• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSTRUKSIA JURNAL VOLUME 6 NOMOR 1 DESEMBER 2014 ISSN DI PELABUHAN TANJUNG PRIOK JAKARTA Davit Fikri / Heri Khoeri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSTRUKSIA JURNAL VOLUME 6 NOMOR 1 DESEMBER 2014 ISSN DI PELABUHAN TANJUNG PRIOK JAKARTA Davit Fikri / Heri Khoeri"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL

KONSTRUKSIA

VOLUME 6 NOMOR 1

PERAN PENILAI AHLI DALAM PENANGANAN KEGAGALAN KONSTRUKSI (MENURUT

STUDI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB

Deden Matri Wirabakti / Rahman Abdullah /

CUTTER SUCTION DREDGER DAN JENIS MATERIAL (PADA PEKERJAAN CAPITAL DREDGING PEMBANGUNGAN PELABUHAN TELUK LAMONGAN)

PERBANDINGAN PELAKSANAAN DINDING PRECAST DENGAN DINDING PERBANDINGAN PELAKSANAAN DINDING PRECAST DENGAN DINDING KONVENSIONAL DITINJAU DARI SEGI WAKTU & BIAYA

ANALISIS BANGUNAN ASIMETRIS

Syano

ANALISIS PERBANDINGAN PELAT

DI

BETON NORMAL

EVALUASI PENGGUNAAN DINDING

BERKOHESI RENDAH TERHADAP

TEKNIK SIPIL – UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

KONSTRUKSIA

DESEMBER 2014

PENANGANAN KEGAGALAN BANGUNAN DAN MENURUT UU NO 18 TAHUN 1999 JO PP 29 TAHUN 2000)

Sarwono Hardjomuljadi

PENYEBAB KETERLAMBATAN PROYEK KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG

/ Rahman Abdullah / Andi Maddeppungeng

CUTTER SUCTION DREDGER DAN JENIS MATERIAL (PADA PEKERJAAN CAPITAL DREDGING PEMBANGUNGAN PELABUHAN TELUK LAMONGAN)

Juris Mahendra

PERBANDINGAN PELAKSANAAN DINDING PRECAST DENGAN DINDING PERBANDINGAN PELAKSANAAN DINDING PRECAST DENGAN DINDING KONVENSIONAL DITINJAU DARI SEGI WAKTU & BIAYA

Yulistianingsih / Trijeti

ASIMETRIS TERHADAP TINJAUAN DELATASI AKIBAT GAYA HORIZONTAL

Syano Verdio Juvientrian / Hidayat Mughnie

PELAT LANTAI DERMAGA 209 DAN 209 L

DI PELABUHAN TANJUNG PRIOK JAKARTA

Davit Fikri / Heri Khoeri

NORMAL DENGAN MENGGUNAKAN BAN BEKAS

SEBAGAI PENGGANTI AGREGAT KASAR

Moh. Ainun Najib / Nadia

DINDING PENAHAN TANAH PADA TANAH

TERHADAP PENAMBAHAN SOLDIER PILE

Gilang Aditya / Tanjung Rahayu

(2)

JURNAL

KONSTRUKSIA

REDAKSI

Penanggung Jawab : Ir. Aripurnomo Kartohardjono, DMS, Dipl.TRE. Pemimpin Redaksi : Ir. Haryo Koco Buwono, MT.

Mitra Bestari : Prof. Ir. Sofia W. Alisjahbana, MSc., PHD. DR. Ir. Rusmadi Suyuti, ME.

DR. Ir. Saihul Anwar, M.Eng. DR. Ir. Sarwono Hardjomuljadi

Staf Redaksi : Ir. Nadia, MT.

Ir. Trijeti, MT.

Ir. Iskandar Zulkarnaen Tanjung Rahayu, ST., MT. Basit Al Hanif, ST

Seksi Umum : Ir. Saifullah Imam Susandi

Disain Kreatif : Ir. Haryo Koco Buwono, MT.

Administrator Web : Riyadi, ST

Terbit : Per Semester – Juni dan Desember ( Dua Kali Setahun ) Alamat Redaksi : Jurnal Konstruksia Jurusan Teknik Sipil

Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta. Jl. Cempaka Putih Tengah 27 Jakarta Pusat.10510 Website : www.konstruksia.org

Email : redaksi@konstruksia.org

Ilustrasi cover diambil dari:

(3)

JURNAL

KONSTRUKSIA

V o l u m e 6 N o m o r 1 D e s e m b e r 2 0 1 4

Diterbitkan oleh: Divisi Jurnal, Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta

(4)

JURNAL

KONSTRUKSIA

V o l u m e 6 N o m o r 1 D e s e m b e r 2 0 1 4

PENGANTAR REDAKSI

Dengan mengucap syukur yang mendalam seiring terbitnya JURNAL KONSTRUKSIA volume 6 Nomer 1 di bulan Agustus 2014 ini.

Pada edisi ini mendapatkan beberapa penulis dari kalangan profesional, praktisi dan mahasiswa. Adapun materi yang disampaikanpun sangat beragam, mulai dari manajemen konstruksi, kontrak, hingga aplikasi beton dengan penggunaan ban kendaraan bermotor. Dengan semakin beragamnya materi mautun penulis yang mengisi dalam jurnal ini diharapkan dapat menaikkan khasanah penelitian dikalangan pendidik maupun praktisi.

Penerbitan ini tentunya tidak lepas dari peran serta banyak pihak. Semoga Jurnal ini salah satu tonggak untuk dapat segera terakreditasi. Aamiin.

Jakarta, Desember 2014

(5)

JURNAL

KONSTRUKSIA

V o l u m e 6 N o m o r 1 D e s e m b e r 2 0 1 4

DAFTAR ISI

Redaksi Pengantar Redaksi Daftar Isi

PERAN PENILAI AHLI DALAM PENANGANAN KEGAGALAN BANGUNAN DAN

KEGAGALAN KONSTRUKSI (MENURUT UU NO 18 TAHUN 1999 JO PP 29 TAHUN 2000) 1 – 113 STUDI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETERLAMBATAN PROYEK KONSTRUKSI

BANGUNAN GEDUNG...……… 15 – 29 CUTTER SUCTION DREDGER DAN JENIS MATERIAL (PADA PEKERJAAN CAPITAL

DREDGING PEMBANGUNGAN PELABUHAN TELUK LAMONGAN) ……….. 31 – 42 PERBANDINGAN PELAKSANAAN DINDING PRECAST DENGAN DINDING KONVENSIONAL

DITINJAU DARI SEGI WAKTU & BIAYA ……… 43 – 64 ANALISIS BANGUNAN ASIMETRIS TERHADAP TINJAUAN DELATASI AKIBAT

GAYA HORIZONTAL ………..……… 65 – 76 ANALISIS PERBANDINGAN PELAT LANTAI DERMAGA 209 DAN 209 L DI PELABUHAN

TANJUNG PRIOK JAKARTA ………...………...…... 77 – 87

KUAT TEKAN BETON NORMAL DENGAN MENGGUNAKAN BAN BEKAS

SEBAGAI PENGGANTI AGREGAT KASAR ..………. 89 – 96 EVALUASI PENGGUNAAN DINDING PENAHAN TANAH PADA TANAH BERKOHESI

(6)

PERAN PENILAI AHLI DALAM PENANGANAN

KEGAGALAN BANGUNAN DAN KEGAGALAN KONSTRUKSI

(MENURUT UU NO 18 TAHUN 1999 JO PP 29 TAHUN 2000)

Sarwono Hardjomuljadi 1

Dr,Ir,MS (Civ); MSBA (Bus); MH (Law); MDBF (ADR); ACPE (Eng); ACIArb (Arb)

Lektor Kepala Aspek Hukum dan Admionistrasi Proyek Konstruksi Fakultas Teknik Jurusan Sipil, Universitas Mercu Buana Jakarta

Email: info@sarwonohm.com

ABSTRAK : Pada Undang Undang No 18 tahun 1999 jo Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 2000 mendefinisikanbagi dua kegagalan dalam upaya pemenuhan kebutuhan infrastruktur, yaitu kegagalan bangunan dan kegagalan pekerjaan konstruksi.

Dalam penanganan kedua kegagalan di atas, sesuai amanat perundangan, melibatkan seseorang dengan kualifikasi penilai ahli. Pada kegagalan bangunan sesuai Undang Undang No 18 Tahun 1999 pasal 25, penilai ahli adalah pelaku utama yang memberikan penetapan atas kegagalan bangunan. Pada kegagalan konstruksi sesuai dengan definisi pada Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 2000 Pasal 31, maka penilai ahli akan berperan membantu bilamana diperlukan seperti dinyatakan pada Peraturan Pemerintah No 29 Tahun 2000 Pasal 49.

Kata kunci: kegagalan bangunan, kegagalan pekerjaan konstruksi, penilai ahli.

ABSTRACT: In On the constitution no 18 years 1999 jo government regulation no 29 years 2000 mendefinisikanbagi two failure in an effort to the fulfillment of a need infrastructure , namely building failure and failure construction work .

In handling the second failure on , according to the legislative mandate , involving someone with an appraiser qualifications expert .On the failure of buildings according to invite invite no 18 1999 article 25 , was an expert assessment that gives the main building for failure .In accordance with the definition of construction on the failure of government regulation no 29 on article 31 of year 2000 , then an appraiser experts will help if necessary as stated role in government regulation no 29 2000 article 49 ...

Keywords: Structure Building failure, failure construction work, an appraiser expert.

1

Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum (2009-2014)

Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional membidangi Hukum, Kontrak dan sengketa konstruksi (2011-2015)

FIDIC Affiliate Member, FIDIC Adjudicator, FIDIC Accredited Trainer Country Representative, Dispute Resolutuion Board Foundation (DRBF)

Sekretaris, Badan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi Indonesia (BADAPSKI)

Lektor Kepala Administrasi Kontrak, Universitas Mercu Buana Jakarta, UJniversitas Parahyangan Bandung, Universitas Tarumanagara Jakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta.

(7)

LATAR BELAKANG

Kegiatan pembangunan infrastruktur

merupakan suatu rangkaian kegiatan, diawali dari perencanaan, pelaksanaan,

beserta pengawasan yang mencakup

pekerjaan sipil, arsitektur, mekanikal elektrikal, dan tata lingkungan masing– masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk

fisik.2 Pelaksanaan pembangunan

infrastruktur/ konstruksi, pada umumnya dilaksanakan oleh penyedia jasa, 3 melalui suatu proses pengadaan barang/ jasa yang dilakukan oleh pengguna jasa,4 yang

kemudian dilanjutkan dengan

penandatanganan suatu perjanjian kontrak kerja konstruksi, 5 antara pengguna jasa dan penyedia jasa.

Dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi, yang lazim dilakukan di Indonesia, pelaksanaan pengawasan pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh pengguna jasa dalam pelaksanaan pekerjaan, umumnya akan dibantu oleh penyedia jasa pengawas konstruksi 6 dengan suatu perjanjian jasa konsultansi pengawas konstruksi.

2

Undang Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, Pasal 1 Ayat 2

3

Ibid, Pasal 1 ayat 4, Penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi;

4

Ibid, Pasal 1 ayat 3, Pengguna jasa adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi;

5

Ibid, Pasal 1 ayat 5, Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi

6

Ibid, Pasal 1 ayat 11, Pengawas konstruksi adalah penyedia jasa orang perseorangan atau badan usaha yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.

Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi

Nasional dalam fungsinya sebagai

regulator, berupaya menindaklanjuti

dengan melaksanakan pembekalan

sekaligus seleksi untuk pembuatan daftar penilai ahli, sehingga para pihak akan dengan mudah menentukan pilihannya dalam hal terjadi kegagalan bangunan ataupun kegagalan pekerjaan konstruksi. Kedua kegagalan tersebut, sesuai dengan definisi masing-masing berdasarkan PP Nomor 29 tahun 2000 adalah:

PP No 29 Tahun 2000 Pasal 34

Kegagalan Bangunan merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja, dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa dan atau Pengguna Jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi.

PP No 29 Tahun 2000 Pasal 31

Kegagalan pekerjaan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau penyedia jasa.

Dari kedua definisi di atas, jelaslah bahwa seorang penilai ahli harus mempunyai keahlian pada bidang tertentu yang dibuktikan dengan SKA.

Selain melalui litigasi, saat ini penyelesaian sengketa yang dikenal di Indonesia adalah arbitrase dan altenatif penyelesaian sengketa yang terdiri dari konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli dan penyelesaian di pengadilan, seperti

(8)

dinyatakan dalam Pasal 1 dari Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 7 Sedangkan Undang Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi secara spesifik menyatakan

bahwa penyelesaian sengketa dapat

dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan. 8. Dalam PP 29 tahun 2000 dinyatakan penyelesaian sengketa dapat

dilakukan oleh arbiter, mediator,

konsiliator dan jika diperlukan bisa minta bantuan penilai ahli.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa kurang memberikan

penjelasan menyangkut Alternatif

Penyelesaian Sengketa, karena dalam undang undang tersebut hanya dua pasal

yang memuat tentang Alternatif

Penyelesaian Sengketa, selebihnya adalah

tentang arbitrase. Kondisi ini

mengakibatkan penggunaan alternatif penyelesaian sengketa di luar arbitrase yang sebenarnya bisa lebih cepat, murah dan tidak mengakibatkan memburuknya hubungan antara kedua pihak yang

bersengketa, saat ini diragukan

efektifitasnya, sehingga para pihak enggan menggunakannya dan kurang berminat,

sehingga penggunaan alternatif

penyelesaian sengketa ini di samping cepat,

7 Undang undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 Angka 10. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

8

Undang Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, Pasal 36

murah dan menjaga hubungan baik, relatif tidak berkembang secara luas.

Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999

memberikan peluang bagi masuknya

kegagalan konstruksi ke ranah pidana, yang kalau dilihat dari definisi PP 29 tahunn 2000 Pasal 31 adalah

suatu pelanggaran hubungan perjanjian kerja yang termasuk kategori perdata, baru jika mengakibatkan dan dapat dibuktikan adanya kesengajaan ataupun kelalaian

sehingga menyebabkan terjadinya

kegagalan bangunan, maka dapat dikenai sanksi pidana.

MATERI DAN DISKUSI Kegagalan Bangunan

Dalam hal terjadi suatu kegagalan bangunan sesuai dengan definisi kegagalan bangunan PP No 29 Tahun 2000 Pasal 34, dampak kegagalan bangunan dapat dilihat secara jelas dan nyata tanpa diperlukan adanya interpretasi kontraktual. Pelaku utama penyelesai permasalahan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku adalah “penilai ahli” yang

berwenang menetapkan pihak yang

bertanggung jawab atas kegagalan yang terjadi dan menentukan besaran ganti rugi yang harus dibayarkan kepada pihak yang dirugikan.

II.1.1 Penilaian Ahli:

Black’s Law Dictionary, mendefinisikan ahli atau expert sebagai berikut: A person who,

through education or experience, has developed skill or knowledge in a particular subject, so that he or she may form an opinion that will assist the fact-finder.9

9

(9)

Black’s Law Dictionary juga mendefinisikan

impartial expert sebagai: An expert who is appointed by the court to present an unbiased opinion.

Dalam Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan “penilaian ahli” sebagai salah satu dasar dari suatu alternatif penyesaian sengketa, penilaian ahli merupakan suatu produk hasil penilaian oleh seseorang yang dapat dikategorikan sebagai seorang yang mempunyai keahlian

untuk bidang tertentu.

Penilai Ahli.

Sesuai Undang Undang Nomor 18 Tahun 1999:

UU No 18 Tahun 1999 Pasal 25

(1)Pengguna Jasa dan penyedia jasa wajib

bertanggung jawab atas kegagalan

bangunan.

(2)Kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawabpenyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.

(3)Kegagalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh pihak ketiga selaku penilai ahli.

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 29

tahun 2000 Kegagalan Bangunan

didefinisikan:

PP No 29 Tahun 2000 Pasal 34

Kegagalan Bangunan merupakan keadaan bangunan yang tidak berfungsi, baik secara keseluruhan maupun sebagian dari segi teknis, manfaat, keselamatan dan kesehatan kerja, dan atau keselamatan umum sebagai akibat kesalahan Penyedia Jasa dan atau

Pengguna Jasa setelah penyerahan akhir pekerjaan konstruksi.

PP No 29 Tahun 2000 Pasal 36

 Kegagalan bangunan dinilai dan

ditetapkan oleh 1 (satu) atau lebih penilai ahli yang profesional dan

kompeten dalam bidangnya serta

bersifat independen dan mampu

memberikan penilaian secara obyektif, yang harus dibentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak

diterimanya laporan mengenai

terjadinya kegagalan bangunan.

 Penilai ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipilih, dan disepakati bersama oleh penyedia jasa dan pengguna jasa.

 Pemerintah berwenang untuk

mengambil tindakan tertentu apabila kegagalan bangunan mengakibatkan

kerugian dan atau menimbulkan

gangguan pada keselamatan umum, termasuk memberikan pendapat dalam penunjukan, proses penilaian dan hasil kerja penilai ahli yang dibentuk dan disepakati oleh para pihak.

Penjelasan PP 29 Tahun 2000 Pasal 36

Ayat (1)Yang dimaksud penilai ahli adalah penilai ahli di bidang konstruksi. Penilai ahli terdiri dari orang perseorangan, atau kelompok orang atau badan usaha yang disepakati para pihak, yang bersifat

independen dan mampumemberikan

penilaian secara obyektif dan profesional.

PP No 29 Tahun 2000 Pasal 37

Penilai ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) harus memiliki sertifikat keahlian dan terdaftar pada Lembaga.

(10)

PP No 29 Tahun 2000 Pasal 48

 Biaya penilai ahli menjadi beban pihak atau pihak-pihak yang melakukan kesalahan.

 Selama penilai ahli melakukan

tugasnya, maka pengguna jasa

menanggung pembiayaan pendahuluan.

Pasal di atas, menunjukkan dengan jelas bahwa para penilai ahli harus mempunyai sertifikat keahlian, yang selama ini dikenal sebagai SKA untuk keahlian bidang tertentu di samping itu para penilai ahli harus terdaftar pada lembaga, dalam hal ini

adalah Lembaga Pengembangan Jasa

Konstruksi Nasional.

Upaya Pemerintah sebagai regulator jelas di sini, karena untuk dapat bertindak sebagai penilai ahli, seseorang harus seseorang yang telah mempunyai SKA dan mengikuti suatu proses seleksi untuk dapat dimasukkan dalam daftar penilai ahli dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN).

Penilai ahli dipilih dan disepakati bersama oleh pengguna jasa dan penyedia jasa terkait, dalam hal ini merujuk pada daftar

dari Lembaga Pengembangan Jasa

Konstruksi Nasional yang akan

dipublikasikan oleh Lembaga, di samping melalui web site milik Lembaga. Penilai ahli yang dipilih akan melakukan suatu penilaian ahli dan menetapkan penyebab kegagalan bangunan secara teknis seperti

yang ditentukan dalam

perundang-undangan.

Tugas penilai ahli sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000:

PP No 29 Tahun 2000 Pasal 38

1. Penilai ahli, bertugas untuk antara lain :

o menetapkan sebab-sebab terjadinya kegagalan bangunan;

o menetapkan tidak berfungsinya sebagian atau keseluruhan bangunan;

o menetapkan pihak yang

bertanggung jawab atas kegagalan bangunan serta tingkat dan sifat kesalahan yang dilakukan;

o menetapkan besarnya kerugian, serta usulan besarnya ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak atau pihak-pihak yang melakukan kesalahan;

o menetapkan jangka waktu pembayaran kerugian.

2. Penilai ahli berkewajiban untuk melaporkan hasil penilaiannya kepada

pihak yang menunjuknya dan

menyampaikan kepada Lembaga dan instansi yang mengeluarkan izin membangun, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah melaksanakan tugasnya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 didefinisikan suatu kegagalan lain di samping Kegagalan Bangunan yaitu Kegagalan Pekerjaan Konstruksi yang didefinisikan sebagai:

PP No 29 Tahun 2000 Pasal 31

Kegagalan pekerjaan konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau penyedia jasa.

(11)

PP No 29 Tahun 2000 Pasal 32

 Perencana konstruksi bebas dari

kewajiban untuk mengganti atau

memperbaiki kegagalan pekerjaan

konstruksi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 31 yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi.  Pelaksana konstruksi bebas dari

kewajiban untuk mengganti atau

memperbaiki kegagalan pekerjaan

konstruksi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 31 yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, perencana konstruksi, dan pengawas konstruksi.

 Pengawas konstruksi bebas dari

kewajiban untuk mengganti atau

memperbaiki kegagalan pekerjaan

konstruksi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 31 yang disebabkan kesalahan pengguna jasa, perencana konstruksi, dan pelaksana konstruksi.  Penyedia jasa wajib mengganti atau

memperbaiki kegagalan pekerjaan

konstruksi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 31 yang

disebabkan kesalahan penyedia jasa atas biaya sendiri.

Tugas dan tanggung jawab pelaksana dan pengawas dalam pelaksanaan pekerjaan kontrak konstruksi, cukup jelas, yaitu: pelaksana, melaksanakan pekerjaan sesuai dengan spesifikasi yang merupakan bagian

dari dokumen kontrak sedangkan

pengawas, mengawasi pelaksanaan

pekerjaan agar tidak menyimpang dari spesifikasi yang merupakan bagian dari dokumen kontrak. Tugas dan tanggung jawab pelaksana dan pengawas pekerjaan konstruksi secara mudah dapat diukur, karena suatu kontrak konstruksi secara jelas mencantumkan spesifikasi yang merupakan bagian dokumen kontrak yang

harus dipatuhi dan dikerjakan dengan tidak

menyimpang, sehingga jika terjadi

penyimpangan, maka pihak pelaksana dapat dinyatakan melanggar perjanjian sedangkan pengawas dapat dinyatakan lalai dalam melaksanakan pengawasan atas penerapan spesifikasi.

Tugas dan tanggung jawab perencana, harus secara lebih hati-hati ditafsirkan, karena sebenarnya sama sekali tidak ada sanksi bagi perencana dalam kaitannya dengan kegagalan pekerjaan konstruksi, sesuai definisi Pasal 31 di atas. Hal ini

dapat dipahami, karena pekerjaan

perencanaan adalah kegiatan

pra-konstruksi, sehingga tugas dan tanggung jawab perencana adalah dalam hal terjadi kesalahan desain yang tidak sesuai dengan

best practice yang mengakibatkan terjadinya kegagalan bangunan.

Berbeda dengan kegagalan bangunan yang dapat berkembang menjadi perkara pidana, terhadap perencana, pelaksana maupun pengawas, didasari hasil penilaian ahli sesuai UU 18 tahun 1999 Pasal 25 jo PP Nomor 29 Tahun 2000 Pasal 38 (1), maka kegagalan konstruksi adalah murni perkara perdata, karena sesuai dengan definisi Pasal 31 definisi kegagalan konstruksi adalah ketidaksesuaian dengan spesifikasi yang merupakan bagian dari dokumen kontrak.

Penilai ahli mempunyai fungsi utama dalam hal terjadinya kegagalan bangunan, sesuai dengan Pasal 38 di atas, tugas dan kewenangan penilai ahli dalam kaitannya dengan kegagalan bangunan sangat jelas, yaitu memberikan pendapat sesuai dengan bidang keahliannya yang dibuktikan dengan sertifikat keahlian (SKA) bidang tertentu, mulai dari menetapkan penyebab

(12)

kegagalan bangunan, menetapkan pihak yang bertanggung jawab, menetapkan besarnya kerugian dan pihak mana yang harus membayar termasuk jangka waktu pembayarannya.

Dalam kaitannya dengan hasil kerja penilai ahli, pemerintah mempunyai kewenangan:

PP No 29 Tahun 2000, Pasal 36

(3) Pemerintah berwenang untuk

mengambil tindakan tertentu apabila

kegagalan bangunan mengakibatkan

kerugian dan atau menimbulkan gangguan

padq keselamatan umum, termasuk

memberikanpendapat dalam penunjukan, proses penilaian dan hasil kerja penilai ahli yang dibentuk dan disepakati oleh para pihak.

Dalam hal terjadinya kegagalan konstruksi sesuai definisi pada PP No 29 Tahun 2000 Pasal 31 dan sanksi pada Pasal

32 adalah untuk mengganti dan

memperbaiki, dimana tugas penilai ahli sesuai dengan Pasal 49 (2) adalah membantu mediator dan konsiliator jika diminta untuk memberikan penilaian sesuai dengan bidang keahliannya.

PP No 29 Tahun 1999 Pasal 49

 Penyelesaian sengketa dalam

penyelenggaraan jasa konstruksi di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara :

 melalui pihak ketiga yaitu :

1) mediasi (yang ditunjuk oleh para

pihak atau oleh Lembaga

Arbitrase dan Lembaga

Alternatif Penyelesaian

Sengketa); 2) konsiliasi; atau

 arbitrase melalui Lembaga Arbitrase atau Arbitrase Ad Hoc.

 Penyelesaian sengketa secara mediasi atau konsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dapat dibantu

penilai ahli untuk memberikan

pertimbangan profesional aspek

tertentu sesuai kebutuhan.

II.2 Kegagalan Pekerjaan Konstruksi

Dalam hal terjadi suatu kegagalan konstruksi sesuai dengan definisi pada PP No 29 Tahun 2000 Pasal 31, yang terjadi adalah sengketa dua pihak, sehingga yang diperlukan adalah penyelesai sengketa dalam hal ini mediator dan/atau konsiliator dan/atau cara lain yang melibatkan pihak

ketiga yang memenuhi persyaratan

perundangan yang berlaku, di mana khusus untuk bidang jasa konstruksi disyaratkan dalam PP 29 pasal 50 dan 51. harus mempunyai SKA dan dimana perlu dapat meminta bantuan “penilai ahli”.

Gambar 1 Penyelesaian Sengketa Kontrak Konstruksi di Indonesia

Sumber: Sarwono Hardjomuljadi: DRBF Conference “Future of Dispute Board in The ASEAN Region, Regulation and Culture n Indonesia”, DRBF World Conference, May 17, 2014, Singapore

(13)

Mediasi

Dalam Black’s Law Dictionary, mediation didefinisikan sebagai berikut: A method of

non binding dispute resolution involving a neutral third party who tries to help the disputing parties reach a mutually agreeable solution.10

Kamus Besar Bahasa Indonesia

mendefinisikan mediasi sebagai: Proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat. 11

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 yang

merupakan pengganti Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan mediasi adalah: Cara penyelesaian sengketa

melalui proses perundingan untuk

memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. 12 Yang dimaksud dengan mediator dalam Perma ini adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna

mencari berbagai kemungkinan

penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. 13

Jadi jelaslah bahwa mediasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa dimana pihak ketiga yang netral memfasilitasi diskusi antara para pihak dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan. Mediasi yang mengikat adalah suatu cara penyelesaian sengketa dimana pihak ketiga

10

Garner, Brian A.: Black’s Law Dictionary, West Group, Seventh Edition , 1999

11

Lukman Ali et al : Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, h 640

12 Peraturan Mahkamah agung Nomor 1 Tahun 2008 ,

Pasal 1 ayat 7

13

Ibid, Pasal 1 ayat 6.

memfasilitasi diskusi antara kedua pihak yang bersengketa agar kedua pihak dapat

mencapai kesepakatan.

Pada Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Pasal 1 butir 10 mediasi hanya dinyatakan sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa yang dilaksanakan

oleh mediator. Dengan demikian

mediasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga sebagai Pengantara (mediator) untuk mencapai kesepakatan penyelesaian di antara para pihak atas sengketa yang terjadi. Mediasi dilakukan setelah para

pihak sulit mencapai kesepakatan

melalui negosiasi. Mediator harus netral serta mampu menciptakan suasana yang kondusif. Mediator tidak dapat memaksakan pendapatnya kepada para pihak, Artinya kesepakatan untuk

mengakhiri sengketa tetap berada pada para pihak. Pasal 6 ayat (4) membedakan a). Mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak; dan b). Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang disepakati para pihak.

Dalam kaitan dengan mediasi Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitan Peraturan Mahkamah Agung No. I Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi, yang isinya mengatur hukum acara mediasi bagi “court

annexed mediation” atau “court connected mediation”, dengan alasan penerbitan

sebagai berikut: Hukum acara yang berlaku selama ini baik Pasal 130 HIR ataupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak yang

bersengketa untuk menempuh proses

mediasi yang dapat diintensifkan dengan

cara menggabungkan proses

mediasikedalam prosedur

(14)

terbentuknya peraturan perundang-undangan dan dengan memperhatikan

wewenang Mahkamah Agung dalam

mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan

perundang-undangan, maka demi kepastian,

ketertiban, dan kelancaran dalam proses

mendamaikan para pihak dalam

menyelesaikan suatu sengketa

perdata, kedua aturan tersebut menjadi landasan. Patut dicatat bahwa Pasal 2 dari Perma ini menjelaskan tentang ruang lingkup dan kekuatan berlaku Perma, dimana hanya berlaku untuk mediasi yang terkait proses berperkara di pengadilan. Khusus untuk mediasi jenis ini, mediator harus memiliki sertifikat mediator 14

setelah mengikuti pelatihan yang

diselenggarakan oleh lembaga yang telah

mendapat akreditasi dari Mahkamah

Agung. Upaya Mahkamah agung sebagai regulator terlihat di sini, bahwa

Mahkamah agung telah

mengeluarkan peraturan yang mngatur bahwa para mediator harus mempunyai sertifikat mediator yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung.

Ketentuan mengenai honorarium mediator jenis ini, cukup menarik, dengan adanya

ketentuan mengenai honorarium

mediator dimana jika mediator hakim tidak dipungut biaya namun mediator bukan

hakim ditanggung bersama atau

kesepakatan para pihak.

Ketentuan mengenai batas waktu proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari sejak pemilihan mediator dan dapat diperpanjang 14 (empat belas) hari sejak berakhirnya masa 40 (empat puluh)

14

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008, pasal 2

hari15. Proses mediasi ini bersifat tertutup kecuali ditentukan lain oleh para pihak 16. Tanggung jawab mediator dalam alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan berdasarkan Perma Nomor 1 tahun 2008 adalah:

Mediator tidak bertanggungjawab secara perdata dan pidana atas isi kesepakatan [Pasal 19 ayat (4)]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur. Kelompok Kerja menganggap hal ini perlu diatur

karena untuk mempertegas bahwa

Kesepakatan Perdamaian merupakan hasil mufakat para pihak bukan hasil yang ditetapkan oleh mediator. Selain itu, pengaturan ini untuk melindungi mediasi yang terintegrasi di Pengadilan dan mediator dari tuntutan yang tidak

semestinya diajukan kepadanya.

Khusus untuk bidang konstruksi, maka PP No 29 Tahun 2000 mengatur:

PP No 29 Tahun 2000 Pasal 50

 Penyelesaian sengketa dengan

menggunakan jasa mediasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a angka 1) dilakukan dengan bantuan satu orang mediator.  Mediator sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) ditunjuk berdasarkan

kesepakatan para pihak yang

bersengketa.

 Mediator tersebut harus mempunyai sertifikat keahlian yang ditetapkan oleh Lembaga.

 Apabila diperlukan, mediator dapat minta bantuan penilai ahli.

 Mediator bertindak sebagai fasilitator yaitu hanya membimbing para pihak yang bersengketa untuk mengatur

15

Ibid, pasal 13 (3) dan (4)

16

(15)

pertemuan dan mencapai suatu kesepakatan.

 Kesepakatan tersebut pada ayat (5) dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.

Pengaturan di atas secara tegas mengatur

bahwa seorang yang akan menjadi

mediator bidang konstruksi harus

mempunyai sertifikat keahlian (SKA) bidang keahlian tertentu dan mediator dapat meminta bantuan penilai ahli jika diperlukan.

Konsiliasi

Dalam Black’s Law Dictionary concilliation didefinisikan sebagai berikut: 1).A settlement of a dispute in an agreeable manner, 2). A process in which a neutral person meets with the parties to a dispute and explores how the dispute might be resolved. 17

Konsiliasi dapat ditemukan dalam Pasal 1 butir 10 Undang Undang Nomor No. 30 Tahun 1999 dan alinea ke-9 Penjelasan Umum Undang-undang tersebut. Selain pada kedua tempat tersebut Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak

menyebutnya termasuk menguraikan

definisi atau pengertiannya ataupun

mengatur tentang mekanismenya.

Sebenarnya antara konsiliasi dan mediasi hampir tidak dapat dibedakan.

Konsiliasi tidak berbeda jauh dengan arti perdamaian yang dinyatakan pada pasal 1864 KUHPer, di mana dinyatakan bahwa hasil kesepakatan para pihak pada alternatif penyelesaian sengketa konsiliasi

harus dibuat secara tertulis dan

17

Garner, Brian A.: Black’s Law Dictionary, West Group, Seventh Edition , 1999

ditandatangani bersama oleh para

pihak yang bersengketa , Kesepakatan tertulis tersebut harus didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 (tigapuluh ) hari terhitung sejak tanggal penandatanganan dan dilaksanakan dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak tanggal pendaftaran di pengadilan negeri, Kesepakatan tertulis ini bersifat final dan mengikat para pihak.

PP No 29 Tahun 2000 Pasal 51

 Penyelesaian sengketa dengan

menggunakan jasa konsiliasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a angka 2) dilakukan dengan bantuan seorang konsiliator.  Konsiliator sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) ditunjuk berdasarkan

kesepakatan para pihak yang

bersengketa.

 Konsiliator tersebut harus mempunyai sertifikat keahlian yang ditetapkan oleh Lembaga.

 Konsiliator menyusun dan merumuskan upaya penyelesaian untuk ditawarkan kepada para pihak.

 Jika rumusan tersebut disetujui oleh para pihak, maka solusi yang dibuat

konsiliator menjadi rumusan

pemecahan masalah.

 Rumusan pemecahan masalah

sebagaimana tersebut pada ayat (5) dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.

Pengaturan di atas secara tegas mengatur bahwa seorang yang akan menjadi konsiliator bidang

konstruksi harus mempunyai

sertifikat keahlian (SKA) bidang keahlian tertentu dan konsiliator dapat menyusun

(16)

serta merumuskan upaya penyelesaian masalah sebagai suatu solusi.

Sanksi pidana atas kegagalan bangunan dan kegagalan pekerjaan konstruksi

Penting untuk dicatat bahwa pada UU Nomor 18 Tahun 1999, terdapat beberapa pasal yang merupakan pintu masuk bagi penegak hukum untuk penerapan hukum pidana pada perencana, pelaksana dan pengawas pekerjaan konstruksi:

UU No 18 Tahun 1999 Pasal 43

 Barang siapa yang melakukan

perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan

dan mengakibatkan kegagalan

pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak.

 Barang siapa yang melakukan

pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan keteknikan yang telah

ditetapkan dan mengakibatkan

kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenakan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5% (lima per seratus) dari nilai kontrak.

 Barang siapa yang melakukan

pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan sengaja memberi kesempatan kepada orang lain yang melaksanakan pekerjaan konstruksi melakukan penyimpangan terhadap

ketentuan keteknikan dan

menyebabkan timbulnya kegagalan

pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan dikenai pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan

denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai kontrak

Ketentuan di atas ternyata telah banyak menghadapkan para kontraktor, konsultan

perencana, konsultan pengawas dan

pengguna jasa ke ranah pidana. Bahkan untuk suatu pekerjaan yang sedang

dilaksanakan dan ditemukan adanya

ketidaksesuaian dengan spesifikasi, yang menurut pendapat saya sebenarnya secara fisik masih dapat diperbaiki, karena kontrak konstruksi masih berlaku, mengingat pekerjaan konstruksi sedang dalam pelaksanaan ataupun dalam masa perbaikan cacat mutu 18.

Ayat (1): bagi perencana dalam hal kegagalan bangunan sesuai definisi PP 29 Tahun 2000 Pasal 34 jika perencana membuat desain yang tidak sesuai dengan standar keteknikan adalah wajar jika sanksi pidana dikenakan padanya, tetapi bagi kegagalan konstruksi sesuai definisi PP 29 Tahun 2000 Pasal 31, tidaklah mungkin perencana dikenai sanksi pidana dengan alasan pada alinea di atas, apalagi perencanalah yang membuat spesifikasi sehingga sudah tidak dipastikan bahwa perencana tidak terkait samasekali dengan kegagalan konstruksi.

Ayat (2): bagi pelaksana dalam hal kegagalan bangunan sesuai definisi PP 29 Tahun 2000 Pasal 34 sanksi pidana adalah wajar, sebaliknya dalam hal kegagalan konstruksi sesuai definisi PP 29 Tahun 2000 Pasal 31, harus dilihat apa alasan

18

Terminologi “masa perbaikan cacat mutu atau defects

liability period” adalah istilah yang dipergunakan dalam

standar kontrak FIDIC Conditions of Contract sebenarnya paling cocok dipergunakan, karena penggunaan istilah “masa pemeilharaan” yang banyak dipakai pada kontrak-kontrak nasional, dapat menimbulkan perbedaan interpretasi yang berujung pada sengketa.

(17)

ketidaksesuaian dengan spesifikasi, jika memang pelaksana berniat demikian dapat dikategorikan sebagai penipuan, tetapi menurut pendapat saya kegagalan konstruksi lebih banyak terjadi karena kelalaian ataupun karena kurangnya kemampuan, misalnya dalam pelaksanaan pelapisan aspal pada konstruksi jalan dimana ketebalan setelah dicek ternyata ketebalannya tidak seragam, sehingga terasa agak memberatkan jika perjanjian kontrak konstruksi yang merupakan suatu perjanjian dikenai sanksi pidana.

Ayat (3): bagi pengawas dalam hal kegagalan bangunan sesuai definisi PP 29 Tahun 2000 Pasal 34 dapat dibuktikan bahwa pengawas dengan sengaja memberi kesempatan terjadinya penyimpangan atas ketentuan keteknikan adalah wajar jika

sanksi pidana dikenakan padanya,

sedangkan dalam hal kegagalan konstruksi jika dapat dibuktikan pengawas

dengan sengaja bersekongkol untuk

menguntungkan dirinya dan orang lain, bisa dikenai sanksi pidana, sebaliknya jika itu adalah akibat kelalaian, maka menurut pendapat saya hukuman administratif lebih sesuai.

KESIMPULAN

Kegagalan bangunan

Penilai ahli dalam bidang jasa konstruksi mempunyai bertugas untuk menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas kegagalan bangunan sesuai UU 18 Tahun 1999 Pasal 12 ayat(3). Penilaian ahli atas

suatu kejadian kegagalan bangunan

maupun kegagalan konstruksi dapat

berdampak luas, karena dapat dikenai pidana, sehingga jika tidak ditangani oleh seorang yang mempunyai kompetensi sesuai dengan keahlian dalam bidang

tertentu yang dibuktikan dengan SKA yang diterbitkan oleh LPJKN dan namanya terdaftar sebagai penilai ahli di LPJKN. Dalam hal terjadi kegagalan bangunan sesuai definisi pada PP 29 tahun 2000 pasal

34, kewenangan Penilai Ahli dan

kewenangan pemerintah diatur pada pasal 36. Tugas penilai ahli dinyatakan pada pasal 38. Penilai Ahli dapat menilai dan menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas terjaadinya kegagalan bangunan, dengan dasar keahlian yang dimilikinya yang dibuktikan dengan kepemilikan SKA bidang tertentu. Termasuk dalam tugas Penilai Ahli adalah penetapan besarnya ganti rugi kepada para pihak yang dirugikan. Peran dan tanggung jawan Penilai Ahli dalam hal kegagalan bangunan ini sangat penting, karena hasil penilaian

dan penetapannya terkait dengan

kemungkinan pengenaan pidana penjara. Pelaku utama penyelesai permasalahan kegagalan bangunan adalah Penilai Ahli, sesuai dengan kewenangan dan tugas yang diatur dalam perundangan yang berlaku.

Kegagalan pekerjaan konstruksi

Upaya penyelesaian sengketa proyek konstruksi di luar pengadilan di Indonesia, dapat dilakukan dengan cara Arbitrase ataupun Alternatif Penyelesaian Sengketa sesuai dengan UU 30 Tahun 1999 pada pasal 1 angka 10, yang bunyinya: Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli, sedangkan khusus untuk bidang jasa konstruksi UU No 18 Tahun 1999 jo PP 29

tahun 2000 menyatakan bahwa

(18)

dapat dilakukan dengan mediasi, konsiliasi dan dapat dibantu oleh penilai ahli.

Dalam hal terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi sesuai definisi pada PP No 29 tahun 2000 pasal 31, tugas Penilai Ahli adalah membantu mediator dan/atau konsiliator jika diperlukan dan diminta oleh para pihak.

Pelaku utama penyelesai permasalahan kegagalan pekerjaan konstruksi adalah mediator dan/atau konsiliator dan/atau cara lain yang diatur dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Mediator dan Konsiliator dalam bidang jasa konstruksi harus mempunyai sertifkat keahlian (SKA) dalam bidang keahlian tertentu sesuai PP 29 Tahun 2000 Pasal 50 dan Pasal 51.

DAFTAR PUSTAKA

Garner, Brian A.: Black’s Law Dictionary, West Group, Seventh Edition , 1999

Hardjomuljadi, Sarwono: Future of Dispute

Board in The ASEAN Region, Regulation and Culture in Indonesia, Dispute Resolution

Board Foundation (DRBF) World

Conference, May 17-18, 2014, Singapore Lukman Ali et al : Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1994

Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah

Nomor 29 Tahun 2000 tentang

Penyelenggaraan Jasa Konstruksi

Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 30 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

(19)

STUDI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETERLAMBATAN PROYEK KONSTRUKSI

BANGUNAN GEDUNG

Deden Matri Wirabakti1, Rahman Abdullah2, Andi Maddeppungeng2 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Agung Tirtayasa

1PenelitiUtama, 2Mentor

ABSTRAK : Pemerintah Yang besar dari kawasan tangerang yang terdiri dari kabupaten tangerang , kota tangerang , dan kota tangerang selatan . Pertumbuhan gedung dan industri konstruksi bangunan yang sangat tinggi dan meningkat dari waktu ke waktu .Ada beberapa kendala juga ditemukan di sepanjang bangunan proces yang dihasilkan akibat keterlambatan penyelesaian proyek pembangunan yang sesuai dengan jadwal dalam dokumen kontrak. Beberapa masalah telah diidentifikasi sebagai penyebab itu yakni masalah keuangan, tenaga kerja keterampilan, bahan bangunan perangkat pasir lingkungan, dan manajemen isu.Penelitian ini bertujuan menelaah beberapa faktor yang menunda incompletion causethe dari proyek tersebut, mencari peringkat urutan setiap faktor dan mencari faktor utama mempengaruhi penundaan selesainya pengerjaan di wilayah studi. Studi ini menggunakan metode anon-probability purposive sampling , dan satu set pertanyaan nairedistributed kepada 10 perusahaan kontraktor .Analisis deskriptif yang digunakan untuk menjelaskan hubungan variabel. Sebagai temuan utama, ada faktor terbesar berdasarkan nilai dari data berarti.Fisrtly, pengiriman penundaan dari bahan bangunan, 2 terbatas ketersediaan bahan bangunan di pasar, 3 isthe kekurangan pasokan oflabor, 4 adalah tingginya intensityof hujan, 6 adalah kurangnya tenaga kerja kehadiran, 6 dan faktor ke-7 adalah kurangnya buruh membunuh dan disiplin, 8 adalah faktor komunikasi antara perusahaan kontraktor dan pemilik 9 adalah miss komunikasi antara pekerja badan penasihat, andit dan las faktor adalah uncomplet desain dengan arsitek atau penata. Asosiasi antara kisaran penundaan 10 dan faktor yang menunjukkan keterampilan tenaga kerja dan tingginya intensitas curah hujan sebagai faktor penting yang menyebabkan keterlambatan penyelesaian proyek .

Kata Kunci : delay factors of completion the project, building cosntion industry, the association between variables,

ABSTRACT : The Great of Tangerang area consist of Tangerang County, City of Tangerang, and City of South Tangerang. The gowth of building and construction industries was very high and increase from time to time. There are some constrains also found along building proces which are resulting the delays in the completion of the building project based on schedule in contract document. Some of the problems were identified as a cause of it such as financial problems, labor skills, building material sand equipment, environment, and management issues. This study aims to analyze some factors that causethe delay incompletion of the project, looking for a rank order of each factor and look for the main factors affecting the delay completion of the project in the study areas. This study used anon-probability purposive sampling method, and a set of question nairedistributed to10 contractors compnanies. The descriptive analysis used to explain the association of variables. As the main findings, there are greatest factors based on the value of the data mean. Fisrtly, the delivery delay of building materials, 2nd is limited availability of building

materials in the market, 3rd isthe lack oflabor supply, 4th is the high intensityof rain, 6th is lack of labor

attendance, 6th and 7th factor are the lack of labors kills and discipline, 8th factor is communication between

contractor company and the owner, 9th is the poor communication between workers agency andit

counselors, and the las factor is uncomplet design by the architect or planners. The association between the levels of delay and the 10 factors show that the labor skills and the high intensity of rain as significant factors caused the delay of the completion of the project.

Keywords: delayfactors of completion the project, building cosntion industry, the association between variables,

(20)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Daerah Tangerang meliputi Tangerang

Kota, Tangerang Kabupaten, dan

Tangerang Selatan merupakan kota yang

terus berkembang dengan tingkat

pembangunan yang tidak pernah

menunjukan angka penurunan.

Perkembangan pembangunan yang

semakin meningkat melahirkan pesatnya perkembangan perusahaan jasa yang bergerak di bidang konstruksi. Pada

kenyataannya pelaksanaan proyek

konstruksi selalu mengalami kendala yang

mengakibatkan keterlambatan

penyelesaian pekerjaan, sehingga waktu penyelesaian pekerjaan tidak sesuai dengan yang telah ditetepkan pada dokumen kontrak pekerjaan.

Pekerjaan yang mengalami masalah dan

menyebabkan keterlambatan akan

mengakibatkan kerugian baik moril

ataupun material. Berbagai cara dilakukan

guna menghindari masalah yang

mengakibatkan keterlambatan dan

kerugian.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi

penyebab keterlambatan proyek

konstruksi, dengan memperkecil

keterlambatan maka membantu

memajukan pembangunan Negara

Republik Indonesia.

Rumusan Masalah

Latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah yang akan diteliti adalah 1. Faktor – faktor apa saja penyebab

keterlambatan pekerjaaan proyek

konstruksi.

2. Bagaimana solusi dari masalah dengan memproses dan menyimpulkan data yang didapat.

Lokasi Studi

Proyek konstruksi bangunan gedung yang

ada di Daerah Tangerang meliputi

Tangerang Kota, Tangerang Kabubaten, dan Tangerang Selatan pada Tahun 2012.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk

mengidentifikasi dan menganalisis faktor –

faktor penyebab keterlambatan

penyelesaian proyek, mencari urutan rangking dari tiap faktor dan mencari

faktor utama yang memepengaruhi

keterlambatan penyelesaian proyek di Daerah Tangerang.

Batasan Masalah

Dalam Penulisan Tugas Akhir ini, proyek yang ditinjau yaitu proyek konstruksi bangunan gedung yang ada di Daerah

Tangerang pada tahun 2012, Agar

penulisan Tugas Akhir ini tidak

menyimpang dari tujuan awal penulisan maka dilakukan pembatasan penelitian ini yaitu:

1. Studi kasus terletak di Daerah Tangerang meliputi Tangerang Kota, Tangerang Kabupaten, dan Tangerang Selatan, yaitu proyek konstruksi pada tahun 2012.

2. Proyek yang diteliti adalah jenis proyek

pembangunan gedung: bangunan

gedung rendah, bangunan gedung sedang, dan bangunan gedung tinggi. 3. Faktor – faktor yang diteliti adalah yang

berkaitan langsung dengan penyebab keterlambatan penyelesaian proyek. 4. Metode pengumpulan data dengan cara

Kuesioner.

5. Analisis data dengan cara pemprograan computer SPSS for windows.

TinjauanPustaka&KajianTeori

Penelitian tentang studi keterlambatan proyek konstruksi sudah pernah dilakukan. Berikut ini ditampilkan perbandingan penelitian lain:

Leonda (2008) melakukan penelitian tugas

akhir tentang Studi Keterlambatan

Penyelesaian Proyek Konstruksi Pada Tahun 2007 Di Daerah Belitung.

(21)

Majid dan McCaffer (1998) melakukan Penelitian tentang Factor Of

Non-Exxcusable Delay That Influence Contraktors’ Performance.

1. Proyek Konstruksi

Soeharto (1995), kegiatan proyek dapat diartikan sebagai satu kegiatan sementara yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas, dengan alokasi sumber daya

tertentu dan dimaksudkan untuk

melaksanakan tugas yang sasarannya telah digariskan dengan jelas.

2. Manajemen Konstruksi

Dipohusodo (1996), manajemen

merupakan proses terpadu dimana

individu-individu sebagai bagian dari organisasi diliatkan untuk memelihara,

mengembangkan, mengendalikan, dan

menjalankan program-program,yang

semuanya diarahkan pada sasaran yang telah ditetapkan dan berlangsung menerus seiring dengan berjalannya waktu.

3. Keterlambatan Proyek

Kusjadmikahadi (dalam Leonda 2008) bahwa, keterlambatan proyek konstruksi berarti bertambahnya waktu pelaksanaan

penyelesaian proyek yang telah

direncanakan dan tercantum dalam

dokumen kontrak.

Praboyo (1999), keterlambatan

pelaksanaan proyek umumnya selalu menimbulkan akibat yang merugikan bagi

pemilik maupun kontraktor karena

dampak keterlambatan adalah konflik dan perdebatan tentang apa dan siapa yang menjadi penyebab, juga tuntutan waktu, dan biaya tambah.

4. Penyebab Keterlambatan Proyek

Faktor-faktor yang mempengaruhi

keterlambatan waktu pelaksanaan proyek konstruksi adalah:

1. Tenaga Kerja

a. Kurangnya keahlian tenaga kerja b. Kurangnya kedisiplinan tenaga kerja c. Kurangnya motivasi kerja para

pekerja

d. Kurangnya kehadiran tenaga kerja e. Kurangnya ketersediaan tenaga kerja f. Penggantian tenaga kerja baru

g. Buruknya Komunikasi antara tenaga kerja dan badan pembimbing

2. Bahan

a. Keterlambatan pengiriman bahan b. Ketersediaan bahan terbatas di

pasaran

c. Kualitas bahan jelek

d. Kelangkaan material yang

dibutuhkan

e. Adanya Perubahan material oleh

owner

f. Kerusakan bahan di tempat

penyimpanan 3. Karakteristik tempat

a. Keadaan permukaan dan di

permukaan bawah tanah

b. Tanggapan dari lingkungan sekitar proyek

c. Karakter fisik bangunan sekitar proyek

d. Tempat penyimpanan

bahan/material

e. Akses kelokasi proyek yang sulit f. Kebutuhan ruang kerja yang kurang g. Lokasi proyek yang jauh dari pusat

kota/pusat distribusi peralatan dan material

4. Manajerial

a. Pengawasan proyek

b. Kualitas pengontrolan pekerjaan c. Pengalaman manajer lapangan d. Perhitungan kebutuhan

e. Komunikasi antara konsultan dan kontraktor

f. Komunikasi antara kontraktor dan pemilik

g. Kesalahan manejemen material dan peralatan

5. Peralatan

a. Ketersediaan peralatan b. Kerusakanperalatan

c. Kualitas peralatan yang buruk d. Produktifitas peralatan

6. Keuangan

a. Pembayaran dari

b. Harga bahan/material yang mahal c. Alokasi dana yang tidak cukup

(22)

d. Telatnya pembayaran kepada pekerja 7. Fisik Bangunan a. Luas wilayah b. Jumlah unit c. Jumlah lantai 8. Design

a. Perubahan design oleh pemilik b. Kesalahan design oleh perencana c. Ketidak lengkapan gambar design d. Keterlambatan pemberian detail

gambar

e. Kerumitan design 9. cuaca

a. Intensitas (curah) hujan) b. Cuaca panas

c. Cuaca yang berubah-ubah 10. Kejadian yang tidak terduga

a. Kerusuhan b. Bencana alam c. Pemogokan buruh d. Kecelakaan 11. Kebijakan pemerintah a. Kenaikan BBM

b. Nilai tukar mata uang

MetodePenelitian

Studi keterlambatan proyek konstruksi inidilakukan metode penelitian untuk mengarahkan pembahasan studi secara

terstruktur mulai dari penelitian

pendahuluan, penemuan masalah,

pengamatan, pengumpulan data baik dari referensi tertulis maupun observasi

langsung dilapangan, melakukan

pengolahan dan interpretasi data sampai penarikan kesimpulan atas permasalahan yang diteliti.

1. Metode Pengumpulan Data

 Pengumpulan Data Primer

Pengumpulan data primer merupakan data yang diperoleh langsung berhubungan dengan responden. Kuesioner digunakan sebagai alat pengumpulan data.

 Pengumpulan Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder berupa data yang diperoleh dari referensi tertentu atau literature – literature yang berkaitan

dengan keterlambatan. Pengumpulan data sekunder bertujuan.

2. Teknik Pengumpulan Data

Populasi dalam penelitian ini adalah proyek bangunan gedung yang terdaftar oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu di daerah tangerang, meliputi Kota

Tangerang, KabupatenTangerang, dan

Tangerang Selatan pada tahun 2012.

penelitian ini pengambilan sampel

menggunakan sistem non probability

purposive sampling, pemilihan metode ini

dikarenakan data jumlah populasi yang diperoleh dari BPPT tidak sesuai dengan jumlah populasi yang ada dilapangan, biaya sedikit, dan populasi menempati daerah yang sangat luas.

Sampel dalam penelitian ini adalah proyek pembangunan gedung swasta maupun pemerintah, meliputi bangunan gedung rendah, bangunan gedung sedang, dan bangunan gedung tinggi yang selesai atau pernah dibangun pada tahun 2012 yang memiliki manajemen yang jelas di lokasi proyek.

responden dalam penelitian ini adalah kontraktor swasta maupun pemerintah yang terkait dengan proyek yang sedang berlangsung, dan dalam satu proyek bangunan gedung yang kontraktornya menjadi responden akan diberikan satu kuesioner yang diisi oleh project manager,

site manager, engineer, atau pihak yang

mengetahui seluk beluk proyek dan dipercaya untuk mengisi kuesioner.

Daftar pertanyaan atau kuesioner

dibagikan kepada responden untuk diisi dengan mendatangi langsung responden serta memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan penelitian, dan pengisian kuesioner didampingi langsung oleh peneliti.

3. Pengolahan Data Penelitian

Setelah seluruh data yang diperoleh melalui kuesioner terkumpul, data yang terkumpul masih bersifat kualitatif maka perlu dikuantitatifkan dengan memberikan nilai / skor pada masing-masing variabel, adapun nilai / skor sebagai berikut:

(23)

1. Untuk jawaban tidak berpengaruh diberi skore 1

2. Untuk jawaban agak berpengaruh diberikan skor 2

3. Untuk jawaban berpengaruh diberikan skor 3

4. Untuk jawaban sangat berpengaruh diberikan skor 4

Setelah data dikuantitatifkan, selanjutnya data dianalisa menggunakan metode

kuantitatif, menggunakan SPSS for

windows, untuk mencari seberapa besar

pengaruh faktor-faktor yang diberikan terhadap keterlambatan proyek konstruksi bangunan gedung, serta faktor-faktor yang mempengaruhi dan paling menentukan berdasarkan urutan rangking dalam setiap penilaian dari masing-masing responden. 1. Analisis Rangking

Metode analisis ini berguna untuk menentukan rangking para responden dan memberikan prioritas terhadap variabel studi. Maka data yang diperoleh dianalisis dengan mean rank atau nilai rata-rata yang akan digunakan untuk menentukan

faktor-faktor yang berpengaruh dalam

keterlambatan proyek konstruksi

bangunan gedung.

Mean rank atau nilai rata-rata didapat

dengan menjumlahkan data seluruh

individu dalam kelompok, kemudian dibagi jumlah individu yang ada pada kelompok tersebut.

……….(1) Dimana:

Me = nilai rata-rata (mean) N = jumlah responden

Xi = frekuensi (i) yang diberikan responden

i = kategori index responden (i=1,2,3,…)

X1 = frekuensi jawaban “tidak

berpengaruh”

X2 = freuensi jawaban “agak

berpengaruh”

X3 = frekuensi jawaban “berpengaruh”

X4 = frekuensi jawaban “sangat

berpengaruh”

………..(2) Dimana :

= standar deviasi = nilai rata-rata

xi = titik tengah interval i

Xi = frekuensi (i) yang diberikan responden

i = kategori index responden (i=1,2,3,…)

X1 = frekuensi jawaban “tidak

berpengaruh”

X2 = freuensi jawaban “agak

berpengaruh”

X3 = frekuensi jawaban “berpengaruh”

X4 = frekuensi jawaban “sangat

berpengaruh”

Dari hasil data perhitungan nilai rata-rata (mean) dapat ditentukan dari masing-masing faktor dengan cara mengurutkan dari nilai rata-rata yang paling tinggi sebagai rangking pertama. Apabila ada faktor yang memiliki nilai rata-rata sama maka dibandingkan kembali dengan nilai standar deviasi dengan faktor yang nilai standar deviasi yang paling rendah sebagai peringkat pertama.

2. Korelasi Jenjang Spearman

Fitri et.al (2012) Motode analisis korelasi

jenjang spearman berguna untuk

mengetahui hubungan antara variabel

bebas dan variabel terikat yang

mengandung unsur pemeringkatan atau terkait dengan urutan data.

Formula yang diterapkan untuk

menentukan nilai korelasinya adalah: ……….………..(3) Dimana:

= nilai koefiensi korelasi spearman D = perbedaan atau selisih peringkat antara variabel bebas dan variabel terikat

n = jumlah sampel 1 dan 6 = konstanta

(24)

3. Uji Reliabilitas

Trihendradi (2012) instrument sebuah kuesioner harus andal. Andal berati instrument tersebut menghasilkan ukuran yang konsisten apabila digunakan untuk

mengukur berulangkali. Instrument

kuesioner dinyatakan andal apabila memiliki nilai alpha Cronbach> dari 0.6.

                

2 2 11 1 1 t b V k k r

……….……….(4) Dimana: r11 = reliabilitas instrumen

k = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal

2

b

= jumlah varian butir/item 2

t

V = varian total

Kriteria suatu instrumen penelitian dikatakan reliabel dengan menggunakan teknik ini, bila koefisien reliabilitas (r11) >

0,6.

Flowchart

Penelitian

Gambar 1. Flowchart Penelitian Sumber : Hasil Analisis, 2013

Hasil dan Pembahasan

1. Pelaksanaan Penyebaran Kuesioner

Pelaksanaan penyebaran kuesioner oleh peneliti dilakukan selama kurang lebih satu bulan yaitu selama bulan januari 2013, dalam pelaksanaan penyebaran kuesioner

peneliti melakukan pengumpulan

informasi dan melaksanakan survey

terlebih dahulu guna mencari tempat proyek pembangunan gedung yang sesuai dengan kriteria sebagai responden yang ada di Daerah Tangerang. Peneliti mendapatkan 10 responden yang sesuai dengan kriteria.

Mulai

StudiPustaka

Pengumpulan Data Primer Dan Sekunder

Pengolahan Data DenganMotode SPSS

AnalisisHasilPengujian Data

Kesimpulan Dan

(25)

Hambatan yang sering terjadi dalam pelaksanaan penyebaran kuesioner adalah kesibukan para responden sehingga sulitan dalam meluangkan waktu untuk mengisi kuesioner penelitian ini.

Kesepuluh responden memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang penelitian ini, dari kesepuluh responden hanya ada empat yang memiliki sikap baik tentang penelitian ini, karena adanya

pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan tentang

penelitian ini dari para responden kepada peneliti, dan pada saat menjawab poin pertanyaan tak lupa dengan memberikan bukti dan tidak hanya asal menjawab, dan enam responden lainnya besikap biasa saja hanya menjawab poin pertanyaan tanpa memberikan bukti guna menguatkan jawaban mereka.

2. Analisis Responden

Data hasil pengisian kuesioner dari responden dapat dilihat dari pembahasan dibawah yaitu:

a. Letak Proyek

Gambar 2. Data Letak Proyek Responden Sumber : Hasil Analisis, 2013

Gambar 2 menunjukan letak proyek responden yang berpartisipasi dalam pengisian kuesioner. Penyebaran letak proyek dalam penelitian ini adalah sebanyak 50% (5 responden) proyek

responden dari Kota Tangerang,

Kabupaten Tangerang sebanyak 40% (4

responden), dan Tangerang Selatan

sebanyak 10% (1 responden)

b. Jenis Proyek Bangunan Responden

Gambar 3. Data Jenis Bangunan Proyek Responden

Sumber : Hasil Analisis, 2013 Gambar 3 menunjukan jenis proyek responden yang berpartisipasi dalam

pengisian kuesioner. Jenis proyek

responden adalah sebanyak 70% (7 responden) proyek responden adalah jenis

proyek pembangunan apartemen,

sebanyak 10% (1 responden) proyek

responden adalah jenis proyek

pembangunan Hotel, dan 20% (2

responden) proyek responden adalah jenis royek pembangunan bangunan komersial.

c. Nilai Proyek 10% 10% 10% 10% 10% 10% 10% 10% 10% 10% Nilai ProyekRp 20.504.494.824Rp 27.000.000.000 Rp 54.950.000.000 Rp 58.000.000.000 Rp 92.000.000.000 Rp 149.000.000.000 Rp 100.000.000.000 Rp 131.000.000.000

Gambar 4. Nilai Proyek Sumber : Hasil Analisis, 2013 d. Jenis Kontrak 90% 10% Jenis Kontrak Lumpsum SAP

Gambar 5. Jenis kontrak Sumber : Hasil Analisis, 2013

(26)

Gambar 5 menunjukan bahwa jenis proyek konstruksi yang sedang dilaksanakan oleh responden adalah 90% (9 responden) dengan jenis kontrak Lumsum, dan 10% (1 responden) dengan jenis kontrak SAP. e. Persentasi keterlambatan

Gambar. 6. Persentasi keterlambatan Sumber : Hasil Analisis, 2013

Gambar 6 menunjukan persentasi keterlambatan yang terjadi pada proyek konstruksi bangunan gedung yang sedang dilaksanakan oleh responden adalah 20%

(2 responden) untuk persentasi

keterlambatan sebesar 1% , 10% (1

responden) untuk persentasi

keterlambatan sebesar 1.67%, , 10% (1

responden) untuk persentasi

keterlambatan sebesar 1.9%, 10% (1

responden) untuk persentasi

keterlambatan sebesar 5%, , 10% (1

responden) untuk persentasi

keterlambatan sebesar 9%, , 10% (1 responde) untuk persentasi keterlambatan sebesar 12%, 20% (2 responden) untuk persentasi keterlambatan sebesar 15%, , dan 10% (1 responden) untuk persentasi keterlambatan sebesar 17.7535%.

f. Persentasi Kenaikan Biaya Akibat Keterlambatan

Gambar 7. Kenaikan Biaya Akibat Keterlambatan

Sumber : Hasil Analisis, 2013

Gambar 7 menunjukan besarnya persentasi kenaikan biaya yang terjadi akibat keterlambatan yang terjadi pada royek konstruksi bangunan gedung sebesar 30% (3 responden) untuk persentase kenaikan biaya sebesar 1%, 10% (1 responden) untuk persentase kenaikan biaya sebesar 2%, 20% (2 responden) untuk persentase kenaikan biaya sebesar 5%, 10% (1 responden) untuk persentase kenaikan

biaya sebesar 25%, dan 30% (3

responden) untuk proyek yang belum bisa menghitung persentasi keterlambatan, hal ini disebabkan oleh proyek yang baru beberapa bulan berjalan dan belum bisa memprediksi dengan pasti persentasi kenaikan biaya yang terjadi.

g. Jabatan Responden Dalam Proyek

Gambar 8. Jabatan Responden Dalam Proyek

Gambar

Gambar    6  menunjukan  persentasi  keterlambatan  yang  terjadi  pada  proyek  konstruksi  bangunan  gedung  yang  sedang  dilaksanakan  oleh  responden  adalah  20%
Tabel 3. Rangking Faktor Sepuluh Terbesar Secara Keseluruhan
Gambar 2. Cutter Suction Dredger
Gambar 11. Grafik " DRAGON®" Model Series 1870 - 20" (508mm) I.D. Pipeline
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tanpa mengenyampingkan pentingnya peranan lembaga peradilan, perlu kiranya diteliti mengenai cara-cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan menggunakan forum

Seperti telah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata swasta di luar pengadilan umum yang didasarkan pada kontrak arbitrase yang

Mediasi adalah salah satu bagian dari alternatif penyelesaian sengketa (APS), di samping negosiasi, arbitrase, dan pengadilan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk

(1) Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak

dimaksud dalam UU No. 30/1999 tentang arbitrasem dan alternative penyelesaian sengketa. Cara ini merupakan upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah mengatur secara jelas mengenai pembatalan putusan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ditujukan untuk mengatur penyelesaian sengketa di luar Pengadilan,

30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase