• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan membuat berbagai kebijakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan membuat berbagai kebijakan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan membuat berbagai kebijakan memajukan pendidikan melalui perbaikan dalam berbagai hal, seperti fasilitas sekolah, kurikulum, dan kualitas guru. Ada keyakinan bahwa pendidikan yang maju akan menciptakan warga negara yang baik, bermutu dan berdaya saing dengan baik pada level nasional, regional, maupun internasional.

Besarnya alokasi dana di APBN pada sektor pendidikan bertujuan untuk peningkatan mutu pendidikan di tanah air. Ada berbagai kebijakan yang dilakukan dan salah satunya adalah usaha meningkatkan kesejahteraan para guru (Media Indonesia, 3 Januari 2007). Melalui upaya yang nyata pemerintah juga telah berusaha untuk mensejahterakan para pendidik atau guru melalui perbaikan kualitas guru agar mereka menjadi guru profesional, yang diyakini memberi dampak terhadap penambahan penghasilan mereka. Kesejahteraan guru yang lebih baik diharapkan bukan lagi menjadi halangan bagi guru untuk melaksanakan tugas pengajarannya secara professional. Hal ini tentu akan menaikkan mutu atau kualitas para anak didik dibanding sebelumnya.

Pada kenyataannya tingkat atau mutu pendidikan di Indonesia masih rendah sekali, bukan hanya dikelas dunia tetapi juga kelas negara Asia bahkan di sesama negara Asia Tengara juga masih rendah (Kompas, 23 Mei 2000). Dalam laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang dirilis

(2)

pada Kamis (29/11/2007) menunjukkan, peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara di dunia. Yang jelas, Education Development Index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965).

Pada tahun 1997 sebelum reformasi, kualitas pendidikan Indonesia menempati peringkat ke -39 dari 49 negara yang disurvei. Kemudian tahun, 2007 kualitas pendidikan Indonesia menurun menjadi peringkat ke -53 dari 55 negara yang disurvei. Padahal, anggaran pendidikan meningkat selama Reformasi karena dipatok 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Pada tahun 1997/1998 sebelum Reformasi, anggaran bidang pendidikan dan kebudayaan hanya Rp 4,6 triliun. Dibandingkan dengan harga logam mulia saat itu pergram, jumlah itu setara dengan 164 ton emas. Anggaran pendidikan dalam APBN 2012 besarnya Rp. 289,95 triliun. Dibandingkan dengan harga logam mulia saat ini sekitar Rp.500.000 per gram, jumlah ini setara dengan 578 ton emas (Kompas, 23 Mei 2013).

Pada uji kompetensi guru tahun 2012 yang diikuti guru bersertifikat, rata-rata nasional untuk nilai guru hanya 43,2. Adapun nilai rata-rata-rata-rata nasional para guru yang belum bersertifikat di uji kompetensi awal berkisar 42,25. Sama halnya dengan hasil Ujian Nasional (UN) ditingkat SMA/SMK dan SMP juga masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan kalau diterapkan standar nilai yang diputuskan pemerintah, maka akan banyak sekali anak didik yang tidak berhak lulus. Kenyataan ini dapat mengilustrasikan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia mulai dari tingkat dasar sampai menengah pun semakin dipertanyakan, dan dapat

(3)

diprediksi tingkat pendidikan Indonesia cenderung semakin melorot di peringkat Asia apalagi dunia.

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 butir 19). Perkembangan kurikulum di Indonesia sudah terjadi sejak zaman kemerdekaan sampai dengan diberlakukannya kurikulum terbaru yaitu Kurikulum 2013. Satu alasan pemberlakuan kurikulum 2013 adalah konten/isi kurikulum sebelumnya masih terlalu padat yang ditunjukkan dengan banyaknya matapelajaran dan banyak materi yang keluasan dan tingkat kesukarannya melampaui tingkat perkembangan usia anak. Hal di atas akan mempengaruhi para guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas seperti terburu-buru atau ingin cepat selesai sesuai waktu yang tersedia. Para guru hanya bertujuan bisa menyelesaikan materi pembelajarannya secepat mungkin agar semua materi terselesaikan, tanpa memperhitungkan bagaimana kemampuan murid dalam menyerapnya.

Bahasa sebagai alat komunikasi yang tidak terbatas berkaitan erat dengan peran dan fungsi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahasa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari segala aspek kehidupan sosial manusia. Mempelajari bahasa adalah mempelajari cara penggunaannya, bentuknya dan juga fungsinya dalam bentuk tulisan maupun lisan. Penjelasan-penjelasan tentang fungsi bahasa sudah banyak diperbincangkan dalam masyarakat, selain dapat digunakan sebagai alat dengan tujuan positif, terkadang bahasa juga

(4)

digunakan untuk keperluan yang kurang baik. Bahasa sangat rentan, sehingga siapa pun dapat menggunakannya untuk kepentingan masing-masing penggunanya.

Peran bahasa Indonesia menjadi dominan dalam Kurikulum 2013, yaitu sebagai saluran mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi kepada peserta didik, sehingga bahasa berkedudukan sebagai penghela mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai konteks dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui cara ini, pembelajaran bahasa Indonesia termasuk kebudayaan, dapat dibuat menjadi kontekstual. Hal ini adalah sesuatu yang hilang pada model pembelajaran bahasa Indonesia saat ini.

Sebagai pendidik, guru merupakan pribadi yang bertanggung jawab secara ilmu dan juga bahasa dalam menyampaikan berbagai meteri pelajaran kepada murid di dalam kelas. Seorang guru dalam fungsinya sebagai pengajar menggunakan bahasa seefektif mungkin untuk mencapai tujuan pengajarannya. Peran bahasa guru (teachers‟ text) atau disebut dengan „Teks Guru‟ selanjutnya disingkat TG dalam kelas sangatlah penting karena dengan TG tersebut murid akan lebih mudah mengerti pelajaran yang diberikan. Sebaliknya apabila TG tidak jelas maka murid kemungkinan akan menemukan kesulitan dalam mengerti pelajaran. Selain mentransfer ilmu, TG juga dipakai sebagai alat untuk: memotivasi, menasehati, memberi tugas, menghukum dan lain-lain. Jadi dalam berwacana di dalam kelas, guru mungkin mempunyai berbagai alasan atau tujuan mengapa menggunakan TG tersebut yang diwujudkannya dalam bentuk kata, frasa dan kalimat.

(5)

Guru sebagai manajer, inisiator, penyedia informasi atau fasilitator, penentu alur interaksi dan pemberi kesempatan berbicara sering berfungsi hanya sebagai orang yang memberikan pelajaran, orang yang bercerita, dan orang yang memberikankan materi pelajaran. Sementara itu, murid sering „duduk manis‟ di kursi, menyimak penjelasan guru dan sangat sedikit mengajukan pertanyaan karena guru tidak memberi kesempatan berbicara. Guru juga jarang memberikan pertanyaan terbuka (open questions) yang meminta murid memberikan jawaban bernalar. Pertanyaan yang sering dilakukan adalah pertanyaan yang hanya memancing jawaban singkat saja, seperti „ya‟ dan „tidak„. Guru sangat aktif memproduksi bahasanya sehingga dia lupa bahwa partisipasi muridnya sangat rendah.

Pada hakikatnya perilaku guru di dalam memproduksi teks di dalam kelas merupakan refleksi dari ideologi yang dianutnya. Dari perilaku guru dalam bertindak di dalam kelas akan tergambar bagaimana guru memandang posisi murid. Apakah guru memandang murid berdasarkan konsep atasan-bawahan ataukah berdasarkan konsep bahwa guru sebagai motivator dan fasilitator serta murid sebagai patner (mitra). Hal itu merupakan realisasi dari sistem pikiran dan kepercayaan atau disebut ideologi yang ada pada diri guru itu sendiri. Dengan demikian, kedudukan guru sangat dominan karena dialah satu-satunya di dalam kelas sebagai pemegang kendali.

TG digunakan di kelas tentu dapat menentukan bagaimana corak berlangsungnya proses belajar-mengajar di kelas, apakah proses belajar-mengajar itu berlangsung hidup, dinamis, mengesankan (positif) ataukah berlangsung tegang, monoton, dan membosankan dan seterusnya (negatif). TG negatif dan

(6)

positif tersebut juga dapat mempengaruhi motivasi murid untuk belajar dan mengikuti pelajaran dengan baik atau tidak.

Berikut adalah contoh TG yang positif: „ saya senanglah kalian mau‟ „ ibu suka kalau kamu semua‟

„ bagus nak, ayo coba lagi, coba, coba ya ‟ „ itu nanti ya, nanti aja ya, nanti ‟

Berikut adalah contoh TG yang negatif: „ kau dari dulu suaramu paling kuat „

„ apa kau pegang rambutmu berhutan rupanya rambutmu ? „ kalian ngantuk ya semua „

„ lama kali lah kau ?‟

Ada juga fenomena dalam masyarakat sekolah yang sering dijumpai bahwa murid kurang menyukai beberapa mata pelajaran tertentu misalnya Matematika, Sains, Pendidikan Kewarga Negaraan dan sebagainya. Apabila ditanyakan kepada mereka maka akan banyak alasan yang diberikan untuk hal itu, tetapi ada satu alasan lain yang menyebutkan bahwa murid tidak menyukai mata pejaran itu karena tidak mengerti atau tidak memahami bahasa atau teks gurunya. Hal ini bisa juga karena materi yang diberikan susah dimengerti atau bahasa yang digunakan gurunya tidak jelas. Alasan seperti ini sering membuat murid tidak menyukai gurunya secara pribadi dan mungkin menghindar dari mata pelajaran yang diajarkan guru tersebut. Para guru juga sering berkata bahwa mereka tidak mengetahui pasti mengapa muridnya tidak mengerti pelajaran yang diberikan walaupun mereka telah mencoba dengan berbagai cara termasuk dengan memvariasikan penggunaan TG mereka.

Mulyadi (Kompas, 24 Maret 2009) menguraikan jika seorang guru kreatif dalam berkomuniasi, anak didik dengan sendirinya juga akan menjadi kreatif

(7)

dalam berkomunikasi. Dalam hal ini peranan seorang guru yang kreatif menggunakan bahasa dalam menyampaikan materi pelajaran sangat mempengaruhi pencapaian murid dalam berkomunikasi.

Dalam kenyataan sering kita melihat para murid tidak dapat atau kurang mampu mengutarakan ide atau pendapat yang diakibatkan rendahnya kemampuan berkomunikasi mereka, bahkan selama pelajaran berlangsung hampir hanya ada satu arah komunikasi yaitu dari pihak guru saja. Ada keprihatinan tentang kebutuhan akan peningkatan kompetensi komunikatif murid dari semua latar belakang sosial.

Dalam Analisis Wacana Kritis (AWK)/Critical Discourse Analysis (CDA) disebutkan bahwa sebuah teks terjadi karena adanya hubungan antara penggunaan teks tersebut dengan konteks sosial dimana teks digunakan. Isu–isu seperti gender, etika, budaya, perbedaan, ideologi dan identitas akan dapat berpengaruh dalam terjadinya sebuah teks (Paltride, 2006). Teks bukanlah sesuatu yang bebas nilai dan menggambarkan kenyataan bagaimana adanya. Dalam pandangan analisis wacana kritis, isi teks ini tidak hanya ditentukan oleh kecenderungan pribadi dari sang produsen teks namun juga ditentukan oleh struktur sosial yang melingkupi sang produser teks. Bahasa tidak netral, melainkan membawa pesan ideologi tertentu yang dipengaruhi oleh sang pembuat teks. Hal ini karena dibalik setiap teks berita yang beredar di masyarakat selalu tersembunyi pengaruh dari sebuah struktur sosial (Fairclough, 1989; Wooffitt, 2005).

AWK memahami bahwa bahasa memiliki peran aktif yang ikut membawa perubahan di dalam masyarakat, maka AWK mencoba membedah ideologi apa yang terkandung di dalam bahasa. Domain utama dalam AWK adalah ideologi

(8)

(Renkema, 2004; Blomaert, 2005; Wooffitt, 2005; Wodak, 2007), namun demikian analisis wacana kritis juga meliputi konsep kritis, kekuasaan, historis, dan ideologi itu sendiri (Wodak, 2007). AWK mencoba membuktikan peran bahasa yang secara aktif mengubah pranata sosial masyarakat.

Salah satu pakar AWK Fairclough (1989) telah mengidentifikasi dua aspek hubungan antara bahasa dan kekuasaan. Pertama, ada kekuatan di balik bahasa. Hal ini menunjukkan cara di mana kelompok-kelompok yang kuat dalam menentukan aspek bahasa. Kedua, mengidentifikasi berbagai cara kekuasaan dapat bekerja dalam bahasa. Dalam tatap muka atau interaksi, sering terdapat kendala pada sifat dan tingkat partisipasi. Ada kendala pada konten (apa yang dikatakan atau dilakukan), kendala pada jenis hubungan interpersonal yang dimasuki oleh orang orang ketika mereka terlibat dalam pembicaraan dan kendala pada posisi subjek (jenis peran partisipatif orang-orang yang ada dalam wacana tersebut).

Mengungkap ideologi, yang diartikan adalah sekumpulan ide yang mencerminkan kebutuhan-kebutuhan, harapan dan tujuan sosial dari individu, kelompok, golongan atau budaya (The American Heritage dan Dictionary of The English Language, Fourth Edition), yang terkandung dalam TG menjadi salah satu contoh tepat penerapan AWK bagi praktek sosial. Wacana dalam AWK merupakan praktik sosial (Fairclough, Mulderrig, dan Wodak, 2011) yang memiliki implikasi hubungan dialektik antara peristiwa diskursus dengan elemen situasi, institusi, dan struktur sosial masyarakat yang membentuk wacana. Sehingga AWK dapat menjadi jembatan penghubung untuk melihat struktur linguistik secara mikro dan struktur masyarakat secara makro (Van Dijk, 1998).

(9)

Struktur linguistik digunakan untuk mensistematisasikan dan mentransformasikan realitas.

Konsep wacana sebagai praktik sosial memiliki tiga implikasi. Menurut Fairclough (1989), pertama, wacana merupakan bagian dari masyarakat yang tidak bisa berdiri sendiri dan dipisahkan dari masyarakat. Kedua, pemahaman wacana sebagai praktik sosial memberi implikasi bahwa wacana merupakan proses sosial. Sebagaimana masyarakat berproses dan berkembang, maka wacana (bahasa) juga berproses dan berkembang. Ketiga, wacana berproses sesuai dengan yang dikondisikan dalam masyarakat. Ada semacam dialektika antara bahasa dan kondisi sosial. Wacana dipengaruhi oleh kondisi sosial, akan tetapi kondisi sosial juga dipengaruhi oleh wacana. Di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa fenomena linguistik bersifat sosial, sementara fenomena sosial juga memiliki sifat linguistik. Linguistik bersifat sosial karena linguistik sama sekali tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh lingkungan sosialnya. Kondisi sosial juga bersifat linguistik karena aktivitas berbahasa dalam konteks sosial tidak hanya menjadi wujud ekspresi atau refleksi dari proses dan praktik sosial, namun juga merupakan bagian dari proses dan praktik sosial tersebut.

Dalam menganalisis sebuah teks, Norman Fairclough menggunakan tiga dimensi yaitu: teks, hubungan teks dan interaksi (proses produksi) dan hubungan interaksi dan konteks sosial (praktisi sosialkultural wacana). Metode yang dikembangkan meliputi: deskripsi linguistik teks dari segi kebahasaan, interpretasi hubungan antara proses produksi dan konsumsi teks dengan teks, dan eksplanasi hubungan antara proses diskursif (produksi dan konsumsi teks) dengan proses sosial.

(10)

Khusus untuk dimensi pertama akan dianalisis dengan teori Linguistk Fungsional Sistemik (LFS) yang digagas Halliday. Teori yang mendasari metodelogi AWK ini diambil dari linguistik sistemiknya Michael Halliday yang berfokus pada tata bahasa, perbendaharaan kata, dan khususnya kata kerja transitif dan transformasi, untuk kepentingan ideologis dalam teks. Untuk menganalisisnya, diperlukan analisis linguistik yang tidak semata-mata deskriptif. Dalam beberapa karyanya, Fairclough (1989; 1995), misalnya, menyebut bahwa teorinya adalah gabungan dari linguistik fungsional-sistemik Halliday, linguistik Fowler, dan teori sosial baru Foucault.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa masalah, yaitu: 1) rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, 2) murid-murid tidak mengerti pelajaran yang diberikan guru, dan 3) guru kesulitan membuat murid mengerti pelajaran. Dugaan sementara kemungkinan penyebab ketiga masalah di atas adalah pengaruh dari TG yang digunakan ketika menjelaskan pelajaran. Dengan demikian, maka perlu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui bagaimanakah guru menggunakan TG selama mengajar dalam kelas. Untuk mencari jawaban tentang bagaimana TG digunakan, maka peneliti menganalisis TG dengan menggunakan AWK Norman Fairclough tiga dimensi. Kerangka analisis yang dikembangkan oleh Fairclough (1989, 1995) terdiri dari analisis teks, analisis praktik wacana dalam bentuk produksi dan konsumsi teks, dan analisis praktik sosio-kultural.

(11)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian masalah di atas, maka peneliti merasa perlu meneliti tentang TG dan menetapkan rumusan penelitian sebagai berikut:

Bagaimanakah bahasa dan ideologi yang digunakan oleh guru dalam TG nya ketika mengajar dalam kelas? Rumusan umum ini dirinci sebagai berikut:

(1) Bagaimanakah kosakata dalam TG yang digunakan oleh guru ketika mengajar dalam kelas?

(2) Bagaimanakah unsur gramatika dalam TG yang digunakan oleh guru ketika mengajar dalam kelas?

(3) Bagaimanakah struktur TG yang digunakan oleh guru ketika mengajar dalam kelas?

(4) Ideologi apa yang ada dalam TG ketika guru mengajar dalam kelas?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kekuasaan dan dominasi guru yang tersembunyi dalam TG ketika mengajar di kelas, dan secara khusus sesuai dengan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Menganalisis penggunaan kosakata TG ketika mengajar dalam kelas.

(2) Menganalisis unsur gramatika TG ketika mengajar dalam kelas. (3) Menganalisis struktur TG ketika mengajar dalam kelas.

(4) Mengungkap ideologi yang ada dalam TG ketika guru mengajar dalam kelas.

(12)

1.4 Batasan Penelitian

Berdasarkan teori AWK terjadinya sebuah teks (internal) tidak bisa dipisahkan dari faktor yang ada diluar teks (eksternal) tersebut. Dalam persfektif ini juga disebutkan bahwa hubungan teks dengan konteks sosial adalah hubungan konstrual yang artinya konteks sosial menentukan dan ditentukan oleh teks itu sendiri dan juga teks itu menentukan dan ditentukan oleh konteks sosial.

Penelitian ini mencakupi bahasan tentang penjabaran teks itu sendiri, pemaknaan hubungan antara teks dan interaksinya di kelas, penjelasan tentang hubungan interaksi dengan konteks sosialnya dan sikap guru yang direalisasikan dalam bahasa teks lisan. Kasus yang dipilih adalah teks yang digunakan guru di kelas sewaktu mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah SMP. Jadi, penelitian ini hanya menyangkut teks lisan guru di kelas dilihat dari sudut teks itu sendiri, praktik penggunaan teks (kewacanaan) dan praktik sosial. TG yang diteliti adalah TG yang berasal dari empat guru yang selanjutnya disebut 1.Teks Guru Simalungun (TGS), 2.Teks Guru Jawa disebut TGJ, 3.Teks Guru Mandailing disebut TGM dan 4.Teks Guru Toba yang disebut TGT.

1.5 Manfaat Penelitian

Temuan penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis dan praktis. a. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat menjadi satu model yang

memperkaya teori analisis wacana khususnya teori AWK dengan objek penelitian mengenai TG.

b. Secara praktis hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan bagi orang-orang yang mau mempelajari bahasa atau teks guru, khususnya guru yang

(13)

mempunyai masalah dalam penggunaan teks dalam menjelaskan pelajaran. Melalui penelitian ini, guru-guru juga diharapkan akan semakin berkembang dalam kemampuan verbal dengan memvariasikan teks mereka dalam mentransfer materi pelajaran. Implikasinya, bagaimanapun hasil penelitian ini akan memberi masukan kepada penelitian lain dan secara teori maupun praktik memberi solusi tentang pendidikan dalam pengembangan kurikulum, bimbingan konseling dan pembuatan kebijakan.

Referensi

Dokumen terkait

2008 Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG) Gelombang 2, 27 Oktober 5 November P4TK Seni dan Budaya Yogyakarta. 2008 Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG) Gelombang

Kegiatan analisis data pada tahap ini adalah menarik kesimpulan dan verifikasi.Analisis yang dilakukan selama pengumpulan data dan sesudah pengumpulan data digunakan untuk

Dalam penelitian ditentukan ukuran kapasitas MTR, kapasitas tambahan LVR dan rectifier , ukuran kapasitor bank, analisis aliran daya, distorsi harmonik dan kondisi

Langkah-langkah yang dilakukan Utsman bin Affan menjadi khalifah, diantaranya: adalah dengan mengirimkan surat kepada gubernur, panglima perang,

Upaya yang dilakukan adalah dengan meningkatkan kapasitas suplai MTR menjadi 230 MVA , penambahan LVR dan rectifier dengan suplai arus sebesar 45 kA dan

Dalam kegiatan pembelajaran, bagi peserta didik yang sudah mencapai kompetensi yang ditentukan yaitu menghayati nilai-nilai perjuangan Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati,

Hasil dari program ini berupa suatu aplikasi berbasis web yang menampilkan suatu tampilan website mengenai penjualan pakaian yang ditunjukkan bagi masyarakat, dan layanan

Hasil penelitian pada tanaman kedelai toleran memperlihatkan kemampuannya mengubah pH media 2-2.5 kali lebih besar dibandingkan spesies peka, demikian juga