6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Animasi
Animation merupakan penciptaan artifisial sebuah ilusi pergerakan pada benda
yang tidak bergerak (Wells, 2015). Ilusi dari pergerakan tersebut merupakan jenis karya seni gerakan dengan menggunakan gambar, bentuk, dan garisan yang tidak bergerak. Penciptaan ilusi animasi terjadi oleh karena penggunaan teknologi, peralatan, dan fungsi dari yang ada di alam nyata. Krasner (2013) menyebutkan, “Animasi tidak dapat tercapai tanpa pemahaman prinsip fundamental mata manusia: persistence of vision.” Oleh karena persepsi penglihatan mengikuti beberapa set peraturan, seseorang dapat memanfaatkan peraturan tersebut untuk menciptakan sebuah animasi.
Sebagai medium, Aaberg (2017) menyebutkan, “Dengan teknologi yang kita punya sekarang, animasi sering dihasilkan melalui bantuan komputer.” Informasi tersebut mengindikasikan bahwa animasi melalui komputer merupakan medium populer bagi mayoritas penonton. Apabila seseorang berbicara mengenai animasi, dia akan berpikir animasi multimedia, sebuah animasi yang diciptakan dengan program komputer. Meskipun secara umum dikenal melalui medium digital, animasi tidak bermula dengan teknologi komputer pertama kalinya. Animasi memiliki beberapa jenis medium, bervariasi dari animasi tradisional hand drawn, stop motion, computer generated animation, dan contoh lainnya.
7 Medium animasi ini merupakan penemuan jenis animasi yang dapat dilakukan, dan ditemukan dalam banyak tempat.
2.1.1. 2D Animation
Animasi memiliki beberapa jenis medium, dikategorikan dengan dua jenis dimensi: dua dimensi dan tiga dimensi. Perbedaan dimensi ini secara umum disebutkan sebagai animasi 2D dan animasi 3D. Animasi 2D merupakan animasi yang dibentuk oleh objek dua dimensi seperti gambar maupun bentuk. Sebuah animasi 2D dapat dibentuk secara tradisional maupun digital, salah satu jenis animasi tradisional adalah hand-drawn animation. Disebutkan oleh Schoonen (2015), animasi hand-drawn 2D merupakan unsur dasar dari animasi.
Gambar 2.1.1. 2D Animation
(Sumber: https://www.renderforest.com/blog/2D-animation)
2.1.2. Motion Graphics
Motion Graphics merupakan salah satu medium animasi 2D. Crook & Beare
8 pembesaran sebuah gambar, video, ataupun teks. Sebagai salah satu variasi animasi 2D, motion graphics merupakan jenis animasi yang disederhanakan bentuk visual dari animasi tersebut. Dibandingkan dengan animasi 2D seperti frame-by-frame animation, animasi dari motion graphics pada umumnya
memanipulasikan aset-aset dari gambar statik dibandingkan dengan menggambar ulang setiap frame.
Gambar 2.1.2. Motion Graphics
(Sumber: https://99designs.com/blog/video-animation/motion-graphics-vs-animation/)
Oleh karena gaya kesederhanaan dari motion graphics, medium animasi ini memiliki tujuan untuk memberikan informasi (Crook & Beare, 2015). Informasi tersebut dapat merupakan sebuah pengetahuan, komunikasi, iklan komersil, atau saran dari pencipta animasi motion graphics. Motion graphics dapat digunakan dalam komersil, edukasi, seni, dan hiburan (Krasner, 2013). Sebagai jenis medium yang populer, disebutkan bahwa motion graphics telah menjadi hal yang penting dalam membentuk atmosfer dan mood sebuah lingkungan.
9 2.1.3. Limited Animation
Limited animation merupakan salah satu proses untuk membuat animasi (Li,
2010). Sebagai medium animasi yang merupakan turunan dari full-animation, limited animation mengurangi jumlah frames yang digambar dan memasuki
bagian yang penting. Macdonald (2015) menggambarkan limited animation sebagai “Kebiasaan untuk menggerakkan sebuah gerakan daripada menggambar sebuah gerakan.” Jenis animasi ini dipakai untuk mengurangi usaha ataupun budget dalam membuat animasi.
