• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN TEORITIS"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN TEORITIS

2.1. Konsep Kemiskinan

Beberapa ahli mendefinisikan kemiskinan (dikutip Andre Bayo Ala, 1996) sebagai berikut:

- Ketidaksanggupan untuk mendapatkan barangbarang dan pelayanan -pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan -kebutuhan sosial yang terbatas (Bradley R. Schiller).

- Kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok (Emil Salim).

- Kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standard hidup yang layak (S.A. Levitan).

Kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan relatif (Soetomo, 2001). Seseorang dikatakan berada pada kondisi kemiskinan absolut apabila penghasilan yang diterimanya berada dibawah angka garis kemiskinan. Pada tahun 1999, BPS menentukan garis kemiskinan di perkotaan sebesar Rp. 92.409,-/ kapita/ bulan sedangkan di desa ditentukan sebesar Rp. 74.272/ kapita/ bulan. Pembedaan angka ini didasarkan pada perbedaan kebutuhan konsumsi di kedua wilayah tersebut. Seseorang dikatakan berada pada kondisi kemiskinan relatif apabila secara ekonomi kondisinya relatif lebih rendah dibandingkan dengan kondisi lingkungan pada umumnya dimana dia berada. Dengan demikian di tempat yang berbeda batasan miskin secara relatif ini tidak akan sama.

Hikmat (2001) menyatakan bahwa kemiskinan merupakan masalah yang tidak ada habisnya. Pembangunan dengan pendekatan top-down ternyata tanpa sengaja menciptakan kondisi ini. Kelompok rentan dalam masyarakat ditempatkan pada posisi yang marginal dan dijadikan sebagai objek dalam pembangunan.

Terjadinya pergeseran paradigma pembangunan ikut pula mempengaruhi pergeseran pandangan terhadap orang miskin. Sejalan dengan paradigma baru studi kemiskinan, Suharto (2003) menyatakan bahwa orang miskin tidak lagi dipandang sebagai orang yang serba tidak memiliki, melainkan orang yang memiliki potensi untuk mengatasi kemiskinannya. Selanjutnya

(2)

Suharto mengusulkan empat hal dalam studi kemiskinan yang perlu dipertimbangkan: Pertama, kemiskinan sebaiknya dilihat tidak hanya dari karakteristik si miskin secara statis, melainkan dilihat secara dinamis yang menyangkut usaha dan kemampuan si miskin dalam merespon kemiskinannya. Kedua, indikator untuk mengukur kemiskinan sebaiknya tidak tunggal, melainkan indikator komposit dengan unit analisis keluarga atau rumah tangga. Ketiga, konsep kemampuan sosial (social capabilities) dipandang lebih lengkap dari pada konsep pendapatan (income) dalam memotret kondisi sekaligus dinamika kemiskinan. Keempat, pengukuran kemampuan sosial keluarga miskin dapat difokuskan pada beberapa indikator utama yang mencakup kemampuan keluarga miskin dalam memperoleh mata pencaharian (livehood capabilities), memenuhi kebutuhan dasar (basic needs fulfillment), mengelola asset (asset management), menjangkau sumber-sumber (access to resources), berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan (access to social capital), serta kemampuan dalam menghadapi guncangan dan tekanan (cope with shocks and stresses).

Pendapat tersebut menunjukkan bahwa untuk memberdayakan kelompok pengrajin benang yang termasuk masyarakat miskin, tidak hanya dilihat dari pendapatannya yang minim. Pemberdayaan harus memperhatikan potensi yang dimiliki oleh para pengrajin yang dapat dikembangkan untuk mengatasi masalahnya.

2.2. Pemberdayaan

Kemunculan konsep pemberdayaan (empowerment) didasari oleh gagasan yang menempatkan manusia sebagai subjek dari dunianya sendiri. Payne (dikutip Adi 2001), menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah :

Membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.

Dalam pembahasan lainnya, pemberdayaan adalah,“ upaya untuk membangun daya dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya“

(3)

(Kartasasmita, 1996). Pernyataan ini menunjukan bahwa setiap individu pada esensinya sudah memiliki daya/power, yang dibutuhkan adalah membantu agar individu tersebut mampu mengolah dan mengembangkan daya yang dimiliki sehingga mencapai kemajuan.

Lebih lanjut Kartasasmita (1996) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan taraf hidup kelompok miskin perlu dilakukan pemberdayaan untuk pengembangan masyarakat yang menekankan pada prinsip -prinsip pengembangan komunitas secara berkelanjutan. Aktivitas-aktivitas pengembangan masyarakat perlu diupayakan semaksimal mungkin berbasiskan kepada sumber daya yang dimiliki suatu komunitas. Pemberdayaan masyarakat berarti mengembangkan kondisi dan situasi sedemikian rupa sehingga masyarakat memiliki daya dan kemampuan untuk mengembangkan kehidupannya tanpa ada kesan bahwa upaya pengembangan tersebut berasal dari kekuatan luar komunitas. Oleh karena itu, pelaksanaan arti program pemberdayaan adalah masyarakat itu sendiri.

Pemberdayaan ditujukan untuk membawa masyarakat yang tidak beruntung kepada masyarakat yang lebih adil dan akan memperkuat anggota komunitas lokal sebagai komunitas serta berupaya mewujudkan komunitas dengan berbasis struktur yang efektif (Ife, 1995:83). Dalam proses pemberdayaan masyarakat sebagai kesatuan yang utuh dilibatkan dan diberikan semangat untuk melakuk an pengendalian pada kegiatan mereka sendiri dan melalui program ini dapat lebih mampu mengendalikan atas kehidupan mereka komunitasnya. Masyarakat adalah bagian dari proses pemberdayaan dan pemberdayaan menjadi kebutuhan mereka sendiri, sehingga sesuatu proses pemberdayaan membutuhkan waktu, energi, komitmen dan memerlukan perubahan stuktural yang mungkin banyak hambatan dan rintangan.

Pemahaman kondisi ketidakberdayaan (powerlessness) perlu dilakukan sebelum membahas mengenai pemberdayaan, karena pemahaman kondisi tersebut adalah merupakan bagian dari proses kegiatan pemberdayaan. Beberapa kajian tentang ketidakberdayaan akan diuraikan berikut ini

Pemberdayaan dilaksanakan dengan bertolak dari situasi ketidak berdayaan yang dialami klien baik secara perseorangan, kelompok maupun

(4)

komunitas. Ketidakberdayaan sebagaimana dikemukakan Keiifer dan Toore yang dikutip oleh Suharto (1997:134) pada umumnya dialami oleh kelompok masyarakat karena kondisi fisik maupun faktor-faktor tertentu sehingga mereka terpaksa tidak berkemampuan dan berkesempatan untuk menentukan apa yang ada pada dirinya. Selanjutnya disebutkan bahwa kelompok masyarakat tersebut meliputi “masyarakat kelas sosial ekonomi lemah, kelompok minoritas etnik, wanita, populasi lanjut usia, serta penyandang cacat”. Sementara Sennet, Cabb dan Convay dalam Suharto (1997:136) menyatakan ketidakberdayaan disebabkan karena ketiadaan jaminan ekonomi. Ketiadaan pengalaman dalam arena politik, ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial, ketiadaan pelatihan-pelatihan dan adanya ketegangan fisik maupun emosional.

Suharto (2004) menyatakan bahwa keberhasilan pemberdayaan keluarga miskin dapat dilihat dari mereka yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, dan kemampuan budaya dan politik. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan, yaitu: ‘kekuasaan di dalam’(power within), ‘kekuasaan untuk’(power to),’kekuasaan atas’ (power over), dan ‘kekuasaan dengan’ (power with). Tabel 1 di bawah ini memperlihatkannya.

(5)

Tabel 1. Keterkaitan Dimensi Kekuasaan dengan Kemampuan Ekonomi, Akses Kesejahteraan, Kemampuan Budaya dan Politik.

Jenis Hubungan kekuasaan

Kemampuan ekonomi Kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan

Kemampuan kultural dan politis Kekuasaan didalam : Meningkatnya kesadaran dan keinginan untuk berubah

- Evaluasi positif terhadap dirinya

- Keinginan memiliki kesempatan ekonomi yang setara

- Keinginan memiliki hak terhadap sumber yang ada pada rumahtangga dan masyarakat

- Kepercayaan diri - Keinginan memiliki

kesejahteraan yang setara - Keinginan membuat keputusan - Assertiveness dan otonomi - Keinginan untuk menghadapi subordinasi jender termasuk tradisi budaya, diskriminasi hukum dan pengucilan politik

- Keinginan terlibat dalam proses- proses budaya, hukum dan politik Kekuasaan untuk: Meningkatnya kemampuan individu untuk berubah Meningkatnya kesempatan untuk memperoleh akses

- Akses terhadap pelayanan keuangan mikro - Akses terhadap

pendapatan

- Akses terhadap aset-aset produktif dan kepemilikan rumah tangga

- Akses terhadap pasar - Penurunan beban dalam

pekerjaan domestik, termasuk perawatan anak

- Keterampilan, termasuk kemelekan hurup - Status kesehatan dan gizi - Kesadaran mengenai dan akses terhadap pelayanan kesehatan produksi - Ketersediaan pelayanan

kesejahteraan publik

- Mobilitas dan akses terhadap dunia luar rumah

- Pengetahuan mengenai proses hukum, politik dan kebudayaan - Kemampuan

menghilangkan hambatan formal yang merintangi akses terhadap proses hukum, politik dan kebudayaan Kekuasan atas: Perubahan pada hambatan – hambatan sumber dan kekuasaan pada tingkat rumah tangga, masyarakat dan makro Kekuasaan atau tindakan individu untuk menghadapi hambatan- hambatan tersebut

- Kontrol atas penggunaan pinjaman dan tabungan serta keuntungan yang dihasilkannya

- Kontrol atas pendapatan aktivitas produktif keluarga yang lainnya - Kontrol atas asset

produktif dan kepemilikan keluarga.

- Kontrol atas alokasi tenaga kerja keluarga - Tindakan individu

menghadapi diskriminasi atas akses terhadap sumber dan pasar

- Kontrol atas ukuran konsumsi keluarga dan aspek bernilai lainnya dari pembuatan keputusan keluarga termasuk keputusan keluarga berencana. - Aksi individu untuk mempertahankan diri dari kekerasan keluarga dan masyarakat

- Aksi individu dalam mengahadapi dan mengubah persepsi budaya kapasitas dan hak wanita pada tingkat keluarga dan masyarakat - Keterlibatan individu dan

pengambilan peran dalam proses budaya, hukum dan politik.

Kekuasaan dengan: Meningkatnya solidaritas atau tindakan bersama orang lain untuk menghadapi hambatan-hambatan sumber dan kekuasaan pada tingkat rumah tangga., masyarakat dan makro

- Bertindak sebagai model peranan bagi orang lain terutama dalam pekerjaan publik dan modern. - Mampu memberi gaji

terhadap orang lain - Tingkat bersama

menghadapi diskriminasi pada akses terhadap sumber (termasuk hak atas tanah) pasar dan diskriminasi jender pada konteks ekonomi makro.

- Penghargaan tinggi terhadap dan peningkatan pengeluaran untuk anggota keluarga - Tindakan bersama untuk

meningkatkan kesejahteraan publik.

- Peningkatan jaringan untuk memperoleh dukungan pada saat krisis - Tindakan bersama untuk

membela orang lain menghadapi perlakuan salah dalam keluarga dan masyarakat.

- Partisipasi dalam gerakan – gerakan menghadapi subordinasi jender yang bersifat kultural, politis, hukum pada tingkat masyarakat dan makro

(6)

2.3. Kelompok Sebagai Media Pemberdayaan

Salah satu upaya membangkitkan peran serta dan inisiatif masyarakat dalam berbagai program pembangunan dapat dilakukan dengan pendekatan kelompok. Pendekatan kelompok mempunyai kelebihan antara lain proses adopsi dapat dipercepat, karena adanya interaksi sesama anggota kelompok dalam bentuk saling mempengaruhi satu sama lain (Vitayala, 1986). Hal ini dapat dilakukan baik dengan kelompok yang telah ada dalam masyarakat maupun dengan membentuk kelompok-kelompok baru sesuai dengan program pembangunan yang hendak dilakukan.

