6 2.1. Kajian Teori
2.1.1. Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam
Usman (2012: 1) menjelaskan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam arti sempit sebagai disiplin ilmu dari phisycal sciences dan life sciences. Dari aspek ontologi yaitu menyangkut apa yang ingin diketahui dan aspek epistemology bagaimana cara kita memperoleh ilmu pengetahuan. Darmojo (1992: 3) dalam Samatowa (2012: 2), IPA adalah pengetahuan yang rasional dan objektif tentang alam semesta dengan segala isinya.
Berdasarkan ketiga pendapat di atas maka IPA pada hakikatnya adalah pengetahuan yang rasional dan objektif tentang alam semesta yang mengandung tiga hal yaitu, proses, prosedur dan produk. Merujuk pada hakikat IPA sebagaimana dijelaskan di atas, maka nilai-nilai IPA yang dapat ditanamkan dalam pembelajaran IPA antara lain sebagai berikut.
1. Kecakapan bekerja dan berpikir secara teratur dan sistematis melalui langkah-langkah metode ilmiah.
2. Keterampilan dan kecakapan dalam mengadakan pengamatan, untuk memecahkan masalah.
3. Memiliki sikap ilmiah yang diperlukan dalam memecahkan masalah baik dalam kaitannya dengan pelajaran IPA maupun dalam kehidupan. Laksmi (1986) dalam Trianto (2010: 141-2).
2.1.2. Hakikat Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
Siswa SD secara umum berusia 7-11 tahun. Secara perkembangan kognitif termasuk dalam tahapan perkembangan operasional konkret Chittenden (1971: 60) dalam Sutrisno (2007: 1.9). Tahap operasional konkret ditandai dengan cara berpikir yang cenderung konkret atau nyata. Diawali dengan kemampuan berpikir logis yang elementer. Siswa belum dapat berpikir abstrak seperti membayangkan bagaimana proses fotosintesis ataupun peristiwa osmosis.
Mengacu pada tahap perkembangan kognitif siswa SD yang masih dalam tahap berpikir operasional konkret maka dalam pembelajaran perlu diberikan keterampilan-keterampilam proses untuk memperoleh pengetahuan. Dengan demikian, semakin jelas bahwa pembelajaran IPA lebih ditekankan pada pendekatan keterampilan proses, hingga siswa dapat menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep, teori-teori dan sikap ilmiah siswa itu sendiri. Untuk itu, guru yang berperan sebagai fasilitator siswa dalam belajar produk dan proses IPA harus dapat mengemas pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa. Ada beberapa prinsip pembelajaran IPA untuk SD yang harus diperhatikan oleh guru. Prinsip tersebut antara lain:
1. Pemahaman kita tentang dunia di sekitar kita dimulai melalui pengalaman baik secara inderawi maupun non inderawi.
2. Pengetahuan yang diperoleh tidak pernah terlihat secara langsung, karena itu perlu diungkap selama proses pembelajaran. Pengetahuan siswa yang diperoleh dari pengalaman itu perlu diungkap di setiap awal pembelajaran.
3. Pengetahuan pengalaman mereka ini pada umumnya kurang konsisten dengan pengetahuan para ilmuwan, pengetahuan yang guru miliki. Pengetahuan yang demikian guru sebut miskonsepsi. Guru perlu merancang kegiatan yang dapat membetulkan miskonsepsi ini selama pembelajaran.
4. Setiap pengetahuan mengandung fakta, data, konsep, lambang, dan relasi dengan konsep yang lain. Tugas sebagai guru IPA adalah mengajak siswa untuk mengelompokkan pengetahuan yang sedang dipelajari itu ke dalam fakta, data, konsep, simbol, dan hubungan dengan konsep yang lain.
5. IPA terdiri atas produk dan proses. Guru perlu mengenalkan kedua aspek ini walaupun hingga kini masih banyak guru yang lebih senang menekankan pada produk IPA saja. Perlu diingat bahwa perkembangan IPA sangat pesat.
Dengan demikian, guru yang akan mengembangkan IPA sebagai proses, maka akan memasuki bidang yang disebut prosedur ilmiah. Guru perlu mengenalkan cara-cara mengumpulkan data, cara menyajikan data, cara mengolah data, serta cara-cara menarik kesimpulan untuk memperoleh produk IPA.
