ABSTRACT
LAW ENFORCEMENT TOWARD CHILDREN WHO VIOLATE THE ACT OF TRAFFIC enforcement against child who violates the Act Traffic? (2) What are the factors that hinder enforcement of a child in violation of the Act Traffic?
Approach the problem using normative juridical and empirical jurisdiction. Data were analyzed qualitatively for the conclusion of the study.
The results showed that: (1) The enforcement of the law against child who violates Traffic Act implemented by the City Police Bandar Lampung through the diversion process as mandated by Article 1 Paragraph (7) of Law No. 11 of 2012 on the Criminal Justice System Child is outside the criminal justice process through peace, as mandated by Law child Criminal Justice System which aims to achieve peace between the victim and the child, the child settle the case outside the judicial process, prevent children from deprivation of liberty, encouraging people to participate and instill a sense of responsibility accountable to the child. (2) Factors that hinder enforcement of a child in violation of the Traffic Act are: Factors legislation, namely the regulation of discretionary authority under the Police Act potentially misinterpreted; Factors law enforcement, which is the quantity of the limited number of members of Traffic in handling cases of traffic in the city of Bandar Lampung and the quality is still a lack of knowledge and skills of investigators in implementing peace in the completion of a criminal traffic cases; Community factors, namely the lack of completeness of data and information submitted by the offender and the victim were involved in a criminal case traffic; Cultural factors, namely the personal character of the offender and the victim and his family that does not support the resolution of the case outside the justice or peace.
Suggestions in this research are: (1) Police as law enforcement officers advised continue to improve the professionalism and capacity as executor of the peace process between the parties involved in a criminal case traffic. (2) Police in the mediation process is recommended to be proportional to place itself as a neutral party, so as to avoid the appearance of partiality toward one party.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELANGGAR UNDANG-UNDANG LALU LINTAS
Oleh
BAGUS SADDAM YEKTI
Perkara tindak pidana lalu lintas umumnya terjadi tanpa kesengajaan atau ada unsur kealpaan atau kelalaian dari pelaku, namun demikian pelakunya tetap harus bertanggung jawab atas perkara tersebut. Permasalahan penelitian ini dirumuskan: (1) Bagaimanakah penegakan hukum terhadap anak yang melanggar Undang-Undang Lalu Lintas? (2) Apakah faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap anak yang melanggar Undang-Undang Lalu Lintas?
Pendekatan masalah menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Penegakan hukum terhadap anak yang melanggar Undang-Undang Lalu Lintas dilaksanakan oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung melalui proses diversi sebagaimana diamanatkan Pasal 1 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu proses proses di luar peradilan pidana melalui perdamaian, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. (2) Faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap anak yang melanggar Undang-Undang Lalu Lintas adalah: Faktor perundang-undangan, yaitu pengaturan mengenai kewenangan diskresi dalam Undang-Undang Kepolisian yang berpotensi disalahtafsirkan; Faktor penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih terbatasnya jumlah anggota Satlantas dalam menangani perkara lalu lintas di Kota Bandar Lampung dan secara kualitas masih kurangnya pengetahuan dan keterampilan penyidik dalam menerapkan perdamaian dalam penyelesaian perkara pidana lalu lintas; Faktor masyarakat, yaitu ketidak lengkapan data dan informasi yang disampaikan oleh pelaku dan korban yang terlibat dalam perkara pidana lalu lintas; Faktor Kebudayaan, yaitu karakter personal pelaku dan korban serta kleluarganya yang tidak mendukung penyelesaian perkara di luar peradilan atau perdamaian.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pihak Kepolisian sebagai aparat penegak hukum disarankan terus meningkatkan profesionalisme dan kapasitas sebagai pelaksana proses perdamaian antara pihak-pihak yang terlibat dalam perkara pidana lalu lintas. (2) Pihak Kepolisian dalam proses mediasi disarankan untuk secara proporsional menempatkan diri sebagai pihak yang netral, sehingga tidak menimbulkan kesan adanya pemihakan terhadap salah satu pihak
i
UNDANG-UNDANG LALU LINTAS
Oleh
BAGUS SADDAMYEKTI
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM
Pada
Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELANGGAR UNDANG-UNDANG LALU LINTAS
(Tesis)
Oleh
BAGUS SADDAM YEKTI NPM. 1322011010
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 10
D. Kerangka Pemikiran ... 11
E. Metode Penelitian ... 15
F. Sistematika Penulisan ... 19
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 20
A. Penegakan Hukum ... 20
B. Perkara Pidana Lalu Lintas ... 25
C. Penanggulangan Tindak Pidana ... 28
D. Pengertian Anak dan Perlindungan Hukum terhadap Anak ... 31
E. Perdamaian dan Keadilan Restoratif ... 39
F. Keadilan Substantif terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana... 48
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61
A. Karakteristik Narasumber ... 61
B. Penegakan Hukum terhadap Anak yang Melanggar Undang- Undang Lalu Lintas ... 62
C. Faktor yang Menghambat Penegakan Hukum terhadap Anak yang Melanggar Undang-Undang Lalu Lintas ... 96
IV. PENUTUP ... 103
A. Simpulan ... 103
B. Saran ... 104
i
PERSEMBAHAN
Teriring do’a dan rasa syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya serta junjungan tinggi Rasulullah Muhammad SAW
Kupersembahkan Tesis ini kepada :
Ayahanda dan Ibunda
Sebagai orang tua penulis tercinta yang telah mendidik, membesarkan dan membimbing penulis menjadi sedemikian rupa yang selalu memberikan kasih sayang
yang tulus dan memberikan do’a yang tak pernah putus untuk setiap langkah
yang penulis lewati, serta yang tidak pernah meninggalkan penulis dalam keadaan penulis terpuruk sekalipun
Kakak ku Yugo beserta adik-adik ku Yogia, Anggun, dan Tata
yang selalu menjadi motivasi penulis untuk selalu berpikir maju memikirkan masa depan yang jauh lebih baik dari sekarang.
Keluarga besarku atas motivasi dan dukungannya untuk keberhasilanku
i
MOTO
Dan siapa yang menempuh suatu jalan yang padanya dia dapatkan ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga
(HR Muslim)
Kerja dan fungsi memecahkan manusia, sujud sembah yang mengutuhkannya. Ego dan nafsu menumpas kehidupan, oleh cinta nyawa dikembalikan.
(Emha Ainun Nadjib)
Keputusan yang kita ambil hari ini adalah kehidupan yang akan kita jalani di masa depan
i
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Bagus Saddamyekti, dilahirkan di Kota Bandar Lampung pada
tanggal 12 Januari 1991, merupakan putra kedua dari lima bersaudara, pasangan
Bapak Drs. Haryanto, M.Si., dan Ibu Supriyati, S.Pd.
Penulis menempuh pendidikan TK Al-Azhar selesai pada tahun 1997, Sekolah Dasar
(SD) Al-Azhar diselesaikan pada Tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Negeri 16 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2006, Sekolah Menegah Atas
(SMA) Negeri 9 Bandar Lampung diselesaikan pada Tahun 2009. Selanjutnya pada
Tahun 2013, penulis menyelesaikan pendidikan pada Program Strata Satu (S1) pada
Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada tahun 2013 penulis melanjutkan
pendidikan pada Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung
pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan
kesejahteraan masyarakat. Lalu lintas dan angkutan jalan sebagai bagian dari
sistem transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk
mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan angkutan
jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi.
Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat seiring kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, pemerintah Indonesia telah berusaha melaksanakan
pembangunan di berbagai bidang. Pembangunan tersebut tidak hanya meliputi
pembangunan fisik saja seperti pembangunan gedung, perbaikan jalan, tetapi juga
dalam segi kehidupan lain di antaranya meningkatkan keamanan bagi warga
masyarakat, karena kehidupan yang aman merupakan salah satu faktor yang
mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat, sehingga bila keamanan yang
dimaksud bukan berarti tidak ada perang tetapi dapat meliputi keamanan dalam
segi yang lain, salah satunya adalah keamanan menggunakan jalan raya dan
fasilitas-fasilitas yang ada di jalan raya tersebut.1
1
Apabila antara alat transportasi dengan sarana dan prasarana transportasi tidak
berjalan seimbang akan menimbulkan dampak yang tidak baik, misalnya
kemacetan lalu lintas, terlebih lagi jika disertai dengan kurangnya kesadaran
masyarakat sebagai pengguna jalan raya akan menimbulkan banyak pelanggaran
lalu lintas kecelakaan yang sering terjadi di jalan banyak diartikan sebagai suatu
penderitaan yang menimpa diri seseorang secara mendadak dan keras yang datang
dari luar. Akibat hukum terhadap pelanggaran lalu lintas adalah sanksi yang harus
diterapkan terhadap pelaku pelanggaran, terutama yang mengakibatkan korban
harta benda dan manusia berupa cacat tetap, bahkan meninggal dunia.
Saat ini lalu lintas yang macet merupakan suatu kejadian yang biasa kita lihat,
baik di pagi hari, sore hari maupun di malam hari. Masalah ini terjadi karena
pertambahan jumlah kendaraan dengan pertumbuhan jalan tidak seimbang,
sehingga selain menyebabkan kemacetan juga dapat menyebabkan kecelakaan
lalu lintas. Masalah lalu lintas tidak hanya karena kemacetan melainkan karena
terjadinya kecelakaan, baik kecelakaan ringan maupun kecelakaan berat yang
mengakibatkan meninggalnya seseorang. Kecelakaan lalu lintas bisa terjadi akibat
kelalaian seseorang atau akibat ketidakpatuhan seseorang terhadap rambu dan
marka lalu lintas. Kecelakaan adalah sesuatu yang tidak dikehendaki oleh siapa
pun kecuali memang ada niat untuk melakukan sesuatu yang direncanakan untuk
melukai seseorang. Artinya kecelakaan lalu lintas secara umum terjadi tanpa ada
niat atau unsur kesengajaan dari pelakunya, karena kejadian tersebut berlangsung
tanpa dikehendaki2
2
Perkara tindak pidana lalu lintas umumnya terjadi tanpa kesengajaan, di sini yang
ada hanya unsur kealpaan atau kelalaian. Pengenaan pidana kepada orang yang
karena alpa melakukan kejahatan, artinya ada kejahatan yang pada waktu
terjadinya keadaan mental terdakwa adalah tidak mengetahui dan sama sekali
tidak bermaksud untuk melakukan suatu perbuatan, meskipun demikian pelakunya
dipandang tetap bertanggung jawab atas terjadinya perkara yang terlarang itu,
walaupun sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan suatu perbuatan yang
ternyata adalah kejahatan. 3
Sistem peradilan untuk perkara lalu lintas jalan sedikit berbeda dengan sistem
peradilan biasa, acara pemeriksaannya terdapat peraturan beracara yang berbeda
dari acara biasa yaitu: 4
1. Perkara tilang tidak memerlukan berita acara pemeriksaan, penyidik hanya mengirimkan catatan-catatan ke Pengadilan (formulir tilang)
2. Di dalam sidang pemeriksaan perkara tilang terdakwa boleh tidak hadir dan dapat menunjuk seseorang untuk wakilinya disidang dalam hal ini pemeriksaan perkara tetap dilanjutkan dan diputus dengan putusan verstek. 3. Perkara tilang tidak ada surat tuduhan dan tidak adanya putusan tersendiri yang lepas dari berkas perkara, putusan hakim tercantum dalam berita acara sidang artinya disambungkan pada berita acara tersebut.
4. Jaksa tidak perlu hadir disidang kecuali apabila kejaksaan atau jaksa menganggap perlu maka pihak kejaksaan akan hadir disidang.
Perkara tilang diadili dengan acara pemeriksaan cepat dan tidak dapat diadili
dengan cara pemeriksaan biasa. Sistem peradilan tilang lembaga yang terlibat
sebagai subsistem adalah kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dengan tugas dan
fungsinya yang telah diatur sesuai dengan undang-undang. Acara pemeriksaan
meliputi acara pemeriksaan tindak pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu
lintas. Pasal 211 KUHAP menyebutkan bahwa yang diperiksa menurut acara
pemeriksaan pelanggaran lalu lintas adalah pelanggaran lalu lintas tertentu
terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan.
Sistem peradilan tilang pihak sama dengan sistem peradilan pidana perkara biasa,
yang dilakukan oleh Kepolisian. Pemeriksaan permulaan dilakukan di tempat
kejadian. Polisi yang bertugas melaksanakan penegakan hukum apabila
menemukan pelanggaran lalu lintas tertentu harus menindak langsung di tempat
kejadian.
Dasar hukum mengenai kecelakaan lalu lintas adalah Pasal 229 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menggolongkan
kecelakaan lalu lintas sebagai berikut:
(1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas: a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan
b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; atau c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.
(2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
(3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
(4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.
(5) Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.
Ketentuan Pasal 230 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4) diproses
dengan acara peradilan pidana sesuai aturan perundang-undangan.
Aparat penegak hukum dalam menangani perkara pidana lalu lintas dapat
melakukan tindakan represif yaitu tindakan yang pada prinsipnya didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti KUHP, misalnya dalam
bentuk penegakan hukum (penyidikan) kepada pelaku.
Kriteria seperti di atas dalam praktek Polisi sebagai penyidik penegak hukum juga
bisa menyelesaikan kasus yang menyangkut tindak pidana lalu lintas khususnya
yang termasuk Pasal 359 KUHP yang menjelaskan bahwa barangsiapa karena
kelalaiannya menyebabkan orang lain mati, dipidana dengan pidana penjara
paling lama lima tahun penjara.
Pasal di atas menyebutkan adanya unsur “ kealpaan” yang berfungsi menjelaskan
unsur kesalahan yang berbentuk culpa di mana akibat yang berakibat matinya
korban. Kealpaan maka satu-satunya ukuran yang diperlukan untuk adanya
kealpaan tersebut ada perbuatan yang obyektif menyebabkan mati atau luka-luka
ialah apakah dalam melakukan perbuatan telah memperhatikan dan mentaati
norma-norma yang bertalian dengan perbuatan tersebut, baik yang telah
diwujudkan sebagai peraturan tertulis maupun masih menampakkan diri sebagai
perbuatan yang patut atau tidak patut. 5
Perkara pidana lalu lintas dapat diselesaikan melalui perdamaian sebagai proses
penyelesaian pekara pidana lalu lintas di luar pengadilan. Polisi sebagai penyidik
dalam menyelesaikan tindak pidana lalu lintas khususnya yang termasuk Pasal
5
359 KUHP di luar Pengadilan ini kalau pelaku dan pihak korban sudah ada
kesepakatan kehendak. Penyelesaian di dalam Pengadilan, apabila para pihak
pelaku dan keluarga korban tidak ada kesepakatan kehendak untuk diselesaikan di
luar Pengadilan, Polisi sebagai penyidik sesuai dengan tugasnya membuat berita
acara tentang kejadiannya dan kemudian menyerahkan ke Jaksa penuntut Umum
agar dilakukan penuntutan. Hukum Pidana harus dipandang sebagai hukum yang
mempunyai fungsi subsider, karena hukum pidana baru digunakan apabila upaya
lain dirasakan tidak berhasil atau tidak sesuai.
Perkara lalu lintas pada dasarnya termasuk jenis perkara pelanggaran. Pelanggaran
lalu lintas tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
tetapi ada yang menyangkut delik-delik yang disebut dalam KUHP, misalnya
sebagaimana diatur dalam Pasal 359 KUHP, yaitu karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain dan sebagimana diatur dalam Pasal 360 KUHP,
yaitu karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka berat.
Penyelesaian perkara pidana lalu lintas ada yang penyelesaiannya dilakukan di
luar pengadilan yang menyangkut kecelakaan lalu lintas antara pihak-pihak yang
terlibat tanpa melalui pengadilan, baik bagi pelaku yang berstatus anak atau orang
dewasa. Proses penyelesaian tersebut dilakukan oleh para pihak sendiri karena
masing-masing pihak sepakat untuk menyelesaikan tanpa melalui proses yang
berbelit-belit dan memakan waktu yang lama, adapun hal ini terjadi karena
pengadilan akan mempelajari bukti-bukti yang ada guna mencari kebenaran dan
Tugas Kepolisian dalam hal penyelesaian perkara di luar pengadilan adalah
sebagai penengah dari masing-masing pihak dan apabila masing-masing pihak
sudah ada kesepakatan mengenai penggantian biaya apabila sebelum meninggal
korban terlebih dahulu dirawat di rumah sakit, menanggung biaya pemakaman,
selamatan sampai dengan selesai dan memberikan sejumlah uang sebagai uang
duka dan setelah itu membuat surat pernyataan yang berisi telah selesainya
perkara tersebut dan tidak ada penuntutan kembali dari masing-masing pihak,
maka perkara tersebut oleh polisi dinyatakan selesai.
Pelaku tindak pidana lalu lintas salah satunya adalah pengendara yang masih
digolongkan sebagai anak, yaitu di bawah usia 17 tahun. Hal ini didasarkan pada
dasar hukum yaitu Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya yang menyatakan persyaratan
pemohon SIM perseorangan berdasarkan usia adalah minimal berusia 16 tahun
untuk memperolah SIM C dan D. Selain itu ketentuan Pasal 81 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, bahwa batas usia minimal untuk memperoleh
SIM A adalah 18 tahun. Dengan demikian maka seseorang yang belum berusia 16
tahun (untuk pengendara kendaraan roda dua) dan belum berusia 18 tahun (untuk
pengendara kendaraan roda empat), dapat dikategorikan sebagai anak.
Pengertian anak menurut Pasal 1 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak sebagai
pengendara kendaraaan bermotor pada umumnya belum memahami dan tidak
mengemudikan kendaraannya dengan wajar, tidak mengutamakan keselamatan
pejalan kaki, tidak mampu menunjukkan STNK, SIM. Para pelajar juga umumnya
tidak mematuhi ketentuan tentang kelas jalan, rambu-rambu dan marka jalan, alat
pemberi isyarat lalu lintas, waktu kerja dan waktu istirahat pengemudi, gerak lalu
lintas berhenti dan parkir, persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor
dan tidak mengindahkan kecepatan minimum dan maksimum dalam berkendara.
Contoh perkara tindak pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak adalah
kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh AQJ (13 tahun), yang mengendarai
mobil dengan kecepatan tinggi, sehingga menabrak pembatas jalan dan menabrak
dua mobil lain, mengakibatkan 7 pengendara mobil meninggal dunia dan 9
terluka. Pihak kepolisian menetapkan AQJ sebagai tersangka, karena melanggar
Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (LLAJ) dengan ancaman 6 tahun pidana penjara. AQJ juga
melanggar Pasal 281 jo. Pasal 77 UU LLAJ, karena mengemudikan kendaraan
bermotor tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Selain itu melanggar Pasal
280 jo. Pasal 68 UU LLAJ karena Tanda Nomor Kendaraan Bermotor yang
dipasang tidak sesuai dengan yang ditetapkan Polri. 6 Tim Jaksa Penuntut Umum
(JPU) dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mendakwa AQJ karena melanggar
Pasal 310 Ayat (1), (3) dan (4), Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dengan ancaman hukuman 6 tahun pidana
penjara.7
6
http://hukum.kompasiana.com/2013/09/29/pertanggungjawaban-pidana-anak-ditengah-masa- transisi. artikel/heruwijayanto.Diakses Sabtu 18 Oktober 2014
7
Penyelesaian perkara pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak dapat ditempuh
dengan menerapkan diversi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (7)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dinyatakan
bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis melakukan penelitian yang berjudul:
Penegakan Hukum Terhadap Anak Yang Melanggar Undang-Undang Lalu Lintas
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap anak yang melanggar
Undang-Undang Lalu Lintas?
b. Mengapa terdapat faktor penghambat penegakan hukum terhadap anak yang
melanggar Undang-Undang Lalu Lintas?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah hukum pidana, dengan kajian
mengenai penegakan hukum terhadap anak yang melanggar Undang-Undang Lalu
Lintas dan faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap anak yang
melanggar Undang-Undang Lalu Lintas. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah
pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan waktu penelitian
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian
ini adalah untuk:
a. Menganalisis penegakan hukum terhadap anak yang melanggar
Undang-Undang Lalu Lintas
b. Menganalisis faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap anak yang
melanggar Undang-Undang Lalu Lintas
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan secara teoritis dan praktis sebagai
berikut:
a. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu
hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap
anak yang melanggar Undang-Undang Lalu Lintas dan faktor yang
menghambat penegakan hukum terhadap anak yang melanggar
Undang-Undang Lalu Lintas.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai kontribusi positif bagi
aparat penegak hukum dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap anak
yang melanggar lalu lintas. Selain itu diharapkan dapat bermanfaat bagi
berbagai pihak yang membutuhkan informasi mengenai penegakan hukum
D. Kerangka Pemikiran
1. Alur Pikir
Alur pikir penelitian mengenai penegakan hukum terhadap anak yang melanggar
undang-undang lalu lintas adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Alur Pikir Penelitian
Undang-Undang Lalu Lintas Anak Pelanggar
Lalu Lintas
Proses Penegakan Hukum
Penyidikan
Diversi
Faktor-Faktor Penghambat Penegakan Hukum
Substansi Hukum (UU
Kepolisian)
Penegak Hukum (Kualitas dan Kuantitas Penyidik)
Masyarakat (Ketidaklengkapan Informasi)
Kebudayaan (karakter personal)
Penegakan Hukum
Teori Penegakan Hukum Teori Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum Permasalahan
Pembahasan
1 2
2. Kerangka Teori
Kerangka pemikian merupakan pengabstraksian hasil pemikiran sebagai kerangka
acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya
dalam penelitian ilmu hukum8. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini
didasarkan pada berbagai teori sebagai berikut:
a. Konsep Penegakan Hukum Juridis – Kontekstual
Menurut Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip Heni Siswanto9, pada
hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy), baik dalam penegakan in
abstracto dan in concreto, merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan system
(penegakan) hukum nasional dan merupakan bagian dari upaya menunjang
kebijkaan pembangunan nasional (national development). Ini berarti bahwa
penegakan hukum pidana in abstracto (pembuatan/perubahan UU; law
making/law reform) dalam penegakan hukum pidana in concreto (law
enforcement) seharusnya bertujuan menunjang tercapainya tujuan, visi dan misi
pembangunan nasional (bangnas) dan menunjang terwujudnya sistem (penegakan)
hukum nasional.10
Walaupun hukum pidana positif di Indonesia saat ini bersumber/berinduk pada
KUHP buatan Belanda (WvS), tetapi dalam penegakan hukum harusnya berbeda
dengan penegakan hukum pidana seperti zaman Belanda. Hal ini wajar karena
kondisi lingkungan atau kerangka hukum nasional (national legal framework)
sebagai tempat dioperasionalisasikannya WvS (tempat dijalankannya mobil)
8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1983, hlm.14. 9
Heni Siswanto, Rekonstruksi Sistem Penegakan Hukum Pidana Menghadapi Kejahatan Perdagangan Orang, Penerbit Pustaka Magister, Semarang, 2013, hlm.85-86.
10Ibid
sudah berubah. Menjalankan mobil (WvS) di Belanda atau di jaman Belanda
tentunya berbeda dengan di zaman Republik Indonesia. Ini berarti penegakan
hukum pidana positif saat ini (terlebih KUHP warisan Belanda) tentunya harus
memperhatikan rambu-rambu umum proses peradilan (penegakan hukum dan
keadilan) dalam sistem hukum nasional. Penegakan hukum pidana positif harus
berada dalam konteks ke-Indonesia-an (dalam konteks sistem hukum nasional/
national legal framework) dan bahkan dalam konteks bangnas dan bangkumnas.
Inilah baru dapat dikatakan penegakan hukum pidana di Indonesia. 11
b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja,
namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu: 12
(1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)
Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. (2) Faktor penegak hukum
Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.
(3) Faktor sarana dan fasilitas
Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana yang memadai, penegakan hukum tidak berjalan lancar dan penegak hukum tidak menjalankan peranan semestinya. (4) Faktor masyarakat
Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat
11
Ibid, hlm.86 12
maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.
(5) Faktor Kebudayaan
Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya.
3. Konseptual
Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan
dalam melaksanakan penelitian.13 Berdasarkan definisi tersebut, maka
konseptualisasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Penegakan hukum pidana adalah suatu proses yang dapat menjamin kepastian
hukum, ketertiban dan perlindungan hukum dengan menjaga keselarasan,
keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh
nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab.14
b. Perkara pidana adalah bagian dari perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana
merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang
dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku15
c. Perkara pidana lalu lintas adalah jenis perkara yang berkaitan dengan tidak
dipenuhinya persyaratan untuk mengemudikan kendaraaan oleh pengemudi,
pelanggaran terhadap ketentuan peraturan lalu lintas maupun yang berkaitan
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 1983, hlm.63 14
Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 23.
15
dengan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang berakibat pada timbulnya
korban baik luka-luka maupun meninggal dunia. 16
d. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana (Pasal 1 Ayat (2), Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak)
E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
secara yuridis normatif dan pendekatan empiris. Pendekatan secara yuridis
normatif adalah pendekatan melalui studi kepustakaan (library research) dengan
cara membaca, mengutip dan menganalisis teori-teori hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian.
Pendekatan empiris adalah upaya untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman
dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus17
2. Sumber dan Jenis Data
a. Sumber Data
Berdasarkan sumbernya, data diperoleh dari data lapangan dan data kepustakaan.
Data lapangan diperoleh dari lapangan penelitian, sementara itu data kepustakaan
diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan.
16
C,S,T, Kansil dan Christine S,T, Kansil, Disiplin Berlalu Lintas di Jalan Raya ,Jakarta, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hlm.41
17
b. Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut:
1) Data Sekunder
Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh melalui studi kepustakaan
(library research) dengan cara membaca, menelaah dan mengutip terhadap
berbagai teori, asas dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan
dalam penelitian. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian terdiri dari
3 (tiga) bahan hukum, yaitu:
1) Bahan Hukum Primer, terdiri dari:
a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73
Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana
b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
c) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Republik Indonesia.
d) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan
e) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
2) Bahan Hukum Sekunder, terdiri dari teori atau pendapat para ahli di
3) Bahan hukum tersier, bersumber dari berbagai referensi atau literatur
buku-buku hukum, dokumen, arsip dan kamus hukum yang berhubungan
dengan masalah penelitian.
2) Data Primer
Data primer adalah data yang didapat dengan cara melakukan penelitian
langsung terhadap objek penelitian dengan cara observasi dan wawancara
terhadap narasumber.
3. Penentuan Narasumber
Narasumber penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Penyidik Polresta Bandar Lampung : 1 orang
2) Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang
3) Hakim di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang : 1 orang
4) Aktivis LSM Lembaga Advokasi Anak (LADA) : 1 orang+
Jumlah 4 orang
4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
a. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi
lapangan sebagai berikut:
1) Studi kepustakaan (library research), dilakukan dengan serangkaian
kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku
literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan
2) Studi lapangan (field research), dilakukan sebagai usaha mengumpulkan
data secara langsung di lapangan penelitian guna memperoleh data yang
dibutuhkan.Studi lapangan ini dilaksanakan dengan cara:
(a) Observasi (observation), yaitu melakukan pencatatan terhadap data
dan fakta yang ada di lokasi penelitian.
(b) Wawancara (interview), yaitu mengajukan tanya jawab kepada
narasumber penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara
yang telah dipersiapkan sebelumnya.
b. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah
diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Adapun pengolahan data
yang dimaksud meliputi tahapan sebagai berikut:
1) Seleksi data, yaitu kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan
data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
2) Klasifikasi data, yaitu kegiatan penempatan data menurut
kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang
benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.
3) Penyusunan data, yaitu kegiatan penempatan dan menyusun data yang
saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu
pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.
5. Analisis Data
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis yuridis
kualitatif. Analisis yuridis kualitatif dilakukan dengan menguraikan data yang
terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan.
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan
hal-hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan disusun untuk memudahkan dan memahami isi Tesis secara
keseluruhan dengan rincian sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, Bab ini berisi pendahuluan penyusunan Tesis yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan
Penelitian, Kerangka Konseptual serta Sistematika Penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka, Bab ini berisi tinjauan pustaka yang meliputi pengertian penegakan hukum, perkara pidana lalu lintas, penanggulangan tindak
pidana, pengertian anak dan perlindungan terhadap anak, perdamaian dan keadilan
substantif terhadap anak yang melakukan tindak pidana.
Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan. Bab ini berisi penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dari hasil penelitian, yang terdiri dari análisis
penegakan hukum terhadap anak yang melanggar Undang-Undang Lalu Lintas
dan faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap anak yang melanggar
Undang-Undang Lalu Lintas.
Bab IV Penutup, Bab ini berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran yang ditujukan demi
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Penegakan Hukum
Penegakan hukum menurut Badra Nawawi Arief, sebagaimana dikutip Heni
Siswanto1 adalah: (a) keseluruhan rangkaian kegiatan penyelenggara/
pemeliharaan keseimbangan hak dan kewajiban warga masyarakat sesuai harkat
dan martabat manusia serta pertanggungjawaban masing-masing sesuai fungsinya
secara adil dan merata, dengan aturan hukum dan peraturan hukum dan
perundang-undangan yang merupakan perwujudan Pancasilan dan
Undang-Undang Dasar 1945; (b) keseluruhan kegiatan dari para pelaksana penegak hukum
ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia, ketertiban, ketentraman dan kepastian hukum sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip Heni Siswanto2, pada
hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy), baik dalam penegakan in
abstracto dan in concreto, merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan system
(penegakan) hukum nasional dan merupakan bagian dari upaya menunjang
kebijkaan pembangunan nasional (national development). Ini berarti bahwa
penegakan hukum pidana in abstracto (pembuatan/perubahan UU; law
1
Heni Siswanto.Op cit. hlm.1 2
making/law reform) dalam penegakan hukum pidana in concreto (law
enforcement) seharusnya bertujuan menunjang tercapainya tujuan, visi dan misi
pembangunan nasional (bangnas) dan menunjang terwujudnya sistem (penegakan)
hukum nasional.
Menurut Joseph Goldstein sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro3,
penegakan hukum sendiri, harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yaitu:
1. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang
menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut
ditegakkan tanpa terkecuali
2. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept)
yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan
sebagainya demi perlindungan kepentingan individual
3. Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul
setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena
keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana, kualitas sumber daya
manusianya, perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.
Negara Indonesia adalah negara hukum (recht staats), maka setiap orang yang
melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui
penegakan hukum. Hukum dalam hal ini merupakan sarana bagi penegakan
hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu
3
perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan disertai dengan ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu sebagai pertanggungjawabannya4
Menurut Lawrence Friedman sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro5,
unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum (legal structure),
substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).
a. Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta
lembaga-lembaga terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi
Judisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain.
b. Substansi hukum adalah mengenai norma, peraturan maupun undang-undang.
c. Budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari
masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistim
hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim
dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar
atau dilaksanakan.
Substansi hukum bukanlah sesuatu yang mudah direncanakan, bahkan hal ini
dapat dianggap sebagai perkara yang sulit, namun bukan karena kesulitan itulah,
sehingga substansi hukum perlu direncankan, melainkan substansi hukum juga
sangat tergantung pada bidang apakah yang hendak diatur. Perlu pula dperhatikan
perkembangan sosial, ekonomi dan politik, termasuk
perkembangan-perkembangan ditingkat global yang semuanya sulit diprediksi. Sikap politik yang
paling pantas untuk diambil adalah meletakkan atau menggariskan prinsip-prinsip
pengembangannya dan sebatas inilah blue print-nya. Untuk itu maka gagasan
4
Ibid, hlm.79.
5
Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan
dasar yang terdapat dalam UUD 1945 itulah yang harus dijadikan prinsip-prinsip
atau parameter dalam pembentukan undang-undang apa saja, kesetaraan antar
lembaga negara, hubungan yang bersifat demokratis antara pemerintah pusat
dengan daerah, hak asasi manusia (HAM) yang meliputi hak sosial, ekonomi,
hukum, dan pembangunan harus dijadikan sumber sekaligus parameter dalam
menguji substansi RUU atau UU yang akan dibentuk.
Budaya hukum (legal culture) menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum
yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide
ini menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga negara terhadap
hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan
signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang
lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan
lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu
menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum
yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda.
Aspek kultural melengkapi aktualisasi suatu sistem hukum, yang menyangkut
dengan nilai-nilai, sikap, pola perilaku para warga masyarakat dan faktor
nonteknis yang merupakan pengikat sistem hukum tersebut. Wibawa hukum
melengkapi kehadiran dari faktor-faktor non teknis dalam hukum. Wibawa hukum
memperlancar bekerjanya hukum, sehingga perilaku orang menjadi positif
terhadap hukum. Wibawa hukum tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang
kepercayaan. Kewibawaan hukum dapat dirumuskan sebagai suatu kondisi
psikologis masyarakat yang menerima dan menghormati hukumnya.6
Menurut Friedman budaya hukum diterjemahkan sebagai sikap-sikap dan
nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum dan lembaganya, baik secara positif,
maupun negatif. Jika masyarakat mempunyai nilai nilai yang positif, maka hukum
akan diterima dengan baik, sebaliknya jika negatif, masyarakat akan menentang
dan menjauhi hukum dan bahkan menganggap hukum tidak ada.membentuk
undang-undang memang merupakan budaya hukum. Tetapi mengandalakan
undang-undang untuk membangun budaya hukum yang berkarakter tunduk, patuh
dan terikat pada norma hukum adalah jala pikiran yang setengah sesat. Budaya
hukum bukanlah hukum. Budaya hukum secara konseptual adalah soal-soal yang
ada di luar hukum. 7
Hal ini tidak berarti sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice
system) antar lembaga penegak hukum harus menjadi satu fungsi di bawah “satu
atap”, akan tetapi masing-masing fungsi tetap dibawah koordinasi sendiri-sendiri
yang independen dengan kerjasama yang aktif dalam persepsi yang sama dilihat
dari fungsi dan wewenang masing-masing lembaga tersebut. Keterpaduan antara
subsistem dalam penegakan hukum menjadi penentu efektifvitas suatu peraturan.
Sistem hukum dapat berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan jika semua
unsur saling mendukung dan melengkapi. 8
6
Ibid. hlm.82.
7
Ibid. hlm.82.
8
Berkaitan dengan hal tersebut, ada anggapan yang menyatakan bahwa kesadaran
hukum merupakan proses psikis yang terdapat dalam diri manusia yang mungkin
timbul dan mungkin pula tidak timbul. Oleh karena itu, semakin tinggi taraf
kesadaran hukum seseorang, akan semakin tinggi pula tingkat ketaatan dan
kepatuhannya kepada hukum, dan sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran
hukum seseorang maka ia akan banyak melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan hukum, sehingga tidak mengherankan kalau ada yang merumuskan
kesadaran hukum itu sebagai suatu keseluruhan yang mencakup pengetahuan
tentang hukum, penghayatan fungsi hukum, dan ketaatan kepada hukum.
B. Perkara Pidana Lalu Lintas
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,
melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang
yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan
dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan9
Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya
tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 10
Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar sebagai berikut11:
9
Hamzah, Andi. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2001. hlm. 22
10
Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 16.
11
a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat
dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP
kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.
b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.
c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.
d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya, sehingga anak tersebut meninggal.
Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan
tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain
yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Kecelakaan
lalu lintas merupakan kejadian yang sangat sulit di prediksi kapan dan di mana
kecacatan tetapi dapat mengakibatkan kematian. Kasus kecelakaan sulit
diminimalisasi dan cenderung meningkat seiring pertambahan panjang jalan dan
banyaknya pergerakan dari kendaraan.
Berdasarkan defenisi tentang kecelakaan bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan
kejadian yang tidak disangka-sangka atau diduga dan tidak diinginkan disebabkan
oleh kendaraan bermotor, terjadi di jalan raya, atau tempat terbuka yang dijadikan
sebagai sarana lalu lintas seerta mengakibatkan kerusakan, luka-luka, kematian
manusia dan kerugian harta benda.
Karakteristik kecelakaan lalu lintas menurut jumlah kendaraan yang terlibat
digolongkan menjadi: 12
a) Kecelakaan tunggal, yaitu kecelakaan yang hanya melibatkan satu kendaraan
bermotor dan tidak melibatkan pemakai jalan lain, contohnya seperti
menabrak pohon, kendaraan tergelcincir, dan terguling akibat ban pecah.
b) Kecelakaan ganda, yaitu yaitu kecelakaan yang melibatkan lebih dari satu
kendaraan bermotor atau dengan pejalan kaki yang mengalami kecelakaan di
waktu dan tempat yang bersamaan.
Karakteristik kecelakaan menurut jenis tabrakan dapat diklasifikasikan: 13
a. Rear-Angle (RA), tabrakan antara kendaraan yang bergerak pada arah yang
berbeda namun bukan dari arah yang berlawanan.
b. Rear-End (RE), kendaraan yang menabrak kendaraan lain yang bergerak
searah.
12
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. Disiplin Berlalu Lintas di Jalan Raya .Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 1995. hlm 35.
13Ibid
c. Sideswipe (Ss), kendaraan yang bergerak yang menabrak kendaraan lain dari
samping ketika kendaraan berjalan pada arah yang sama atau pada arah yang
berlainan.
d. Head-On (Ho), kendaraan yang bertabrakan dari arah yang berlawanan namun
bukan Sideswipe, hal ini sering disebut masyarakat luas suatu tabrakan dengan
istilah adu kambing.
e. Backing, tabrakan yang terjadi pada saat kendaraan mundur dan menabrak
kendaraan lain ataupun sesuatu yang mengakbiatkan kerugian.
Dampak yang ditimbulkan akibat kecelakaan lalu lintas dapat menimpa sekaligus
atau hanya beberapa hanya di antaranya. Berikut kondisi yang digunakan untuk
mengklasifikasikan korban lalu lintas yaitu:
a. Meninggal dunia adalah korban kecelakaan lalu lintas yang dipastikan
meninggal dunia akibat kecelakaan laulintas dalam jangka paling lama 30 hari
stelah kecelakaan tersebut.
b. Luka berat adalah korban kecelakaan yang karena luka-lukanya menderita
cacat tetap atau harus dirawat di inap di rumah sakit dalam jangka lebih dari
30 hari sejak terjadi kecelakaan. Suatu kejadian digolongkan cacat tetap jika
sesuatu anggota badan hilang atau tidak dapat digunakan sama sekali dan tidak
dapat pulih kembali untuk selama-lamanya (cacat permanen/seumur hidup).
c. Luka ringan adalah korban yang mengalami luka-luka yang tidak memerlukan
rawat inap atau harus diinap lebih dari 30 hari. 14
C. Penanggulangan Tindak Pidana
14Ibid
Kebijakan Kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan
berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal policy, atau strafrechtspolitiek
adalah suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan melalui penegakan hukum
pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka
menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat
diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum
pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana
pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan
politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.15
Pelaksanaan dari politik hukum pidana harus melalui beberapa tahap kebijakan
yaitu sebagai berikut: 16
a. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil Perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif
b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat dapat disebut sebagai tahap yudikatif.
c. Tahap eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang
15
Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung. 1986. hlm. 22-23
16
telah ditetapkan dalam putusan pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna.
Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses
rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus
merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk yang
bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.
Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi
yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana (penal)
maupun non hukum pidana (nonpenal), yang dapat diintegrasikan satu dengan
yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan,
berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Penggunaan
hukum pidana merupakan penanggulangan suatu gejala dan bukan suatu
penyelesaian dengan menghilangkan sebabnya dengan kata lain sanksi hukum
pidana bukanlah merupakan pengobatan kausatif tetapi pengobatan simptomatik.
Selain itu kebijakan kriminal juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial
(social policy). Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare policy) dan sekaligus
dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal ialah
“perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan”.17
Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan
(politik kriminal) menggunakan dua sarana, yaitu: 18
a. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal
Sarana penal adalah penggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang di dalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu :
(1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.
(2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar. b. Kebijakan Pidana dengan Sarana Non Penal
Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan
yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan sekaligus
pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach) karena ia
hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (yaitu bagian dari politik
hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik
sosial). Pendekatan kebijakan dan nilai terhadap sejumlah perbuatan asusila
dilakukan dengan mengadopsi perbuatan yang tidak pantas/ tercela di masyarakat
dan berasal dari ajaran-ajaran agama dengan sanksi berupa sanksi pidana.
D. Pengertian Anak dan Perlindungan Hukum terhadap Anak
Beberapa pengertian mengenai anak menurut peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang usia yang dikategorikan sebagai anak, yaitu sebagai berikut:
17
Badra Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. 2002. hlm. 77
18
a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Pasal 1 angka (2) menyatakan anak adalah seorang yang belum mencapai
batas usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin
b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Pasal 1 angka (1) menyatakan anak adalah orang yang dalam perkara anak
nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin
c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal angka (5) menyebutkan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia
di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang
masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya
d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 angka (1), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, menjelaskan anak adalah seseorang yang belum berusia
18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
e. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
Pasal 1 angka (3), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa anak yang Berkonflik dengan
Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12
(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan YME, yang senantiasa harus
manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak
asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945 dan Konvensi PBB tentang
Hak-Hak Anak. Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, adalah masa depan
bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari
tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi19
Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam
situasi darurat, anak yang melakukan tindak pidana, anak dari kelompok minoritas
dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak
yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,
penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak
yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan
bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan
negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus
demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan itu harus berkelanjutan
dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik,
19
mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan
kehidupan terbaik bagi anak sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh,
memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta
berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari
janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik
tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meletakkan
kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas yaitu:
a. Nondiskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
d. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Upaya pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, memerlukan peran
masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan,
lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia
usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.
Hak-hak anak di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, adalah sebagai berikut:
(a) Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4
(b) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).
(c) Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan
orang tua (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).
(d) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh
oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak
dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar
maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak
angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku [Pasal 7 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002].
(e) Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).
(f) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya. Khusus bagi anak penyandang cacat juga berhak memperoleh
pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga
berhak mendapatkan pendidikan khusus (Pasal 9 Ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).
(g) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,