• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI UMUM LOKASI PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DESKRIPSI UMUM LOKASI PENELITIAN"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

Kondisi Geografis Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri Kabupaten Gunung Kidul adalah salah satu kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terletak di sebelah tenggara Kota Yogyakarta dengan jarak kurang lebih 39 km. Luas wilayah seluruhnya 1.485,36 km² atau sekitar 46,63% dari total luas wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten Gunung Kidul terletak antara 7°46´ - 8°09´ Lintang Selatan dan 110°21´ – 110°50´ Bujur Timur, dengan ketinggian antara 0 – 700 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar wilayah Gunung Kidul didominasi perbukitan dengan batuan kapur. Secara administrasi pemerintahan, wilayah Kabupaten Gunung Kidul dibagi menjadi 18 wilayah kecamatan dan 144 desa.

Kabupaten Wonogiri terletak di ujung tenggara wilayah Propinsi Jawa Tengah. Wonogiri berada 32 km di sebelah selatan Kota Solo, dengan jarak ke ibu kota Provinsi (Semarang) sejauh 133 km. Luas wilayah seluruhnya ± 182.236,0236 hektar, terbentang pada posisi antara 7°32´ - 8°15´ Lintang Selatan dan 110°41´ - 111°18´ Bujur Timur, pada ketinggian antara 106-600 meter di atas permukaan laut). Sebagian besar wilayah Wonogiri didominasi perbukitan dengan batuan kapur, termasuk jajaran pegunung Seribu yang merupakan mata air hulu Bengawan Solo. Jenis macam tanah mulai dari litosol, regosol sampai dengan grumusol, dari bahan induk yang beragam yaitu endapan, batuan, dan volkan. Suhu rata-rata antara 24° -32° C dengan kelembaban rata-rata sepanjang tahun 83%. Secara administrasi pemerintahan wilayah Kabupaten Wonogiri dibagi menjadi 25 kecamatan dan 294 desa.

Hutan Rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri Hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri memiliki luasan yang cukup besar dibandingkan dengan luasan hutan negara yang ada di wilayah tersebut. Menurut data statistik Kabupaten Gunung Kidul (2009) luas hutan rakyat 30.000 hektar yang tersebar di 18 kecamatan, sementara luas hutan negara 8.560 hektar. Luas hutan rakyat di Wonogiri 36.293 hektar yang tersebar di 25 kecamatan, sedangkan hutan negara seluas 16.268 hektar.

(2)

Dengan cakupan luasan tersebut, potensi hutan rakyat dapat dilihat dari volume kayu yang dihasilkan per tahun yang cukup tinggi, di Gunung Kidul 122.460 m3 dan Wonogiri 264.159,1 m3. Bila harga kayu dirata-ratakan menggunakan harga jual kayu mahoni (20-29 cm) Rp. 740.000/m3

Sebagian lokasi penelitian di Gunung Kidul dan Wonogiri termasuk ke dalam Zona Pegunungan Seribu (Sewu) atau sering disebut Pegunungan Kapur Selatan, yaitu Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Kab. Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta serta Desa Selopuro dan Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Dua desa lainnya di Daerah Istimewa Yogyakarta yang menjadi lokasi penelitian adalah satu desa terletak di Zona Ledoksari (tengah) yaitu Desa Dengok, Kecamatan Playen dan desa lainnya , maka pendapatan per tahun dari hasil kayu hutan rakyat di Gunung Kidul kurang lebih 95 milyar dan di Wonogiri 195 milyar.

Kenyataan tersebut membuktikan bahwa hutan rakyat, walaupun dikelola oleh masyarakat dalam skala usaha yang kecil (rata-rata di bawah 0,75 ha), namun telah terbukti dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dan dapat mendukung penyediaan bahan baku bagi kebutuhan industri serta terjamin kelestariannya. Keberadaan hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat bukan saja secara ekonomi, tetapi juga nilai sosial budaya dan ekologis. Dengan dikembangkannya hutan rakyat di Wonogiri, telah terbukti menimbulkan tiga sumber-sumber mata air baru yang menjadi sumber air bagi kota Wonogiri. Selain itu keberadaan hutan rakyat yang baik telah menciptakan iklim mikro yang sehat, bahkan dapat menyerap karbon dari polusi udara.

Selain manfaat dari sisi ekonomi dan ekologi, hutan rakyat memberikan manfaat pada perkembangan sosial budaya masyarakat di Gunung Kidul maupun Wonogiri. Tanpa disadari keberadaan hutan rakyat telah melestarikan dan mengembangkan budaya, antara lain budaya ”gotong royong”, budaya gemar menanam dan budaya bekerja keras, bahkan ”budaya jati” pada masyarakat di kedua lokasi penelitian.

(3)

terletak di Zona utara yaitu Desa Kedungkeris, Kecamatan Nglipar. Walaupun terletak di zona yang berbeda, tetapi secara umum memiliki banyak persamaan ditinjau dari sejarah hutan rakyatnya.

Sejarah hutan rakyat di Pegunungan Kapur Selatan, menurut Awang et.al. (2001) dapat dibagi menjadi empat periode, yaitu: (1) sebelum tahun 1960 periode kritis; (2) 1960-1970 periode penanaman mandiri; (3) 1970-1985 periode intensifikasi; dan (4) 1985-sekarang periode pemudaan alam. Periode 1 (sebelum tahun 1960), yang disebut juga dengan periode kritis, ditandai dengan hamparan batu bertanah yang kritis dan hanya ditumbuhi rumput ataupun semak pada lahan milik maupun lahan negara. Jarang sekali dijumpai tanaman kayu-kayuan. Masyarakat mempertahankan hidupnya dengan menanam tanaman pangan seperti jagung dan ketela pohon, serta padi bila musim penghijauan tiba. Akibatnya kondisi lahan semakin parah dan tanah menjadi jenuh sehingga tidak lagi dapat menghasilkan tanaman pangan. Sementara itu tanaman kayu lokal, seperti trembesi, sengon Jawa, terus ditebang untuk dijual sebagai kayu bakar. Uang hasil penjualan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kondisi ini semakin memperburuk kekritisan lahan, dan masyarakat semakin miskin, kekurangan pangan dan terjadilah busung lapar.

Periode 2 (1960-1970), karena kondisi yang mendesak tersebut, masyarakat beserta beberapa tokoh masyarakat kemudian mulai mencari solusi. Lahan-lahan yang sudah jenuh ditanami dengan tanaman kayu-kayuan, diawali dengan penanaman mahoni dan jati. Pada periode ini, penanaman tanaman kayu-kayuan oleh masyarakat dilakukan secara swadaya. Para tokoh masyarakat menanami lahan miliknya dengan tanaman jati dan mahoni, dengan bibit yang didapatkan dari anakan-anakan kayu alam, baik di lingkungan mereka maupun dari lahan negara yang sudah berhutan. Kegiatan para tokoh mencari bibit dan menanam ini diikuti oleh warga masyarakat lain. Kegiatan inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya kelompok tani.

Pada periode 3 (1970-1985), yang disebut penanaman intensif, pemerintah sudah mulai campur tangan dalam pembinaan, melalui beberapa proyek seperti MALU (Mantri-Lurah) – yang dilakukan oleh Perum PERHUTANI dan proyek penghijauan oleh Kementerian Kehutanan. Bantuan penghijauan oleh pemerintah

(4)

dilakukan melalui penyebaran bibit akasia maupun Katalina (sejenis lamtoro) melalui udara. Masyarakat melakukan tumpangsari tanaman kayu dengan tanaman pangan yang masih bisa tumbuh. Masyarakat mulai melakukan tata guna lahan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan lokal mereka. Pada periode ini juga ditandai dengan banyaknya terbentuk bermacam-macam kelompok tani dan Kebun Bibit Desa (KBD). Khusus di Gunung Kidul, penanaman secara intensif terjadi ketika Bupati Gunung Kidul dijabat oleh Bapak Ir. Darmokum Darmokusumo. Pada saat itu pemerintah banyak memberikan bantuan bibit jati untuk ditanam di lahan-lahan milik masyarakat. Tingginya perhatian Bupati Gunung Kidul terhadap masalah penghijauan ditunjang oleh latar belakang pendidikannya dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada.

Pada periode 4 (1985-2002), ditandai dengan melimpahnya anakan alami di bawah tegakan tua, baik jati maupun mahoni. Masyarakat melakukan permudaan dan pengayaan dengan mendistribusikan anakan alami secara merata, dengan melalui teknik puteran dan cabutan. Anakan-anakan alami ini ditanam dengan jarak yang tidak beraturan, mengingat kondisi lahan yang bergelombang dan berbatu. Pada lahan-lahan yang mayoritas berbatu penanaman dilakukan di sela-sela batu. Pada periode ini Kebun Bibit Desa yang dikenalkan oleh pemerintah sebagai upaya menjamin ketersediaan bibit penghijauan di desa tidak lagi efektif karena masyarakat lebih suka melakukan permudaan dengan menggunakan anakan alami yang sudah ada. Hal tersebut dilakukan karena dinilai lebih efisien, lebih murah dan adaptasi bibit lebih baik dibandingkan bibit yang berasal dari Kebun Bibit Desa.

Pada periode empat ini mulai dilakukan penebangan kayu baik untuk keperluan sendiri maupun untuk mendapatkan uang tunai. Walaupun penebangan dilakukan, masyarakat tetap melakukan penghutanan kembali secara swadaya. Menurut Awang et.al (2001) pada mulanya keberhasilan gerakan penanaman tanaman keras oleh masyarakat tidak dapat dilepaskan dari peranan kelompok tani. Pekerjaan pembuatan hutan rakyat, mulai dari penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan dilakukan bersama oleh anggota kelompok. Dalam kelompok juga dibuat pengaturan termasuk sanksi bagi yang tidak mematuhinya, misalnya kewajiban menanam sepuluh batang kayu bagi yang tidak ikut gotong royong.

