• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN ASEAN Intergovernental Commission Of Human Rights (AICHR) DALAM MENEGAKKAN HAK ASASI MANUSIA DI KAWASAN NEGARA ANGGOTA ASEAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN ASEAN Intergovernental Commission Of Human Rights (AICHR) DALAM MENEGAKKAN HAK ASASI MANUSIA DI KAWASAN NEGARA ANGGOTA ASEAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

© Copyright 2014

PERAN ASEAN Intergovernental Commission Of Human Rights (AICHR) DALAM MENEGAKKAN HAK ASASI MANUSIA

DI KAWASAN NEGARA ANGGOTA ASEAN

ANANDA RURISKA SAPUTRI1 NIM. 0802045186

Abstract:

This research is describing about the effort of AICHR establishing human rights in ASEAN region. This research using descriptive type of research to describe the effort of AICHR establishing human rights in ASEAN region. The research has using secondary data that obtaindedreview of many literatureslike books, internet, and any other sources. The analysis technique used is the literature study or Library Research Studies.

The result of this research shown that AICHR still dealing time to explore and prepare for more legal instruments related to human rights violations. Nevertheless, the presence of AICHR have proved that ASEAN also concerned about the issue of human rights violation and can be regarded as proving to the world that the ASEAN region have a regional human rights courts and of course it took a long time to realize it.

Keywords :AICHR efforts, Human Rights, ASEAN members.

Pendahuluan

HAM secara umum dapat di artikan sebagai hak-hak yang melekat pada diri segenap manusia sehingga mereka diakui keberadaannya tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. ASEAN terletak di kawasan Asia Tenggara yang menduduki posisi strategis dimana kawasan ini terletak di antara samudera pasifik dan samudera hindia yang biasanya di dalamnya banyak sekali kegiatan transnasional yang terjadi. Proses integrasi yang terjadi di negara anggota ASEAN pun semakin pesat dengan adanya dukungan dari globalisasi. Perkembangan yang dihasilkan tidak hanya menghasilkan hal yang positif, tetapi juga menghasilkan kerugian yakni dengan munculnya berbagai isu keamanan yang mengancam stabilitas keamanan ASEAN, salah satunya adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

1 Mahasiswa S1 Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Soasial dan Ilmu Politik, Universitas

(2)

Seiring dengan berbagai isu HAM dalam pandangan internasional, penegakan HAM banyak mengalami hambatan. Hal ini menyebabkan isu mekanisme penegakan HAM pada tingkat regional. Perbedaan HAM yang bervariatif pada dunia internasional, direduksi menjadi pandangan yang lebih homogen, yang biasanya berlaku di tingkat regional. Kedekatan wilayah, budaya, keadaan sosial ekonomi, serta interdependensi keamanan menciptakan lingkungan yang lebih memungkinkan untuk kerja sama. Maksudnya, lebih mudah untuk menghasilkan suatu kerjasama penegakan HAM pada tingkat regional karena adanya kedekatan budaya dan identitas negara-negara yang berbeda dalam suatu kawasan.

Pelanggaran HAM di ASEAN menjadi isu dengan prioritas utama karena memang negara anggota ASEAN masih rawan akan isu pelanggaran HAM. Seperti yang telah banyak diberitakan, ada beberapa pelanggaran HAM yang terjadi di ASEAN seperti yang terjadi di Myanmar dengan penyanderaan Aung San Suu Kyi (yang akhirnya dibebaskan pada 13 November 2010 yang lalu setelah 15 tahun menjalani tahanan rumah). Malaysia dengan jumlah pelanggaran HAM yang tinggi terhadap buruh migran dan Indonesia dengan masih banyaknya perang saudara yang memakan jumlah korban yang cukup besar, pengasingan paksa di Philippines, Thailand yang menjadi salah satu negara tujuan perdagangan wanita,

trafficking seperti di Vietnam, eksploitasi anak dan wanita di Myanmar,

ketidakadilan proses hukum di Singapura menjadi catatan hitam bagi sejarah penegakan HAM di ASEAN.

ASEAN merasa perlu untuk membentuk suatu organisasi dimana nantinya organisasi tersebut bisa memjawab dan menyelesaikan semua permasalahan HAM yang terjadi di masing-masing negara anggota ASEAN. Sebagai organisasi yang berada di kawasan ASEAN mulai mengambil perannya dan menanggapi isu pelanggaran HAM, maka dibentuklah komisi HAM ASEAN yang dinamakan AICHR pada tanggal 23 oktober 2009 pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-15 di Thailand. Setiap negara ASEAN diharuskan untuk menugaskan seorang Representatif untuk menjadi anggota AICHR.

Dengan adanya aspek perlindungan HAM sebagai landasan kerja AICHR maka korban pelanggaran HAM diberi ruang untuk memperjuangkan penyelesaian kasusnya di tingkat regional. AICHR sebagai komisi HAM ASEAN dituntut untuk mampu menjawab tantangan ancaman keamanan yang terjadi yakni pelanggaran HAM, dengan cara memperjelas metode penyelesaiannya, tujuan praktis yang diperlukan, dan gambaran kondisi seperti apa yang harus diwujudkan oleh semua negara anggota ASEAN.

Berkaitan dengan judul dan latar belakang masalah, maka penulis membatasi masalah pada apa saja upaya yang di lakukan AICHR serta tantangan dan hambatan apa saja yang di hadapi AICHR dalam menjalankan tugasnya untuk menegakkan hak asasi manusia masyarakat ASEAN sepanjang tahun 2009-2012. Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan upaya AICHR serta tantangan dan hambatan apa saja yang di

(3)

hadapi AICHR dalam menjalankan tugasnya untuk menegakkan hak asasi manusia masyarakat ASEAN sepanjang tahun 2009-2012.

Landasan Teori dan Konsep

A. Teori Peran Organisasi Internasional

Organisasi internasional didefinisikan sebagai suatu struktur formal dan berkelanjutan yang dibentuk atas suatu kesepakatan antara anggota-anggota (pemerintah dan non-pemerintah) dari dua atau lebih negara berdaulat dengan tujuan untuk mengejar kepentingan bersama para anggotanya. (Clive Archer, 1983: 35)

Menurut Clive Archer, peranan organisasi internasional dibagi menjadi tiga kategori, yaitu : (ibid: 130-147)

1. Sebagai instrumen. Organisasi internasional digunakan oleh negara-negara anggotanya untuk mencapai tujuan tertentu berdasarkan tujuan politik luar negerinya.

2. Sebagai arena. Organisasi internasional merupakan tempat bertemu bagi anggota-anggotanya untuk membicarakan dan membahas masalah-masalah yang di hadapi. Tidak jarang organisasi internasional di gunakan oleh beberapa negara untuk mengangkat masalah dalam negerinya, ataupun masalah dalam negeri negara lain dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian internasional.

Fungsi organisasi internasional menurut A. Le Roy Bennet adalah : (Anak Agung Banyu Perwita, 2005: 97)

1. Menyediakan hal-hal yang dibutuhkan bagi kerjasama yang di lakukan antar negara dimana kerjasama itu menghasilkan keuntungan yang besar bagi seluruh bangsa.

2. Menyediakan banyak saluran-saluran komunikasi antar pemerintahan sehingga ide-ide dapat bersatu ketika masalah muncul ke permukaan.

Konsep peran dikemukakan oleh Biddle and Biddle dalam bukunya yang berjudul

Community Development bahwa peran suatu lembaga dalam bentuk bantuan

kepada pihak lain dibedakan sebagai berikut: (Biddle and Biddle, 1965: 215-218) 1. Peran sebagai motivator, artinya bertindak untuk memberikan dorongan

kepada orang lain untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan.

2. Peran sebagai komunikator, artinya menyampaikan segala informasi secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

B. Konsep Hak Asasi Manusia

Menurut John Locke, HAM merupakan hak-hak yang di berikan Tuhan secara langsung karenanya tidak ada kekuasaan yang dapat mencabut hak-hak dasar tersebut, namun bukan berarti setiap orang berhak melakukan suatu perbuatan sekehendak hatinya dan apabila seseorang berlebihan dalam menjalankan hak-hak yang di milikinya tentu akan melanggar hak-hak orang lain yang ada di sekitarnya.

(4)

UDHR (Universal Declaration of Human Rights) memberikan pengertian hak asasi manusia (HAM) sebagai perangkat hak-hak dasar manusia yang tidak boleh dipisahkan dari keberadaanya sebagai manusia. Dengan demikian, martabat manusia merupakan sumber dari seluruh HAM. Martabat manusia akan berkembang jika hak yang paling dasar yaitu kemerdekaan dan persamaan dapat dikembangkan.

Setelah pembentukan AICHR, Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN menjadi dasar konstitutifnya. Berikut adalah pasal 1 sampai 9 dari Deklarasi HAM tersebut: (Miriam Budiarjo, 2008: 180)

1. Semua orang dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak-hak. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan harus bertindak terhadap satu sama lain dalam semangat kemanusiaan.

2. Setiap orang berhak atas hak dan kebebasan yang ditetapkan, tanpa pembedaan apapun, seperti ras, jenis kelamin, usia, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal nasional atau sosial, status ekonomi, kelahiran, cacat atau status lainnya .

3. Setiap orang memiliki hak pengakuan sebagai pribadi di hadapan hukum. Setiap orang adalah sama di depan hukum. Setiap orang berhak hidup tanpa diskriminasi atas perlindungan hukum yang sama.

4. Hak-hak perempuan, anak-anak, orang tua, penyandang cacat, pekerja migran, dan kelompok-kelompok rentan dan terpinggirkan merupakan bagian integral dari hak asasi manusia dan kebebasan fundamental yang tak terpisahkan. 5. Setiap orang berhak atas bantuan yang efektif dan dapat dilaksanakan, yang

akan ditentukan oleh pengadilan atau pihak berwenang lainnya yang kompeten, untuk tindakan pelanggaran hak-hak yang diberikan kepada orang yang oleh konstitusi atau oleh hukum.

6. Pemberian hak asasi manusia dan kebebasan dasar harus diimbangi dengan pelaksanaan kewajiban yang sesuai sebagai masyarakat, setiap orang memiliki tanggung jawab untuk hal tersebut. Hal ini pada akhirnya tanggung jawab utama dari semua negara Anggota ASEAN untuk mempromosikan dan melindungi semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental .

7. Semua hak asasi manusia bersifat universal, tak terpisahkan, saling tergantung dan saling terkait. Semua hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam Deklarasi ini harus diperlakukan secara adil dan merata, pada pijakan yang sama dan dengan penekanan yang sama. Pada saat yang sama, realisasi hak asasi manusia harus dipertimbangkan dalam bantalan konteks regional dan nasional dalam pikiran latar belakang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, sejarah dan agama yang berbeda .

8. Hak asasi manusia dan kebebasan fundamental setiap orang harus dilaksanakan dengan memperhatikan hak asasi manusia dan kebebasan dasar orang lain. Pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental harus tunduk hanya pada pembatasan seperti yang ditentukan oleh hukum semata-mata untuk tujuan menjamin pengakuan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar orang lain, dan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan masyarakat, keamanan

(5)

publik, moralitas publik, serta kesejahteraan umum dari masyarakat dalam masyarakat yang demokratis.

9. Dalam realisasi hak dan kebebasan asasi manusia yang terkandung dalam Deklarasi ini, prinsip-prinsip imparsialitas, objektivitas, selektivitas, non-diskriminasi, non-konfrontasi dan menghindari standar ganda dan politisasi, harus selalu ditegakkan. Proses realisasi tersebut harus mempertimbangkan partisipasi masyarakat, inklusivitas dan kebutuhan untuk akuntabilitas.

Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakantipe penelitian deskriptif, yaitu berupaya untuk menggambarkan upaya AICHR serta tantangan dan hambatan apa saja yang di hadapi AICHR dalam menjalankan tugasnya untuk menegakkan hak asasi manusia masyarakat ASEAN sepanjang tahun 2009-2012. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah tinjauan pustaka (library research) dengan mengumpulkan data-data sekunder yang bersumber dari buku-buku, artikel, dan data-data dari internet yang tingkat kapabilitasnya terhadap permasalahan yang dihadapi dan validitasnya dapat dipertanggung jawabkan. Jenis data yang digunakan adalah data Skunder. Teknik analisis data yang digunakan dalam menganalisis data yang di peroleh dari penelitian, menggunakan metode kualitatif. Dalam menganalisis permasalahan di gambarkan berdasarkan fakta-fakta yang ada dan kemudian menghubungkan fakta yang satu dengan fakta lainnya dalam hal ini upaya AICHR serta tantangan dan hambatan apa saja yang di hadapi AICHR dalam menjalankan tugasnya untuk menegakkan hak asasi manusia masyarakat ASEAN sepanjang tahun 2009-2012.

Pembahasan

Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah yang memiliki peranan penting dalam konstelasi politik-keamanan internasional. Pada wilayah ini, dinamika pembangunan negara-bangsa di wilayahASEAN dihadapkan pada berbagai persoalan, diantaranya adalah penegakan HAM. Isu pelanggaran HAM telah menggerakan masyarakat internasional dengan melibatkan Intergovernmental

Organizations (IGOs) maupun Non-Governmental Organizations (NGOs) dalam

upaya melindungi hak asasi manusia. Disini, AICHR merupakan salah satu IGO juga mulai mengambil perannya dalam perlindungan HAM di kawasan ASEAN. Berbagai persoalan penegakan HAM diantara negara-negara ASEAN, berupaya diselesaian oleh rezim ASEAN sendiri. Disinilah keberadaan AICHR berupaya menegakan HAM dalam lingkup negara-negara ASEAN secara efektif, sistematik dan berupaya menghindari coercion. Beberapa peran AICHR diantaranya sebagai instrument dengan implementasi HAM secara preventif, pengenalan penegakan HAM secara holistik, sebagaiwadah atau arena, forum komunikasi dan juga konsolidasi HAM regional ASEAN.

A. Peran AICHR di negara-negara anggota ASEAN 1. Sebagai Instrumen

Sesuai dengan salah satu peran organisasi internasional menurut Clive Archer, dimana AICHR memegang peran sebagai instrumen, AICHR memenuhi peran

(6)

tersebut dengan menjadi alat yang dipakai oleh negara-negara anggota ASEAN untuk dapat melaksanakan kepentingannya dalam hal ini tentu saja penegakan HAM, yakni dengan pengimplementasian ketentuan HAM secara preventif guna menghindari coercion dan mengadakan konvensi-konvensi tentang HAM.

Mekanisme penegakan HAM di ASEAN tidak boleh digunakan sebagai prasyarat dalam orientasi hubungan luar negeri dan kerjasama regional ASEAN. Bagi negara-negara ASEAN realisasi penegakan HAM memang harus disesuaikan dengan karakteristik wilayah negara, termasuk kondisi sosial-kemasyarakatan, ekonomi dan politik yang dimaksudkan agar tidak tercipta sebuah goncangan sosial. Konvensi-konvensi tentang HAM yang dijalankan negara-negara HAM pada intinya tidak bersifat memaksa apalagi bersifat “coercive”. Menurut Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo KTT ke-13 ASEAN tahn 2009 yang menyinggung masalah HAM merupakan upaya lanjut untuk integrasi kawasan pada level yang lebih tinggi, tanpa harus memaksakan kehendak pada negara-negara anggotanya.

Pada tanggal 21 februari 2010 diadakan sebuah pertemuan dimana di dalam pertemuan itu membahas masalah pembuatan sebuah kebijakan yang berisi tentang pencegahan tindakan koersif yang dilakukan oleh penegak hak asasi manusia kepada mereka yang mengalami tindakan pelanggaran HAM yang di adakan di Vientiane, Laos. Pertemuan ini juga membahas pembuatan draft kebijakan tersebut. Pertemuan ini di buka oleh Thongsing Thammavong, Perdana Menteri Laos.

Berdasar pada fakta inilah terdapat mekanisme penerapan HAM secara holistik yang berperan sebagai momentum pembelajaran (education moment), sekaligus menjadi pembeda antara penerapan mekanisme HAM di ASEAN dengan negara atau wilayah lainnya. Salah satu bentuk penerapan HAM secara holistic adalah dengan peratifikasian intrtumen HAM ASEAN yakni Deklarasi HAM ASEAN oleh seluruh negara anggota ASEAN.

Bentuk lain dari penerapan HAM secara holistik ialah dengan memberikan edukasi kepada masyarakat ASEAN tentang hak asasi manusia. Hal ini di wujudkan dalam sebuah seminar yang diadakan oleh AICHR yang bertajuk “AICHR Youth Debate of Human Rights” dimana di dalam seminar tersebut AICHR berkunjung ke beberapa universitas di kesepuluh negara anggota ASEAN untuk memberikan pemahaman pada HAM guna meningkatkan kesadaran anak muda ASEAN terhadap isu HAM.

2. Sebagai Forum Komunikasi negara-negara ASEAN

Keberadaaan AICHR sejak dicanangkan pertama kali di tahun 2009 dan terus berlangsung secara periodik hingga tahun 2012 tetap konsisten sebagai soft

approach yang bersifat mempengaruhi, bukan memaksa (constrain). Kemudian

efektifitas dari AICHR berhasil sinergi dengan dinamika demokrasi dalam konteks ASEAN.

(7)

Berdasarkan pada pengalaman-pengalaman yang telah ada, peneganan HAM seringkali dipandang sebagai ‘pisau bermata dua. Di satu sisi penegakan HAM dapat mencelakai sebuah kepemimpinan, namun di sisi lain HAM dapat mendukung kemajuan suatu bangsa karena secara prinsipil faham ini menekankan pada supremasi sipil. Jika dikaitkan dengan konstelasi politik regional maka sebenarnya keberadaan AICHR dapat dianggap sebagai laboratorium politik nilai dalam konteks ASEAN. Hal ini berkaitan dengan tiga faktor penting, yaitu : a. Karakterstik sosial-ekonomi antara negara-negara Asia Tenggara yang hampir

sama. Artinya tidak ada negara dengan kondisi sosial-ekonomi yang powerfull atapun yang inferior.

b. Karakteristik politik yang banyak memiliki persamaan, dimana sepanjang sejarah negara-negara ASEAN pernah dipimpin oleh figur yang otoriter yang berseberangan dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

c. Sikap para pemangku kepentingan demokrasi negara-negara ASEAN yang menganggap adanya pengaruh buruk dari nilai-nilai demokrasi yang di usung oleh negara-negara Barat.

Dengan demikian tiga hal ini di atas mengindikasikan bahwa semangat AICHR adalah semangat ASEAN maka sebenarnya dalam membangun kontruksi penegakan HAM negara-negara ASEAN tidak perlu meniru cara negara Barat menekan, negara-negara lain yang di Asia Tenggara yang sedang menghadapi masalah demokrasi, seperti halnya Myanmar, Thailand, Kamboja dan beberapa negara lainnya. Cara-cara menekan secara terbuka, menggalang dukungan secara frontal seperti yang dilakukan negara barat, justru membuat Myanmar semakin menutup. Sementara dengan cara ASEAN, seperti yang ditunjukan Indonesia. Diam-diam melakukan diplomasi satu demi satu. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mendatangi Myanmar, menekannya pentingnya membuka negeri itu. Ini dilakukan tidak dengan cara terbuka, sehingga tidak ‘menampar‘ wajah Myanmar.

Seperti yang telah dikemukakan oleh Biddle dimana organisasi internasional berperan sebagai motivator, komunikator dan perantara, AICHR dalam hal ini memenuhi ketiga kategori tersebut dalam tugasnya untuk menegakkan HAM di ASEAN. Sebagai komunikator, AICHR menyampaikan informasi yang benar dan tepat tentang isu-isu tematik HAM kepada negara-negara anggota untuk mendorong pemajuan dan perlindungan HAM di negaranya masing-masing, khususnya bagi negara seperti Myanmar yang lemah akan penegakan HAM. Selain itu, AICHR juga mendapatkan informasi dari negara-negara anggota ASEAN tentang pemajuan dan perlindungan HAM di negaranya dan menyerahkan laporan tahunan kegiatan atau laporan lain apabila diperlukan, pada Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN.

Dalam menyampaikan informasi terkait isu HAM serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menghormati HAM, AICHR wajib memberikan informasi secara berkala kepada rakyat tentang pekerjaan dan kegiatannya melalui materi informasi publik yang dihasilkan oleh AICHR. AICHR menyampaikan informasi diberbagai kesempatan seperti mengadakan seminar dan juga workshop sebagai

(8)

salah satu perannya sebagai perantara untuk mempromosikan isu HAM yang terjadi di kawasan negara anggota ASEAN. Salah satu workshop yang pernah di adakan AICHR adalah AICHR mengadakan workshop regional pada tahun 2011 dengan tema : “Mempromosikan Kesehatan Ibu dan Mengurangi Angka Kematian

Ibu”.

Sebagai langkah persiapan untuk studi tematik, AICHR melakukan workshop tentang hak damai dengan tujuan untuk berbagi ide dan pengalaman di antara para ahli dari tingkat nasional, regional, internasional dalam upaya promosi perdamaian regional, mengingat pertimbangan sejarah yang unik tentang ASEAN dan kekhasan daerah negara anggota ASEAN. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memberikan pemahaman menyeluruh tentang Hak Perdamaian sebagai hak kolektif dan sejauh mana setiap negara anggota ASEAN menikmati hak tersebut dan untuk mengidentifikasi berbagai aspek yang merupakan Hak Perdamaian. Melalui paparan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa peran AICHR dalam rekonsiliasi HAM di negara-negara ASEAN merupakan bagian dari upaya dalam membangun political influence (pengaruh politik). Jika dikaitkan dengan pendekatan pada bab pendahuluan maka apa yang ditempuh oleh AICHR merupakan bagian dari kesepajatan negara-negara anggota dalam mengejar kepentingan bersama diantara negara-negara ASEAN.

3. Sebagai Arena

Berdasarkan teori peranan organisasi internasional menurut Clive Archer, AICHR telah memenuhi fungsi dan peran tersebut dengan menjalankan perannya sebagai wadah dan arena untuk mengembangkan ide untuk memajukan HAM di kawasan negara anggota ASEAN. AICHR sebagai insitusi penaung hak asasi manusia di kawasan ASEAN dengan tanggung jawab menyeluruh terhadap pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN dan dimanfaatkan oleh negara-negara anggota sebagai forum untuk mendiskusikan masalah-masalah yang terkait dengan isu HAM yang ada di negaranya. AICHR mengadakan rapat pertama di Sekretariat ASEAN di Jakarta guna melakukan diskusi ekstensif dan dengan badan-badan ASEAN yang relevan untuk membahas tentang operasi AICHR yang lebih efektif sebagai lembaga HAM yang menyeluruh di kawasan ASEAN. Pertemuan membahas antara lain, perumusan peraturan prosedur yang akan meletakkan pedoman operasional untuk pelaksanaan pekerjaan AICHR di semua aspek. Pertemuan tersebut juga membahas pengembangan Rencana Kerja Lima Tahun untuk menyediakan langkah-langkah yang komprehensif dengan program dan kegiatan yang akan dilakukan oleh AICHR dalam lima tahun ke depan.

Rencana kerja lain yang akan dilakukan oleh AICHR dalam rangka menjalankan mandatnya untuk medorong peningkatan kapasitas untuk implementasi kewajiban HAM berdasarkan traktat internasional yang ditandatangani oleh negara-negara anggota ASEAN, AICHR telah mengadakan workshop regional pada tahun 2011 dengan tema : “Mempromosikan Kesehatan Ibu dan Mengurangi Angka Kematian

(9)

melakukan pertemuan regional tentang : “Pembangunan Millenium Tujuan ke-5

dalam Konteks Komunitas ASEAN”.

Terkait dengan mandat AICHR untuk melakukan studi tematik, AICHR akan melakukan studi tematik untuk isu antara lain: studi tematik untuk isu migrasi dan HAM, isu perdagangan orang terutama perempuan dan anak, isu perempuan dan anak dalam konflik bersenjata dan bencana alam, dan peradilan anak. Isu yang menjadi fokus diskusi tematik ini sangat dekat dan dapat dikaitkan dengan isu perempuan. AICHR juga berkonsultasi dengan badan-badan Sektroral ASEAN yang relevan, termasuk Committee of Permanent Representatives to ASEAN (CPR), The Senior Officials Meeting on Social Welfare and Development (SOMSWD) and the ASEAN Committee on Women (ACW).

Deklarasi ASEAN untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Kekerasan Terhadap Anak di drafting oleh Komisi ASEAN untuk Perempuan dan Anak (ACWC). Deklarasi ini mulai di susun oleh ACWC sejak tahun 2011. Draft deklarasi saat ini sudah final pada pertemuan ACWC ke-7 di Kuala Lumpur pada tanggal 22-24 Juli 2013. Draft ini telah diserahkan ke ASEAN Ministerial Meeting

on Social Welfare Development (AMMSWD) pada awal September 2013 dan kini

telah sampai di ASEAN Community on Socio-Cultural (ACSC). Deklarasi ASEAN untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Kekerasan Terhadap Anak ini akan diadopsi pada KTT ASEAN ke-23 pada tanggal 9-10 Oktober 2013 yang diselenggarakan di Brunei Darussalam.

Pada tanggal 20–24 September 2010, AICHR mengadakan pertemuan di Kuala Lumpur, Malaysia. Pertemuan tersebut membahas pelaksanaan Program Prioritas/Kegiatan untuk 2010-2011 sebagai tindak lanjut adopsi pada pada pertemuan AMM ke-43 di Ha Noi, Juli 2010. Di sela-sela rapat, AICHR juga bertemu dengan Kelompok Kerja untuk Mekanisme Hak Asasi Manusia ASEAN, yang merupakan entitas terkait dengan ASEAN. Kedua belah pihak bertukar pandangan mengenai petunjuk untuk kerjasama dalam mendorong pemajuan dan perlindungan HAM di kawasan ASEAN.

Sesuai dengan Kerangka Acuan AICHR dari, AICHR diberi mandat untuk mengembangkan Deklarasi HAM ASEAN. Untuk tujuan ini, AICHR mendirikan

Drafting Group untuk merumuskan draft Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN

di bawah petunjuk umum dan khusus dari AICHR. AICHR juga bertemu dan bertukar pandangan dengan United Nations Development Program (UNDP),

Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR), United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), dan Kelompok Kerja untuk

Mekanisme Hak Asasi Manusia ASEAN tentang kerja sama mereka.

Pada tanggal 28 November – 01 Desember 2011, AICHR mengadakan pertemuan di Bali, Indonesia. Pertemuan dipimpin oleh Perwakilan Indonesia untuk AICHR. Pertemuan tersebut membahas dan menyelesaikan Rencana Kerja AICHR (2013-2015) serta Program Prioritas AICHR ini di tahun 2012 dan anggarannya. Selama

(10)

Rapat AICHR, Perwakilan AICHR melakukan dialog terbuka dengan Dr. Surin Pitsuwan, Sekretaris Jenderal ASEAN.

Pada tanggal 22-23 Juni 2012, AICHR mengadakan pertemuan di Kuala Lumpur, Malaysia. Fokus pada pertemuan tersebut adalah perkembangan rancangan Deklarasi HAM ASEAN dan AICHR juga melakukan Konsultasi Regional dengan 53 perwakilan dari 36 organisasi nasional, regional dan internasional, dan masyarakat sipil untuk mendapatkan masukan dan kontribusi terhadap perkembangan Deklarasi HAM ASEAN tersebut.

Bertepatan dengan KTT ASEAN ke 21, tanggal 17-18 November di Kamboja, AICHR melakukan pertemuan khusus dengan para pemimpin ASEAN dalam rangka mengadopsi Deklarasi HAM ASEAN yang telah dipersiapkan oleh AICHR. AICHR telah mencapai salah satu mandat utama yaitu pengembangan Deklarasi HAM ASEAN dan para pemimpin ASEAN telah mengadopsi deklarasi tersebut. Untuk menegaskan kembali komitmen negara anggota ASEAN, para Kepala Negara ASEAN menandatangani Pernyataan Phnom Penh untuk mengadopsi Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN.

Mengenai kasus pelanggaran HAM yang di alami Rohingya, patut dipahami bahwa AICHR tidak mempunyai mandat terhadap country situation, bisa dibilang untuk country specific terhadap Myanmar, AICHR tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak punya kewenangan untuk menangani situasi di Myanmar. Sebagai sebuah badan antar pemerintah, AICHR lebih terfokus pada pada kerjasama regional di bidang pemajuan dan perlindungan HAM. Dalam ToR AICHR sebagaimana disepakati para Menlu ASEAN pada tahun 2009, AICHR tidak mempunyai mandat untuk menangani kasus-kasus individual. Meskipun demikian, namun organisasi maupun individu dapat mengirim surat yang ditujukan kepada Ketua AICHR untuk mendapat perhatian AICHR mengenai isu-isu tertentu.

Selama tahun 2010, AICHR telah melaksanakan sejumlah pertemuan untuk melakukan sosialisasi dan dukungan dari komunitas internasional, seperti kunjungan ke Amerika Serikat atas undangan dari Presiden Barrack Obama, disamping sejumlah pertemuan dengan United Nations Development Programme (UNDP), United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR), LSM internasional bidang HAM dan beberapa institusi lainnya.

Hingga Februari 2011, pertemuan AICHR telah dilakukan sebanyak empat kali dengan serangkaian agenda untuk penguatan penegakan HAM. Dalam pertemuan ini, setiap perwakilan negara anggota ASEAN sepakat untuk menjadikan tahun 2011 sebagai tahun pengimplementasian kerja AICHR untuk mempromosikan dan menegakkan HAM di ASEAN, serta mengedepankan kontribusi ASEAN agar lebih berorientasi pada masyarakat. Pertemuan yang dipimpin oleh perwakilan Indonesia, Rafendi Djamin, dinilai cukup strategis mengingat dalam pertemuan tersebut AICHR menetapkan beberapa agenda dan prioritas kegiatan pada tahun

(11)

2011 yaitu : penyusunan ASEAN Declaration on Human Rights, penguatan sekretariat AICHR, dan mendorong interaksi AICHR dengan masyarakat sipil. Pada bulan November 2012, AICHR telah mencapai salah satu mandat penting dalam mendorong pemajuan dan perlindungan HAM di kawasan ASEAN yaitu terbentuknya Deklarasi HAM ASEAN dan deklarasi tersebut telah diadopsi oleh Kepala Negara ASEAN yang bertepatan dengan KTT ASEAN ke 21 di Kamboja. Pengadopsian deklarasi tersebut menandakan penerapan Deklarasi HAM ASEAN. Pencapaian AICHR selain terbentuknya Deklarasi HAM ASEAN, juga menguatkan peran masyarakat sipil sebagai jalur diplomasi baru dalam isu HAM, pendekatan dialog yang dilakukan oleh AICHR dalam promosi dan penyelesaian isu HAM, dan yang terakhir adalah penguatan gradual fungsi, wewenang, dan mandat AICHR.

B. Tantangan dan Hambatan AICHR Dalam Penegakan HAM di Kawasan ASEAN

Kurangnya tindak lanjut serta implementasai nyata dari kesepakatan yang telah dicapai menyebabkan kurang maksimalnya hasil yang dicapai dalam kerjasama antar negara-anggota ASEAN selama ini. Khusus untuk pelaksanaan kerjasama Komisi HAM ASEAN, semua bentuk pesetujuan yang dicapai semestinya dapat dimaksimalkan pelaksanaannya. Dalam kaitan itu, perlu diberikan prioritas dan momentum yang tepat dari masing-masing pemerintah negara ASEAN untuk mensosialisasikan dan mempromosikan nilai penting isu penegakan HAM di kawasan Asia Tenggara sesuai dengan kerangka kerjasama ASEAN di bidang HAM.

Merujuk pada ToR AICHR poin ke 10 dimana AICHR harus mendapatkan informasi tentang pemajuan dan perlindungan HAM dari negara anggota ASEAN menjadi terhambat dikarenakan oleh ketidaksempurnaan tersebut. Hal ini yang kemudian menjadi tantangan bagi AICHR untuk mengembangkan cakupan kerja AICHR sehingga aspek pemantauan nantinya bisa menjadi bagian integral dalam cakupan kerja AICHR.

Hanya ada tiga fungsi yang bisa dikategorikan sebagai fungsi proteksi. Fungsi pertama adalah individual complain. Fungsi ini dapat dikatakan bersifat terselubung karena mekanisme perlindungan HAM di ASEAN menolak

individual complain, yaitu pengaduan pelanggaran HAM seperti yang kita kenal

di tingkat nasional, seperti pengaduan individual complain ke Komnas HAM atau Komnas Perempuan. Fungsi individual complain ini ditolak oleh negara-negara ASEAN lain. Fungsi proteksi AICHR kedua yang eksplisit adalah review for

countries situation atau pembahasan situasi HAM di negara-negara anggota.

Dalam hal ini, AICHR tidak diperkenankan untuk melakukan proses review, dengan dalih telah dilakukan oleh lembaga review tingkat dunia, maka tidak perlu lagi untuk dibahas di tingkat ASEAN sehingga pada akhirnya konsensus yang dicapai adalah penolakan terhadap fungsi review tersebut. Fungsi proteksi AICHR ketiga yang juga sangat eksplisit adalah country situation yang menurut

(12)

Indonesia bukan dalam konteks promosi, melainkan investigasi pencarian fakta. Tiga fungsi proteksi inilah yang masih diperjuangkan oleh Indonesia namun belum berhasil. Proses diplomasi yang dijalankan oleh delegasi Indonesia dalam memperjuangkan penegakan HAM di ASEAN masih belum mengubah posisi satu lawan sembilan sehingga jalan kompromi menjadi solusi yang tepat.

Terdapat dominasi dan pengaruh dari negara-negara barat. Mekanisme bebas dari intervensi asing adalah wujud realisasi penegakan HAM di ASEAN yang mengedepankan aspek supremasi nilai-nilai historis ASEAN, seperti yang tercantum dalam Deklarasi Bangkok sebagai tonggak sejarah (milestone) berdirinya ASEAN. Dalam perkembangannya pada era globalisasi sekarang ini, penegakan HAM menurut skenario negara-negara Barat cenderung digunakan sebagai tendensi oleh negara-negara maju untuk menekan negara-negara berkembang. Secara umum dapat dijelaskan bahwa negara-negara Barat sebagai pengawal demokrasi, terkadang menggunakan cara-cara yang persuasif bahkan cenderung represif. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi penegakan mekanisme HAM yang bebas dari intervensi asing.

Terdapat hambatan tata nilai negara-negara asean untuk menentukan nasib sendiri. Mekanisme untuk menentukan nasib sendiri bagi pelaksanaan HAM di ASEAN adalah sebuah sistem negara-negara ASEAN untuk menjalankan HAM akibat homogenitas (kesamaan) permasalahan yang dialami. Pada kenyataannya masalah-masalah yang terjadi di negara-negara ASEAN hampir sama yaitu menyangkut sosial-ekonomi dan politik. Masalah ekonomi dalam hal ini adalah kemiskinan penduduk yang berkembang menjadi kemiskinan negara antara lain yang terjadi di Laos, Myanmar, Birma dan Kamboja.

Sedangkan masalah sosial yang terjadi antara lain adalah masalah separatisme terkait dengan wujud pengakuan terhadap negara antara lain di Thailand dan Filipina, sedangkan masalah politik antara lain terkait dengan gesekan antara elite-birokrat yaitu terjadi di Malaysia, Indonesia dan Singapura. Fakta-fakta diatas menunjukkan bahwa di negara-negara ASEAN ternyata menghadapi permasalahan yang sama, sehingga untuk mengintervensi masalah-masalah terkait dengan penegakan HAM tidak akan dijalankan oleh internal negara-negara ASEAN. Sehingga dalam merealisasikan penerapan HAM ASEAN lebih memilih untuk menjalankan mekanisme menentukan nasib sendiri.

Kasus lainnya mengenai faktor penentuan nasib sendiri sebagai penghambat peran AICHR dalam penegakan HAM regional ASEAN adalah penolakannya dalam pengakuan hak masyarakat adat. Kasus ini terjadi saat pertemuan antara AICHR bersama-sama dengan Organisasi Masyarakat Sipil ASEAN pada tanggal 12 September 2012. Dalam forum ini AICHR menyatakan bahwa konsep masyarakat adat bertolak belakang dengan kepentingan ASEAN, karena bertentangan dengan konstitusi beberapa negara ASEAN, khususnya Laos. Kasus inilah yang menjadi contoh penghambat antara entitas nasional negara-negara ASEAN dengan AICHR.

(13)

Pelaksanaan mekanisme yang berhak untuk menentukan nasibnya sendiri telah dibahas di berbagai konvensi ASEAN yang sebagian besar merupakan lobi-lobi kenegaraan secara informal. Hal ini penting mengingat masalah HAM di ASEAN merupakan masalah yang rawan dan sensitif karena sebagian besar pemimpin negara-negara ASEAN terkena masalah pelanggaran HAM terkait dengan sikap-sikap kepemimpinannya yang otoritarianis, antara lain kepemimpinan rezim Presiden Soeharto di Indonesia, Perdana Menteri Mahathir Mohammad di Malaysia, Junta Militer Tan Swe di Birma, Perdana Menteri Goh Cok Tong di Singapura. Perdana Menteri Thaksin Sinawatra di Thailand dan rezim Qorazon Aquino di Filipina.

Pada kenyataannya beberapa konvensi-konvensi yang telah dirumuskan negara-negara ASEAN kembali mentah akibat peliknya permasalahan tentang pelanggaran HAM. Bahkan terkait hal ini Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan juga telah mendesak negara-negara ASEAN untuk merubah orientasi politik luar negerinya yang “tidak campur tangan urusan dalam negeri anggota” (non-interference), yang dikemukakan terkait dengan kasus Aung San Suu Kyi di Myanmar tahun 2007. Namun hingga saat ini peran aktif negara-negara ASEAN belum terlihat dan lebih memilih untuk bersikap independen, namun tetap menghimbau dan bukan melalui peran aktif. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa ternyata negara-negara ASEAN masih memegang teguh prinsip untuk menentukan nasib sendiri.

Pelaksanaan mekanisme HAM di negara-negara ASEAN secara spesifik yaitu bersifat independen untuk menentukan nasibnya sendiri dilatarbelakangi oleh faktor kesamaan sejarah pada era kolonialisme. Semua Negara ASEAN, kecuali Thailand pernah dijajah oleh imperialisme Barat. Akibat negara-negara mempunyai masalah yang sama maka solidaritas yang ada hanyalah sebatas solidaritas immaterial, bukan merupakan tindakan aktif, sebagai contoh adalah saat Myanmar dilanda masalah politik, saat junta militer menangkap Aung San Suk Kyi negara-negara lainnya hanya memberikan reaksi sebatas pernyataan dan saran, demikian juga halnya dengan saat Indonesia dilanda kerusuhan Mei 1998 negara-negara lain juga tidak bereaksi secara berlebihan, hanya sebatas sikap prihatin. Pada akhirnya kenyataan ini membentuk sebuah persepsi bersama (common perception) untuk memajukan HAM dalam lingkup internal dalam negeri karena sebagian besar implementasi HAM di negara-negara ASEAN memiliki hubungan yang erat dengan sistem konstitusi.

Dalam menghadapi masalah intervensi dimana tidak satupun organisasi ataupun negara di dunia yang lepas dari pantauan pihak barat, negara-negara ASEAN menanggapi hal ini dengan menerima serta menolak, artinya tekanan-tekanan Barat ditanggapi oleh negara-negara ASEAN dengan penyesuaian-penyesuian secara bertahap. Hal ini untuk mencapai kesesuaian mekanisme HAM di negara-negara ASEAN dengan ketentuan-ketentuan internasional. Deklarasi HAM ASEAN merupakan sebuah pernyataan politik dari para pemimpin ASEAN. Poin ini menjadi modal yang sangat besar bagi Indonesia untuk terus menuntut agar review pertama yang akan dilakukan pada lima tahun mendatang adalah

(14)

untuk memperkuat fungsi-fungsi proteksi AICHR yang belum mempunyai kekuatan untuk membahas situasi HAM negara-negara anggota.

Kemudian tantangan dan hambaran AICHR juga berkaitan dengan dikotomi HAM itu sendiri. Hingga tahun 2008-2010 antara negara-negara ASEAN belum sepenuhnya, meskipun secara tekstual berbagai forum HAM, termasuk AICHR telah merumuskan ketentuan HAM regional ASEAN. Faktor inilah yang menjadi tantangan dan hambatan penegakan HAM yang hingga saat ini belum terselesaikan sebagaibagian dari problem malignancy.

Melalui paparan di atas maka dapa ditarik kesimpulan bahwa tantangan dan hambatan AICHR ternyata bukan hanya berasal dari internal negara-negara ASEAN sendiri, namun juga berasal dari konstelasi politik internasional kontemporer. Tantangan utama dari peran AICHR berasal dari sikap negara-negara ASEAN yang masih belum sepenuhnya menerapkan ketentuan HAM universal. Pada beberapa negara ASEAN, misalnya kasus Rohingya di Myanmar, kekerasan terhadap oposisi di Thailand dan beberapa kasus lainnya menunjukkan bahwa AICHR hanya bersikap membangun opini, tanpa berupaya menerapkan sanksi yang lebih keras dan ini tentunya akan menjadi preseden buruk bagi penegakan HAM negara-negara ASEAN.

KESIMPULAN

Pada dasarnya peran AICHR untuk mendorong pemajuan dan perlindungan HAM di Kawasan ASEAN masih harus membutuhkan waktu untuk berbenah dan mempersiapkan instrumen hukum terkait pelanggaran HAM karena berbagai hambatan dan tantangan misalnya saja negara anggota ASEAN harus menghormati prinsip non-intervensi yaitu tidak mencampuri urusan dan masalah dalam negeri. Hal ini tentu saja membuat AICHR hanya sebatas amanat piagam ASEAN yang harus diwujudkan. Meskipun demikian hadirnya AICHR membuktikan bahwa ASEAN juga concern terhadap isu pelanggaran HAM dan bisa dikatakan sebagai pembuktian kepada dunia internasional bahwa kawasan ASEAN nantinya akan memiliki pengadilan HAM regional dan tentunya butuh waktu lama untuk mewujudkan hal tersebut.

Dibutuhkan cara-cara lain yang lebih efektif agar dapat meningkatkan kinerja AICHR dalam menegakkan HAM di regional ASEAN. Cara yang dapat dilakukan tersebut antara lain dengan membuat suatu konvensi regional di ASEAN tentang HAM. Dengan adanya konvensi tentang HAM regional yang diratifikasi oleh seluruh negara anggota ASEAN, promosi dan proteksi terhadap HAM akan menjadi lebih fleksibel dan mudah dilakukan karena telah ada tolak ukur yang sama antar negara di ASEAN mengenai HAM. Pembuatan konvensi HAM ASEAN dapat menjadi suatu dasar hukum agar AICHR dapat memiliki kewenangan yang pasti mengenai penegakan HAM di ASEAN dan mampu meningkatkan cakupan kewenangan AICHR dalam memberikan rekomendasi kepada negara-negara anggota.

(15)

Diperlukan strategi yang tepat agar peran AICHR dapat semakin menguat di ASEAN dan diterima oleh negara anggota ASEAN. Semua negara anggota ASEAN harus diarahkan untuk mempertahankan komitmen negara anggota ASEAN menjadikan hak asasi manusia sebagai norma dan nilai bersama ASEAN (common values) sebagaimana tercantum dalam ASEAN Charter. Komitmen tersebut harus disertai dengan dukungan nyata dari negara anggota ASEAN bagi eksistensi dan kemajuan AICHR.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Archer, Clive. 1983. International Organization. London: Allen & Unwin Ltd. Biddle, Biddle. 1965. Community Development, New York: The Rediscovery of

local initiative, Holt and Winston.

Mauna, Boer. 2008. Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi

Dalam Era Dinamika. Bandung: PT. Alumni.

Perwita, Anak Agung Banyu. danYanyan Mochamad Yani. 2005.Pengantar Ilmu

Hubungan Internasional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Wolfer, Timothy dan James Smith. 2009. After Democratization : The Behavioral

of Decision Making on Southeact Asian. London, New York: Vintage

Book. Jurnal

Definisi Pelaksanaan Mekanisme Ham secara Holistik dalam Laporan, kerjasama ASEAN dalam Upaya Menuju Terbentuknya Mekanisme HAM di ASEAN, Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta, 2002.

Internet

AICHR “Regional Workshop on The Right To Peace”, www.aichr.org/

activities/regional-workshop-on-the-right-to-peace/, di akses tanggal 2 oktober 2013

Peran Mekanisme HAM ASEAN dalam Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, http://www.kalyanamitra.or.id/ 2013 / 09 / peran- mekanisme- ham- asean-dalam-penghapusan-kekerasan-terhadap-perempuan/

Politik Indonesia “AICHR bisa menjadi otokritik Internal ASEAN,www.politik

indonesia.com, diakses tanggal 29 Desember 2013

Press Statement by the Chair of the ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights,http://aichr.org/press-release/asean- intergovernmental- commission- on- human- rights-terms-of-reference/#more-408, diakses tanggal 2 oktober 2013

(16)

Promoting and Protecting Human Rights in ASEAN,

www.asean.org/archive/93-14248-HumanRightsArticle.pdf, diakses tanggal 22 Desember 2013

The Adoption of the ASEAN Human Rights Declaration (AHRD) at the 21st ASEAN Summit and the Special Meeting of the ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights

(AICHR),http://aichr.org/press-release/the-adoption- of- the- asean- human- rights- declaration- ahrd- at- the- 21st-asean- summit- and- the- special- meeting- of- the- 21st-asean- intergovernmental-commission-on-human-rights-aichr/, diakses tanggal 2 oktober 2013

ASEAN Human Rights Declaration Adopted, and the Signing Ceremony of the

Phnom Penh Statement,

http://aichr.org/news/asean-human-rights-declaration- adopted- and- the- signing- ceremony- of- the- phnom- penh-statement/#more-686, diakses tanggal 2 oktober 2013

The Seventh Meeting of the ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR),

http://aichr.org/press-release/the-seventh-meeting-of-the-asean- intergovernmental- commission- on- human- rights- aichr/, diakses tanggal 2 oktober 2013

The Sixth ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR),

http://aichr.org/ press- release/ the- sixth- asean- intergovernmental-commission- on- human- rights- aichr/#more-428, diakses tanggal 2 oktober 2013

Referensi

Dokumen terkait

• Beton Prategang sangat efektif dan ekonomis untuk struktur dengan bentang panjang L ≥ 40 meter dibandingkan dengan beton bertulang

Senyawa kompleks adalah suatu senyawa yang terdiri dari kation yang memiliki orbital kosong (sering disebut atom pusat) dengan suatu molekul/ anion yang memiliki

Gel yang digunakan juga mempengaruhi pada kristal yang dihasilkan, gel metasilikat merupakan gel yang kondusif untuk pertumbuhan kristal tunggal emas dibandingkan dengan

c) Belajar merupakan suatu kegiatan yang mempunyai tujuan Dalam proses belajar, apa yang ingin dicapai sep dirasakan dan dimiliki oleh setiap siswa. Tujuan belajar bukan berarti

Hasil penelitian ini membuktikan terdapat hubungan antara tingkat stres pasien PGK saat ditetapkan mendapatkan terapi hemodialisis dengan karakteristik usia dan tingkat

This study is aimed to explore the contributive roles of bilingualism in English language teaching in which the teachers employ the code switching to enable the

nilai-nilai patriotisme yang terkandung dalam novel TD dengan menerapkan teori.

After the writer conducted the research and analyzed the data of research, the writer concluded that Initiation Response Evaluation strategy was effective in