• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterkaitan Ekologi Antara Pengembangan Permukiman Atas Air (PAA) dengan Upaya Konservasi Ekosistem Pesisir (KEP)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Keterkaitan Ekologi Antara Pengembangan Permukiman Atas Air (PAA) dengan Upaya Konservasi Ekosistem Pesisir (KEP)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Sumbang saran pada Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar

10 Oktober 2012. Page 1

Pa

ge

1

Keterkaitan Ekologi Antara

Pengembangan Permukiman Atas Air (PAA) dengan Upaya Konservasi Ekosistem Pesisir (KEP)

D.A. Suriamihardja, dahmad@unhas.ac.id Puslitbang LH, LP2M, Universitas Hasanuddin

A. Pengantar

Tulisan ini berbasis pada sistimatika yang dimulai dari uraian tentang sejarah awal dan karakteristik lingkungan permukiman pesisir dan permukiman di atas air (PAA).

Kemudian dilanjutkan dengan uraian tentang aspek-aspek penting upaya konservasi ekosistem pesisir (KEP). Berdasarkan dua uraian tersebut kemudian dilakukan ekstraksi permasalahan dalam pengembangan PAA dengan upaya KEP. Selanjutnya masing-masing permasalahan dicarikan pendekatan dalam penyelesaianya berupa rekomendasi ekologis dalam mengurangi konflik antara pengembangan PAA dengan upaya KEP. Bahan pustaka untuk menunjang uraian dimaksud diambil dari beberapa tulisan tentang masyarakat Suku Bajo dari Desa Torosiaje, Pohuwato, Gorontalo; Desa Mola, Wangi-wangi, Wakatobi, dan Desa Baliara, Sultra; dan Taman Nasional

Takabonerate, Selayar, Sulsel. Pembahasan dilakukan sepanjang teori-teori yang bersesuaian dengan ekologi manusia dengan menggunakan pesan falsafah Minang, yaitu Alam Takambang (Alam yang tumbuh) dari Agus Dermawan T (Media Indonesia, 18 Mei 2008):

Nan satitik jadikan laut Nan sekepal jadikan gunuang Alam takambang jadikan guru

Air yang setetes dijadikan laut Tanah sekepal dijadikan gunung Alam berkembang dijadikan guru

B. Sejarah Awal dan Karakteristik Lingkungan Permukiman Pesisir dan PAA

“Science is organized knowledge. Wisdom is organized life.” (Immanuel Kant)

Manusia pada awalnya adalah pengelana, mengembara dari suatu tempat kemudian berpindah ke tempat lain, baik dalam matra daratan maupun lautan. Perpindahan ini boleh jadi didorong oleh perubahan alam seperti: peristiwa ekstrim klimatologis, hidrologis, geologis, keterbatasan makanan, dan oleh peristiwa ekstrim lainnya; atau oleh kejadian sosiologis seperti: desosiasi atau asosiasi antar kelompok, atau oleh gangguan lainnya. Mattulada (1997) menjelaskan bahwa didorong oleh kebutuhan perlindungan hidup dari berbagai jenis ancaman atau bencana, maupun keperluan mendapatkan prasarana dan

(2)

Sumbang saran pada Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar

10 Oktober 2012. Page 2

Pa

ge

2

sarana kehidupan, maka mulailah manusia membentuk permukiman yang menghuni gua-gua, tenda-tenda, di lereng-lereng gunung atau gurun, atau biduk-biduk di atas tepi-tepi danau, di atas perairan pantai dan tempat-tempat lainnya yang memungkinkan mereka membangun masyarakatnya dalam suatu ruang permukiman. Bagi masyarakat yang bermukim secara ‘sementara’ di atas perairan pantai (PAA)), seperti misalnya masyarakat Bajo, pada dasarnya mereka mendasarkan pada keberadaan sumber air tawar, sumber daya alam untuk ekstraksi bahan alam, dan pasar untuk melakukan transaksi hasil ekstraksi.

Suatu ruang permukiman akan mencerminkan bentuk budaya dari masyarakat dalam suatu wilayah yang membentuknya, sehingga antara satu wilayah dengan wilayah lain akan memperlihatkan kerakteristik yang berbeda. Pengertian budaya yang dimaksudkan di sini memiliki cakupan yang sangat luas dan salah satunya akan tampak dalam lingkungan fisik, seperti bentuk rumah-rumah beserta struktur permukimannya, dan seluruh produk kehidupan manusia penghuninya. Selain itu akan tampak dalam lingkungan sosialnya, seperti tata aturan kehidupan dan penghidupannya, dan seluruh kristalisasi pemikirannya dalam nilai-nilai dari tata kehidupan budayanya. Kemudian perkembangan pemikiran dalam masyarakat yang bermukim itu secara menerus akan tercermin dari wujud budaya dan sistem nilainya, perkembangannya akan termanifestasikan dalam wujud fisik atau lingkungan binaan pada ruang permukimannya.

Dalam perkembangan karakteristik permukiman, Mattulada (1997) mencermati awal permukiman itu bermula dari persekutuan hidup genealogis (keturunan sedarah). Pada tahap ini, aturan-aturan kehidupan berbasis pada kekerabatan hubungan sedarah yang sangat ketat dan hampir tidak terganggu oleh pemikiran dan pengaruh eksternal. Pada tahap berikutnya berupa persekutuan hidup genealogis-teritorial, yang mulai berlangsung interaksi aturan-aturan kehidupan internal keturunan sedarah dengan pengaruh yang dibawa oleh warga pendatang, sehingga terbentuk aturan-aturan baru yang merupakan produk persekutuan genealogis-territorial. Pada tahap ini mulai timbul suasana sentri-fugal sebagai suasana yang bertumbuh di atas pijakan genealogis-territorial. Alat-alat transportasi dan komunikasi menjadi sarana interaksi di antara warga yang bersekutu. Pada tahap selanjutnya, persekutuan tersebut berkembang menjadi persekutuan hidup teritorial, yang merupakan tahapan yang terbuka terhadap berbagai akses pertukaran produk budaya baik di antara warga persekutuan dalam wilayah yang sama, maupun dengan warga dari wilayah lain. Pada tahap ini tentu saja kekuatan persekutuan genealogis semakin terbungkus oleh persekutuan teritorial.

Saya pernah mengunjungi permukiman di atas air (PAA) yang sudah berada pada fase persekutuan genealogis-teritorial, yaitu permukiman Suku Bajo di Pulau Muna, Sulawesi

(3)

Sumbang saran pada Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar

10 Oktober 2012. Page 3

Pa

ge

3

Tenggara mulai dari kaki bukit Sidamangura, Katanganak, Tiworo, Wasolangka, sampai ke Pulau Balu. Lantai dasar rumah mereka berada pada posisi di atas pasang tertinggi, dan ditopang oleh tiang-tiang penyangga dari pohon bakau. Tampak bahwa deretan pertama rumah-rumah yang lebih lama eksis berada lebih dekat ke lahan daratan dari perairan pantai, deretan kedua dan seterusnya mengarah ke lepas pantai. Di setiap depan deretan rumah terdapat titian sebagai akses penghubung antara satu rumah dengan rumah yang lainnya, begitu pula ada titian yang menghubungkan antara deretan dalam ke deretan terluar. Setiap rumah memiliki biduk-biduk (‘bido’, perahu) untuk melakukan ekstraksi bahan alam (ikan, rumput laut, kayu bakau, dll), untuk berinteraksi dengan rumah-rumah lain, atau sebagai sarana transportasi untuk berinteraksi dengan wilayah daratan, atau wilayah permukiman lainnya. Mereka memelihara akses ke daratan untuk memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan.

Munir Salam (2012) dalam kertas kerjanya menyandarkan pada pendapat antropolog Francois Robert Zacot (1978) yang pernah tinggal di Torosiaje, Gorontalo, menyebutkan bahwa Suku Bajo memiliki konsep ruang yang berbeda dari orang yang tinggal di daratan. Ruang bagi orang yang sudah terbiasa tinggal di daratan, menunjuk pada lokasi geografis tertentu berkenaan dengan wilayah asal. Sedangkan bagi Suku Bajo yang selalu berpindah-pindah, dengan sendirinya tidak menganggap bahwa ruang itu menunjuk pada suatu lokasi geografis tertentu di muka bumi sebagai tempat asal mereka. Suku Bajo lebih berpikiran untuk menciptakan ruang yang lebih besar, tanpa meninggalkan kehidupan di laut. Sehingga apabila dicerap konsep mereka tentang ruang akan bersifat dualistik, yaitu: pertama sebagai ruang ‘pengembaraan’ yang merupakan aktivitas kelompok sosial yang terdiri dari kerabat-kerabat, dan tidak bersifat fisik, tetapi merupakan sebuah ruang sosial tempat mereka mendapatkan “kebajoan” tanpa memandang letak ruang tersebut; kedua sebagai ruang ‘permukiman’ yang merupakan wilayah-wilayah yang pernah dikunjungi atau ditempati, dan menjadi permukiman kerabat-kerabat mereka. Contoh permukiman mereka dapat dilihat pada Gambar-1.

Gambar-1. Contoh permukiman beserta alat transportasi Suku Bajo. Sumber : http://hulondhalo.com/2010/01/wisata-torosiaje/

(4)

Sumbang saran pada Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar

10 Oktober 2012. Page 4

Pa

ge

4

Makna ruang sebagai wilayah pengembaraan maupun wilayah permukiman bagi Suku Bajo merupakan: (1) ruang kebersamaan untuk menjaga hubungan di antara sesama, dan bekerja sama dengan pihak lain untuk mencapai tujuan bersama; (2) ruang kekeluargaan untuk menjaga untuk tidak saling mengganggu dan merugikan, sehingga mampu menerapkan strategi adaptif dalam mengatasi problematika yang dihadapi; (3) ruang persatuan untuk saling tolong menolong, memberi dan menerima, dalam berbagai aktivitas di laut di antara sesama mereka. Dalam makna seperti ini, ruang bagi Suku Bajo tetap berada pada kondisi pra-permukiman, yaitu pada kondisi perkelanaan, yang ternyata diperlukan sebagai bukti kedaulatan teritorial. Kehilangan pulau-pulau kita oleh negara tetangga karena dianggap tidak ada bukti-bukti perawatan yang ditunjukkan oleh adanya ruang aktivitas masyarakat baik penghuni maupun pengunjung.

Abdul Manan (2010) mantan Ketua Pusat Studi Lingkungan, Universitas Haluoleo, Kendari, yang sekarang menjadi Ketua Bappeda Kabupaten Wakatobi dalam Blog bernama “Menari Bersama Kata” (WordPress.Com) menyebutkan bahwa walaupun diperkirakan bahwa Suku Bajo itu berasal dari Johor, tetapi dari segi bahasa lebih memiliki kesamaan dengan bahasa Tagalog, Phillipine. Sumber lain (BeritaDaerah.Com) menyebutkan bahwa Suku Bajo sebagai pelaut yang tangguh pernah menjadi bagian dari angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. Sekarang keberadaannya tersebar mulai dari perairan pantai-pantai Thailand, Sumatera, Malaysia, Kalimantan, Mindanao, Sulawesi, NTB dan NTT. Menurut Abdul Manan, keberadaan Suku Bajo sudah diakui oleh lembaga setingkat Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai suku mandiri dan telah membentuk semacam perkumpulannya dengan anggotanya berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Phillippine.

Pendapatan per hari rata-rata masyarakat Suku Bajo di Wakatobi bisa mencapai Rp 300 ribu, angka ini menunjukkan penghasilan yang tergolong tinggi. Namun masih belum memiliki kebiasaan menabung dan mengelola keuangan keluarga dengan baik. Sehingga tidak tampak pada pencapaian wajib belajar pendidikan yang memadai terbukti dari minat mereka pada pendidikan masih rendah, yaitu hanya 0,5% dari 46% angka partisipasi kasar (APK) di Sulawesi Tenggara. Harapan Abdul Manan, sebagai warga dan ‘Presiden’ pertama Suku Bajo yang telah berkesempatan menempuh pendidikan S2 di Thailand, menargetkan agar paling tidak dapat mengupayakan angka 0,5% tersebut menjadi 10%, katanya “Hanya dengan pendidikan yang tanpa menggusur budaya, kita bisa maju.” Presiden masyarakat Suku Bajo sekarang adalah seorang Datuk dari Kerajaan Malaysia.

C. Aspek-aspek Penting dalam Upaya Konservasi Ekosistem Pesisir (KEP)

Energi dalam kajian ekologi dalam definisi sederhana merupakan kapasitas untuk menghasilkan kerja. Sedangkan definisi sederhana tentang uang dalam kajian ekonomi

(5)

Sumbang saran pada Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar

10 Oktober 2012. Page 5

Pa

ge

5

adalah kemampuan untuk membuat orang lain bekerja. Energi dan uang merupakan

penggerak utama untuk ekstraksi dan produksi materi serta penyedia jasa sebagai kegiatan penghidupan dari suatu permukiman manusia termasuk permukiman atas air (PAA).

Dalam setiap permukiman, dapat disaksikan ekstraksi bahan alam (ikan, rumput laut, kayu bakau, dll) sampai kepada perubahan bentuk materi dan energi (ikan kering, kerajinan tangan, panganan khas, obat-obat tradisional, dll) dan pemandu jasa wisata dan olahraga perairan pantai (menyelam, berenang, berlayar, berselancar, dll). Aktivitas produksi dan jasa ini jelas merupakan suatu aktivitas ekonomi dengan bantuan teknologi tradisional maupun teknologi maju. Di awal setiap proses akan terlibat materi dan energi input, dan akhir proses terbentuk materi dan energi output. Pada setiap proses, selalu saja terdapat energi yang terlesap, dan materi yang terbuang, yang tidak terkandung dalam materi dan energi output. Materi yang terbuang akan segera tampak sebagai limbah, dan energi yang melesap menjadi kehilangan yang mereduksi efisiensi.

Pikiran para ekonom bekerja dalam paradigma ’kelangkaan’ sumberdaya, sementara pikiran para ekolog bekerja dalam paradigma ’keberlimpahan’ sumberdaya. Bagi ekonom, suatu sumberdaya dikatakan ‘langka’, apabila sumberdaya tersebut tidak dapat

dimanfaatkan, ditukar atau diproduksi menjadi sumberdaya ‘langka’ lainnya. Paradigma kelangkaan inilah yang dapat menjadi batu sandung yang perlu ditata dalam pemikiran ekonomi melalui prinsip kehati-hatian dan penggunaan teknologi ramah lingkungan agar mencapai sasaran keberlanjutan (sustainability) ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.

McMahon dan Mrozek (1997) menekankan bahwa teori ekonomi sangat mempertimbangkan keberlanjutan (sustainability) agar generasi mendatang dapat menikmati kehidupan yang sejahtera dalam koridor dan rambu-rambu ekologis.

Pertimbangan ini penting untuk membantu menemukan teori ekonomi sumberdaya yang diiringi prinsip kehati-hatian agar sumberdaya penopang seperti hutan mangrove dan terumbu karang tidak punah. Apabila sekali terjadi kepunahan, maka entropi membesar, dan untuk mengembalikannya (proses negentropi) memerlukan usaha yang luar biasa dan waktu yang lama.

Penggunaan hukum pertama termodinamika dalam teori ekonomi mengisyaratkan kondisi mendatang menjadi sangat tidak menentu, degradasi lingkungan, perambatan limbah dengan entropi tinggi, dan kombinasi di antara berbagai kesulitan membuat konsumsi masa depan secara termodinamik menjadi lebih sulit. Kekhawatiran ini dapat direduksi dengan penggunaan hukum kedua termodinamika yang memberikan peringatan bahwa entropi alam akan terus membesar, sehingga perlu dihemat dengan pengelolaan yang bermanfaat dan penuh kehati-hatian bagi kehidupan di atas kondisi alam yang

(6)

Sumbang saran pada Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar

10 Oktober 2012. Page 6

Pa

ge

6

memiliki keberlanjutan. Konsep pembesaran entropi semesta inilah yang mendasari upaya konservasi ekosistem pesisir (KEP) untuk memelihara parameter dan sekaligus nilai-nilai keberlanjutan (sustainability).

D. Permasalahan dalam Pengembangan PAA dengan Upaya KEP

Permasalahan pertama (1) bagi lingkungan sekitar permukiman atas air (PAA) adalah karena suasana persaingan dengan waktu. Pada suasana seperti itu, siapapun ingin mengekstrak lebih banyak dalam waktu yang lebih cepat, karena berlumba dengan

permintaan pasar yang juga menghendaki hasil pengumpulan yang serba cepat. Sehingga tidak menutup kemungkinan mereka menggunakan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Terhadap masalah ini diperlukan perubahan dari pola perilaku kegiatan ekstraksi ke arah budidaya. Permasalahan kedua (2) adalah berupa pola perilaku konsumtif dengan penghasilan rata-rata Rp 300 ribu perhari tidak terlalu dialokasikan untuk kepentingan pendidikan anak-anak dan remaja mereka. Mungkin karena lokasi sekolah terlalu di luar jangkauan kemampuan keseharian mereka, atau tenaga anak-anak dan remaja mereka harus turut dalam kegiatan ekstraksi. Dalam hal ini diperlukan ulur tangan pemerntah yang seksama. Permasalahan ketiga (3) adalah masalah sanitasi permukiman, terutama pola penggunaan energi, pola penggunaan bahan kimia, termasuk kepentingan pengelolaan limbah padat dan cair. Permasalahan keempat (4) adalah keengganan masyarakat Suku Bajo untuk menetap di lahan daratan, karena lebih merasa aman di wilayah perairan dari pada di wilayah daratan. Perkembangan berikutnya, Suratman Baharuddin (2011) mencatat bahwa masyarakat Suku Bajo di Wakatobi biasa mereklamasi bagian bawah rumah dengan hasil penambangan terumbu karang, seperti terlihat pada Gambar-2.

Gambar-2 Kondisi rumah dengan kolong sudah penuh terisi karang dan berada di atas tanah hasil reklamasi di Pulau Wangi-wangi, Wakatobi. (Foto Suratman Baharuddin, 2011).

(7)

Sumbang saran pada Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar

10 Oktober 2012. Page 7

Pa

ge

7

E. Rekomendasi Ekologis dalam mengurangi Konflik antara Pengembangan PAA dengan Upaya KEP

1. Rekomendasi tentang upaya pendekatan

Bagi Nuryadin (2010) berdasarkan pengalaman di Desa Baliara, Sultra, pengembangan masyarakat Suku Bajo masih sangat memungkinkan. Karena ‘kebajoan’-nya, mereka terikat pada kekuatan modal sosial yang berbasis pada homogenitas etnik dan homogenitas pekerjaan. Berdasarkan kekuatan ini, maka introduksi tentang makna-makna yang terkandung dalam istilah kelangkaan, irreversibilitas, keberlanjutan, konservasi ekosistem pesisir (KEP), dan

pengembangan perumahan atas air (PAA) masih memungkinkan melalui hubungan punggawa (pemilik modal) dan sawi (penggarap, pelaksana). Hubungan Punggawa-sawi tidak terbatas pada aktivitas transaksional saja, tetapi mencakup juga prinsip-prinsip: kekeluargaan (dansihitang), kekerabatan (kinship), gotong royong

(sitabangan), menghindari konflik (orrai lesse), dan saling ketergantungan hidup (kalumanine).

Permasalahan (1) yang berakar pada suasana kompetitif dan penggunaan teknologi tidak ramah lingkungan; dan permasalahan (2) yang berakar pada perilaku

konsumtif dapat lebih diberdayakan melalui peningkatan kesadaran bersama demi keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Pendekatan penyelesaian permasalahan (1) dan (2) ini masih ditopang oleh deposit kearifan local masyarakat Suku Bajo di Takabonerate menurut catatan Hajrah Arsyad (2001) yang berbunyi: “Sappa nia kokoku,” artinya terumbu karang adalah kebunku. Dalam upaya ekstraksi bahan alam terdapat rambu-rambu dalam bahasa Bugis, karena di Takabonerate telah hidup berdampingan antara Suku Bajo dan Suku Bugis, “Karitutu ko massapa dale apa okko tasie engka pangonroanna, jaji aja mumaburamali,” artinya berhati-hatilah mencari penghidupan di laut, karena ada penguasanya.

2. Rekomendasi tentang inspirasi perbaikan keselarasan

Melalui pendekatan terhadap prinsip-prinsip hidup masyarakat Suku Bajo, dapat diajak untuk turut berpikir bagaimana melaksanakan Konservasi Ekosistem Pesisir (KEP). Melalui pertimbangan keselarasan dengan sesama dan dengan alam

(ekosistem pesisir), bahwa KEP akan menjadi penting bagi keberlanjutan masyarakat Suku Bajo di masa mendatang. Munir Salam (2012) berdasar pada pengelaman dengan masyarakat Bajo di Desa Torosiaje, berpendapat bahwa keselarasan yang bersifat rohani maupun pragmatis adalah persepsi manusia tentang keteraturan hubungan antara unsur-unsur yang menghuni alam. Dalam memenuhi kebutuhan

(8)

Sumbang saran pada Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar

10 Oktober 2012. Page 8

Pa

ge

8

rohani, keselarasan antar sesama dipandang sebagai pegangan utama dalam menjamin ketenteraman batin; sedangkan dalam memenuhi kebutuhan pragmatis, keselarasan dengan alam dipandang sebagai syarat untuk hidup tenang dalam kehidupan bermasyarakat.

Permasalahan (3) tentang sanitasi berakar pada barang-barang organik di masa lalu yang segera terdegradasi dengan berjalannya waktu, tetapi dengan hadirnya plastik, kaleng, beling, bahan-bahan berbahaya dan beracun menjadi masalah karena tidak segera terdegradasi oleh lingkungan. Untuk masalah ini perlu ulur tangan pemerintah untuk melakukan intervensi pengelolaan limbah. Permasalahan (4) tidak lagi terlalu menonjol, karena kesadaran menetap telah menjadi kuat dibanding dengan perilaku berpindah-pindah. Uniwati (2007) mengupas rekaman Herlina (2004) tentang salah satu mantera dalam bahasa Suku Tolaki yang telah hidup berdampingan dengan Suku Bajo. Mantera ini termasuk bhatata katambori, yang digunakan untuk membuka hutan atau lahan:

Assalamu alaikum ruuhi alusu Maikalano walo karuku Mikano walo kolobino kontu Melateno walo wite

Mekantaino talowuraa Fetingke koomo kapakatukua Sarata abelai wite ano ini

Pingkaomo koomo waa fatowala fatosingku alamu

Laasao pae koomo metingke Nakumantibakomiu fotuno kuraani Moropu koomo kobhari-bhari miu

Keselamatan bagimu roh halus Yang berkeliaran di dalam hutan Yang menempel di dalam lubang batu Yang tinggal di dalam tanah

Yang bergantung di pohon beringin Dengarkanlah kiriman saya Sejak saya membuka lahan ini

Menghindarlah di empat belah empat sudut alam

Kalau tidak mendengar akan ditimpa kepala Quran Akan remuk semuanya

F. Penutup

Ucapan terimakasih kepada Pimpinan Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisonal Makassar, Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Badan

Penelitian dan pengembangan, Kementrian Pekerjaan Umum yang telah memberi ruang untuk menyampaikan tulisan ini. Tulisan ini ditutup dengan pesan dari Tunjuk Ajar Melayu:

Tanda orang memegang adat, alam dijaga, petuah diingat;

Tanda orang memegang amanat, terhadap alam berhemat cermat; Tanda orang berpikiran panjang, merusak alam ia berpantang; Tanda ingat ke hari tua, laut dijaga, laut dipelihara.

(9)

Sumbang saran pada Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar 10 Oktober 2012. Page 9 Pa ge

9

G. Bahan Pustaka

Arsyad, Hajrah, (2001). “Study in Indigenous Right and Its Implementation in Managing Coral Reef Resources in Takabonerate,” Final Report: in cooperation with CRITIC-COREMAP, South Sulawesi, Live Environment Research Center (LERC) Unhas.

Baharuddin, Suratman, 2011. “ Pergeseran Nilai Tradisional Suku Bajo dalam Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut Taman Nasional Wakatobi,” Skripsi Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Mattulada, H.A. (1997). “Kebudayaan, Kemanusiaan, dan Lingkungan Hidup,” Hasanuddin University Press, Makasssar.

McMahon, G.F. and J.R. Mrozek, (1997). “Economics, entropy and sustainability,” Hydrological Sciences-Journal-des Sciences Hydrologiques, 42(4) August.

Nuryadin, La Ode Taufik, 2010. “Kapital Sosial Komunitas Suku Bajo: Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Pulau Baliara Provinsi Sulawesi Tenggara,” Disertasi Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

Uniawati, 2007. “Mantra Melaut Suku Bajo: Interpretasi Semiotik Riffaterre,” Thesis Magister Susastra, Universitas Diponegoro, Semarang.

Salam, H. Munir (2012). “Pengelolaan Ruang Sosial Nelayan Suku Bajo di Desa Torosiaje, Gorontalo,” Tugas Matakuliah Kearifan Lokal, semester genap 2011/2012, Makassar. Suharjo, Sri (2006). “Budaya Masyarakat Bajo di Desa Torosiaje Kabupaten Pohuwato,”

Konsultan Drs Alex J. Ulaen, DEA, Balai Kajian sejarah dan Nilai tradisonal, Manado. Suriamihardja, D.A. (2006). “Re-promoting Weakening Local Values to manage Spermonde

Marine Resources: An insight from co-existence to co-evolution,”International Symposium: Crossing Disciplinary Boundaries and Re-visioning Area Studies: Perspective from Asia and Africa, from 9th to 13th November 2006, Kyoto, Japan.

(10)

10

Pa

ge

Referensi

Dokumen terkait

Melakukan penundaan penerbitan rekomendasi dan izin lokasi baru pada kawasan hulan dan Iahan gambut serta areal penzgunaan lain. berdasarkan Peta Indikatif Penundaan Izin

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa hasil skripsi yang berjudul: INTENSI MELAKUKAN AGRESI PADA SUPORTER PERSEBA YA DITINJAU DARI SIKAP TERHADAP PERILAKU AGRESI DALAM

Melaksanakan audit sistem informasi manajemen rumah sakit berdasarkan COBIT 4.1 pada RSI Jemursari sesuai dengan perspektif proses bisnis internal dengan cara wawancara,

Panitia pengadaan barang/Jasa pada Kanreg III Badan Kepegawaian Negara akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan pengadaan Jasa

Sesuai dengan rumusan hipotesis yang dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa masalah yang akan diungkapkan dalam penelitian ini adalah “Pengaruh Kinerja Pengurus Terhadap

Setelah di milling terlihat ukuran partikel pasir besi semakin kecil dan masuknya partikel grafit ke dalam pasir besi, sehingga reduksi langsung mungkin terjadi karena area kontak

PERANCANGAN SISTEM INFORMASI TRACER STUDY BERBASIS WEB MENGGUNAKAN METODE RAPID APPLICATION DEVELOPMENT RAD PADA UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA.. PROGRAM STUDI TEKNIK

c* Pemeriksa harus meailih terapat dan snat pemeriksaan yang scauai dan tepat* Pemeriksa tersangka lebih kurang adalah sebaliknya dari pada pemeriksa saksi* Terean^a pada uaua-