• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DALAM... HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI...

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DALAM... HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI..."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv

HALAMAN KATA PENGANTAR ... v

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... viii

HALAMAN DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah... 6

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 7

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 7 1.5 Tujuan Penelitian ... 9 1.5.1 Tujuan Umum ... 9 1.5.2 Tujuan Khusus ... 10 1.6 Manfaat Penelitian ... 10 1.6.1 Manfaat Teoritis ... 10 1.6.2 Manfaat Praktis ... 11 1.7 Landasan Teoritis ... 11 1.8 Metode Penelitian ... 21

(2)

x

1.8.1 Jenis Penelitian ... 21

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 22

1.8.3 Bahan Hukum ... 22

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 23

1.8.5 Teknik Analisis ... 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGERTIAN ANAK, PIDANA DAN PEMIDANAAN, SERTA TINDAK PIDANA NARKOTIKA 2.1 Pengertian Anak ... 25

2.2 Pidana dan Pemidanaan ... 28

2.2.1 Pengertian Pidana dan Pemidanaan ... 28

2.2.2 Tujuan Pidana dan Pemidanaan ... 30

2.3 Tindak Pidana Narkotika ... 32

2.3.1 Pengertian Tindak Pidana ... 32

2.3.2 Pengertian Kurir ... 35

2.3.3 Pengertian Narkotika ... 36

BAB III PENGATURAN PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA 3.1 Pengaturan Pidana dan Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika dalam UU Narkotika ... 40

3.2 Pengaturan Pidana dan Pemidanaan Terhadap Anak dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak ... 46

(3)

xi

3.3 Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika ... 52

BAB IV KESESUAIAN ANTARA TUJUAN PEMIDANAAN DENGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA DALAM PUTUSAN NOMOR. 2/PID.SUS-ANAK/2015/PN GIN 4.1 Kasus Posisi ... 55 4.2 Pertimbangan Hakim ... 56 4.3 Analisis Putusan ... 60 BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan ... 68 5.2 Saran ... 68 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(4)

xii ABSTRAK

Tindak pidana narkotika semakin meluas, anak kini bukan hanya sebagai pemakai, tetapi juga menjadi penjual ataupun perantara narkotika (kurir narkotika). Negara harus senantiasa memberikan jaminan perlindungan terhadap anak, maka dari itu diperlukan suatu aturan khusus yang diperuntukkan kepada anak sebagai kurir narkotika, mengingat UU Narkotika saat ini hanya mengatur pemidanaan terhadap pelaku dewasa. Dalam penelitian ini adapun permasalahan yang akan diangkat adalah bagaimana pengaturan pidana dan pemidanaan terhadap anak sebagai kurir narkotika dalam hukum positif Indonesia, serta bagaimana kesesuaian antara tujuan pemidanaan dengan penjatuhan sanksi pidana terhadap anak sebagai kurir narkotika dalam Putusan Nomor. 2/PID.SUS-ANAK/2015/PN Gin. Urgensi dari penelitian yakni dikarenakan melihat kejahatan narkotika termasuk dalam kejahatan luar biasa yang memerlukan penanganan serius, tetapi disisi lain pelakunya adalah seorang anak yang merupakan generasi penerus bangsa yang hak-haknya dilindungi oleh negara, sehingga penerapan pidana terhadap anak harus benar-benar sesuai dengan kepentingan terbaik anak.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka yang ada, baik itu peraturan perundang-undangan maupun buku-buku, yang kemudian disusun secara sistematis dalam rangka menemukan suatu kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.

Hasil dari penilitian ini diketahui bahwa dalam penjatuhan pidana terhadap anak kurir narkotika disamping didasari UU Narkotika, harus pula memperhatikan ketentuan yang dimuat dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Berdasarkan analisis putusan, diketahui bahwa pidana yang dijatuhkan telah tepat untuk anak sebagai pelaku, tetapi disisi lain anak dalam kasus ini juga merupakan korban eksploitasi ayahnya, sehingga perlu mendapatkan perlindungan. Pengupayaan diversi guna menghindari pemidanaan harus dilakukan, karena selain pemenjaraan masih ada alternatif lainnya yakni dengan memberikan rehabilitasi sosial.

(5)

xiii ABSTRACT

Narcotic criminal act spread out widely, the children now not only targeted as users but they also become drug dealer or intermediaries (drug courier). State should provide protection guarantee to drug courier children, considering the current narcotic acts only regulate the criminal for the adult offender. In this research, the problem that will be analyzed is how criminal arrangement and the punishment for children as drug courier in Indonesian positive law, and how the appropriateness between punishment purposes and criminal sentence to children as drug courier in verdict number 2/PID.SUS-ANAK/2015/PN Gin. The urgency of this research is seeing the drug crime belongs to extraordinary crime that needs serious handling, on the other hand, the offenders are children as the next generation which their right is protected by the state, therefore, the punishment application to children should be really appropriate to the best of children interests.

The method used in this research is normative legal research, which is conducted by the library research, both regulations and books, which then systematically compiled in order to find the truth according to logically legal knowledge from its normative side.

The result of this research is known that the punishment to children as drug courier is beside based on The Narcotic Act also based on The Act of Juvenile Justice System. Based on the verdict analysis, it is known that the punishment is appropriate for the child as the perpetrator, but on the other hand the child in this case is also the victim of exploitation by his father, so it is necessary to get protection. The diversionary effort to avoid punishment must be done, because in addition to imprisonment there are other alternatives by providing social rehabilitation.

(6)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Era globalisasi merupakan era dimana batasan antar negara mulai pudar, dimensi ruang dipersempit, dan dimensi waktu dipersingkat, dimana hal ini akan menyebabkan mudah masuknya pengaruh negara lain kedalam negara kita. Pengaruhnya tidak hanya sebatas pada bidang perekonomian, sosial budaya dan politik, tetapi juga telah merambah ranah hukum. Semakin berkembangnya dunia ini, juga disertai semakin berkembangnya kejahatan, salah satunya kejahatan terkait narkotika. Tindak pidana Narkotika telah menjelma menjadi kejahatan terorganisir bahkan dengan jaringan kerja yang melewati batas antar negara.

Indonesia telah mengatur peredaran narkotika sejak dahulu, dimana sesungguhnya bukanlah peredarannya yang dilarang melainkan penyalahgunaannya. Hal ini dikarenakan penyalahgunaan narkotika merupakan suatu kejahatan (tindak pidana) yang tidak saja menyebabkan kerugian bagi perseorangan tetapi juga kepada masyarakat luas, baik di bidang politik, keamanan, ekonomi, sosial, budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia yang sedang membangun. Sehingga kejahatan narkotika dikenal sebagai

extraordinary crime.

Disisi lain narkotika tidak dapat dipungkiri juga memiliki fungsi positif, yang keberadaanya diperlukan dalam bidang penelitian, untuk pengobatan, pendidikan, pengembangan ilmu, dan penerapannya. Pembangunan yang dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mewujudkan kesejahteraan

(7)

rakyat, maka mengupayakan peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dan disisi lain melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Dewasa ini akses untuk memperoleh narkotika tidak lagi sulit. Globalisasi memperparahnya dengan memberikan akses yang lebih mudah dalam memperlancar peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika. Kejahatan narkotika kini telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih. Peredarannya di masyarakat sangatlah pesat, tidak hanya dikalangan orang kaya, tetapi kalangan masyarakat menengah kebawah juga ikut terlibat didalamnya, dengan kata lain narkotika tidak mengenal status ekonomi seseorang.

Mengingat kejahatan narkotika merupakan extraordinary crime, maka dalam menghukum pelaku diperlukan pula suatu pidana yang tidak sebatas memberikan efek jera kepada pelaku saja, tetapi juga mampu menjadi alat pencegahan agar orang lain tidak melakukan kejahatan narkotika, termasuk mencegah agar pelaku tidak mengulangi lagi kejahatannya. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut dengan UU Narkotika) merupakan instrumen dalam menghadapi ancaman extraordinary

crime tersebut. UU Narkotika bersifat kejam dengan hukuman yang lebih keras

(8)