2.1.3. Tujuan Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
Menurut Hendro Darmodjo dan Jenny R. E. Kaligis (1993: 6), tujuan pembelajaran IPA di Sekolah Dasar sebagai berikut:
1. Memahami alam sekitarnya, meliputi benda-benda alam dan buatan manusia serta konsep-konsep IPA yang terkandung di dalamnya;
2. Memiliki keterampilan untuk mendapatkan ilmu, khususnya IPA, berupa “keterampilan proses” atau metode ilmiah yang sederhana;
3. Memiliki sikap ilmiah di dalam mengenal alam sekitarnya dan memecahkan masalah yang dihadapinya, serta menyadari kebesaran penciptanya;
4. Memiliki bekal pengetahuan dasar yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Tujuan pendidikan IPA di Sekolah Dasar berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau Kurikulum 2006 adalah agar peserta didik mampu memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya.
2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat.
4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.
5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.
6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs. (Mulyasa, 2010: 111).
Dengan demikian pembelajaran IPA di Sekolah Dasar dapat melatih dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
keterampilan-keterampilan proses dan dapat melatih siswa untuk dapat berpikir serta bertindak secara rasional dan kritis terhadap persoalan yang bersifat ilmiah yang ada di lingkungannya. Keterampilan-keterampilan yang diberikan kepada siswa sebisa mungkin disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia dan karakteristik siswa Sekolah Dasar, sehingga siswa dapat menerapkannya dalam kehidupannya sehari-hari.
2.1.4. Pembelajaran IPA di SD
Performansi guru yang sempurna dalam membelajarkan suatu mata pelajaran merupakan hal yang ditunggu-tunggu oleh siswa. Tak terkecuali dalam pembelajaran IPA di sekolah dasar. Menurut De Vito, et al. dalam Samatowa (2006: 104), pembelajaran IPA yang baik harus mengaitkan IPA dengan kehidupan sehari-hari siswa. Siswa diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, membangkitkan ide-ide siswa, membangun rasa ingin tahu tentang segala sesuatu yang ada di lingkungannya, membangun keterampilan (skill) yang diperlukan, dan menimbulkan kesadaran siswa bahwa pembelajaran IPA menjadi sangat diperlukan untuk dipelajari.
Pembelajaran IPA di SD menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mencari tahu dan berbuat sehingga mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Blough, et al dalam Samatowa (2006: 104) berpandangan bahwa pembelajaran IPA di SD perlu didasarkan pada pengalaman untuk membantu siswa mendeskripsikan dan menjelaskan hasil kerja dan prosedurnya.
Menurut Orlich (Sumaji dkk, 1998: 117), ciri pendidikan sains adalah bahwa sains lebih dari sekedar kumpulan yang dinamakan fakta. Sedangkan menurut Sund dan Trowbrige, sains merupakan kumpulan pengetahuan dan juga kumpulan proses. Lebih lanjut menurut Santa dan Alverman menyatakan bahwa dalam pembelajaran sains adalah seperti berikut ini: “Anak butuh mengakui konsep atau penjelasan ilmiah bertentangan dengan teori yang mereka miliki. Mereka butuh diyakinkan bahwa teori yang mereka mililki tidak lengkap, tidak cocok, atau tidak konsisten dengan bukti eksperimen, dan bahwa penjelasan ilmiah menyediakan alternatif yang lebih meyakinkan dan lebih berdaya. Anak
butuh pengulangan kesempatan dalam hal bergelut dengan ketidakkonsistenan antara ide yang dimiliki dengan penjelasan ilmiah, mengorganisasikan cara berpikir, menghilangkan atau memodifikasi berbagai ide yang telah memberikan bantuan dalam kehidupan mereka selama ini, dan membuat hubungan cocok antara bebagai ide yang mereka miliki dengan konsep ilmiah”.