(5)

Namun dalam perkembangan selanjutnya ketika pembangunan hutan rakyat sudah berhasil, aktivitas kelompok menurun. Pertemuan kelompok masih berjalan, tetapi kebiasannya sudah berbeda jauh dengan awal pembentukannya. Saat ini pertemuan kelompok hanya digunakan untuk arisan simpan-pinjam. Awang et.al (2001) mengatakan bahwa menurunnya dinamika kelompok selain disebabkan oleh tidak adanya pembinaan dari pemerintah, juga karena praktek hutan rakyat berbasis lahan milik individu sehingga peranan kelompok menjadi lemah. Ikatan kelompok hanya didasarkan pada ”paguyuban” sebagai wujud dari social

rasionallity mereka.

Sejak tahun 2002 hingga sekarang hutan rakyat berkembang pesat, Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL, yang sering disebut GERHAN), yang dicanangkan oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan sejak 2002 telah meningkatkan luas hutan rakyat di daerah-daerah kritis, termasuk di Gunung Kidul dan Wonogiri. Sertifikasi hutan rakyat di Wonogiri dimulai pada tahun 2003, dengan pengembangan kapasitas organisasi hutan rakyat melalui kerjasama dengan Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (PERSEPSI), Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan World Wildlife Fund (WWF) untuk sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) di Desa Selopuro dan Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno. Sedangkan di Gunung Kidul pada tahun 2004 dimulai program Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat Lestari (RBUMHRL) di empat kabupaten, yaitu Gunung Kidul, Wonosobo, Magelang dan Purworejo. Lokasi di Gunung Kidul termasuk Desa Girisekar dan Desa Dengok, yang menjadi lokasi penelitian.

Kepedulian dan keseriusan Pemerintah Daerah Kab. Gunung Kidul terhadap perkembangan hutan rakyat semakin meningkat, di antaranya terbukti dengan diterbitkannya Keputusan Bupati Gunungkidul Nomor: 95/KPTS/2005 tanggal 20 September 2005 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Hutan Rakyat Lestari. Selain itu didukungnya program sertifikasi PHBML di tiga desa, sebagai kelanjutan Program Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pendampingan untuk proses sertifikasi PHBML bagi Kabupaten Gunung Kidul.

(6)

Pada bulan Oktober 2004, Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) di Desa Selopuro dan Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Wonogiri mendapatkan sertifikat Ekolabel (PHBML) yang pertama dengan luas cakupan 809,95 hektar. Dua tahun kemudian menyusul Paguyuban Wana Manunggal Lestari, Kabupaten Gunung Kidul mendapat sertifikat PHBML yaitu pada tanggal 20 September 2006 yang mencakup luasan 815,18 hektar.

Sistem pengelolaan hutan rakyat

Awang et.al (2001) menyebutkan bahwa sesuai dengan susunan dan letaknya hutan rakyat di pegunungan Kapur Selatan (termasuk daerah Gunung Kidul dan Wonogiri), dapat digolongkan menjadi tiga kelompok. Ketiga kelompok hutan rakyat tersebut ialah: (1) tanaman keras seperti jati dan mahoni, atau jenis lainnya ditanam hanya di sepanjang batas lahan milik, dan tanah di antara pohon-pohon tersebut ditanami tanaman pangan; (2) tanaman keras ditanam di seluruh lahan tegalan dan pekarangan tanpa ada tanaman pertanian semusim seperti tanaman pangan; (3) tanaman keras ditanam di batas-batas dan di sepanjang teras, untuk mengurangi erosi tanah. Di antara pohon-pohon tersebut ditanam tanaman pangan dan sayur-sayuran.

Dilihat dari susunan jenisnya, hutan rakyat di kedua lokasi penelitian dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu: (1) hutan rakyat monokultur atau sebagian besar didominasi satu jenis tanaman keras saja. Pada kelompok ini cenderung tidak ada tanaman pangan dan tanaman buah-buahan; (2) hutan rakyat campuran yang memiliki 3-5 jenis tanaman keras. Pada kelompok ini dapat dijumpai tanaman pangan, buah-buahan dan sayur-sayuran. Sebagian besar hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri menggunakan sistem agroforestry dan jarang sekali yang monokultur. Alasan mendasar yang dikemukakan oleh masyarakat adalah mereka membutuhkan tanaman pangan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka menanam ketela pohon, jagung, kedelai, dan lainnya untuk kebutuhan pangan sehari-hari, bila ada sisa baru mereka menjualnya. Selain itu juga mereka menanam hijauan makanan ternak (HMT) untuk pakan ternak. Hampir semua keluarga di kedua lokasi penelitian memelihara sedikitnya ayam, kambing dan ternak sapi.

(7)

Dalam mengelola hutan rakyat, masyarakat di Gunung Kidul dan Wonogiri masih menggunakan silvikultur tradisional, yang meliputi pemilihan jenis, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan, dan penebangan. Pemilihan jenis tanaman yang ditanam oleh masyarakat pada hutan rakyat sangat dipengaruhi oleh kesesuaian lahan, riap pertumbuhan, ketersediaan tenaga kerja, harga jual dan kemudahan pemeliharaan. Tiga jenis kayu yang banyak ditanam oleh masyarakat di kedua lokasi penelitian adalah akasia (Acacia auriculiformis) jati (Tectona grandis) dan mahoni (Swietenia mahogany). Awal mulanya penanaman tanaman keras ini sebagai langkah awal untuk memperbaiki struktur tanah, karena diharapkan akar pohon-pohonan tanaman keras dapat memecah batuan kapur dan daun-daunannya dapat menjadi kompos.

Persiapan lahan terutama dilakukan pada saat pertama kali membangun hutan rakyat dengan membuat terasering teras bangku pada lahan-lahan tertentu yang miring. Dengan berbekal batu yang berlimpah di sekitarnya, masyarakat mengumpulkan batu-batu, memecah, dan menyusun menjadi penguat dinding teras bangku, membuat lubang tanam dan membuat batas lahan. Penanaman sebagian besar dilakukan tanpa ada pengaturan jarak tanam, karena penanaman sebagian besar hanya dilakukan di antara sela-sela batu. Pada lahan-lahan yang memungkinkan, lahan yang relatif datar atau landai dibuat jarak tanam 3x1 meter. Diduga pengaturan jarak tanam ini diketahui masyarakat berdasarkan pengalaman melihat apa yang telah dilakukan Perum Perhutani, di mana beberapa warga pernah bekerja sebagai buruh tanam (Awang et.al, 2001).

Pada periode penanaman intensif, jenis tanaman yang ditanam lebih beragam. Bibit berasal dari Kebun Bibit Desa yang dibuat masyarakat dengan bimbingan tenaga penyuluh kehutanan. Bibit-bibit tanaman yang ditanam pada periode ini di antaranya ialah mahoni, jati, akasia, mangga, melinjo, pete, kelapa dan bibit tanaman keras lainnya. Penanaman dilakukan dengan pengajiran dan disesuaikan dengan kontur, dengan sistem tumpang sari. Kegiatan pemeliharaan tanaman hutan rakyat di kedua lokasi penelitian hampir tidak ada, biasanya hanya dilakukan pada tanaman muda yang berumur kurang dari satu tahun. Pemeliharaan sebatas pendangiran tanah dan kadang-kadang melakukan pemagaran sederhana.

(8)

Perlindungan tanaman terhadap ternak dilakukan dengan melarang penggembalaan di areal hutan milik orang lain. Ternak sapi dan kambing umumnya dikandangkan di pekarangan rumah. Cara ini berjalan sangat efektif dan dipatuhi sesama warga. Gangguan pencurian kayu sama sekali tidak pernah terjadi. Pengamanan dilakukan dengan ”tepo seliro” (tenggang rasa) yang selalu disosialisasikan lewat forum-forum seperti kelompok tani maupun forum desa lainnya.

Pemanenan dilakukan tidak mengunakan sistem pengaturan hasil. Pohon ditebang saat dibutuhkan, yaitu untuk keperluan membangun rumah sendiri, maupun keperluan yang memerlukan biaya besar seperti keperluan pendidikan anak, hajatan, pengobatan di rumah sakit dan lainnya. Sehingga sistem ini sering dikatakan ”tebang butuh”, yaitu ditebang pada saat dibutuhkan. Sekalipun demikian, bagi masyarakat pohon merupakan tabungan yang akan digunakan sebagai alternatif terakhir, jika sumberdaya lainnya sudah tidak ada (seperti ternak ayam, kambing, sapi atau sumberdaya lainnya). Menurut pengakuan masyarakat, mereka memilih pohon sebagai alternatif terakhir untuk ditebang, karena dianggap paling menguntungkan baik dari segi pemeliharaan maupun harga atau nilai jual. Pohon tidak membutuhkan pemeliharaan yang merepotkan seperti halnya ternak, yang perlu diberi makan dua kali dalam satu hari. Demikian juga halnya dengan harga kayu, terutama kayu jati, sangat baik sebagai tabungan yang bernilai tinggi, tidak jauh berbeda dengan harga jual ternak.

Sekalipun petani hutan rakyat lebih senang menggunakan sistem ”tebang butuh”, tetapi mereka tetap memperhatikan sistem tebang pilih, yaitu sejumlah pohon yang ditebang untuk dijual ataupun dipakai sendiri dan tidak mengelompok dalam satu tempat. Sebenarnya sudah ada aturan untuk menebang kayu jati yang sudah berumur minimal 15 tahun dan berdiameter di atas 20 cm, tetapi aturan ini belum bisa dilaksanakan sepenuhnya karena adanya sistem ”tebang butuh” sehingga kayu jati yang paling banyak ditebang berada pada kisaran diameter 16 cm. Menurut pengakuan petani, biasanya mereka menebang kayu rata-rata dua kali per tahun, dengan jumlah dan volume disesuaikan kebutuhan, yaitu jika kebutuhan kecil pohon yang ditebang jumlah dan volumenya relatif kecil, sedangkan bila kebutuhan besar pohon yang ditebang jumlah dan volumenya juga

(9)

besar. Untuk menjamin kelestarian, petani yang menebang kayu diwajibkan menanam lahannya 2-5 batang untuk setiap batang pohon yang ditebang. Metode pengaturan hasil hutan rakyat ini sangat spesifik dan berbeda dengan metode pengaturan hasil konvensional yang biasanya diterapkan pada hutan negara. Bagi petani setempat, yang penting adalah terjaminnya kelestarian baik kelestarian produksi maupun kelestarian sumber daya hutan sehingga mereka dapat secara kontinu memanen produksi kayu miliknya (Arupa, 1999).

