• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK CLEAT BATUBARA TERHADAP INTENSITAS STRUKTUR PADA DESA MERAPI TIMUR, KABUPATEN LAHAT DI FORMASI MUARA ENIM, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK CLEAT BATUBARA TERHADAP INTENSITAS STRUKTUR PADA DESA MERAPI TIMUR, KABUPATEN LAHAT DI FORMASI MUARA ENIM, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

211

KARAKTERISTIK CLEAT BATUBARA TERHADAP INTENSITAS STRUKTUR

PADA DESA MERAPI TIMUR, KABUPATEN LAHAT DI FORMASI MUARA

ENIM, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

Avi Krestanu* Muhammad Iqbal

R Edo Fernando Herawati Mitra Puadi

Program Studi Teknik Geologi, Universitas Sriwijaya, Palembang *Corresponding author : avikrestanu25@gmail.com

SARI

Proses pembentukan batubara pada setiap seam dalam suatu formasi akan mengalami proses geologi yang berbeda-beda. Secara umum, dalam batubara terdapat rekahan (cleat) yang dapat menunjukan sejarah geologi pada masa lampau. Pengaruh proses geologi terhadap cleat di batubara dapat diakibatkan oleh kontrol struktur maupun proses sedimentasi yang berlangsung. Secara khusus, cleat yang terbentuk memiliki karakteristik berbeda. Pengaruh kontrol struktur dicirikan dengan nilai aperture relatif besar dan spacing relatif lebih kecil digolongkan kedalam exogenic cleat. Sedangkan pengaruh sedimentasi (burrial) dengan nilai aperture relatif kecil serta spacing relatif lebih besar digolongkan sebagai endogenic cleat. Penelitian dilakukan agar mengetahui proses serta sejarah geologi pada masing-masing seam di Formasi Muara Enim. Metode penelitian dilakukan dengan metode deskriptif yang dilakukan dengan pengamatan lapangan serta dilanjutkan dengan melakukan analisis hasil dari data lapangan. Berdasarkan hasil dari analisa cleat sudah dibagi menjadi beberapa seam diantaranya adalah seam 1A, 2A, 3A, dan 4A. Nilai aperture serta spacing pada seam 1A adalah 0,1 cm-19,5 cm, nilai 2A 0,1 cm-9 cm, nilai pada seam 3A 0,01 cm-7,3 cm, serta seam 4A 0,1 cm-3,5 cm. Selain itu, tebal lapisan batubara pada seam 1A adalah 14 m, seam 2A 20 m, seam 3A 7,08 m, seam 4A 4,30 m. Kemudian, arah tegasan maksimum pembentuk struktur mayor adalah 350°-360° terbentuk pada Miocene-Recent sehingga membentuk beberapa patahan pada Cekungan Sumatera Selatan.

Kata kunci : cleat, spacing, aperture, kontrol struktur.

I.

PENDAHULUAN

Batubara merupakan batuan sedimen organik yang mengalami proses peatification serta coalification dengan berbagai variasi dari penyusunnya berupa carbon, hidrogen, nitrogen, oksigen, dan sulfur serta beberapa unsur lainnya (van Krevelen, 1961., Gluskoster, 1975., Speight, 1994., ASTM D-121, dalam Speight, 2005). Salah satu Cekungan sedimen terbesar di Indonesia merupakan Cekungan Sumatera Selatan sehingga keterdapatan batubara pada cekungan ini relatif besar. Sedimentasi di Cekungan Sumatera Selatan telah mengalami beberapa fase seperti fase regresi yang terjadi pada Formasi Muara Enim sehingga

keterdapatan batubara pada formasi tersebut relatif besar.

Cleat yang terbentuk berupa rekahan terjadi hampir disemua lapisan batubara sehingga dapat mengetahui kontrol stabilitas struktur yang terjadi pada batubara (Mammat, 1834., Milne, 1839., dikutip dari Kendall dan Briggs, 1933, dalam Laubach et al. 1997). Cleat merupakan rekahan yang biasanya terdapat dua lapisan yang membentuk secara tegak lurus (butt cleat) maupun sejajar dengan lapisan (face cleat) (Laubach et al. 1997). Kondisi cleat yang terbentuk sama halnya seperti rekahan (fracture) yang terbentuk pada batuan lainnya, selain itu cleat pada lapisan batubara permukaan umumnya akan terbentuk

(2)

212 aperture kurang lebih sekitar 1 mm (Dron,

1925., Kendall dan Briggs, 1993., Williamson, 1967., McCulloch et al. 1974, 1976., Ting, 1977., Campbell, 1979., Kulander dan Dean, 1990., Laubach et al. 1992, dalam Laubach et al. 1997).

Perbedaaan cleat batubara dengan kekar pada batuan beku dapat diketahui dari proses diagenesanya. Pada batubara cleat terbentuk selama ataupun pada saat batubara mengalami pengendapan seperti terjadinya proses dewatering. Apabila kekar yang terdapat pada batuan beku terjadi setelah batuan tersebut terbentuk dan mengalami proses deformasi.

Secara geografis, Penelitian berada di daerah Kabupaten Lahat, Merapi Timur, Provinsi Sumatera Selatan. Secara geologi, penelitian berfokus pada lapisan batubara yang masuk dalam Formasi Muara Enim Cekungan Sumatera Selatan.

Penelitian dilakukan untuk mengetahui perbedaan besaran kontrol struktur yang dapat diamati dari cleat yang terbentuk pada masing-masing lapisan batubara. Daerah penelitian terdapat 4 lapisan batubara yang memiliki karakteristik cleat yang berbeda.

II.

KONDISI GEOLOGI REGIONAL

II.1. Tektonik Cekungan Sumatera Selatan

Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan belakang busur (Back-arc basin) yang terbentuk oleh tiga fase tektonik utama, fase pertama merupakan ekstensional selama Paleosen Akhir sampai Miosen Awal membentuk graben mengarah ke utara yang diisi endapan Eosen sampai Miosen awal, fase kedua yaitu sesar normal dari Miosen Awal sampai Pliosen Awal, fase ketiga merupakan kompresional yang melibatkan batuan dasar, inversi cekungan, dan pembalikan sesar normal pada Pliosen (Davies, 1984 dalam Sudarmono, 1977).

Menurut Pulunggono (1992), pola yang hadir pada pembentukan Cekungan Sumatera Selatan diantaranya pola musi, pola lematang,

pola kepayang, pola saka, dan Lampung Selatan yang terbentuk pada Jura-Kapur Akhir. Pola Musi dan Pola Lematang memiliki struktur yang berarah N300°E sebagai sesar geser menganan yang aktif pada Jura Awal-Kapur Akhir. Pola Lematang yang berarah W-N-W sampai E-S- E dan sesar mendatar yang berarah Utara- Selatan pada Pra-Tersier yang diindikasikan sebagai adanya sesar normal pada Cekungan Sumatera Selatan dan juga sebagai penanda dimulainya pembentukan dan perkembangan cekungan pada Zaman Tersier.

Formasi Muara Enim pada daerah penelitian pada saat pembentukannya termasuk kedalam fase kedua yang dipengaruhi oleh kontrol struktur sesar normal sehingga menghasilkan karakteristik geometri batubara lapisan miring.

II.2. Stratigrafi Regional

Formasi Muara Enim disebut juga sebagai Formasi Palembang Tengah. Formasi Muara Enim terdiri dari batulempung, serpih, batupasir yang dengan komposisi mineral glaukonit dan batubara. Tersusun atas perselingan antara batupasir tufan dengan batulempung tufan, perselingan batupasir kuarsa dan batulempung kuarsa, bersisipan batubara dan oksida besi. Formasi ini berumur Miosen Akhir sampai Pliosen, berdasarkan kedudukan stratigrafinya. Menurut Shell (1978) dalam Sumaatdja (2001) batubara Formasi Muara Enim dibagi menjadi empat zona, diantaranya:

Anggota M1

Merupakan perulangan batupasir, batulanau, lempung dengan sisipan batubara. Batupasir berwarna abu-abu sampai abu-abu kecoklatan, berbutir halus hingga sedang, kompak, terpilah baik, dengan dominan fragmen kuarsa. Perselingan lempung dan batupasir, berwarna abu-abu, terdapat nodul-nodul gamping, coklat terang, keras. Sedangkan batulanau berwarna abu-abu, kompak, umumnya berselingan dengan batu lempung. Batubara dijumpai dua lapisan dengan ketebalan antara 0,5 m sampai 1 m.

(3)

213 Anggota M2

Merupakan satuan batuan yang terdiri atas batulempung, batulempung karbonan, batupasir, batulanau dan batubara. Batulempung umumnya berwarna abu-abu gelap, masif, sering ditemukan struktur sedimen laminasi paralel, jejak tumbuhan serta fragmen batubara. Batulempung karbonan, berwarna abu-abu kecoklatan, umumnya agak lunak dan biasanya bertindak sebagai batuan pengapit batubara. Batu pasir berwarna abu-abu terang sampai abu-abu kehijauan, berbutir halus sampai sedang, membulat sedang, terpilah buruk, mudah terurai, fragmen kuarsa dominan. Batu lanau berwarna abu- abu kehijauan hingga abu-abu kecoklatan, kompak, umumnya ditemukan struktur sedimen laminasi paralel. Batubara yang ditemukan pada anggota M2 ini berjumlah tiga lapisan dengan tebal antara 0,3 m sampai 6,6 m

Anggota M3

Merupakan satuan batuan yang terdiri atas batupasir, batulanau, batulempung, dan batubara. Batupasir berwarna abu-abu, berbutir halus, terpilah baik, mineral kuarsa dominan. Batulanau, abu-abu terang kehijauan sampai kecoklatan, kompak, struktur sedimen laminasi paralel, mengandung jejak tumbuhan. Batulempung berwarna abu-abu kecoklatan, kompak, masif, banyak dijumpai jejak tumbuhan. Batubara yang ditemukan dua lapisan dengan tebal antara 1,0 m sampai 8,1 m.

Anggota M4

Terdiri atas batupasir, batulanau, batulempung, dan batubara. Batupasir berwarna abu-abu terang, berbutir halus, terpilah baik, tufan dan mineral kuarsa banyak dijumpai. Batulanau, abu-abu terang, kompak, mengandung jejak tumbuhan, struktur tumbuhan, struktur sedimen laminasi paralel. Batulempung berwarna abu-abu, kecokelatan, lunak, kompak, struktur sedimen laminasi, paralel dan jejak tumbuhan banyak ditemukan. Batubara pada

anggota M4 ditemukan dua lapisan dengan ketebalan berkisar antara 1,0 m sampai 3,7 m.

III.

METODE PENELITIAN

Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengukuran pada zona-zona singkapan batubara. Data yang didapatkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer mencakup kedudukan batuan, dan pengukuran cleat berupa spacing dan aperture pada face cleat dan butt cleat. Sedangkan data tambahan berupa peta topografi daerah penelitian. Kajian ini bermaksud untuk membandingkan intensitas cleat pada masing-masing seam batubara tegasan umum yang dipengaruhi dari struktur geologi pada singkapan batubara.

Pengolahan data analisis kontrol struktur dilakukan dengan pemodelan arah tegasan umum diwujudkan dalam bentuk rose diagram. Sedangkan analisis quantitative cleat dengan membandingan data orientasi, spacing dan aperture cleat pada masing- masing outcrop seam batubara.

IV.

DATA DAN ANALISIS

Daerah penelitian termasuk kedalam Formasi Muara Enim seam M2, Cekungan Sumatera Selatan yang terbentuk pada Late Miocene-Early Pliocene. Wilayah ini dipengaruhi oleh kontrol struktur sesar yang mempengaruhi pembentukan fracture pada lapisan batubara.

Analisa cleat yang diambil dari data singkapan (outcrop) dilakukan dalam 4 titik lokasi pengamatan (gambar 1). Pengambilan data cleat difokuskan pada outcrop seam 1A, seam 2A, seam 3A dan seam 4A. Dari keempat lokasi pengambilan data, karakteristik arah tegasan maksimum pada masing-masing seam berbeda. Dari data analisa tersebut didapatkan hasil berupa:

1. Lokasi seam 1A memiliki orientasi umum pada face cleat N 355°E dan butt cleat N 295°E dengan tegasan maksimum berada di N 240°E dan tegasan minimum N 70°E. Dari hasil tersebut dapat diasumsikan bahwa fase cleat yang terbentuk pada seam 1A

(4)

214 merupakan fase eksogenic dengan arah

tegasan maksimum mengikuti pola tektonik regional Cekungan Sumatera Selatan pada orde pertama(gambar 2). 2. Lokasi seam 2A orientasi umum yang

didapatkan dari analisa face cleat adalah N 25°E dan butt cleat N 275°E dengan arah tegasan maksimum pada N 30°E diikuti oleh tegasan minimum N 300°E. Fase pada seam 2A dikategorikan sebagai fase endogenic cleat (gambar 3). 3. Lokasi seam 3A memiliki arah orientasi

umum pada face cleat N 85°E dan butt cleat N 75°E dengan arah tegasan maksimum N 80°E dan tegasan minimum N 280°E. Dari hasil tersebut dapat dikategorikan bahwa fase pembentukan cleat yang terbentuk pada seam 3A merupakan fase endogenic, hal ini dapat dilihat bahwa tegasan maksimum mengikuti pola tektonik regional Cekungan Sumatera Selatan pada orde ketiga (gambar 4).

4. Lokasi seam 4A orientasi umum yang didapatkan dari analisa face cleat adalah N 355°E dan butt cleat N 335°E dengan arah tegasan maksimum pada N 345°E diikuti oleh tegasan minimum N 75°E. Fase pada seam 4A dikategorikan sebagai fase eksogenic cleat (gambar 5).

Selain itu, data analisa cleat yang telah ditunjukan dengan arah tegasan maksimum agar dapat mengetahui orientasi cleat yang terbentuk telah didukung juga dengan data orientasi cleat berupa spacing dan aperture (tabel 1). Secara umum, bidang cleat yang terbentuk pada keempat seam batubara dominan berarah SW-NE. Aperture yang terbentuk memiliki rentang relatif 0,1 cm-0,2 cm dengan pengisi amber serta mineral pirit.

V.

DISKUSI

Kondisi geologi lokal yang berperan pada saat pembentukan aperture serta spacing di masing-masing lapisan batubara akan tergambarkan pada grafik dengan nilai kuantitatif yang mendukungnya. Seam A1 menghasilkan data korelasi aperture serta spacing bernilai 0,2144 cm. Dari nilai korelasi maka kontrol struktur geologi lokal

yang terjadi tidak signifikan. grafik (gambar 6) menjelaskan bahwa spacing relatif dominan berada pada rentang bagian atas sehingga dapat dikategorikan kontrol struktur geologi yang terjadi belum dominan. Seam 2A nilai korelasi pada aperture serta spacing seam A2 lebih besar bila dibandingkan dengan seam lainnya yaitu 0,3524 cm, hal ini dapat diasumsikan bahwa aperture serta spacing yang terbentuk dipengaruhi oleh struktur geologi sangat signifikan. Grafik seam A2 (gambar 7) menggambarkan bahwa nilai aperture serta spacing relatif lebih dominan pada bagian bawah dengan nilai x rata-rata dibawah 4 sehingga dapat dikategorikan pembentukan cleat pada seam 2A dipengaruhi oleh kontrol struktur geologi lokal relatif besar. Data korelasi aperture dan spacing seam 3A bernilai 0,2599 cm lebih rendah bila dibandingkan dengan seam 2A membuktikan bahwa kontrol struktur geologi lokal yang berperan pada lapisan ini relatif stabil. Grafik aperture serta spacing dominan pada bagian tengah (gambar 8). Kondisi pada seam 4A menunjukan data korelasi aperture serta spacing 0,2626 cm. Grafik aperture serta spacing relatif kearah dari atas sampai bawah sehinga dapat diasumsikan bahwa kejadian tektonik lokal yang terjadi pada seam 4A sudah mulai mengalami peningkatan (gambar 9).

VI.

KESIMPULAN

1. Apabila tegasan maksimum berada di NW-SE orde pertama tektonik Cekungan Sumatera Selatan, maka cleat yang terbentuk termasuk eksogenic cleat. 2. Tegasan maksimum berada di NE-SW

orde ketiga tektonik Cekungan Sumatera Selatan, maka cleat yang terbentuk termasuk endogenic cleat.

3. Semakin besar nilai kuantitatif dari data korelasi aperture serta spacing, maka kejadian tektonik pada seam tersebut semakin besar.

4. Kejadian tektonik lokal yang paling besar terjadi pada seam A2.

5. Kejadian tektonik lokal yang tidak signifikan terjadi pada seam A1 dengan

(5)

215 data korelasi aperture serta spacing

0,2144 cm.

6. Grafik aperture serta spacing apabila dominan pada bagian bawah, maka kejadian tektonik lokal terjadi signifikan.

VII.

ACKNOWLEDGEMENT

1. Kepada seluruh civitas akademika Program Studi Teknik Geologi, Universitas Sriwijaya.

2. Kepada Bapak Steve Nalendra ST., MT.

DAFTAR PUSTAKA

Laubach, S. E., Marret, R. A., Olson, J. E., Scott, A. R., 1998. Characteristics and origins of coal cleat: A review. International Journal of Coal Geology 35 (1998) 175-207.

Speight, James. G., 2005. Handbook of coal analysis. John Wiley & Sons, Chichester, West Sussex; Hoboken, NJ, 238 p.

Sudarmono,. T, Suherman., Eza, Benny., 1997. Paleogene basin development in sundaland an itd role to time petroleum system in Western Indonesia. Petroleum system of SE Asia and Australia conference, May 1997. IPA 97-OR-38.

Sumaatmadja, Eddy. R., Iskandar., 2011. Penyelidikan batubara bersistem dalam Cekungan Sumatera Selatan di Daerah Nibung dan Sekitarnya, Batangharileko dan Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan. Doc player info. 286440.

Pulunggono, A., S, Agus Haryo., Kosuma, Christine. G., 1992. Pre-tertiary and tertiary fault system as a framework of the South Sumatra Basin: A study of SAR-MAPS. Proceedings Indonesian Petroleum Associations Twenty First Annual Convention, IPA 92-11. 37.

(6)

216

TABEL

Tabel 1. Perbandingan variasi cleat pada masing-masing seam

GAMBAR

(7)

217

Gambar 2. Diagram Roset Seam 1A Gambar 3. Diagram Roset Seam 2A

(8)

218

Gambar 5. Grafik Korelasi Aperture dan Spacing Seam 1A

(9)

219

Gambar 7. Grafik Korelasi Aperture dan Spacing Seam 3A

Gambar

Gambar 1. Lokasi Penelitian dan Pengamatan Cleat
Gambar 3. Diagram Roset Seam 3A                        Gambar 4. Diagram Roset Seam
Gambar 5. Grafik Korelasi Aperture dan Spacing Seam 1A
Gambar 7. Grafik Korelasi Aperture dan Spacing Seam 3A

Referensi

Dokumen terkait

Kontrak perencanaan teknis jalan tol antara Badan Usaha Jalan Tol dan konsultan peren- cana mengandung prestasi yang mengandung unsur publik yang merupakan bagian

Disediakan permasalahan, peserta didik dapat menuliskan pemecahan masalah terkait dengan algoritma pemrograman menggunakan pseudocode atau bahasa bayi

Manajer Investasi dapat menghitung sendiri Nilai Pasar Wajar dari Efek tersebut dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab berdasarkan metode yang menggunakan asas konservatif

Liwariz Darta Pratama 100519-000042 Jakarta Timur Sudarwis 3.00.01 alat/peralatan/suku cadang : tulis dan barang cetakan 3.00.04 alat/peralatan/suku cadang : mekanikal

Evaluasi Proyek, juga dikenal sebagai studi kelayakan proyek (atau studi kelayakan bisnis Evaluasi Proyek, juga dikenal sebagai studi kelayakan proyek (atau studi kelayakan bisnis pada

struktured query language (SQL) retreival database dengan perbandingan database management system (DBMS) oracle dan MySQL, agar dapat mempercepat proses

Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes simpleks virus (HSV) tipe I atau tipe II yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab

Di akhir tahun ajaran kepala sekolah, dewan guru dan staf akan menyusun laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan sekolah selama satu tahun, yang disebut sebagai