Arnold (2016) mengatakan bahwa limited animation dapat digunakan untuk memproduksi pekerjaan yang cepat dan ekonomis. Dengan pengurangan jumlah kerja, hasil akhir dari produksi akan keluar secara cepat, serta menghemat uang dan waktu.
Gambar 2.1.3. Limited Animation
10
2.2. Komposisi
Sebuah shot dapat memiliki makna yang spesifik berdasarkan penempatan frame dan elemen visual yang disebutkan sebagai komposisi (Bowen & Thompson, 2017). Komposisi merupakan penyusunan yang berguna dari bagian-bagian artistik. Penyusunan tersebut membentuk jenis seni seperti film, musik, karya tulis, hiasan, dan seterusnya.
Berdasarkan Van Sijll (2005), komposisi digunakan untuk mengarahkan perhatian penonton kepada sesuatu (dikutip oleh Schoonen, 2015). Di dalam film, pengalihan fokus tersebut tercapai dari penyusunan komposisi visual maupun suara, mengarahkan penonton kepada sebuah ide, perasaan, dan pendapat. Terdapat beberapa macam aspek dalam perfilman yang dapat dipengaruhi secara besar dalam komposisi: shot, angle, storyboard, scene, dan seterusnya.
Gambar 2.2.1. Komposisi
11 2.2.1. Scene
Scene merupakan kumpulan visual yang memberikan bagian dari cerita
(Hernandez & Ghertner, 2013). Secara umum, scene dapat dibedakan dari layers, dari jenis objek, dan jenis gerakan. Kategori tersebut dapat diklasifikasikan lanjut dengan istilah foreground, background, karakter, objek bergerak, dan objek diam, visual efek, dan seterusnya. Di dalam film, terdapat macam-macam scene, yang apabila digabung secara berurutan akan menciptakan kejadian atau film.
Gambar 2.2.2. Scene
(Sumber: Hernandez & Ghertner, 2013)
2.2.2. Thumbnail Storyboard
Di dalam penciptaan film atau animasi, diperlukan sebuah guideline untuk mendesain visual tersebut. Storyboard dan thumbnail berfungsi untuk memberikan seseorang garis besar dari seluruh cerita (Hernandez & Ghertner,
12 2013). Hal ini berguna untuk menyusun pesan yang benar dan konsisten dalam sebuah film. Selain cerita yang sesuai dengan direksi yang perlu dicapai, pembuatan transisi dan detil dari scene satu ke scene lain dapat terlihat lebih jelas. Dengan konsistensi visual dan ide, sebuah thumbnail bagus dapat memberikan kejelasan kepada penonton tentang apa yang terjadi, apa yang difokuskan, dan hal tersebut.
Gambar 2.2.3. Thumbnail Storyboard
(Sumber: https://medium.com/@a01039839/thumbnail-storyboard-949e2a3b43ca)
2.2.3. Storyboard
Menurut Michael Rabiger dan Mick Hurbis-Cherrier (2013), storyboard merupakan visualisasi shot demi shot sebuah scene dari perspektif kamera yang diurutkan seperti strip komik. Sebagai alat visualisasi dalam tahap pre-produksi, storyboard digunakan untuk merencanakan visualisasi sebesar mungkin,
menghitungkan perspektif, karakter, gerakan dan jenis shot. Dengan memasukkan informasi tersebut, penciptaan ide dan visualisasi dari sebuah film akan lebih jelas dan konkrit. Sebagai blueprint untuk produksi film, sebuah storyboard dapat
13 menunjukkan keperluan sesuatu, penempatan hal tersebut, dan memberikan garis yang jelas untuk pembagian kerja.
Wahid & Atmodiwirjo (2018) menyebutkan bahwa storyboard pada umumnya memiliki karakter, setting, dan urutan kejadian di dalam panel.