Pemasaran kayu hasil hutan rakyat dilakukan secara langsung oleh petani ke pedagang pengumpul lokal kemudian diteruskan ke pedagang pengumpul besar. Biaya pengurusan surat-surat seperti SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) dan lain-lain biasanya ditanggung oleh pedagang. Petani tidak mengeluarkan biaya sepeser pun untuk pengurusan dokumen tersebut dan menerima pembayaran dari harga kayu sesuai kesepakatan dengan pedagang. Pedagang pengumpul besar kemudian memasarkan kayu tersebut ke industri mebel dan bahan bangunan atau ke tempat pembakaran gamping baik yang berada di daerah sekitarnya atau ke luar kota. Daerah luar kota yang menjadi tujuan pemasaran kayu antara lain adalah Klaten, Jepara, Pekalongan, Tegal, Brebes, Solo dan Bandung.

Masyarakat menyukai pola ini karena selain mereka langsung dapat menerima uang kontan, yang memang mereka butuhkan pada saat itu, juga dinilai lebih praktis. Dengan cara ini mereka tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi, biaya penebangan, dan urusan administrasi serta biaya pengangkutan, yang dinilai cukup merepotkan bagi masyarakat petani.

Dalam hal kelembagaan, hampir tidak ada perbedaan yang nyata dilihat dari sisi organisasi, kepemimpinan, maupun aturan dan sanksi yang diberlakukan dalam pengelolaan hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) di beberapa desa di pegunungan Kapur Selatan ditemui bahwa pembangunan hutan rakyat tidak lepas dari peranan kelompok tani, namun peranan individu petani lebih besar dibandingkan kelompok tani. Kelompok tani sebagai suatu organisasi mengacu pada organisasi modern dimana pengurus organisasi minimal terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota. Pengurus

(10)

kelompok tani dipilih oleh anggota dengan mempertimbangkan pendidikan, kemauan dan kemampuan bekerja, status sosial dan posisi dalam masyarakat, sehingga sangat banyak ditemui pengurus kelompok tani yang menjabat aparat desa (Ketua RT/RW dan Kepala Dusun). Kegiatan kelompok tani ini biasanya meliputi kegiatan pertanian secara umum, baik tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, bahkan perikanan.

Deskripsi Peubah Penelitian Karakteristik Individu Petani

Karakteristik petani hutan rakyat yang telah disertifikasi dan non sertifikasi berbeda nyata dalam semua indikator karakteristik kecuali pada tingkat sosial ekonomi. Walaupun demikian, perbedaan rataan umur dan pengalaman antara petani sertifikasi dan non sertifikasi tidak terpaut terlalu jauh. Perbedaan yang sangat mencolok antara karakteristik petani hutan rakyat sertifikasi dan non sertifikasi adalah pada motivasi ekstrinsik dan konsep diri. Motivasi ekstrinsik dan konsep diri petani hutan rakyat sertifikasi termasuk dalam kategori tinggi dan positif (80 dan 76), sedangkan motivasi ekstrinsik dan konsep diri petani non sertifikasi adalah rendah (30) bahkan sangat negatif (14).

Motivasi ekstrinsik yang rendah dan konsep diri yang negatif pada petani hutan rakyat non sertifikasi dapat dipahami karena sebagian besar petani hutan rakyat non sertifikasi belum mendapatkan pemahaman tentang hutan rakyat lestari, atau sekalipun pernah mendengar tentang Hutan Rakyat Lestari belum memiliki pemahaman yang benar tentang Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) dimaksud. Hal tersebut dapat disebabkan oleh belum adanya sosialisasi, pendampingan atau pembelajaran mengenai Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) oleh lembaga manapun di lokasi hutan rakyat non sertifikasi.

Hal menarik dalam perbandingan karakteristik petani di kedua lokasi penelitian adalah motivasi intrinsik. Petani hutan rakyat non sertifikasi ternyata memiliki motivasi intrinsik ”sedang” (rataan 68) walaupun motivasi ekstrinsiknya rendah, dan petani hutan rakyat sertifikasi memiliki motivasi yang tinggi (86). Hal ini menunjukkan bahwa motivasi dan keinginan petani untuk mengembangkan

(11)

hutan rakyat, baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri cukup tinggi sekalipun pada lokasi yang belum mendapatkan sertifikasi Hutan Rakyat Lestari.

Tabel 21. Perbandingan Karakteristik Petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) dan Non Sertifikasi di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri

No Karakteristik Kategori

Hutan Rakyat Lestari-sertifikasi (%)

Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung Kidul Wono-giri Total Gunung Kidul Wono-giri Total 1 Umur ≤ 40 31 13 22 37 37 37 (tahun) 41 -50 23 35 29 40 23 32 ≥ 51 46 52 49 23 40 32 Rataan 49 53 51 45a 49a 47 2 Pengalaman ≤ 10 24 10 17 20 73 47 (tahun) 11 -25 36 40 38 43 7 25 ≥ 26 40 50 45 34 20 28 Rataan 22 27 25 23 13 18

3 Tingkat sosial Rendah 35 43 39 30 50 73

ekonomi Sedang 57 51 54 63 47 25 Tinggi 8 6 7 7 3 2 Skor Rataan 36b 34b 35c 37 27 32 4 c Motivasi Rendah 2 3 2 0, 27 13 intrinsik Sedang 12 25 18 43 70 57 Tinggi 86 72 79 57 3 30 Skor Rataan 88 84 86 79 56 67 5 Motivasi Rendah 2 4 3 90 93 92 ekstrinsik Sedang 23 50 36 10 7 8 Tinggi 75 46 60 0 0 0 Skor Rataan 85 75 80 30d 29d 30

6 Konsep diri Negatif 4 18 11 86 97 92

Sedang 14 41 27 13 3 8

Positif 82 41 61 0 0 0

Skor Rataan 84 68 76 24 3 14

Keterangan:

- Angka yg diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05 (uji perbedaan nilai rataan t-test) - Hutan Rakyat Lestari-sertifikasi: n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200; Hutan rakyat non sertifikasi: n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60

- Skor Rataan: Rendah/negatif (0-50); Sedang (51-75); Tinggi/positif (76-100), tk sosek: rendah (≤ 33,0),

sedang (33,1-67,0), tinggi (≥ 67,1).

Umur

Petani hutan rakyat sertifikasi di kedua kabupaten sebagian besar tergolong berusia lanjut (tua) dengan rataan 51 tahun. Rataan umur petani non sertifikasi di kedua kabupaten tidak terpaut jauh, yaitu 47. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa petani pengelola hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri sebagian besar berusia tua. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sebagian besar penduduk berusia muda (30-40 tahun) di kedua kabupaten

(12)

tersebut bekerja di luar desa, atau merantau ke luar kabupaten, yang dalam istilah mereka adalah mboro. Hal ini juga sangat berkaitan dengan latar belakang sejarah, dimana kedua kabupaten ini beberapa puluh tahun lalu termasuk desa miskin, dengan kondisi tanah yang sangat kritis dan tidak bisa ditanami. Pada saat itu banyak pemuda yang mboro untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kebiasaan tersebut terus berlangsung sampai dengan saat ini.

Dikuatirkan kondisi ini akan menjadi permasalahan dalam pengembangan Hutan Rakyat Lestari di masa mendatang, karena hanya petani lanjut usia yang masih tinggal di desa dan mengelola hutan rakyat. Bila tidak ada generasi penerus, dikuatirkan usaha Hutan Rakyat Lestari di masa mendatang akan redup bahkan menghilang.

Pengalaman

Sebagian besar petani sertifikasi baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri sudah cukup lama mengelola hutan rakyat (rataan 24 tahun). Untuk petani non sertifikasi pun tidak berbeda nyata, yaitu dengan rataan 18. Hal ini dapat dijelaskan dan sejalan dengan perkembangan hutan rakyat di kedua kabupaten. Hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri berkembang kurang lebih pada tahun 1970. Pengelolaan hutan rakyat diperkenalkan kepada responden sebagian besar ketika masih berusia remaja, bahkan anak-anak. Pada waktu itu di Wonogiri dikenal dengan kegiatan Karang Kitri.

Responden mengakui pengenalan dan pendidikan untuk gemar menanam pohon telah mereka dapatkan sejak usia remaja. Pada waktu itu orang tua telah mengajari untuk menanami lahan yang gersang dengan pohon-pohonan, walaupun bukan dengan teknik penanaman yang benar, karena kondisi lahan yang tidak memungkinkan untuk menerapkan jarak tanam ideal. Semakin mereka merasakan manfaatnya, semakin mereka gemar menanam, sehingga telah membudaya bagi masyarakat. Walaupun tidak semua responden adalah petani, tetapi menanam pohon-pohonan juga dilakukan oleh anggota kelompok tani yang bukan petani, seperti guru, karyawan, PNS dan lainnya.

