KUMPULAN ABSTRAK
TESIS – DISERTASI DOKTOR
2005
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
SEKOLAH PASCASARJANA
Jl. Tamansari No. 64 Bandung 40116
Gedung CCAR lt. IV
Telp. : +6222 251 1495; Fax. : +6222 250 3659
E-mail : pasca@itb.ac.id; http://www.pps.itb.ac.id
Kata pengantar
Dengan memanjatkan puji syukur k Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, pada kesempatan ini Sekolah
Pascasarjana telah menerbitkan buku kumpulan abstrak Program Magister dan Doktor tahun
2005
Buku kumpulan abstrak tesis ini memuat abstrak tesis/disertasi dari Program Studi Magister dan
Doktor yang ada di lingkungan Sekolah Pascasarjana ITB, lulusan periode Wisuda bulan Maret,
Juli, September 2005
Penerbitan buku kumpulan abstrak tesis Sekolah Pascasarjana ITB tahun 2005 merupakan salah
satu upaya untuk menyebar luaskan informasi ilmiah yang di hasilkan dari penelitian para
mahasiswa Sekolah Pascasarjana ITB, dengan harapan dapat dimanfaatkan secara optimal oleh
masyarakat. Bagi para mahasiswa kumpulan abtrak ini dapat dipakai sebagai sumber rujukan
bagi penelitian yang akan mereka lakukan.
Kami menyampaikan ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses penerbitan buku ini. Kritik membangun dan saran-saran kami harapkan dari para pembaca
yang terhormat. Hal tersebut akan sangat berguna untuk menyempurnakan abtrak tesis yang akan
kami terbitkan kemudian.
Bandung, 15 Februari 2006
Sekolah Pascasarjana – ITB
Dekan,
Prof.Dr.Ir. Ofyar Z. Tamin, M.Sc.
NIP. 131 286 861
Sekilas Tentang Sekolah Pascasarjana Institut Teknologi Bandung
Sekolah Pascasarjana ITB menyelenggarakan pendidikan pascasarjana dalam jenjang Magister
dan Doktor. Program pendidikan Magister ini bertujuan untuk meningkatkan taraf penguasaan
ilmu dan kemampuan yang diperoleh peserta selama pendidikan Sarjana, agar lebih aktif dan
mantap berperan, baik dalam pandangan ilmunya maupun dalam penerapannya. Untuk mencapai
tujuan ini, walaupun terbuka untuk memilih salah satu bidang khusus tertentu, tetap dijaga
penguasaan wawasan program secara menyeluruh, agar para lulusannya tetap dapat bergerak
secara lincah di dalam lingkup pekerjaannya. Program pendidikan Magister yang
diselenggarakan di ITB memiliki arah orientasi bersifat akademik/ilmiah, yang lebih ditekankan
pada kemampuan ilmu secara lebih mendalam. Pendidikan Magister Profesional pada saat ini
masih dijajaki oleh beberapa team dan/atau komisi dari berbagai disiplin ilmu.
Jangka waktu pendidikan untuk program pendidikan Magister adalah dua tahun, yang terbagi atas
4 (empat) semester. Beban studi normal pada setiap semester berkisar antara 9 SKS hingga
maksimum 12 SKS. Beban akademik keseluruhan program Magister adalah adalah 36 SKS,
sehingga jangka waktu belajar dapat ditempuh dalam 3 semester. Jangka waktu studi maksimum
program Magister tidak lebih dari 3 (tiga) tahun.
Program Dktor bertujuan menghasilkan lulusan yang mempunyai sikap akademik, mampu
meneliti secara mandiri, dan mampu memberi sumbangan berarti kepada khasanah ilmu
pengetahuan, ilmu pengetahuan teknik, atau ilmu seni rupa dan desain. Penelitian yang mengarah
kepada gelar Doktor dapat dilakukan dalam Ilmu Pengetahuan Teknik, Ilmu Matematika dan
Pengetahuan Alam, Ilmu Seni Rupa dan Desain. Gelar Doktor diberikan setelah
promovendus/promovenda menunjukkan penguasaan pengetahuan secara mendalam dalam
cabang keilmuan tersebut di atas, menunjukkan kemampuan dan ketrampilan meneliti secara
mandiri dalam satu atau lebih cabang yang tercakup ke dalam salah satu bidang tersebut di atas
dan penelitian itu bersifat orisinil atau mengungkapkan suatu kebaharuan. Hasil penelitian itu
menambah khasanah ilmu pengetahuan/ilmu teknik/ilmu seni rupa/desain yang telah ada atau
mengungkapkan masalah baru yang menurut kaidah ilmu pengetahuan teknik/seni rupa dan
desain, dapat dibuktikan dalam disertasi sehingga tidak meragukan.
Jangka waktu pendidikan untuk program pendidikan Doktor adalah tiga tahun, yang terbagi atas
6 (enam) semester. Beban studi normal pada setiap semester berkisar antara 9 SKS hingga
maksimum 12 SKS. Beban akademik keseluruhan program Doktor adalah 40-60 SKS. Jangka
waktu studi maksimum program Doktor tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
Sejarah pendidikan pascasarjana ITB berjalan seiring dengan sejarah perkembangan ITB itu
sendiri, yakni sejarah didirikannya Technische Hogeschool te Bandung (Th) pada tanggal 3 Juli
1920. Tercatat bahwa lulusan pascasarjana pertama pada waktu itu adalah N.H. Van Harpen yang
memperoleh gelar Doktor bidang ilmu teknik dengan kekhususan Sipil pada tahun 1930.
Sebelumnya J.W. Ijerman memperoleh gelar Doktor honoris causa pada bidang yang sama tahun
1925.
Seiring dengan perjalanan sejarah Negara Indonesia, pada tahun 1950 didirikan Universitas
Indonesia sebagai hasil integrasi Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia (19 Agustus 1945)
dan Universiteit van Indonesia (1947) berdasarkan Undang-Undang Darurat no. 7 tahun 1950.
Institut Teknologi Bandung (ITB) diresmikan tanggal 2 Maret 1959 dan merupakan gabungan
dua fakultas yang merupakan bagian dari Universitas Indonesia yang berada di Bandung, yaitu
fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam ditambah Balai Universiter Guru
Gambar.
Pada saat masih berstatus sebagai Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam,
Universitas Indonesia, pendahulu ITB ini telah menghasilkan 17 orang Doktor dalam bidang
Teknik SIpil, Teknik Kimia, Geologi, Fisika, Farmasi, Matematika dan Kimia. Lulusan Doktor
ITB yang pertama J.A. Katili , Geologi, yang menyelesaikan studinya tahun 1960. Sejak itu
sampai tahun 2005 telah dihasilkan 404 orang Doktor, termasuk 3 orang Doktor honoris causa,
yaitu Dr.Ir. Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, Dr.Ir. Sediatmo, dan Prof.Dr.Ir.
Rooseno.
Pada tahun 1976 berdiri Sekolah Pascasarjan di Institut Teknologi Bandung, yang selanjutnya
berubah menjadi Program Pascasarjana, dan namanya kembali menjadi Sekolah Pascasarjana di
tahun 2005. Lulusan program Doktor pertama dari Sekolah Pascasarjana adalah Ir. Sri Hardjoko
yang memperoleh gelar Doktor di tahun 1979 untuk bidang studi Teknik Mesin dengan
Pembimbing/Promotor Prof.Ir. Samudro, Prof.Dr. R. Van Hasselt dan Prof.Ir. Handojo.
Program Magister di Institut Teknologi Bandung dimulai tahun 1979 dengan tiga program studi
yaitu program studi Fisika, Matematika, dan Teknik Mesin. Selanjutnya pada tahun 1980
berkembang menjadi 11 program studi karena dibuka 8 (delapan) program studi baru yaitu
program studi Arsitektur, Biologi, Elektroteknik, Farmasi, Kimia, Teknik Kimia, Teknik Sipil,
dan Teknik dan Manajemen Industri. Saat ini secara keseluruhan terdapat 33 program studi
Magister di lingkungan Sekolah Pascasarjana ITB. Sejak tahun akademik 1979/1980 hingga
bulan September 2005 Sekolah Pascasarjana ITB telah menghasilkan sebanyak 12.714 lulusan
program Magister (S2) dari berbagai program studi.
DAFTAR ISI
Kata pengantar dari Dekan Sekolah Pascasarjana ITB
I
Pendahuluan
II
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
• Program Studi Matematika
01
-
45
• Program Studi Fisika
46
-
97
• Program Studi Kimia
98
-
132
• Program Studi Aktuaria
133
-
143
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati
• Program Studi Biologi
144
-
190
Sekolah Farmasi
• Program Studi Farmasi
191
-
241
Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral
• Program Studi Geologi
242
-
279
• Program Studi Rekayasa Pertambangan
280
-
316
• Program Studi Perminyakan
317
-
364
• Program Studi Geofisika Terapan
365
-
376
• Program Studi Sains Kebumian
377
-
393
Fakultas Teknologi Industri
• Program Studi Teknik Kimia
394
-
441
• Program Studi Teknik Mesin
442
-
469
• Program Studi Teknik Fisika
470
-
488
• Program Studi Teknik Manajemen dan Industri
489
-
576
Sekolah Teknik Elektro dan Informatika
• Program Studi Teknik Elektro
584
-
701
• Program Studi Informatika
702
-
812
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
• Program Studi Pembangunan
813
-
856
• Program Studi Transportasi
857
-
868
• Program Studi Arsitektur
869
-
963
• Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota
964
-
1061
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan
• Program Studi Teknik Sipil
1062 -
1202
• Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika
1203 -
1257
• Program Studi Teknik Lingkungan
1258 -
1297
• Program Studi Sistem dan Teknik Jalan Raya
1298 -
1353
Fakultas Seni Rupa dan Desain
• Program Studi Seni Rupa
1354 -
1384
• Program Studi Desain
1385 -
1411
Sekolah Bisnis dan Manajemen
Kumpulan Abstrak
Kimia - FMIPA
105
Bunbun Bundjali – NIM. 30599009
Program Studi Kimia
PERILAKU DAN INHIBISI KOROSI BAJA KARBON DALAM LARUTAN
BUFFER ASETAT, BIKARBONAT - CO
2Aliran minyak minyak bumi dan gas alam mentah selain mengandung air, juga dapat mengandung CO2,
asam-asam organik (misalnya asam asetat), serta senyawa sulfida, dan garam-garam klorida yang bersifat
korosif terhadap bagian dalam pipa baja karbon penyalurnya. Daya korosi CO2 terhadap baja karbon
diketahui berbanding lurus dengan tekanan parsial CO2, tetapi ternyata korosi terlokalisasi jenis sumuran
akibat CO2 bertekanan tinggi, terjadi pula pada lingkungan CO2 bertekanan rendah yang mengandung
asam asetat bebas dan / atau ion asetat.
Penelitian ini mempelajari saling pengaruh antara kandungan asam asetat, natrium asetat dan natrium
bikarbonat – CO2 jenuh terhadap korosi baja karbon dalam larutan berair pada suhu 25 – 85°C, rentang
suhu yang masih mudah ditangani di laboratorium. Perilaku elektrokimia korosi baja karbon dalam larutan buffer asetat dipetakan berupa diagram potensial – pH berdasarkan hasil pengukuran potensiodinamik. Diagram potensial – pH yang dihasilkan memiliki kemiripan dengan bagian diagram Pourbaix pada rentang pH 3,2 – 9,0. Analisis kurva polarisasi potensiodinamik korosi baja karbon dalam larutan buffer asetat, natrium bikarbonat – CO2 jenuh memperlihatkan sifat aktif – pasif yang dipengaruhi oleh pH dan suhu. Baik natrium asetat maupun natrium bikarbonat memberi efek menaikkan pH dan
memfasilitasi pembentukan lapisan pasif, sedangkan bubbling CO2 menyebabkan peningkatan laju korosi
baja karbon sebagai dampak dari penurunan pH dan potensial korosi sumuran yang merusak lapisan pasif. Karena hampir semua kerusakan pada bagian dalam jaringan pipa disebabkan oleh korosi lokal jenis sumuran, maka telah diselidiki kondisi yang memungkinkan terjadinya korosi jenis sumuran tersebut pada baja karbon dalam larutan uji buffer asetat dengan variasi pH 3,8; 4,1; 5,1 dan 6,1, larutan 0,2 M natrium asetat dan larutan 3% NaCl, yang semuanya mengandung 100 mg/L natrium bikarbonat dan jenuh CO2. Pada penelitian ini, laju korosi ditentukan baik dengan cara elektrokimia maupun dengan cara
corrosion wheel test dan corrosion bubble test, morfologi permukaan diamati dengan mikroskop elektron (SEM)
dan mikroskop optik metalografi, sedangkan kerusakan permukaan dan struktur kisi baja karbon terkorosi diikuti dengan pengamatan pola difraksi sinar-X (XRD).
Hasil penentuan laju korosi secara elektrokimia pada suhu 65°C, menunjukkan bahwa daerah rentang pH 3,2 - 5,5 larutan buffer asetat adalah kondisi korosi dengan laju tinggi. Hasil corrosion wheel test menunjukkan bahwa pada pH > 5,5, laju korosi berkurang akibat terbentuknya hasil korosi berupa lapisan besi karbonat. Lapisan pelindung tersebut tidak dapat terbentuk atau melarut kembali pada pH < 5, karena
pada pH 3,8 — 4,1 dengan kupon baja karbon statik serta pengaliran CO2 secara terus menerus, baja
karbon mengalami korosi jenis sumuran. Jumlah lubang dan parahnya korosi yang terjadi, sebanding dengan lamanya perendaman kupon. Gabungan pengamatan elektron mikroskop, SEM, dan teknik spektroskopi dispersif energi sinar—X, EDS, menunjukkan komposisi lapisan hasil korosi yang bervariasi tergantung kedalaman lapisan dan dipengaruhi oleh pH larutan uji. Analisis XRD terhadap kupon baja karbon, sesudah 72 jam corrosion wheel test dalam larutan pH 3,8 buffer asam asetat, natrium
bikarbonat-CO2 pada suhu 65°C, menunjukkan bahwa lapisan hasil korosi yang teridentifikasi adalah besi
hidroksi karbonat, Fe2(OH)2CO3, dan besi oksida asetat hidroksida monohidrat (C2H6Fe2O6.H2O). Pola
difraksi sinar—X baja karbon yang terkorosi dalam semua larutan uji di atas, memperlihatkan pengurangan intensitas relatif pada bidang kisi (110) dan (200) serta peningkatan pada bidang kisi (211). Besarnya penurunan intensitas difraksi sinar-X ini meningkat dengan bertambahnya persentase pengurangan berat kupon baja karbon terkorosi. Hal ini menunjukkan terjadinya pelarutan selektif atom-atom besi yang terletak pada kedua bidang kisi tersebut.
Kimia – FMIPA
Kumpulan Abstrak
Pelarutan selektif ini diduga disebabkan karena bidang kisi (211) memiliki persentase keterisian atom besi terkecil di antara ketiga bidang kisi itu, maka permukaan bidang tersebut berpeluang terbesar untuk disisipi atom karbon yang akan memberikan efek perlindungan terhadap atom besi-nya untuk tidak melarut. Walaupun proses korosi dimulai dari fasa permukaan, ternyata pola difraksi sinar-X dari ketiga bidang kisi tersebut dapat dijadikan indikator korosi pada baja karbon, karena itu kinerja suatu inhibitor korosi dapat dilihat dari kemampuannya dalam mempertahankan pola difraksi baja karbon semula. Pola spektrum hamburan Raman baja karbon yang terlindungi oleh inhibitor korosi yang baik juga hampir tidak mengalami perubahan dari spektrum baja karbon semula.
Urutan kinerja inhibitor untuk menangkal korosi sumuran pada baja karbon dalam lingkungan larutan pH 4 buffer asetat, bikarbonat – CO2 jenuh pads suhu 85°C adalah inhibitor korosi komersial, IKK > oleil hidroksi etil imidazolin, OHEI > anhidrida n-heksa-desil suksinat, An-HDS > monoalkil fosfat, MAP. Kinerja inhibitor ini sangat mungkin terkait dengan struktur dan muatan molekul inhibitor serta energetika proses adsorpsinya pada permukaan baja karbon. Inhibitor MAP dan An-HDS bersifat anionik, teradsorpsi pada permukaan baja karbon karena membentuk semacam ikatan sepit dengan kation besi. OHEI bersifat kationik, dan IKK kemungkinan besar berupa campuran surfaktan yang bersifat amfolitik, karena dapat berfungsi sebagai inhibitor korosi baik pada pH rendah, maupun pada pH tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran tegangan permukaan larutan pH 4 buffer asetat pada suhu 25°C dan 45°C dengan variasi konsentrasi OHEI dibandingkan dengan bentuk spektra EIS–nya, dapat disimpulkan bahwa konsentrasi kritis misel OHEI dalam larutan pH 4 buffer asetat pada suhu 25°C adalah sekitar 10 ppm. Konsentrasi kritis misel An-HDS dalam larutan tersebut meningkat dengan kenaikan suhu, karena energi adsorpsinya bersifat endoterm, maka kenaikan suhu tersebut akan menyebabkan semakin banyak molekul An-HDS yang teradsorpsi pada permukaan baja karbon dan agitasi termal pada umumnya akan mempersukar pembentukan misel. Perubahan bentuk spektra EIS pada pertambahan konsentrasi surfaktan dapat dijadikan indikator untuk menentukan konsentrasi kritis misel.
Kata kunci: asam asetat, bikarbonat, CO2, EDS, EIS, inhibisi, korosi baja karbon, korosi lokal sumuran, mikrostruktur, potensiodinamik, SEM, spektroskopi Raman, XRD.
CORROSION BEHAVIOUR AND INHIBITION OF CARBON STEEL IN AQUEOUS
ACETATE BUFFER, BICARBONATE-CO
2SOLUTIONS
Crude oil and gas production which are transported from its origin through carbon steel pipelines besides
water, also contain CO2, organic acid (e.g. acetic acid), sulphides and chlorides, causing an internal
corrosion against the carbon steel. The CO2 corrosiveness is linearly dependent upon its partial pressure,
but obviously, pitting corrosion which seems to be caused by high pressure of CO2, is also found at lower
pressures in the presence of acetate ion and/or free acetic acid.
To understand the interrelation among the content of acetic acid, sodium acetate and sodium bicarbonate
saturated CO2 against carbon steel corrosion and its inhibition in aqueous environment at 25 – 85°C, it is
needed to study the electrochemical behaviour of molecular – ions species and their interaction on carbon steel / solution interface. The first stage of this work is to construct corrosion behaviour of carbon steel in acetic acid – acetate ion solution, as a potential – pH diagram base on the potentiodynamic measurement. The resulting potential – pH diagram has look like seem with the Pourbaix diagram within of the pH range of 3.2 – 9.0. Analyses toward potentiodynamic polarization curves of carbon steel corrosion in a CO2 saturated, acetate buffered sodium bicarbonate solution have revealed a corrosion active-passive
Kumpulan Abstrak
Kimia - FMIPA
107
Either sodium acetate or sodium bicarbonate gives rise to increase in pH and facilitates the formation of passive film. Whereas CO2 bubbling into the both solutions lead to the increase in carbon steel corrosion rates as a result of decrease in pH and pitting corrosion potential, which destroy the passive film.
Because almost all internal pipelines failure due to local pitting corrosion, therefore this work has investigate conditions which allow pitting corrosion of carbon steel in acetate buffered test solution of pH 3.8, 4.1, 5.1 and 6.1, 0.2 M NaOAc and standard brine solutions, all of which contains 100 mg/L sodium bicarbonate and saturated with CO2. Corrosion rates is determined by corrosion wheel and corrosion bubble tests, while surface morphology is observed with electron microscope (SEM) and metallographic optical microscope, whereas surface deterioration as well as corroded lattice structure of the steel is monitored through measurement of X-Ray Diffraction (XRD) pattern.
Results on corrosion rates determination by means of electrochemical methods at 65°C, demonstrate that pH range of 3.2 – 5.5 of the acetate buffered solution is the region within which the corrosion rates are high. Corrosion wheel test results indicate that at pH > 5.5 corrosion rates decrease as a result of the formation of corrosion products in the form of iron carbonate film. The protective film probably could not form or redisolve at pH < 5, therefore at pH 3.8 – 4.1 static coupon of carbon steel in bubble corrosion test undergo pitting corrosion. Number of pit and corrosion seriousness that occurred were proportional to the length of immersion time.
Combined observation by using electron microscopic, SEM, and X-ray energy dispersive spectroscopic, EDS techniques, reveal that the composition of the corrosion products film varies with respect to depth and influenced by the pH of associated test solution. XRD analyses toward carbon steel coupons after
having 72 hours exposure to pH 3.8 acetic acid buffered, CO2 saturated sodium bicarbonate solution at
65°C during the corrosion wheel tests, identifies that the corrosion product film is composed of iron
hydroxyl carbonate, Fe2(OH)2C O3, and iron oxide acetate hydroxide monohydrate (C2H6Fe2O.6H2O).
The whole X-ray Diffraction Patterns of corroded carbon steel in any of the above tset solutions exhibit a decrease in relative intensity of 110 and 200 lattice plane and increase in the 211 lattice plane. The extent of the decrease in the diffracted X-ray intensities increase with the increase in the percentage of corroded carbon steel coupon weight loss. This might reflect a selective dissolution of iron atoms situated in both lattice planes. It is suspected that this observation is due to the fact that 211 lattice plane has the smallest percentage of atomic occupancy among the three, thus it might have the greatest chance to be inserted with carbon atoms which in turn giving protective effect toward iron atoms against further dissolution. Although, corrosion process starts from the surface phases, this experiment revealed that X-ray diffraction pattern of the three lattice planes could be employed as some sort of carbon steel corrosion indicator. Consequently, corrosion inhibitor performance could be deduced from its ability to maintain diffraction pattern of the initial carbon steel specimen.
The inhibition performance of the inhibitors that are tested to minimize carbon steel pitting corrosion in pH of 4.1 of acetate buffer solution, bicarbonate – saturated with CO2, at 85°C was commercial corrosion inhibitor, IKK > oleyl hydroxyl ethyl imidazoline, OHEI > n-hexadecyl succinic anhydride, n-HDSA > monoalkyl phosphate, MAP. The inhibitors performance probably related to their structure and the charge of inhibitors molecular and the energetic of its adsorption process on to surface of carbon steel. MAP and n-HDSA were anionic inhibitors, adsorpted on the carbon steel surfaces due to chelat bonding like formation with iron cation. OHEI has cationic inhibitor, and IKK was a surfactant mixture which has ampholitic moiety smel it could be as corrosion inhibitor in acid as well as alldine solution.
Keywords : Acetic acid, bicarbonate, CO2, EDS, EIS, inhibition, carbon steel corrosion, pitting corrosion, microstructure, potentiodynamic, SEM, Raman spectroscopy, XRD.