Gambar 2.2.4. Storyboard
(Sumber: Hart, 2013)
Storyboard digunakan sebagai penyusun cerita dan visual dalam cerita
naratif (Hart, 2013). Sebagai salah satu keperluan pre-produksi untuk proyek skala besar, storyboard memasukkan seluruh scene beserta penempatan karakter, environment, kamera, dan seterusnya. Pada umumnya, sebuah storyboard
merupakan terjemahan dari naskah yang sudah ada, dibentuk secara visual sebagai guideline untuk produksi. Hal ini penting dalam kolaborasi untuk menciptakan
komunikasi yang jelas antara satu orang sama lain dalam produksi sebuah film maupun animasi.
14
2.2.4. Komposisi Kamera
Beberapa teori komposisi yang didasarkan dari perletakan kamera adalah rule of thirds, golden ratio, center of view, dan split-screen.
2.2.4.1. Rule of Thirds
Rule of thirds merupakan prinsip komposisi yang membagikan sebuah
frame dalam pertiga, menciptakan garis ambang secara horisontal dan
vertikal (Rabiger & Hurbis-Cherrier, 2013, hlm. 158). Hubungan dari garis vertikal dan horisontal tersebut dapat digunakan sebagai guideline untuk komposisi dan fokus dari shot yang ditentukan. Dengan perletakan objek pada titik pertemuan tersebut, sebuah shot dapat memperoleh ruang untuk pemandangan hal lain seperti environment. Selain itu, ruang yang tersisa dapat digunakan untuk menunjukkan arah karakter menoleh beserta arah mereka bergerak. Di dalam teori rule of thirds, komposisi ini menciptakan harmoni untuk penampakan yang nyaman, beserta dapat dilawan gunanya agar meraih efek yang diinginkan.
Gambar 2.2.5. Rule of Thirds
15 2.2.4.2. Golden Ratio
Golden ratio, berdasarkan Ellen Anon dan Josh Anon (2013), merupakan
salah satu perletakan posisi objek dalam kamera dengan energi moderat dan bagus dipandang. Penglihatan yang nyaman tersebut disebabkan oleh keberadaan sebuah rasio yang berasalkan dari nilai phi secara konstan. Komposisi ini berbentuk spiral dari sebuah sudut kamera dan berakhir tidak jauh dari tengah kamera.
Gambar 2.2.6. Golden Ratio
(Sumber: Anon & Anon, 2013)
2.2.4.3. Center of View
Disebutkan dalam See It: Photographics Composition Using Visual Intensity (Anon & Anon, 2013) bahwa orang akan melihat di tengah
gambar secara instingtif. Di dalam komposisi objek dengan center of view, objek di tengah kamera akan menjadi fokus pertama ketika ditampilkan. Jenis komposisi ini tidak memiliki banyak intensitas visual seperti komposisi rule of thirds ataupun golden ratio.
16 Gambar 2.2.7. Center of View
(Sumber: Anon & Anon, 2013)
2.2.4.4. Split-Screen
Split-screen merupakan penggabungan dua gambar atau lebih dalam
sebuah shot (Keating, 2014). Sebuah split-screen dapat digunakan untuk memberikan relasi tempat yang sama, waktu yang sama, ataupun tempat berbeda dengan waktu yang berbeda. Penggunaan tersebut bisa memberikan relasi kejadian yang berhubungan dalam waktu sama, ataupun memberikan kausalitas.
Gambar 2.2.8. Split-screen
17
2.3. Sinematografi
Sinematografi merupakan sebuah proses memasukkan ide, kata, tindakan, dan perasaan ke dalam bentuk visual (Brown, 2016). Sebagai bagian besar dari perfilman, sinematografi menunjukkan bagaimana sesuatu akan direkam melalui kamera.
2.3.1. Shot Design
Dalam perancangan shot, Weiss (2009) mengatakan bahwa shot dapat menentukan emosi yang ditunjukkan (dikutip dari Schoonen, 2015). Perancangan shot dapat memberikan audiens sebuah pesan dari perancangan tersebut. Ide,
emosi, dan pesan yang diterima oleh audiens akan dipengaruhi oleh komposisi, pergerakan kamera, dan editing.
2.3.2. Shot
Shot merupakan satuan terkecil dalam liputan fotografi seseorang, aksi, atau
kejadian dalam gambar bergerak (Bowen & Thompson, 2017) Sebuah shot merupakan bagian dari scene dari sebuah storyboard. Shot tersebut merupakan faktor penentu bagaimana sebuah scene akan direkam melalui kamera.
Di dalam shot, terdapat berbagai macam variasi dan jenis shot yang muncul oleh karena lokasi kamera, pergerakan, rotasi, depth, dan lain-lain. Berikut merupakan ketiga shot yang akan dibahas dalam teori ini, yaitu tiga dari enam basic shot berdasarkan buku Grammar of The Shot (Bowen & Thompson, 2017).
18
2.3.2.1. Long Shot (LS)
Long shot merupakan jenis shot yang memiliki jarak yang jauh dari
subjek. Di dalam shot ini, frame kamera akan menunjukkan area, subjek, dan objek dengan jelas. Jenis shot ini dapat digunakan untuk menunjukkan fokus dari shot kepada lingkungannya dibandingkan dengan subjeknya. Ukuran kecil dari subjek mengurangi perhatian penonton terhadap kepentingan subjek.
Gambar 2.3.1. Wide Shot
(Sumber: Bowen & Thompson, 2017)
2.3.2.2. Medium Shot (MS)
Medium shot merupakan jenis shot yang memiliki jarak yang seimbang
dengan subjek. Di dalam shot ini, frame kamera setidaknya sekitar 1 meter dari subjek, menunjukkan subjeknya dengan detil yang dapat dilihat. Medium shot digunakan untuk menunjukkan apa yang sebuah subjek
19 Gambar 2.3.2. Medium Shot
(Sumber: Bowen & Thompson, 2017)
2.3.2.3. Close-up Shot (CU)
Close-up shot merupakan shot yang memiliki jarak dekat dengan subjek.
Frame close-up memiliki penampakan subjek yang spesifik dengan detil.
Jenis shot ini merupakan shot yang intim.
Gambar 2.3.3. Close-up shot
20 2.3.3. Camera Angle
Sebuah kamera dapat diletakkan dari berbagai macam tempat, arah, dan dapat berdiam maupun berpindah. Dengan penggunaan camera angle, objek dan target dapat memiliki emphasis yang berbeda, dari impresi kuat dan lemahnya sesuatu. Camera angle dapat dibedakan secara vertikal dan memiliki banyak jenis. Ketiga
camera angle yang umum adalah eye-level shot, high-angle shot, dan low-angle
shot (Rabiger & Hurbis-Cherrier, 2013).
Gambar 2.3.4. Camera angle
(Sumber: https://terceroesobilingue.wordpress.com/photography/camera-angles/)
Dari beberapa jenis angle yang dilihat dari lens, dua dari jenis tersebut merupakan high-angle shot dan low-angle shot dari buku Cinematography: Theory and Practice: Image Making for Cinematographers and Directors
(Brown, 2016)
2.3.3.1. High-Angle Shot
Merupakan jenis sudut kamera yang terdapat di atas eye height. Jenis shot ini umumnya mampu menunjukkan lebih banyak environment dalam
21 scene, serta mengecilkan kepentingan sebuah subjek. Selain itu, sudut dari
shot ini memberikan impresi kelemahan pada subjek.
Gambar 2.3.5. High-angle shot
(Sumber: Brown, 2016)
2.3.3.2. Low-Angle Shot
Merupakan jenis sudut kamera yang terdapat di bawah eye height. Jenis shot ini dapat membuat sebuah karakter lebih kuat dan sinister (Brown,
2016). Sudut dari shot kamera ini tidak memberikan informasi lebih dari apa yang sebuah karakter lihat dalam scene tersebut.
