5 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Cinematographer
Bagi Brown (2012), seorang sinematografer memiliki tugas yang sangat teknis sedangkan seorang sutradara memiliki tanggung jawab penuh terhadap cerita dan aktor. Namun, bukan berarti seorang sinematografer hanya memikirkan hal teknis saja. Ia juga memiliki peran dalam membangun konsep dalam rangka merealisasikan visi dari sutradara. Seorang sinematografer harus mengerti tentang visual storytelling dan bukan hanya menjadi seorang teknisi yang sekedar menghasilkan gambar dengan kualitas yang baik. Sinematografer harus memahami elemen-elemen dari visual storytelling yang meliputi pemilihan lensa, komposisi, tata cahaya, pergerakan kamera, dan elemen-elemen lain yang dapat digunakan untuk mengusung konsepnya (hlm. 1).
Menurut (Hall, Brian - Understanding Cinematography-Crowood (2015), n.d.), sinematografi bukan saja sekedar persoalan merekam gambar bergerak tetapi melibatkan kompleksitas dari perencanaan kreatif dan perencanaan teknis yang telah didiskusikan sejak awal pembuatan sebuah film (hlm. 14). Seorang sinematografer merupakan kepala dari tim yang ada di departemen kamera dan tata cahaya. Seorang sinematografer akan memutuskan framing, tata cahaya, dan komposisi dari sebuah shot atas diskusi dengan sutradara. Setiap sutradara memiliki style look dan keinginannya masing-masing sehingga seorang sinematografer harus dapat mewujudkan visi dari sutradara. Di saat yang sama, sutradara memiliki tugas
6
untuk dapat mendekatkan dirinya dengan aktor dan fokus dalam mengarahkan aktor sehingga hal-hal teknis dan pengambilan keputusan visual akan diserahkan kepada sinematografer.
2.2. Composition
Menurut (Hall, Brian - Understanding Cinematography-Crowood (2015), n.d.), komposisi dapat digambarkan seperti teknik seseorang dalam mengatur dan menggabungkan seluruh elemen-elemen sinematografi di dalam sebuah gambar.
Susunan atau perpaduan antar elemen tersebut yang nantinya dapat memberikan visual yang harmoni dan penonton dapat memusatkan perhatiannya kepada objek diperlihatkan agar mereka dapat menerimanya dengan baik. Dalam merancang komposisi gambar bergerak, seorang sinematografer juga harus memikirkan bagaimana komposisi dapat berubah seiring dengan pergerakan kamera yang dinamis. Maka dari itu, seorang sinematografer harus dapat memikirkan keseluruhan shot dan seberapa luas ruangan yang akan masuk ke dalam frame agar ia dapat mengatur angle yang tepat sehingga akan menghasilkan komposisi yang terbaik (hlm.127).
Komposisi juga dapat digunakan oleh seorang Sinematografer untuk menggambarkan suasana hati atau keadaan yang sedang dihadapi oleh karakter.
Menurut Sawicki (2012), pada film Steven Spielberg yang berjudul Jaws, ia menggunakan komposisi untuk membangun tensi pada awal film, di mana digambarkan seekor ikan hiu yang sedang menyerang manusia. Komposisi pada scene tersebut digambarkan off-balance untuk memberikan firasat buruk yang akan
7
terjadi terhadap karakter tersebut kedepannya. Jika garis horizon keseimbangan di tarik ke bawah maka secara otomatis akan memberikan kesan tidak nyaman, biasanya istilah ini dikenal dengan ‘golden section’ (hlm. 2).
2.2.1. Balance Composition
Menurut Mercado, G. (2010), setiap objek yang berada di dalam sebuah frame memiliki visual weight. Visual weight adalah ukuran, warna, tingkat keterangan sebuah objek, dan posisi peletakkan dari objek. Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi pandangan penonton terhadap sebuah gambar. Jika elemen-elemen tersebut tertata dengan baik di tengah frame dan terlihat simetris terbagi dengan sama rata antara kiri dan kanan, maka dapat disimpulkan bahwa itu merupakan balance composition (hlm.8).
Menurut Mascelli, J. V. (1965), balance composition tercipta ketika kedua belah sisi memiliki simetri dan besar yang sama di dalam sebuah frame.
Keseimbangan di dalam gambar ini memberikan kesan kedamaian, ketenangan, dan equality. Komposisi tersebut juga biasanya didukung oleh kamera yang statis dan tidak memiliki pergerakan yang dinamis (hlm.210).
