TINJAUAN PUSTAKA
Gulma pada Padi Sawah
Gulma merupakan tanaman yang tumbuh bukan pada tempatnya, atau disebut juga tanaman atau tumbuhan yang manfaatnya lebih sedikit dibandingkan dengan kerugian yang diakibatkan pada lahan yang sedang diusahakan (Radosevich, et al., 2007). Gulma dapat tumbuh di berbagai macam lingkungan termasuk di air. Gulma air (aquatic weeds) adalah tanaman yang mempunyai kemampuan beradaptasi di lingkungan basah. Menurut Sidorkewicj, et al. (2004) terdapat lebih kurang 700 spesies gulma air yang tersebar di dunia, namun hanya beberapa diantaranya yang menimbulkan masalah.
Di Indonesia gulma air menjadi penting terkait dengan banyaknya lahan persawahan yang berada di wilayah jenuh air. Beberapa jenis gulma yang menjadi masalah pada pertanaman padi sawah sistem pindah tanam (transplanted rice
fields) antara lain Eleocharis kuroguwai, Sagittaria trifolia, S. pygmaea, Echinochloa crus-galli, dan Monochoria vaginalis (Chul and Goo, 2005). Salah
satu contoh gulma penting yang ada pada pertanaman padi adalah Echinochloa
crus-galli. Gulma ini memiliki daya adaptasi yang kuat, yang akan bersaing
dengan tanaman padi sawah. Hasil penelitian Guntoro et al. (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi populasi E. crus-galli akan meningkatkan kompetisi terhadap tanaman padi dan berpotensi menurunkan hasil gabah per malai. Gulma golongan daun lebar seperti Monochoria vaginalis dan Limnocharis flava menjadi
dominan dengan frekuensi penutupan mencapai lebih dari 50% (Begum et al., 2005).
Gulma-gulma lain kemungkinan tidak invasive terhadap tanaman utama, namun beberapa gulma seperti Monochoria vaginalis dapat menjadi inang bagi keong sawah yang dapat mengganggu pembibitan padi sawah. Beberapa gulma seperti M. vaginalis, Cyperus rotundus, Leersia hexandra, dan Jussiaea repens merupakan tanaman inang bagi virus tungro (Muis et al., 2008), sedangkan
Paspalum, Zizania, Echinochloa, dan Ischaemum merupakan inang dari hama
Pengendalian Gulma pada Padi Sawah
Sistem budidaya padi dilakukan secara intensif yang menghendaki kondisi bersih gulma untuk meminimalkan persaingan antara tanaman padi dan gulma. Gulma muncul terutama sejak padi mulai dipanen hingga musim tanam baru dimulai.
Salah satu cara yang digunakan dalam pengendalian gulma padi sawah yakni secara manual. Pengendalian dilakukan dengan menyiangi gulma pada saat persiapan lahan, namun cara ini dinilai kurang efektif. Penerapan sistem SRI (System of Rice Intensification) pada pertanaman padi menyebabkan peningkatan jumlah tenaga kerja, karena kegiatan pengendalian gulma maupun hama dilakukan sendiri oleh petani. Pengendalian gulma dilakukan sebanyak 3-4 kali, sehingga terjadi peningkatan biaya untuk kebutuhan tenaga kerja (Anugrah et al., 2008).
Pengendalian gulma secara kultur teknis juga digunakan dalam mengendalikan gulma pada padi sawah. Metode yang digunakan salah satunya adalah dengan penggenangan. Kondisi tanah yang tergenang menciptakan suasana anaerob, sehinga perkecambahan biji gulma dapat dihambat. Penggenangan juga menyebabkan penghambatan suplay oksigen pada proses respirasi di sekitar perakaran. Prambudyani dan Djufry (2006) menyatakan bahwa pada penggenangan padi sawah hingga 15 cm, tidak meningkatkan laju pertumbuhan relatif gulma Fimbristylis miliacea.
Cara yang paling efektif dan banyak digunakan untuk mengendalikan gulma pada padi sawah saat ini adalah dengan menggunakan bahan kimia. Bahan kimia tidak hanya digunakan untuk mengendalikan gulma, namun juga diterapkan untuk mengendalikan hama dan penyakit pada pertanaman padi. Herbisida yang umum digunakan pada tanaman padi baik digunakan secara tunggal maupun campuran antara lain: herbisida thiobencarb, 2.4-D, campuran herbisida metil metsulfuron + etil klorimuron, herbisida 2.4 dimetilamina, dan herbisida oksifluorfen (Dwianda, 2007).
Herbisida Cyhalofop-Butyl
Gambar 1. Struktur Kimia Cyhalofop-Butyl
2-[4-(4-cyano-2-fluorophenoxy)phenoxy]propanoic acid, butylester (R) termasuk kedalam golongan Aryloxyphenoxypropionate. Herbisida ini termasuk dalam grup herbisida ACCase (acetyl CoA carboxylase) inhibitors (Weed Science, 2011). Cyhalofop-butyl mengendalikan gulma dengan jalan menghambat kerja Asetil Koenzim-A Karboksilase. Enzim ini bertindak dalam biosintesis asam lemak pada jenis rumput-rumputan. Penghambatan asam lemak menyebabkan kehilangan lemak dan kematian secara bertahap pada proses pembelahan sel di titik tumbuh (California Departement of Pesticide Regulation, 2003). Beberapa gulma yang dapat dikendalikan oleh herbisida cyhalofop-butyl yakni Echinochloa spp. pada umur kurang dari fase 5 daun (Wada, 2004), Leptochloa spp., dan tidak mengendalikan gulma daun lebar (broadleaves) (California Departement of Pesticide Regulation, 2003).
Herbisida Penoxsulam
Penoxsulam termasuk dalam kelompok senyawa Triazolopyrimidine
sulfonamide. Herbisida ini merupakan grup herbisida ALS inhibitors (Weed
Science, 2011). Bahan aktif penoxsulam digunakan sebagai sebagai herbisida pasca tumbuh dan sebagai zat penghambat pertumbuhan enzim acetolacetate
synthase (ALS) yang mirip dengan imidazolinone dan sulfonylurea
(Ottis et al., 2003). Herbisida berbahan Triazolopyrimidine pertama kali dikomersialisasikan tahun 1993, dan lima jenis diantaranya tercatat sedang dikembangkan. Triazolopyrimidine, sulfonylurea, dan
sulfonylamino-O O O O C N CH3 CH3 F
carbonyltriazolinone mampu menghambat pembelahan sel dengan cepat dimana
herbisida masuk ke dalam xylem dan floem, sehingga mencegah biosintesis percabangan rantai asam amino (Monaco, 2002).
Gambar 2. Struktur Kimia Penoxsulam
Penoxsulam merupakan herbisida berspektrum luas yang dapat mengendalikan gulma semusim, tahunan, dan dwitahunan pada rumput golf. Jenis gulma yang dapat dikendalikan antara lain: Trifolium repens, Glechoma
hederacea, Hydrocotyle spp. (Dow AgroSciences, 2005), Salvinia minima
Baker., dan Eichornia crassipes (Mart.) (Wersal and Madsen, 2010). Penoxsulam dapat mengendalikan semua jenis gulma (daun lebar, rumput, dan teki) kecuali
Leptochloa spp., Dactiloteneum spp., dan Cyperus rotundus (Gopal et al., 2010).
Interaksi Herbisida
Pencampuran beberapa jenis herbisida dapat mempengaruhi toksisitas masing-masing komponen bahan aktif herbisida. Interaksi herbisida campuran dapat berupa interaksi sinergis dan interaksi antagonis. Interaksi sinergis terjadi apabila beberapa campuran herbisida akan menimbulkan efek normal atau bahkan meningkatkan pengaruh herbisida, sedangkan interaksi antagonis terjadi apabila campuran beberapa bahan aktif dalam herbisida akan menurunkan pengaruh terhadap gulma sasaran.
Interaksi antagonis dapat menimbulkan mekanisme yang berbeda pada gulma sasaran. Rao (2000) mengemukakan bahwa terdapat empat jenis mekanisme antagonisme yang dapat terjadi pada pencampuran beberapa bahan aktif herbisida. Antagonisme biokimia terjadi apabila bahan aktif satu herbisida
O N N N N OCH OCH NH S O OHF F3 O
menghambat penetrasi bahan aktif herbisida lain pada gulma sasaran tertentu (berlawanan dengan sifat sinergis). Antagonisme kompetitif terjadi ketika campuran dua bahan aktif bekerja saling meniadakan satu sama lain, sedangkan pada antagonisme fisiologis antar bahan aktif menimbulkan reaksi berkebalikan bila dicampur dengan bahan yang lain. Antagonisme kimia menimbulkan reaksi kimia saat kedua bahan aktif dicampur, sehingga campuran herbisida kehilangan pengaruh pada gulma sasaran.
Model Analisis Campuran Herbisida
Sifat antagonis atau sinergis dari pencampuran herbisida dapat ditentukan dengan dua model acuan, yaitu ADM (Additive Dose Model) dan MSM (Multiplicated Survival Model). Model ADM pada awalnya digunakan untuk mendemonstrasikan aplikasi insektisida terhadap serangga, kemudian dengan menggunakan metode isobol dapat diperkirakan sifat insektisida campuran (sinergis, aditif, atau antagonis) (Tammes, 1964; Hatzios dan Panner, 1984). Metode tersebut selanjutnya menjadi dasar model ADM dan digunakan bila dua herbisida dari kelompok bahan kimia dan mode of action sama dicampurkan.
Gambar 3. Analisis Model ADM: Posisi Nilai Harapan dan Nilai Perlakuan Sumbu x dan y menunjukkan dosis herbisida A dan B (Gambar 3). K adalah LD50 herbisida A, sedangkan L adalah LD50 herbisida B. Garis yang
menghubungkan titik K dan L pada kedua sumbu merupakan titik kedudukan (a1,b1)= TP harapan
(a2,b2)= nilai perlakuan (sinergistik)
antagonistik
l = campuran dengan reaksi A;B
t = persamaan dari A dan B K L Dosis A D os is B
berbagai campuran herbisida yang menyebabkan kematian 50%. Garis (l) menggambarkan perbandingan herbisida A dan B dalam formulasi herbisida campuran. Perpotongan kedua garis ini merupakan nilai LD50-harapan herbisida
campuran. Bila nilai LD50 herbisida campuran lebih kecil dari LD50-harapan,
maka campuran herbisida bersifat sinergis. Bila nilai LD50 sama dengan nilai LD50
harapan, maka campuran herbisida bersifat aditif, dan bila lebih besar maka herbisida campuran bersifat antagonis.
Metode MSM digunakan bila komponen formulasi memiliki mode of
action atau golongan yang berbeda (Kristiawati, 2003). Analisis dinyatakan dalam
persamaan regresi linier probit (Y = aX + b) dari gabungan herbisida. Nilai persen kerusakan gulma dinyatakan dalam bentuk transformasi nilai probit (sebagai Y), sedangkan dosis herbisida dinyatakan dalam bentuk logaritmik dari dosis (sebagai X). Persamaan linier yang diperoleh digunakan untuk menghitung nilai LD50,
yaitu dosis yang menyebabkan kemungkinan kematian 50% populasi gulma yang diharapkan akibat aplikasi herbisida.
Nilai LD50 ini selanjutnya akan digunakan untuk melakukan analisis.
Gowing (1960) dan Limpel (1962) menemukan formulasi matematika yang digunakan untuk menentukan nilai harapan campuran, dinyatakan sebagai:
P(A+B) = P(A) + P(B) – P(A)(B)
dimana P(A+B) adalah nilai persen kematian gulma dari herbisida campuran (Purwanti, 2003). Dalam formulasi ini, P(A) adalah persen kematian gulma oleh herbisida A, P(B) adalah persen kematian gulma akibat herbisida B, sedangkan P(A)(B) adalah hasil kali persen kematian P(A) dengan P(B). Nilai LD50-harapan
dapat diperoleh dari persamaan P(A+B) = 50, dimana P(A) dan P(B) diperoleh dari persamaan garis probit Y = a + bX.
Kriteria sifat campuran dinilai dari perbandingan LD50-percobaan
campuran dan nilai LD50-harapan campuran. Campuran bersifat sinergis apabila
LD50-percobaan campuran lebih kecil dari LD50-harapan campuran, jika
sebaliknya maka campuran tersebut bersifat antagonis. Sifat aditif terjadi apabila nilai LD50-percobaan campuran sama dengan LD50-harapan campuran.