• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH BAHAN DAN WAKTU PERENDAMAN TERHADAP TINGKAT KEPEDASAN BUBUK CABAI MERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH BAHAN DAN WAKTU PERENDAMAN TERHADAP TINGKAT KEPEDASAN BUBUK CABAI MERAH"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

ISBN : 978–602–60606–3–1

PENGARUH BAHAN DAN WAKTU PERENDAMAN TERHADAP TINGKAT

KEPEDASAN BUBUK CABAI MERAH

Dwi Ari Cahyani1*, Arum Asriyanti Suhastyo2 1

Politeknik Banjarnegara, cahyanidwiari@gmail.com 2

Politeknik Banjarnegara, arumasriyanti11@gmail.com

ABSTRAK

Banjarnegara merupakan Kabupaten yang mayoritas daerahnya merupakan menghasil hortikultura. Karakteristik cabai yang tidak dapat bertahan lama karena kadar memiliki air yang tinggi sekitar 90% mengakibatkan perlu penanganan khusus agar nilai jual cabai tetap tinggi dan dapat memberikan keuntungan pada saat pasokan cabai melimpah. Salah satu cara mengatasi pasokan cabai yang melimpah yang itu mengolah cabai menjadi bubuk cabai kering yang mempunyai daya simpan yang jauh lebih lama dibandingkan dengan cabai segar dan juga dapat mempertahankan kandungan gizi cabai tersebut. Penelitian ini salah satunya bertujuan untuk mengetahui pengaruh bahan perendam dan lama perendaman terhadap tingkat kepedasan bubuk dan warna cabai yang dihasilkan. Penelitian ini menggunakan cabai merah segar yang diperoleh dari petani cabai di Kabupaten Banjarnegara. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Agroindustri Politeknik Banjarnegara. Metode penelitian menggunakan RAK 2 faktorial dengan 3 ulangan. Pengujian menggunakan uji hedonic dengan 25 panelis semi terlatih. Tingkat kepedasan yang disukai oleh panelis dari hasil penelitian ini tidak berbeda secara nyata. Dari hasil penelitian panelis lebih menyukai rasa pedas pada serbuk cabai yang dihasilkan pada perlakuan tanpa perendaman sebesar 2,84 dan tingkat kepedasan terendah yang disukai oleh panelis pada perendaman menggunakan CMC sebesar 2,292 dengan lama perendaman selama 20 menit.

Kata Kunci: bubuk cabai merah, bahan perendaman, lama perendaman, tingkat kepedasan

ABSTRACT

Banjarnegara is a regency where the majority of its areas are horticultural producers. The characteristic of chilies that do not last long because they have a high water content of around 90% requires special handling so that the selling value of chilies remains high and can provide benefits when the supply of chilies is abundant. One way to overcome the abundant supply of chilies is to process chilies into dried chili powder which has a much longer shelf life than fresh chilies and can also maintain the nutritional content of these chilies. One of the aims of this study was to determine the effect of the soaking material and the length of soaking on the spiciness and colour of the chili powder produced. This study uses fresh red chilies obtained from chili farmers in Banjarnegara Regency. The research was conducted in the Agroindustrial Laboratory, Banjarnegara Polytechnic. The research method used RAK 2 factorial with 3 replications. Testing using the hedonic test with 25 semi-trained panelists. The level of spiciness preferred by the panelists from the results of this study was not significantly different. From the results of the research panelists preferred the spicy taste of the chili powder produced in the non-soaking treatment of 2.836 and the lowest level of spiciness preferred by the panelists in immersion using CMC was 2.292 with a long soaking time for 20 minutes.

Keywords: red chili powder, soaking material, soaking time, level of spiciness

PENDAHULUAN

Cabai merupakan salah satu produk hortikultura unggulan di Kabupaten Banjarnegara. Pengembangan pertanian cabai di kabupaten Banjarnegara tersebar dibeberapa kecamatan antara lain berada di Kecamatan Wanayasa dengan luas tanaman cabai sebesar 20 ha, di Kecamatan Karangkobar luas tanaman cabai sebesar 15 ha, Kecamatan Pejawaran dengan luas tanaman 10 ha, dan Kecamatan

Pagentan memliki luas tanaman cabai 15 ha. Sementara pengembangan cabai merah dilakukan di Kecamatan Bawang, Rakit, Susukan dan Purwanegara (Puspitasari, W, 2017).

Produktifitas cabai yang semakin meningkat mengakibatkan pasokan cabai melimpah dan harga cabai rendah. Karakteristik cabai yang tidak dapat bertahan lama karena kadar memiliki air yang tinggi

(2)

sekitar 90% mengakibatkan perlu penanganan khusus agar nilai jual cabai tetap tinggi dan dapat memberikan keuntungan pada saat pasokan cabai melimpah. Salah satu cara mengatasi pasokan cabai yang melimpah yang itu mengolah cabai menjadi bubuk cabai kering yang mempunyai daya simpan yang jauh lebih lama dibandingkan dengan cabai segar serta dapat mempertahankan kualitas dan kandungan pada cabai tersebut. Menurut Pantan (2020), cabai dapat dikeringkan menjadi cabai kering dalam bentuk bubuk cabai sebelum dijadikan bumbu pada bahan pangan. Gaya hidup saat ini menyebabkan selera masyarakat lebih menyukai makanan serba instant dengan menggunakan bubuk cabai instan. Cabai kering diolah menjadi bubuk cabai bertujuan untuk memperpanjang daya simpan cabai dan membuat penyimpanan cabai mejadi lebih praktis (Maflah, 2010).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahan perendam dan berapa lama waktu perendaman yang tepat terhadap tingkat kepedasan dan warna bubuk cabai merah yang dihasilkan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan cabai merah segar yang diperoleh dari petani cabai di Kabupaten Banjarnegara. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Agroindustri Politeknik Banjarnegara. Penelitian ini menerapkan metode penelitian eksperimen. Penelitian ini menggunakan metode RAK 2 faktorial dengan 3 ulangan. Selanjutnya dilakukan uji hedonic dengan 25 panelis semi terlatih. Data hasil uji hedonic kemudian dianalisis menggunakan ANNOVA untuk mengetahuai ada tidaknya beda nyata antar perlakuan dan apabila menghasilkan beda nyata maka dilakukan uji DMRT

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian menggunakan cabai merah dengan perlakuan bahan perendam yang digunakan yaitu NaCl, Na Bensoat, CMC dan air serta sebagai kontrol tanpa perendaman dengan lama waktu perendaman masing – masing 10, 20 dan 30 menit. Langkah selanjutnya yaitu mengeringkn cabai menggunakan alat pengering cabinet dryer dengan suhu 60⁰C dengan lama waktu 32 jam. Cabai kering selanjutnya dihaluskan untuk menjadi bubuk cabai. Bubuk cabai merupakan bubuk atau serbuk yang berasal dari cabai

kering yang dihaluskan atau dikeringkan yang kemudian dimanfaatkan sebagai bubuk tabor dalam masakan.

Tingkat Kepedasan

Bubuk cabai merupakan salah satu pengolahan dari cabe merah kering. Pengolahan cabai kering melalui beberapa tahap dan tahapan intinya yaitu, cabai kering akan mengalami proses pengilingan hingga menjadi bubuk. Bubuk cabai hasil penggilingan mempunyai sifat ukuran partikel yang sangat kecil dan memiliki kadar air yang rendah (Sudaryati, 2011). Rasa pedas yang dimiliki oleh cabai karena adanya zat yang ditimbulkan oleh zat kapsaisin. Kandungan capsaisin pada cabai bersifat sebagai pembangkit selera makan. Capsaisin menstimulus hormon endophrin yang memberi efek nikmat, sehingga ketika seseorang menyantap makanan berbumbu cabai cenderung menambah porsi makannya (Saputro, 2016)

Uji hedonic terhadap tingkat kepedasan bubuk cabai yang dihasilkan dengan cara menggunakan kentang goreng dan yang dicelupkan bubuk cabai pada ujung kentang goreng. Panelis mencicipi sampel bubuk cabai satu persatu sampai selesai. Nilai tingkat kepedasan menggunakan skala 1 – 5 dengan kriteria tidak pedas – amat sangat pedas.

Berdasarkan uji yang telah dilakukan terhadap pengaruh berbagai bahan perendam dan perlakuan waktu perendaman terhadap tingkat kepedasan bubuk cabai merah dapat diperoleh hasil bahwa bahan perendam yang digunakan dan lamanya waktu perendaman terhadap tingkat kepedasan yang disukai oleh panelis tidak berpengaruh secara nyata. Dalam hal ini bahan perendam dan perbedaan berapa lama waktu perendaman tidak berkorelasi terhadap tingkat kepedasan bubuk cabai yang disukai konsumen. Grafik pengaruh bahan perendam dan lama waktu perendaman terhadap tingkat kepedasan dan warna bubuk cabai dapat dilihat pada Gambar 1.

(3)

Gambar 1. Tingkat Kepedasan Bubuk Cabai Grafik tingkat kepedasan bubuk diatas menunjukan bahwa tingkat kepedasan cabai dengan nilai tertinggi yang disukai oleh panelis yaitu perlakuan kontrol. Tingak kepedasan bernilai 2.836 yang berarti agak pedas. Tingkat kepedasan yang terendah didapatkan pada perlakuan perendaman menggunakan CMC selama 20 menit dengan nilai 2.292.

Tingkat kepedasan pada cabai dipengaruhi oleh adanya kandungan senyawa capsaicin. Tingkat kepedasan pada cabai merupakan salah satu indikator mutu cabai. Kandungan capsaicin dalam cabai merupakan senyawa utama capsaicinoid yang terdapat pada cabai dari genus Capsicum.

Capsaicin tidak larut dalam air dikarenakan capsaicin merupakan alkoloid yang terdapat pada biji dan plasenta cabai dan merupakan salah satu senyawa nonpolar yang memiliki beberapa gugus polar terhadap hidrogen yang berikatan dengan air (Donald. 2014: 47). Sedangkan menurut penelitian kamal (2010), kandungan air yang ada dalam udara dapat terserap oleh CMC.

Tidak adanya korelasi antara bahan perendaman dan berapa lama waktu perendaman dimungkinkan karena terlalu sedikitnya bahan perendam yang digunakan dalam penelitan. Penelitian Saputro (2016), menyatakan bahwa tingkat kepedasan bubuk cabai rawit yang dihasilkan dengan menambahkan kalsium propianat 0,2 % dengan

bahan cabai rawit sebesar 500 gr dalam perebusan selama 10 menit menghasilkan tingkat kepedasan tertinggi dengan rerata berkisar antara 2.15 – 3.10 (netral). Selain itu lamanya waktu pengeringan dimungkinkan mempengaruhi tingkat kepedasan yang didapatkan pada bubuk cabai. Menurut Hasrayanti (2013), bahwa kandungan capsaicin pada cabai hilang dipengaruhi oleh kondisi panas, suhu pengeringan dan lama waktu proses pengeringan yang digunakan untuk mengurangi kadar air. Menurut parfiyanti (2016), menyatakan bahwa cabai yang dikeringan dengan waktu yang terlalu lama dapat menyebabkan susut kandungan minyak atsiri dalam cabai dan juga akan berpengaruh terhadap tingkat kepedasan dan warna cabai kering yang dihasilkan.

Kadar air dalam cabai berperan dalam penentuan capsaicin cabai. Dari penelitian Jamilah (2016), kadar air tertinggi 16,55% diperoleh dengan menggunakan perlakuan berat tumpukan 3 kg bahan dengan lama pengeringan 14 jam dan kadar air terendah 0,81% diperoleh pada perlakuan dengan menggunakan berat tumpukan 1 kg dengan lama pengeringan 22 jam. Tingginya kepedasan cabai tidak segar disebabkan oleh kandungan air dari sampel yang telah berkurang, sehingga persen zat pedas dalam sampel cabai mengalami kenaikan (Hongi, 2015).

Tinggi rendahnya tingkat kepedasan cabai juga dipengaruhi oleh varietas dari tanaman cabai itu sendiri Penelitian Sumpena (2013), kadar capsaicin tertinggi, yaitu 1,60% dari berat keringnya diperoleh dari cabai Rawit Kalimantan. Sedangkan kadar capsaicin terendah sebesar 0,075% dari berat keringnya diperoleh dari cabai paris

Warna

Warna merupakan parameter dari uji hedonic yang sanagat penting yang dapat diamati langsung dengan jelas oleh panelis. Warna bubuk cabai yang dihasilkan diuji menggunakan uji hedonic dengan 25 panelis semi terlatif dan hasilnya dianalisis menggunakan Anova. Tingkat warna bubuk cabai hasil uji hedonic dapat dilihat pada Gambar 2.

(4)

Gambar 2. Tingkat Warna Bubuk Cabai Hasil uji menyatakan bahwa bahan perendam dan berapa lama waktu perendaman tidak mengakibatkan adanya beda nyata antar perlakuan. Hal ini menunjukan bahwa warna bubuk cabai memliliki tingkat kesamaan. Perlakuan perendaman dengan berbagai macam bahan perendam dan lama waktu perendaman tidak menunjukan interaksi. Masing – masing bahan perendam tidak mengakibatkan perubahan satu sama lain. Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa panelis paling suka dengan warna bubuk cabai yang dihasilkan pada perlakuan dengan perendaman CMC selama 30 menit dengan nilai 2.952 dan nilai warna terendah yang disukai panelis yaitu 2.505 dengan kategori agak suka pada perendaman Natrium bensoat selama 10 menit. Warna bubuk cabai yang dihasilkan berwarna merah kekuningan.

Kandungan pigmen karotenoid menyebabkan warna merah pada cabai. Karotenoid merupakan suatu pigmen berwarna oranye, merah, atau kuning bergantung pada jenis dan konsentrasinya. Senyawa ini sangat rentan terhadap kandungan alkali dan juga udara atau temperatur terutama pada suhu tinggi. Hal ini disebabkan karena terjadi perpindahan air yang cepat pada bahan baku saat pengeringan pada suhu tinggi (60%), maka terjadi reaksi pencoklatan non-enzimatis akibat proses oksidasi asam askorbat, sehingga mengalami perubahan warna. Warna yang masih merah pada bubuk cabai kemungkinan disebabkan belum terjadinya oksidasi karotenoid (β-karoten dan kapsantin) serta reaksi Maillard selama proses pengeringan

Dendang (2016). Warna dari bubuk cabai dipengaruhi oleh tingkat ketuaan cabai tersebut dan juga pengaruh pemberian panas pada saat proses pengeringan. Untuk menghindari proses browning dan perubahan warna akibat pengeringan maka digunakan bahan sulfit, fosfat atau karbonat pada medium blanching (Tifani, 2013)

Warna pada bubuk cabai merah tidak dipengaruhi oleh lama perendaman dan konsentrasi dengan penambahan bahan perendam. Dutta (2005), menjelaskan bahwa senyawa karotenoid yang terdapat dalam buah-buahan berwarna merah merupakan zat yang tidak larut dalam air, gliserol, dan propilen glikol. Menurut Ramdani (2018), dalam penelitiannya menjelaskan bahwa untuk mempertahankan warna cabai merah agar tetap baik adalah dengan melakukan perendaman larutan bisulfit 0,2% selama 5-10 menit. Tidak adanya beda nyata antar perlakuan baik tingkat kepedasan maupun warna dengan menggunakan uji hedonic juga dipengaruhi oleh masing – masing panelis dalam memberikan penilaian.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa bahan perendam dan waktu perendaman tidak memberikan interaksi antar perlakuan. Tingkat kepedasan yang disukai panelis antara 2,292 – 2,836 dengan katagori agak pedas. Tingkat kesukaan terhadap warna bubuk cabai yang disukai panelis antara 2,504 – 2,952 dengan kategori agak suka.

DAFTAR PUSTAKA

Dendang Nataniel, Lahming dan Muh. Rais. (2016). Pengaruh Lama Dan Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Bubuk Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Dengan Menggunakan Cabinet Driyer. Jurnal

Pendidikan Teknologi Pertanian, Vol. 2

(2016) : S30-S39

Donald, Cairns. (2014). Intisari Kimia Farmasi. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Jakarta. 615 Hal

Dutta D, Chaudhuri UR, Chakraborty R. (2005). Structure, health benefits, antioxidant property and processing and storage of carotenoids. African J Biotech 4 (13): 1,510-1,520.

(5)

Hasrayanti. (2013). Studi Pembuatan Bumbu

Inti Cabai (Campsicum sp.) dalam Bentuk Bubuk. Skripsi. Program Studi Ilmu dan

Teknologi Pangan. Unuversitas Hasanuddin Makassar

Hongi Hasna Nurul Ain, Frans G. Ijong dan Christine F. Mamuaja. (2015). Komposisi Mikroba berasosisi Dengan Tingkat Kepedasan Dan Kesegaran Cabe Rawit (Capsicum frutescens) Selama penyimpanan Pada Suhu ruang. Jurnal

Ilmu dan Teknologi Pangan, Vol. 3 No. 1

Jamilah Maryam, Kadirman, Ratnawaty Fadilah. (2019). Uji Kualitas Bubuk Cabai Rawit (Capsicum frutescens) Berdasarkan berat Tumpukan Dan Lama Pengeringan Menggunakan Cabinet Dryer. Jurnal

Pendidikan Teknologi Pertanian Volume

5 Nomor 1: 98 - 107

Kamal, N. (2010). Pengaruh Bahan Aditif CMC (Carboxyl Methil Cellulose) Terhadap Beberapa Parameter Pada Larutan Sukrosa. Jurnal Teknologi Vol 1 Edisi 17.

Ramdania, Reki Wicaksonob dan M. Agus Fachruddin. (2018). Penambahan Natrium Metabisulfit (Na2S2O5) terhadap Vitamin C dan Warna pada Proses Pengeringan Cabai Merah (Capsicum annuum L.) dengan Tunnel Dehydrator Hisworo.

Jurnal Agronida Volume 4 Nomor 2

Saputro Moch Agung Puji, Wahono Hadi Susanto. Pembuatan Bubuk Cabai Rawit (Kajian Konsentrasi Kalsium Propionat Dan Lama Waktu Perebusan Terhadap Kualitas Produk). Jurnal Pangan dan

Agroindustri Vol. 4 No 1 p. 62-71

Sudaryati, Latifah, dan Donny E.H. (2011). Pembuatan Bubuk Cabe Merah Menggunakan Variasi Jenis Cabe dan Metode Pengeringan Jurnal. Prodi Tek.Pangan, FTI UPN “Veteran” Jawa

Timur

Sumpena, U. (2013). Penetapan kadar Capsaicin Beberapa Jenis Cabe (Capsicum sp) Di Indonesia Jurnal Ilmu Pertanian

Mediagro. Vol. 9. No 2. Hal 9 – 16

Parfiyanti Evi Ari, Rini Budihastuti , Endah Dwi Hastuti. (2016). Pengeringan Yang Berbeda Terhadap Kualitas Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) Jurnal Biologi, Volume 5 No 1, Januari 2016 Hal. 82-92 Tifani, K. (2013). Karakteristik Pengeringan

Cabai Merah (Capsicum annum L.) Sebagai Pewarna Alami Kosmetik.

Gambar

Grafik  tingkat  kepedasan  bubuk  diatas  menunjukan  bahwa  tingkat  kepedasan  cabai  dengan nilai tertinggi yang disukai oleh panelis  yaitu  perlakuan  kontrol
Gambar 2. Tingkat Warna Bubuk Cabai

Referensi

Dokumen terkait

Semakin tinggi proporsi tepung bekatul dan semakin rendah tepung kedelai yang ditambahkan maka skor nilai warna cookies yang dihasilkan akan semakin tinggi, yaitu dari 2,0 dg

Untuk klasifikasi usaha yang ada pada BRI Syariah Kantor Cabang (KC) Madiun yakni pada PSKRD itu merupakan salah satu bagian dari kegiatan usaha yang

Menurut ketua Pemuda Sandakan Ustaz Sufan Bahri meskipun hanya menerima 5000 ringgit per tahun dari USIA Pusat, ini tidak membatasi program- program dakwah yang dilakukan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) manakah yang memberikan prestasi belajar matematika lebih baik, siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan

Hal ini dikarenakan viabilitas probiotik pada minuman menjadi komponen penting dan memiliki nilai fungsional yang tinggi bagi kesehatan yaitu minimal 1x10 8 dengan

Instrumen KIDSCREEN-27 versi Bahasa Indonesia sudah melalui prosedur yang sesuai dalam proses adaptasi dan validasi lintas budaya dengan hasil validitas dan reliabilitas yang

Menurut al-H}a>kim, hadis ma‘lu>l dalam matan banyak ditemukan pada gabungan dua hadis yang sebenarnya memiliki status yang berbeda. Hal ini adalah hasil

Unsur-unsur tersebut adalah adanya perbuatan, perbuatan itu melawan hukum, adanya kerugian, adanya kesalahan, dan adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan