju
Gambar 3. Wawancara dengan Bapak Hamid dg Mile

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pasar Tunggal dan Basis Produksi Regional Kawasan Berdaya- saing Tinggi Kawasan dengan Pembangunan Ekonomi yang Merata Integrasi dengan Perekonomian Dunia. Komunitas Ekonomi

Berdasarkan hasil analisa pemodelan dengan variasi tata letak dinding geser atau shear wall, dapat ditarik kesimpulan bahwa dinding geser memberikan kontribusi besar terhadap struktur

Sawahlunto adalah kota tambang yang menikmati kejayaan akibat ekploitasi batubara oleh pemerintah kolonial Belanda yang dimulai 1880an.. Tetapi pada awal tahun 1930an hingga

Dari hasil penelitian ini disarankan agar mahasiswa Fakultas Ushuluddin : (1) menggunakan hak pilih dan hak dipilih dengan baik (2) mengikuti kampanye para calon dengan baik (3)

menghitung pajak penghasilan terhutang (final) yaitu DPP dikalikan dengan tarif pajak sebesar 10% 7). menyajikan dalam neraca pada kelompok modal sebesar nilai pengurangan

Rasio keuangan dapat digunakan untuk menjawab setidaknya lima pertanyaan seperti berikut: (1) bagaimana tingkat likuiditas perusahaan; (2) apakah pihak manajemen telah

Obesrvasi dilakukan di arena konser yang berada di Bandung (Gedung Sasana Budaya Ganesha) dan Jakarta (Balai Sarbini dan Jakarta Convention Center). Setelah