Memperhatikan usaha kerajinan benang ini sepintas tampak berkelompok namun kenyataan di lapangan, kelompok tersebut tidak lebih sekedar ku mpulan beberapa orang pengrajin secara bersama-sama mengambil bahan baku produksi dari pemborong atau pemilik modal setelah itu mereka bekerja sendiri-sendiri. Sistem produksi usaha yang dijalankan oleh mereka melibatkan seluruh anggota keluarga, satu oran g dari mereka bertindak sebagai penanggung jawab terhadap hasil produksi sedangkan anggota keluarga yang lainnya sebagai tenaga kerja. Sistem kegiatan produksi yang bersifat perorangan ini sangat rentan terhadap kebutuhan rumah tangga sehingga sulit sekali menginvestasikan modal untuk pengembangan usaha sehingga menyebabkan ketergantungannya pada orang lain. Karena itu diperlukan cara agar usaha ini dapat meningkatkan kemampuan produksinya, diantaranya dengan membentuk kelompok.

Kelompok secara sederhana dapat diartikan sebagai hubungan antara orang-orang dalam lingkungannya. Secara luas pengertian kelompok dijelaskan Astrid (1985), terdiri dari dua orang atau lebih didalamnya terbentuk pembagian pekerjaan secara khusus. Haan dalam Astrid (1985), menjelaskan bahwa kelompok tidak terdiri dari jumlah anggota-anggotanya saja, melainkan akan suatu kenyataan yang ditentukan oleh datang -perginya anggota-anggota. Kenyataan kelompok ditentukan oleh nilai-nilai yang dihayati bersama, oleh fungsi kelompok sebagaimana disadari oleh anggotanya.

Suatu kelompok menjadi ”kelompok” (dalam arti bukan sekedar kumpulan individu) bila kelompok itu membentuk suatu pola relasi, ikatan atau

(7)

kekuatan tertentu yang dapat memberikan kepada anggota-anggotanya suatu perasaan kebersamaan dan ikut memiliki disebut juga perasaan kebersamaan (feeling of belonging). (Achlis, 1983). Dengan demikian maka ikatan antar anggota akan nampak jelas bila keeratan antar anggota sudah tercipta.

Pengertian kelompok secara umum tidaklah berbeda satu dengan lainnya, akan tetapi kelompok dalam pengembangan usaha kecil skala rumah tangga lebih diartikan sebagai upaya membangun kelembagaan usaha kecil yang ditujukan untuk mengatasi dan memecahkan masalah keterbatasan yang dimiliki usaha kecil. Menurut Hafsah (2002), pendekatan kelompok melalui kelembagaan usaha kecil diarahkan pada keberlanjutan dan peningkatan daya saing dengan peningkatan kemampuan permodalan, sumberdaya manusia, teknologi, manajemen, dan akses pasar.

Menurut Sumarti et al (2003), dik arenakan dalam melakukan beragam aktivitas pencaharian nafkah setiap orang cenderung untuk berkelompok. Perilaku berkelompok sangat diperlukan, karena didalamnya terdapat nilai-nilai partisipasi yang menjadi indikator kunci pemberdayaan dalam rangka pengembangan masyarakat. Partisipasi menurut Sumardjo dan Saharudin (2003), mengandung makna peranserta seseorang atau sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya mencapai sesuatu yang (secara sadar) diinginkan oleh pihak yang berperan serta tersebut. Partisipasi masyarakat penting diperlukan karena dalam arti yang positif menurut Hollsteiner dalam Sumardjo dan Saharudin (2003), berarti: (1) Mensukseskan program secara lebih terjamin dan lebih cepat, (2) Mendekatkan pengertian pihak perencana/ pengelola dengan kebutuhan golongan sasaran, (3) Media memupuk keterampilan masyarakat, kekeluargaan dan percaya diri, (4) Mencapai partisipasi positif sebagai ciri khas masyarakat modern.

2.4. Keberfungsian Sosial

Pekerjaan sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu individu, keluarga, kelompok dan masyarakat agar mampu menjalankan tugas -tugasnya sesuai dengan peranannya. Dengan kata lain, nilai, pengetahuan dan keterampilan profesional yang digunakan pekerjaan sosial pada dasarnya adalah untuk meningkatkan keberfungsian sosial (social fuctioning)

(8)

klien yang dibantunya. Sebagaimana dinyatakan Skidmore, Thackeray dan Farley dalam Suharto, dkk. (2003): ‘Social fuctioning to be a central purpose of social work and intervention was seen as the enchancement of social functioning’. Keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang penting bagi pekerjaan sosial. Ia merupakan pembeda antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya.

Morales dan Sheafor dalam Suharto, dkk. (2003) menyatakan:

Social functioning is a helpful concept because it takes into consideration both the environment characteristics of the person and the forces from the environment. It suggests that a person brings to the situation a set of behaviours, needs and beliefs that are the result of his or her unique experiences from birth. Yet it also recognizes that whatever is brought to the situation must be related to the world as that person confronts it. It is in the transactions between the person and the parts of that person’s world that the quality of life can be enhanced or damaged. Here in lies the uniqueness of social work.

Intinya, konsep keberfungsian sosial menunjuk pada “kapabilitas” individu, keluarga atau masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Konsepsi ini mengedepankan nilai bahwa klien adalah subyek dari segenap proses dan aktifitas kehidupannya; bahwa klien memiliki kemampuan dan potensi yang dapat dikembangkan dalam proses pertolongan; bahwa klien memiliki atau dapat menjangkau, memanfaatkan dan memobilasasi aset dan sumber-sumber yang ada disekitar dirinya.

Dengan demikian keberfungsian sosial bagi kelompok usaha pengrajin benang sebagai bagian masyarakat yang perlu diberdayakan dapat dievaluasi dari apakah seseo rang dapat megidentifikasi masalahnya, mengartikulasikan kebutuhannya, dan mengembangkan kapasitasnya agar dapat menangani masalah yang mereka hadapi secara lebih efektif. Dalam hal ini kelompok pengrajin benang sebagai masyarakat miskin tidak dipandang sebagai sistem klien yang bermasalah, melainkan sebagai masyarakat yang unik, memiliki potensi, hanya saja potensi tersebut belum sepenuhnya dikembangkan.

(9)

2.5. Kerangka Pemikiran

Kelompok usaha pengrajin benang terbentuk dengan sendirinya dan mempunyai tujuan yang sama yaitu mendapatkan pekerjaan selain menjadi buruh tani. Berdasarkan hasil pelaksanaan praktek lapangan I dan II diperoleh gambaran kemiskinan beserta kondisi penyebabnya terhadap lingkaran ketidakberdayan pengrajin benang untuk mengakumulasikan kekuasannya mengakses budaya dan politik dikarenakan lemahnya jaringan sosial pengrajin benang baik secara horizontal maupun vertikal, ketidakberdayaan dalam meraih manfaat kesejahteraan dikarenakan tidak adanya peluang meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, juga ketidakberdayaan meningkatkan kemampuan ekonomi yang disebabkan terbatasnya sistem sumber yang dapat diakses untuk memajukan kehidupannya.

Salah satu pendekatan untuk mengentaskan kemiskinan adalah pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan kelompok. Kelompok secara sederhana dapat diartikan sebagai hubungan antara orang-orang dalam lingkungannya. Secara luas pengertian kelompok dijelaskan Astrid (1985), terdiri dari dua orang atau lebih didalamnya terbentuk pembagian pekerjaan secara khusus. De Haan dalam Astrid, (1985) menjelaskan bahwa kelompok tidak terdiri dari jumlah anggota -anggotanya saja, melainkan akan suatu kenyataan yang ditentukan oleh datang-perginya anggota -anggota. Kenyataan kelompok ditentukan oleh nilai-nilai yang dihay ati bersama, oleh fungsi kelompok sebagaimana disadari oleh anggotanya.