8
Gambar 2.1. Komposisi Balance (Mercado, G. 2010)
Menurut Apriyatno, V. (2009), komposisi merupakan gabungan dari beberapa benda atau objek yang kemudian diatur dengan baik sehingga dapat dilihat sebagai sebuah keutuhan gambar yang harmoni. Ia juga menambahkan bahwa tidak adanya sebuah aturan yang pasti di dalam penyusunan objek-objek tersebut. Semua merupakan rasa dan hasil pemikiran masing-masing orang. Sebuah komposisi pada dasarnya dapat terbagi dari dua jenis (hlm.6).
Komposisi dapat dikatakan sebagai simetris jika objek yang ada di dalam sebuah gambar atau frame terbagi menjadi dua bidang bagian yang memiliki ukuran sama persis. Hal ini dapat dilihat atau dibuktikan dari ukuran yang sama baik pada bagian kiri maupun pada bagian kanan dari keseluruhan gambar tersebut.
9
Gambar 2.2. Komposisi Simetris (Veri Apriatno, 2014)
2.2.2. Unbalance Composition
Menurut Mascelli, J. V. (1965), unbalance composition bergerak sebaliknya dari balance composition. Ketidakseimbangan yang diciptakannya mempengaruhi penonton yang melihat gambar tersebut. Penonton dapat merasa terusik ketika melihat komposisi yang tidak seimbang karena hal tersebut mengganggu sensibilitasnya dan membuat ‘kerusuhan’ di dalam pikirannya. Hal tersebut yang menyebabkan mengapa terkadang kita merasakan ada sesutu yang tidak baik ketika sebuah komposisi menjadi tidak seimbang. Pertimbangan dalam menggunakan jenis komposisi ini juga harus memiliki dasar yang jelas karena dapat mempengaruhi perasaan penonton yang melihat gambar tersebut (hlm. 207).
10
Menurut Mercado, G. (2010), ketidakseimbangan di dalam sebuah frame dapat diasosiasikan dengan kehancuran, ketidakharmonisan, dan tensi yang tinggi.
Ketidakseimbangan di dalam frame juga digambarkan dengan tidak berfokusnya pada sebuah titik atau area di dalam sebuah komposisi sehingga penonton tidak merasa nyaman ketika melihat gambar tersebut (hlm.8).
Gambar 2.3. Komposisi Unbalance (Mercado, G. 2010)
Komposisi dapat dikatakan sebagai asimetris jika salah satu dari objek yang ada pada keseluruhan gambar memiliki ukuran yang lebih besar. Penempatan objek pada gambar juga dapat dikatakan lebih dinamis sehingga tidak harus memperhatikan ukuran dari masing-masing bagian. Walaupun seperti itu, balance dari keseluruhan gambar tersebut tidak boleh di abaikan agar tetap mencapai komposisi yang baik dan harmoni (hlm.7).
11
Gambar 2.4. Komposisi Asimetris (Veri Apriatno, 2014)
2.2.3. Hitchcock’s Rule
Menurut Mercado, G. (2010), Hitchcock membuat sebuah pedoman yang sangat berguna bagi pembuat film untuk dapat maksimal dalam menyampaikan pesan yang ingin disampaikan kepada penonton. Ia mengatakan bahwa ukuran sebuah benda yang ada pada sebuah frame dapat disesuaikan dan bersinambungan dengan seberapa pentingnya objek tersebut di dalam cerita. Teknik ini dapat digunakan oleh pembuat film dalam merancang komposisi pada sebuah gambar untuk dapat menekankan tensi pada cerita. Hal ini juga berguna bagi penonton untuk mengetahui apa yang harus menjadi perhatian mereka di dalam gambar tersebut.
Teknik ini dapat digunakan disaat sebuah frame memiliki banyak objek di dalamnya maupun hanya memiliki satu objek saja (hlm.7).
12 2.3. Angle
Menurut Brown (2012), variasi dari angle dapat digunakan oleh sinematografer dalam memasukkan sub-text di dalam sebuah shot. Kebanyakan pembuat film akan menggunakan tipe shot eye-level dalam menangkap sebuah dialog. Tetapi ada juga beberapa pembuat film yang cenderung menghindari angle eye-level karena dianggap membosankan dan terkesan biasa. Seorang pembuat film yang baik harus dapat menjelaskan fungsi dari setiap angle yang mereka gunakan di dalam filmnya.
Setiap angle memiliki perbedaan efek psikologis yang nantinya akan dirasakan oleh penonton.
2.3.1. High Angle
High Angle, sebuah gambar dapat dikatakan high angle jika kamera berada di atas dari garis eye level manusia. High angle memiliki efek psikologis mendominasi subjek dan subjek menjadi terlihat lebih kecil, lemah dan tidak berdaya pada shot tersebut. High angle juga memberikan kesan ketidakseimbangan antar karakter.