Seorang guru idealnya memiliki kemampuan dan kreativitas yang cukup untuk membantu siswa memperoleh pengalaman yang bermakna dalam pembelajaran IPA. Sebelumnya, seorang guru dituntut untuk paham mengenai alasan mengapa suatu mata pelajaran diajarkan. Beberapa mata pelajaran yang diajarkan tentunya memiliki kegunaan-kegunaan tertentu. Guru harus tahu benar kegunaan-kegunaan apa saja yang dapat diperoleh dari mata pelajaran di SD, salah satunya yaitu mata pelajaran IPA. Samatowa (2006) mengemukakan berbagai alasan yang menyebabkan mata pelajaran IPA dimasukkan ke dalam
suatu kurikulum sekolah, yaitu: (1) bahwa IPA berfaedah bagi suatu bangsa; (2) bila IPA diajarkan dengan cara yang tepat, maka IPA merupakan suatu mata
pelajaran yang melatih/mengembangkan kemampuan berpikir kritis; (3) bila IPA diajarkan melalui percobaan-percobaan yang dilakukan sendiri oleh anak, maka IPA tidaklah merupakan mata pelajaran yang bersifat hafalan belaka; dan (4) mata pelajaran IPA mempunyai nilai-nilai pendidikan yaitu dapat membentuk kepribadian anak secara keseluruhan.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran IPA di SD perlu didasarkan pada pengalaman langsung siswa di kehidupannya
sehari-hari serta menimbulkan kesadaran siswa untuk belajar IPA.
2.2. TGT (Team Games Tournament) 2.2.1. Pengertian TGT
Secara umum TGT sama dengan STAD kecuali satu hal : TGT menggunakan turnamen akademik, dan menggunakan kuis-kuis dan sistem skor kemajuan individu, dimana para siswa berlomba sebagai wakil tim mereka dengan anggota tim lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti mereka (Slavin, 2008: 163) Trianto (2010: 83) menambahkan bahwa pada model TGT siswa
dibagi menjadi 17 beberapa kelompok yang terdiri dari 3 – 5 orang untuk memainkan permainan dengan anggota-anggota tim lain untuk memperoleh tambahan poin untuk skor tim mereka. Penulis menyimpulkan model TGT merupakan model pembelajaran dengan belajar tim yang menerapkan unsur permainan turnamen untuk memperoleh poin bagi skor tim mereka. Berbeda dengan kelompok kooperatif lainnya, pembagian tim dalam TGT berdasarkan tingkat kemampuan siswa. Menurut Slavin ada lima komponen utama dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT, yaitu:
1. Presentasi Kelas
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah, dan diskusi yang dipimpin guru. Disamping itu, guru juga menyampaikan tujuan, tugas, atau kegiatan yang harus dilakukan siswa, dan memberikan motivasi. Pada saat penyajian kelas ini siswa harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game atau turnamen akan menentukan skor kelompok.
2. Tim
Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil. Siswa bekerja dalam kelompok yang terdiri atas 5 orang yang anggotanya heterogen dilihat dari kemampuan akademik, jenis kelamin, dan ras atau etnik yang berbeda. Dengan adanya heterogenitas anggota kelompok, diharapkan dapat memotivasi siswa untuk saling membantu antar siswa yang berkemampuan lebih dengan siswa yang berkemampuan kurang dalam menguasai materi pelajaran. Hal ini akan menyebabkan tumbuhnya rasa kesadaran pada diri siswa bahwa belajar secara kooperatif sangat menyenangkan. Pada saat pelajaran, fungsi kelompok adalah untuk lebih dalam mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada saat game atau turnamen. Setelah guru menginformasikan materi dan tujuan pembelajaran, kelompok berdiskusi dengan dengan menggunakan modul. Dalam kelompok
terjadi diskusi untuk memecahkan masalah bersama, saling memberikan jawaban dan mengoreksi jika ada anggota kelompok yang salah dalam menjawab. Penataan ruang kelas diatur sedemikian rupa sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik.
3. Game (permainan)
Guru mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan materi. Kemudian guru mempersiapkan alat-alat untuk permainan, yaitu : kartu permainan yang dilengkapi nomor, skor, pertanyaan, dan jawaban mengenai materi. Game dimainkan oleh tiga siswa pada sebuah meja, dan masing-masing siswa mewakili tim yang berbeda yang dipilih secara acak. 4. Tournament (turnamen)
Turnamen adalah sebuah struktur di mana game berlangsung. Pada turnamen, siswa dengan kemampuan yang setara duduk dalam meja turnamen yang sama untuk melakukan pertandingan dan permainan akademik. Siswa dengan kemampuan akademik tinggi akan berada pada meja turnamen dengan siswa mempunyai kemampuan akademik tinggi, siswa yang mempunyai kemampuan akademik sedang dengan siswa berkemampuan sedang dan siswa dengan kemampuan akademik rendah dengan siswa berkemampuan rendah juga. Kompetisi yang seimbang ini memungkinkan siswa berkontribusi secara maksimal terhadap skor tim. Jadi, hubungan antar tim heterogen dan meja turnamen homogen. Setelah turnamen pertama, para siswa akan bertukar meja bergantung pada kinerja siswa saat turnamen. Pemenang pada tiap meja “naik tingkat” ke meja berikutnya yang lebih tinggi. Dengan cara ini, jika pada awalnya siswa salah ditempatkan dalam tim, untuk turnamen berikutnya mereka akan terus dinaikkan atau diturunkan sampai mencapai tingkat kinerja siswa yang sesungguhnya. Pemenang dalam turnamen ditentukan dari banyaknya poin yang diperoleh.
5. Rekognisi Tim
Tim akan mendapatkan setifikat atau bentuk penghargaan yang lain apabila skor rata-rata yang mereka peroleh mencapai kriteria tertentu. Dengan adanya
rekognisi ini diharapkan dapat meningkatkan minat siswa untuk melakukan yang terbaik.
2.2.2. Kelebihan dan kelemahan model TGT
Metode pembelajaran kooperatif Team Games Turnament (TGT) ini mempunyai kelebihan dan kelemahan. Menurut suarjana (2000: 10) dalam istiqomah (2006:17), yang merupakan kelebihan dan kelemahan dari pembelajaran TGT antara lain:
1. Kelebihan TGT
a. Lebih meningkatkan pencurahan waktu untuk tugas. b. Mengedepankan penerimaan terhadap perbedaan individu.
c. Dengan waktu yang sedikit dapat menguasai materi secara mendalam. d. Proses belajar mengajar berlangsung dengan keaktifan dari siswa. e. Mendidik siswa untuk berlatih bersosialisasi dengan orang lain. f. Motivasi belajar lebih tinggi.
g. Hasil belajar yang lebih baik.
h. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi. 2. Kelemahan TGT
a. Bagi Guru
1) Sulitnya pengelompokan siswa yang mempunyai kemampuan heterogen dari segi akademis. Kemampuan heterogen adalah kemampuan menyeluruh. Misalnya dalam kelompok guru harus membaginya secara adil dan tidak membeda-bedakan, guru juga harus bisa mengendalikan kelas dengan kemampuan yang dimilikinya. Kelemahan ini akan dapat diatasi jika guru yang bertindak sebagai pemegang kendali teliti dalam menentukan pembagian kelompok. 2) Waktu yang dihabiskan untuk diskusi oleh siswa cukup banyak
sehingga melewati waktu yang sudah ditetapkan. Kesulitan ini dapat diatasi jika guru mampu menguasai kelas secara keseluruhan.
b. Bagi siswa
Masih adanya siswa berkemampuan tinggi kurang terbiasa dan sulit memberikan penjelasan kepada siswa lainnya. Untuk mengatasi
kelemahan ini, tugas guru adalah membimbing dengan baik siswa yang mempunyai kemampuan akademik tinggi agar dapat dan mampu menularkan pengetahuannya kepada siswa yang lain.
2.2.3. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT)
Menurut Slavin (2010: 170), langkah-langkah penerapan model kooperatif tipe TGT yaitu sebagai berikut:
1. Pengajaran
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam presentasi kelas. Presentasi mencakup pembukaan, pengembangan, dan pengarahan praktis tiap komponen dari keseluruhan materi pelajaran.
2. Belajar Tim
Dalam langkah kedua ini, para siswa mengerjakan lembar kegiatan dalam tim mereka untuk menguasai materi. Setiap tim mendapatkan dua lembar kegiatan dan lembar jawaban. Lembar kegiatan dan lembar jawaban selain dapat mereka gunakan untuk melatih kemampuan selama proses pengajaran juga untuk menilai diri mereka sendiri dan teman sekelasnya. Selama belajar dalam tim, tugas para anggota tim yaitu selain menguasai materi yang telah disampaikan guru dalam presentasi kelas, juga membantu anggota lainnya untuk menguasai materi tersebut.
3. Turnamen
Turnamen merupakan struktur game yang dimainkan. Biasanya diselenggarakan pada unit, setelah guru melaksanakan penyajian materi dan tim telah berlatih dengan lembar kerja. Turnamen 1, guru menempatkan siswa ke meja turnamen, tiga siswa terbaik pada hasil belajar yang lalu pada meja 1, tiga siswa berikutnya pada meja 2, dan seterusnya. Kompetisi yang sama ini memungkinkan siswa dari semua tingkat hasil belajar yang lalu memberi kontribusi pada skor timnya secara maksimal jika mereka melakukan yang terbaik. Setelah turnamen satu, siswa pindah meja tergantung pada hasil mereka dalam turnamen satu. Pemenang satu pada tiap meja ditempatkan ke meja berikutnya yang setingkat lebih tinggi, misal dari 5 ke 6. Pemenang
A – 1 Tinggi A – 2 Sedang A – 3 Sedang A – 4 Rendah Kelompok A Meja Turnamen 1 Meja Turnamen 2 Meja Turnamen 3 Meja Turnamen 4 B – 1 Tinggi B – 2 Sedang B – 3 Sedang B – 4 Rendah Kelompok B C – 1 Tinggi C – 2 Sedang C – 3 Sedang C – 4 Rendah Kelompok C
kedua pada meja yang sama, dan yang kalah diturunkan ke meja bawahnya. Dengan cara ini, jika siswa salah ditempatkan pada mulanya, mereka akan naik atau turun sampai mereka mencapai tingkat yang sesuai. Secara sistematis model pembelajaran TGT untuk turnamen tampak seperti gambar berikut :
Gambar 2.1.
Penempatan Siswa Turnamen
Keterangan:
A-1,B-1,C-1 = Siswa berkemampuan tinggi A-(2,3) B-(2,3) C (2,3) = Siswa berkemampuan sedang A-4, B-4, C4 = Siswa berkemampuan rendah Meja 1,2,3,4 = Meja Turnament (1,2,3,4)
Untuk memulai turnamen, para siswa dalam setiap meja turnamen menarik kartu bernomor untuk menentukan pembaca yang pertama, yaitu siswa yang mendapat nomor tertinggi. Pembaca mengocok kartu bernomor dan mengambil kartu yang paling atas, kemudian membaca dan menjawab pertanyaan sesuai dengan nomor pada kartu yang diambil. Setelah pembaca memberikan jawaban, penantang I mempunyai pilihan untuk menantang dan
memberikan jawaban yang berbeda atau melewatinya. Begitu pula dengan penantang II, jika ia mempunyai jawaban yang berbeda dengan pembaca dan penantang I, maka penantang II atau penantang terakhir boleh menantang atau memilih untuk melewatinya.
Setelah semua peserta memberikan jawaban atau melewati pertanyaan, penantang terakhir memeriksa dan membacakan jawaban yang benar. Siswa yang memberikan jawaban dengan benar akan menyimpan kartunya. Jika jawaban yang diberikan pembaca salah, maka pembaca tidak mendapatkan sanksi. Namun, jika jawaban yang diberikan penantang salah, maka penantang mendapatkan sanksi, yaitu harus mengembalikan kartu kemenangannya. Untuk permainan putaran berikutnya, semua peserta bergerak satu posisi, yaitu penantang I menjadi pembaca, penantang II menjadi penantang I, dan pembaca menjadi penantang II. Pada saat turnamen selesai, siswa mencatat nomor yang telah mereka menangkan pada lembar skor permainan dan menambahkan pula poin yang mereka peroleh pada setiap gameRekognisi Tim Tim dimungkinkan mendapatkan sertifikat atau penghargaan lain apabila skor rata-rata mereka melebihi kriteria tertentu. Skor tim dihitung berdasarkan skor turnamen anggota tim, dan tim tersebut akan direkognisi apabila mereka berhasil melampaui kriteria yang telah ditetapkan. Menurut Slavin (1995 : 80) penghargaan yang diberikan kepada kelompok adalah dengan kriteria sebagai berikut :
Tabel 2.1.
Kriteria Penghargaan Tim
Criteria (team average) Award
45 ke atas Super Team
40 – 45 Great Team
2.3. Keaktifan Belajar Siswa 2.3.1. Pengertian Keaktifan
Proses pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangkan aktivitas dan kreatifitas peserta didik melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar. Keaktifan belajar siswa merupakan unsur dasar yang penting bagi keberhasilan proses pembelajaran. Keaktifan adalah kegiatan yang bersifat fisik maupun mental, yaitu berbuat dan berfikir sebagai suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan (Sardiman, 2001: 98). Belajar yang berhasil harus melalui berbagai macam aktifitas, baik aktifitas fisik maupun psikis. Aktifitas fisik adalah siswa giat aktif dengan anggota badan, membuat sesuatu, bermain maupun bekerja, ia
tidak hanya duduk dan mendengarkan, melihat atau hanya pasif. Siswa yang memiliki aktifitas psikis (kejiwaan) adalah jika daya jiwanya bekerja
sebanyak-banyaknya atau banyak berfungsi dalam rangka pembelajaran.
Keaktifan siswa dalam kegiatan belajar tidak lain adalah untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Mereka aktif membangun pemahaman atas persoalan atau segala sesuatu yang mereka hadapi dalam proses
pembelajaran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia aktif berarti giat (bekerja, berusaha). Keaktifan diartikan sebagai hal atau keadaan dimana siswa
dapat aktif. Rousseau dalam (Sardiman, 1986: 95) menyatakan bahwa setiap orang yang belajar harus aktif sendiri, tanpa ada aktifitas proses pembelajaran tidak akan terjadi. Thorndike mengemukakan keaktifan belajar siswa dalam belajar dengan hukum “law of exercise”-nya menyatakan bahwa belajar memerlukan adanya latihan-latihan dan Mc Keachie menyatakan berkenaan dengan prinsip keaktifan mengemukakan bahwa individu merupakan “manusia belajar yang aktif selalu ingin tahu” (Dimyati, 2009:45). Segala pengetahuan harus diperoleh dengan pengamatan sendiri, pengalaman sendiri, penyelidikan sendiri, dengan bekerja sendiri dengan fasilitas yang diciptakan sendiri, baik secara rohani maupun teknik.
Dapat disimpulkan bahwa keaktifan siswa dalam belajar merupakan segala kegiatan yang bersifat fisik maupun non fisik siswa dalam proses kegiatan belajar
mengajar yang optimal sehingga dapat menciptakan suasana kelas menjadi kondusif.
Banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh siswa di sekolah. Aktivitas siswa tidak hanya mendengarkan dan mencatat seperti yang lazim terdapat di sekolah – sekolah tradisonal. Jenis-jenis aktivitas siswa dalam belajar adalah sebagai berikut (Sardiman, 1988: 99) :
1. Visual activities, yang termasuk didalamnya misalnya membaca, memperhatikan gambar demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain.
2. Oral activities, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi.
3. Listening activities, sebagai contoh mendengarkan: percakapan, diskusi , musik, pidato.
4. Writing activities, seperti menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin. 5. Drawing activities, misalnya menggambar, membuat grafik, peta, diagram. 6. Motor activities, yang termasuk didalamnya antara lain: melakukan
percobaan, membuat konstruksi, bermain.
7. Mental activities, sebagai contoh misalnya: menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisa, mengambil keputusan.
8. Emotional activities, seperti: menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, tenang.
Salah satu penilaian proses pembelajaran adalah melihat sejauh mana
keaktifan siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar. Nana Sudjana (2004: 61) menyatakan keaktifan siswa dapat dilihat dalam hal: (1) turut serta
dalam melaksanakan tugas belajarnya; (2) terlibat dalam pemecahan masalah; (3) Bertanya kepada siswa lain atau guru apabila tidak memahami persoalan yang
dihadapinya; (4) Berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah; (5) Melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk
guru; (6) Menilai kemampuan dirinya dan hasil– hasil yang diperolehnya; (7) Melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis; (8) Kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang diperoleh dalam
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan keaktifan siswa dapat dilihat dari berbagai hal seperti memperhatikan (visual activities), mendengarkan, berdiskusi, kesiapan siswa,bertanya, keberanian siswa, mendengarkan, memecahkan soal (mental activities).
2.3.2. Indikator Keaktifan Belajar
Sudjana (2012:72) berpendapat bahwa keaktifan siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar dapat dilihat dalam:
1. Antusias siswa dalam mengikuti pempelajaran. 2. Interaksi siswa dengan guru.
3. Kerjasama kelompok.
4. Keaktifan siswa dalam kelompok.
5. Partisipasi siswa dalam menyimpulkan hasil pembahasan. 2.3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keaktifan
Keaktifan peserta didik dalam proses pembelajaran dapat merangsang dan mengembangkan bakat yang dimilikinya, peserta didik juga dapat berlatih untuk berfikir kritis, dan dapat memecahkan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, guru juga dapat merekayasa sistem pembelajaran secara sistematis, sehingga merangsang keaktifan peserta didik dalam proses pembelajaran.
