• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KELOMPOK MARJINAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI KELOMPOK MARJINAL"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PNPM PERDESAAN:

STUDI KELOMPOK MARJINAL

(JUNI 2010)

http://pnpm–support.org/marginalized–study–2010

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat

(2)

3

2 PNPM PERDESAAN:

STUDI KELOMPOK MARJINAL PNPM PERDESAAN:

STUDI KELOMPOK MARJINAL

STUDI KELOMPOK MARGINAL

Studi Kelompok Marginal berawal dari kekhawatiran bahwa ada kelompok marjinal di masyarakat yang tera-baikan dari proses perencanaan pembangunan program PNPM–Perdesaan.

Studi terdahulu mengenai PPK menunjukkan bahwa, meskipun program bermanfaat untuk kelompok miskin, namun mereka mungkin tidak sepenuhnya terlibat dalam proses partisipatoris yang merupakan landasan program PNPM–Perdesaan. Secara khusus, kelompok yang terabaikan dapat mencakup rumah tangga yang dikepalai perempuan dan kelompok yang tidak memiliki pendidikan dasar, khususnya mereka yang tinggal di wilayah terpencil di desa–desa. Beberapa studi meny-impulkan tingkat partisipasi perempuan dan kelompok miskin di pertemuan PNPM lebih tinggi dibandingkan pada program perdesaan lain. Namun, sejumlah studi lain mengungkapkan rendahnya mutu partipasi, dan beberapa menunjukkan bahwa partisipasi yang dilaku-kan cenderung bersifat pasif.

Menimbang mutu partisipasi dari kelompok yang tera-baikan, studi ini bertujuan mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai dinamika partisipasi dalam PNPM Perdesaan. Studi ini mencoba menjawab pertan-yaan penelitian sebagai berikut:

z

z Siapa saja yang berpartisipasi dan tidak berpartisipasi

dalam PNPM Perdesaan?

z

z Mengapa kelompok–kelompok ini tidak

berpartisi-pasi? Apa hambatan mereka?

z

z Apa yang perlu dilakukan program seperti PNPM

Perdesaan dan program sejenis untuk melibat-kan mereka?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, studi ini meng-gunakan metodologi kualitatif. Selain mengkaji doku-men, data dikumpulkan melalui wawancara dengan informan kunci dan melalui diskusi kelompok terbatas. Wawancara silang dengan informan dari posisi, latar belakang sosial–ekonomi, dan kepentingan yang berbeda dilakukan untuk memverifikasi informasi.

Penelitian lapangan dilakukan di 24 desa di 12 keca-matan pada 6 provinsi (Sumatera Barat, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua) sejak Oktober hingga December 2009. Lokasi penelitian di setiap kecamatan adalah satu desa yang dipilih secara acak dan satu desa yang termiskin.

Studi ini menyimpulkan bahwa, meskipun kelompok marginal mendapatkan manfaat signifikan dari pro-gram, namun mereka seringkali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam tingkat yang berbeda–beda, pengambilan keputusan sering didomi-nasi oleh kelompok elit dan aktivis.

STRUKTUR SOSIAL–EKONOMI DAN

PENGAMBILAN KEPUTUSAN DESA

Berdasarkan diskusi dengan penduduk desa di lokasi penelitian, laporan ini menyatakan bahwa secara umum ada empat kelompok besar di tengah masyarakat desa – masing–masing punya karakteristik dan daya pen-garuh atas urusan desa:

1. Elit: Laporan ini membagi lagi kelompok elit ke dalam tiga kategori, dengan tingkat partisipasi dan pengaruh atas urusan desa sebagai berikut:

a. Kaya: Umumnya kelompok kaya cukup baik

mengatahui program–program pembangunan dan mereka diundang menghadiri pertemuan desa. Namun, mereka memilih untuk tidak terli-bat, kecuali program tersebut menguntungkan mereka secara langsung. Mereka “secara umum menganggap dana yang dikelola desa terlalu kecil sehingga tidak layak mendapat perha-tian mereka.”

b. Perangkat pemerintah desa: Pamong desa,

termasuk kepala desa, memiliki pengaruh besar atas pengambilan keputusan di desa. Sebagai aparat pemerintah, mereka mengetahui pro-gram pembangunan lebih dahulu ketimbang masyarakat. Laporan menyatakan bahwa keterlibatan pemerintah desa di PNPM Perde-saan umumnya bertujuan memastikan bahwa

agenda atau program mereka mendapatkan dana – meskipun ini tidak serta–merta berarti agenda tersebut dibuat untuk kepentin-gan pribadi. Laporan menyatakan bahwa pamong desa memanfaatkan prosedur mau-pun non–prosedur PNPM Perdesaan untuk memastikan program tertentu disetujui. Mis-alnya, di luar prosedur formal, aparat dari desa atau dusun berbeda mengadakan negosiasi untuk memilih proposal yang akan diusung di tahap berikutnya.

c. Tokoh agama dan adat: Laporan menyatakan bahwa pemuka agama memiliki peran signifikan di dalam keluarga dan forummasyarakat, tetapi jarang terlibat dalam pertemuan desa. Laporan mencatat adanya pengecualian dari situasi ini, seperti keterlibatan besar dari pemuka agama Islam di Jawa Barat.

2. Aktivis: Laporan mendefinisikan “aktivis” seb-agai pihak yang memiliki pengetahuan tentang proyek pemerintah dan menggunakan pengeta-huan itu untuk terlibat di dalam proyek tersebut. Aktivis–aktivis memiliki pengetahuan yang baik dan aktif berpartisipasi dalam pertemuan desa. Mereka juga terlibat di dalam implementasi program pem-bangunan. Termasuk di antara aktivis adalah mereka yang terlibat di kegiatan layanan kesehatan, kelom-pok perempuan, kelomkelom-pok simpan–pinjam, dan kelompok masyarakat lain. Aktivis bukan, atau tidak selalu, merupakan pegawai pemerintah, namun seringkali mereka memiliki kedekatan sosial maupun hubungan keluarga, atau bentuk hubungan lain, dengan anggota kelompok elit – terutama tokoh pemerintah. Beberapa di antara mereka berparti-sipasi langsung di PNPM Perdesaan sebagai KPMD (Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa) atau ang-gota TPK (Tim Pengelola Kegiatan). Di dalam peran ini, aktivis umumnya tidak dapat memutus dominasi tokoh lain atau elit lain dalam mengambil keputusan tentang proyek yang akan dilaksanakan di suatu desa. Namun, aktivis sangat berpengaruh dalam

mengambil keputusan untuk mengundang atau mendorong anggota masyarakat lain menghadiri pertempuan. Dengan demikian, aktivis turut mem-bantu membentuk tingkat serta mutu partisipasi masyarakat desa.

3. Mayoritas: Laporan menggambarkan anggota kelompok mayoritas sebagai mereka yang memi-liki aset kecil atau pemasukan teratur, dan yang merupakan komponen mayoritas dari populasi desa. Laporan menyatakan bahwa sebagian besar anggota mayoritas tidak aktif di pertemuan desa, dan dengan demikian tidak punya pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Umumnya, orang di dalam kategori ini lebih mengetahui program pem-bangunan dibandingkan kelompok marjinal. Mereka mungkin menghadiri pertemuan yang berhubun-gan denberhubun-gan PNPM, atau proses pembangunan desa lainnya, tetapi tidak sering berpartisipasi aktif. Seringkali, partisipasi pasif kelompok mayoritas dido-rong untuk memenuhi persyaratan formal program. 4. Kelompok marginal: Laporan menyatakan bahwa kelompok marginal hampir selalu dikesampingkan dari pertemuan desa dan kegiatan pembangunan, kecuali mereka punya hubungan khusus dengan pamong desa atau anggota kelompok elit. Kalaupun kelompok marginal dilibatkan di dalam proses per-encanaan, maka hal tersebut hanyalah sebagai ben-tuk formalitas, unben-tuk memberikan kesan pelibatan. Anggota kelompok marginal desa digambarkan sebagai mereka yang memiliki beberapa atau semua karakteristik berikut:

a. Memiliki aset bernilai rendah atau tanpa

aset: Pekerja yang tidak memiliki tanah, petani

penggarap buruh nelayan, dan mereka yang tidak memiliki aset produktif selain jasa sendiri;

b. Tinggal di wilayah pinggir dan memiliki akses

terbatas terhadap infrastruktur ekonomi dan sosial;

c. Berpendapatan rendah dengan jumlah

tang-gungan besar: Misalnya kepala keluarga

perem-puan, penyandang cacat, dan lansia;

Studi Kelompok Marginal Struktur Sosial–Ekonomi dan Pengambilan Keputusan Desa

(3)

5

4 PNPM PERDESAAN:

STUDI KELOMPOK MARJINAL PNPM PERDESAAN:

STUDI KELOMPOK MARJINAL

d. Berasal dari etnis atau agama minoritas: Laporan menyebutkan contoh berupa etnis Cina miskin di Kalimantan Barat dan anggota suku minoritas di Papua.

Meskipun tingkat keterlibatan sebagian besar kelompok marginal adalah terbatas, namun laporan menyatakan bahwa anggota kelompok ini menarik manfaat dari proyek–proyek PNPM Perdesaan, terutama proyek publik seperti jalan, jembatan, dan sarana mandi/cuci umum. PNPM Perdesaan telah memperbaiki mutu akses mereka terhadap layanan dasar, sekaligus memberikan lahan pekerjaan kepada kelompok miskin sebagai tenaga ban-gunan. Dapat dikatakan, bekerja sebagai tenaga bangu-nan merupakan bentuk “partisipasi” terbesar kelompok marginal dalam PNPM Perdesaan.

Menimbang peran dominan tokoh pemerintah dan aktivis dalam proyek pembangunan desa, laporan studi menggambarkan peran mereka di dalam proses PNPM Perdesaan sebagai berikut:

HAMBATAN PARTISIPASI

Studi ini mempelajari dua faktor yang menghambat par-tisipasi kelompok marginal:

1. Struktur sosial–ekonomi masyarakat desa: Struk-tur sosial–ekonomi desa bisa menghambat partisi-pasi kelompok marginal. Kelompok elit mendomina-si proses pengambilan keputusan meskipun peran para elit di dalam prosesnya bervariasi. Umumnya, anggota kelompok marginal tidak berpartisipasi di dalam proses perencanaan.

2. Hambatan teknis: Meskipun salah satu kompo-nen kunci PNPM Perdesaan adalah perencanaan partisipatoris, namun studi ini menemukan keterba-tasan dan kelemahan di dalam rangcanan program, yang dapat menghambat kapasitas program untuk merangkul kelompok marginal. Satu komponen PNPM Perdesaan yang menonjol, yang mempenga-ruhi mutu partisipasi, adalah kemampuan fasilitator meningkatkan partisipasi kelompok marginal.

HAMBATAN STRUKTURAL

Proses demokratisasi yang tidak terinstitusi dengan baik menguntungkan pamong desa: Laporan

menye-butkan pamong desa dan aktivis punya pengetahuan cukup tinggi atas proses PNPM dan lebih mampu untuk ‘memofidikasi’ atau ‘memanipulasi prosesnya. Meski-pun mereka mungkin percaya tindakan tersebut diam-bil untuk kepentingan masyarakat desa, mereka juga mungkin percaya bahwa mereka bisa bertindak lebih efektif tanpa gangguan yang mungkin timbul dari parti-sipasi luas.

Pamong desa dan aktivis dipandang sebagi per-wakilan efektif dan punya legitimasi untuk melak-sanakan proyek setelah proses pengambilan kepu-tusan berjalan secara rutin: Laporan menyatakan

bahwa proses PNPM Perdesaan telah menjadi rutinitasi dan tidak lagi menginspirasi keterlibatan. Diskusi pan-jang (dari tingkat dusun ke antar desa) berujung pada penurunan partisipasi. Rendahnya kecakapan fasilitator, seringnya pergantian fasilitator di beberapa lokasi, dan intervensi kelompok elit menyebabkan turunnya antu-siasme dan rendahnya ekspektasi. Anggota kelompok mayoritas dan marginal mungkin akhirnya percaya bah-wa pamong desa dan aktivislah yang memiliki kualifikasi memutuskan proyek infrastruktur mana yang berman-faat untuk masyarakat, dan dengan demikian mereka tidak punya motivasi untuk berpartisipasi.

Pertimbangan waktu dan logistik mungkin menu-runkan keinginan kelompok marginal berpartisipasi:

Laporan menyebutkan, banyak anggota kelompok mar-ginal tinggal di daerah pinggir desa. Seringkali, biaya perjalanan untuk menghadiri musyawarah desa menjadi hambatan. Selain itu, waktu yang dihabiskan menghadiri musyawarah dapat berujung pada hilangnya peluang mendapat pemasukan.

KETERBATASAN RANCANGAN

PNPM PERDESAAN

Laporan studi mengidentifikasi sejumlah keterbatasan teknis dalam rancangan proyek PNPM Perdesaan dan

sistem pendukungnya, yang akhirnya menghambat partisipasi. Keterbatasan ini termasuk yang diakibatkan oleh perluasan skala PNPM Perdesaan, dari 26 desa percobaan (1997) menjadi 61.000 di tahun 2010. Lebih dari 10.000 fasilitator tingkat kecamatan telah direkrut – setengahnya adalah insinyur.

Keterbatasan khusus yang disebutkan oleh laporan studi mencakup juga hal–hal berikut:

Pencairan dana terlambat: Studi menemukan bahwa

tertundanya pencarian dana operasional maupun hibah telah memaksa dilakukannya modifikasi pelaksanaan proyek, yang akhirnya memangkas proses partisipatoris.

Hambatan Partisipasi Hambatan Partisipasi

Tahap PNPM Perdesaan

Bentuk “intervensi” Keterangan

Diseminasi informasi

Menentukan siapa yang diudang ke musyawarah PNPM-Perdesaan (musdus dan MDP/MKP), bahkan ketika tidak ada tujuan untuk melakukan pemilihan suara

memenangkan proposal tertentu.

• KPMD dan TPK biasanya meminta kepala dusun untuk mengundang penduduk ke musyawarah. KPMD juga mendatangi tokoh-tokoh desa.

Musyawarah Dusun (Musdus)

Mulai meluncurkan proposal atau jenis usulan tertentu

• Tokoh adat atau agama mengusulkan kegiatan yang terkait dengan kepentingan mereka. Misalnya tokoh agama mengajukan perbaikan madrasah.

Memfasilitasi usulan dari kelompok marjinal

• Sebelum musdus, aktivis, biasanya mereka yang berpengalaman dalam fasilitasi, memfasilitasi pertemuan dengan kelompok marjinal. Hasil pertemuan dibawa ke musdus. Di Biak, kelompok aktivis cenderung menjadi penentang kelompok pamong (PNS).

Mengarahkan peserta musyawarah untuk menerima proposal tertentu

• Kepala dusun mengatakan kepada penduduk dusun usulan apa yang penting untuk dusun tersebut.

• Aktivis menyatakan sejumlah argumen untuk mendukung usulan/ proposal dari kelompok yang diwakili atau dari dirinya sendiri. • Kepala desa mendatangi musdus untuk menyatakan pentingnya

mengajukan dan membangun usulan tertentu. Musyawarah Desa Mengarahkan peserta musyawarah untuk memprioritaskan proposal tertentu

• Kepala desa mengemukakan sejumlah alasan pentingnya memprioritaskan usulan tertentu.

• TPK dan KPMD mengarahkan diskusi untuk memprioritasikan usulan tertentu (misal untuk dusun yang tidak pernah menang sebelumnya). Mengerahkan kelompok

masyarakat untuk memenangkan atau menolak sebuah usulan (mobilisasi)

• Kepala dusun memobilisasi penduduk di dusun untuk mendatangi musyawarah desa untuk mendukung usulan dari dusun tersebut atau usulan dari desa atau melakukan negosiasi dengan kepala dusun yang lain.

• Kelompok aktivis memobilisasi penduduk (memberikan transportasi) untuk mendukung usulan yang diajukan atau menolak usulan tertentu. MAD

(Musyawarah Antar Desa)

Lobby dan negosiasi

antar dusun untuk memenangkan usulan tertentu

• Kepala desa dan TPK mengadakan berbagai pertemuan dengan kepala desa dan TPK dari desa yang lain untuk menegosiasikan atau membangun strategi usulan yang diprioritaskan untuk didanai oleh PNPM-Perdesaan; desa-desa mana yang menang tahun ini.

• Studi ini juga menemukan kasus dimana kepala desa membawa proposal mereka sendiri, yang berbeda dari yang disetujui di musyawarah desa, di MAD.

(4)

7

6 PNPM PERDESAAN:

STUDI KELOMPOK MARJINAL PNPM PERDESAAN:

STUDI KELOMPOK MARJINAL

Dalam situasi ini, KPMD dan FK tidak punya kapasitas maupun waktu untuk memperdalam proses partisipasi.

Kurangnya fasilitator yang berkualitas: Laporan studi

menyatakan bahwa dengan peningkatan cakupan PNPM Perdesaan, besarnya kebutuhan fasilitator telah menye-babkan turunnya kualitas. Sulit untuk menemukan kandidat dengan kualifikasi setara dengan kandidat di masa awal PPK. Menimbang kebutuhan, PNPM terpaksa menerima fasilitator yang mutunya lebih rendah dari yang diharapkan. Banyak fasilitator di lokasi penelitian merupakan lulusan baru tanpa pengalaman bekerja di tengah masyarakat dan tanpa pengalaman yang diper-lukan untuk bekerja sama secara efektif dengan pamong desa serta aktivis, agar dapat memperluas partisipasi. Pelatihan yang saat ini diberikan untuk fasilitator uta-manya berfokus pada administrasi program dan bukan teknik fasilitasi maupun tujuan akhir PNPM, yakni men-jangkau kelompok miskin. Selain pelatihan yang terba-tas, fasilitator lokal juga tidak mendapatkan pengawasan maupun umpan balik yang memadai.

Pemantauan dan evaluasi program utamnya ber-fokus pada prosedur administrasi: Laporan studi

menyebutkan bahwa pemantauan difokuskan pada administrasi, khususnya memantau apakah semua tahap PNPM Perdesaan sudah dilaksanakan. Sementara itu, tidak ada pemantauan yang melihat mutu partisipasi kelompok marginal, atau apakah tujuan PNPM Perdesaan berupa pemberdayaan kelompok marginal sudah diter-apkan secara konsisten di setiap tahap.

Juga, sangat sedikit perhatian yang diberikan pada usaha–usaha memahami aspek spesifik marjinalisasi, atau bagaimana siklus PNPM Perdesaan berikutnya bisa memperdalam proses partisipasi.

Sistem pelaporan rumit dan menyita banyak waktu fasilitator: Semua level fasilitator harus menulis dan

mengumpulkan informasi atas kegiatan program seka-ligus diharapkan memberikan fasilitasi di desa–desa. Berdasarkan wawancara, para fasilitator umumnya

menyatakan bahwa pelaporan menyita terlalu ban-yak waktu dan mengurangi waktu mereka melaku-kan fasilitasi, khususnya dengan kelompok marginal di masyarakat.

REKOMENDASI

Laporan studi menyimpulkan bahwa dominasi kelom-pok elit merupakan isu utama dalam sebuah program yang bertujuan memberdayakan masyarakat. Desain PNPM Perdesaan mengikutsertakan fasilitasi oleh agen internal maupun ektsternal. Fasilitasi inilah yang diharap-kan dapat membatasi gerak kelompok elit lokal. Desain proyek juga berasumsi bahwa proses “demokratis” dari progam akan menghasilkan keputusan terbaik untuk masyarakat. Tetapi, fasilitasi yang bertujuan mem-berdayakan bukanlah sesuatu yang instan atau yang dapat dicapai dengan proses mekanis yang berulang bertahun–tahun. Usaha pemberdayaan memerlukan waktu untuk, secara bertahap, dapat diserap dan meng-hasilkan kemajuan. Sebagian besar fasilitator tidak punya keterampilan untuk melakukan hal ini.

Laporan studi menyatakan bahwa hambatan–hambatan yang ada bisa diatasi dan tingkat partisipasi kelompok marginal bisa ditingkatkan, apabila elemen–elemen beri-kut tersedia:

Dukungan fasilitasi khusus untuk kelompok mar-ginal khusus: Laporan studi menyebutkan contoh

PEKKA, Program Perempuan Kepala Keluarga, sebagai cara yang efektif membatasi kekuasan pamong desa dan aktivis, serta efektif memperluas partisipasi. PEKKA men-capai hal–hal ini dengan 1) membangun kesadaran kritis hak–hak perempuan sebagai warga negara, perempuan, dan manusia; 2) membangun kapasitas dan institusi; 3) pengembangan organisasi dan jaringan; dan 4) advokasi.

Institusi pro–miskin desa yang kuat: Laporan studi

menyebutkan bahwa dengan kehadiran institusi sema-cam ini di tengah masyarakat desa, partisipasi kelom-pok marginal umumnya lebih tinggi. Laporan studi menyatakan bahwa institusi tersebut dapat beragam

bentuknya – contoh yang dinyatakan adalah pesantren progresif di Jawa Barat yang berpihak pada kelompok miskin, kelompok simpan–pinjam di provinsi yang sama, dan banjar, atau kelompok agama Hindu di Bali.

Fasilitasi yang baik: Laporan studi menyebutkan

con-toh fasilitator PNPM tingkat desa dengan kinerja luar biasa. Fasilitator memiliki kemampuan interpersonal dan komunikasi yang tinggi, dan mampu meyakinkan pamong desa mengenai manfaat partisipasi yang luas. Fasilitator juga mampu memobilisasi anggota kelompok marginal agar berpartisipasi lebih aktif.

Untuk mengembangkan elemen–elemen ini dan untuk mengatasi hambatan partisipasi, laporan studi menyu-sun rekomendasi berikut:

MEMILIH FOKUS TUNGGAL:

Memaksimalkan kekuatan PNPM Perdesaan dengan berfokus pada infrastruktur – bidang yang selama ini menjadi keunggulan PNPM Perdesaan.

Studi menemukan bahwa PNPM Perdesaan telah mampu menyediakan kebutuhan penting masyarakat, yang juga bermanfaat untuk kelompok marginal. Di beberapa desa, terutama yang letaknya terpencil, PNPM Perdesaan adalah satu–satunya program yang merespon permintaan masyarakat desa. Mutu infrastruktur yang dibangun melalui PNPM Perdesaan secara umum baik dan berbiaya lebih rendah dibandingkan infrastruktur yang dibangun oleh kontraktor biasa. Jadi, studi ini merekomendasikan bahwa PNPM Perdesaan Inti hanya berfokus pada penyediaan infrastruktur. Fokus tung-gal ini akan membantu meringankan beban fasilitasi, namun tetap membawa manfaat signifikan. Kegiatan lain yang secara khusus menyasar kelompok marginal sebai-knya dikembangkan melalui program PNPM lain, di luar PNPM Perdesaan.

Menyederhanakan mekanisme pengambilan kepu-tusan PNPM Perdesaan menjadi pengambilan suara, dan bukan proses musyawarah:

Studi ini menyimpulkan bahwa fasilitator kecamatan

maupun desa belum siap untuk memberikan fasilitasi yang intensif ataupun terampil, yang akan memberikan kesempatan kelompok marginal untuk berpartisipasi. Selain itu, penduduk desa seringkali lelah menghadiri banyaknya pertemuan di dalam proses pengambilan keputusan ini. Studi menyimpulkan bahwa program membutuhkan mekanisme yang jauh lebih sederhana. Studi menyarankan pemilihan proposal desa dilakukan melalui pengambilan suara, bukan musyawarah.

MEMBERDAYAKAN KELOMPOK MARGINAL

Memfasilitasi kelompok marginal agar dapat menyuarakan kebutuhan mereka:

Kelompok marginal tidak memiliki sumber daya, akses informasi, dan kepercayaan diri yang cukup. Tujuan uta-ma fasilitas khusus untuk kelompok uta-marginal adalah agar mereka dapat berpartisipasi lebih aktif dalam pengam-bilan keputusan di kegiatan–kegiatan desa, termasuk PNPM Perdesaan. Agar setara, fasilitasi idealnya bertu-juan mengembangkan kemampuan kelompok marginal berorganisasi, membangun kemampuan bernegosiasi dan berjejaring, serta memberikan akses informasi agar mereka dapat menyuarakan kebutuhan serta menun-tut respon. Fasilitasi ini, dan kelompok pemberdayaan masyarakat terkait akan membutuhkan setidaknya dua sampai tiga tahun untuk berkembang. Pada tahap awal, kegiatan percobaan bisa dilakukan di beberapa keca-matan yang sudah memiliki kemampuan berorganisasi pada tingkat tertentu.

MEMFASILITASI KEGIATAN SIMPAN DAN

PINJAMAN YANG LEBIH BERKELANJUTAN

Fokus di daerah dengan SPP yang berhasil dengan fasilitasi khusus:

Studi ini menemukan bahwa, di banyak tempat, kelompok SPP tidak berhasil memberi manfaat kepada kelompok marginal untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Banyak kelompok SPP yang relatif baru dan dibentuk khusus untuk mendapatkan pinjaman PNPM Perdesaan – kelompok miskin dan marginal dilibatkan hanya untuk memenuhi kriteria program PNPM Perde-saan. Studi ini hanya menemukan beberapa kasus

Rekomendasi Rekomendasi

(5)

8 PNPM PERDESAAN: STUDI KELOMPOK MARJINAL

keberhasilan kelompok SPP, yang secara signifikan mem-berikan manfaat kepada kelompok miskin dan marginal. Keberhaslan ini, biasanya, adalah hasil fasilitasi yang san-gat baik. Sulit, atau mustahil, untuk memastikan terse-dianya fasilitasi yang bermutu untuk skala yang luas. Penelitian menyatakan bahwa SPP seharusnya tidak dike-lola oleh program PNPM Perdesaan Inti, melainkan oleh program lain di bawah payung PNPM, karena fasilitasi yang diperlukan oleh kegiatan bisnis kecil sangat ber-beda dengan fasilitasi yang diperlukan untuk kegiatan perencanaan partisipatoris dan dan proses pembangu-nan. Tingkat bunga pengembalian adalah hambatan lain terhadap keberlangsungan program, karena itu studi ini menyarankan agar program SPP hanya dilaksanakan di beberapa area dengan riwayat pengembalian yang baik.

PERBAIKAN INSTITUSI DAN TEKNIS

Pendidikan fasilitasi untuk fasilitator:

Penelitian ini mengidentifikasi rendahnya kemampuan fasilitasi sebagai hambatan utama keterlibatan kelompok marginal. Sekolah pelatihan baru yang saat ini sedang dikembangkan PNPM Perdesaan adalah langkah yang tepat untuk meningkatkan serta mengembangkan ket-ersediaan fasilitator yang berkualitas. Ke depan, perlu dievaluasi apakah sekolah ini benar–benar meningkat-kan kompetensi fasilitator.

Pelatihan dan biaya operasional untuk KPMD:

Kemampuan terbatas untuk menutup biaya operasional menghambat KPMD dari mengunjungi dusun–dusun, terutama yang terletak di wilayah terpencil. Kader–kader ini hanya menerima sejumlah kecil upah, karena peker-jaan mereka adalah pekerpeker-jaan sukarela. Namun, upah ini pun tidak cukup untuk menutup biaya operasional,

termasuk biaya transportasi. Biaya operasional ini dapat dibayar dari UPK.

Memantau dan memberikan umpan balik untuk masalah kunci partisipasi:

PNPM perlu memastikan hal–hal terkait partisipasi dan pelibatan dilaporkan secara cukup terperinci sebagai informasi evaluasi desain program dan implemen-tasi, dan sebagai masukan untuk sistem yang dapat memastikan bahwa umpan balik diberikan kepada laporan–laporan ini. Misalnya, laporan jumlah peserta pertemuan — lelaki dan perempuan, miskin dan tidak miskin — saja tidak cukup; perlu juga gambaran siapa yang berpendapat dan mempengaruhi keputusan yang diambil. Sistem pelaporan dan umpan balik akan menunjukkan bahwa hal–hal ini penting.

Menggunakan kelompok monitoring independen:

Monitoring teratur oleh Pemerintah dan badan donor sebaiknya dilengkapi dengan monitoring independen, khususnya untuk memberikan evaluasi kualitatif dan berkelanjutan dari proses PNPM Perdesaan. Selama beberapa tahun, PNPM Perdesaan menggunakan Ornop tingkat provinsi untuk melakukan kegiatan ini, namun mutu evaluasi bervariasi. PNPM Perdesaan sebaiknya mengevaluasi hasil monitoring dan memilih satu atau dua kelompok terbaik. Kelompok terbaik diminta bekerja sama dengan kelompok lain untuk memperkuat dan meningkatkan kualitas monitoring.

Kurangi keterlambatan penyaluran dana:

Keterlambatan penyaluran dana mempengaruhi mutu implementasi PNPM Perdesaan secara signifikan. Usaha serius harus dijalankan untuk meminimalkan masalah ini.

Referensi: Akatiga (2010). “Marginalized Groups on PNPM–Rural”, PNPM Support Facility, Jakarta.

SERI RINGKASAN STUDI

Tujuan utama PNPM Support Facility (PSF) adalah men-jadi sarana obyektif untuk mengulas, berbagi pengala-man, dan menerapkan pelajaran dari berbagai program kemiskinan dan untuk menumbuhkan diskusi mengenai solusi untuk program kemiskinan. PSF memfasilitasi pelaksanaan analisis dan penelitian terapan untuk men-goptimalkan desain program berbasis komunitas yang merespon terhadap dampak kemiskinan yang semakin tinggi dan untuk lebih memahami dinamika sosial di Indonesia dan pengaruhnya terhadap pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Penelitian dan analisis ini bertujuan memberikan basis yang kuat untuk peren-canaan, pengelolaan, dan perbaikan program pember-antasan kemiskinan pemerintah Indonesia. Penelitian

ini juga dapat mendorong pembelajaran antar negara berkembang, dan menjadi masukan berharga bagi aka-demisi, instansi pemerintah, dan pelaku pembangunan lain yang menerapkan program berbasis komunitas di mana pun di dunia.

Penelitian dan kerja analisis ini diterbitkan oleh PSF dalam rangka mempublikasi dan mempromosikan temuan, kesimpulan, dan rekomendasi dari penelitian dan analisis kepada khalayak yang lebih luas, termasuk akademisi, jurnalis, anggota parlemen, dan pihak–pihak lain yang memiliki ketertarikan terhadap pengemban-gan masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Prosedur penelitian pelaksanaan pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan media Audio melalui empat (4) tahapan, yaitu: a) perencanaan, Menyusun rencana pelaksanaan

Terdapat hubungan yang positif antara tingkat kepercayaan diri dengan prestasi belajar pendidikan jasmani siswa kelas VI Sekolah Dasar di Kecamatan Tawang, Kota

Berdasarkan dari hasil komputasi, molekul asam sinamat dinilai lebih berpotensi sebagai senyawa kadidat obat antikanker serviks karena memiliki interaksi berupa ikatan hidrogen

Pendekatan maqasid syariah dilihat relevan kerana memfokuskan tindakan yang perlu dipraktikkan dalam penjagaan akal dalam pelbagai situasi dan keadaan (Azman Ab

“Aku harus merawat kerbau ini dengan baik apabila Si Boke datang suatu kali kepadaku dia tidak akan kecewa karena aku merawat kerbau ini dengan baik,” pikir sang guru.. Kerbau itu

ProperPostfix (atau PoperSufix) string w adalah string yang dihasilkan dari string w dengan menghilangkan satu atau lebih simbol-simbol paling depan dari string w tersebut..

On the basis of prior research on marketing relationships, clusters, and social networks, they propose that the overall configuration of a cluster helps promote particular governance

Komposisi hasil tangkapan (kg) pada bagan tancap setiap perlakuan lampu selama penelitian menunjukkan berturut-turut adalah lampu neon dengan jumlah hasil tangkapan total 761,4 kg