Selain itu, high angle juga memiliki efek lain jika digunakan untuk menunjukkan sebuah layout atau landscape dalam sebuah shot. High angle atau penerapan yang lebih ekstrim lagi seperti god view dapat digunakan untuk melakukan establish atau memberikan informasi yang lengkap terhadap layout sebuah lokasi (hlm. 63).
Menurut Bowen (2018), penginterpretasian high angle shot of an individual di dalam sebuah film atau karya audio visual dapat dilihat dari objek yang terlihat kecil, lemah, dan tidak memiliki power di dalam frame. Dari posisi pengambilan angle tinggi inilah yang membuat penonton dapat merasakan hal-hal tersebut.
13
Selain hal-hal tersebut, high angle juga memiliki kemampuan untuk membuat garis hidung atau rahang seorang aktor lebih baik. Hal tersebut juga dibuktikan dengan banyaknya orang yang mengangkat kamera telpon genggamnya lebih tinggi dari garis hidungnya, untuk mendapatkan proporsi wajah yang lebih baik (hlm. 59).
Karakter yang menggunakan high angle akan terlihat lebih kecil sehingga menghasilkan kesan tertekan, tidak berdaya, dan lain sebagainya dibandingkan karakter lain. Secara tematik, kasarnya dapat dikatakan bahwa karakter lain yang lebih besar merasa berkuasa dan tidak ada yang dapat menandinginya dibandingkan karakter yang menggunakan high angle (hlm. 60).
High angle juga dapat digunakan di dalam film untuk menunjukkan sebuah environment. Efek yang dirasakan tentunya berbeda dengan high angle yang digunakan sebagai POV karakter, high angle di sini ditujukan untuk menunjukkan lebih banyak informasi terhadap sebuah objek. Kita dapat memperlihatkan establish, layout sebuah lokasi, atau suasana yang sedang terjadi di sebuah tempat jika kita memiliki high angle view.
14
Gambar 2.5. High Angle (Brown, 2012)
Gamba 2.6. High angle menunjukkan environment (Brown, 2012)
15 2.3.2. Low Angle
Menurut Brown (2012), sebuah shot dapat dikatakan sebagai low angle jika kamera dan lensa berada di bawah eye level manusia. Low angle memberikan efek psikologis yang berkebalikan dengan high angle. Jika high angle memberikan kesan lemah dan tidak berdaya maka low angle memberikan kesan mendominasi dan berkuasa terhadap subjek lain di dalam frame. Jika karakter di dalam sebuah frame di ambil gambarnya dengan low angle maka penonton akan merasa curiga dan menunggu sesuatu yang akan terjadi kedepannya (hlm.64).
Menurut Bowen (2018), low angle shot of an individual dapat dikatakan sebagai reverse feeling yang dirasakan oleh penonton dari high angle yang telah dilakukan di dalam sebuah scene atau film. Secara psikologi, karakter yang dilihat dari posisi yang lebih rendah akan terlihat lebih besar, lebih menjulang, memiliki kuasa, dan lebih kuat dibandingkan karakter lain. Sebuah shot yang diambil secara rendah atau dari bawah mengisyaratkan bahwa karakter atau objek yang diamati itu memiliki kehadiran yang substansial, secara narasi dinilai lebih unggul. Pada komposisi ini, ukuran lensa juga mempengaruhi perasaan yang ditangkap oleh penonton. Semakin close-up maka akan perasaan besar ini akan dapat semakin dirasakan. Sebaliknya semakin jauh shot-nya maka perasaan itu akan semakin hilang dan sulit dirasakan (hlm. 62).
Low angle shot sebagai sudut pandang juga menyiratkan pesan seperti karakter lain (kamera) yang sedang melakukan pengamatan dari sudut lebih rendah merupakan orang yang lebih lemah dan posisi yang lebih di kompromikan. Sebagai contoh, dapat di bayangkan seperti seorang remaja yang sedang berada di dalam
16
hutan, kemudian ia terjatuh kedalam sebuah lubang. Posisi remaja tersebut ketika melihat orang yang memasang perangkap merupakan perasaan penonton ketika melihat sebuah karakter yang menerapkan low angle.
Sudut pandang low angle ini juga dapat digunakan untuk menunjukkan rasa kagum dan rasa hormat dari karakter yang mengamati. Sebagai contoh dapat dibayangkan seperti iklan seorang anak kecil yang kagum dan mengidolakan seorang pemain basket yang ukurannya jauh lebih besar dari ukuran badannya.
Yang penting dan harus diingat adalah tinggi rendahnya objek di dalam satu frame ditunjukan untuk mencapai keseimbangan komposisi di dalam sebuah cerita atau film. Semua teknik-teknik ini membantu secara penampakan atau visual menciptakan energi yang berbeda dan suasana hati yang tentunya berbeda di dalam cerita dan pengalaman bagi penonton (hlm. 63).
The low angle shot of an environment, sebuah lokasi atau environment dapat mendapatkan sebuah kentuntungan jika dilihat dari sudut kamera yang lebih rendah.
Contohnya seperti pegunungan, cakrawala kota, atau bahkan sebuah kastil kerajaan.
Pada film grammar, semuanya telah sepakat apabila ingin menyampaikan bahwa sebuah ruangan itu tampak besar dan menakjubkan, maka low angle dapat membantu pembuat film dalam mewujudkannya. Hal ini akan memberikan efek yang lebih besar jika kita memasukan karakter ke dalam frame tersebut. Shot seperti extreme long shot atau long shot akan membuat karakter di dalam frame tampak kecil dan lingkungan atau lokasi yang ingin ditunjukkan semakin terasa outstanding (hlm. 64).
17
Gambar 2.7. Low Angle (Brown, 2012)
Gambar 2.8. Low angle shot of an environment (Bowen, 2018)
2.3.3. Dutch Angle
Sebuah shot dapat dikatakan sebagai dutch angle ketika kamera tidak berada pada level keseimbangan horizontal atau biasa disebut dengan off-balance. Dutch angle
18
jarang digunakan di dalam film karena memiliki treatment khusus di dalamnya. Di dalam penggunaannya, dutch angle memerlukan motivasi yang tepat dan tidak boleh secara asal diterapkan. Dutch angle biasanya digunakan untuk menyampaikan sebuah misteri atau suspense di dalam film. Kegelisahan, khawatir, paranoid, dan penasaran adalah beberapa efek psikologi yang akan dirasakan oleh penonton jika melihat dutch angle di dalam sebuah frame.
Gambar 2.9. Dutch angle (Brown, 2012)
2.3.4. Type of Shot
Menurut Bowen (2017), shot merupakan proses merekam gambar dan proses menerapkan point of view pada saat yang bersamaan. Pada umumnya shot digunakan untuk mengukur besar-kecil atau jauh-dekatnya objek di dalam sebuah frame. Hal ini digunakan untuk memberikan informasi kepada penonton atas apa yang penting dan tidak penting di dalam sebuah frame tersebut. Terdapat beberapa jenis Shot, setiap jenisnya memiliki efek psikologis yang berbeda-beda tergantung
19
bagaimana pembuat film menggunakannya untuk menyampaikan informasi tertentu.
Long shot, merupakan jenis shot yang memiliki cangkupan cukup lebar terhadap sebuah frame. Lebarnya cangkupan frame ini digunakan biasanya untuk menunjukkan sebuah lokasi atau landscape, kemudian dapat digunakan juga untuk menunjukkan relasi antar objek secara jelas dari jarak yang cukup jauh. Long shot dapat memberikan kesan empati juga terhadap sebuah subjek jika ia berada sendiri di dalam frame. Loneliness dari subjek akan dirasakan oleh penonton dengan pemilihan type of shot ini (hlm.10).
Gambar 2.10. Long shot (Bowen, 2017)
Medium shot merupakan tipe yang paling mirip dan menyerupai dengan mata atau pandangan manusia. Tipe shot ini memberi kesan dan menggambarkan bagaimana manusia melihat dunia sekitarnya. Tipe shot ini melihat objek atau subjek lebih dekat dari long shot. Kedekatan ini yang pada akhirnya membuat
20
penonton merasakan kedekatan dan merasa nyaman karena merasa tidak berjarak dengan subjek yang berada di dalam frame.
Gambar 2.11. Medium shot (Bowen, 2017)
Close up digunakan oleh pembuat film untuk memperlihatkan detail dan perasaan intimate kepada subjek. Jenis shot ini digunakan agar penonton bisa menerima pesan yang dirasakan subjek di dalam frame. Close up juga membawa penonton untuk lebih mengenal dan merasa masuk kedalam karakter (hlm.11).
21
Gambar 2.12. Close up (Bowen, 2017)
2.3.5. Depth of Field
Teknik cinematic merupakan metode yang digunakan oleh seorang sinematografer untuk memasukkan layer di dalam setiap frame. Lensa merupakan satu dari banyaknya elemen yang dapat dieksplor oleh sinematografer untuk dapat menyisipkan layer di dalam frame. Menurut Brown (2012), salah satu elemen penting di dalam film adalah mengubah tiga dimensional space ke dua dimensional plane. Maka dari itu, foreground, midground, dan background harus diatur sedemikian rupa untuk dapat mencipkatan kedalaman pada sebuah gambar kecuali jika tujuannya memang ingin menunjukkan flatness (hlm. 53). Ia menambahkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi DoF antara lain, pemilihan lensa dan focal length dari lensa tersebut. Pemilihan F pada kamera juga sangat mempengaruhi DoF. Hal terakhir adalah jarak antara objek dan kamera.
Menurut (Hall, Brian - Understanding Cinematography-Crowood (2015), n.d.), background mempengaruhi komposisi yang ingin dicapai di dalam frame.
22
Pengaturan foreground, midground, dan background juga harus diatur sedemikian rupa agar tidak membuat penonton terfokus kepada hal yang bukan merupakan fokus utama di dalam film. Background dan foreground di dalam sebuah frame yang memiliki tingkat fokus yang sama satu dengan yang lain dapat mengakibatkan penonton bingung atas apa yang seharusnya mereka lihat. Salah satu cara yang dapat diaplikasikan oleh sinematografer untuk meminimalisir hal tersebut adalah dengan melakukan selective focus dan mengontrol depth of field. Dengan memberikan fokus kepada foreground atau midground dan membuat background menjadi blur, secara tidak langsung mengarahkan penglihatan penonton kepada hal yang penting di dalam sebuah frame (hlm. 139).
2.4. Lens Perspective
Menurut Bowen (2018), mata manusia memiliki fixed-focal-length yang membuat kita dapat melihat dunia dengan perspektif yang konstan. Lensa kamera dibuat untuk dapat memiliki “normal” field of view yang meliputi penglihatan lebar sampai sangat jauh. Gambar yang dihasilkan dari lensa kamera tersebut memiliki hasil yang sangat natural dan mirip seperti gambar yang dihasilkan oleh sepasang mata manusia. Semua informasi ini mengarahkan pada satu poin yang penting, yaitu perasaan yang dihasilkan dari perspektif shot tersebut kepada penonton (hlm.107).
Lensa normal menangkap gambar seperti manusia normal yang sedang mengobservasi sebuah aksi. Ketika kita masuk ke lensa jauh atau lebar maka ilusi optik mulai dapat terlihat. Lensa yang lebar membuat ilusi pada perspektif antara
23
objek yang terdekat dengan yang terjauh di dalam shot. Lensa lebar memperluas
kedalaman d i dalam sebuah shot dan secara optikal, lensa lebar memperluas jarak antar objek di dalam sebuah shot. Lensa dengan sudut yang lebar berguna ketika ingin membuat sebuah ruangan yang kecil nampak lebih besar, seperti interior mobil, lemari, kamar mandi pesawat, dll. Karena ilusi ruang yang diperluas dari lensa ini, setiap objek yang bergerak di dalam frame akan tampak sangat cepat.
Kebanyakan ilusi perspektif gerakan cepat ini digunakan oleh stunt di dalam film action.
Berbeda dengan lensa jauh, efek yang ditimbulkan dari lensa ini adalah memperbesar foreground, middle ground, and background sehingga kompresi terhadap kedalaman ruang terjadi. Lensa jauh memiliki kecendrungan dalam membuat semua objek berdekatan di dalam frame dibandingkan aslinya di dunia nyata. Kompresi pada lensa ini membantu dalam perekaman sebuah film laga, karena kamera dapat menangkap gambar dari jauh sehingga lebih aman. Kemudian kompresi lensa ini juga membantu dalam peliputan acara olahraga ketika kamera secara fisik tidak dapat diletakkan pada lapangan (hlm.108).
Lensa lebar juga menciptakan fokus yang menyeluruh, sehingga memampukan kamera dalam menangkap sebagian besar aksi di dalam frame.
Kemudian juga membantu di dalam mengurangi guncangan gambar. Lain halnya dengan lensa jauh, ketika lensa jauh dikombinasikan dengan subjek yang jauh dari kamera maka hasilnya akan mendapatkan perspektif yang lebih terkompresi.
Kompresi ini dapat mengartikan tentang kehidupan yang “datar” atau “sempit”
24
kemudian dapat diartikan juga sebagai sesuatu yang membatasi atau sebagai penjara.
Lensa jauh ini memberikan ilusi kepada objek yang bergerak di dalamnya.
Objek yang bergerak akan terlihat sangat lama dan lambat untuk bergerak ke suatu titik. Ilusi ini sering digunakan untuk memberikan kesan bahwa gerakan karakter ini sia-sia dan tidak dapat kemana-mana (hlm.111).