Keaktifan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Gagne dan Briggs (dalam Martinis, 2007:84) faktor-faktor yang mempengaruhi keaktifan belajar siswa adalah 1) Memberikan motivasi atau menarik perhatian peserta didik, sehingga mereka berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran; 2) Menjelaskan tujuan instruksional (kemampuan dasar kepada peserta didik); 3) Mengingatkan kompetensi belajar kepada peserta didik; 4) Memberikan stimulus (masalah, topik, dan konsep yang akan dipelajari); 5) Memberikan petunjuk kepada peserta didik cara mempelajari; 6) Memunculkan aktifitas, partisipasi peserta didik dalam kegiatan pembelajaran, 7) Memberikan umpan balik (feedback); 8) Melakukan tagihan-tagihan kepada peserta didik berupa tes sehingga kemampuan peserta didik selalu terpantau dan terukur; 9) Menyimpulkan setiap materi yang disampaikan diakhir pembelajaran.
Keaktifan dapat ditingkatkan dan diperbaiki dalam keterlibatan siswa pada saat belajar. Hal tersebut seperti dijelaskan oleh Moh. Uzer Usman (2009:26-27) cara untuk memperbaiki keterlibatan siswa diantaranya yaitu abadikan waktu yang lebih banyak untuk kegiatan belajar mengajar, tingkatkan partisipasi siswa secara efektif dalam kegiatan belajar mengajar, serta berikanlah pengajaran yang jelas dan tepat sesuai dengan tujuan mengajar yang akan dicapai. Selain memperbaiki keterliban siswa juga dijelaskan cara meningkatkan keterlibatan siswa atau keaktifan siswa dalam belajar. Cara meningkatkan keterlibatan atau keaktifan siswa dalam belajar adalah mengenali dan membantu anak-anak yang kurang terlibat dan menyelidiki penyebabnya dan usaha apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan keaktifan siswa, sesuaikan pengajaran dengan kebutuhan-kebutuhan individual siswa. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan usaha dan keinginan siswa untuk berfikir secara aktif dalam kegiatan belajar.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan keaktifan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti menarik atau memberikan motivasi kepada siswa dan keaktifan juga dapat ditingkatkan, salah satu cara meningkatkan keaktifan yaitu dengan mengenali keadaan siswa yang kurang terlibat dalam proses pembelajaran.
2.4. Hasil Belajar
2.4.1. Pengertian Hasil Belajar
Menurut Sudjana (2010:3) hasil belajar pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku seseorang. Hasil belajar seseorang dapat berupa pengetahuan, keterampilan, serta sikap. Menurut Arikunto (2010:133) hasil belajar adalah hasil akhir setelah mengalami proses belajar, perubahan itu tampak dalam perbuatan yang dapat diamati, dan dapat diukur. Hasil belajar menurut Suprijono (2009:7) adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja.
Menurut Slameto (2010:2) belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya. Menurut Hamalik (2004:16) hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar maka akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut. Misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti
Peneliti menarik kesimpulan berdasarkan dari beberapa pendapat para ahli bahwa hasil belajar merupakan suatu proses pembelajaran dari pengalaman atau lingkungannya yang mengakibatkan terjadinya perubahan tingkah laku pada individu tersebut.
2.4.2. Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Untuk hasil belajar ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya, menurut Slameto (2010: 54-82) faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah : 1. Faktor internal yaitu faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar,
faktor internal terdiri dari : a. Faktor Jasmaniah
Keadaan jasmani yang perlu diperhatikan, pertama kondisi fisik yang normal atau tidak memiliki cacat sejak lahir. Kondisi fisik normal ini meliputi keadaan otak, panca indera, dan anggota tubuh. Kedua, kondisi kesehatan fisik. Kondisi fisik yang sehat dan segar sangat mempengaruhi keberhasilan belajar
b. Faktor Psikologis
Faktor psikologis yang mempengaruhi keberhasilan belajar meliputi segala hal yang berkaitan dengan kondisi mental seseorang. Kondisi mental yang dapat menunjang keberhasilan belajar adalah kondisi mental yang siap, matang dan stabil. Serta meliputi inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan dan kesiapan seseorang.
c. Faktor kelelahan
Faktor kelelahan itu mempengaruhi belajar, agar siswa dapat belajar dengan baik haruslah menghindari jangan sampai terjadi kelelahan dalam belajar. Sehingga perlu diusahakan kondisi yang bebas dari kelelahan 2. Faktor Eksternal yaitu faktor dari luar individu. Faktor eksternal terdiri dari :
Faktor keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam menentukan keberhasilan belajar sesorang. Dapat dilihat dari cara-cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluargasuasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan. b. Faktor Sekolah
Lingkungan sekolah sangat diperlukan untuk menentukan keberhasilan belajar siswa. Hal yang paling mempengaruhi keberhasilan belajar para siswa disekolah mencakup metode mengajar guru, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar belajar diatas ukuran, keadaan gedung, metode belajar dan tugas rumah.
c. Faktor Masyarakat
Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengaruh terhadap belajar siswa karena keberadaannya dalam masyarakat. Lingkungan yang dapat menunjang keberhasilan belajar diantaranya adalah kegiatan siswa dalam masyarakat, media masa, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat juga mempengaruhi siswa.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu dan faktor yang berasal dari luar diri individu. Kedua faktor ini akan saling mendukung dan saling berinteraksi sehingga menghasilkan sebuah hasil belajar.
2.5. Hasil Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang model pembelajaran TGT sebelumnya pernah diuji atau diteliti oleh beberapa orang. Penelitian ini relevan dengan penelitian Restika Parendrarti yang telah melakukan penelitian tentang Aplikasi Model TGT Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa yang menyatakan bahwa model TGT mampu meningkatkan motivasi belajar siswa dan penelitian dengan enggunakan metode TGT menunjukkkan adanya peningkatan motivasi dan hasil belajar baik dari aspek kognitif maupun dari aspek afektif karena pembelajaran ini melibatkan
seluruh siswa untuk aktif dalam mengikuti proses pembelajaran. Selain itu penelitian dari Dariyanto yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Cooperatif Learning Melalui Tipe TGT (Teams Games Tournament) dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VII MTs. Filial Al Iman Adiwerna Tegal pada Pokok Bahasan Bilangan Bulat” Skripsi yang menyatakan hasil perhitungan diperoleh ketuntasan belajar siswa pada pokok bahasan bilangan bulat adalah meningkat. Hal ini terlihat pada peningkatan ketuntasan belajar dari 76,67% menjadi 85,30% dan meningkat lagi menjadi 87,70% hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa kelas VII MTs. Filial Al Adiwerna Tegal pada pokok bahasan bilangan bulat meningkat.
2.6. Kerangka Pikir
Model pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament merupakan model pembelajaran alternatif yang dapat digunakan guru untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran pada siswa. Diharapkan siswa menjadi lebih mudah memperoleh informasi dan memahaminya, karena siswa aktif menemukan sendiri pengetahuannya melalui kerja sama dalam kelompok. Selain itu siswa juga dapat berbagi informasi dengan teman satu kelompok maupun dengan kelompok lain melalui diskusi.
Berikut ini skema dari kerangka pikir penelitian:
Gambar 2.2. Skema Kerangka Pikir
2.7. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang dipaparkan peneliti, maka dapat dirumuskan hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut:
a) Terdapat perbedaan pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament) dengan model pembelajaran konvensional terhadap keaktifan siswa kelas 4 SD Kemijen 03.
b) Terdapat perbedaan pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament) dengan model pembelajaran konvensional terhadap hasil belajar IPA siswa kelas 4 SD Kemijen 03.
Guru menerapkan metode ceramah dalam pembelajaran IPA pada siswa kelas 4
Hasil belajar IPA sebagian belum mencapai KKM
Pembelajaran berlangsung dengan monoton, siswa merasa bosan, jenuh seperti mengantuk dan malas untuk mengikuti proses pembelajaran
Dilakukan tindakan perbaikan dengan menggunakan model cooperative learning tipe Team Games Tournament (TGT)
Hasil belajar IPA siswa menjadi meningkat