• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. METODOLOGI PENELITIAN. mencakup penyusunan proposal hingga penyusunan draft skripsi dilaksanakan di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. METODOLOGI PENELITIAN. mencakup penyusunan proposal hingga penyusunan draft skripsi dilaksanakan di"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Penelitian yang dilakukan pada Bulan Januari hingga Mei 2008 yang mencakup penyusunan proposal hingga penyusunan draft skripsi dilaksanakan di empat kecamatan di Kabupaten Garut, empat kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Leles, Kecamatan Samarang, Kecamatan Bayongbong, dan Kecamatan Cilawu. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 10. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) karena beberapa pertimbangan, diantaranya: pertama, sentra produksi minyak akar wangi Indonesia 89 persen dihasilkan dari Kabupaten Garut (Bappeda Kab Garut, 2005). Kedua, kecamatan-kecamatan tersebut merupakan daerah penanaman akar wangi dari 40 kecamatan di Kabupaten Garut yang merupakan komoditas unggulan tingkat kecamatan (BPS KabupatenGarut, 2003). Ketiga, pengembangan usaha akarwangi di daerah tersebut melalui pemanfaatan lahan yang masih belum optimal.

Tabel 10 . Daerah Penanaman Akarwangi di Kabupaten Garut Tahun 2005

No Kecamatan Potensi Areal (Ha) Realisasi Luas Tanam (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha) 1. Leles 750 683 8.196 12 2. Samarang 1.200 850 10.200 12 3. Bayongbong 250 85 1.020 12 4. Cilawu 200 115 1.380 12 Jumlah 2.400 1.733 20.796 12

Sumber: Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Garut, 2006

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengisian kuesioner dan wawancara dengan petani dan penyuling. Pada tahap awal wawancara hanya dilakukan pada

(2)

petani dan penyuling akarwangi tetapi terungkap bahwa terdapat petani yang merangkap sebagai penyuling dan penyuling yang merangkap sebagai petani. sehingga informasi yang diperoleh menjadi beragam. Selain itu, wawancara dilakukan dengan stakeholders pengamatan secara langsung di lapangan. Data sekunder diperoleh dari Dinas Tanaman Pangan Horikultura & Perkebunan Kabupaten Garut, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Garut, BAPPEDA Kabuparen Garut, BPS, internet, literatur dan penelitian-penelitian terdahulu yang dapat dijadikan bahan rujukan yang berhubungan dengan penelitian ini.

4.3. Teknik Pengambilan Responden

Teknik pengambilan responden yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik proportional simple random sampling. Dari empat kecamatan di Kabupaten Garut yaitu Kecamatan Leles, Kecamatan Samarang, Kecamatan Bayongbong, dan Kecamatan Cilawu diambil sampel secara random (acak) sesuai dengan proporsi dari masing-masing kecamatan.

Rumus yang digunakan untuk menghitung seluruh jumlah responden tersebut adalah rumus Solvin (1960).

2 1 . N n N

e

= + Keterangan :

n = Ukuran Sampel (orang) N = Ukuran Populasi (orang)

e = Nilai Kritis (batas ketelitian) yang diinginkan (10 persen)

(3)

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Garut (2006), petani yang melakukan budidaya akarwangi secara monokultur di Kabupaten.Garut berjumlah 66 orang. Jumlah populasi ini berdasarkan jumlah petani yang melakukan usahatani pada musim tanam 2006/2007. Maka, jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 41 orang, Jumlah tersebut berdasarkan perhitungan sebagai berikut:

n = 66

1 + 66 (10 persen)2 = 41 orang

Tabel 11 merupakan jumlah pembagian sampel secara proporsional berdasarkan jumlah subpopulasi. Jumlah sampel terbanyak terdapat di Kecamatan Samarang yaitu sebanyak 19 orang. Hal ini dikarenakan jumlah petani yang melakukan kegiatan budidaya akarwangi paling banyak dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya.

Tabel 11. Pembagian Responden Secara Proporsional di Kabupaten Garut

No. Kecamatan Jumlah Petani Monokultut Pada Musim Tanam 2006/2007 (orang) Jumlah Sampel (orang) 1. Leles 12 7 2. Samarang 29 19 3. Bayongbong 15 9 4. Cilawu 10 6 Total 66 41

Pada kenyataannya di lapangan, tidak semua petani responden menanam akarwangi secara monokultur. Hal ini dikarenakan periode musim tanam yang berbeda yaitu musim tanam 2007/2008. Oleh karena itu, proses pengambilan data yang dilakukan tidak hanya pada petani monokultur tetapi juga pada petani tumpangsari tetapi daftar nama responden masih menggunakan daftar petani dari Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Garut.

(4)

Selain itu, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua petani adalah petani budidaya. Dari pengambilan sampel yang dilakukan secara acak ternyata terdapat petani yang selain petani budidaya juga sebagai penyuling. Hal ini dimungkinkan, karena beberapa petani yang memiliki modal yang besar dan memiliki akses pasar terhadap produk minyak akarwangi, berusaha untuk mengelola sendiri atau menghasilkan sendiri minyak akarwangi dan selanjutnya dijual kepada para pedagang pengumpul ataupun eksportir.

Selain terdapat petani murni dan petani yang merangkap sebagai penyuling, terdapat tiga orang responden penyuling murni. Hal ini disebabkan data responden yang digunakan adalah data yang diperoleh dari musim tanam 2006/2007. Pengambilan data (turun lapang) yang dilakukan pada Bulan Maret 2008, menyebutkan ketiga responden tersebut sebagai penyuling murni, walaupun pada musim tanam tahun 2006/2007 mereka bertindak sebagai petani dan penyuling, karena beberapa faktor seperti alasan keterbatasan waktu untuk merawat tanaman akarwangi, maka sejak musim tanam 2007/2008 responden tersebut memilih untuk menjadi penyuling murni. Faktor kuat lain yang menyebabkan adalah tingkat keuntungan yang diperoleh ketika melakukan kegiatan penyulingan yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan kegiatan budidaya akarwangi saja. Jumlah dan persentase responden petani dan penyuling akarwangi dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Petani/Penyuling Akarwangi

Responden Jumlah (Orang) Persentase ( persen)

Petani akarwangi 28 68,3

Penyuling akarwangi 3 7,3

Petani dan Penyuling akarwangi 10 24,4

(5)

4.4. Pengolahan dan Analisis Data

Data dan informasi yang telah terkumpul diolah dengan bantuan komputer program Excel Windows XP dan kalkulator. Setelah itu dikelompokkan dan disajikan dalam bentuk tabel (tabulasi) kemudian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif untuk mempermudah proses analisis data. Analisis secara kualitatif dilakukan untuk mendapatkan gambaran usaha dari tiap-tiap aspek dalam studi kelayakan usaha. Aspek-aspek tersebut antara lain: aspek teknis, pasar, serta aspek sosial.dan lingkungan.

Analisis secara kuantitatif dilakukan terhadap aspek finansial dan menganalisis dampak adanya risiko terhadap perubahan harga output dan volume produksi. Aspek finansial yang dianalisis adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Ne0t Benefit-Cost Ratio (Net B/C), dan Payback Period (Husnan dan Muhamad, 2000).

4.4.1. Analisis Aspek Teknis

Aspek teknis ini mencakup lokasi proyek dimana suatu proyek akan didirikan baik untuk pertimbangan pabrik maupun bukan pabrik, seberapa besar skala operasi yang ditetapkan untuk mencapai skala ekonomis, kriteria pemilihan mesin dan peralatan utama serta alat pembantu mesin, bagaimana proses produksi dilakukan dan layout pabrik dipilih, dan ketepatan penggunaan teknologi.

4.4.2. Analisis Aspek Pasar

Pada aspek ini terdapat beberapa hal yang perlu dikaji. Pertama, permintaan baik secara total maupun diperinci menurut daerah, jenis konsumen, dan proyeksi permintaan. Kedua, penawaran baik berasal dari dalam negeri

(6)

maupun impor, bagaimana perkembangannya pada masa lalu dan perkiraan masa yang akan datang. Ketiga, harga meliputi perbandingan dengan barang-barang impor, produksi dalam negeri, apakah terdapat kecenderungan perubahan harga. Keempat, program pemasaran mencakup strategi pemasaran, identifikasi siklus produk, dan bauran produk. Kelima, perkiraan penjualan yang bisa dicapai perusahaan dan market share yang dikuasai perusahaan

4.4.3. Analisis Aspek Sosial dan Lingkungan

Aspek sosial merupakan manfaat dan pengorbanan sosial yang mungkin dialami oleh masyarakat tetapi sulit dikuantifikasikan yang bisa disepakati secara bersama. Tetapi manfaat dan pengorbanan tersebut dirasakan ada. Misalnya, pengaruh adanya kemitraan petani akarwangi terhadap pengembangan usaha. Selain itu, analisis ini melihat pengaruh suatu usaha terhadap kelestarian lingkungan sekitar.

4.4.4. Analisis Aspek Finansial

Kriteria penilaian investasi untuk menganalisa aspek finansial antara lain: Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C), dan Payback Period. Setiap kriteria menggunakan Present Value yang telah di discount dari arus-arus benefit dan biaya selama umur proyek.

1. Net Present Value (NPV)

Menurut Kadariah et al (1999), NPV merupakan selisih antara Present Value dan Benefit dan Present Value dari biaya. Dalam evaluasi suatu proyek tertentu, nilai NPV ≥ 0 menandakan bahwa proyek tersebut layak untuk dijalankan. Jika NPV = 0, berarti proyek tersebut mengembalikan tepat sebesar

(7)

Social Opportunity Cost of Capital. Jika NPV < 0, proyek tersebut tidak layak untuk dijalankan. Penentuan nilai NPV dapat dituliskan sebagai berikut:

NPV =

= n t 1 t t t i C B ) 1 ( + − dimana:

Bt = Benefit bruto proyek pada tahun t Ct = Biaya bruto proyek pada tahun t i = Tingkat suku bunga

n = Umur ekonomis proyek t = Tahun ke-t

2. Internal Rate of Return (IRR)

Menurut Kadariah et al (1999), IRR merupakan tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek. Setiap benefit bersih yang diwujudkan secara otomatis ditanam kembali dalam tahun berikutnya dan mendapatkan tingkat keuntungan suku bunga yang sama yang diberi bunga selama sisa umur proyek. Jika ternyata IRR dari suatu proyek sama dengan nilai i yang berlaku sebagai social discount rate, maka NPV dari proyek itu adalah sebesar 0. Jika IRR < social discount rate, berarti NPV < 0. Oleh karena itu, suatu nilai IRR yang lebih besar daripada/ sama dengan social discount rate menunjukan suatu proyek layak dijalankan, sedangkan IRR kurang dari social discount rate-nya memberikan tanda tidak layak untuk dijalankan. Penentuan nilai IRR sebagai berikut:

) ( 0 ) 1 ( 1 2 2 1 1 1 i i NPV NPV NPV i IRR i Ct Bt NPV i n t − − + = = + − =

=

(8)

dimana:

Bt = Benefit bruto proyek pada tahun t Ct = Biaya bruto proyek pada tahun t NPV1 = Nilai NPV yang positif

NPV2 = Nilai NPV yang negatif

I1 = Tingkat suku bunga pada saat NPV positif I2 = Tingkat suku bunga pada saat NPV negatif

3. Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C),

Menurut Kadariah et al (1999), Net B/C merupakan perbandingan sedemikian rupa sehingga pembilangnya terdiri atas present value total dari benefit bersih dalam tahun-tahun dimana benefit bersih tersebut bersifat positif, sedangkan penyebutnya terdiri atas present value total dari biaya bersih dalam tahun-tahun tertentu dimana biaya kotor lebih besar daripada benefit kotor. Net B/C ≥ 1 menandakan bahwa proyek layak untuk dijalankan dan bila Net B/C < 1 menandakan bahwa proyek tidak layak untuk dijalankan. Penentuan Net B/C sebagai berikut: Net B/C =

= = + − + − = n t t t t n t t t t i B C i C B 1 1 ) 1 ( ) 1 ( atau dimana:

Bt = Benefit bruto proyek pada tahun t Ct = Biaya bruto proyek pada tahun t

) ( ) ( / − + = PV PV C NetB

(9)

i = Tingkat suku bunga n = Umur ekonomis proyek

PV (+) = Present Value yang bernilai positif PV (-) = Present Value yang bernilai negatif

4. Payback Period.

Menurut Husnan dan Muhamad (2000), payback period merupakan kriteria tambahan dalam analisis kelayakan untuk melihat periode waktu yang diperlukan untuk melunasi seluruh pengeluaran investasi. Semakin pendek periode pengembalian investasi suatu proyek akan semakin baik. Data yang digunakan untuk menghitung payback period ini menggunakan data yang telah didiskontokan.

4.4.5. Penilaian Risiko dalam Investasi

Setiap keputusan investasi menyajikan risiko dan return tertentu. Berdasarkan pada kenyataan tersebut, semua keputusan penting harus ditinjau dari return yang diharapkan dan risiko yang dihadapi. Semakin tinggi risiko dari suatu investasi maka semakin tinggi tingkat pengembalian.

Dalam penelitian ini, teknik mengukur risiko yang digunakan adalah analisis skenario. Analisis skenario merupakan teknik untuk menganalisis risiko dengan membandingkan situasi yang paling memungkinkan atas skenario dasar (semacam situasi normal) dengan keadaan yang baik dan buruk (Weston & Copeland, 1995). Skenario terburuk adalah keadaan dimana untuk semua variabel masukan diberikan nilai terburuk berdasarkan perkiraan yang wajar. Skenario terbaik adalah keadaan dimana untuk semua variabel masukan diberikan nilai

(10)

terbaik berdasarkan perkiraan yang wajar. Skenario dasar merupakan keadaan dimana untuk semua variabel diberikan nilai yang paling memungkinkan.

Fariyanti (2008) menyatakan bahwa nilai-nilai variabel yang digunakan dalam skenario terburuk untuk memperoleh NPV terburuk dan nilai-nilai variabel dalam skenario terbaik untuk memperoleh NPV terbaik. Oleh karena itu, hasil-hasil dari skenario tersebut digunakan untuk menentukan NPV yang diharapkan, deviasi standar dari NPV, dan koefisien variasi (CV). Dalam hal ini, perlunya mengestimasi probabilitas terjadinya ketiga skenario (baik, dasar/normal, buruk) yang dinyatakan dengan P. Dalam analisis skenario terdapat tiga ukuran untuk menilai tingkat risiko dalam investasi yaitu NPV yang diharapkan, deviasi standar dari NPV, dan koefisien variasi.

4.4.5.1 NPV yang Diharapkan

Weston & Copeland (1995), NPV yang diharapkan merupakan penjumlahan dari setiap probabilitas dikalikan dengan NPVnya. Penentuan nilai NPV yang diharapkan sebagai berikut:

= = n t i i NPV p NPV E 1 ) ( ) ( dimana: Pi = Probabilitas ke-i NPVi = Net Present Value ke-i

i = 1, 2, 3,.... (1= Kondisi Tertinggi, 2= Kondisi Normal, 3= Kondisi Terendah)

(11)

Penentuan probabllitas diperoleh berdasarkan kemungkinan dari suatu kejadian pada kegiatan budidaya dan penyulingan yang dapat diukur berdasarkan pengalaman yang telah dialami petani dan penyuling dalam mengusahakan akarwangi. Probabilitiy dari masing-masing kegiatan budidaya dan penyulingan pada setiap kondisi (tertinggi, normal, dan terendah) akan diperoleh. Total peluang dari beberapa kejadian berjumlah satu dan secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

= n

t 1 pi j = 1

Semakin tinggi NPV yang diharapkan, maka tingkat risiko yang dihadapi semakin besar. Pengukuran peluang (p) pada setiap kondisi skenario diperoleh dari frekuensi kejadian setiap kondisi yang dibagi dengan jumlah tahun selama umur pengusahaan akarwangi, baik untuk kegiatan budidaya maupun kegiatan penyulingan. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 13.

Tabel 13. Peluang Setiap Kondisi Pada Kegiatan Budidaya dan Penyulingan Akarwangi

Kegiatan Kondisi Peluang (Probablity)

Budidaya Tertinggi 0,20 Normal 0,62 Terendah 0,18 Penyulingan Tertinggi 0,11 Normal 0,72 Terendah 0,17 4.4.5.2. Standard Deviation

Makna dari ukuran standard deviation dari NPV, artinya semakin kecil nilai standard deviation dari NPV maka semakin rendah risiko yang dihadapi dalam kegiatan usaha. Secara matematis standard deviation dari NPV dapat dituliskan sebagai berikut:

(12)

= − = ∂ n t i E NPV NPV p NPV i 1 )) ( ( 4.4.5.3. Coefficient Variation (CV)

Coefficient variation dari NPV diukur dari rasio standard deviation dari NPV dengan NPV yang diharapkan. Semakin kecil nilai coefficient variation maka semakin rendah risiko yang dihadapi. Secara matematis, CVNPV dapat dituliskan sebagai berikut:

CVNPV = δNPV / E (NPV)

4.5. Asumsi Dasar

Analisis kelayakan pengembangan usaha akarwangi di Kabupaten Garut menggunakan beberapa asumsi, yaitu:

1. Analisis kelayakan dibagi menjadi dua yaitu analisis kelayakan budidaya dan penyulingan. Hal ini dikarenakan komponen cashflow yang berbeda dalam proses produksi.

2. Dari masing masing analisis kelayakan terdapat dua kondisi yaitu kondisi I dan kondisi II. Kondisi I merupakan analisis kelayakan tanpa risiko (kondisi normal) dan kondisi II merupakan analisis kelayakan dengan adanya risiko. Kondisi II memiliki tiga skenario. Skenario I yaitu analisis kelayakan dengan adanya kondisi produksi. Skenario II yaitu analisis kelayakan dengan adanya kondisi harga output. Skenario III yaitu analisis kelayakan dengan adanya kondisi produksi dan harga output.

3. Umur proyek dari analisis kelayakan budidaya yaitu selama tiga tahun. Hal ini didasarkan pada umur bibit (bonggol) optimal yang dapat ditanam selama 3

(13)

kali masa tanam yang diperoleh dari pecahan tunas sebelumnya. Umur proyek dari analisis kelayakan penyulingan yaitu salama delapan tahun. Hal ini didasarkan pada umur teknis aset terpenting dalam kegiatan penyulingan yaitu ketel stainless.

4. Satu kali musim tanam akarwangi yaitu selama 12 bulan. Jadi, tahun yang digunakan adalah tahun pertama karena pada tahun pertama akarwangi sudah dapat dipanen.

5. Dalam kondisi normal, satu hari dilakukan dua kali penyulingan. Dalam satu bulan dilakukan 28 kali penyulingan.

6. Tingkat suku bunga yang digunakan adalah tingkat suku bunga deposito di Bank Indonesia (BI) yaitu 8 persen pada bulan Januari tahun 2008. Alasan pemilihan tingkat suku bunga deposito dikarenakan petani dan penyuling menggunakan modal pribadi bukan pinjaman. Oleh karena itu petani dan penyuling dihadapkan pada pilihan akan menginvestasikan modal pada usaha akarwangi atau mendepositokan di bank.

7. Nilai sisa pada kegiatan budidaya diperoleh dari nilai sisa barang-barang yang sifatnya investasi dan masih bernilai serta berada di akhir tahun proyek. Perhitungan nilai sisa peralatan ditetapkan 10 persen yaitu dari asumsi bahwa jenis investasi akan dapat terjual dengan nilai 10 persen dari nilai beli investasi. Perhitungan nilai sisa untuk tanah dianggap meningkat setiap tahunnya yaitu sebesar 6,59 persen berdasarkan inflasi tahun 2007. Hal ini dikarenakan adanya inflasi setiap tahunnya. Nilai sisa motor ditetapkan 60 persen yaitu dari asumsi bahwa pemakaian motor baru empat tahun sedangkan umur teknis motor selama 10 tahun.

(14)

8. Nilai sisa pada kegiatan penyulingan diperoleh dari nilai sisa barang-barang yang sifatnya investasi dan masih bernilai serta berada di akhir tahun proyek. Perhitungan nilai sisa dari pabrik, gudang, dan motor ditetapkan 20 persen. Hal ini dikarenakan umur teknisnya selama 10 tahun sedangkan pemakaiannya baru 8 tahun. Perhitungan nilai sisa dari ketel stainless dan blander ditetapkan 30 persen yaitu dari asumsi bahwa jenis investasi ini akan dapat terjual dengan nilai 30 persen dari nilai beli investasi. Nilai sisa mobil ditetapkan 50 persen dari harga belinya karena umur teknis mobil 15 tahun sedangkan baru digunakan 8 tahun. Sedangkan komponen investasi lainnya memiliki nilai sisa sebesar 10 persen. Perhitungan nilai sisa untuk tanah dianggap meningkat setiap tahunnya yaitu sebesar 6,59 persen berdasarkan inflasi tahun 2007. Hal ini dikarenakan adanya inflasi setiap tahunnya.

9. Biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan budidaya dan penyulingan adalah biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi dikeluarkan pada tahun ke-1 dan terdapat biaya reinvestasi yang dikeluarkan untuk peralatan-peralatan yang sudah habis umur ekonomisnya. Biaya operasional adalah semua biaya yang dikeluarkan pada saat melakukan usaha. Biaya operasional dibedakan menjadi biaya tetap dan biaya variabel.

10. Dalam kegiatan budidaya dalam kondisi normal pada tahun pertama diasumsikan kapasitas produksi belum optimal yaitu 69,31 persen. Hal ini dikarenakan petani belum memilki pengalaman dalam teknik budidaya akarwang. Namun, pada tahun berikutnya pengetahuan akan budidaya akarwangi meningkat, seiring bertambahnya pengalaman petani dalam membudidayakan tanaman akarwangi tersebut sehingga kapasitas produksi

(15)

tahun kedua hingga tahun keempat telah optimal.

11. Dalam kegiatan penyulingan dalam kondisi normal pada tahun pertama diasumsikan kapasitas produksi belum optimal yaitu 91,5 persen. Namun, pada tahun kedua hingga ketujuh kapasitas produksi telah optimal. Tahun kedelapan kapasitas produksi 91,5 persen karena usia mesin yang telah usang dan berpengaruh terhadap jumlah produksi.

12. Harga output dan jumlah produksi yang berlaku adalah berdasarkan pengalaman petani dan penyuling selama melakukan usaha akarwangi.

Referensi

Dokumen terkait

Buton Utara surat izin belajar/pernyataan mengikuti studi lanjut 365 15201002710242 DARWIS SDN 5 Wakorumba Utara Kab... Peserta Nama Peserta

hipotesis peneliti, dilakukan analisis statistik dengan analisis regresi. Cara pengambilannya menggunakan teknik random sampling, yaitu cara pengambilan/pemilihan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menentukan arahan pengembangan komoditas apel melalui konsep agroindustri di Kecamatan Bumiaji Kota Batu agar dapat

Fenomena berikutnya yang dapat diungkap adalah terkait hubungan antara biaya kepindahan dalam memoderasi pengaruh pemasaran relasional pada niat untuk loyal. Studi

Dapat menjadi sumber ilmu tambahan untuk berbagai pihak misalnya Aparatur penegak hukum seperti Polisi, Hakim, dan Jaksa yang mengawal jalannya penyelesaian kasus-kasus

Konsentrasi K+ dlm larutan tanah merupakan indeks ketersediaan kalium, karena difusi K+ ke arah permukaan akar berlangsung dalam larutan tanah dan kecepatan difusi tgt pada

Menurut Bapak Mukamin (salah satu pengusaha keripik tempe yang penulis wawancarai). Modal awal usaha keripik tempe adalah sebesar lima juta rupiah dimana modal tersebut

Menurut Gagne, Wager, Goal, &amp; Keller [6] menyatakan bahwa terdapat enam asusmsi dasar dalam desain instruksional. Keenam asumsi dasar tersebut dapat dijelaskan