5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Desain 2.1.
Menurut Wong (1993), desain adalah proses perancangan visual yang tidak hanya memiliki nilai estetika, tetapi juga memiliki sebuah fungsi (hlm. 41).
2.1.1. Prinsip Desain
Menurut Lauer dan Pentak (2008), prinsip desain terbagi menjadi 5 prinsip, yaitu
unity, penekanan dan titik fokus, scale and proportions, keseimbangan, dan ritme.
2.1.1.1. Unity
Unity merupakan keharmonisan antar elemen pada sebuah desain. Ketika
beberapa elemen desain yang berbeda digabungkan dan terlihat menyatu, maka tercipta sebuah harmoni di dalam suatu desain (hlm. 28-29). Ada 4 cara untuk mencapai unity dalam suatu desain, yaitu :
1. Proximity
Cara ini digunakan dengan meletakkan beberapa elemen desain secara berdekatan sehingga terlihat seperti membentuk sebuah kelompok (hlm. 34-35).
6 Gambar 2.1. Proximity
(Lauer & Pentak, 2008)
2. Repetisi
Cara ini digunakan dengan melakukan pengulangan pada bagian dari elemen-elemen pada sebuah desain. Bagian elemen desain yang diulang dapat berupa warna, bentuk, tekstur, arah, atau angle. Seperti halnya yang ditunjukkan pada lukisan karya Sophie Taeuber-Arp yang dibuat pada tahun 1935 dengan judul “Composition with Circles
Shaped by Curves”. Pada lukisan tersebut, terdapat repetisi bentuk di
mana ia menggunakan beberapa objek dengan bentuk lingkaran yang sama dan menyusunnya dengan ukuran dan angle yang berbeda (hlm. 36-37).
7 Gambar 2.2. “Composition with Circles Shaped by Curves” karya Sophie
Taeuber-Arp (1935)
(Lauer & Pentak, 2008)
3. Continuation
Cara ini digunakan dengan menyusun elemen-elemen pada sebuah desain dengan arah tertentu sehingga seolah terdapat garis yang menghubungkan mereka. Hal tersebut membuat mata audiens dengan mudah mengalir dari elemen satu ke elemen lainnya (hlm. 38-39).
Gambar 2.3. Continuation
8
4. Continuity and The Grid
Continuity merujuk pada hubungan antar desain satu dengan desain
lain dan biasanya diwujudkan dengan menggunakan grid. Dalam mewujudkan continuity, grid yang digunakan pada sebuah desain tidak harus memiliki ukuran dan jarak yang sama agar terlihat lebih bervariasi (hlm. 40-41).
Gambar 2.4. Grid yang Bervariasi
(Lauer & Pentak, 2008)
2.1.1.2. Penekanan dan Titik Fokus
Dalam sebuah desain, tentunya perlu sebuah elemen yang menjadi pusat perhatian sehingga audiens tertarik untuk melihat desain tersebut. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan adanya penekanan atau titik fokus pada sebuah desain (hlm. 56-57). Titik fokus pada sebuah desain dapat dibuat dengan 3 cara, yaitu :
9 1. Kontras
Cara ini dilakukan dengan membuat satu elemen desain yang berbeda dengan elemen desain lainnya. Karena satu elemen tersebut berbeda dari yang lain, maka secara otomatis mata audiens akan mengarah ke elemen tersebut. Kontras bisa diciptakan dengan adanya perbedaan warna atau bentuk. Seperti halnya dengan lukisan karya James Ensor pada tahun 1899 yang berjudul “Self-Portrait Surrounded by Masks”. Pada lukisan tersebut, ia membuat portrait dirinya berada di tengah kerumunan topeng. Hal ini ia lakukan agar portrait dirinya menjadi fokus utama dalam lukisan tersebut karena portrait dirinya yang berbentuk manusia berbeda dari objek lainnya yang berbentuk topeng (hlm. 58-59).
Gambar 2.5. “Self-Portrait Surrounded by Masks” karya James Ensor (1899)
10
2. Isolation
Cara ini digunakan dengan meletakkan satu elemen jauh dari elemen lainnya. Elemen yang terletak jauh tersebut menjadi titik fokus pada desain tersebut karena ia sendiri dan berbeda dari yang lain. Salah satu contohnya adalah lukisan karya Thomas Eakins pada tahun 1889 yang berjudul “The Agnew Clinic”. Pada lukisan ini, ia menciptakan kontras dengan memberi warna yang lebih cerah pada para dokter tersebut sehingga mereka berbeda dari orang-orang yang berada di latar belakang yang berwarna jauh lebih gelap. Selain itu, ia juga menambah penekanan lebih pada dokter yang berada di sisi kiri dengan memisahkannya dari dokter-dokter lain yang sedang beraksi. Dokter yang berada di sisi kiri tersebut menjadi titik fokus pada lukisan tersebut karena selain berbeda dari orang-orang di latar belakang, ia juga sendirian jauh dari para dokter yang sedang beraksi di sisi kanan (hlm. 60-61).
Gambar 2.6. “The Agnew Clinic” karya Thomas Eakins (1889)
11 3. Penempatan
Cara ini biasanya digunakan dengan menempatkan satu elemen di tengah dan elemen lainnya dibuat seakan-akan mengarah ke satu elemen tersebut. Elemen yang berada di tengah tersebut merupakan titik fokus pada desain tersebut karena garis semu yang terbentuk dari arah yang ditunjuk elemen lainnya membuat mata audiens secara otomatis mengikuti arahan tersebut (hlm. 62-63).
Gambar 2.7. Titik Fokus yang Tercipta dari Penempatan Objek Desain
(Lauer & Pentak, 2008)
2.1.1.3. Scale and Proportions
Scale dan proportions merujuk pada ukuran elemen pada sebuah desain. Scale merupakan kata lain dari ukuran, sedangkan proportions merupakan
ukuran relatif yang dilihat dari perbandingan antar elemen desain atau standar normal yang sudah tertanam dalam diri kita.
Scale dan proportions sangat berkaitan dalam menciptakan titik
12 desain tersebut berukuran paling besar dari elemen lainnya, maka elemen dengan ukuran paling besar tersebut merupakan titik fokusnya karena mata audiens secara otomatis fokus pada elemen yang berbeda dan elemen tersebut berbeda dalam segi ukuran (hlm. 72-73).
2.1.1.4. Keseimbangan
Keseimbangan dalam sebuah desain dilihat dari komposisi elemen-elemen desain, di mana komposisi tersebut tercipta sebuah berat visual. Kita selalu menggunakan garis tengah (horizontal atau vertikal) sebagai patokan untuk menentukan apakah desain tersebut seimbang atau tidak. Jika berat visual antar kedua sisi tidak seimbang, maka mata audiens akan terasa tidak nyaman ketika melihat desain tersebut. Namun, kadang ada seniman yang sengaja membuat desainnya tidak seimbang untuk tujuan tertentu (hlm. 90-93).
Gambar 2.8. Ketidakseimbangan pada Sebuah Desain
13 2.1.1.5. Ritme
Prinsip ritme pada sebuah desain biasanya tercipta dari adanya repetisi elemen desain. Sama seperti repetisi, ritma dapat tercipta dari warna, bentuk, tekstur, arah, atau angle yang disusun sehingga mereka terhubung satu sama lain dan terlihat seperti mengalir. Salah satu contohnya adalah lukisan Bridget Riley tahun 1979 yang berjudul “Series 35”. Pada lukisan tersebut, terdapat repetisi garis lengkung dari yang tebal hingga yang tipis. Repetisi tersebut membentuk gelombang yang menjadikannya sebagai ritme pada desain tersebut (hlm. 114-116).
Gambar 2.9. “Series 35” karya Bridget Riley (1979)
14 2.1.2. Elemen Desain
Menurut Landa (2014), elemen desain terbagi menjadi 4 macam, yaitu garis, bidang, warna, dan tekstur.
2.1.2.1. Garis
Titik merupakan unit terkecil dari sebuah garis. Jika sekumpulan titik disambungkan, maka akan membentuk sebuah garis. Garis berperan banyak dalam komposisi dan komunikasi pada suatu desain karena ia dapat memberi arah kepada mata audiens dan memiliki kualitas yang bervariasi (tebal-tipis, halus-kasar, dan lain-lainnya).
Gambar 2.10. Macam-Macam Kualitas Garis
(Landa, 2014)
Garis dapat dikategorikan menjadi 4 macam garis, yaitu :
1. Solid line : garis yang digambar sebagai tanda di atas permukaan
2. Implied line : garis yang digambar putus-putus, namun garis tersebut terlihat tersambung di mata audiens
15 3. Edges : titik temu antar garis yang membentuk sebuah bidang
4. Line of vision : garis semu yang mengarahkan mata audiens
Garis memiliki 4 fungsi, yaitu :
1. Membentuk sebuah bidang; menciptakan gambar, huruf, dan patterns
2. Membentuk batas dan mempertegas area pada sebuah komposisi desain
3. Berperan dalam mengatur komposisi secara visual
4. Berperan dalam membentuk line of vision
5. Dapat digunakan untuk menunjukkan ekspresi (hlm. 19-20)
2.1.2.2. Bidang
Bidang merupakan area dua dimensi yang dibentuk oleh garis, warna,
tone, atau tekstur. Bidang cenderung datar karena bersifat dua dimensi,
sehingga ia hanya dapat diukur dengan panjang dan lebar. Bidang pada umumnya terdiri dari 3 macam bentuk dasar, yaitu persegi, segitiga, dan lingkaran. Ketiga bidang tersebut memiliki bentuk tiga dimensinya, yaitu kubus, piramida, dan bola.
16 Gambar 2.11. Bidang Dasar Beserta Bentuk Tiga Dimensinya
(Landa, 2014)
Bidang memiliki 8 jenis, yaitu :
1. Geometric shape : bidang yang terbentuk dari garis, sudut, atau
lengkungan yang terukur (bersifat kaku)
2. Curvilinear shape : bidang yang terbentuk dari garis lengkung atau
gelombang yang lebih natural
3. Rectilinear shape : bidang yang terdiri dari garis lurus atau sudut
4. Irregular shape : bidang yang terdiri dari garis lurus dan garis
lengkung
5. Accidental shape : bidang yang terbentuk dari material, tahap proses
17
6. Nonobjective (nonrepresentational shape) : bidang yang tidak
membentuk objek pada umumnya, tidak mempresentasikan bentuk manusia, tempat, atau pun benda
7. Abstract shape : bidang yang terbentuk dari hasil penyusunan
sederhana atau kompleks, perubahan, atau distorsi dari suatu bentuk objek dengan tujuan tertentu
8. Representational shape : bidang yang mempresentasikan sebuah objek
yang ada di dunia nyata (hlm. 20-21)
Gambar 2.12. Jenis Bidang
(Landa, 2014)
2.1.2.3. Warna
Warna merupakan elemen desain yang terbentuk dari energi cahaya. Warna hanya bisa dilihat jika ada cahaya. Warna terbagi 2 macam, yaitu warna reflektif (warna substraktif) dan warna digital. Warna reflektif merupakan warna yang dihasilkan dari pantulan cahaya pada sebuah
18 permukaan objek karena objek tersebut menyerap sinar cahaya yang mengenainya. Sedangkan warna digital merupakan warna yang menggunakan energi cahaya itu sendiri, bukan dari pantulan cahaya pada sebuah objek. Warna dikategorikan menjadi 3, yaitu hue, value, dan
saturation (chroma) (hlm. 23).
Gambar 2.13. Hue, Value,& Saturation
(https://www.researchgate.net/figure/Hue-saturation-and-the-value-brightness-luminosity-represented-on-a-wheel-of-colors_fig3_221551590, n.d.)
1. Hue
Hue merupakan nama dari warna itu sendiri, seperti merah, kuning,
biru, hijau, dan lain-lain. Hue dapat dilihat dari temperaturnya, di mana temperatur yang dimaksud di sini bukan sesuatu yang dirasakan, melainkan dilihat warna mana yang terlihat hangat atau dingin. Warna hangat terdiri dari merah, kuning, dan orange, sedangkan warna dingin terdiri dari biru, hijau, dan violet (hlm. 23-26).
19 Gambar 2.14. Temperatur Warna
(Landa, 2014)
2. Value
Value merupakan tingkat terang-gelap suatu warna, seperti biru terang,
merah gelap, dan lain-lain. Warna hitam dan putih sangat berperan besar dalam menyesuaikan value warna. Hitam dan putih tidak termasuk hue karena tidak terlihat pada spektrum. Oleh karena itu, hitam dan putih disebut sebagai warna achromatic atau warna netral.
Value disesuaikan dengan mencampurkan warna hue dengan
hitam atau putih. Namun, ternyata warna hitam dan putih dapat dicampur menjadi warna netral lainnya, yaitu abu-abu. Warna abu-abu juga dapat digunakan untuk menyesuaikan value. Dari percampuran ketiga warna netral tersebut, value dibagi menjadi 3, yaitu tint, shade, dan tone. Tint merupakan percampuran antara warna hue dengan warna putih. Shade merupakan percampuran antara warna hue dengan
20 warna hitam. Sedangkan tone merupakan percampuran warna hue dengan warna abu-abu (hlm. 26-27).
Gambar 2.15. Value
(https://www.premiumbeat.com/blog/basic-properties-color/, 2016)
3. Saturation
Saturation adalah tingkat cerah-kusam suatu warna, seperti kuning
cerah, biru kusam, dan lain-lain. Warna abu-abu berperan besar dalam menyesuaikan saturation warna, di mana semakin banyak warna abu-abu yang dicampurkan pada warna hue, maka semakin kusam warna
hue tersebut (hlm. 27).
Gambar 2.16. Saturation
(https://www.premiumbeat.com/blog/basic-properties-color/, 2016)
Warna dasar (warna primer) adalah warna yang tidak dapat dihasilkan dari percampuran warna apa pun, tapi jika mereka dicampur satu sama lain maka mereka dapat menghasilkan warna lain. Warna-warna dasar tersebut berbeda tergantung dari media apa yang dipakai. Jika menggunakan media light-in-screen (layar komputer atau media digital
21 lainnya), maka 3 warna dasar yang digunakan adalah merah (red), hijau
(green), dan biru (blue) atau lebih dikenal dengan istilah model warna
RGB (sistem warna adiktif). Percampuan antara 3 warna tersebut dapat menghasilkan warna lain, seperti berikut :
Merah + Hijau = Kuning Merah + Biru = Magenta Hijau + Biru = Cyan
Merah + Hijau + Biru = Putih (hlm. 23-24)
Gambar 2.17. Sistem Warna Adiktif (RGB)
(Landa, 2014)
Jika menggunakan media subtraktif seperti tinta, cat air, cat minyak, atau pensil warna, maka 3 warna dasar yang digunakan adalah
22 merah, kuning, dan biru (sistem warna substraktif). Percampuran antara 3 warna tersebut akan menghasilkan warna-warna sebagai berikut :
Merah + Kuning = Orange Kuning + Biru = Hijau Merah + Biru = Ungu
Merah + Kuning + Biru = Hitam (hlm. 24)
Gambar 2.18. Sistem Warna Substraktif
(Landa, 2014)
Landa (2014) juga menyebutkan bahwa pada percetakan offset, warna-warna dasar yang digunakan adalah cyan, magenta, kuning
(yellow), dan hitam (key) atau biasa dikenal dengan model warna CMYK.
Warna hitam biasanya digunakan untuk menambahkan kontras warna (hlm. 24).
23 Gambar 2.19. Model Warna CMYK
(Lupton & Philips, 2015)
Skema warna yang biasa digunakan desainer terdiri dari 6 macam, yaitu :
1. Monochromatic
Skema warna ini hanya melibatkan 1 jenis hue dengan value yang bervariasi (tint, tone, dan shade).
24 Gambar 2.20. Skema Warna Monochromatic
(https://feltmagnet.com/drawing/Harmonious-Painting-Color-Schemes, 2020)
2. Analogous
Skema warna ini melibatkan 3 macam hue yang posisinya saling bersebelahan pada roda warna.
Gambar 2.21. Skema Warna Analogous
(https://feltmagnet.com/drawing/Harmonious-Painting-Color-Schemes, 2020)
3. Complementary
Skema warna ini menggunakan 2 jenis hue yang posisinya saling bersebrangan pada roda warna.
25 Gambar 2.22. Skema Warna Complementary
(https://feltmagnet.com/drawing/Harmonious-Painting-Color-Schemes, 2020)
4. Split-Complementary
Skema warna ini menggunakan 3 jenis hue, di mana satu hue dengan dua hue yang posisinya berada di kedua sisi hue pasangan
complementary-nya pada roda warna.
Gambar 2.23. Skema Warna Split-Complementary
(https://feltmagnet.com/drawing/Harmonious-Painting-Color-Schemes, 2020)
26 Skema warna ini menggunakan 3 jenis hue yang masing-masing posisinya terpisah dengan jarak yang sama pada roda warna.
Gambar 2.24. Skema Warna Triadic
(https://feltmagnet.com/drawing/Harmonious-Painting-Color-Schemes, 2020)
6. Tetradic
Skema warna ini menggunakan 4 jenis hue yang merupakan 2 pasang warna complementary (hlm. 132).
Gambar 2.25. Skema Warna Tetradic
27 2.1.2.4. Tekstur
Menurut Landa (2014), tekstur merupakan kualitas dari suatu permukaan objek. Dalam desain, tekstur dibagi menjadi 2 macam, yaitu tactile dan visual. Tactile merupakan tekstur yang dapat dirasakan kualitasnya dengan panca indera (actual textures), sedangkan visual merupakan gambar, lukisan, atau foto yang menciptakan sebuah ilusi dari tekstur yang sebenarnya (hanya bisa dilihat dengan mata, tidak bisa merasakan kualitas teksturnya) (hlm. 28).
Gambar 2.26. Tekstur Tactile
(Landa, 2014)
Gambar 2.27. Tekstur Visual
28 Buku
2.2.
Menurut Haslam (2006), buku merupakan sebuah wadah yang terdiri dari serangkaian halaman yang dicetak dan dijilid yang menyimpan, memberitahu, menjelaskan, dan menyebarkan pengetahuan kepada pembaca melintasi ruang dan waktu (hlm. 9).
2.2.1. Fungsi Buku
Menurut Rustan (2009), pada dasarnya buku memiliki 2 fungsi, yaitu :
1. Menyampaikan informasi, di mana informasi tersebut dapat berupa cerita, ilmu pengetahuan, laporan, dan lain-lain.
2. Menampung informasi, di mana jumlah informasi yang ditampung tergantung dari jumlah halaman buku yang tersedia (hlm. 122).
2.2.2. Anatomi Buku
Menurut Lupton (2008), pada umumnya buku memiliki 3 bagian, yaitu bagian depan, bagian isi, dan bagian belakang.
29 Gambar 2.28. Anatomi Buku
(Lupton, 2008)
1. Bagian depan a. Cover depan
b. Setengah halaman judul (judul penuh dari buku atau judul utama saja jika terdapat sub-judul yang panjang) (tidak wajib)
c. Halaman judul (judul penuh dari buku, pengarang, penerbit, dan lokasi diterbitkan)
d. Halaman copyright (pengarang, copyright, tahun diterbitkan, ISBN, data katalog, alamat penerbit, pihak-pihak yang terlibat)
30 e. Daftar isi (apa saja isi buku tersebut)
Gambar 2.29. Bagian Depan
(Lupton, 2008)
2. Bagian isi
Gambar 2.30. Bagian Isi
(Lupton, 2008)
3. Bagian belakang
a. Lampiran (daftar istilah, daftar pustaka, checklists, biografi, resumes, kronologi)
b. Colophon (informasi tentang typefaces, desain buku, dan teknik cetak atau
binding) (tidak wajib)
31 Gambar 2.31. Bagian Belakang
(Lupton, 2008)
2.2.3. Layout
Menurut Rustan (2009), layout merupakan penataan letak elemen desain pada suatu bidang permukaan media untuk mendukung penyampaian pesan (hlm. 0).
2.2.3.1. Elemen Layout
Rustan (2009) menyatakan bahwa layout memiliki elemen tak terlihat
(invisible elements) yang berfungsi sebagai fondasi atau kerangka dalam
meletakkan elemen-elemen desain (hlm. 63). Invisible elements tersebut terdiri dari :
1. Margin
Margin merupakan jarak antara pinggir halaman kertas (atau media
lain) dengan ruang tempat elemen-elemen layout diletakkan. Margin digunakan agar elemen layout tidak terlalu dekat dengan pinggir halaman sehingga memperkecil kemungkinan elemen desain akan terpotong ketika halaman tersebut dicetak (hlm. 64).
32 Gambar 2.32. Margin
(Landa, 2014)
2. Grid
Grid merupakan garis bantu untuk mempermudah kita dalam
menentukan letak elemen-elemen layout sehingga tetap konsisten dengan halaman lainnya. Dalam membuat sebuah layout halaman, biasanya satu halaman dibagi menjadi beberapa kolom dengan menggunakan grid secara vertikal maupun horizontal (hlm. 68).
Gambar 2.33. Grid
33 Menurut Landa (2014), grid dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a. Single-Column Grid
Jenis grid ini merupakan struktur halaman yang paling dasar, biasa disebut juga dengan manuscript grid. Struktur ini hanya terdiri dari satu kolum dan dikelilingi oleh garis margin (hlm. 175-177).
Gambar 2.34. Single-Column Grid
(Landa, 2014)
b. Multicolumn Grid
Satu kolum bisa dibagi menjadi beberapa kolum dengan ukuran
grid yang sama maupun berbeda tergantung dari media desain
yang digunakan. Jenis grid ini biasanya digunakan pada desktop, tablet, dan handphone (hlm. 177-179).
34 Gambar 2.35. Multicolumn Grid
(Landa, 2014)
c. Modular Grid
Modular Grid tersusun dari modul-modul yang terbentuk dari
perpotongan antara kolom dengan flowlines (garis bantu horizontal untuk menjaga alignment). Teks dan gambar dapat menempati satu modul atau lebih. Fungsi dari grid jenis ini adalah bagaimana
35 sebuah informasi dapat dibagi ke dalam satu modul atau dikelompokkan menjadi beberapa modul (hlm. 181).
Gambar 2.36. Modular Grid
(Landa, 2014)
2.2.3.2. Alignment
Lupton (2008) mengatakan bahwa pada dasarnya terdapat 4 jenis
alignment atau perataan teks, yaitu justified, centered, flush left, dan flush right.
1. Justified Alignment
Jenis alignment ini merupakan format standar untuk layout yang padat dengan tulisan, seperti novel, buku ilmiah, koran, dan lain sebagainya. Penggunaan alignment ini akan memberi kesan rapih.
2. Centered Alignment
Jenis alignment ini biasanya digunakan untuk judul, headings, dan dedikasi. Penggunaan alignment ini memberi kesan statis dan klasik.
36
Alignment ini juga memberi kesan formal jika digunakan pada
undangan pernikahan atau kartu ucapan.
3. Flush Left Alignment
Jenis alignment ini biasanya digunakan pada puisi. Alignment ini memberi kesan modern karena bersifat asimetris dan organik.
4. Flush Right Alignment
Jenis alignment ini sangat jarang digunakan pada buku yang padat teks dan biasanya hanya digunakan pada nomor halaman dan notes kecil di bagian bawah halaman (hlm. 37).
Gambar 2.37. Jenis Alignment
37 Tipografi
2.3.
Menurut Landa (2014), typeface merupakan satu set dari kumpulan karakter yang memiliki ciri visual yang sama. Dalam sebuah typeface biasanya terdiri dari huruf, angka, simbol, tanda, tanda baca, dan tanda aksen atau diakritik. Kita menggunakan satuan points untuk mengukur ukuran sebuah type (hlm. 44).
2.3.1. Jenis Typefaces
Pada dasarnya, typefaces dikategorikan menjadi 8 jenis, yaitu :
1. Old style (humanist)
Old style typefaces merupakan jenis roman typefaces yang diperkenalkan pada
akhir abad ke-15. Jenis typefaces ini memiliki serif (stroke kecil pada ujung atas atau bawah dari stroke utama huruf) yang miring, sudut yang melengkung, dan stress yang lebar. Contoh dari kategori ini adalah Caslon, Garamond, Hoefler Text, dan Times New Roman.
2. Transitional
Transitional typefaces merupakan jenis serif typefaces yang berasal dari abad
ke-18. Jenis typefaces ini merupakan peralihan bentuk dari old style ke modern. Contoh dari kategori ini adalah Baskerville, Century, dan ITC Zapf International.
3. Modern
Modern typefaces merupakan jenis serif typefaces yang muncul pada akhir
abad ke-18 dan awal abad ke-19. Jenis typefaces ini memiliki bentuk geometris yang berkebalikan dari old style. Jenis ini memiliki stroke (sebutan
38 untuk garis yang membentuk sebuah huruf) yang kontras, stress (angle dari
axis utama pada stroke sebuah huruf) yang berbentuk vertikal, dan merupakan
jenis typefaces paling simetris di antara roman typefaces lainnya. Yang tergolong dalam jenis ini adalah Didot, Bodoni, and Walbaum.
4. Slab Serif
Slab serif typefaces merupakan jenis serif typefaces yang mulai muncul pada
awal abad ke-19. Mereka memiliki serif yang berbentuk slab tebal. Egyptian dan Clarendon merupakan sub-kategori dari slab serif typefaces. Yang tergolong dalam jenis ini adalah American Typewriter, Memphis, ITC Lubalin Graph, Bookman, dan Clarendon.
5. Sans Serif
Sans serif typefaces merupakan jenis typefaces yang tidak memiliki serif dan
muncul pada awal abad ke-19. Yang tergolong dalam jenis ini adalah Futura, Helvetica, Univers, Grotesque, Franklin Gothic, Universal, dan Frutiger.
6. Blackletter
Blackletter typefaces merupakan jenis typefaces yang muncul pada abad
pertengahan ke-13 sampai ke-15, di mana saat itu typefaces ini dikenal sebagai
gothic. Mereka memiliki stroke yang tebal dan padat dengan sedikit
lengkungan. Yang tergolong dalam jenis ini adalah Textura, Rotunda, Schwabacher, dan Fraktur.
39
Script typefaces memiliki bentuk yang paling mirip dengan tulisan tangan. Typefaces ini cenderung berbentuk miring dan biasanya antar huruf
tersambung. Yang tergolong dalam jenis ini adalah Brush Script, Shelley Allegro Script, dan Snell Roundhand Script.
8. Display
Display typefaces biasanya digunakan dalam ukuran yang besar untuk judul
dan headlines. Jenis ini akan sulit dibaca ketika berukuran kecil karena memiliki bentuk yang rumit, dekoratif, dan handmade (hlm. 47-48).
Gambar 2.38. Klasifikasi Typefaces oleh Martin Holloway
40 Gambar 2.39. Bentuk Huruf dari Masing-Masing Jenis Typefaces
(Landa, 2014)
Ilustrasi 2.4.
Arntson (2007) mengatakan bahwa ilustrasi adalah area spesialis dari seni yang menggunakan gambar, biasanya representasional atau expressionist, untuk membuat sebuah pernyataan visual. Ilustrasi dibuat untuk reproduksi komersial, baik itu dalam bentuk media cetak maupun animasi atau motion graphics untuk berbagai lokasi, termasuk web delivery (hlm. 155).
Ada beberapa alasan mengapa desainer lebih memilih untuk menggunakan ilustrasi daripada foto, yaitu :
Dapat menunjukkan sesuatu dari objek yang tidak dapat ditangkap oleh kamera, seperti informasi tentang proses fotosintesis.
Dapat menunjukkan bagian tertentu dari objek secara lebih jelas dibandingkan dengan melihatnya dari foto. Contohnya adalah ia dapat memperbesar bagian dalam mesin yang berukuran kecil yang sulit dilihat dengan mata telanjang atau dari foto.
Menyingkirkan bagian tidak penting atau membingungkan pada gambar, sehingga secara otomatis mata akan terfokus pada objek utama.
41 Dapat digunakan pada tempat yang melarang memotret, contohnya ruang
sidang.
Efektif untuk mempresentasikan sesuatu yang emosional dan fantasi (hlm. 156).
2.4.1. Jenis Ilustrasi
Ilustrasi memiliki variasi penampilan, tergantung dari media, gaya yang digunakan ilustrator, dan tujuannya. Sebuah ilustrasi dapat dibuat dengan menggambar, melukis, menggabungkan beberapa jenis media yang berbeda
(mix-media), dan menggunakan software komputer. Ilustrasi yang dihasilkan dapat
berupa 2D maupun 3D dengan gaya beragam, seperti gaya art deco, post-modern,
personalize, dan informational.
Selain memiliki berbagai macam media dan gaya, ilustrasi juga memiliki tujuan yang beragam. Tujuan dari ilustrasi tersebut bisa saja untuk mempresentasikan sebuah produk, menceritakan sebuah kisah, mengklarifikasi konsep, atau mendemonstrasikan sebuah proses (hlm. 157-158).
2.4.1.1. Berdasarkan Tujuan
Secara keseluruhan, berdasarkan tujuannya ilustrasi terbagi menjadi 2 jenis, yaitu :
1. Advertising illustration : ilustrasi yang bertujuan untuk menjual sebuah produk, jasa, atau apa pun yang dapat ditawarkan kepada konsumen
42 Gambar 2.40. “Tate Gallery by Tube” karya David Booth (1987)
(Arntson, 2017)
2. Editorial illustration : ilustrasi yang bertujuan untuk mengekspresikan emosi melalui garis, bidang, dan penempatan (hlm. 158)
Gambar 2.41. Sebuah Editorial Illustration karya Tom Clohosy Cole
43 2.4.1.2. Berdasarkan Media
Selain berdasarkan dari tujuan, ilustrasi juga dapat dibagi berdasarkan jenis media yang digunakan, yaitu :
1. Ilustrasi rekaman dan buku
Pada rekaman dan buku, biasanya ilustrasi digunakan pada kemasan luar mereka, seperti sampul CD atau DVD dan sampul buku. Namun, ilustrasi dapat digunakan juga pada isi buku, di mana hal tersebut dapat menambah nilai buku tersebut. Ilustrasi yang digunakan tentunya harus disesuaikan dengan target audiens sehingga dapat menarik perhatian mereka. Biasanya ilustrasi banyak digunakan pada buku anak-anak dan mereka memiliki peran besar dalam menceritakan sebuah kisah dengan jumlah teks yang sedikit (hlm. 158-160).
Gambar 2.42. Ilustrasi “Halloween Bear” pada Buku Cerita Anak “Halloween Haunts” karya Joy Hart
44 2. Ilustrasi majalah dan koran
Majalah dan koran bergantung pada ilustrasi untuk mengatur tone dan menarik perhatian pembaca. Sebuah gambar pada satu halaman penuh diharapkan dapat membawa semua informasi visual dalam membantu menceritakan sesuatu (hlm. 160-161).
Gambar 2.43. Ilustrasi karya David McLimans pada Salah Satu Artikel di Majalah “The Progressive”
(Arntson, 2017)
3. Ilustrasi fashion
Ilustrasi fashion merupakan bidang khusus periklanan. Ilustrasi fashion tidak hanya sebatas memberikan informasi tentang garmen saja, tetapi juga mempresuasi target audiens dengan mood pada ilustrasi tersebut (hlm. 162).
45 Gambar 2.44. Logo karya Margo Chase untuk Sebuah Produk Perawatan
Rambut
(Arntson, 2017)
4. Ilustrasi proyek in-house
Ilustrasi jenis ini digunakan dalam proyek dari berbagai bidang, seperti institut edukasi, agensi pemerintah, perusahaan dan bisnis, serta perusahaan non-profit. Biasanya mereka menggunakan ilustrasi jenis
editorial, yaitu menyampaikan pesan atau konsep kepada target
46 Gambar 2.45. Ilustrasi karya Eiko Ishioka pada Katalog UCLA Extention
tahun 1991
(Arntson, 2017)
5. Ilustrasi kartu ucapan dan retail
Ilustrasi jenis ini digunakan pada media produk retail, seperti pakaian, mainan, kartu ucapan, kalender, dan poster (hlm. 163).
6. Ilustrasi medis dan teknik
Biasanya ilustrator memiliki pengetahuan dalam bidang medis, sains, atau teknik. Dari informasi yang ia dapat, ia haru bisa menyederhanakan, memperjelas, dan melakukan seleksi sehingga menghasilkan informasi yang akurat, jelas, dan efektif (hlm. 163).
47 Gambar 2.46. “Cutaway Cat” karya Beau & Alan Daniels (2015)
(https://beaudaniels.com/medical-cutaway-illustrations, n.d.)
7. Animasi dan motion graphics
Ilustrasi jenis ini dapat berupa scanned-print based, electronic-based, CD-ROM, film, dan video presentasi (hlm. 163).
2.4.2. Peran Ilustrasi dalam Materi Sejarah dan Budaya
Male (2007) menyebutkan bahwa akan selalu ada kebutuhan visual untuk merekonstruksi materi yang terkait dengan sejarah manusia. Kemampuan untuk membangkitkan kembali kehidupan masa lampau melalui ilustrasi akan selamanya dibutuhkan. Walau pun terdapat bukti foto dari periode tersebut,
48 ilustrasi dapat menelusuri lebih jauh dan menciptakan kembali sebuah peristiwa secara lebih detail.
Seorang ilustrator memiliki peran penting dalam mengumpulkan data yang akurat terkait dengan materi yang akan diangkat, mendokumentasi lapangan, dan membuatnnya dalam bentuk publikasi. Hal ini dilakukan agar ilustrator dapat mempresentasikan materi tersebut melalui visual secara tepat. Walau pun terkadang ilustrator mempresentasikannya dengan lebih dramatis atau emosional untuk tujuan tertentu, ilustrasi tersebut tetap harus sesuai dengan konteks materi dan data yang telah dikumpulkan, seperti keadaan lingkungan pada periode tersebut, pakaiannya, masyarakatnya, alat-alat yang digunakan, dan lain sebagainya. Begitu pun juga dengan buku anak-anak yang cenderung menggunakan ilustrasi yang lebih dekoratif (hlm. 98-103).
Percetakan 2.5.
Rustan (2009) menyebutkan bahwa pada umumnya terdapat 5 jenis teknik cetak, yaitu :
1. Offset : teknik cetak yang biasa digunakan untuk mencetak brosur, buku,
majalah, tabloid, koran, dan kalender.
2. Flexografi/cetak tinggi : teknik cetak yang biasa digunakan untuk mencetak desain yang berada di atas permukaan karton yang bergelombang atau label kemasan produk.
49
3. Rotogravure : teknik cetak yang biasa digunakan untuk mencetak label yang
berbahan plastik pada kemasan produk.
4. Sablon/cetak saring/screen printing : teknik cetak yang biasa digunakan untuk mencetak kaos, mug, dan kartu nama.
5. Digital : teknik cetak yang biasa digunakan untuk mencetak poster, banner, atau media lainnya yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit dan waktu cetak yang singkat (hlm. 15).
Binding 2.6.
Lupton (2008) mengatakan bahwa memilih jenis binding untuk suatu buku dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti harganya, kepraktisannya, daya tahannya, dan ketebalannya. Jenis binding buku terdiri dari 10 jenis, yaitu :
1. Case binding (hardcover)
Ciri dari jenis binding ini adalah kumpulan kertas halaman buku dijahit benang untuk menyatukan mereka yang kemudian diperkuat dengan linen
tape. Kertas yang sudah disatukan tadi dipangkas rapih dan diikat ke case
yang terdiri dari sampul depan, sampul punggung, dan sampul belakang di ujung kertas. Buku yang menggunakan jenis binding ini memiliki daya tahan yang sangat lama.
50 Gambar 2.47. Case Binding
(Lupton, 2008)
2. Perfect binding
Kertas-kertas direkatkan dengan lem pada sepanjang batas kertas-kertas tersebut. Setelah itu, mereka dibungkus dengan sampul dan ditempel.
Gambar 2.48. Perfect Binding
(Lupton, 2008)
51 Jenis binding ini menggunakan tape yang berbahan sejenis kain yang dililitkan ke sampul buku serta kertas-kertas halaman yang sudah disusun.
Gambar 2.49. Tape Binding
(Lupton, 2008)
4. Side stitch binding
Jenis binding ini menyatukan halaman dengan sampul dari depan ke belakang. Karena binding-nya berada pada sepanjang tepi buku, maka sebagian kecil pada bagian halaman buku tak akan terlihat (bagian gutter). Ketebalan buku sangat menentukan kepraktisan menggunakan jenis binding ini.
52 Gambar 2.50. Side Stitch Binding
(Lupton, 2008)
5. Saddle stitch binding
Sampul dan halaman buku dilipat pada bagian tepi kemudian dijepret. Karena mereka semua dilipat menjadi setengah, maka terdapat ukuran maksimal ketebalan buku sekitar ½ inci agar dapat menggunakan jenis binding ini secara efektif. Harga jenis binding ini biasanya tidak terlalu mahal.
Gambar 2.51. Saddle Stitch Binding
(Lupton, 2008)
53 Jenis binding ini mirip dengan saddle stitch binding, hanya saja sampul dan halaman disatukan dengan benang yang kemudian diikat sehingga ujung dan simpul benang tetap terlihat. Jenis binding ini dapat dilakukan dengan tangan dan biasanya digunakan pada buku yang memiliki jumlah halaman maksimal 36 halaman serta jumlah publikasi yang sedikit.
Gambar 2.52. Pamphlet Stitch Binding
(Lupton, 2008)
7. Screw and post binding
Jenis binding ini melubangi tepi sampul dan halaman dengan bor yang kemudian disatukan dengan sekrup. Lalu, sampul dibalikkan kembali untuk menyembunyikan bagian tepi yang terdiri sekrup-sekrup tadi. Jika menggunakan jenis binding ini, kita dapat dengan mudah menambahkan atau mengurangi halaman. Dan tentunya, jenis binding ini dilakukan dengan tangan.
54 Gambar 2.53. Screw and Post Binding
(Lupton, 2008)
8. Stab binding
Jenis binding ini juga merujuk pada stab binding dari Jepang. Sampul dan halaman dijahit bersama dan jahitan tersebut akan terlihat di bagian punggung dan samping buku. Jenis binding ini membuat ukuran gutter buku yang cukup lebar sehingga harus diperhitungkan ketika mendesain layout buku tersebut.
Gambar 2.54. Stab Binding
(Lupton, 2008)
55 Sampul dan halaman dilubangi pada sepanjang tepi kertas dengan mesin. Lalu, lubang-lubang tersebut akan dimasukkan kumparan kawat yang melingkar.
Gambar 2.55. Spiral Binding
(Lupton, 2008)
10. Platic comb binding
Jenis binding ini melubangi sepanjang tepi sampul dan halaman dengan mesin. Kemudian, lubang-lubang tersebut akan ditutup dengan plastik yang berbentuk seperti sisir (hlm. 120-121).
56 Gambar 2.56. Plastic Comb Binding
(Lupton, 2008)
Yap Tjwan Bing 2.7.
Gambar 2.57. Yap Tjwan Bing
(http://thatswhyilovemycountry.blogspot.com/2017/05/drs-yap-tjwan-bing.html, 2017)
2.7.1. Susunan Anggota Keluarga
Yap Tjwan Bing (1988) mengatakan bahwa dirinya lahir pada tanggal 31 Oktober 1910 di Slompretan, Solo, Jawa Tengah. Ia merupakan anak dari seorang pedagang bernama Yap Yoe Dhiam dan istrinya, Tan Tien Nio. Ia juga memiliki 4 saudara, yaitu Yap Giok Nio, Yap Swan Nio, Yap Tjoen Sing, dan Yap Tjoen Hoei. Sebelum pergi ke Belanda untuk kuliah, pada tahun 1932 Yap menikah dengan Tjien Giok Yap yang kemudian dikaruniai 2 orang anak, yaitu Yap Gwat Lee alias Dewi (perempuan) dan Yap Siong Hoei (laki-laki) (hlm. 1-2).
2.7.2. Latar Belakang Pendidikan
Pada usia 7 tahun, Yap bersekolah di Hollandsch-Chineesche School (HCS) Kristen Gemblekan di Solo. Saat itu, beliau tinggal bersama dengan keluarga
57 berkebangsaan Belanda bernama Kilian untuk belajar bahasa Belanda. Namun pada usia 8 tahun, ia bersama keluarganya harus pindah ke Madiun sehingga ia masuk ke sekolah swasta di sana, yaitu Sekolah Swasta KOOT. Menurutnya, kualitas sekolah tersebut kurang baik dibandingkan dengan sekolah swasta lainnya.
Pada usia 10 tahun, ia tidak sengaja bertemu dengan seorang kepala sekolah Tweede Europeesche School (sekolah MULO) bernama Van Gulich. Saat itu, Van Gulich hendak pergi ke Surabaya dengan kereta api untuk berlibur dan ia membawa banyak barang. Karena tak ada seorang pun yang membantunya, Yap yang melihat hal tersebut membantu mengangkat barang-barangnya ke dalam kereta api. Atas kebaikan Yap, Van Gulich berterima kasih dan memintanya untuk mengunjungi sekolahnya seminggu kemudian untuk melakukan tes. Yap lulus tes tersebut dan diterima masuk ke sekolah tersebut. Ia menjadi satu-satunya murid beretnis Tionghoa dan bergaul dengan anak-anak berkebangsaan Belanda di sana. Ia juga mulai suka berolahraga, seperti sepak bola, tenis, angkat besi, dan kung fu.
Setelah tamat dari sekolah MULO, pada tahun 1928 ia ingin melanjutkan pendidikannya ke Hoogere Burgerschool (HBS), namun ia tidak bisa karena ia bukan berasal dari keluarga ambtenaar yang berpangkat mayor atau kapten dari golongan Cina. Dari sini, ia dapat merasakan bahwa adanya diskriminasi sosial terhadap masyarakat Indonesia dan golongan Cina. Oleh karena itu, ia masuk ke
Algemene Middlebare School (AMS) di Malang, Jawa Timur. Pada saat itu,
58 sekolah Yap di sana. Namun, Yap mendapat beasiswa dari pemerintah kolonial Belanda sehingga ia masih bisa melanjutkan pendidikannya di sana.
Selama bersekolah di sana, Yap bergabung dengan tim sepak bola Hak Sing Hwee sebagai gelandang kanan dan timnya selalu menang pada setiap pertandingan di Malang. Pada saat yang sama, sifat kritis Yap terlihat ketika ia berdebat dengan seorang guru Ilmu Ketatanegaraan (Staatskunde) bernama Mr. Mollen pada saat pelajaran mengenai sistem pemilihan anggota DPR. Perdebatan tersebut membuat hubungan keduanya menjadi erat.
Di tengah masa pendidikan SMA-nya, ia bersama keluarganya harus pindah dari Madiun dan masuk ke sekolah AMS Kristen bagian Paspal di Jakarta. Ia tinggal bersama sahabatnya yang ada di Jakarta untuk menghemat biaya karena ayahnya belum mampu membayar lunas biaya sekolahnya. Untuk membantu ayahnya, ia juga mulai menjual parfum setiap hari Minggu. Setelah situasi ekonomi keluarganya mulai membaik, ia pindah ke asrama Kristen yang berlokasi di Jalan Kramat Raya. Di asrama tersebut, ia bertemu dengan Mr. Amir Sjarifuddin (yang kemudian menjadi perdana menteri Indonesia di Yogyakarta) yang saat itu sedang kuliah di Sekolah Tinggi Hukum Jakarta.
Yap lulus dari AMS pada tahun 1932 dan melanjutkan pendidikan kuliahnya di Belanda. Ia masuk Fakultas Farmasi Universiteet van Amsterdam di Belanda untuk menjadi seorang apoteker nantinya. Selama kuliah di sana, Yap menjadi anggota Perhimpunan Mahasiswa Farmasi (Luctor Et Emergo) di Amsterdam. Ia bertemu dengan Mohammad Hatta dan Iwa Kusumasumantri di
59 sana yang kuliah di Sekolah Tinggi Ekonomi Rotterdam. Saat itu, mereka berdua sudah aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di Belanda dengan membentuk Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging). Meskipun Yap tidak bergabung dengan mereka, ia tetap bergaul dengan Bung Hatta dan Iwa Kusumasumantri serta anggota lainnya yang merupakan mahasiswa asal Indonesia, seperti Kusumo Utojo, Tjoa Sek Ien, Kwee Tian Lan, Abdul Madjid, dan Ie King Hing. Seperti yang lain, Yap juga mengambil kesempatan untuk memperluas ilmu politiknya dengan membaca banyak buku tentang politik di sana karena pemerintah kolonial Belanda melarang peredaran buku politik di Indonesia. Ia juga ikut serta dalam sidang-sidang partai politik yang berjuang memerdekakan Indonesia.
Yap lulus dari Universiteet van Amsterdam pada tahun 1939 hanya dalam waktu 6,5 tahun saja. Ia tidak langsung pulang ke Indonesia karena pada saat itu kapal terakhir yang berlayar ke Indonesia harus segera berangkat sebelum Perang Dunia II terjadi. Setelah akhirnya pulang ke Indonesia, ia bersama istrinya tinggal di Jalan Pahud De Montage, Bandung. Ia bekerja di Apotek Suniaraja yang berlokasi di Jalan Pasar Baru dan kemudian menjadi direktur di sana setelah 2 tahun. Apotek tersebut kemudian bergabung dengan Apotek Cikakak membentuk sebuah Perseroan Terbatas dengan Yap sebagai direkturnya. Selain dalam bidang usaha apotek, Yap juga tertarik pada bidang politik. Ia bertemu dengan Soekarno dan Mohammad Hatta melalui Mr. Sartono (salah satu tokoh penting dalam PNI) dan mulai ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia bersama mereka (hlm. 5-10).
60 2.7.3. Peran dalam Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia
Perasaan Yap yang tidak senang terhadap kesombongan orang Belanda tumbuh sejak usianya 14 tahun. Hal tersebut muncul ketika para pedagang Belanda dari
Jacobson Borsumij Semarang datang ke rumah Yap untuk melakukan
perundingan dagang dengan ayahnya. Ketika memasuki rumah, para pedagang tersebut sama sekali tidak melepas topi mereka dan bahkan mereka mengangkat kaki di atas meja ketika duduk. Ayah Yap tidak menghiraukan sikap mereka tersebut karena sudah mengetahui sikap mereka yang ingin menunjukkan bahwa mereka adalah penguasa di negeri ini. Namun, Yap yang melihat sikap tersebut merasa tersinggung dan dengan berani ia melepas topi mereka serta menurunkan kaki mereka dari atas meja. Para pedagang tersebut terkejut melihat tindakan Yap dan sejak saat itu mereka tidak pernah melakukan hal tersebut lagi ketika mengunjungi ayah Yap.
Yap sudah menaruh simpati terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno dan Mohammad Hatta sejak ia berumur 18 tahun. Hal tersebut membuatnya tertarik dengan dunia politik sehingga ia membaca banyak buku tentang politik ketika ia kuliah di Belanda. Lalu, ia juga ikut persidangan yang dilakukan oleh mahasiswa Indonesia di sana yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pengalaman yang ia alami tersebut membuat Yap terjun ke dunia politik sambil dibimbing oleh Mr. Sartono (hlm. 14-15).
61 2.7.3.1. Menjadi Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
Pada tanggal 7 Agustus 1945, PPKI dibentuk dengan Soekarno sebagai ketuanya dan Mohammad Hatta sebagai wakil ketuanya. Yap terpilih menjadi anggota PPKI mewakili etnis Tionghoa dan dengan usianya yang masih 33 tahun saat itu membuatnya menjadi anggota termuda di sana.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno, mereka merayakan Hari Kemerdekaan di rumah Yap yang saat itu berlokasi di Jalan Naripan 31, Bandung. Mereka minum 1 botol champagne bersama untuk menunjukkan kegembiraan mereka terhadap perjuangan mereka yang tidak sia-sia dalam memerdekakan Indonesia.
Keesokan harinya, Yap menghadiri sidang PPKI yang dilaksanakan di Gedung Pejambon, Jakarta. Topik dalam sidang tersebut adalah membahas dan mengesahkan UUD 1945, memilih presiden dan wakil presiden, dan menetapkan KNIP sebagai pembantu presiden untuk sementara waktu. Sidang tersebut dihadiri oleh 27 anggota (termasuk 6 anggota tambahan) dengan Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai ketua sidang serta Prof. Dr. Mr. Soepomo sebagai sekretaris. Dalam sidang tersebut, Yap bersama anggota lainnya mengubah beberapa bagian dari pembukaan dan isi UUD 1945 yang dirumuskan oleh BPUPKI sebelumnya. Setelah itu, mereka mengesahkan UUD 1945 sebagai dasar hukum negara Indonesia.
62 Gambar 2.58. Yap (berhadapan dengan Soekarno) saat Pengesahan UUD 1945
(https://www.tribunnewswiki.com/2019/05/31/tribunnewswiki-badan-penyelidik-usaha-usaha-persiapan-kemerdekaan-indonesia-bpupki, 2019)
Setelah itu, saat mereka membahas tentang siapa yang akan menjadi presiden dan wakil presiden, Yap merupakan salah satu anggota yang mengusulkan Soekarno dan Mohammad Hatta untuk menjadi presiden dan wakil presiden. Namun pada saat acara pengangkatan Soekarno dan Mohammad Hatta mejadi presiden dan wakil presiden, ia tidak dapat menghadirinya karena harus pulang ke Bandung untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi di Bandung oleh massa akibat proklamasi kemerdekaan.
Selama menjadi anggota PPKI, Yap berkenalan dengan anggota lainnya, seperti K. R. T. Dr. Radjiman Widyodiningrat asal Solo, Dr. Sam Ratulangi asal Minahasa, dan Mr. Latuharhary asal Maluku. Setiap sidang PPKI, Yap selalu duduk di sebelah Mr. Latuharhary dan berhadapan dengan Soekarno, Mohammad Hatta, dan Prof. Dr. Mr. Soepomo.
63 Pada tanggal 19 Agustus 1945, PPKI mengadakan sidang kembali dan Yap hadir dalam sidang tersebut. Pada sidang tersebut, Yap bersama anggota lainnya berhasil menetapkan pemerintah daerah dan kementrian negara. Mereka memutuskan bahwa daerah Indonesia dibagi menjadi 8 provinsi yang masing-masing dipimpin oleh gubernur dan setiap provinsi dibagi atas keresidenan yang dipimpin oleh residen. Selain itu, gubernur dan residen akan dibantu oleh Komite Nasional Daerah. Sedangkan untuk kementrian negara, mereka memutuskan bahwa pemerintahan Indonesia dibagi menjadi 12 departemen kementrian. PPKI mengadakan sidang lagi pada tanggal 22 Agustus 1945, di mana mereka berhasil menetapkan Komite Nasional, Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Gambar 2.59. Yap (Ke-4 dari Kanan) dalam Sidang PPKI Tanggal 22 Agustus 1945
(https://www.kompasiana.com/dekisugi/581206d7929373da27bd7cd2/hasil-rapat-ppki-tanggal-22-agustus-1945, 2016)
64 PPKI secara resmi dibubarkan pada tanggal 29 Agustus 1945. Pada saat yang sama, KNIP mulai dibentuk untuk membantu presiden dalam menjalankan tugasnya seperti yang sudah dijelaskan pada sidang pertama PPKI. Yap ditunjuk kembali menjadi anggota KNIP untuk mewakili etnis Tionghoa (hlm. 16-31).
2.7.3.2. Menjadi Anggota Partai Nasional Indonesia (PNI)
Sebelum bergabung dengan PNI, Yap sudah mengenal beberapa anggota dari partai tersebut di Yogyakarta, seperti Mangun Sarkoso dan Mr. Wilopo serta ketua partai saat itu, yaitu Sidik Djojosukarto. Yap bahkan sudah mengikuti beberapa rapat PNI sebelumnya melalui Mr. Sartono. Yap juga tertarik dengan asas PNI yang bersifat marhaenisme (mengutamakan kepentingan rakyat) dan nasionalisme (rasa kebangsaan). Karena ketertarikan Yap yang sungguh-sungguh terhadap cita-cita PNI serta pengalamannya mengikuti rapat partai, maka akhirnya ia terpilih menjadi anggota PNI.
Setelah kantor pusat PNI pindah ke Jakarta, Yap diangkat menjadi anggota Dewan Partai yang terdiri dari 11 anggota dan dipimpin oleh Sidik Djojosukarto. Lalu, ia diminta Sidik atas nama Dewan Pimpinan PNI untuk memimpin seksi ekonomi. Awalnya ia menolak permintaan tersebut karena fakta bahwa ia beretnis Tionghoa dan mengetahui sebagain besar masyarakat Tionghoa adalah pedagang membuatnya takut akan menimbulkan conflict of interest. Namun, penolakan tersebut tidak diterima oleh Dewan Pimpinan dan mereka tetap mendesak Yap. Akhirnya
65 Yap menerima permintaan tersebut. Melihat Dewan Pimpinan PNI dapat memberikan kepercayaan penuh kepada warga Tionghoa seperti Yap membuat Yap percaya bahwa mereka memang tidak memandang SARA dalam menunjuk seseorang. Sebenarnya Yap juga pernah ditawari Sidik untuk memegang jabatan menteri, namun ia menolaknya karena ia sibuk dengan pekerjaannya sendiri (apoteker), partai, DPR, organisasi sosial, kegiatan gereja, dan perguruan tinggi.
Gambar 2.60. Yap (Tanda “X”) dalam Rapat PNI di Surabaya Tahun 1952
(http://docplayer.info/62004000-Bab-iii-aktivitas-sosial-politik-yap-tjwan-bing-tahun.html, 2017)
Pada suatu hari, Dewan Partai PNI membahas soal sistem
nivellering (persamaan) pada sektor perdagangan antara golongan pribumi
dengan non-pribumi. Yap mengusulkan sistem nivellering tersebut dilaksanakan dengan mempercepat perdagangan golongan pribumi dan memperlambat perdagangan golongan non-pribumi agar tingkat perdagangan dari kedua golongan tersebut dapat saling bertemu di satu titik. Usul tersebut benar-benar dipertimbangkan oleh Dewan Partai dan
66 Dewan Pimpinan PNI. Setelah itu, usul Yap tersebut diterima oleh menteri perdagangan pada saat itu, Iskak Tjokrohadisuryo. Hal ini, menurut Yap, menunjukkan bahwa mereka merupakan orang-orang yang tidak mengenal diskriminasi dan sungguh-sungguh memikirkan jalan terbaik untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia (hlm. 32-37).
2.7.3.3. Menjadi Anggota DPR-RIS dan DPR-RI Kesatuan
Yap bersama Siauw Giok Tjhan (anggota KNIP yang beretnis Tionghoa juga) diangkat oleh KNIP di Yogyakarta menjadi anggota DPR-RIS di Jakarta mewakili masyarakat etnis Tionghoa. Lalu, DPR-RIS berubah menjadi DPR-RI Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950 dengan Yap tetap menjadi salah satu anggotanya.
Awalnya, Yap yang mewakili fraksi PNI ditempatkan di seksi kehakiman. Tapi, ia merasa tidak cocok dalam seksi tersebut dan akhirnya dipindahkan ke seksi keuangan yang saat itu dipimpin oleh Mr. Jusuf Wibisono dari partai Masyumi. Tugas utama dari seksi ini adalah membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebelum dibahas pada sidang DPR. Selain itu, sebagai anggota DPR seksi keuangan Yap juga mendapat tugas dari Dewan Pimpinan PNI untuk memberikan catatan pada setiap undang-undang yang akan didiskusikan pada sidang DPR untuk dipelajari oleh anggota PNI lainya.
Setiap hari Yap menghadiri sidang DPR untuk membahas rancangan undang-undang dari pemerintah serta memecahkan
67 permasalahan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Kesibukannya menjadi anggota DPR dan Dewan Pimpinan PNI membuat Yap harus menyerahkan usaha apotek dan pabrik pastilles di Bandung kepada istrinya.
Yap sering diutus Dewan Pimpinan PNI untuk mengunjungi daerah lain. Pada suatu hari, ia bersama Sarino Mangunpranoto pergi ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali untuk menjelaskan strategi PNI kepada PNI daerah serta mengetahui keinginan mereka. Yap pernah menjadi ketua sidang paripurna dalam kongres PNI yang dilaksanakan di Surabaya.
Pada tahun 1951, Yap diutus oleh Sidik (Ketua Umum PNI) pergi ke Jepang untuk observasi kemajuan industri di sana. Yap dan istrinya pun berangkat ke Jepang untuk menjalankan tugasnya serta melihat kehidupan politik dan sistem perburuhan di sana. Di sana, Yap bertemu dengan Mr. Soedjono yang merupakan Duta Besar Republik Indonesia di Jepang dan juga anggota PNI. Melihat keadaan di Jepang, Yap menilai bahwa kemajuan industri di sana sangat pesat mengingat kerugian dan kerusakan besar yang dialami Jepang saat Perang Dunia II. Menurutnya faktor utama dari kemajuan yang pesat tersebut adalah sifat rakyat Jepang yang pekerja keras, rajin, dan cerdas. Hal ini ia sampaikan kepada anggota DPR lainnya ketika ia pulang ke Indonesia. Ia berharap agar masyarakat Indonesia dapat meniru sifat pekerja keras dari masyarakat Jepang.
68 Pada tahun 1953, Yap bersama istrinya pergi ke Eropa dan Amerika Serikat untuk observasi keadaan sosial dan ekonomi di sana. Saat mereka berkunjung ke Jerman, Yap bertemu A. Maramis yang merupakan Duta Besar Republik Indonesia di Jerman sekaligus salah satu anggota PNI. Maramis menjelaskan kepada Yap bahwa pertumbuhan ekonomi di Jerman sangat pesat. Sama seperti Jepang, Jerman juga kalah dalam Perang Dunia II dan mengalami kerusakan yang besar. Setelah itu, Yap dan istrinya pergi ke Amerika Serikat untuk menghadiri Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di New York (hlm. 42-53).
2.7.4. Akhir Perjalanan Hidup Yap Tjwan Bing
Pada tahun 1963, terjadi kerusuhan anti-Tionghoa yang dilakukan oleh para mahasiswa. Musibah tersebut ternyata menimpa keluarga Yap yang saat itu tinggal di Jalan Cipaganti, Bandung. Mobil baru mereka dibakar dan bungalow mereka yang berlokasi di Jalan Lembang, Bandung juga dirusak massa. Pada saat itu, anak laki-laki Yap, Siong Hoei terkena polio myelitis selama 5 tahun dan harus berobat ke Amerika Serikat sesuai saran dokter. Awalnya Yap tidak mau pindah ke Amerika Serikat, tetapi karena khawatir putra mereka akan terkena amukan massa dan desakan istri akhirnya mereka memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat. Kepindahannya ke Amerika Serikat membuatnya harus merelakan seluruh jabatannya sebagai anggota DPR, anggota Dewan Pimpinan PNI, Dewan Kurator ITB, dan pengajar di Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran. Dan sejak saat itu, ia tidak pernah kembali lagi ke Indonesia dan menjadi warga negara Amerika Serikat (hlm. 79-80).
69 Pada akhir tahun 1976, Yap menderita serangan stroke. Kesehatannya pun semakin menurun sejak saat itu. Yap meninggal dunia pada tahun 1988 di Los Angeles, Amerika Serikat (hlm. 98-115).