• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELANGGAR UNDANG-UNDANG LALU LINTAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELANGGAR UNDANG-UNDANG LALU LINTAS"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

LAW ENFORCEMENT TOWARD CHILDREN WHO VIOLATE THE ACT OF TRAFFIC enforcement against child who violates the Act Traffic? (2) What are the factors that hinder enforcement of a child in violation of the Act Traffic?

Approach the problem using normative juridical and empirical jurisdiction. Data were analyzed qualitatively for the conclusion of the study.

The results showed that: (1) The enforcement of the law against child who violates Traffic Act implemented by the City Police Bandar Lampung through the diversion process as mandated by Article 1 Paragraph (7) of Law No. 11 of 2012 on the Criminal Justice System Child is outside the criminal justice process through peace, as mandated by Law child Criminal Justice System which aims to achieve peace between the victim and the child, the child settle the case outside the judicial process, prevent children from deprivation of liberty, encouraging people to participate and instill a sense of responsibility accountable to the child. (2) Factors that hinder enforcement of a child in violation of the Traffic Act are: Factors legislation, namely the regulation of discretionary authority under the Police Act potentially misinterpreted; Factors law enforcement, which is the quantity of the limited number of members of Traffic in handling cases of traffic in the city of Bandar Lampung and the quality is still a lack of knowledge and skills of investigators in implementing peace in the completion of a criminal traffic cases; Community factors, namely the lack of completeness of data and information submitted by the offender and the victim were involved in a criminal case traffic; Cultural factors, namely the personal character of the offender and the victim and his family that does not support the resolution of the case outside the justice or peace.

Suggestions in this research are: (1) Police as law enforcement officers advised continue to improve the professionalism and capacity as executor of the peace process between the parties involved in a criminal case traffic. (2) Police in the mediation process is recommended to be proportional to place itself as a neutral party, so as to avoid the appearance of partiality toward one party.

(2)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELANGGAR UNDANG-UNDANG LALU LINTAS

Oleh

BAGUS SADDAM YEKTI

Perkara tindak pidana lalu lintas umumnya terjadi tanpa kesengajaan atau ada unsur kealpaan atau kelalaian dari pelaku, namun demikian pelakunya tetap harus bertanggung jawab atas perkara tersebut. Permasalahan penelitian ini dirumuskan: (1) Bagaimanakah penegakan hukum terhadap anak yang melanggar Undang-Undang Lalu Lintas? (2) Apakah faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap anak yang melanggar Undang-Undang Lalu Lintas?

Pendekatan masalah menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Penegakan hukum terhadap anak yang melanggar Undang-Undang Lalu Lintas dilaksanakan oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung melalui proses diversi sebagaimana diamanatkan Pasal 1 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu proses proses di luar peradilan pidana melalui perdamaian, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. (2) Faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap anak yang melanggar Undang-Undang Lalu Lintas adalah: Faktor perundang-undangan, yaitu pengaturan mengenai kewenangan diskresi dalam Undang-Undang Kepolisian yang berpotensi disalahtafsirkan; Faktor penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih terbatasnya jumlah anggota Satlantas dalam menangani perkara lalu lintas di Kota Bandar Lampung dan secara kualitas masih kurangnya pengetahuan dan keterampilan penyidik dalam menerapkan perdamaian dalam penyelesaian perkara pidana lalu lintas; Faktor masyarakat, yaitu ketidak lengkapan data dan informasi yang disampaikan oleh pelaku dan korban yang terlibat dalam perkara pidana lalu lintas; Faktor Kebudayaan, yaitu karakter personal pelaku dan korban serta kleluarganya yang tidak mendukung penyelesaian perkara di luar peradilan atau perdamaian.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pihak Kepolisian sebagai aparat penegak hukum disarankan terus meningkatkan profesionalisme dan kapasitas sebagai pelaksana proses perdamaian antara pihak-pihak yang terlibat dalam perkara pidana lalu lintas. (2) Pihak Kepolisian dalam proses mediasi disarankan untuk secara proporsional menempatkan diri sebagai pihak yang netral, sehingga tidak menimbulkan kesan adanya pemihakan terhadap salah satu pihak

(3)

i

UNDANG-UNDANG LALU LINTAS

Oleh

BAGUS SADDAMYEKTI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELANGGAR UNDANG-UNDANG LALU LINTAS

(Tesis)

Oleh

BAGUS SADDAM YEKTI NPM. 1322011010

PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 10

D. Kerangka Pemikiran ... 11

E. Metode Penelitian ... 15

F. Sistematika Penulisan ... 19

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 20

A. Penegakan Hukum ... 20

B. Perkara Pidana Lalu Lintas ... 25

C. Penanggulangan Tindak Pidana ... 28

D. Pengertian Anak dan Perlindungan Hukum terhadap Anak ... 31

E. Perdamaian dan Keadilan Restoratif ... 39

F. Keadilan Substantif terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana... 48

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

A. Karakteristik Narasumber ... 61

B. Penegakan Hukum terhadap Anak yang Melanggar Undang- Undang Lalu Lintas ... 62

C. Faktor yang Menghambat Penegakan Hukum terhadap Anak yang Melanggar Undang-Undang Lalu Lintas ... 96

IV. PENUTUP ... 103

A. Simpulan ... 103

B. Saran ... 104

(6)
(7)
(8)
(9)

i

PERSEMBAHAN

Teriring do’a dan rasa syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya serta junjungan tinggi Rasulullah Muhammad SAW

Kupersembahkan Tesis ini kepada :

Ayahanda dan Ibunda

Sebagai orang tua penulis tercinta yang telah mendidik, membesarkan dan membimbing penulis menjadi sedemikian rupa yang selalu memberikan kasih sayang

yang tulus dan memberikan do’a yang tak pernah putus untuk setiap langkah

yang penulis lewati, serta yang tidak pernah meninggalkan penulis dalam keadaan penulis terpuruk sekalipun

Kakak ku Yugo beserta adik-adik ku Yogia, Anggun, dan Tata

yang selalu menjadi motivasi penulis untuk selalu berpikir maju memikirkan masa depan yang jauh lebih baik dari sekarang.

Keluarga besarku atas motivasi dan dukungannya untuk keberhasilanku

(10)

i

MOTO

Dan siapa yang menempuh suatu jalan yang padanya dia dapatkan ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga

(HR Muslim)

Kerja dan fungsi memecahkan manusia, sujud sembah yang mengutuhkannya. Ego dan nafsu menumpas kehidupan, oleh cinta nyawa dikembalikan.

(Emha Ainun Nadjib)

Keputusan yang kita ambil hari ini adalah kehidupan yang akan kita jalani di masa depan

(11)

i

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Bagus Saddamyekti, dilahirkan di Kota Bandar Lampung pada

tanggal 12 Januari 1991, merupakan putra kedua dari lima bersaudara, pasangan

Bapak Drs. Haryanto, M.Si., dan Ibu Supriyati, S.Pd.

Penulis menempuh pendidikan TK Al-Azhar selesai pada tahun 1997, Sekolah Dasar

(SD) Al-Azhar diselesaikan pada Tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP)

Negeri 16 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2006, Sekolah Menegah Atas

(SMA) Negeri 9 Bandar Lampung diselesaikan pada Tahun 2009. Selanjutnya pada

Tahun 2013, penulis menyelesaikan pendidikan pada Program Strata Satu (S1) pada

Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada tahun 2013 penulis melanjutkan

pendidikan pada Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas

(12)
(13)
(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung

pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan

kesejahteraan masyarakat. Lalu lintas dan angkutan jalan sebagai bagian dari

sistem transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk

mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan angkutan

jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi.

Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat seiring kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi, pemerintah Indonesia telah berusaha melaksanakan

pembangunan di berbagai bidang. Pembangunan tersebut tidak hanya meliputi

pembangunan fisik saja seperti pembangunan gedung, perbaikan jalan, tetapi juga

dalam segi kehidupan lain di antaranya meningkatkan keamanan bagi warga

masyarakat, karena kehidupan yang aman merupakan salah satu faktor yang

mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat, sehingga bila keamanan yang

dimaksud bukan berarti tidak ada perang tetapi dapat meliputi keamanan dalam

segi yang lain, salah satunya adalah keamanan menggunakan jalan raya dan

fasilitas-fasilitas yang ada di jalan raya tersebut.1

1

(15)

Apabila antara alat transportasi dengan sarana dan prasarana transportasi tidak

berjalan seimbang akan menimbulkan dampak yang tidak baik, misalnya

kemacetan lalu lintas, terlebih lagi jika disertai dengan kurangnya kesadaran

masyarakat sebagai pengguna jalan raya akan menimbulkan banyak pelanggaran

lalu lintas kecelakaan yang sering terjadi di jalan banyak diartikan sebagai suatu

penderitaan yang menimpa diri seseorang secara mendadak dan keras yang datang

dari luar. Akibat hukum terhadap pelanggaran lalu lintas adalah sanksi yang harus

diterapkan terhadap pelaku pelanggaran, terutama yang mengakibatkan korban

harta benda dan manusia berupa cacat tetap, bahkan meninggal dunia.

Saat ini lalu lintas yang macet merupakan suatu kejadian yang biasa kita lihat,

baik di pagi hari, sore hari maupun di malam hari. Masalah ini terjadi karena

pertambahan jumlah kendaraan dengan pertumbuhan jalan tidak seimbang,

sehingga selain menyebabkan kemacetan juga dapat menyebabkan kecelakaan

lalu lintas. Masalah lalu lintas tidak hanya karena kemacetan melainkan karena

terjadinya kecelakaan, baik kecelakaan ringan maupun kecelakaan berat yang

mengakibatkan meninggalnya seseorang. Kecelakaan lalu lintas bisa terjadi akibat

kelalaian seseorang atau akibat ketidakpatuhan seseorang terhadap rambu dan

marka lalu lintas. Kecelakaan adalah sesuatu yang tidak dikehendaki oleh siapa

pun kecuali memang ada niat untuk melakukan sesuatu yang direncanakan untuk

melukai seseorang. Artinya kecelakaan lalu lintas secara umum terjadi tanpa ada

niat atau unsur kesengajaan dari pelakunya, karena kejadian tersebut berlangsung

tanpa dikehendaki2

2

(16)

Perkara tindak pidana lalu lintas umumnya terjadi tanpa kesengajaan, di sini yang

ada hanya unsur kealpaan atau kelalaian. Pengenaan pidana kepada orang yang

karena alpa melakukan kejahatan, artinya ada kejahatan yang pada waktu

terjadinya keadaan mental terdakwa adalah tidak mengetahui dan sama sekali

tidak bermaksud untuk melakukan suatu perbuatan, meskipun demikian pelakunya

dipandang tetap bertanggung jawab atas terjadinya perkara yang terlarang itu,

walaupun sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan suatu perbuatan yang

ternyata adalah kejahatan. 3

Sistem peradilan untuk perkara lalu lintas jalan sedikit berbeda dengan sistem

peradilan biasa, acara pemeriksaannya terdapat peraturan beracara yang berbeda

dari acara biasa yaitu: 4

1. Perkara tilang tidak memerlukan berita acara pemeriksaan, penyidik hanya mengirimkan catatan-catatan ke Pengadilan (formulir tilang)

2. Di dalam sidang pemeriksaan perkara tilang terdakwa boleh tidak hadir dan dapat menunjuk seseorang untuk wakilinya disidang dalam hal ini pemeriksaan perkara tetap dilanjutkan dan diputus dengan putusan verstek. 3. Perkara tilang tidak ada surat tuduhan dan tidak adanya putusan tersendiri yang lepas dari berkas perkara, putusan hakim tercantum dalam berita acara sidang artinya disambungkan pada berita acara tersebut.

4. Jaksa tidak perlu hadir disidang kecuali apabila kejaksaan atau jaksa menganggap perlu maka pihak kejaksaan akan hadir disidang.

Perkara tilang diadili dengan acara pemeriksaan cepat dan tidak dapat diadili

dengan cara pemeriksaan biasa. Sistem peradilan tilang lembaga yang terlibat

sebagai subsistem adalah kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dengan tugas dan

fungsinya yang telah diatur sesuai dengan undang-undang. Acara pemeriksaan

(17)

meliputi acara pemeriksaan tindak pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu

lintas. Pasal 211 KUHAP menyebutkan bahwa yang diperiksa menurut acara

pemeriksaan pelanggaran lalu lintas adalah pelanggaran lalu lintas tertentu

terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan.

Sistem peradilan tilang pihak sama dengan sistem peradilan pidana perkara biasa,

yang dilakukan oleh Kepolisian. Pemeriksaan permulaan dilakukan di tempat

kejadian. Polisi yang bertugas melaksanakan penegakan hukum apabila

menemukan pelanggaran lalu lintas tertentu harus menindak langsung di tempat

kejadian.

Dasar hukum mengenai kecelakaan lalu lintas adalah Pasal 229 Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menggolongkan

kecelakaan lalu lintas sebagai berikut:

(1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas: a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan

b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.

(2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

(3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

(4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

(5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.

Ketentuan Pasal 230 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas

(18)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4) diproses

dengan acara peradilan pidana sesuai aturan perundang-undangan.

Aparat penegak hukum dalam menangani perkara pidana lalu lintas dapat

melakukan tindakan represif yaitu tindakan yang pada prinsipnya didasarkan pada

peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti KUHP, misalnya dalam

bentuk penegakan hukum (penyidikan) kepada pelaku.

Kriteria seperti di atas dalam praktek Polisi sebagai penyidik penegak hukum juga

bisa menyelesaikan kasus yang menyangkut tindak pidana lalu lintas khususnya

yang termasuk Pasal 359 KUHP yang menjelaskan bahwa barangsiapa karena

kelalaiannya menyebabkan orang lain mati, dipidana dengan pidana penjara

paling lama lima tahun penjara.

Pasal di atas menyebutkan adanya unsur “ kealpaan” yang berfungsi menjelaskan

unsur kesalahan yang berbentuk culpa di mana akibat yang berakibat matinya

korban. Kealpaan maka satu-satunya ukuran yang diperlukan untuk adanya

kealpaan tersebut ada perbuatan yang obyektif menyebabkan mati atau luka-luka

ialah apakah dalam melakukan perbuatan telah memperhatikan dan mentaati

norma-norma yang bertalian dengan perbuatan tersebut, baik yang telah

diwujudkan sebagai peraturan tertulis maupun masih menampakkan diri sebagai

perbuatan yang patut atau tidak patut. 5

Perkara pidana lalu lintas dapat diselesaikan melalui perdamaian sebagai proses

penyelesaian pekara pidana lalu lintas di luar pengadilan. Polisi sebagai penyidik

dalam menyelesaikan tindak pidana lalu lintas khususnya yang termasuk Pasal

5

(19)

359 KUHP di luar Pengadilan ini kalau pelaku dan pihak korban sudah ada

kesepakatan kehendak. Penyelesaian di dalam Pengadilan, apabila para pihak

pelaku dan keluarga korban tidak ada kesepakatan kehendak untuk diselesaikan di

luar Pengadilan, Polisi sebagai penyidik sesuai dengan tugasnya membuat berita

acara tentang kejadiannya dan kemudian menyerahkan ke Jaksa penuntut Umum

agar dilakukan penuntutan. Hukum Pidana harus dipandang sebagai hukum yang

mempunyai fungsi subsider, karena hukum pidana baru digunakan apabila upaya

lain dirasakan tidak berhasil atau tidak sesuai.

Perkara lalu lintas pada dasarnya termasuk jenis perkara pelanggaran. Pelanggaran

lalu lintas tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

tetapi ada yang menyangkut delik-delik yang disebut dalam KUHP, misalnya

sebagaimana diatur dalam Pasal 359 KUHP, yaitu karena kealpaannya

menyebabkan matinya orang lain dan sebagimana diatur dalam Pasal 360 KUHP,

yaitu karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka berat.

Penyelesaian perkara pidana lalu lintas ada yang penyelesaiannya dilakukan di

luar pengadilan yang menyangkut kecelakaan lalu lintas antara pihak-pihak yang

terlibat tanpa melalui pengadilan, baik bagi pelaku yang berstatus anak atau orang

dewasa. Proses penyelesaian tersebut dilakukan oleh para pihak sendiri karena

masing-masing pihak sepakat untuk menyelesaikan tanpa melalui proses yang

berbelit-belit dan memakan waktu yang lama, adapun hal ini terjadi karena

pengadilan akan mempelajari bukti-bukti yang ada guna mencari kebenaran dan

(20)

Tugas Kepolisian dalam hal penyelesaian perkara di luar pengadilan adalah

sebagai penengah dari masing-masing pihak dan apabila masing-masing pihak

sudah ada kesepakatan mengenai penggantian biaya apabila sebelum meninggal

korban terlebih dahulu dirawat di rumah sakit, menanggung biaya pemakaman,

selamatan sampai dengan selesai dan memberikan sejumlah uang sebagai uang

duka dan setelah itu membuat surat pernyataan yang berisi telah selesainya

perkara tersebut dan tidak ada penuntutan kembali dari masing-masing pihak,

maka perkara tersebut oleh polisi dinyatakan selesai.

Pelaku tindak pidana lalu lintas salah satunya adalah pengendara yang masih

digolongkan sebagai anak, yaitu di bawah usia 17 tahun. Hal ini didasarkan pada

dasar hukum yaitu Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya yang menyatakan persyaratan

pemohon SIM perseorangan berdasarkan usia adalah minimal berusia 16 tahun

untuk memperolah SIM C dan D. Selain itu ketentuan Pasal 81 Ayat (2)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, bahwa batas usia minimal untuk memperoleh

SIM A adalah 18 tahun. Dengan demikian maka seseorang yang belum berusia 16

tahun (untuk pengendara kendaraan roda dua) dan belum berusia 18 tahun (untuk

pengendara kendaraan roda empat), dapat dikategorikan sebagai anak.

Pengertian anak menurut Pasal 1 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak sebagai

pengendara kendaraaan bermotor pada umumnya belum memahami dan tidak

(21)

mengemudikan kendaraannya dengan wajar, tidak mengutamakan keselamatan

pejalan kaki, tidak mampu menunjukkan STNK, SIM. Para pelajar juga umumnya

tidak mematuhi ketentuan tentang kelas jalan, rambu-rambu dan marka jalan, alat

pemberi isyarat lalu lintas, waktu kerja dan waktu istirahat pengemudi, gerak lalu

lintas berhenti dan parkir, persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor

dan tidak mengindahkan kecepatan minimum dan maksimum dalam berkendara.

Contoh perkara tindak pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak adalah

kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh AQJ (13 tahun), yang mengendarai

mobil dengan kecepatan tinggi, sehingga menabrak pembatas jalan dan menabrak

dua mobil lain, mengakibatkan 7 pengendara mobil meninggal dunia dan 9

terluka. Pihak kepolisian menetapkan AQJ sebagai tersangka, karena melanggar

Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan (LLAJ) dengan ancaman 6 tahun pidana penjara. AQJ juga

melanggar Pasal 281 jo. Pasal 77 UU LLAJ, karena mengemudikan kendaraan

bermotor tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Selain itu melanggar Pasal

280 jo. Pasal 68 UU LLAJ karena Tanda Nomor Kendaraan Bermotor yang

dipasang tidak sesuai dengan yang ditetapkan Polri. 6 Tim Jaksa Penuntut Umum

(JPU) dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mendakwa AQJ karena melanggar

Pasal 310 Ayat (1), (3) dan (4), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dengan ancaman hukuman 6 tahun pidana

penjara.7

6

http://hukum.kompasiana.com/2013/09/29/pertanggungjawaban-pidana-anak-ditengah-masa- transisi. artikel/heruwijayanto.Diakses Sabtu 18 Oktober 2014

7

(22)

Penyelesaian perkara pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak dapat ditempuh

dengan menerapkan diversi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (7)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dinyatakan

bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan

pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis melakukan penelitian yang berjudul:

Penegakan Hukum Terhadap Anak Yang Melanggar Undang-Undang Lalu Lintas

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini

dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap anak yang melanggar

Undang-Undang Lalu Lintas?

b. Mengapa terdapat faktor penghambat penegakan hukum terhadap anak yang

melanggar Undang-Undang Lalu Lintas?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah hukum pidana, dengan kajian

mengenai penegakan hukum terhadap anak yang melanggar Undang-Undang Lalu

Lintas dan faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap anak yang

melanggar Undang-Undang Lalu Lintas. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah

pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan waktu penelitian

(23)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian

ini adalah untuk:

a. Menganalisis penegakan hukum terhadap anak yang melanggar

Undang-Undang Lalu Lintas

b. Menganalisis faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap anak yang

melanggar Undang-Undang Lalu Lintas

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan secara teoritis dan praktis sebagai

berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu

hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap

anak yang melanggar Undang-Undang Lalu Lintas dan faktor yang

menghambat penegakan hukum terhadap anak yang melanggar

Undang-Undang Lalu Lintas.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai kontribusi positif bagi

aparat penegak hukum dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap anak

yang melanggar lalu lintas. Selain itu diharapkan dapat bermanfaat bagi

berbagai pihak yang membutuhkan informasi mengenai penegakan hukum

(24)

D. Kerangka Pemikiran

1. Alur Pikir

Alur pikir penelitian mengenai penegakan hukum terhadap anak yang melanggar

undang-undang lalu lintas adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Alur Pikir Penelitian

Undang-Undang Lalu Lintas Anak Pelanggar

Lalu Lintas

Proses Penegakan Hukum

 Penyidikan

 Diversi

Faktor-Faktor Penghambat Penegakan Hukum

 Substansi Hukum (UU

Kepolisian)

 Penegak Hukum (Kualitas dan Kuantitas Penyidik)

 Masyarakat (Ketidaklengkapan Informasi)

 Kebudayaan (karakter personal)

Penegakan Hukum

Teori Penegakan Hukum Teori Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Penegakan Hukum Permasalahan

Pembahasan

1 2

(25)

2. Kerangka Teori

Kerangka pemikian merupakan pengabstraksian hasil pemikiran sebagai kerangka

acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya

dalam penelitian ilmu hukum8. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini

didasarkan pada berbagai teori sebagai berikut:

a. Konsep Penegakan Hukum Juridis – Kontekstual

Menurut Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip Heni Siswanto9, pada

hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy), baik dalam penegakan in

abstracto dan in concreto, merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan system

(penegakan) hukum nasional dan merupakan bagian dari upaya menunjang

kebijkaan pembangunan nasional (national development). Ini berarti bahwa

penegakan hukum pidana in abstracto (pembuatan/perubahan UU; law

making/law reform) dalam penegakan hukum pidana in concreto (law

enforcement) seharusnya bertujuan menunjang tercapainya tujuan, visi dan misi

pembangunan nasional (bangnas) dan menunjang terwujudnya sistem (penegakan)

hukum nasional.10

Walaupun hukum pidana positif di Indonesia saat ini bersumber/berinduk pada

KUHP buatan Belanda (WvS), tetapi dalam penegakan hukum harusnya berbeda

dengan penegakan hukum pidana seperti zaman Belanda. Hal ini wajar karena

kondisi lingkungan atau kerangka hukum nasional (national legal framework)

sebagai tempat dioperasionalisasikannya WvS (tempat dijalankannya mobil)

8

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1983, hlm.14. 9

Heni Siswanto, Rekonstruksi Sistem Penegakan Hukum Pidana Menghadapi Kejahatan Perdagangan Orang, Penerbit Pustaka Magister, Semarang, 2013, hlm.85-86.

10Ibid

(26)

sudah berubah. Menjalankan mobil (WvS) di Belanda atau di jaman Belanda

tentunya berbeda dengan di zaman Republik Indonesia. Ini berarti penegakan

hukum pidana positif saat ini (terlebih KUHP warisan Belanda) tentunya harus

memperhatikan rambu-rambu umum proses peradilan (penegakan hukum dan

keadilan) dalam sistem hukum nasional. Penegakan hukum pidana positif harus

berada dalam konteks ke-Indonesia-an (dalam konteks sistem hukum nasional/

national legal framework) dan bahkan dalam konteks bangnas dan bangkumnas.

Inilah baru dapat dikatakan penegakan hukum pidana di Indonesia. 11

b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja,

namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu: 12

(1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. (2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.

(3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana yang memadai, penegakan hukum tidak berjalan lancar dan penegak hukum tidak menjalankan peranan semestinya. (4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat

11

Ibid, hlm.86 12

(27)

maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.

(5) Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya.

3. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan

dalam melaksanakan penelitian.13 Berdasarkan definisi tersebut, maka

konseptualisasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Penegakan hukum pidana adalah suatu proses yang dapat menjamin kepastian

hukum, ketertiban dan perlindungan hukum dengan menjaga keselarasan,

keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh

nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab.14

b. Perkara pidana adalah bagian dari perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana

merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang

dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku15

c. Perkara pidana lalu lintas adalah jenis perkara yang berkaitan dengan tidak

dipenuhinya persyaratan untuk mengemudikan kendaraaan oleh pengemudi,

pelanggaran terhadap ketentuan peraturan lalu lintas maupun yang berkaitan

13

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 1983, hlm.63 14

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 23.

15

(28)

dengan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang berakibat pada timbulnya

korban baik luka-luka maupun meninggal dunia. 16

d. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua

belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga

melakukan tindak pidana (Pasal 1 Ayat (2), Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak)

E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

secara yuridis normatif dan pendekatan empiris. Pendekatan secara yuridis

normatif adalah pendekatan melalui studi kepustakaan (library research) dengan

cara membaca, mengutip dan menganalisis teori-teori hukum dan peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian.

Pendekatan empiris adalah upaya untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman

dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus17

2. Sumber dan Jenis Data

a. Sumber Data

Berdasarkan sumbernya, data diperoleh dari data lapangan dan data kepustakaan.

Data lapangan diperoleh dari lapangan penelitian, sementara itu data kepustakaan

diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan.

16

C,S,T, Kansil dan Christine S,T, Kansil, Disiplin Berlalu Lintas di Jalan Raya ,Jakarta, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hlm.41

17

(29)

b. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut:

1) Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh melalui studi kepustakaan

(library research) dengan cara membaca, menelaah dan mengutip terhadap

berbagai teori, asas dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan

dalam penelitian. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian terdiri dari

3 (tiga) bahan hukum, yaitu:

1) Bahan Hukum Primer, terdiri dari:

a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73

Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP).

c) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Republik Indonesia.

d) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan

e) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah

Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana

2) Bahan Hukum Sekunder, terdiri dari teori atau pendapat para ahli di

(30)

3) Bahan hukum tersier, bersumber dari berbagai referensi atau literatur

buku-buku hukum, dokumen, arsip dan kamus hukum yang berhubungan

dengan masalah penelitian.

2) Data Primer

Data primer adalah data yang didapat dengan cara melakukan penelitian

langsung terhadap objek penelitian dengan cara observasi dan wawancara

terhadap narasumber.

3. Penentuan Narasumber

Narasumber penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Penyidik Polresta Bandar Lampung : 1 orang

2) Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang

3) Hakim di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang : 1 orang

4) Aktivis LSM Lembaga Advokasi Anak (LADA) : 1 orang+

Jumlah 4 orang

4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

a. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi

lapangan sebagai berikut:

1) Studi kepustakaan (library research), dilakukan dengan serangkaian

kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku

literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan

(31)

2) Studi lapangan (field research), dilakukan sebagai usaha mengumpulkan

data secara langsung di lapangan penelitian guna memperoleh data yang

dibutuhkan.Studi lapangan ini dilaksanakan dengan cara:

(a) Observasi (observation), yaitu melakukan pencatatan terhadap data

dan fakta yang ada di lokasi penelitian.

(b) Wawancara (interview), yaitu mengajukan tanya jawab kepada

narasumber penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara

yang telah dipersiapkan sebelumnya.

b. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah

diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Adapun pengolahan data

yang dimaksud meliputi tahapan sebagai berikut:

1) Seleksi data, yaitu kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan

data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

2) Klasifikasi data, yaitu kegiatan penempatan data menurut

kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang

benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

3) Penyusunan data, yaitu kegiatan penempatan dan menyusun data yang

saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu

pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

5. Analisis Data

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis yuridis

kualitatif. Analisis yuridis kualitatif dilakukan dengan menguraikan data yang

(32)

terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan.

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan

hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan disusun untuk memudahkan dan memahami isi Tesis secara

keseluruhan dengan rincian sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, Bab ini berisi pendahuluan penyusunan Tesis yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan

Penelitian, Kerangka Konseptual serta Sistematika Penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka, Bab ini berisi tinjauan pustaka yang meliputi pengertian penegakan hukum, perkara pidana lalu lintas, penanggulangan tindak

pidana, pengertian anak dan perlindungan terhadap anak, perdamaian dan keadilan

substantif terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan. Bab ini berisi penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dari hasil penelitian, yang terdiri dari análisis

penegakan hukum terhadap anak yang melanggar Undang-Undang Lalu Lintas

dan faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap anak yang melanggar

Undang-Undang Lalu Lintas.

Bab IV Penutup, Bab ini berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran yang ditujukan demi

(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penegakan Hukum

Penegakan hukum menurut Badra Nawawi Arief, sebagaimana dikutip Heni

Siswanto1 adalah: (a) keseluruhan rangkaian kegiatan penyelenggara/

pemeliharaan keseimbangan hak dan kewajiban warga masyarakat sesuai harkat

dan martabat manusia serta pertanggungjawaban masing-masing sesuai fungsinya

secara adil dan merata, dengan aturan hukum dan peraturan hukum dan

perundang-undangan yang merupakan perwujudan Pancasilan dan

Undang-Undang Dasar 1945; (b) keseluruhan kegiatan dari para pelaksana penegak hukum

ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat

manusia, ketertiban, ketentraman dan kepastian hukum sesuai dengan

Undang-Undang Dasar 1945.

Menurut Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip Heni Siswanto2, pada

hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy), baik dalam penegakan in

abstracto dan in concreto, merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan system

(penegakan) hukum nasional dan merupakan bagian dari upaya menunjang

kebijkaan pembangunan nasional (national development). Ini berarti bahwa

penegakan hukum pidana in abstracto (pembuatan/perubahan UU; law

1

Heni Siswanto.Op cit. hlm.1 2

(34)

making/law reform) dalam penegakan hukum pidana in concreto (law

enforcement) seharusnya bertujuan menunjang tercapainya tujuan, visi dan misi

pembangunan nasional (bangnas) dan menunjang terwujudnya sistem (penegakan)

hukum nasional.

Menurut Joseph Goldstein sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro3,

penegakan hukum sendiri, harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yaitu:

1. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang

menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut

ditegakkan tanpa terkecuali

2. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept)

yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan

sebagainya demi perlindungan kepentingan individual

3. Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul

setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena

keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana, kualitas sumber daya

manusianya, perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.

Negara Indonesia adalah negara hukum (recht staats), maka setiap orang yang

melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui

penegakan hukum. Hukum dalam hal ini merupakan sarana bagi penegakan

hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu

3

(35)

perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan disertai dengan ancaman (sanksi)

yang berupa pidana tertentu sebagai pertanggungjawabannya4

Menurut Lawrence Friedman sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro5,

unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure),

substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).

a. Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta

lembaga-lembaga terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi

Judisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain.

b. Substansi hukum adalah mengenai norma, peraturan maupun undang-undang.

c. Budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari

masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistim

hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim

dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar

atau dilaksanakan.

Substansi hukum bukanlah sesuatu yang mudah direncanakan, bahkan hal ini

dapat dianggap sebagai perkara yang sulit, namun bukan karena kesulitan itulah,

sehingga substansi hukum perlu direncankan, melainkan substansi hukum juga

sangat tergantung pada bidang apakah yang hendak diatur. Perlu pula dperhatikan

perkembangan sosial, ekonomi dan politik, termasuk

perkembangan-perkembangan ditingkat global yang semuanya sulit diprediksi. Sikap politik yang

paling pantas untuk diambil adalah meletakkan atau menggariskan prinsip-prinsip

pengembangannya dan sebatas inilah blue print-nya. Untuk itu maka gagasan

4

Ibid, hlm.79.

5

Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan

(36)

dasar yang terdapat dalam UUD 1945 itulah yang harus dijadikan prinsip-prinsip

atau parameter dalam pembentukan undang-undang apa saja, kesetaraan antar

lembaga negara, hubungan yang bersifat demokratis antara pemerintah pusat

dengan daerah, hak asasi manusia (HAM) yang meliputi hak sosial, ekonomi,

hukum, dan pembangunan harus dijadikan sumber sekaligus parameter dalam

menguji substansi RUU atau UU yang akan dibentuk.

Budaya hukum (legal culture) menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum

yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide

ini menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga negara terhadap

hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan

signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang

lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan

lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu

menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum

yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda.

Aspek kultural melengkapi aktualisasi suatu sistem hukum, yang menyangkut

dengan nilai-nilai, sikap, pola perilaku para warga masyarakat dan faktor

nonteknis yang merupakan pengikat sistem hukum tersebut. Wibawa hukum

melengkapi kehadiran dari faktor-faktor non teknis dalam hukum. Wibawa hukum

memperlancar bekerjanya hukum, sehingga perilaku orang menjadi positif

terhadap hukum. Wibawa hukum tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang

(37)

kepercayaan. Kewibawaan hukum dapat dirumuskan sebagai suatu kondisi

psikologis masyarakat yang menerima dan menghormati hukumnya.6

Menurut Friedman budaya hukum diterjemahkan sebagai sikap-sikap dan

nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum dan lembaganya, baik secara positif,

maupun negatif. Jika masyarakat mempunyai nilai nilai yang positif, maka hukum

akan diterima dengan baik, sebaliknya jika negatif, masyarakat akan menentang

dan menjauhi hukum dan bahkan menganggap hukum tidak ada.membentuk

undang-undang memang merupakan budaya hukum. Tetapi mengandalakan

undang-undang untuk membangun budaya hukum yang berkarakter tunduk, patuh

dan terikat pada norma hukum adalah jala pikiran yang setengah sesat. Budaya

hukum bukanlah hukum. Budaya hukum secara konseptual adalah soal-soal yang

ada di luar hukum. 7

Hal ini tidak berarti sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice

system) antar lembaga penegak hukum harus menjadi satu fungsi di bawah “satu

atap”, akan tetapi masing-masing fungsi tetap dibawah koordinasi sendiri-sendiri

yang independen dengan kerjasama yang aktif dalam persepsi yang sama dilihat

dari fungsi dan wewenang masing-masing lembaga tersebut. Keterpaduan antara

subsistem dalam penegakan hukum menjadi penentu efektifvitas suatu peraturan.

Sistem hukum dapat berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan jika semua

unsur saling mendukung dan melengkapi. 8

6

Ibid. hlm.82.

7

Ibid. hlm.82.

8

(38)

Berkaitan dengan hal tersebut, ada anggapan yang menyatakan bahwa kesadaran

hukum merupakan proses psikis yang terdapat dalam diri manusia yang mungkin

timbul dan mungkin pula tidak timbul. Oleh karena itu, semakin tinggi taraf

kesadaran hukum seseorang, akan semakin tinggi pula tingkat ketaatan dan

kepatuhannya kepada hukum, dan sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran

hukum seseorang maka ia akan banyak melakukan pelanggaran terhadap

ketentuan hukum, sehingga tidak mengherankan kalau ada yang merumuskan

kesadaran hukum itu sebagai suatu keseluruhan yang mencakup pengetahuan

tentang hukum, penghayatan fungsi hukum, dan ketaatan kepada hukum.

B. Perkara Pidana Lalu Lintas

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang

yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan

dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan9

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang

memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan

pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya

tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 10

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar sebagai berikut11:

9

Hamzah, Andi. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2001. hlm. 22

10

Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 16.

11

(39)

a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat

dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP

kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.

c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya, sehingga anak tersebut meninggal.

Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan

tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain

yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Kecelakaan

lalu lintas merupakan kejadian yang sangat sulit di prediksi kapan dan di mana

(40)

kecacatan tetapi dapat mengakibatkan kematian. Kasus kecelakaan sulit

diminimalisasi dan cenderung meningkat seiring pertambahan panjang jalan dan

banyaknya pergerakan dari kendaraan.

Berdasarkan defenisi tentang kecelakaan bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan

kejadian yang tidak disangka-sangka atau diduga dan tidak diinginkan disebabkan

oleh kendaraan bermotor, terjadi di jalan raya, atau tempat terbuka yang dijadikan

sebagai sarana lalu lintas seerta mengakibatkan kerusakan, luka-luka, kematian

manusia dan kerugian harta benda.

Karakteristik kecelakaan lalu lintas menurut jumlah kendaraan yang terlibat

digolongkan menjadi: 12

a) Kecelakaan tunggal, yaitu kecelakaan yang hanya melibatkan satu kendaraan

bermotor dan tidak melibatkan pemakai jalan lain, contohnya seperti

menabrak pohon, kendaraan tergelcincir, dan terguling akibat ban pecah.

b) Kecelakaan ganda, yaitu yaitu kecelakaan yang melibatkan lebih dari satu

kendaraan bermotor atau dengan pejalan kaki yang mengalami kecelakaan di

waktu dan tempat yang bersamaan.

Karakteristik kecelakaan menurut jenis tabrakan dapat diklasifikasikan: 13

a. Rear-Angle (RA), tabrakan antara kendaraan yang bergerak pada arah yang

berbeda namun bukan dari arah yang berlawanan.

b. Rear-End (RE), kendaraan yang menabrak kendaraan lain yang bergerak

searah.

12

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. Disiplin Berlalu Lintas di Jalan Raya .Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 1995. hlm 35.

13Ibid

(41)

c. Sideswipe (Ss), kendaraan yang bergerak yang menabrak kendaraan lain dari

samping ketika kendaraan berjalan pada arah yang sama atau pada arah yang

berlainan.

d. Head-On (Ho), kendaraan yang bertabrakan dari arah yang berlawanan namun

bukan Sideswipe, hal ini sering disebut masyarakat luas suatu tabrakan dengan

istilah adu kambing.

e. Backing, tabrakan yang terjadi pada saat kendaraan mundur dan menabrak

kendaraan lain ataupun sesuatu yang mengakbiatkan kerugian.

Dampak yang ditimbulkan akibat kecelakaan lalu lintas dapat menimpa sekaligus

atau hanya beberapa hanya di antaranya. Berikut kondisi yang digunakan untuk

mengklasifikasikan korban lalu lintas yaitu:

a. Meninggal dunia adalah korban kecelakaan lalu lintas yang dipastikan

meninggal dunia akibat kecelakaan laulintas dalam jangka paling lama 30 hari

stelah kecelakaan tersebut.

b. Luka berat adalah korban kecelakaan yang karena luka-lukanya menderita

cacat tetap atau harus dirawat di inap di rumah sakit dalam jangka lebih dari

30 hari sejak terjadi kecelakaan. Suatu kejadian digolongkan cacat tetap jika

sesuatu anggota badan hilang atau tidak dapat digunakan sama sekali dan tidak

dapat pulih kembali untuk selama-lamanya (cacat permanen/seumur hidup).

c. Luka ringan adalah korban yang mengalami luka-luka yang tidak memerlukan

rawat inap atau harus diinap lebih dari 30 hari. 14

C. Penanggulangan Tindak Pidana

14Ibid

(42)

Kebijakan Kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan

berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal policy, atau strafrechtspolitiek

adalah suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum

pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka

menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat

diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum

pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana

pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan

politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil

perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu

waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.15

Pelaksanaan dari politik hukum pidana harus melalui beberapa tahap kebijakan

yaitu sebagai berikut: 16

a. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil Perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif

b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat dapat disebut sebagai tahap yudikatif.

c. Tahap eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang

15

Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung. 1986. hlm. 22-23

16

(43)

telah ditetapkan dalam putusan pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna.

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses

rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus

merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk yang

bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi

yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana (penal)

maupun non hukum pidana (nonpenal), yang dapat diintegrasikan satu dengan

yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan,

berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan

untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan

dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Penggunaan

hukum pidana merupakan penanggulangan suatu gejala dan bukan suatu

penyelesaian dengan menghilangkan sebabnya dengan kata lain sanksi hukum

pidana bukanlah merupakan pengobatan kausatif tetapi pengobatan simptomatik.

Selain itu kebijakan kriminal juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial

(social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare policy) dan sekaligus

(44)

dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal ialah

“perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan”.17

Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan

(politik kriminal) menggunakan dua sarana, yaitu: 18

a. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal

Sarana penal adalah penggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang di dalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu :

(1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.

(2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar. b. Kebijakan Pidana dengan Sarana Non Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan

yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekaligus

pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach) karena ia

hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (yaitu bagian dari politik

hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik

sosial). Pendekatan kebijakan dan nilai terhadap sejumlah perbuatan asusila

dilakukan dengan mengadopsi perbuatan yang tidak pantas/ tercela di masyarakat

dan berasal dari ajaran-ajaran agama dengan sanksi berupa sanksi pidana.

D. Pengertian Anak dan Perlindungan Hukum terhadap Anak

Beberapa pengertian mengenai anak menurut peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang usia yang dikategorikan sebagai anak, yaitu sebagai berikut:

17

Badra Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. 2002. hlm. 77

18

(45)

a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Pasal 1 angka (2) menyatakan anak adalah seorang yang belum mencapai

batas usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin

b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Pasal 1 angka (1) menyatakan anak adalah orang yang dalam perkara anak

nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18

(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin

c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal angka (5) menyebutkan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia

di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang

masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya

d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pasal 1 angka (1), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, menjelaskan anak adalah seseorang yang belum berusia

18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

e. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak

Pasal 1 angka (3), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa anak yang Berkonflik dengan

Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12

(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga

melakukan tindak pidana.

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan YME, yang senantiasa harus

(46)

manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak

asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945 dan Konvensi PBB tentang

Hak-Hak Anak. Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, adalah masa depan

bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari

tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak

dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi19

Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam

situasi darurat, anak yang melakukan tindak pidana, anak dari kelompok minoritas

dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak

yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,

alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,

penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak

yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan

bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan

negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus

demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan itu harus berkelanjutan

dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik,

19

(47)

mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan

kehidupan terbaik bagi anak sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh,

memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta

berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.

Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari

janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik

tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif,

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meletakkan

kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas yaitu:

a. Nondiskriminasi;

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;

d. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Upaya pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, memerlukan peran

masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan,

lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia

usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.

Hak-hak anak di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, adalah sebagai berikut:

(a) Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4

(48)

(b) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status

kewarganegaraan (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).

(c) Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan

berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan

orang tua (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).

(d) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh

oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak

dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar

maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak

angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku [Pasal 7 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002].

(e) Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial

sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).

(f) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka

pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan

bakatnya. Khusus bagi anak penyandang cacat juga berhak memperoleh

pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga

berhak mendapatkan pendidikan khusus (Pasal 9 Ayat (1) dan (2)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).

(g) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,

Gambar

Gambar 1. Alur Pikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dilakukan penelitian untuk memperoleh informasi mengenai upaya-upaya penegakan hukum bagi pelaku pelanggaran lalu lintas dan kendala yang dihadapi oleh pihak

Tujuan penelitian dari penulisan skripsi ini yaitu untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh polisi dalam rangka penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu

PENEGAKAN HUKUM MENYALAKAN LAMPU UTAMA DI SIANG HARI BAGI PENGENDARA SEPEDA MOTOR DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN Studi Kasus

Upaya yang dilakukan pihak Kepolisian Sektor Kandis dalam mengatasi kendala dalam penegakan hukum pelanggaran lalu lintas terhadap pengemudi sepeda motor

Wawancara dengan Kasat Lantas Polresta Jambi Kompol Asep Sujarwadi, S.IK, menjelaskan kendala atau hambatan penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran lalu lintas

Tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui dan memahami proses penegakan hukum terhadap penelantaran korban kecelakaan lalu lintas dan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi

PENEGAKAN HUKUM PASAL 284 TERHADAP UNDANG – UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN TERHADAP PELANGGARAN SEPEDA MOTOR YANG MENEROBOS JALUR SEPEDA DI KOTA

Laporan hasil wawancara analisis fishbone terhadap modernisasi penegakan hukum lalu lintas melalui sistem