(13)

Tingkat Sosial dan Ekonomi

Tidak ada perbedaan yang nyata antara tingkat sosial ekonomi responden di kedua kabupaten, baik petani pengelola hutan rakyat sertifikasi maupun hutan rakyat non sertifikasi. Nilai rataan tingkat sosial ekonomi petani sertifikasi di kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri 35. Demikian pula dengan petani non sertifikasi di kedua kabupaten dengan nilai rataan 32. Pendidikan sebagian besar responden adalah Sekolah Dasar dan bekerja sebagai petani.

Sebagian besar petani baik di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri telah memiliki rumah sendiri dengan bangunan permanen, memiliki kendaraan bermotor roda dua. Pada kedua lokasi penelitian, sebagian besar pengurus kelompok adalah tokoh masyarakat atau pemimpin setempat, seperti kepala lingkungan atau dusun, guru maupun tokoh agama.

Motivasi Intrinsik

Motivasi intrinsik petani sertifikasi, baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri termasuk kategori tinggi dengan skor rataan 86. Motivasi intrinsik petani non sertifikasi di kedua lokasi penelitian terdapat perbedaan cukup tinggi, yaitu di Gunung Kidul tergolong kategori ’tinggi’ dengan skor rataan 79, sedangkan di Wonogiri tergolong kategori ’sedang’ dengan skor rataan 56. Motivasi intrinsik yang tinggi menunjukkan bahwa masyarakat telah memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya mengelola hutan rakyat. Masyarakat, khususnya di Gunung Kidul sudah merasakan manfaat hutan rakyat yang dikelolanya baik dari segi ekonomi, sosial maupun ekologi sehingga mereka terus memiliki dorongan dan minat yang tinggi untuk mengelola hutan rakyat.

Beberapa hal yang dapat menjadi bukti tingginya minat dan kesadaran masyarakat untuk menanam, antara lain : pertama, mereka telah menanam dan mengevaluasi sendiri tanaman apa yang lebih menguntungkan baik secara ekonomi maupun ekologis. Pada awalnya mereka menanami lahan mereka dengan akasia (Acacia auriculiformis) dan jati (Tectona grandis). Setelah dievaluasi ternyata akasia banyak “memakan” air dan harga jual kurang baik sehingga mereka mengganti dengan tanaman mahoni. Namun beberapa tahun terakhir karena harga jual mahoni kurang memuaskan, masyarakat khususnya di

(14)

Kabupaten Wonogiri, sedang mencoba untuk menanam dan mengganti tanaman mahoni dengan sengon laut (Paraserianthes falcataria). Mereka mencoba dan membeli sendiri bibit sengon laut. Kedua, masyarakat saat ini lebih suka menanam halaman pekarangan mereka dengan tanaman kayu-kayuan, sementara mereka memilih menanam tanaman pangan di hutan negara dengan pola Hutan Kemasyarakatan. Hal ini terutama terjadi di Kabupaten Gunung Kidul, dimana desa bersebelahan dengan hutan negara yang ditanami tanaman kayu putih dan masyarakat diberi kesempatan untuk mengelola lahan di bawah tanaman kayu putih dengan sistem hutan kemasyarakatan. Ketiga, minat dan kebutuhan masyarakat yang tinggi untuk menanam tanaman kayu-kayu di Kabupaten Wonogiri menyebabkan berkembangnya pedagang keliling tanaman kayu-kayuan yang masuk ke desa-desa.

Motivasi Ekstrinsik

Terdapat perbedaan yang nyata antara motivasi ekstrinsik petani sertifikasi dan non sertifikasi. Motivasi ekstrinsik petani sertifikasi di kedua kabupaten tersebut tergolong ”tinggi” dengan skor rataan 80. Sedangkan motivasi ekstrinsik petani non sertifikasi di kedua kabupaten adalah ”rendah” dengan skor rataan 30. Kondisi ini dapat dijelaskan bahwa di lokasi hutan rakyat sertifikasi ada pihak-pihak di luar yang terlibat dalam proses pembelajaran masyarakat tentang Hutan Rakyat Lestari. Misalnya di Gunung Kidul, banyak sekali pihak yang terlibat langsung dalam proses pembelajaran masyarakat dan memberikan motivasi kepada masyarakat, misalnya pendamping atau penyuluh baik dari Perguruan Tinggi, LSM maupun dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan.

Sementara petani non sertifikasi, baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri sama sekali belum mendapatkan pembelajaran dari pihak lain. Tidak ada pihak lain di luar masyarakat desa yang mendampingi atau memberikan motivasi kepada masyarakat untuk mengembangkan hutan rakyat. Motivasi petani Wonogiri untuk mengelola hutan rakyat lebih banyak berasal dari dalam diri sendiri (motivasi intrinsik).

Bila karakteristik petani sertifikasi dianalisis lebih dalam, terdapat perbedaan yang cukup menyolok antara motivasi ekstrinsik di kedua lokasi

(15)

penelitian. Motivasi ekstrinsik 75% petani sertifikasi di Gunung Kidul termasuk ”tinggi” dengan skor rataan 85, sedangkan di Wonogiri termasuk sedang (50%) dengan skor rataan 75. Hal ini dapat dijelaskan bahwa di Gunung Kidul sangat banyak pihak yang ikut memberikan motivasi kepada petani untuk mengelola Hutan Rakyat secara Lestari, yaitu baik dari Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah Kabupaten Gunung Kidul, khususnya Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian yang diwujudkan dengan penempatan penyuluh untuk membina masyarakat. Selain itu keberadaan kelompok tani hutan rakyat berjalan cukup baik, di bawah Paguyuban kelompok tani hutan rakyat: “Manunggal Lestari”. Kepercayaan petani di Gunung Kidul kepada pihak luar, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat, seperti kepada Perguruan Tinggi dan pemerintah sangat tinggi. Mereka berpendapat bahwa semua ‘program’ dan kegiatan yang dibawa oleh pemerintah ke desa pasti mempunyai dampak yang baik bagi masyarakat sehingga mereka mau mengikuti program dan kegiatan tersebut, walaupun tidak jarang mereka harus menunggu atau menjalankan proses yang cukup panjang untuk dapat menikmati hasilnya.

Hal yang berbeda di Wonogiri, keterlibatan pihak luar dalam pengembangan hutan rakyat kurang. Hal tersebut berkaitan dengan cikal bakal terbentuknya hutan rakyat di Wonogiri, dimana masyarakat secara swadaya mengembangkannya. Berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, khususnya dalam proses sertifikasi lebih banyak keterlibatan LSM yaitu PERSEPSI (Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial), sementara dukungan pemerintah sangat kecil. Hal tersebut dapat dilihat dari penempatan penyuluh kehutanan satu orang di satu kecamatan. Dukungan LSM tersebut hanya menyentuh beberapa personil saja sehingga kurang dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar petani. Keberadaan Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) yang berjalan kurang harmonis kurang memberikan motivasi masyarakat untuk mengembangkan Hutan Rakyat Lestari.

Konsep diri

Terdapat perbedaan yang nyata antara konsep diri petani sertifikasi dan non sertifikasi di kedua kabupaten. Konsep diri petani sertifikasi positif dengan

(16)

skor rataan 76, sedangkan petani non sertifikasi memiliki konsep diri yang sangat negatif yaitu 14. Selanjutnya bila dianalisis lebih mendalam, terlihat juga perbedaan antara petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Petani sertifikasi di Gunung Kidul memiliki konsep diri yang positif dengan skor rataan 84, sedangkan konsep diri petani sertifikasi di Wonogiri tergolong sedang dengan skor rataan 68.

Petani sertifikasi di Gunung Kidul memiliki konsep diri yang positif, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat lestari. Walaupun belum menikmati hasil atau manfaat sertifikasi dalam hal premium price, namun petani di Gunung Kidul tetap memiliki keyakinan terhadap pengembangan Hutan Rakyat Lestari. Sedangkan di Wonogiri, petani sertifikasi sudah banyak yang kecewa karena “iming-iming” kenaikan harga jual kayu yang dijanjikan oleh pihak LSM tidak terealisasi. Selain itu, timbul kecemburuan sosial dan tidak berjalannya organisasi FKPS, serta kurangnya penghargaan atau perhatian dari pemerintah menyebabkan konsep diri petani khususnya berkaitan dengan Hutan Rakyat Lestari cenderung menjadi negatif.

Konsep diri petani non sertifikasi di Gunung Kidul maupun Wonogiri tergolong rendah, bahkan sangat rendah, yaitu dengan skor rataan 24 dan 3. Petani non sertifikasi di kedua lokasi sebagian besar masih belum memiliki pemahaman yang benar mengenai pengelolaan hutan rakyat secara lestari sehingga konsep diri tentang Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) masih negatif.

Kompetensi Penyuluh/Pendamping

Kompetensi Penyuluh Kehutanan dan pendamping dalam proses pembelajaran sertifikasi Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri berbeda nyata pada tujuh indikatornya, walaupun nilai skor rataannya berada pada kategori yang sama, yaitu ”rendah”. Skor rataan untuk kompetensi penyuluh/pendamping Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) pada kisaran nilai 40, sedangkan skor rataan untuk non sertifikasi pada kisaran nilai 20.

Hal yang menarik ialah terdapat perbedaan yang nyata pada penilaian petani sertifikasi terhadap kompetensi penyuluh kehutanan maupun pendamping antara kedua lokasi penelitian. Petani sertifikasi di Gunung Kidul menilai

(17)

kompetensi penyuluh kehutanan maupun pendamping dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari “sedang” dalam semua indikatornya, ditunjukkan dengan skor rataan kisaran nilai 60. Sedangkan petani sertifikasi di Wonogiri, dan petani non sertifikasi di kedua lokasi penelitian menilai kompetensi penyuluh dan pendamping “rendah” bahkan sangat rendah dengan skor rataan pada kisaran nilai 20, 30, dan 40, bahkan kisaran nilai 10.

Tabel 22. Perbandingan antara Kompetensi Penyuluh dan Pendamping Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri

No

Kompetensi Penyuluh/ Pendamping

Kategori

Hutan Rakyat Lestari-sertifikasi (%)

Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung Kidul Wono-giri Total Gunung Kidul Wono-giri Total 1 Komunikasi Rendah 22 82 52 57 97 77 Sedang 41 18 29 10 3 7 Tinggi 37 0 18 33 0 17 Skor Rataan 65 27 46 45 14 29 2 Menggali kebutuhan petani Rendah 29 91 60 60 97 78, Sedang 37 9 23 7 3 5 Tinggi 34 0 17 33 0 17 Skor Rataan 61 27 46 45 14 28 3 Menganalisa permasalahan petani Rendah 24 93 58 60 100 80 Sedang 48 7 27 13 0 7 Tinggi 28 0 14 27 0 13 Skor Rataan 61 23 42 42 13 28

4 Menjalin kemitraan Rendah 23 94 58 73 100 87

Sedang 34 6 20 27 0 13 Tinggi 43 0 21 0 0 0 Skor Rataan 64 24 44 35 13 24 5 Mengembangkan kapasitas petani Rendah 35 94 64 73 97 85 Sedang 30 6 18 10 3 7 Tinggi 35 0 17 17 0 8 Skor Rataan 60 22 41 33 14 23 6 Menguatkan kelembagaan petani Rendah 31 97 64 70 100 85 Sedang 30 3 16 7 0 7 Tinggi 39 0 19 23 0 8 Skor Rataan 62 19 41 34 13 23 7 Mengembangkan wawasan teknis petani Rendah 27 99 63 93 100 97 Sedang 34 1 17 7 0 3 Tinggi 39 0 19 0 0 0 Skor Rataan 62 20 41 17 0 8 Keterangan:

- Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi): n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200;non sertifikasi: n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60

(18)

Kondisi ini dapat dijelaskan oleh kenyataan bahwa penyuluh kehutanan (PNS) di Wonogiri sangat jarang, bahkan beberapa responden menyatakan tidak pernah dikunjungi penyuluh. Sebagai perbandingan, di Wonogiri dalam satu kecamatan hanya terdapat satu orang penyuluh kehutanan, sementara wilayah binaan mencakup 8-10 desa. Sementara di Gunung Kidul dalam satu kecamatan ditugaskan tiga orang penyuluh kehutanan yang tersebar di 9-12 wilayah binaan, sehingga satu orang penyuluh kehutanan bertugas membina kurang lebih tiga sampai empat desa. Belum lagi di masing-masing kecamatan terdapat supervisor penyuluh kehutanan.

Walaupun dari sisi jumlah pendamping dalam proses sertifikasi PHBML dari pihak LSM tidak berbeda yaitu seorang pendamping dari LSM menangani satu kecamatan, namun intensitas pendampingan yang dilakukan oleh LSM di Wonogiri sangat berbeda dengan di Gunung Kidul. Proses pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul, dilakukan secara berkelanjutan dan terpadu sehingga selain pendamping dari LSM, Perguruan Tinggi juga melibatkan penyuluh kehutanan. Proses pembelajaran masyarakat di tiga desa sertifikasi didampingi oleh LSM yang berbeda. Namun semua pendamping telah mendapatkan pembekalan untuk mendampingi masyarakat yang berbeda namun dengan materi yang relatif sama.

Petani sertifikasi di Wonogiri sangat jarang memiliki kesempatan untuk mendapatkan materi pembelajaran dari penyuluh dan pendamping. Memang ada beberapa kali pertemuan untuk sosialisasi mengenai sertifikasi/HRL, dan ada beberapa kali pelatihan untuk meningkatkan wawasan teknis dan kapasitas petani berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari seperti pemetaaan partisipatif, pengelolaan hasil panen dan lainnya, namun hanya melibatkan beberapa pengurus saja. Dengan intensitas pertemuan yang sangat kecil, penyuluh dan pendamping kurang dapat memahami dan menggali kebutuhan, permasalahan sesungguhnya yang dihadapi oleh petani.

Kenyataan yang menarik ialah dengan memperbandingkan nilai rataan kompetensi penyuluh dan pendamping di lokasi non sertifikasi di kedua lokasi penelitian. Terlihat bahwa skor rataan kompetensi penyuluh kehutanan di lokasi non sertifikasi di Gunung Kidul masih lebih tinggi (pada kisaran nilai 30 dan 40)

(19)

dari nilai rataan kompetensi penyuluh dan pendamping yang dinilai oleh petani sertifikasi di Wonogiri (pada kisaran nilai 20). Kondisi tersebut dapat menggambarkan bahwa masyarakat di Gunung Kidul, sekalipun belum mendapatkan pendampingan mengenai Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi), namun menilai kompetensi penyuluh lebih baik daripada di petani sertifikasi Wonogiri, sekalipun telah mendapatkan pembelajaran Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi). Hal tersebut dimungkinkan karena petani di Gunung Kidul, sekalipun belum mendapatkan pembelajaran mengenai sertifikasi HRL, namun tetap mendapatkan pembelajaran dari penyuluh pada saat pertemuan kelompok, sekalipun masih sangat minim. Penyuluh Kehutanan di Gunung Kidul, walaupun jarang masih datang ke kelompok (pengurus) dan pertemuan kelompok, terutama bila diminta kehadirannya.

Dikaitkan dengan paradigma dalam penelitian ini, kompetensi penyuluh dan pendamping yang diharapkan adalah penyuluh yang “insider” yang bekerja bersama masyarakat dan bukan penyuluh yang bertindak sebagai “outsider”, yang bekerja untuk masyarakat. Pada kenyataannya, berdasarkan tujuh indikator pengukuran dapat disimpulkan bahwa penyuluh dan pendamping dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari baik di Gunung Kidul dan Wonogiri masih bertindak sebagai penyuluh dan pendamping yang “outsider” dilihat dari tujuh indikator kemampuan sebagaimana diuraikan di bawah ini.

Kemampuan berkomunikasi

Penyuluh dan pendamping sebenarnya sudah banyak menggunakan komunikasi dua arah (dialog) maupun komunikasi banyak arah (diskusi) dalam pendekatan kepada petani. Tetapi karena intensitas pertemuan dengan penyuluh sangat jarang (kecuali para pengurus kelompok), maka petani menilai sulit untuk berkomunikasi, terbuka dan menjalin hubungan yang erat dengan penyuluh dan pendamping. Dilihat dari skor rataan kompetensi penyuluh dan pendamping, terbukti bahwa kemampuan berkomunikasi memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan indikator lainnya.

Sebagian besar petani sertifikasi di Gunung Kidul menilai kemampuan penyuluh dan pendamping dalam berkomunikasi sedang (41%) dan tinggi (37%).

(20)

Sementara sebagian besar petani sertifikasi (82%) di Wonogiri menilai kemampuan penyuluh dan pendamping dalam berkomunikasi rendah. Hal ini dapat dijelaskan bahwa sebelum proses pendampingan dalam rangka sertifikasi hutan rakyat di Gunung Kidul, Perguruan Tinggi dalam hal ini Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR) Universitas Gajah Mada telah melakukan pendampingan Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat Lestari (RBUMHRL) pada tahun 2000, khususnya di Desa Kedung Keris, Kecamatan Nglipar. Selain itu penyuluh kehutanan juga sudah melaksanakan kegiatannya, terutama sejak program penghijauan dan rehalibitasi hutan dan lahan dilakukan. Dengan demikian masyarakat sudah mengenal dan berkomunikasi dengan penyuluh kehutanan, walaupun tidak dengan intensitas yang tinggi.

Komunikasi dan hubungan yang baik dengan penyuluh dan pendamping di Gunung Kidul tidak hanya terbatas pada proses sertifikasi Hutan Rakyat Lestari saja, tetapi terus berlanjut sampai dengan penelitian dilakukan, walaupun tidak se-intensif pada saat pendampingan proses sertifikasi. Beberapa hal yang mendukung kelancaran komunikasi penyuluh dan pendamping dengan petani sertifikasi di Gunung Kidul ialah: pendamping masih terus memantau, terutama saat ini memantau perkembangan koperasi Wana Manunggal Lestari.

Hal ini sangat berbeda dengan Wonogiri, komunikasi yang dilakukan dengan pendamping sebatas pada proses sertifikasi, dan terbatas pada pertemuan kelompok pada saat sosialisasi dan pemetaan lahan milik di lapangan. Pasca proses sertifikasi, komunikasi dengan pendamping tidak berlanjut. Hanya Ketua Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) yang bertemu dan berkomunikasi dengan pendamping. Demikian juga dengan penyuluh kehutanan, karena keterbatasan tenaga penyuluh kehutanan dan fokus kegiatan dari Dinas Kehutanan tidak mencakup kedua desa sertifikasi dimaksud, maka penyuluh kehutanan sudah lama tidak mengunjungi dan membina petani sertifikasi di kedua desa tersebut.

Kemampuan menggali kebutuhan petani

Terdapat perbedaan yang nyata antara kemampuan penyuluh dan pendamping dalam menggali kebutuhan petani sertifikasi di kedua lokasi penelitian. Penyuluh dan pendamping di Gunung Kidul dinilai memiliki

(21)

kompetensi ‘sedang’ dengan skor rataan 61 sementara di Wonogiri dinilai ‘rendah” dengan skor rataan 22. Penyuluh dan pendamping pada kedua kabupaten tersebut tidak ada yang berdomisili di desa yang didampingi. Hampir semua pendamping berasal dari luar desa, sehingga dalam melakukan pendampingan hanya pada saat diperlukan akan tinggal di desa selama beberapa hari saja. Dengan demikian sosialisasi yang baik, hubungan yang erat, intensitas pertemuan dengan petani yang didampingi kurang berjalan dengan baik. Selain itu penggunaan pendekatan yang kurang partisipatif menyebabkan sulitnya penyuluh dan pendamping peka terhadap kondisi yang dihadapi petani, kurang dapat memahami kebutuhan dan permasalahan petani dan kurang fokus dalam memberikan perhatian pada pemenuhan kebutuhan dan pemecahan permasalahan petani.

