• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUMANIORA SUSUNAN PENGELOLA JURNAL HUMANIORA PERIODE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUMANIORA SUSUNAN PENGELOLA JURNAL HUMANIORA PERIODE"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

HUMANIORA

JURNAL FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA

SUSUNAN

PENGELOLA

JURNAL HUMANIORA

PERIODE

2002 -

2003

Ketua Pengarah: Prof . Dr. Sjafri Sairin, M,A.

E

Anggota Pengarah: Prof . Dr. Timbul Haryono, M.Sc., Drs. Teguh Basuki, S.U., Drs. Mudjeri

E

Koordinator Penyunting

Ahli: Prof . Dr. Suhartono

n

Penyunting Pelaksana: Drs. Fadlil Munawwar Manshur,

M.S.

n

Penyunting Ahli: Prof . Dr. Rachmat Djoko Pradopo, Prof . Dr. Kodiran, M.A.,

Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc, Dr. Djuhertati lmam Muhni,

M'A.,

Dr. l. Dewa Putu

Wijana, S.U.,

M.A.,

Prof. Dr. Marsono, S.U.

n

Penyunting Bahasa: Drs' Sudibyo,

M.Hum.,

Drs. F.X.

Nadar,

M.A.

tr

Sekretaris: Dra. Uswatun Hasanah

il

Divisi Pemasaran: C. Purwaningsih Widyastuti

E

Divisi Kesekretariatan: Drs. Wasino Mukti Wijaya, B.Sc., S.E., R.R. Dasi Hermawati

E

Tata Letak: Mutiah Amini, S'S., M.Hum, Baha'uddin, S.S.

Diterbitkan oleh Unit Pengkajian dan Pubfikasi Fakultas llmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

f1

Alamat Redaksi: Fakultas llmu Budaya Universitas

Gadjah Mada Jalan Humaniora 'l , Bulaksumur, Yogyakarta,55281, Telepon (O274)

513096 psw.221, 901 135, Fax. (O2741550451 , E-Mail: fib@ugm.ac'id

HUMANIORA adalah Jurnal llmiah Nasional yang Terakreditasi berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 395/DlKTli Kep/20O0 tanggal 27 November 20OO tentang Hasil

Akreditasi Jurnal llmiah Direktorat Pendidikan Tinggitahun 2OOO.

Jurnal HIJMANIORA mengundang para pakar dan sivitas akademika perguruan tinggi untuk menulis artikel ilmiah yang berkaitan dengan wilayah kajian HIJMANIORA. Naskah yang masuk disunting oleh pbnyiLnting ahli. Penyunting berhak melakukan perubahan/suntingan tanpa mengubah isinya.

(3)

HUMANIORA

JURNAL FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA

Dafta

r

HeddyShriAhimsa-Putra

239 lrwan

Abdullah

265

l.B

Putera

Manuaba

276

\Msma Nugraha Christianto

R

285

ArsantiWulandari

302

Sulis Triyono

Roswita Lumban Tobing

Wening

Sahayu

336

Tri Mastoyo Jati Kesuma Uswatun Hasanah

Isi

Structural Anthropology

in

America

and

France:

A

Comparison Penelitian Berwawasan Gender

dalam llmu Sosial

Novel-Novel Pramoedya Ananta Toer: Refleksi Pendegradasian dan

lnterpretasi Makna Perjuangan Martabat Manusia

Peran dan Fungsi Tokoh Semar-Bagong dalam Pergelaran Lakon Wayang Kulit Gaya Jawa Timuran Gaya Bahasa Perbandingan dalam

Serat Nitipraja

Satuan Lingual PenandaGender

Analisis Kesalahan Sintaksis Bahasa Prancis oleh Pembelajar Berbahasa lndonesia:

Sebuah Studi Kasus

Variasi Fonologis Pemakaian Bahasa Jawa di Pusat Kota dan Daerah Pinggiran B-agian Utara Kabupaten

Grobogan

-Ulasan Buku

Berkenalan dengan Psikolinguistik

Wach datu l-Wuj ud: Bersatu nya Manusia (Maujud) dengan Tuhan (Wujud)

317 327

345 347

(4)

-SATUAN

LINGUAL

PENANDA

GENDEi

Sulis

Triyono*

1"1:,:?#j;

[

il,3,,ijll

['

a,*:]i;

:irT

H

;:

Iffi

#l:l

:*:

:r

m,x;

i

?,1,

j1il3,

iffli!ri#;1.,

0,,","

n,i

o,t.il[

fif.ffi

Ii::

**';ilHiJ,:#',

.,i;";;;:;;:r":ffi[iJJii,.ffffil

put,

xt,ii

f,'u|,,

^"nsacu

pada sender

.nsur-unsur yang._s:c"ra

terorgar,r.ll

maskulin, sedangkan

;lr.-oiin

^Jinr.,

ffl?T,:i,,'il;:l::'v''"no'i];;::'

pada sender

reminin

t",i*""n'=,n,","

adarahfonemr"b.:::t^"I

v"'g;i,.;'.,i;

kedua kata itu semata-m't"

nrni"

ilr"n"

sampai wacana

Sai,satuin

ri,igraiierkell

Perbedaan fonem

at

paia

xaia''iuil

o^n

:erbesar

,",r"n-Jjl's' .rir];";:71'

fonem titoada kata

P;l

;";;;u{rrl

a,n rem i, ik

i r,,

g

J-,,,1::*:*;

1;";ll*

;::?",X?il

Jffi

o"

no.,

t",J"

o,i

Jl,." o,

=1::9''3"0'"0",'i"lrnorluriln'

t'ir,,iiJlf

;;;ffi;,

Jl,,'#gi,"?5::XE:

';;"r',:T

:enanda kara (rensesl,

o.n

"J"

'

;:"i:,;:;l;

lililry.

trrtahnya terbatas, rerdapat pada

fI::9:'

sebagai penanda jenis

rerami9

pasangan kata-kar

gender).

penandr

r,

:q"n

j,,,"n

-t",iiii.il3"'iii#

::i{i-lHi"tr#ffi-

::'';:"

-isalnya,

ditandai dengan

oigunatannyi

dapat berwujuo-morfem, misarnya,

,orr",

saiuan lingual berupa

o"ntur,"p"ri;;;j:

imbuhan: -man. -wi

-"orprirrlil,

'ff"]'"ra

dari

kata

,rij il;;

'-*"r,"

-fri''

-wati' -in, -at

Morrem--gnladi

*

;;;,

;:

;;;;r,,banyak

ruman,;

ratj

g*o;i

;;;,;il"3;i:l#fl-?ff

Hlli;

-mukutmenjadi

me-,ntuxi1-mrir;';;r:i;;i

mengacu pada oen_de,

r"ri.ir.

rri,."i,lr",

raii memukul', dan sebagainya.

#;;i.#

dalam kata-kata

senimar-"ii',i",,,'"il)il"_

rr!u' satuan linguar seoagai

;";;j;;';::

wan-wartawati,

mustimir-i:,uii*ri,""J.n

::lT,

waktu dapat oeirpa

iil:";;-

sebasainya

:_

:#f'ff

frl?,:

.**

:

ji*:i

lli,

::

ri1

r#,13:

-i"

?'ffi i

fiffil:ilil:

T::,I, n";;;::ffi'T"il::'T:i;::,1

satuan

,i,g,;i

p;landa

sender

daram

:ercgrlrng

dipenoaruhi oleh faktor

sosio_

bahasa lndonesia.

npatarr"sai;-J:,

ffinS;:-TIrT:';::'",0,,'

l"",i,li#

rinsua

I

sebasa

i

pen a n da

g",

J",,'",..1,,

a a

n

seperti

;;;;ffi

,

L:l#i'"rT#.::

:il^T::

ff

,"U

fli:il

ahasa sebasai suatu sistem

memiriki

::i[il.fr,.ff.,;S:f

i:llil"[:::il:,J?:

seperangkat subsistem v.ng

,r.i""'

.l,gy,llp,"r.roa

gerioer rnungxin dapat ber_

frl'iiXffi

:'::?il;',?[,T,[*t[il[::,::iil;t:,X:,m]:,:i[i':::,

-

ffiil;[,J;#,,jxil,",fii,J,?i;

35[#xx,€:IJ?,1il,#'^f,::?i?",,i,ilan,

Jurusan

1.

Pengantar #lt/nerbra Volume

W,

No. 3nOO3 317

(5)

Sulis Triyono :: kulin,

semed

etnis

Minarglfl

ini

disebaUral

masyarakat

Ji

laki,

semenfrf,

kabau

dilakrfl

Perbedaan

peil

oleh adanya

f

menurut

t

r[n{

bahasa

istildr{

kaum

laki-{

perlu dipertanyakan. Dengan demikian,

kajian terhadap persoalan

ini

menjadi

menarik untuk diketengahkan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini masalah satuan lingual

sebagai gender dalam bahasa lndonesia

dipilih sebagai topik.

Di atas telah dikemukakan bahwa

satu-an lingual sebagai pensatu-anda gender dalam

bahasa lndonesia cenderung dipengaruhi

oleh faktor-faktor sosiobudaya dan semantis. Walaupun demikian, faktor-faktor

kebahasa-an tidak mustahiljuga berpengaruh terhadap penandaan gender tersebut.

Berkenaan dengan itu, masalah-masa-lah dalam pengkajian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1.

Apakah terdapat satuan-satuan lingual sebagai penanda gender dalam bahasa lndonesia?

2.

Bagaimanakah wujud satuan-satuan li-ngual penanda gender pada bidang fono-logi bahasa lndonesia?

Bagaimanakah wujud satuan-satuan

lin-gual

penanda

gender pada

bidang

rhorfologi bahasa lndonesia?

Bagaimanakah wujud satuan-satuan

lin-gual

penanda

gender pada

bidang leksikal bahasa lndonesia?

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tulisan ini dimaksudkan untuk memperoleh

deskripsi tentang satuan lingual penanda

gender dalam bahasa lndonesia. Secara terinci, deskripsi tentang penandaan gender dalam bahasa lndonesia tersebut meliputi;

(1)

pemerian tentang ada tidaknya satuan-satuan lingual sebagai penanda gender dalam bahasa lndonesia;

(2)

pemerian tentang wujud satuan-satuan

lingual penanda gender pada bidang fonologi bahasa lndonesia;

(3)

pemerian tentang wujud satuan-satuan

lingual penanda gender pada bidang morfologi bahasa lndonesia;

(4)

pemerian tentang wujud satuan-satuan

lingual penanda gender pada bidang leksikal bahasa lndonesia.

Pengkajian tentang penandaan gender ini, diharapkan dapat membuktikan adanya 3r8

satuan lingual sebagai penanda gender dan sekaligus dapat menunjukkan wujud satuan

lingual penanda gender

itu

pada bidang

fonologi,

morfologi,

dan leksikal

dalam

bahasa lndonesia. Apabila masalah tersebut

dapat dibuktikan,

hasil

pengkajian

ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

terhadap bidang ilmu linguistik lndonesia,

dalam rangka mengembangkan

wawasan-nya

terutama masalah

satuan

lingual

penanda gender dalam bahasa lndonesia.

Metode

penelitian yang

digunakan

meliputi tiga hal, yaitu (1) penyediaan data; (2) analisis data; (3) deskripsi hasil analisis. Penyediaan data dilakukan dengan meng-gunakan metode simak dengan teknik catat

(Sudaryanto, 1988: 3) dan intuisi penulis

sebagai penutur

asli

bahasa lndonesia.

Analisis data dilakukan dengan

mengguna-kan teknik analisis komponensial. Pada

akhirnya, dalam mendeskripsikan hasil analisis digunakan teknik informal, yaitu menyajikan hasilanalisis data dalam bentuk uraian

Objek penelitian ini adalah satuan lin-gual sebagai penanda gender dalam bahasa lndonesia. Karena satuan lingual penanda

gender tersebut mungkin berupa fonem, morfem, atau kata, konteks data pengkajian

ini adalah kata-kata yang unsur-unsurnya

mengacu

pada

penandaan

gender

itu. Apabila kata-kata sebagai konteks data

belum memberikan kejelasan terhadap

permasalahan,

baru dilanjutkan

pada

konteks yang lebih lanjut.

Penelitian mengenai

gender

dalam

bahasa lndonesia belum banyak dilakukan

oleh para tipEuis. Hal ini disebabkan oleh adanya kesulitan penentuan satuan lingual penanda gdnder akibat beragamnya faktor

sosiobudaya masyarakat lndonesia yang melatarbelakangi penutur dalam mengguna-kan bahasa tersebut. Satuan lingual sebagai penanda gender, baik bagigender maskulin maupun feminin, dalam bahasa lndonesia ternyata tidak hanya ditentukan oleh satuan

lingual itu sendiri, tetapi juga oleh sosio-budaya yang melatarbelakangi penuturnya.

Misalnya, satuan

lingual

melamar bagi

masyarakat beretnis Jawa bergender

mas-Humaniora Volume XV, No. 3f2003

I

il

il

I

I

il

I

fl fonologi,

moff

Pada tataran - iili

digunakan der. Pada man sebagd wati sebagd pada bidarg bahasa juga

terliH

Brend kaum pria bedaan. kan oleh oleh kaum pria tidak-berbicara kata lain. perbedan kelaminnyra-Lakoff bahwa kaum pria tataran a Pada klausa positif, negatif. Satuan bahasa kah le

unt*

gender

an

untuk masyarak{ menjadi Ie mustahil

(6)

Satuan Lingual Penanda Gender

kulin, sementara bagi masyarakat yang

ber-etnis Minangkabau bergender feminin. Hal

ini disebabkan oleh

tradisi

melamar bagi masyarakat Jawa dilakukan oleh pihak

laki-laki, sementara bagi masyarakat

Minang-kabau dilakukan

oleh

pihak perempuan. Perbedaan pemakaian istilah ini disebabkan

oleh adanya perbedaan etnis. Kecuali itu,

menurut Wijana (1997: 7-8) dalam berbagai bahasa istilah-istilah yang memperlakukan

kaum laki-laki_

dan

kaum

wanita

secara

berbeda-beda. Hal tersebut dapat ditemukan dalam bahasa lndonesia, baik pada tataran fonologi, morfologi, maupun pada kosa kata.

Pada tataran fonologi bunyi /a/ dan /i/ dapat digunakan sebagai indikasi perbedaan

gen-der. Pada tataran morfologi sufiks -uzan dan

-man sebagai pemarkah laki-laki dan sufiks -wafl sebagai pemarkah wanita. Demikian juga pada bidang kosa kata perbedaan perlakuan bahasa terhadap jenis kelamin penuturnya juga terlihat secara jelas.

Brend dalam Wardhaugh (1986: 306) mengemukakan bahwa pola intonasi antara

kaum pria dan wanita

juga

memiliki per-bedaan. Perbedaan pola intonasi

disebab-kan oleh adanya kesantunan yang diucapkan

oleh kaum wanita, sedangkan bagi kaum

pria tidak. Seringkali wanita pada waktu berbicara menyempitkan paringnya. Dengan

kata

lain,

bahasa

akan

memperlakukan

perbedaan bagi pemakainya ditinjau darijenis kelaminnya.

Lakoff selanjutnya

mengemukakan

bahwa perbedaan penggunaan bahasa oleh

kaum pria dan wanita terjadijuga pada aspek

semantiknya. Hal itu dicontohkan dengan tataran klausa bahasa lnggris seperti (1) He's

a professionaldan (2) She's

a

professional. Pada klausa (1) memiliki makna semantik positif, sedangkan pada klausa (2) bermakna negatif.

Satuan lingual penanda gender dalam bahasa Prancis pun ditandai adanya pemar-kah /e untuk gender maskulin dan la untuk genderfeminin. Namun demikian,

pemarkah-an untuk posisi ypemarkah-ang terppemarkah-andpemarkah-ang dalam masyarakat seperti profesor dan dokter akan menjadi

le

professor dan /e docteur.'fidak

mustahil akan tercipta kalimat yang agak

Humaniora Volume XV, No. 3,12003

aneh (Farb dalam Soenjono, 2002: 219). Di

samping itu, dalam bahasa lndonesia juga

tidak dikenal

pemarkah-pemarkah yang

dapat digunakan sebagai penanda gender. Walaupun demikian, Budiman telah mencoba mengkaji penentuan gender ini seperti yang

tertuang dalam tulisannya berjudul "Sub-ordinasi Perempuan dalam Bahasa

lndone-sia" yang dimuat dalam buku Crtra Wanita dan Kekuasaan Jawa (Budiman, dkk., 1992).

Dari tulisan tersebut tampak bahwa kajian mengenai gender masih terbatas pada aspek

sosiobudayanya,

belum pada

aspek

kebahasaannya.

Demikian juga penelitian yang dilakukan

Wijana, dalam tulisannya yang

dipublikasi-kan oleh Balai Penelitian Bahasa dengan

judul Linguistik,

Sosiolinguistik,

dan Pragmatik, membicarakan tentang hal-hal

yang terkait dengan bahasa dan gender. Pada tulisan tersebut disajikan dengan jelas

bahwa bentuk bahasa atau istilah-istilah

yang diskriminatif memperlakukan kaum laki-laki dan kaum wanita sebagai pencerminan kuatnya pengaruh bahasa terhadap budaya

atau kebiasaan masyarakat penuturnya. la

juga mengatakan bahwa di dalam berbagai bahasa istilah-istilah yang memperlakukan kaum laki-laki dan wanita secara berbeda-beda pula. Hal itu tidak begitu sulit ditemui,

baik pada tataran fonologi, morfem, dan kata.

Pada tulisan ini, pembahasan satuan

lingual penanda gender

miliputi

tataran

fonologi, morfologi baik yang bersifat

mono-morfemis maupun polimono-morfemis.

Hal

ini didasarkan pada penggolongan kata Ramlan (1991: 57) yang menyebutnya sebagai peng-golongan kata secara formal. Lebih lanjut

Ramlan mdrlgemukakan bahwa bahasa

terdiri atas dua lapisan, yaitu lapisan bentuk

alau form

din

lapisan arti atau meaning.

Lapisan bentuk

terdiri

dua tataran, yaitu tataran bunyi bahasa dan tataran morfem,

kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana.

Tataran

bunyi

bahasa

termasuk

bidang

fonologi, tataran morfem, kata, frase, klausa, kalimat, serta wacana bidang tata bahasa

atau

gramatika, sedangkan

tataran

arti

termasuk bidang semantik. Ramlan meng+

mukakan bahwa kata formal berarti bentuk 319

(7)

Sulis Triyono atau ujud. Jadi istilah secara formal berarti

berdasarkan bentuk, yaitu bentuk bahasa. Bertitik tolak pada kajian pustaka

seba-gaimana terurai

di

atas, dapat dikatakan

bahwa bahasa merupakan

suatu

sistem yang di dalamnya tidak tertutup

kemungkin-an terdapat

unsur-unsur

satuan

lingual penanda

gender yang berbeda

secara

signifikan. Satuan lingual penanda gender ini

mungkin terdapat pada tataran fonologi,

morfologi, sintaksis, dan leksikal. Sebagai contoh dalam bahasa Jerman satuan lingual yang mengacu pada gender selalu ditandai oleh adanya artikel

def

dle, dan das. Artikel der berfungsi sebagai pemarkah satuan lin-gualyang bergender maskulin, die pemarkah gender feminin, dan das pemarkah gender

netral. Satuan lingual

penanda gender

bahasa

Prancis

pun

ditandai

dengan

pemarkah /e untuk gender maskulin dan ta

untuk gender feminin.

Phillips (dalam Budiman, 1992: 73) me-ngatakan bahwa salah satu aspek hubungan

sosial yang penting

di

dalam masyarakat

adalah adanya pembagian peran berdasarkan

jenis kelamin. Jika bahasa merupakan sepe-rangkat konvensi yang mampu

merefleksi-kan hubungan sosial, diferensiasi gender tersebut akan tercerminkan juga di dalamnya. Hal ini dapat terjadi karena bahasa memuat istilah-istilah, konsep-konsep, ataupun

label-label yang menandai tingkah laku mana

yang pantas bagi taki-taki dan mana yang pantas bagi perempuan.

2.

Pembahasan

Satuan-satuan lingual dalam bahasa lndonesia berdasarkan data yang dianalisis temyata mencakup beberapa tataran. Tataran

yang dimaksud meliputi tataran fonologis,

morfologis, dan teksikat. Berikut disajikan penjelasannya.

a.

Tataran Fonologi

Satuan-satuan lingual penanda gender yangterdapat pada tataran fonologi, misalnya

fonem

lal

dan /i/. Fonem /a/ untuk menandai

gender maskulin dan fonem

/i/

untuk me_

nardai gender feminin. Contoh fonem /a/ sebagai penanda gender maskulin terlihat 320

pada kata putra, saudara, dan pemuda.

Sementara itu, fonem

/i/

sebagai penanda

gender feminin

terlihat

pada

kala

putri,

saudari, pemudi, mahasiswi, derazl, dan sisuz.

Kata putra, saudara, dan pemuda

dilen-tukan sebagai kata yang mengacu kepada

gender maskulin sesuai dengan tidak

ber-terimanya konstruksi

berikut

sebagai

konstruksi perluasan dari konstruksi ketiga kata tadi (Sudaryanto: 1993: 55-63).

(1)

Putra itu mengenakan gaun dari

sutra.

(2)

Saudara

itu

bertipstik tebat.

(3)

Pemuda

itu

berias

sehingga kelihatan cantik.

Ketidakberterimaan konstruksi

perluas-an

pada data nomor

(1),

bersebab pada

ketidakkolokatifan penautan komponen semantik

putra

yang

berciri

+komponen

maskulin yang ditautkan dengan komponen semantik mengenakan gaun dari sutra yang

berciri

+komponen

feminin.

Ketidakber-terimaan konstruksi perluasan

data

(2) bersebab pada ketidakkolokatifan penautan komponen semantik saudara yang berciri +komponen maskulin yang ditautkan dengan

komponen

berlipstik

tebal

yang

berciri +komponen feminin. Ketidakberterimaan

konstruksi perluasan data (3) bersebab pada

ketidakkolokatifan penautan komponen

semantik pemuda yang berciri +komponen maskulin yang ditautkan dengan komponen

beias sehingga kelihatan cantik yang berciri +komponen feminin.

Kala puti, saudai, dan pemudiditentu-kan sebagai kata yang mengacu ke gender

feminin sesuai dengan tidak berterimanya

konstruksi

berikut sebagai

konstruksi perluasan dari-.konstruksi ketiga kata tadi (Sudaryanto: 1993: 55-63).

(4)

Putri

itu

berkumis tebat.

(5)

Saudari itu kelihatan tampan.

(6)

Pemudi itu berbadan kekar. Ketidakberterimaan konstruksi

perluas-an pada data nomor (4), bersebab pada

ketidakkolokatifan penautan komponen semantik

putri

yang

berciri

+komponen feminin yang ditautkan dengan komponen

Humaniora Volume XV, No. 3nOO3

i

I

I

I

semantik Oert

+komponen

l{

konstruksi pertr sebab pada

U

komponen

sel

+komponen

Ei

komponen

hfl

+komponen

m

konstruksi

pett

sebab pada

hd

komponen

seq;

+komponenmql komponen

@

+komponen

Gd

Pemdrdlfi

pembeda genilq bersifat

tid*

m

diperoleh

frrgru

gender hanya

fl

berikut:de{adfi

mahasiswi,

lqf

mugari, dan bentuk yarg pengkajian fonem

/i/

sebagai fonologi,

{

"t

i

I

* ,l

!

dapat

dijadffi

melaluiforunQ

fonem terseh(&l gendemya-

H{

berikut:

kep4{

bahasa

lndonc{

'kepali,

*etrifl

i

i

{

{ { { f, * l * I gender kepala, gender

ket

a" fonem nl

@

dengan

beflt*

leksikon dan feminin-bentuk yang sebab pada komponen

u*

menunjukkan

hJ

penambahan

lot

gender

mastd

penambatran

ftrC

kepada

gendcrtr

Humanion

ttr[il

(8)

Satuan Lingual Penanda Gender

semantik

berkumis

tebal

yang

berciri

+komponen maskulin. Ketidakberterimaan

konstruksi perluasan data nomor (5)

ber-sebab pada ketidakkolokatifan penautan

komponen semantik saudari yang berciri +komponen feminin yang ditautkan dengan

komponen kelihatan tampan yang berciri +komponen maskulin. Ketidakberterimaan

konstruksi perluasan data nomor (6)

ber-sebab pada ketidakkolokatifan penautan

komponen semantik pemudi yang berciri +komponen maskulin yang ditautkan dengan

komponen berbadan

kekar

yang berciri

+komponen feminin.

Pemakaian fonem

lal

dan

/i/

sebagai pembeda gender dalam bahasa lndonesia bersifat tidak produktif. Berdasar data yang diperoleh fungsi /ai dan lilsebagai pembeda gender hanya terdapat pada pasangan kata berikut: dewa-dewi, siswa-siswi,

mahasiswa-mahasiswi, muda-mudi,

pramugara-pra-mugari, dan bidadara-bidadari, di samping bentuk yang sudah dibahas di atas.

Permasalahan yang muncul setelah pengkajian dilakukan, ternyata fonem lat dan

fonem

/i/

tidak dapat

digeneralisasikan sebagai penanda

gender pada

tataran

fonologi, karena keterbatasan leksikon yang

dapat di.iadikan sebagai penanda gender melaluifonem lal dan /i/. Penggunaan kedua fonem tersebut, tidak selalu membedakan gendernya. Hal itu dicontohkan'pada kata berikut: kepala, ketua, dan perwira. Dalam

bahasa lndonesia, tidak terdapat leksikon 'kepali, "ketui, dan *penriri sebagai penanda

gender

feminin. Secara

semantis, kata

kepala, ketua, dan perwira telah mewakili

gender maskulin dan feminin, sedangkan

fonem

lil

pada mucikari tidak berpasangan dengan bentuk *mucikara. Dengan kata lain,

leksikon mucikari mewakili gender maskulin dan feminin. Ketidakberterimaan konstruksi

bentuk yang berasterik sebelumnya,

ber-sebab pada ketidakkolokatifan penautan

komponen semantiknya.

Hal

tersebut menunjukkan bahwa tidak semua bentuk penambahan fonem

/a/

mengacu kepada

gender

maskulin. Begitu

juga

bentuk

penambahan fonem /i/ tidak selalu mengacu kepada gender feminin.

Humaniora Volume XV, No. 32003

b.

Tataran Morfologi

Satuan-satuan lingual penanda gender yang terdapat pada tataran morfologi dirinci

ke dalam dua kelompok,

yaitu

kelompok

yang bersifat monomorfemis dan

polimor-femis. Pada kelompok yang bersifat

mono-morfemis, komponen semantik +maskulin atau +feminim memang sudah menjadi kom-ponen dasar morfem termaksud. Sebaliknya, pada kelompok yang berwujud polimorfemis, komponen +maskulin atau +feminim baru

termiliki

sesudah memperoleh imbuhan

morfem tertentu. Berikut disajikan uraian

tiap-tiap klasifikasi tersebut.

1)

Kelompok

Bersifat

Monomorfemis

Seperti telah disinggung sebelumnya, satuan lingual penanda gender yang berupa

bentuk monomorfemis

sudah

memiliki

komponen maskulin atau feminin sebagai ciri

semantiknya.

Dengan

kata lain,

ciri +maskulin

atau +feminin bukan

karena proses gramatika tertentu. Komponen itu

secara substansial bersifat inheren. Jadi, bersifat leksikal.

Kata yang berimplikasi gender tertentu yang bersifat monomorfemis, demi

kepraktis-an

pembahasan, selanjutnya diistitahkan

dengan leksikal. Leksikal-leksikal penanda

gender dalam bahasa lndonesia

yang tergolong polimorfemis terlihat pada kata-kata berikut. Bentuk tampan, gagah, perkasa sebagai monomorfemis pengimplikasi gen-der maskulin. Bentuk cantik, anggun, gemu-/ai sebagai pengimplikasi gender feminim.

Bahwa kelompok-kelompok

kata

itu masing-masing mengimplikasi gender ter-tentu terlihat pada kemungkinan

perluasan-nya. Kata pengimplikasi gender maskulin

mungkin dipQrluas dengan diatributi oteh satuan lingual lain yang berkomponen +

mas-kulin

seperti

terlihat

pada

konstruksi

perluasan berikut.

(7)

Wajahnya tampan sekati.

(8)

Dia memang lelaki perkasa.

(9)

Badannya kekar sekali.

Bahwa kelompok-kelompok kala cantik,

anggun, gemulai masing-masing

meng-implikasi gender

feminim tertihat

pada 32t

(9)

Sulis Triyono kemungkinan perluasannya. Kata

pengimpli-kasi gender feminim berkemungkinan

diper-luas dengan diatributi oleh satuan lingual lain yang berkomponen +feminim seperti terlihat pada konstruksi perluasan berikut.

(10)

Dia menjadi orang tercantik

di desanya.

(11) Penampilannya selalu anggun. (12) Tingkah

lakunya

setalu lemah

gemulai.

Selain

bentuk-bentuk

yang

tetah

dibahas, satuan lingual penanda gender yang tergolong monomorfemis setidaknya terlihat

pada

bentuk-bentuk

berikut:

pelacur,

perawan, ibu, nenek, janda.

Khusus pada bentuk pelacur dan

pera-vyan, satuan-satuan lingual tersebut tetap

digolongkan sebagai satuan yang berupa

monomorfemis. Penentuan

ini

didasarkan pada tidak adanya bentuk *berlacur,

*ber-awan.

Permasalahan

yang

muncul adalah bentuk

perawan

dan

cantik tidak

selalu

digeneralisasikan sebagai penanda gender

feminin pada

tataran

morfemis. Dengan menggunakan teknik ganti, kata perawan pada kalimal Hutan

itu

masih perawan dan

kala cantik pada kalimat Bunga itu cantik sekali, tidak menunjukkan adanya gender feminin. Kala perawan dan cantikpada kedua kalimat tersebut, telah mengalami perluasan makna. Kala percwan pada kalimat Dia masih

perawan, memiliki makna bahwa gadis itu belum ternodai, sedangkan, Hutan itu masih perawan, memiliki makna hutan lebat yang belum terjamah manusia. Kala cantik pada Wajahnya cantik sekali, memitiki makna dra

perempuan memiliki

wajah

yang cantik,

sedangkan kalimat Bunga itu cantik sekali, tidak mengacu pada gender feminin. Setelah melalui teknik ganti, ternyata pada tataran

monomorfemis

tidak

selalu menunjukkan gender tertentu. Hal itu sangat bergantung pada konteks semantisnya.

2l

Kelompok

Bersifat

Pollmorfemis Tergolong

ke

dalam satuan

lingual

penanda gendertertentu yang berupa satuan

322

polimorfemis

terlihat

pada

kata

berikut:

me mpe rkosa, me nod ai, me ngh am i I i.

Satuan-satuan itu merupakan satuan penanda der maskulin. Adapun sebagai penanda

gen-der feminim terlihat pada kata menyusui,

melahirkan, bersolek.

Kelompok satuan memperkosa, me-nodai, menghamlr ditentukan sebagai

penan-da gender maskulin sesuai dengan keber-terimaannya untuk diperluas dengan satuan

lain yang

juga

berkomponen +maskulin.

Konstruksi perluasan itu dapat dilihat pada konstruksi berikut.

(13) Lelaki itu dihukum karena diketahui

mem perkosa tetangga ny a.

(14) Dia menodaigadis di bawah umur.

(15) Siapa pun tahu bahwa lelaki itutah

yang

telah

menghamili

wanita

malang itu.

Kelompok satuan menyusui,

melahir-kan, bersolek ditentukan sebagai penanda gender feminim sesuai dengan

keberterima-annya untuk diperluas dengan satuan lain

yang juga berkomponen +feminin. Konstruksi perluasan itu dapat dilihat pada konstruksi berikut.

(16) Perempuan tua itu menyusuianak-nya meskipun ia sendiri kelaparan. (17) Dia melahirkan anaknya yang

ke-tiga.

(18) Gadis itu dikenal suka bersolek. Satuan lingual penanda gender

kelom-pok

polimorfemis

dibedakan

dari

yang

monomorfernis berdasarkan sifat

keimplisit-an komponen jenis gender. Maksud istilah

implisit adaldh komponen gender tertentu

yang secara"substansial memang sudah dimiliki oleh satuan lingual dimaksud. Bahwa kelompok bentuk menyusui, melahirkan, dan

me nodai dilentukan tidak memiliki komponen gender tertentu pada bentuk dasarnya. Hal

ini terbukti dengan keberterimaan

satuan-satuan lingual tersebut ditautkan dengan satuan lingual lain, baik berkomponen

gen-der maskulin maupun feminin.

Humaniora Volume XV, No. 32003

(1e) (20) (21)

eerdadil

der yang morfem

itr

akhiran,

drr

dengan i setelah tertenfu-selalu mendapd bahan bergender gender ke gender mengaor

h

MorEn imbuhan sebagai kata dan

lamar,

dai_

sebagai

k&

dertertefltr' data

berikf

(22) (2s) (24) Jika maskulin,

sedd

Humankxa

tfrd

84c

(Ef,

il

,qnd

Ba',tq

*{

I

a) melamar

(10)

(1e) Bayi laki-laki kecit itu

Upik itu

Anak taki-laki itu

Bayi perempuan itu

Noda

I

di gaun

I

dijas

Satuan Lingual Penanda Gender

sudah tidak minum susu se7'ak beberapa hari yang lalu. lahir di tengah gejolak reformasi

susah dibersihkan dengan sabun jenis apa pun.

ea)

(21)

Berdasar kategori morfem penanda

gen-der yang bersifat polimorfemis, morfem-morfem itu dapat dipilah menjadi awalan, akhiran, dan gabungan imbuhan.

Permasalahan yang muncul berkaitan dengan imbuhan yang membentuk gender

setelah bergabung pada morfem-morfem

tertentu. Kala hamil memiliki makna yang selalu mengacu ke gender feminin. Setelah mendapat gabungan imbuhan atau

penam-bahan

afiks fmeN-i]

pada morfem yang bergender feminin tersebut, berubah menjadi gender maskulin. Misalnya, hamil mengacu

ke

gender

feminin

menjadi menghamili

mengacu ke gender maskulin.

a)

Morfem Awalan

Morfem awalan yang tergolong sebagai

imbuhan penanda gender, terdapat pada morfem-morfem meng-, ber-. Awalan meng-sebagai penanda gender terlihat pada

kata-kala melamar, memperkosa, mengompas,

dan sebagainya. Kata memperkosa,

me-lamar,

dan mengompas

dikategorikan

sebagai kata yang sudah mengacu ke gen-dertertentu, dalam hal ini maskulin, misalnya data berikut ini.

(22) Orang

itu

metamar anak Kepata Desa.

(23)

Mereka memperkosa

anak di

bawah umur.

(24) Preman Tanah Abang mengompas

pedagang kaki lima.

Jika dilihat

secara

saksama

kata

melamarpada data (22) berbeda dengan kata melamar pada kalimat Orang itu metamar

pekerjaan. Dala (22) menunjukkan bahwa

kata

melamar mengacu

pada

gender maskulin, sedangkan kata melamar pada

Humaniora Volume

W,

No.

fl003

kalimat

Orang

itu

melamar

pekerjaan

mengacu baik ke gender feminin maupun maskulin. Perbedaan ini tidak terjadi pada data (23) dan (24).

Morfem awalan ber- sebagai penanda

gender terlihat pada

kata-kala

bersolek,

berdandan, bergincu, dan sebagainya. Kata bersolek, berdandan, bergincu dikategorikan sebagai kata yang sudah mengacu ke

gen-der feminin, seperti terlihat pada data berikut. (25) Dia bersolek di depan cermin. (26) Mercka berdandan sebelum pergi

ke

pesta.

(27) Orang itu bergincu tebat.

Dengan demikian, morfem awalan ber- pada ketiga contoh di atas menunjukkan adanya

unsur

keberterimaan

konstruksi

yang

memiliki makna mengacu ke gender feminin.

Pada kalimat (28), (29), dan (30) di

bawah ini, morfem awalan ber- tidak lagi termasuk kalimat yang berterima. Hal ini disebabkan oleh adanya ketidakberterimaan konstruksi sebagai akibat adanya perluasan dari konstruksi katimat (2S), (26), dan (27),

yaitu sebagai berikut.

(28) Pemuda

itu

bersolek

di

depan cermih-'

(29) Laki:lq(f

itu

berdandan sebelum pergi

ke

pesta.

(30) Pria itu'bergincu tebat.

Ketidakberterimaan konstruksi

perluas-an pada data (28), (29), dan (30) bersebab pada ketidakkolokatifan penautan komponen semantik pemuda yang berciri +komponen maskulin yang ditautkan dengan komporren semantik bercolek yang berciri +komporpn

feminin. Demikian

juga,

pada komponen

semantik laki-laki

ffu

dengan komponen

till

::! i+ ++ i: tr; ,!s f;

*

fi

I

fi

{

{

il

$ iltr f, fi Q,i 1

(11)

(1e)

(20)

(21)

Bayi laki-laki kecil itu

Upik itu

Anak taki-taki itu

Bayi perempuan itu

Noda

I

di gaun

I

dijas

Satuan Lingual Penanda Gender

sudah tidak minum susu se7'ak beberapa

hai

yarry lafu.

lahir

di

tengah gejotak reformasi

susah dlbersihkan dengan sabun jenis apa pun.

Berdasar kategori morfem penanda

gen-der yang bersifat polimorfemis, morfem-morfem itu dapat dipilah menjadi awalan, akhiran, dan gabungan imbuhan.

Permasalahan yang muncul berkaitan dengan imbuhan yang membentuk gender

setelah bergabung pada morfem-morfem

tertentu. Kala hamil memiliki makna yang selalu mengacu ke gender feminin. Setelah mendapat gabungan imbuhan atau

penam-bahan

afiks

{meN-i} pada morfem yang bergender feminin tersebut, berubah menjadi gender maskulin. Misalnya, haml mengacu

ke

gender

feminin

menjadi menghamiti

mengacu ke gender maskulin.

a)

Morfem Awalan

Morfem awalan yang tergolong sebagai

imbuhan penanda gender, terdapat pada morfem-morfem meng-, ber-. Awalan meng-sebagai penanda gender terlihat pada

kata-kala melamar, memperkosa, mengompas,

dan sebagainya. Kata memperkosa,

me-lamar,

dan mengompas

dikategorikan

sebagai kata yang sudah mengacu ke

gen-der tertentu, dalam hal ini maskulin, misalnya data berikut ini.

(22) Orang

itu

melamar anak Kepala Desa.

(23)

Mereka

memperkosa

anak

di

bawah umur.

(24) Preman Tanah Abang mengompas

pedagang kaki lima.

Jika dilihat

secara

saksama

kata

mel amar pada data (22) berbeda dengan kata melamar pada kalimal Orang itu melamar

pekerjaan. Data (22) menunjukkan bahwa

kata

melamar mengacu

pada

gender maskulin, sedangkan kala melamar pada

Humanbra Volume

W,

No.3D003

kalimat

Orang

itu

melamar

pekerjaan

mengacu baik ke gender feminin maupun maskulin. Perbedaan ini tidak terjadi pada data (23) dan (24).

Morfem awalan ber- sebagai penanda

gender terlihat pada

kata-kata

bersolek,

berdandan, bergincu, dan sebagainya. Kata bersolek, berdandan, bergincu dikategorikan sebagai kata yang sudah mengacu ke

gen-der feminin, seperti terlihat pada data berikut. (25) Dia bersotek di depan cermin. (26) Mereka berdandan sebetum pergi

ke

pesta.

(27) Orang itu bergincu tebal.

Dengan demikian, morfem awalan ber- pada ketiga contoh di atas menunjukkan adanya

unsur

keberterimaan

konstruksi

yang

memiliki makna mengacu ke gender feminin.

Pada kalimat (28), (29), dan (30) di

bawah ini, morfem awalan ber- tidak lagi

termasuk kalimat yang berterima. Hal ini disebabkan oleh adanya ketidakberterimaan konstruksi sebagai akibat adanya perluasan dari konstruksi kalimat (25), (26), dan (27),

yaitu sebagai berikut.

(28) Pemuda

itu

bersotek

di

depan

cermin.,

(29) Laki-laki

itu

berdandan sebetum pergi ke pesta.

(30) Pria itu"bergincu tebat.

Ketidakberterimaan konstruksi

perluas-an pada data (28), (29), dan (30) bersebab pada ketidakkolokatifan penautan komponen semantik pemuda yang berciri +komponen maskulin yang ditautkan dengan komponen semantik bersolek yang berciri

+konporgr

feminin. Demikian

juga,

pada komponen semantik laki-laki

ifu

dengan komponen

(12)

Sulis Triyono

semantik berdandan sebelum pergike pesta,

dan pada komponen semantik pr,'a ltu dengan komponen semantik bergincu tebal.

b)

Morfem Akhiran

Morfem akhiran yang tergolong sebagai

imbuhan penanda gender, terdapat pada morfem-morfem imbuhan akhiran -man, -wan,

-wati, -in, -at. Morfem-morfem: -man, -wan,

dan

-in

mengacu pada gender maskulin, sedangkan morfem -wati dan -af mengacu pada gender feminin. Pengimbuhan morfem -man, -wan, dan -ln sebagai penanda gender maskufin setidaknya terlihat pada wartawan,

muslimin, dan mukminin. Pengimbuhan

morfem -wati, dan -at sebagai penanda

gen-der feminin setidaknya terlihat pada seniwati, wartawati, muslimat, mukminat.

Perbedaan

jenis

gender pada

dua

kelompok kata tadi bersebab pada diguna-kannya akhiran yang berbeda pada masing-masingnya. Akhiran -man pada kata

senr-man, -wan pada wartawan,

dan

-in pada muslimin menandai komponen semantik

+maskulin pada bentuk dasar seni, wafta dan muslim yang semula bersifat netral darijenis

gender tertentu. Akhiran -wati padawartawati, dan -af pada muslimat menandai komponen semantik +feminin pada bentuk dasar warta dan muslim yang semula bersifat netral dari jenis gender tertentu.

Bentuk-bentuk

lain

yang

beranalogi dapat

dilihat pada

pasangan-pasangan

berikut: dermawan-dermawati,

olahragawan-ol a h ra g aw at i, b i a raw a n - b i a raw ati, s u ka re I

a-wa n -su ka rel awati. Dapal di perhatikan dalam

kasus

ini, tidak

semua bentuk imbuhan seperti telah disebutkan selalu menandai gender tertentu. Hal itu terbukti pada makna akhiran -w a n dalam kata-kata seperti bu day

a-wan, cendekiaa-wan, ilmuwan, wisatawan,

pahlawan, dan negarawan

yang

tidak mengimplikasikan gender tertentu sesuai dengan tidak adanya bentuk 'budayawati,

'cendekiawati,'ilmuwati,'wisatawati,'pahla-wati, dan 'negarawati. Secara sintaktik,

kenetralan bentuk seperti yang telah

disebut-kan terbukti dengan berterimanya konstruksi budayawan pria maupun budayawan wanita,

cendekiawan

pria

maupun cendekiawan

324

wanita, ilmuwan

pia

maupun ilmuwan wanita, wisatawan prla maupun wisatawan wanita, pahlawan

pia

maupun pahlawan wanita, dan negarawan pna maupun negarawan wanita.

Permasalahan yang muncul dari

peng-gunaan pasangan sufiks -wan dan -wati, ternyata tidak selalu berlaku untuk kata-kata tertentu yang dilekatinya sebagai penanda gender. Kata pahlawan tidak berpasangan dengan .pahlawati, negarawan-'negarawati, sehingga untuk menunjuk ke gender feminin

kata-kata tersebut harus diberi pemarkah yang menunjukkan kegenderan dengan kata

wanita

di

belakang kata yang dilekatinya

menjadi pahlawan wanita.

c)

Gabungan lmbuhan

Morfem gabungan imbuhan yang

ter-golong sebagai imbuhan penanda gender,

terdapat pada morfem-morfem imbuhan

mem pe r-, me ng-/- ka n, dan me ng-/- i mengacu

pada gender maskulin. Pengimbuhan morfem gabungan memper-, meng-/-kan, dan meng-/-isebagai penanda gender maskulin, setidak-nya, terlihat pada memperistri, menyetubuhi, menceraikan. Bahwa bentuk-bentuk

mem-peristri, menyetubuhi, menceraikan

meng-implikasikan gender maskulin

terbukti

dengan

tidak

berterimanya

konstruksi

perluasan berikut.

(31) Memperistri jejaka muda. (32) Menyetubuhi teman pianya.

(33)

Perempuan

itu

menceraikan

suaminya.

Bentuk penambahan afiks gabungan memper-, meng-/-kan, dan meng-/-l

dikata-kan sebagai.pembentuk gender maskulin.

Permasalahan yang muncul adalah

apakah gab'rtngan afiks meng-/-l itu menjadi pananda gender maskulin? Berikut

ditunjuk-kan data yang bersifat netral oleh adanya

penambahan

afiks

meng-/-i

tersebut,

misalnya kala kepala menjadi mengepalai, tangan - menanganipada data berikut.

(34)Orang

itu

mengdpatai

sebuah

perusahaan.

(35) Hakim telah menangani persoalan

secara prcporsional.

Humaniora Volume XV, No. 3f2003

Data@a){

ke

gendertertu(

gender

mashff

kala cabul -

Ed

tetap mengan

f,

.{

3.

Penutup Dalam

bail

satuan-satuan

ft

gender

tertentl

I satuan lingual

tl{

morfologis.

Td

prosedural.

d{

monomorfenf,sd :: gual penanda

gl

morfemis tidak lingual polimorfernls yang Dengan kata yang secara komponen komponen penanda sifat karena

adam

Dengank&

terdapat imbuhannya-Kaiiart gender

d&n

dapat merinci satuan li,ngud, adjektiva,

pembahan

sintaktik.

Hd

perbedaan bentuk secara konstituen

d

pasti

men:d

bentuk implikasikrr terkajijr.sfin Humaniqa

(13)

Satuan Lingual Penanda Gender ;j

s,.l

#

fi

H

Data (34) dan (35) tersebuttidak merujuk

ke gender tertentu, tetapi bersifat netral, bisa gender maskulin atau feminin. Namun, pada kala cabul - mencabuli, dan jahil - menjahiti tetap mengacu ke gender maskulin.

3.

Penutup

Dalam bahasa lndonesia

terdapat

satuan-satuan lingual yang menandai jenis gender tertentu. Secara hierarkis

satuan-satuan lingual itu dapat bersifat fonologis dan

morfologis.

Tataran morfologis,

secara

prosedural, dapat dipilah menjadi bersifat monomorfemis dan polimorfemis. Satuan

lin-gual penanda gender yang bersifat mono-morfemis mengacu pada bentuk-bentuk yang tidak memperoleh imbuhan apa pun. Satuan

lingual

penanda gender

yang

bersifat

polimorfemis mengacu pada bentuk-bentuk yang mengalami proses morfologi tertentu.

Dengan kata

lain,

pada penanda gender

yang monomorfemis,

sifat

kegenderan,

secara substansial, memang telah memuat komponen gendertertentu sebagai salah satu komponen semantiknya. Sebaliknya, pada penanda gender yang bersifat polimorfemis,

sifat kegenderan itu muncul atau termiliki

karena adanya proses morfologi tertentu.

Dengan kata lain, makna kegenderan itu lebih

terdapat pada proses

atau

morfem

imbuhannya.

Kajian terhadap satuan lingual penanda gender dalam bahasa lndonesia ini masih dapat dikembangkan. Pembahasan dengan

merinci permasalahan berdasar kategori satuan lingual, misalnya nomina, verba, dan

adjektiva, belum disertakan. Selebihnya, pembahasan juga belum mengkaji

perma-salahan-permasalahan hingga ke tataran

sintaktik. Hal

ini

sesuai dengan adanya perbedaan perilaku sintaktik seperti pada bentuk hamildan menghamili. Bentuk hamll,

secara sintaktik mengimplikasikan bahwa konstituen di kiri bentuk terkaji, yailu hamil

pasti memiliki gender feminin. Sebatiknya, bentuk menghamili, secara sintaktik meng-implikasikan bahwa konstituen di kiri bentuk terkaji justru bergender maskulin.

Humanion Volume XV, No. 3/2003

Hal-hal lain yang cukup menarik dari kajian terhadap satuan lingual penanda

gen-der adalah adanya fonem

lal

dan fonem /i/

yang tidak dapat digeneralisasikan sebagai penanda genderpada tataran fonologi karena keterbatasan leksikon yang dapat dijadikan

sebagai

penandaan

gender

melalui

perbedaan kedua fonem itu. Tidak adanya

bentuk

'kepali

sebagai penanda gender

feminin sebagai akibat adanya analog bentuk

kepala sebagai penanda maskulin yang

berterima. Ketidakberterimaan konstruksi

bentuk yang berasterik sebelumnya,

ber-sebab pada ketidakkolokatifan penautan

komponen semantiknya.

Hal

tersebut menunjukkan bahwa

tidak

semua bentuk penambahan fonem

/a/

mengacu kepada

gender

maskulin

Begitu

juga

bentuk

penambahan fonem /i/ tidak selalu mengacu kepada gender feminin (cermati data yang

sangat terbatas, misalnya: dewa-dewi,

muda-mudi, siswa-sisw).

Demikian juga pasangan sufiks -uyan dan

-wati, lernyata tidak selalu berlaku untuk kata-kata tertentu yang dilekatinya sebagai penanda gender. Kata pahlawan tidak

ber-pasangan dengan "pahlawati dan negarawan-*negarawati

sehingga untuk menunjuk ke

gender femi nin kata-kata tersebut harus diberi pemarkah yang menunjukkan kegirnderan dengan kala wanita di belakang kata yang

dilekatinya menjadi pahlawan wanita dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Budiman; Susanto; Sudiarjo; Praptadihardjo,

dan Pratiwi. 1992.

Citra

Wanita dan Kekuasaan

(J.*rl

Yogyakarta:

pener-bit Kanisius dan Lembaga Studi Realino.

Fasold, Ralph. 1090. Soclolinguistics

of

Language. Oxford: Basil Blackwell. Ramlan, M. 't991

.

Tata Bahasa lndonesia.

Penggolongan Kata. Yogyakarta: Andi.

Soenjono.

2002. Nasib

Wanita

dalam Cerminan

Bahasa:

lntegrasi

Moral

Bangsa, dan Perubahan. yogyakarta: Divisi Penerbitan Unit Pengkajian dan

(14)

E

Sulis Triyono

.

Pengembangan Fakultas llmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Sudaryanto. 1990. Aneka Konsep Kedataan

Lingual dalam Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

1993. Metode dan Aneka Teknik

Anafisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis.

Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Wardhaugh, Ronald. 1986. An lntroduction

to

Sociolingulstics. Basil Blackwell.

Wijana,

I

Dewa

Putu.

1997. Linguistik,

Soslo/lnguisflk, dan Pragmatik.

Yogya-karta: Balai Penelitian Bahasa, Pusat

Pembinaan

dan.

Pengembangan

Bahasa, Depdikbud.

Humanion Volume XV, No. 32003

326 A.

1.

Lat

r

Bahsa

menguasd gunaan dikuasd dipelajan]}

campunil

kedua tersebd

Karenatl.

yang penganlr sifat yang Bahasa perubalEr Prancis yang deklinai

rr

297).

,

Sistefi

sangat

gramdra

Prancis. nomina jumlah Hunw*ra

Referensi

Dokumen terkait

Adalah film yang dibuat dari lukisan atau gambar yang dirangkai menjadi bentuk cerita yang dapat bergerak. Sekarang pembuatan film kartun sudah menggunakan teknik tinggi,

pengaruh dari rasio refluks pada proses distilasi fraksinasi terhadap karakteristik dan mutu minyak nilam yang diharapkan memiliki kadar patchouli alcohol yang tinggi

Mereka umumnya menjawab akan selalu membeli produk yang biasa mereka pakai dalam jumlah yang banyak ketika ada diskon atau promo dalam katalog Oriflame, buat stock,

Selain itu, dukungan manajerial juga menjadi faktor penting dalam implementasi SIMRS karena semua program yang berlaku berasal dari pihak manajerial, begitu

Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan keterampilan menulis karangan eksposisi dengan penerapan strategi pembelajaran Writing in the Here and Now (menulis di sini dan

Perkawinan dalam adat Batak Toba tidak terlepas dari musik-musik yang mengiringi proses upacara tersebut berlangsung, yang mana alat musik yang digunakan memiliki

• Menjelaskan pengertian dan proses perencanaan tenaga kerja (SDM); peran Manajer Lini dalam perencanaan (SDM); keterkaitan perencanaan SDM dengan uraian pekerjaan;

Variasi suhu pemanasan pada saat pembuatan minuman sari tempe menghasilkan kandungan senyawa isoflavon yang berbeda pula. Sebagai pembanding digunakan tempe dan