Menalaah lebih lanjut pasal-pasal dalam UU Narkotika hanya ditujukan kepada pelaku dewasa. Padahal saat ini tindak pidana Narkotika didalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Batasan antara pelaku dan korban sudah tidak lagi terlihat jelas. Hal ini tampak dari banyaknya kasus tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak, yang bukan hanya sebagai pemakai, tetapi juga menjadi penjual ataupun perantara narkotika (kurir narkotika). Anak-anak dipilih untuk menyamarkan kejahatan, dengan kata lain sesungguhnya Anak-anak merupakan korban eksploitasi dalam penyalahgunaan dan perderan gelap narkotika. Tidak adanya ketentuan pidana terhadap pelaku anak dalam UU Narkotika, akan memunculkan pertanyaan, pidana apa yang dijatuhi hakim kepada anak kurir narkotika selama ini?

UU Narkotika menjelaskan untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dikenal adanya pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah narkotika. Jika dilihat dari bentuk pidananya maka pidana dan pemidanaan yang seperti ini lebih ditujukan kepada pelaku dewasa. Anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika, memerlukan suatu pidana dan pemidanaan yang lebih mengutamakan kepentingan terbaik anak.

(9)

Tidak seperti masa lalu, yang memandang pidana sebagai pembalasan, penerapan pembalasan sebagai tujuan pidana saat ini sudah sangat tidak sesuai dengan pola masyarakat. Lebih-lebih jika pelaku kejatahan narkotika tersebut adalah seorang anak dibawah umur 18 tahun, maka sangat diperlukan suatu pidana yang mampu mendidik pelaku menjadi indvidu yang lebih baik, berbudi pekerti, serta berguna untuk bangsa dan negara di masa depan. Penjatuhan pidana yang sesuai dengan jaminan kepentingan terbaik bagi anak dikarenakan anak memiliki peranan yang penting, yakni sebagai generasi penerus bangsa yang kelak akan melanjutkan perjuangan bangsa untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita sebagaimana yang termuat dalam alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Sebagai contoh apabila seorang anak dijatuhi pidana mati, maka ia tidak akan memiliki cukup waktu untuk merubah kepribadiaannya, dan pidana tersebut akan menjadi tanpa guna karena tidak mampu memberikan manfaat kepada kehidupan anak kedepannya.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak) menjelaskan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Melihat hal tersebut maka sudah sepantasnya Indonesia sebagai Negara hukum untuk menciptakan suatu hukum yang melindungi serta memberikan jaminan atas setiap hak yang dimiliki oleh anak.

(10)

Seorang anak akan menjadi kriminal dan memperoleh kebiasaan delinkuensi, sangat bergantung kepada interaksi yang komplek dari berbagai faktor penyebab (intern dan ekstern) sebagai latar belakangnya.1 Salah satu faktor intern yang dapat menjerumuskan anak menjadi kurir narkotika adalah keadaan jiwa anak itu sendiri. Jiwa yang masih labil, dengan keingintahuan yang besar, dan didorong oleh keinginan untuk mencoba-coba, dimanfaatkan dengan baik oleh pelaku peredaran gelap narkotika. Disamping itu, faktor ekstern seperti kurangnya perhatian dari orang tua dan keluarga, pergaulan bebas, juga menjadi pendorong anak terjerumus dalam peredaran gelap narkotika.

Seperti dalam kasus seorang anak yang dimintai ayahnya untuk mengantarkan narkotika, maka dapat dilihat karena pengaruh lingkungan keluarga anak dapat menjadi penyalahguna narkotika. Diawali dengan orang tua yang menyalahgunakan narkotika, baik sebagai pecandu maupun pengedar, maka mereka kerap kali akan menyimpan narkotika didalam rumah yang keberadaanya sangat mudah dijangkau oleh anak, dengan begitu peluang untuk anak menjadi pelaku tindak pidana narkotika juga akan tinggi. Lebih-lebih jika orangtualah yang justru menjadi pendorong anak terjun dalam lingkungan narkotika, seperti menjadikan anak sebagai „tukang antar‟ narkotika. Kondisi keluarga seperti itu akan memberikan pengaruh buruk dalam pembentukan karakter anak, karena disinilah awal ditanamnya nilai-nilai dalam pribadi anak. Maka dari itu orangtua selain berkewajiban memberikan perlindungan juga berperan sebagai panutan atau contoh oleh anak dalam berperilaku dalam kehidupannya.

1

(11)

Penjatuhan pidana dan pemidanaan dalam kasus anak haruslah benar-benar memerhatikan kepentingan pelaku yang pada saat itu masih belia. Proses pemidanaan yang dijalani anak akan bermanfaat apabila mampu membuat anak menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya dan memutuskan untuk tidak lagi mengulangi berbuat kejahatan. Penjatuhan pidana terhadap anak haruslah memberikan jaminan bahwa kepentingan tumbuh dan kembang anak tidak terganggu, guna membentuk generasi muda Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Seluruh lapisan masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara lainnya memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka penulis tertarik untuk menulusuri lebih mendalam terkait pemidanaan terhadap anak sebagai kurir narkotika, serta membahasnya lebih jauh dalam bentuk skripsi yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMIDANAAN DALAM KASUS ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA (Analisis Putusan Nomor. 2/PID.SUS-ANAK/2015/PN Gin)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, ditemukan beberapa permasalahan yang perlu dibahas lebih lanjut, adapun permasalahan tersebut yakni sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan pidana dan pemidanaan terhadap anak sebagai kurir narkotika dalam hukum positif Indonesia?

(12)

2. Bagaimanakah kesesuaian antara tujuan pemidanaan dengan penjatuhan sanksi pidana terhadap anak sebagai kurir narkotika dalam Putusan Nomor. 2/PID.SUS-ANAK/2015/PN Gin?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup masalah menggambarkan luasnya cakupan lingkungan masalah yang dikaji, yang pada umumnya digunakan untuk pembatasan area penelitian, dengan adanya batasan ini maka pembahasannya akan lebih sistematis, metodelogis, serta sebagai pencegahan terjadinya penyimpangan dari pokok permasalahan dalam pembahasan skripsi ini. Adapun ruang lingkup masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut.

1. Pada pembahasan pertama, ruang lingkup permasalahannya meliputi pembahasan tekait jenis pidana dan pemidanaan yang dapat dijatuhkan dalam tindak pidana narkotika oleh anak sebagai kurir narkotika yang diatur dalam hukum positif Indonesia, yaitu UU Narkotika, UU SPPA, serta UU Perlindungan Anak.

2. Pada pembahasan kedua, ruang lingkup permasalahannya meliputi pembahasan terkait kesesuaian antara tujuan pemidanaan dengan penjatuhan sanksi pidana dalam kasus anak sebagai kurir narkotika, yang diperoleh melalui analisis Putusan Nomor. 2/PID.SUS-ANAK/2015/PN Gin.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penulusuran judul penelitian, selanjutnya akan disebutkan penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan sebagai bahan pembanding untuk menunjukkan orisinalitas dari penelitian skripsi ini dengan memberikan minimal 2 (dua) substansi pembeda untuk menghindarkan penelitian dari anggapan plagiat.

(13)

Berikut adalah 2 (dua) buah skripsi terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika oleh anak, yang meliputi:

Tabel 1: Orisinalitas penulisian Skripsi

No. Judul Skripsi Penulis Skripsi Rumusan Masalah 1. Anak Menjadi Kurir

dalam Hubungannya dengan Perdagangan

Narkotika dan

Psikotropika di Kota Pontianak Ditinjau dari Sudut Kriminologi (Studi Kasus di Polresta Pontianak Kota) Ricardo Hasudungan Simanungkalit (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura) Tahun 2014 1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi anak menjadi kurir dalam hubungannya dengan perdagangan narkotika dan psikotropika di Kota Pontianak ditinjau dari sudut Kriminologi? 2. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Jo UU No. 35 Tahun Devi Nurpitasari (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pasundan) Tahun 2016

1. Apakah sanksi yang dapat dikenakan kepada anak yang menjadi kurir narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

(14)

2009 tentang Narkotika 2. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi anak sebagai kurir narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika?

3. Upaya apakah yang dapat dilakukan pemerintah agar anak tidak dijadikan kurir narkotika?

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini akan dibedakan menjadi 2 (dua) yang meliputi Tujuan Umum (het doel van het onderzoek) dan Tujuan Khusus (het doel in het

onderzoek). Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut.

1.5.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini yakni sebagai upaya pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang hukum pidana, dengan cara memberikan

(15)

gambaran yang komprehensif terkait aspek hukum dalam pemidanaan terhadap anak sebagai kurir narkotika.

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan pidana dan pemidanaan terhadap anak sebagai kurir narkotika dalam hukum positif Indonesia.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kesesuaian antara tujuan pemidanaan dengan penjatuhan sanksi pidana terhadap anak sebagai kurir narkotika dalam Putusan Nomor. 2/PID.SUS-ANAK/2015/PN Gin.

1.6 Manfaat Penelitian

Melalui penulisan penelitian mengenai “Tinjauan Yuridis Mengenai Pemidanaan dalam Kasus Anak Sebagai Kurir Narkotika (Analisis Putusan Nomor. 2/PID.SUS-ANAK/2015/PN Gin), diperoleh manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu sebagai berikut.

1.6.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang dalam hal ini di bidang hukum pidana. Sekaligus juga diharapkan dapat memberikan sumbangsi pikiran bagi mahasiswa, akademisi, praktisi hukum, masyarakat dan pihak terkait lainnya serta sebagai referensi bagi pembaca yang berminat pada masalah-masalah hukum pidana.

(16)

1.6.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah sebagai sarana pengetahuan terkait pengaturan pidana, pemidanaan serta tujuan pemidanaan dalam kasus anak sebagai kurir narkotika. Serta diharapkan dapat menjadi kontribusi maupun masukan bagi masyarakat, aparat penegak hukum, dan mahasiswa dalam rangka penegakan hukum guna menanggulangi peredaran gelap narkotika.

1.7 Landasan Teoritis

Landasan teoritis merupakan landasan yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam penelitian guna mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang bersifat konsensus yang diperoleh dari rangkaian upaya penelusuran. Landasan tersebut dapat berupa filosofi, teori hukum, asas-asas hukum, norma, konsep-konsep hukum dan doktrin. Adapun landasan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini ialah sebagai berikut.

1.7.1 Asas-Asas Perlindungan Anak

Anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. UU Perlindungan Anak meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut:

(17)

a. nondiskriminasi;

b. kepentingan yang terbaik bagi anak;

c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak.

Asas perlindungan anak di sini sesuai dengan prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam Konvensi Hak-Hak Anak. Maksud dari asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Kemudian asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua. Sedangkan, asas penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.

Pasal 2 Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA) menyebutkan pula asas-asas yang mendasari pelaksanaan sistem peradilan pidana anak yakni sebagai berikut.

a. Pelindungan, yang meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang membahayakan anak secara fisik dan/atau psikis.

b. Keadilan, adalah bahwa setiap penyelesaian perkara anak harus mencerminkan rasa keadilan bagi anak.

(18)

c. Nondiskriminasi, adalah tidak adanya perlakuan yang berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, serta kondisi fisik dan/atau mental.

d. Kepentingan terbaik bagi anak, adalah segala pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak.

e. Penghargaan terhadap pendapat anak, adalah penghormatan atas hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan, terutama jika menyangkut hal yang memengaruhi kehidupan anak.

f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.

g. Pembinaan, adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani anak baik di dalam maupun di luar proses peradilan pidana.

h. Pembimbingan, adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan.

(19)

i. Proporsional, adalah segala perlakuan terhadap anak harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi anak.

j. Perampasan kemerdekaan merupakan upaya terakhir, adalah pada dasarnya anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya, kecuali terpaksa guna kepentingan penyelesaian perkara.

k. Penghindaran pembalasan, adalah prinsip menjauhkan upaya pembalasan dalam proses peradilan pidana.

1.7.2 Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pemidanaan akan dijatuhkan kepada mereka yang telah melakukan tindak pidana baik berupa kejahatan maupun pelanggaran. Tetapi perlu diingat seseorang hanya akan dipidana jika perbuatannya memiliki kesalahan. Kesalahan memiliki beberapa unsur, yakni:

1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, dalam arti jiwa si pelaku dalam keadaan sehat dan normal;

2. Adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatannya, baik yang disengaja (dolus) maupun karena kealpaan (culpa);

3. Tidak adanya alasan pemaaf yang dapat menghapus kesalahan.2

Pertanggungjawaban yang merupakan inti dari kesalahan yang dimaksud didalam hukum pidana adalah pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Walaupun sebenarnya menurut etika setiap orang bertanggungjawab atas segala perbuatannya, tetapi dalam hukum pidana yang menjadi pokok permasalahan hanyalah tingkah laku yang mengakibatkan hakim menjatuhkan pidana.

2

(20)

Simons berpendapat, kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan suatu keadaan psikis sedemikian rupa, sehingga penerapan suatu upaya pemidanaan, baik ditinjau secara umum maupun dari sudut orangnya dapat dibenarkan.3 Dikatakan pula bahwa seorang pelaku tindak pidana mampu bertanggung jawab apabila:

 Mampu mengetahui/menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum;

 Mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tadi. Berkaitan dengan pertanggungjawaban oleh anak sebagai pelaku tindak pidana, maka diperlukan suatu pandangan khusus untuk menentukan apakah perbuatan anak tersebut memenuhi unsur tindak pidana atau tidak. Hal tersebut dapat dilihat minimal melalui tiga visi sebagai berikut.4

a. Subjek, artinya apakah anak tersebut dapat diajukan ke persidangan anak? Apakah anak tersebut memiliki kemampuan bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukan? Bertalian dengan kemampuan bertanggung jawab ini, Muljatno menulis kemampuan bertanggung jawab harus ada:

1. Kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk; yang sesuai hukum dan yang melawan hukum;

2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.5

3

Ibid, h. 85.

4

Bunadi Hidayat, 2010, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, P.T. Alumni, Bandung, h. 51.

5

(21)

Kemampuan untuk membedakan dan menentukan mana baik dan buruk dalam melakukan perbuatan melanggar hukum adalah tindakan yang menyangkut aspek moral dan kejiwaan. Tanpa memiliki kekuatan moral dan kejiwaan ini, seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas tindakan yang dilakukannya.

b. Adanya unsur kesalahan, artinya apakah benar anak itu telah melakukan perbuatan yang dapat dipidana atau dilarang oleh undang-undang. Hal ini diperlukan untuk menghindari asas Geen Straf Zonder Schuld (tidak ada pidana, jika tidak ada kesalahan).

c. Keakurasian alat bukti yang diajukan penuntut umum dan terdakwa untuk membuktikan kebenaran surat dakwaannya. Alat bukti ini, minimal harus ada dua, jika tidak terpenuhi, terdakwa tidak dapat dipidana. Hal ini sesuai dengan asas unus testis nullus testis, artinya suatu alat bukti bukanlah alat bukti.6 1.7.3 Teori Pemidanaan

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan kejahatan dewasa ini semakin kompleks. Kebutuhan akan hukum yang mampu mengendalikan kejahatan-kejahatan tersebut merupakan kebutuhan setiap bangsa di dunia. Keberadaan suatu hukum mampu memberikan suatu perlindungan serta kepastian terhadap hak-hak maupun kewajiban seseorang. Setiap hukum akan mengandung sanksi yang mengikat semua orang untuk taat kepadanya. Hukum pidana mengenal adanya sanksi pidana, berupa penderitaan yang dijatuhkan oleh negara kepada mereka yang telah melanggar hukum pidana, atau dengan kata lain

6

(22)

diberikan kepada pelaku tindak pidana. Pelaksanaan hukuman itu sebagai tujuan hukum pidana adalah untuk memenuhi rasa adil yang dikehendaki oleh masyarakat. Secara konkret tujuan hukum pidana itu ada dua, ialah:

1. Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik;

2. Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya. 7

Menurut aliran klasik tujuan hukum pidana untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa atau negara. Sebaliknya menurut aliran modern mengajarkan tujuan hukum pidana untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan, dengan demikian hukum pidana harus memerhatikan kejahatan dan keadaan penjahat, maka aliran ini mendapat pengaruh dari perkembangan kriminologi.8 Secara singkat dapat dikatakan bahwa hukum pidana ditujukan untuk melindungi masyarakat. Apabila seseorang takut untuk melakukan perbuatan tidak baik karena takut dihukum, semua orang dalam masyarakat akan tentram dan aman.9

Pidana pada hakikatnya merupakan pengenaan nestapa atau penderitaan terhadap pelaku tindak pidana dimana dengan pengenaannya tersebut diharapkan mempunyai pengaruh terhadap pelaku tindak pidana sehingga pelaku jera untuk tidak lagi melakukan tindakan pidana. Pidana baru akan dapat dirasakan secara nyata oleh terpidana ketika putusan hakim dilaksanakan secara efektif. Sehingga

7

R. Abdoel Djamali, 2014, Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, h. 173.

8

Teguh Prasetyo, op.cit, h. 14.

9

(23)

dengan adanya pemidanaan, maka tujuan pemidanaan baru dapat tercapai. Untuk mencapai tujuan pemidanaan dikenal tiga teori, yaitu sebagai berikut:

1. Teori pembalasan (Vergeldings Theorien), diadakannya pidana adalah untuk pembalasan. 10 Teori yang dikenal pula dengan sebutan teori absolut atau mutlak ini, memandang setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana –tidak boleh tidak– tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang mungkin timbul dari dijatuhkannya pidana. Tidak dipedulikan, apakah dengan demikian masyarakat mungkin akan dirugikan, dengan kata lain hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat ke masa depan.11

2. Teori tujuan atau relatif atau nisbi (Doeltheorien), teori ini berusaha untuk mencegah kesalahan pada masa mendatang, dengan perkata lain pidana merupakan sarana untuk mencegah kejahatan. Teori ini juga sering disebut teori prevensi, yang dapat ditinjau dari dua segi, yaitu prevensi umum dan prevensi khusus. Dijatuhkannya sanksi pidana diharapkan penjahat potensial mengurungkan niatnya, karena ada perasaan takut akan akibat yang dilihatnya, jadi ditujukan kepada masyarakat pada umumnya. Sedangkan prevensi khusus ditujukan kepada pelaku agar ia tidak mengulangi perbuatan jahatnya.12 Menurut teori ini suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan

10

Teguh Prasetyo, op.cit, h. 15.

11

Wirjono Projodikoro, 2014, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, h. 23.

12

(24)

suatu pidana. Untuk itu tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada masa depan. Dengan demikian, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja.13 3. Teori gabungan (Verenigingstheorien), merupakan kombinasi antara

teori absolut dan teori relatif, tujuan penjatuhan pidana karena orang tersebut melakukan kejahatan dan agar ia tidak melakukan kejahatan lagi.14 Made Sadhi Astuti menyatakan bahwa teori gabungan terbagi menjadi 3 golongan, yaitu:

a. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan, teori ini berpandangan bahwa pidana tiada lain adalah pembalasan pada penjahat, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dan cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib.15 b. Teori gabungan yang menitikberatkan pada upaya

mempertahankan tata tertib masyarakat, teori ini memandang pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana, tetapi bukan

13

Wirjono Projodikoro, op.cit, h. 25.

14

Yulies Tiena Masriani, op.cit, h. 66.

15

Hj. Sri Sutatiek, 2013, Rekonstruksi Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Anak di

Indonesia: Urgensi Penerbitan Panduan Pemidanaan (The Sentencing Guidelines) untuk Hakim Anak, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, h. 22.

(25)

tujuan.16 Tujuan pemidanaan adalah mempertahankan tata tertib masyarakat, namun penderitaan yang dijatuhkan tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.17

c. Teori gabungan yang menganggap bahwa pidana memenuhi keharusan pembalasan dan keharusan melindungi masyarakat, dengan kata lain memandang sama pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat (perlindungan masyarakat). Tujuan pidana bertalian erat dengan jenis kejahatan yang dilakukan dan nilai-nilai budaya bangsa yang bersangkutan.18 1.7.4 Teori Sanksi

Herbert L. Packer menyebutkan bahwa pidana berorientasi pada “sanksi pidana” sehingga pada dasarnya sanksi pidana merupakan penjamin atau garansi utama/terbaik (prime guarantor) dan sekaligus pengancam yang utama (prime

threatener) serta merupakan sarana atau alat yang terbaik dalam menghadapi

kejahatan.19 Konklusi dasar asumsi Herbert L. Packer tersebut yakni sebagai berikut.

1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan kita tidak dapat hidup sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana.

16

Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi 2008, PT Rineka Cipta, Jakarta, h. 37.

17

Hj. Sri Sutatiek, loc.cit.

18

Hj. Sri Sutatiek, loc.cit.

19

Lilik Mulyadi, 2012, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus, PT Alumni, Bandung, h. 56.

(26)

2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia yang kita miliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya.

3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin yang utama atau terbaik” dan suatu ketika merupakan “pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.20

1.8 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan salah satu faktor yang penting yang menunjang suatu proses penelitian yaitu berupa suatu penyelesaian suatu permasalahan yang akan diteliti, dimana metode penelitian merupakan prosedur atau langkah-langkah yang dianggap efektif dan efisien dan pada umumnya untuk mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data dalam rangka menjawab masalah yang akan diteliti.21

1.8.1 Jenis Penelitian

Penilitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode yang dipergunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka yang ada, dalam rangka menemukan suatu kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.

20

Marlina, 2016, Hukum Penitensier, PT Refika Aditama, Bandung, h. 31.

21

(27)

1.8.2 Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut.

1. Pendekatan Peraturan Perundang-undangan (The Statutory Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Peraturan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peraturan yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika oleh anak sebagai pengedar narkotika, yakni UU Narkotika, UU SPPA, dan UU Perlindungan Anak.

2. Pendekatan kasus (The Case Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yakni Putusan Nomor. 2/PID.SUS-ANAK/2015/PN Gin.

3. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analytical & Conceptual Approach) Pendekatan ini dilakukan dengan menalaah pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum guna menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum relevan dengan isu yang dihadapi.

1.8.3 Bahan Hukum

Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal, yang acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah

(28)

atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang pantas, oleh karena itu sumber datanya hanyalah data sekunder (bahan kepustakaan).22 Penulisan skripsi ini didasari oleh sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut.

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum dan merupakan produk hasil dari lembaga yang berwenang. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Perlindungan Anak, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Berkaitan dengan penelitian ini, maka sumber dari perpustakaan seperti buku-buku, karya tulis hukum atau pandangan para ahli, kamus hukum, majalah dan artikel-artikel dari internet yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika oleh anak sebagai kurir narkotika.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah teknik sistem kartu (card sistem) yaitu dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum,

22

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2016, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi Revisi, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 118.

(29)

baik primer maupun sekunder. Setelah diidentifikasi kemudian data tersebut dianalisis relevansinya dengan rumusan masalah dalam penelitian ini.

1.8.5 Teknik Analisis

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analitis yang tidak dapat

dihindari penggunaanya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau proposisi-proposisi hukum atau non hukum.

2. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer maupun dalam bahan hukum sekunder.

3. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum. 4. Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antar yang tidak sederajat.

Gambar

Tabel 1: Orisinalitas penulisian Skripsi

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu koperasi yang cukup berkembang di Indonesia adalah Koperasi Simpan Pinjam. Koperasi Simpan Pinjam adalah koperasi yang modalnya berdasarkan hasil dari

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 73 ayat 3 diatur mengenai pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan

Analisis data menggunakan ANAVA Hasil : Penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak metanol daun binahong dosis 50, 100 dan 200 mg/kg bb dapat menurunkan kadar

Dari hasil analisis data dari pengujian hipotesis yang dilakukan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah: 1) Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara

Understanding the Turbulence of Business Environment in Telecom Industry: Empirical Evidence from Indonesia Memahami Turbulensi Lingkungan Bisnis pada

Lembar kerja hasil penyelesaian perhitungan tegangan normal dan tegangan geser Ketepatan hasil penyelesain masalah / tugas 15 1,2,3,4,5 9-11 Menerapkan perangkat lunak

Berdasarkan kandungan fosil Foraminifera planktonik yakni dengan hadirnya Globorotalia acostaensis untuk pertama kalinya pada sampel PS2, di bagian atas Formasi Ledok,

koperasi tersebut di atas di Persidangan Negeri Perak 2021 yang akan diadakan pada 17 Mac 2021 (Rabu). Bersama-sama ini disertakan pengesahan saya sebagai wakil