Selain itu, pada kenyataannya dalam proses pendampingan yang dilakukan selama proses sertifikasi, tidak semua pendamping atau penyuluh mengikuti proses dari awal sampai akhir. Misalnya LSM yang mendampingi di Kec. Girisekar (Arupa) tidak memiliki pendamping yang tetap untuk mendampingi proses sertifikasi dan seringkali harus mengganti pendampingnya. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi kepercayaan dan keterbukaan petani terhadap pendampingnya. Di sisi lain, khususnya di Desa Jeruken, Kec. Girisekar, Kabupaten Gunung Kidul, petani mengungkapkan bahwa mereka sangat menghargai dan merasakan manfaat dari keberadaan pendamping yang tinggal menetap di desa. Menurut pengalaman mereka, pendamping yang tinggal menetap di desa dapat bersosialisasi sangat baik dengan masyarakat, intensitas bertemu lebih banyak, bukan saja dalam kegiatan formal kelompok tani hutan rakyat HR tetapi juga dalam kegiatan non formal seperti kegiatan sosial dan keagamaan akan membuat petani lebih dekat, lebih terbuka kepada pendamping sehingga pendamping juga dapat lebih memahami permasalahan dan kebutuhan petani yang didampinginya.

Kemampuan menganalisa permasalahan

Kemampuan penyuluh dan pendamping dalam menganalisa permasalahan di kedua lokasi penelitian berbeda nyata, di Gunung Kidul skor rataan 61

(22)

termasuk kategori “sedang” sedangkan di Wonogiri skor rataan 23 termasuk kategori “rendah”. Persentasi petani sertifikasi di Gunung Kidul yang menilai kemampuan penyuluh dan pendamping “tinggi” dalam menganalisa permasalahan tidak berbeda jauh dengan penilaian “sedang” yaitu 34% dan 37%. Sedangkan di Wonogiri hampir semua petani sertifikasi (93%) menilai kemampuan penyuluh dan pendamping dalam menganalisa permasalahan, memberikan alternatif pemecahan permasalahan “rendah”.

Kenyataan ini sebenarnya sejalan dengan kemampuan komunikasi dan kemampuan mengenali kebutuhan petani, yaitu sesuai dengan intensitas pertemuan yang sangat jarang dan keberadaan penyuluh dan pendamping yang tidak tinggal bersama dengan petani di desa menyebabkan adanya keterbatasan pendamping dan penyuluh dalam melihat permasalahan dari sudut pandang petani. Di sisi lain, pendamping dan penyuluh memiliki target-target yang ditetapkan oleh insitusi tempat mereka bekerja, sehingga fokus perhatian lebih kepada pencapaian target-target yang ditetapkan oleh institusi kerja mereka, dan bukan kepada kebutuhan dan permasalahan riil yang dihadapi petani khususnya berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari.

Kemampuan menjalin kemitraan

Sama dengan indikator lainnya, terdapat perbedaan yang nyata dalam kemampuan penyuluh dan pendamping dalam menjalin kemitraan antara penyuluh dan pendamping di kedua lokasi penelitian. Petani sertifikasi di Gunung Kidul menilai kemampuan pendamping dan penyuluh dalam menjalin kemitraan “sedang” dengan skor rataan 64 sedangkan di Wonogiri “rendah” dengan skor rataan 44. Dilihat dari skor rataan di kedua kabupaten, kemampuan pendamping dan penyuluh menjalin kemitraan merupakan indikator kedua terbaik setelah kemampuan komunikasi. Hal tersebut dapat dimengerti mengingat proses sertifikasi di kedua kabupaten melibatkan pihak-pihak di luar pendamping atau penyuluh itu sendiri. Proses sertifikasi di Gunung Kidul merupakan kerjasama kelompok kerja (POKJA) Hutan Rakyat Lestari yang dibentuk oleh Bupati Kab. Gunung Kidul dengan Keputusan Bupati Gunung Kidul Nomor: 95/KPTS/2005 tanggal 20 September 2005, yang beranggotakan Perguruan Tinggi, Lembaga

(23)

Swadaya Masyarakat (LSM), pihak pemerintah dan masyarakat (Ketua Petani HR). Pendamping dan penyuluh di Gunung Kidul dimudahkan untuk melakukan kerja sama dengan adanya Pokja HRL tersebut.

Walaupun tidak ada Pokja HRL seperti di Gunung Kidul, sertifikasi hutan rakyat di Wonogiri merupakan yg pertama di Indonesia, dan merupakan kerja sama antara LSM PERSEPSI dengan World Wildlife Fund (WWF) dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Dengan demikian pendamping dan penyuluh juga tidak mengalami kesulitan untuk menjalin kemitraan, khususnya berkaitan dengan pelatihan, magang, dan lainnya.

Kemampuan meningkatkan kapasitas petani

Kemampuan penyuluh dan pendamping dalam meningkatkan kapasitas petani sertifikasi di Gunung Kidul dinilai “sedang” dengan skor rataan 60 sedangkan di Wonogiri tergolong ‘rendah” dengan skor rataan 22. Kemampuan pendamping dan penyuluh dalam meningkatkan kapasitas petani sebenarnya sangat berkaitan dengan fokus perhatian, program, kegiatan dan anggaran institusi tempat mereka bekerja. Misalnya dalam kegiatan pemetaan, magang dan studi banding petani ke usaha furniture, pendamping dan penyuluh tidak mampu melakukannya tanpa adanya program dan dukungan anggaran dan insitusi tempat bekerja ataupun mitra kerjanya.

Hampir semua petani sertifikasi di Wonogiri (94%) menilai kemampuan penyuluh dalam meningkatkan kapasitas petani rendah. Hal ini dapat dipahami karena hampir tidak ada pelatihan bagi petani berkaitan dengan pengelolaan HRL. Sekalipun diadakan kegiatan peningkatan kapasitas, seperti magang untuk pengolahan limbah kayu hanya melibatkan beberapa orang saja. Demikian juga dengan kegiatan pemetaaan lahan milik, yang seharusnya dipahami oleh semua anggota yang memiliki lahan, tetapi pada kenyataannya hanya melibatkan sebagian pengurus saja.

Kemampuan pendamping dan penyuluh dalam meningkatkan kapasitas petani berkaitan dengan kemampuan sebelumnya yaitu mengadakan komunikasi, mengenali kebutuhan petani dan menganalisa permasalahan, mencarikan alternatif solusi bagi petani. Peningkatan kapasitas petani seharusnya merupakan salah satu

(24)

alternatif penyelesaian permasalahan petani dan pemenuhan kebutuhan petani, sehingga merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan. Namun kenyataannya peningkatan kapasitas petani kurang mendapatkan perhatian dari pendamping dan penyuluh karena kelemahan dalam komunikasi, pemahaman terhadap kebutuhan dan permasalahan petani.

Salah satu contoh baik di Gunung Kidul, khususnya di Kec.Panggang, Desa Girisekar adalah petani dilatih untuk dapat mengembangkan usaha lain sebagai alternatif untuk menanggulangi permasalahan mereka mengatasi kebiasaan ‘tebang butuh’ kayu-kayu dengan diameter kecil. Pendamping berupaya untuk mencarikan jalan keluar bagi permasalahan petani berkaitan dengan mengadakan pelatihan untuk mengembangkan usaha pembuatan kompos, minyak

Virgin Coconut Oil (VCO) dan lainnya.

Sebaliknya di Wonogiri, pendamping dengan menjaring LSM maupun badan internasional berupaya untuk mengembangkan industri pengolahan limbah kayu dengan melatih beberapa anggota kelompok tani. Walaupun baik, namun petani sendiri menilai bahwa upaya itu hanya melibatkan sedikit orang dan bukan merupakan pemecahan permasalahan yang sedang dihadapi sebagian besar petani dalam pengelolaan HRL.

Kemampuan mengembangkan kelembagaan petani

Dalam hal kemampuan pendamping dan penyuluh mengembangkan kelembagaan petani juga terdapat perbedaan nyata antara petani hutan rakyat sertifikasi di kedua lokasi penelitian. Kemampuan penyuluh dan pendamping dalam mengembangkan kelembagaan petani di Gunung Kidul tergolong “sedang” dengan skor rataan 62, sedangkan di Wonogiri tergolong ‘rendah” dengan skor rataan 19.

Hampir semua petani sertifikasi di Wonogiri (97%) menilai kemampuan pendamping dan penyuluh dalam mengembangkan kelembagaan petani rendah. Sedangkan persentasi petani sertifikasi di Gunung Kidul yang menilai “tinggi” kemampuan penyuluh dan pendamping dalam mengembangkan kelembagaan petani masih cukup banyak yaitu 39%, dan menilai “sedang” 30%. Perbedaan yang sangat menyolok ini dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) pendampingan

(25)

sertifikasi di Gunung Kidul dilakukan lebih dahulu dibandingkan dengan Wonogiri; (2) sebagian besar petani sertifikasi di Gunung Kidul telah mendapatkan pendampingan dalam kegiatan Rancang Bangun Unit Manajemen HRL sehingga pengembangan kelembagaan lebih baik; (3) pendampingan yang dilakukan di Wonogiri cenderung lebih banyak ditujukan untuk memenuhi persyaratan administrasi pengajuan dokumen sertifikasi daripada penguatan dan pengembangan kelembagaan petani.

Kemampuan dan wawasan teknis

Terdapat perbedaan nyata antara penilaian terhadap kemampuan penyuluh dalam mengembangkan wawasan teknis, khususnya berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul dan Wonogiri. Petani sertifikasi di Gunung Kidul menilai kemampuan penyuluh dalam mengembangkan wawasan teknis ‘sedang” yaitu dengan skor rataan 62 sedangkan petani sertifikasi di Wonogiri menilai kemampuan penyuluh dalam mengembangkan wawasan teknis “rendah” dengan skor rataan 20.