Suharto (2004) menyatakan bahwa keberhasilan pemberdayaan keluarga miskin dapat dilihat dari kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, kemampuan budaya dan politis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan, yaitu: ‘kekuasaan didalam’ (power within), ‘kekuasaan untuk’(power to),’kekuasaan atas’(power over) , dan ‘kekuasaan dengan’(power with). Mengacu pada pendapat tersebut maka keberdayaan yang diharapkan pada kelompok usaha pengrajin benang adalah kemampuan meningkatkan ekonomi yang dikaitkan dengan “kekuasaan untuk” yaitu meningkatnya kesempatan untuk memperoleh akses pelayanan keuangan mikro, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan yaitu meningkatnya pengetahuan

(10)

dan keterampilannya dalam pengelolaan usaha serta organisasi, meningkatnya kemampuan budaya dan politik yaitu sehubungan dengan mobilitas pengrajin diluar rumah baik secara horizontal maupun vertikal. Pemberdayaan berupa pengembang an pengetahuan dan keterampilan, membangun kerja kelompok dan pengembangan jaringan sosial terhadap pengrajin benang yang termasuk kelompok miskin dapat dijadikan pengungkit untuk meningkatkan kemampuanya dalam menjalankan usaha produktif sehingga dapat meningkatkan keberfungsian sosialnya.

Agar pengrajin dapat berkembang dan mandiri sehingga mampu menggerakan sumber daya masyarakat, harus diupayakan pemberdayaan dengan memperhatikan faktor sosial- budaya serta struktur yang ada di masyarakat. Untuk mewujudkan tersebut diperlukan program pengembangan masyarakat yang bertumpu pada kelompok. Keberhasilan pemberdayaan kelompok ini diharapkan dapat mendukung pengembangan komunitas.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka alur kerangka pemikiran yang digunakan dalam kajian ini dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini:

(11)

Gambar I : Kerangka Pemikiran Tentang Pemberdayaan Kelompok Usaha Pengrajin Benang Desa Tangsi Mekar Kecamatan Paseh Kabupten Bandung

Proses pemberdayaan Lingkungan sosial: § Peta Sosial Desa (Sosial, ekonomi, budaya) § Program yang ada Strategi pemberdayaan Teori Kekuasaan untuk (Power to) dan pendekatan

kelompok

Ketidak berdayaan kelompok pengrajin benang karena belum memiliki kemampuan: - Mengakses budaya dan politik - Akses terhadap manfaat kesejahteraan - Meningkatkan kemampuan Fokus kajian pemberdayaan Kelompok berdaya yang memiliki kemampuan: - Mengakses budaya dan politik - Mengakses manfaat kesejahteraan - Meningkatkan kemampuan ekonomi sehingga dapat berfungsi sosial

Gambar

Tabel 1. Keterkaitan Dimensi Kekuasaan dengan Kemampuan Ekonomi,  Akses Kesejahteraan, Kemampuan Budaya dan Politik
Gambar I :  Kerangka Pemikiran Tentang Pemberdayaan Kelompok Usaha Pengrajin  Benang Desa Tangsi Mekar Kecamatan Paseh Kabupten Bandung

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian ini dijelaskan bahwa upaya Pemerintahan Desa dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Desa Hangtuah Kecamatan Perhentian Raja Kabupaten Kampar adalah dengan

Japfa Comfeed Indonesia Tbk Cirebon ternyata kedisiplinan kerja para pegawai dan kompensasi yang diberikan terhadap pegawai diduga masih dirasakan belum memadai.Faktor

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan konsumsi makanan sumber lemak, karbohidrat dan aktivitas fisik dengan rasio lingkar pinggang panggul (RLPP)

AUDIT GOING CONCERN PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA OLEH: CHRISTANIA THENDEAN 3203009190 JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS BISNIS..

al (2012) yang menyatakan pengetahuan lingkungan tidak dapat memprediksi sikap. Untuk perlu dikaji lebih lanjut apa yang menjadi penyebab perbedaan temuan

Untuk pengklasifikasian bentuk objek menggunakan metode Fuzzy Inference System dengan menggunakan parameter jumlah vertex point dan besar sudut dari objek yang didapat dengan

Sistem pendukung keputusan adalah suatu sistem informasi spesifik yang ditujukan untuk membantu manajemen dalam mengambil keputusan yang berkaitan

Berita terbaru dari validasi ini, salah satu pembuat WebWork yaitu Jason Carreira, telah menjadi salah satu expert group dari spesifikasi validasi, jadi mungkin saja kedepanyna