Gambar 2.3.6. Low-angle shot
22 2.3.4. 30 Degree Rule
Berdasarkan Rabiger dan Hurbis-Cherrier (2013), 30 degree rule merupakan salah satu prinsip dari penjagaan kontinuitas dalam sebuah editing. Disebutkan bahwa perpindahan dari shot satu kepada shot lain harus berpindah dibawah 30 derajat. 30 degree rule dibuat untuk mencegah sebuah jump cut, dimana hubungan dari
dua atau lebih shot terpotong dan hilang hubungannya.
Gambar 2.3.7. 30 Degree Rule
(Sumber:
https://riapatelwansteadfoundationproductionblog.wordpress.com/2016/11/01/rules-of-continuity/)
2.3.5. Shot Size
Selain angle, sebuah perletakan kamera dapat dibedakan berdasarkan jaraknya kepada sebuah subjek. Disebutkan dalam Directing: Film Techniques and Aesthetics (Rabiger & Hurbis-Cherrier, 2013) bahwa shot size memiliki peran
23 subjek yang jauh, dan dapat pula memiliki subjek yang sangat dekat kepada kamera.
2.3.6. Camera Movement
Dalam pergerakan kamera, terdapat dua jenis camera movement berdasarkan pergerakan kamera tersebut: fixed camera position dan dynamic camera (Rabiger & Hurbis-Cherrier, 2013). Kedua pergerakan kamera dapat dipisahkan dengan bagaimana kamera tersebut bergerak. Fixed camera position merupakan jenis pergerakan kamera yang tidak menggerakkan posisi kamera melalui pan, tilt, dan zoom. Dynamic camera merupakan jenis pergerakan kamera yang merubah frame
dan menggerakkannya kepada seluruh arah yang bisa, seperti tracking shot, dolly shot, steadicam shot, dan seterusnya.
2.3.6.1. Pan
Pan merupakan pergerakan kamera secara horisontal, seperti menoleh ke
arah kiri maupun kanan. Penggunaan pan memerlukan subjek untuk difokuskan pada posisi awal dengan posisi setelah pergerakan (Rabiger & Hurbis-Cherrier, 2013). Dengan pergerakan frame yang dicapai oleh pan, pergerakan kamera ini dapat memindahkan pandangan dari satu scene kepada scene lain untuk menunjukkan relevansi spasial.
24 Gambar 2.3.8. Panning shot
(Sumber: Rabiger & Hurbis-Cherrier, 2013)
2.3.6.2. Tilt
Tilt merupakan pergerakan kamera secara vertikal, seperti menoleh ke arah
atas maupun bawah. Pergerakan ini digunakan untuk mengikuti sebuah subjek yang bergerak secara vertikal (Rabiger & Hurbis-Cherrier, 2013).
Gambar 2.3.9. Tilting shot
25 2.3.6.3. Zoom
Zoom merupakan pergerakan frame melainkan kamera, dimana focal
length dan ukuran subjek membesar maupun mengecil. Jenis pergerakan
ini lebih mengarah kepada perbesaran atau perkecilan sebuah pandangan. Berdasarkan Rabiger & Hurbis-Cherrier (2013), penggunaan zoom shot dapat memperbesar dan memperkecil objek, tetapi mengecualikan adanya pergerakan spasial seperti dolly dan pan. Pergerakan kamera tersebut dapat diperoleh melalui perubahan pengubahan focal length beserta perubahan skala objek dalam layar secara merata, sesuatu yang tidak bisa dilakukan apabila kamera bergerak secara dolly.
Gambar 2.3.10. Zooming shot
(Sumber: https://boords.com/blog/16-types-of-camera-shots-and-angles-with-gifs)
2.3.6.4. Tracking Shot
Tracking shot merupakan adalah pergerakan kamera secara horisontal
dimana sebuah kamera mengikuti benda bergerak dari depan, samping, dan belakang. Jenis shot ini dipakai untuk mengikuti objek fokus yang bergerak.
26 Gambar 2.3.11. Tracking shot
(Sumber:
https://momofilmfest.com/soderberghs-unsane-behind-the-scenes-insights/screenshot-2019-01-03-at-10-26-06/)
2.3.6.5. Dolly Shot
Dolly shot merupakan pergerakan kamera dinamis dimana kamera tersebut
dapat bergerak mendekati maupun menjauhi sebuah objek.
Gambar 2.3.12. Dolly shot
(Sumber:
https://beverlyboy.com/cinematography/what-is-a-dolly-shot-what-is-it-used-for-in-film/)
2.4. Message Design
Message design merupakan sebuah area pengetahuan interdisipliner yang
terbentuk dari kata, bentuk, dan visual (Pettersson, 2012). Penggunaan dari message design dapat memberikan pembentukan layout untuk media secara
27 efektif dalam bentuk fungsi dan estetika. Message design memiliki pengaruh kepada pembentukan kata untuk dijelaskan.
Dalam pemberian pesan kesehatan, message design memiliki peran besar untuk penciptaan pesan yang memotivasi perubahan perilaku mengenai kesehatan (Thompson, 2014).
2.4.1. Public Service Announcement
Disebutkan oleh Lehmann (2019) bahwa public service announcement atau PSA merupakan sebuah penulisan atau pesan untuk masyarakat. Berbeda dengan iklan atau media hiburan, public service announcement tidak diproduksi untuk menjual sebuah produk, tetapi sebagai servis gratis melalui media seperti brosur, radio, televisi, dan sosial media seperti YouTube dan Twitter.
Public service announcement digunakan oleh organisasi publik untuk
menginformasikan masyarakat mengenai masalah kesehatan dan keamanan, servis komunitas, dan urusan publik lainnya (Swain & Swain, 2015). Selain masalah umum yang menarik perhatian masyarakat, public service announcement juga digunakan oleh pemerintah untuk memberitahukan masyarakat mengenai kejadian atau bencana mendesak. Kejadian tersebut dapat berupa gempa bumi, angin topan, dan pandemi virus.
2.4.2. Extended Parallel Process Model (EPPM)
Extended parallel process model atau EPPM adalah sebuah model untuk
28 Sebagai model yang telah diuji dalam skala besar, EPPM mendekati bagaimana seseorang bereaksi kepada sebuah bahaya (Thompson, 2014). Apabila bahaya tersebut lebih besar dari perasaan kemanjuran, seseorang akan menghindari berpikir mengenai masalah tersebut. Sebaliknya, apabila perasaan kemanjuran tersebut lebih tinggi dari bahaya, seseorang akan lebih memungkinkan untuk melakukan tindakan keamanan dan mengkontrol resiko bahaya tersebut. Perbedaan kedua faktor tersebut didasarkan kepada dua jenis proses: fear control dan danger control.
Gambar 2.4.1. Model extended parallel process model
(Sumber: Thompson, 2014)
2.4.2.1. Fear Control Process
Proses fear control process dari EPPM merupakan proses emosi utama untuk mengatasi rasa takut (Thompson, 2014). Dalam kasus tersebut, masyarakat mengontrol rasa takut mereka dibandingkan dengan bahaya besar yang mereka tidak dapat kendalikan.
. Proses dari pengontrolan rasa takut fear control process dapat memberikan persepsi bahwa resiko dari bahaya itu tidak parah dan
29 berlebihan, menghentikan kegiatan aktif untuk mengatasi masalah dari bahaya tersebut (Cho, 2012).
Berdasarkan Cho (2012), seseorang akan mencari cara untuk mengkontrol rasa takut mereka apabila kemanjuran yang dilihat lebih rendah dari bahaya tersebut. Disimpulkan bahwa pada ketika rasa terjamin dari usaha mengatasi bahaya tidak mencukupi, masyarakat akan merespon rasa takut tersebut dengan mekanisme defensif psikologis dengan tidak memikirkan bahaya tersebut.
2.4.2.2. Danger Control Process
Dalam kasus dimana perasaan kemanjuran lebih tinggi terhadap bahaya, masyarakat akan melakukan aksi perlindungan secara aktif dan mengurangi resiko yang ada. Proses ini dinamakan sebagai danger control process, sebuah proses kognitif adaptif yang digunakan untuk mengatasi
perasaan takut (Thompson, 2014).
Proses dari pengontrolan bahaya danger control process merupakan hasil dari persepsi dimana masyarakat memahami bahaya yang ada beserta cara mereka dapat menghindari resiko dari bahaya tersebut (Cho, 2012).
30 2.4.3. Audience Definition
Sides (2017) memiliki metode sistematis untuk mengidentifikasikan audiens menjadi empat proses. Metode audience definition system tersebut didasarkan dari perspektif pembaca atau audiens terhadap sebuah informasi. Empat proses dari audience definition system adalah mengetahui siapa pembaca, apa yang pembaca
ketahui, apa yang pembaca perlu ketahui, dan apa yang akan dilakukan oleh pembaca dengan informasi yang diberikan.
Pendefinisian dari proses audience definition system berperan untuk merancang bagaimana sebuah pesan dikomunikasikan (Sides, 2017). Dengan identifikasi berdasarkan pembaca atau audiens, seseorang dapat merancang pengiriman pesan yang efektif sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Gambar 2.4.2. Audience Definition System
(Sumber: Sides, 2017)
Pertama, mengidentifikasikan latar belakang audiens berperan untuk memudahkan penulisan atau perancangan pesan kepada sebuah audiens (Sides,
31 2017). Keperluan identifikasi ini disebabkan oleh karena perbedaan profesi dan edukasi yang dimiliki oleh audiens dibandingkan dengan penduduk lain. Perbedaan tersebut mempengaruhi bagaimana audiens dapat menerima sebuah perancangan pesan.
Kedua, mengidentifikasi pengetahuan dari audiens berperan untuk menentukan apabila sebuah informasi dapat dipahami oleh audiens tersebut (Sides, 2017). Pemahaman dari apa yang diketahui audiens dan apa yang tidak diketahui membantu penulis dapat merancang pesan informasi secara efisien dan spesifik kepada audiens yang ditujukan.
Ketiga, mengidentifikasi apa yang perlu diketahui audiens berperan dalam menentukan tujuan dari pesan informasi yang perlu disampaikan (Sides, 2017). Tujuan tersebut dapat berupa pemberian informasi, membujuk audiens kepada sebuah sudut pandang atau membeli sebuah produk.
Keempat, mengidentifikasi apa yang pembaca akan lakukan dengan informasi yang diberikan berperan dalam menentukan informasi apa yang diperlukan (Sides, 2017). Dengan pemahaman dari tujuan informasi, penulis dapat menentukan informasi apa yang diperlukan dan informasi apa yang tidak berguna dalam pesan yang disampaikan.
2.5. Narasi
Narasi digunakan sebagai cara mengirim informasi, memberikan perspektif baru, ataupun memperbolehkan karakter dalam layar untuk berkomentar pada sebuah
32 kejadian (Ascher and Pincus, 2019). Beberapa narasi dilakukan dengan visual, dimana penulisan narasi tersebut perlu disesuaikan untuk setiap scene.
Bordwell (2013) menyebutkan bahwa narasi merupakan sebuah proses pemilihan, penyusunan, dan penerjemahan materi cerita untuk memberikan dampak pengikatan waktu kepada penerima, pendengar, atau penonton.
2.6. COVID-19
Berdasarkan data dari COVID-19, MERS and SARS: Global Status (Berger, 2020), COVID-19 merupakan virus yang menular melalui tetesan, kontak, dan respirasi
pernafasan. Disebutkan bahwa virus ini berinkubasi selama 2-14 hari dimana suhu badan mereka meningkat di atas 38 derajat celsius, batuk, kesusahan bernafas dan pneumonia. Penyakit COVID-19 memiliki persentase fatalitas sekitar 2-5% pada
bulan Maret dan paling berbahaya pada orang tua dan pasien yang sudah memiliki penyakit kronis dan resiko kesehatan.
Dalam tindakan untuk mengurangi kemungkinan penularan COVID-19, disebutkan oleh Lancet (2020) bahwa penjagaan jarak sejauh 2 meter dapat lebih efektif dibandingkan dengan jarak 1 meter (dikutip dari Hantrais and Letablier, 2020)