Perbedaan yang cukup menyolok ini terutama karena latar belakang pendidikan pendamping. Pendamping di Wonogiri berasal dari LSM PERSEPSI, dengan berlatar belakang pendidikan sebagian besar dari ilmu sosial, bukan dari ilmu kehutanan. Sedangkan di Gunung Kidul, selain PKHR yang merupakan institusi bagian dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, juga LSM Shorea dan Arupa yang merupakan LSM yang khusus bergerak di bidang kehutanan dan lingkungan, dimana sebagian besar anggotanya merupakan alumni Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada.

Dalam proses pendampingan di Gunung Kidul, petani bukan saja diajarkan mengenai pemetaan, tetapi juga cara menaksir diameter pohon, ketinggian pohon dan lainnya yang belum pernah diketahui oleh petani. Mereka juga diajarkan penghitungan hasil tebangan per tahun (etat) untuk menjamin tidak terjadi over

cuttting dan sistem permudaan kembali kawasan hutan bekas tebangan. Walaupun

menurut petani agak rumit, tetapi wawasan mereka tentang teknis pengelolaan Hutan Rakyat Lestari menjadi berkembang.

(26)

Pendekatan Pembelajaran

Pendekatan pembelajaran yang digunakan penyuluh dan pendamping kepada petani hutan rakyat sertifikasi dan non sertifikasi di kedua kabupaten dinilai berbeda nyata pada taraf uji 0,05. Walaupun penilaian terhadap pendekatan pembelajaran oleh petani hutan rakyat sertifikasi dan non sertifikasi di kedua kabupaten termasuk pada kategori yang sama, yaitu kategori “rendah” tetapi memiliki rentang skor rataan yang jauh. Skor rataan untuk semua indikator pendekatan pembelajaran oleh petani hutan rakyat sertifikasi di kedua lokasi penelitian berkisar antara nilai 40 dan 50, sedangkan skor rataan untuk petani hutan rakyat non sertifikasi di kedua kabupaten berkisar antara 0 dan 10.

Perbedaan yang cukup menyolok ini dapat dimengerti mengingat petani hutan rakyat sertifikasi di kedua lokasi penelitian sudah mendapatkan pendampingan dan pembelajaran Hutan Rakyat Lestari dari penyuluh dan pendamping. Sedangkan untuk petani hutan rakyat non sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri belum pernah mendapatkan pendampingan atau pembelajaran Hutan Rakyat Lestari. Walaupun pembelajaran HRL yang diperoleh dari penyuluh dan pendamping di Wonogiri juga tergolong masih rendah dibandingkan di Gunung Kidul. Penilaian petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul termasuk ke dalam kategori “sedang” dengan skor rataan antara 50 sampai 70, sedangkan di Wonogiri termasuk dalam kategori “rendah” dengan skor rataan berkisar antara 20 dan 30.

Penilaian terhadap pendekatan pembelajaran oleh petani non sertifikasi di Wonogiri adalah 0, karena semua petani yang menjadi responden belum pernah mendapatkan pembelajaran dari penyuluh atau pendamping sehingga tidak dapat memberikan penilaian terhadap pendekatan pembelajaran yang diterima. Pembelajaran mereka tentang hutan rakyat selama ini lebih banyak diwariskan turun menurun dari orang tua mereka.

Penilaian terhadap pendekatan pembelajaran ini tidak terlepas dari penilaian terhadap kompetensi penyuluh dan pendamping. Menurut petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri, Penyuluh dan Pendamping sangat jarang atau bahkan tidak pernah melakukan kegiatan pembelajaran, sehingga mereka menilai “rendah”, baik kompetensi maupun pendekatan pembelajaran yang digunakan.

(27)

Tabel 23. Perbandingan Penilaian terhadap Pendekatan Pembelajaran Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri

No Pendekatan

Pembelajaran Kategori

Hutan Rakyat Lestari-sertifikasi (%)

Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung Kidul Wono-giri Total Gunung Kidul Wono-giri Total 1 Materi pembelajaran Tidak sesuai 26 97 61 93 100 97 Cukup sesuai 50 3 26 7 0 3 Sesuai 24 0 12 0 0 0 Skor Rataan 60 27 43 9 0 4 2 Metoda pembelajaran Tidak sesuai 25 91 58 87 100 93 Cukup sesuai 41 9 25 7 0 3 Sesuai 34 0 17 7 0 3 Skor Rataan 63 29 46 15 0 7 3 Model pembelajaran Tidak sesuai 21 80 50 87 100 93 Cukup sesuai 38 18 28 7 0 3 Sesuai 41 2 21 7 0 3 Skor Rataan 65 31 48 15 0 7 4 Tahapan pembelajaran Sulit 27 86 56 87 100 93 Sedang 53 14 33 7 0 3 Mudah 20 0 10 7 0 3 Skor Rataan 59 31 45 15 0 7 5 Cara pembelajaran Tidak sesuai 29 96 56 93 100 97 Cukup sesuai 52 4 33 7 0 3 Sesuai 19 0 10 0 0 0 Skor Rataan 59 26 43 11 0 5 Keterangan:

- Hutan Rakyat sertifikasi: n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200; hutan rakyat non sertifikasi n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60

- Skor Rataan: Tidak sesuai/sulit (0-50); Cukup sesuai/Sedang (51-75); Sesuai/Tinggi (76-100)

Mengacu pada paradigma pendekatan pembelajaran yang diharapkan dalam penelitian ini, Penyuluh dan pendamping, di kedua lokasi penelitian cenderung lebih menggunakan pendekatan “pengajaran” (teaching) dibandingkan dengan “pembelajaran” (learning). Hal tersebut dapat dilihat dari uraian lima indikator atau sub variabel materi, metode, model, tahapan dan cara pembelajaran sebagai berikut di bawah ini.

Materi Pembelajaran

Penilaian petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul terhadap materi pembelajaran, dilihat dari skor rataan tergolong “cukup sesuai” dengan nilai 59, sedangkan di Wonogiri tergolong “tidak sesuai” dengan nilai 27. Hampir semua petani sertifikasi di Wonogiri (93%) menilai materi pembelajaran “tidak sesuai” karena sebagian kecil pengurus yang dilibatkan dalam pertemuan atau pelatihan

(28)

Hutan Rakyat Lestari sehingga petani hutan rakyat sertifikasi lainnya merasa tidak pernah terlibat dalam pembelajaran dan mendapatkan materi pembelajaran mengenai Hutan Rakyat Lestari satu kali pun, sampai dengan proses sertifikasi selesai dilaksanakan.

Materi pembelajaran, di Gunung Kidul terutama yang berkaitan dengan proses sertifikasi, merupakan paket materi pelajaran yang telah disepakati bersama oleh beberapa LSM pendamping. Demikian juga dengan jenis, jumlah materi pembelajaran lebih banyak ditentukan dan disediakan oleh LSM pendamping.

Materi pembelajaran Hutan Rakyat Lestari lebih diarahkan untuk mencapai target-target tertentu dalam rangka memenuhi persyaratan sertifikasi PHBML. Masyarakat tidak dilibatkan dalam menentukan materi pembelajaran yang ingin dipelajari berkaitan dengan Hutan Rakyat Lestari. Materi pembelajaran lebih banyak ditetapkan oleh LSM pendamping. Dengan demikian materi pembelajaran kurang dapat menjawab kebutuhan atau permasalahan riil yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Misalnya masyarakat diajarkan mengenai cara menghitung tinggi pohon, etat dan lainnya yang sulit dipahami dan masyarakat sendiri tidak mengerti keterkaitan materi pembelajaran tersebut dengan kehidupan mereka sehari-hari.

Materi pembelajaran berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di kedua lokasi penelitian belum dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat itu sendiri. Misalnya masalah utama masyarakat adalah bagaimana mengatasi kebiasaan “tebang butuh”. Sebenarnya masyarakat menginginkan adanya usaha produktif lain yang dapat mengalihkan kebiasaan tebang butuh, untuk menambah penghasilan mereka selama menunggu waktu tepat untuk memanen kayu.

Walaupun demikian, khususnya pada pembelajaran di Gunung Kidul, materi pembelajaran tidak secara kaku mengikuti target, pada pelaksanaannya di lapangan penyuluh dan pendamping melakukan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan, sesuai dengan kondisi masyarakat yang dihadapi.

(29)

Metode Pembelajaran

Terdapat perbedaan yang nyata dalam hal penilaian metode pembelajaran yang digunakan dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari antara petani di Gunung Kidul dan Wonogiri. Petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul menilai metode yang digunakan “cukup sesuai” dengan skor rataan 63, sedangkan petani sertifikasi hutan rakyat di Wonogiri menilai “tidak sesuai” dengan skor rataan 29. Penilaian tersebut disebabkan adanya perbedaan dalam metode pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran di kedua lokasi penelitian.

Metode pembelajaran di Gunung Kidul lebih banyak tatap muka, diskusi kelompok dalam pertemuan-pertemuan rutin kelompok seperti salapanan, atau tiap tanggal-tanggal tertentu. Selain pertemuan kelompok, dilakukan juga praktek di lapangan, seperti pendugaan volume kayu, pemetaan batas lahan milik dan lainnya. Namun, hanya sebagian kecil pengurus yang mendapat kesempatan untuk mengikuti kegiatan praktek di lapangan, sebagian besar anggota tidak dilibatkan, sehingga petani hutan rakyat sertifikasi khususnya di Wonogiri menilai tidak sesuai metode pembelajaran yang digunakan. Khusus di Gunung Kidul, selain pertemuan rutin dan praktek juga dilakukan demplot pertanian organik tanaman padi, studi banding ke pertanian organik di Kaliurang yang telah berhasil.

Pendekatan lainnya seperti pendekatan perorangan dilakukan oleh para penyuluh/pendamping, hanya kepada pengurus kelompok atau tokoh masyarakat dengan mengunjungi rumah maupun tempat berladang. Penyuluh dan pendamping sangat jarang atau bahkan tidak pernah mengunjungi anggota biasa, sehingga dapat dimaklumi bila anggota kelompok banyak yang tidak mengetahui siapa penyuluh atau pendamping yang bertugas mendampingi mereka dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari.

Model Pembelajaran

Penilaian petani terhadap model pembelajaran, tidak berbeda dengan indikator lainnya, petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul menilai model pembelajaran “cukup sesuai” dan di Wonogiri “tidak sesuai”. Model pembelajaran HRL di kedua lokasi sebenarnya sama, yaitu lebih banyak diskusi. Namun karena petani di Gunung Kidul memiliki kesempatan lebih banyak untuk

(30)

berdiskusi dengan penyuluh dan pendamping lebih banyak, maka petani di Gunung Kidul menilai model pembelajaran lebih baik dibandingkan petani di Wongiri yang sangat jarang mendapatkan kesempatan berdiskusi bahkan bertemu dengan penyuluh dan pendamping.

Diskusi kelompok, dengan model komunikasi dua arah, yang paling sering dilakukan dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari. Sebenarnya metode diskusi ini cukup baik, namun dalam diskusi pembelajaran Hutan Rakyat Lestari masih lebih banyak didominasi oleh penyuluh dan pendamping serta pengurus kelompok. Diskusi belum banyak dapat menggali pengalaman dan kemampuan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari.

Tahapan pembelajaran

Petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul menilai tahapan pembelajaran “sedang” dengan skor rataan 59, sedangkan petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri menilai tahapan pembelajaran “sulit” dengan skor rataan 31. Petani sertifikasi, khususnya di Gunung Kidul menilai tahapan pembelajaran relatif mudah diikuti dan jelas, walaupun begitu mereka merasakan banyak waktu yang dibutuhkan, dan tenaga yang dicurahkan terutama pada proses pengajuan usulan sertifikasi.

Petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri menilai “sulit” karena sebagian besar petani Hutan Rakyat Lestari tidak terlalu paham mengenai tahapan pembelajaran tersebut dan hanya beberapa pengurus yang terlibat dalam proses pembelajaran. Tahapan pembelajaran dengan menggunakan paham “trickle down

effect”, dengan asumsi pengurus terlebih dahulu diikutkan dalam pembelajaran

Hutan Rakyat Lestari, dan berharap akan menyebarluaskan materi yang telah didapat oleh pengurus kepada anggota lainnya, tetapi ternyata proses penyebarluasan materi pembelajaran atau informasi kepada anggota tidak berjalan dengan baik.

Pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, khususnya di Wonogiri tidak dahului dengan proses penyadaran masyarakat akan pentingnya sertifikasi, bahkan lebih cenderung provokatif dengan menekankan “peningkatan harga jual kayu yang tinggi”. Oleh karena itu, pada waktu penelitian ini dilakukan, banyak masyarakat

(31)

yang kurang paham mengenai sertifikasi, bahkan ironisnya ada beberapa responden yang tidak mengetahui bahwa hutan mereka telah memperoleh sertifikasi. Pada sisi lain, masyarakat merasa ‘ditipu” oleh LSM pendamping karena janji peningkatan harga jual kayu yang tinggi tidak mereka dapatkan.

Cara Pembelajaran

Penilaian petani hutan rakyat sertifikasi terhadap cara pembelajaran di Gunung Kidul tergolong “cukup sesuai” dengan skor rataan 59, sedangkan di Wonogiri tergolong ”tidak sesuai” dengan skor rataan 26. Cara pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat Lestari - sertifikasi baik di Gunung Kidul dan Wonogiri selain menggunakan pertemuan kelompok, juga menerapkan praktek di lapangan. Walaupun banyak kegiatan di lapangan (learning by doing), namun sangat disayangkan belum banyak menggali pengalaman dan kapasitas petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Dengan demikian kurang menerapkan

experiental learning, yang didasarkan pada pengalaman petani dalam pengelolaan

Hutan Rakyat Lestari. Misalnya, petani sebenarnya sudah punya cara tradisional dalam menentukan tinggi dan volume kayu, tanpa menggunakan peralatan canggih. Namun, karena kebutuhan pemenuhan persyaratan sertifikasi, maka yang digunakan adalah cara-cara dengan standar yang berlaku tanpa mempertimbangkan dan mengadopsi kearifan masyarakat.

Mengacu pada paradigma pendekatan pembelajaran yang diharapkan, khususnya cara pembelajaran, lebih cenderung mendekati paedagogi daripada andragogi. Alasan paling mendasar adalah dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, masyarakat petani lebih ditempatkan sebagai obyek, sasaran pembelajaran sertifikasi, dan tidak dilibatkan sejak awal proses pembelajaran sampai dengan mengevaluasi hasilnya. Pengalaman dan ketrampilan mereka dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari kurang mendapat perhatian, kearifan mereka dalam melakukan pengukuran dan lainnya kurang mendapat perhatian. Pembelajaran lebih berorientasi pada kepentingan pihak-pihak lain yang terlibat, dan kurang berorientasi pada kebutuhan dan pemecahan permasalahan yang dihadapi petani.

(32)

Kelembagaan Masyarakat

Terdapat perbedaan nyata antara penilaian kelembagaan masyarakat oleh petani hutan rakyat sertifikasi dengan non sertifikasi di kedua kabupaten pada taraf uji 0,05. Penilaian kelembagaan masyarakat oleh petani hutan rakyat sertifikasi di kedua kabupaten bervariasi pada tujuh indikatornya. Penilaian paling tinggi di kedua kabupaten tersebut ialah pada indikator kepemimpinan dengan skor rataan 77, sedangkan indikator terendah ialah penegakan sanksi dengan skor rataan 45. Sedangkan penilaian kelembagaan masyarakat oleh petani non sertifikasi di kedua kabupaten berada pada kategori rendah dengan skor rataan antara 14 – 33.

Kepemimpinan baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri dinilai ”sesuai harapan” oleh petani hutan rakyat sertifikasi dalam mendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi). Salah satu alasan mendasar ialah sebagian besar pengurus kelompok tani adalah tokoh masyarakat dan aparat yang dipercaya dan menjadi panutan masyarakat. Dengan demikian pemimpin kelompok, yang juga menjadi pemimpin di masyarakat sangat mendukung dan menjadi bagian dalam pembelajaran dan pengembangan Hutan Rakyat Lestari di masyarakat tersebut.

Sanksi, yang dikenakan kepada setiap pelanggaran, bukan saja kurang ditegakkan dengan baik, tetapi juga kurang dipahami oleh masyarakat. Sanksi-sanksi tersebut baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri umumnya tidak tertulis dan kurang disosialisasikan dalam masyarakat, sehingga tidak dapat diwariskan secara turun temurun dan akhirnya menghilang. Oleh karenanya penilaian terhadap penegakan sanksi di kedua lokasi penelitian adalah ”tidak ada”.

Kenyataan menarik lainnya ialah penilaian kelembagaan masyarakat pada petani non sertifikasi di Gunung Kidul cukup baik, yaitu empat kategori termasuk pada kategori sedang sedangkan dua kategori lainnya mendekati sedang (skor rataan 48 – 50). Sedangkan pada petani hutan rakyat non sertifikasi di Wonogiri termasuk pada kategori rendah bahkan sangat rendah, karena menilai 0 pada empat indikator, sedangkan tiga indikator lainnya pada kategori ”rendah” ( skor rataan 4 – 14). Kondisi ini menunjukkan bahwa kelembagaan masyarakat di Gunung Kidul masih cukup kuat mengakar, sekalipun pada masyarakat yang

Gambar

Tabel 21.  Perbandingan Karakteristik Petani Hutan  Rakyat  Lestari  (sertifikasi)   dan Non Sertifikasi di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri
Tabel 23. Perbandingan Penilaian terhadap Pendekatan Pembelajaran Pengelolaan  Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri
Tabel 24. Perbandingan Penilaian terhadap Kelembagaan Masyarakat oleh Petani  Hutan Rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri
Tabel  25.  Perbandingan Penilaian terhadap  Kelembagaan Pendukung  Pembelajaran    oleh Petani Hutan  Rakyat  di Gunung  Kidul  dan  Wonogiri  No  Kelembagaan Pendukung  Pembelajaran  petani  Kategori

Referensi

Dokumen terkait

Ho : ρ = 0, hipotetsis nol : tidak terdapat pengaruh antara lingkungan pengendalian, penaksiran risiko, informasi dan komunikasi, aktivitas pengendalian dan

sahabat-sahabat terbaik yang selalu memberikan kehangatan dan keceriaan, Setyo Nugroho, Ayu Indah Puspita, Tika Cahya Setyaningrum, Ayu Venny Primadani Prasetya, Riski Kikok

Simpulan: Prevalensi antiplatelet pada pasien stroke sebesar 30,1% dengan pola pemberian terbanyak adalah aspirin dosis rendah (80mg/hari) yang diberikan dalam dosis tunggal

Individu dari setiap masyarakat menyadari tindakan tersebut secara pribadi, masyarakat dapat melihat serta merasakan secara nyata berupa fakta bahwa perubahan

Harga pokok menu makanan diperoleh jika takaran bahan – bahan menu sudah diperoleh beserta seluruh analisis yang sudah dilakukan sebelumnya.untuk yang menjadi fokus peneliti

Saran yang dapat diberikan terkait dengan sistem sanksi dalam hukum Islam adalah: Negara Indonesia seharusnya tidak membatasi keberlakuan hukum Islam di Indonesia

Terjadinya sengketa mengenai hak cipta karena adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun