7 2.1 Konsep Kepemimpinan 2.1.1 Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan telah didefinisikan dalam kaitannya dengan ciri-ciri individual, perilaku, pengaruh terhadap orang lain, pola interaksi, hubungan peran, tempatnya pada suatu posisi administratif, serta persepsi orang lain mengenai keabsahan dari pengaruh.
Siagian (1999:77) merumuskan Kepemimpinan sebagai suatu kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang-orang agar bekerja bersama-sama menuju suatu tujuan tertentu yang mereka inginkan bersama. Dengan kata lain, Kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan kelompok tersebut. Kepemimpinan telah didefinisikan dalam kaitannya dengan ciri-ciri individual, perilaku, pengaruh terhadap orang lain, pola interaksi, hubungan peran, tempatnya pada suatu posisi administratif, serta persepsi orang lain mengenai keabsahan dari pengaruh.
Pengertian Kepemimpinan dan manajemen seringkali disamakan oleh para ahli, namun ada pula yang membedakan pengertian keduanya. Menurut Kotler (dalam Robbins, 2006:51), berpendapat bahwa Kepemimpinan berbeda dari manajemen. Manajemen berkaitan dengan hal-hal untuk mengatasi kerumitan. Manajemen yang baik dapat menghasilkan tata tertib dan konsistensi dengan menyusun
rencana-rencana formal, merancang struktur organisasi yang ketat dan memantau hasil lewat pembandingan terhadap rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Kepemimpinan, sebaliknya, berkaitan dengan hal-hal untuk mengatasi perubahan. Pemimpin menetapkan arah dengan mengembangkan suatu visi terhadap masa depan, kemudian mengkomunikasikannya kepada setiap orang dan mengilhami orang-orang tersebut dalam menghadapi segala rintangan. Kotter menganggap, baik Kepemimpinan yang kuat maupun manajemen yang kuat merupakan faktor penting bagi optimalisasi efektifitas organisasi.
Kepemimpinan menurut Wahjosumidjo (1994:23), didefinisikan sebagai sarana pencapaian tujuan yang dimaksudkan dalam hubungan ini pemimpin merupakan seseorang yang memiliki suatu program dan yang berperilaku secera bersama-sama dengan anggota-anggota kelompok dengan mempergunakan cara atau gaya tertentu, sehingga Kepemimpinan mempunyai peranan sebagai kekuatan dinamik yang mendorong, memotivasi dan mengkoordinasikan organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dari berbagai pendapat yang dirumuskan para ahli diatas dapat diketahui bahwa konsepsi Kepemimpinan itu sendiri hampir sebanyak dengan jumlah orang yang ingin mendefinisikannya, sehingga hal itu lebih merupakan konsep berdasarkan pengalaman. Hampir sebagian besar pendefinisian Kepemimpinan memiliki titik kesamaan kata kunci yakni “suatu proses mempengaruhi”. Akan tetapi kita menemukan bahwa
konseptualisasi Kepemimpinan dalam banyak hal berbeda. Perbedaan dalam hal “siapa yang mempergunakan pengaruh, tujuan dari upaya mempengaruhi, cara-cara menggunakan pengaruh tersebut”.
2.1.2 Jenis-Jenis Kepemimpinan
Jenis-jenis Kepemimpinan menurut Wahjosumidjo (2007: 41) dapat dibedakan menjadi 3 pokok jenis Kepemimpinan yaitu:
1. Pendelegasian Tugas
Pimpinan hendaknya memberikan pelimpahan wewenang atau kepercayaan kepada bawahan yang dianggap mampu. Pimpinan dalam menjalankan tugasnya tentunya memerlukan bantuan dari bawahannya. Untuk itu pemimpin hendaknya memberikan pelimpahan wewenang kapada bawahan apabila tugas yang diberikan belum mampu dijalankan sendiri.
2. Komunikator
Jenis Kepemimpinan ini berlangsung dan bersifat komunikasi satu arah. Dengan jenis Kepemimpinan seperti ini seorang pemimpin berperan sebagai pengambil keputusan dan memberikan perintah kepada bawahannya. Sehingga perintah yang disampaikan harus jelas baik dari segi bahasa maupun tugas yang diberikan harus sesuai dengan tingkat kemampuan orang yang menerima perintah.
3. Memimbing
Pemimpin dianggap sebagai orang yang berpengaruh dalam suatu organisasi. Dalam hal ini pemimpin harus ikut berpartisipasi dalam
setiap kegiatan dan bawahannya lebih merasa diperhatikan dan dapat menimbulkan semangat kerja bagi bawahan.
2.1.3 Fungsi-fungsi Kepemimpinan
Secara operasional dapat dibedakan 5 pokok fungsi Kepemimpinan, yaitu (Nawawi, 2003:74):
1. Fungsi Instruktif
Fungsi ini berlanggsung dan bersifat komunikasi satu arah. Dengan fungsi ini seorang pemimpin berperan sebagai pengambil keputusan dan memberikan perintah kepada bawahannya. Agar fungsi ini dapat dijalankan dengan baik, maka perintah yang disampaikan harus jelas baik isi perintah maupun dari segi bahasa harus sesuai dengan tingkat kemampuan orang yang menerima. 2. Fungsi Konsultatif
Dalam fungsi ini, seorang pimpinan merupakan wadah bagi bawahannya untuk membicarakan masalah-masalah yang ada pada suatu organisasi / instansi. Pimpinan dianggap sebagai orang yang mampu menyelesaikan suatu masalah. Sehingganya diharapkan dengan menjalankan fungsi ini, keputusan-keputusan pimpinan akan mendapat dukungan dan lebih mudah menginstruksikannya sehingga Kepemimpinan dapat berlangsung secara efektif. Dalam menjalankan fungsi ini seorang kepala sekolah diharapkan mampu mengarahkan dan memberikan kesempatan kepada guru dan staf sekolah untuk menyampaikan
saran dan pendapat agar apa yang diperintahkan dapat dijalankan dengan baik.
3. Fungsi Partisipasi
Pemimpin merupakan seseorang yang mempunyai pengaruh dalam suatu organisasi / instansi. Dalam melaksanakan suatu kegiatan, partisipasi dari seorang pemimpin adalah hal yang sangat penting karena dapat memberikan motivasi atau semangat kerja bagi para bawahaannya. Agar fungsi ini dapat dijalankan dengan baik, maka kepala sekolah harus ikut serta dalam proses pelaksanaan tugas yang telah diberikan. Sehingga guru dan staf sekolah lebih termotivasi untuk menyelesaikan tugas yang telah diberikan dengan baik.
4. Fungsi Delegasi
Dalam menyelesaikan tugas, seorang pemimpin tentunya tidak dapat menyelesaikan tugasnya sendiri, hal ini disebabkan karena banyaknya tugas yang harus diselesaikan. Untuk itu pemimpin hendaknya dapat memberikan pelimpahan wewenang, memberikan kepercayaan kepada bawahaannya yang dianggap mampu untuk menyelesaikan tugas yang diberikan, agar dapat berjalan secara efektif dan efisien. Agar fungsi ini dapat dijalankan dengan baik, maka kepala sekolah harus bersedia memberikan tanggung jawab/kepercayaan kepada wakil kepala sekolah yang memiliki
kemampuan dan kemauan untuk menjalankan tugas yang diberikan.
5. Fungsi Pengendalian
Fungsi ini menjelaskan peran seorang pemimpin sebagai pengendali merupakan pemimpin yang mampu mengatur aktifitas anggotanya secara terarah dan dalam kondisi yang efektif. Seorang pemimpin diharapkan dapat menyelesaikan segala masalah dan kesalahan yang di lakukan. Fungsi pengendalian di lakukan dengan cara mencegah anggota berpikir dan berbuat sesuatu yang dapat merugikan organisasi atau instansi. Untuk menjalankan fungsi ini, kepala sekolah berperan sebagai motivator bagi guru dan staf sekolah dalam pelaksanaan tugas dan pekerjaan baik individu maupun kolektif dengan senantiasa memberikan pengarahan dan dorongan dalam melakukan perkerjaan tersebut.
Menurut Siagian (2003: 154), fungsi-fungsi Kepemimpinan yang bersifat hakiki adalah:
1. Penentuan arah yang hendak ditempuh oleh organisasi dalam usaha pencapaian tujuan dan berbagai sasarannya.
2. Wakil dan juru bicara organisasi dalam hubungan dengan berbagai pihak diluar organisasi, terutama dengan mereka yang tergolong sebagai “stakeholder”.
4. Mediator yang handal, khususnya dalam mengatasi berbagai situasi konflik yang mungkin timbul antara individu dalam satu kelompok kerja yang terdapat dalam organisasi yang dipimpinnya.
5. Integrator yang rasional dan objektif.
Dengan menjalankan fungsi Kepemimpinan yang hakiki tersebut, pemimpin diharapkan dapat membawa para pengikutnya ketujuan yang hendak dicapai.
Fungsi Kepemimpinan menurut Rivai (2004: 119) dalam Mariam (2009:45), bahwa Kepemimpinan berhubungan langsung dengan situasi sosial dalam kehidupan kelompok/organisasi masing-masing yang mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada di dalam dan bukan di luar situasi itu. Fungsi Kepemimpinan merupakan gejala sosial, karena harus diwujudkan dalam interaksi antar individu di dalam situasi sosial suatu kelompok/organisasi. Fungsi Kepemimpinan sendiri dikelompokkan dalam dua dimensi berikut Mariam (2009:46):
1. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan (direction) dalam tindakan atau aktivitas pemimpin.
2. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-tugas pokok kelompok/organisasi.
Seorang pemimpin untuk mencapai tujuan organisasi harus melaksanakan berbagai fungsi Kepemimpinan. Menurut Frunzi dan Savini
diacu dalam Hidayat (2005: 32) terdapat lima fungsi Kepemimpinan yang merupakan karakteristik Kepemimpinan, yaitu:
1. Pengajaran, dengan memberikan pengarahan khusus, saran dan bimbingan kepada karyawan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. 2. Konseling, dengan mewawancarai para karyawan dan membantu
mereka dalam menemukan jawabannya.
3. Evaluasi, dalam melakukan pengawasan, peninjauan, penilaian terhadap karyawan sebagai timbal-balik terhadap kinerja karyawan. 4. Delegasi, dengan memberikan tugas, tanggung jawab dan wewenang
kepada karyawan yang dirasa kompeten.
5. Pemberian imbalan, dengan menyediakan pengakuan nyata maupun tidak nyata kepada karyawan yang sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik.
2.1.4 Gaya Kepemimpinan
Locander et al. (dalam Mariam, 2009:56) menjelaskan bahwa Gaya Kepemimpinan mengandung makna pemimpin mempengaruhi yang dipimpin tapi hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin bersifat saling menguntungkan kedua belah pihak. Locke (2001) memandang Gaya Kepemimpinan sebagai sebuah proses mempengaruhi aktivitas suatu organisasi dalam upaya menetapkan dan mencapai tujuan.
Tiga implikasi penting yang terkandung dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi aktifitas-aktifitas dalam hal ini yaitu:
1. Gaya Kepemimpinan itu melibatkan orang lain baik itu bawahan maupun pengikut.
2. Kepeminpinan melibatkan pendistribusian kekuasaan antara pemimpin dan anggota kelompok secara seimbang, karena anggota kelompok bukanlah tanpa daya.
3. Adanya kemampuan untuk menggunakan bentuk kekuasaan yang berbeda untuk mempengaruhi tingkah laku pengikutnya melalui berbagai cara.
Terdapat perbedaan pandangan dalam penyusunan batasan-batasan dalam perumusan Gaya Kepemimpinan, seperti yang diungkapkan (Mariam, 2009:26), menyatakan bahwa Gaya Kepemimpinan merupakan norma perilaku yang dipergunakan oleh seseorang pada saat mencoba mempengaruhi perilaku orang lain atau bawahan. Pemimpin tidak dapat menggunakan Gaya Kepemimpinan yang sama dalam memimpin bawahannya, namun harus disesuaikan dengan karakter-karakter tingkat kemampuan dalam tugas setiap bawahannya. Menurut House (dalam Darwito,2008:41), menyatakan bahwa Perilaku pemimpin memberikan motivasi sampai tingkat (1) mengurangi halangan jalan yang mengganggu pencapaian tujuan, (2) memberikan panduan dan dukungan yang dibutuhkan oleh para karyawan, dan (3) mengaitkan penghargaan yang berarti terhadap pencapaian tujuan.
Mariam (2009) membatasi Gaya Kepemimpinan dalam 2 hal yakni konsep transaksional (transactiona leadership) dan transformasional
(transformational leadership), yang dapat diuraikan dengan (Mariam, 2009:27):
1. Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan transformasional (transformational leadership) berdasarkan prinsip pengembangan bawahan (follower development). Pemimpin transformasional mengevaluasi kemampuan dan potensi masing-masing bawahan untuk menjalankan suatu tugas/pekerjaan, sekaligus melihat kemungkinan untuk memperluas tanggung jawab dan kewenangan bawahan di masa mendatang.
Humphreys (2002) menegaskan bahwa hubungan antara atasan dengan bawahan dalam konteks Gaya Kepemimpinan transformasional lebih dari sekedar pertukaran “komoditas” (pertukaran imbalan secara ekonomis), tapi sudah menyentuh sistem nilai (value system). Pemimpin transformasional mampu menyatukan seluruh bawahannya dan mampu mengubah keyakinan, sikap, dan tujuan pribadi masing-masing bawahan demi mencapai tujuan, bahkan melampaui tujuan yang ditetapkan.
George R., et al (2004) dalam Maryam (2009:44), bahwa kepemimpinan transformasional "terjadi ketika satu orang atau lebih terlibat dengan orang lain sedemikian rupa sehingga mengangkat motivasi dan moralitas pemimpin dan pengikut satu sama lain ke tingkat yang lebih tinggi". Pemimpin transformasional menampilkan keberanian, komitmen, keyakinan, dan kompetensi, semuanya
disalurkan ke arah menciptakan perubahan. Pendapat yang sama dikemukakan Bass, Rigio. (2004), bahwa kepemimpinan transformasional melibatkan para pengikut membangkitkan semangat untuk berkomitmen terhadap suatu visi dan sasaran bersama untuk satu organisasi atau unit, bersifat lebih inovatif dalam memecahkan masalah, dan mengembangkan kapasitas kepemimpinan pengikut melalui pelatihan, monitor, dan penyisihan tantangan dan dukungan. Kedua pendapat tersebut lebih menitik beratkan pada aspek moral pengikut agar memiliki semangat dalam upaya menciptakan perubahan guna mencapai sasaran yang telah ditetapkan.
Salah satu bentuk perubahan pemimpin adalah kemampuan untuk mempercayakan segala keperluan dari pengikut pada seorang pengikut. Menurut Burns, bahwa mengutamakan kebutuhan membuat para pemimpin dapat bertanggungjawab kepada pengikut yang diarahkan oleh suatu kebutuhan moral, atau kebutuhan untuk menerapkan suatu cara berpendirian moral yang lebih tinggi. CB. Crawford, (2005;9) mengemukakan bahwa untuk mentransformasi, pemimpin harus membantu pengikut untuk mengerti dan memahami keadaan atau persoalan yang timbul dalam organisasi antara lain konflik. Konflik adalah perlu guna menciptakan alternatif-alternatif dan untuk membuat kemungkinan perubahan. Proses perubahan bentuk didasarkan pada pengenalan jiwa orang lain, pemahaman, pengertian
yang mendalam, dan pertimbangan bukan manipulasi, pemanfaatan kekuasaan, atau paksaan.
Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan Shane (2010;125) bahwa pemimpin transformational memotivasi para pengikut dengan visi untuk masa depan, agar berupaya menunjukkan kepatuhan, bukan karena mendapatkan sesuatu sebagai imbalan, tetapi karena adanya kepercayaan pada pimpinan dan tujuannya yang objektif. Pendapat serupa dikemukakan Bass dan Avolio (1990) bahwa para pemimpin transformasional bersifat sebagai penolong, memulai perubahan strategis untuk memposisikan organisasi di masa depan, mengartikulasikan suatu visi dengan penuh semangat, membantu karyawan keluar dari kesulitan yang berfokus kepada pekerjaan secara individu untuk melihat suatu gambaran yang lebih luas. Pendapat lain dikemukakan Cardona, (2000) bahwa para pemimpin transformasional memotivasi para pengikut dengan melakukan pertukaran guna mengembangkan kemampuan pengikut dengan cara memberikan motivasi ekstrinsik.
Bass et.al (1990,) dalam Maryam (2009:30), menjelaskan kemampuan pemimpin transformasional mengubah sistem nilai bawahan demi mencapai tujuan diperoleh dengan mengembangkan salah satu atau seluruh factor yang merupakan dimensi kepemimpinan transformasional, yaitu: karisma (kemudian diubah menjadi pengaruh ideal atau idealized influence), inspirasi (inspirational motivation),
pengembangan intelektual (intellectual stimulation), dan perhatian pribadi (individualized consideration). Keseluruhan indikator Kepemimpinan transformasional yang dikemukakan oleh Bass et.al (1990) merupakan batasan Penelitian untuk mengukur variabel Kepemimpinan dalam Penelitian ini. Adapun penjelasan mengenai Indikator Kepeimimpinan Transformasional sebagai berikut:
a. Idealized influence (pengaruh ideal/ visi).
Menurut Sarros (2001) dalam Maryam (2009:27), merupakan perilaku (behavior) yang berupaya mendorong bawahan untuk menjadikan pemimpin mereka sebagai panutan (role model). Pada mulanya, dimensi ini dinamakan karisma, namun karena mendapat banyak kritik maka istilah karisma diubah menjadi pengaruh ideal atau visi. Aspek kritikal karisma adalah kekuatan spiritual (transcendent power) yang diyakini oleh bawahan dimiliki oleh pemimpinnya, sehingga bawahan percaya sepenuhnya dan mau melakukan apa saja demi pemimpinnya (true believer). Aspek tersebut tidak dimiliki oleh setiap orang dan selama ini tidak tercakup dalam kajian kepemimpinan transformasional, sehingga dimensi ini tidak tepat disebut karisma. Kajian mengenai dimensi ini lebih terpusat pada pemimpin yang memiliki visi jauh kedepan dan mampu menanamkan visi tersebut dalam diri bawahan (Griffin, 2004).
Lebih jauh, pemimpin yang mempunyai idealized influence selain mampu mengubah pandangan bawahan tentang apa yang penting untuk dicapai pada saat ini maupun masa mendatang (visi), juga mau dan
mampu berbagi resiko dengan bawahan, teguh dengan nilai, prinsip, dan pendiriannya, sehingga bawahan percaya, loyal, dan menghormatinya (Bass et.al., 2003; dalam Darwito, 2008:31). Idealized influence merupakan dimensi terpenting kepemimpinan transformasional karena memberikan inspirasi dan membangkitkan motivasi bawahan (secara emosional) untuk menyingkirkan kepentingan pribadi demi pencapaian tujuan bersama (Griffin, 2004).
b. Inspirational motivation (inspirasi)
menurut Griffin (2004), Inspirational Motivation memiliki korelasi yang erat dengan idealized influence. Seperti dijelaskan sebelumnya, pemimpin transformasional member inspirasi kepada bawahan untuk memusatkan perhatian pada tujuan bersama dan melupakan kepentingan pribadi. Inspirasi dapat diartikan sebagai tindakan atau kekuatan untuk menggerakkan emosi dan daya pikir orang lain (Griffin, 2004).
Keeratan dua dimensi yaitu inspirational motivation dan idealized influence ini mendorong munculnya pandangan untuk menyatukan kedua dimensi ini dalam satu konstruk. Namun dalam penelitian ini, idealized influence dan inspirational motivation diposisikan sebagai dua konstruk yang berbeda dimana idealized influence mempunyai makna lebih dalam daripada inspirational motivation, atau dengan kata lain, inspirational motivation merupakan sisi luar atau perwujudan idealized influence (Griffin, 2004; dalam Maryam, 2009:35).
c. Intellectual stimulation (Pengembangan Pengetahuan)
merupakan faktor penting kepemimpinan transformasional yang jarang memperoleh perhatian. Intellectual stimulation merupakan perilaku yang berupaya mendorong perhatian dan kesadaran bawahan akan permasalahan yang dihadapi. Pemimpin kemudian berusaha mengembangkan kemampuan bawahan untuk menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan pendekatan atau perspektif baru. Dampak intellectual stimulation dapat dilihat dari peningkatan kemampuan bawahan dalam memahami dan menganalisis permasalahan serta kualitas pemecahan masalah (problem solving quality) yang ditawarkan (Rafferty & Griffin, 2004; dalam Maryam 2009:36).
Bass et.al (2003) dalam Darwito (2008:39), berpandangan bahwa intellectual stimulation pada prinsipnya memacu bawahan untuk lebih kreatif dan inovatif dalam memahami dan memecahkan masalah. Bawahan didorong untuk meninggalkan cara-cara atau metode-metode lama dan dipacu untuk memberikan ide dan solusi baru. Bawahan bebas menawarkan metode baru dan setiap ide baru tidak akan mendapat kritikan atau celaan. Sebaliknya, pemimpin berusaha meningkatkan moral bawahan untuk berani berinovasi. Pemimpin bersikap dan berfungsi membina dan mengarahkan inovasi dan kreativitas bawahan.
d. Individualized consideration (perhatian pribadi).
Individualized consideration mengarah pada pemahaman dan perhatian pemimpin pada potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh
setiap bawahannya. Pemimpin menyadari perbedaan kemampuan, potensi, dan juga kebutuhan bawahan. Pemimpin memandang setiap bawahannya sebagai aset organisasi. Oleh sebab itu, pemahaman pemimpin akan potensi dan kemampuan setiap bawahan memudahkannya membina dan mengarahkan potensi dan kemampuan terbaik setiap bawahan (Bass et.al., 2003; dalam Darwito, 2008:40).
Adapun yang termasuk batasan atau instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menyangkut Kepemimpinan Transformasional dengan instrumen-instrumen yang termasuk didalamnya.
2. Gaya Kepemimpinan Transaksional
Gaya Kepemimpinan transaksional (transactional leadership) mendasarkan diri pada prinsip transaksi atau pertukaran antara pemimpin dengan bawahan. Pemimpin memberikan imbalan atau penghargaan tertentu (misalnya, bonus) kepada bawahan jika bawahan mampu memenuhi harapan pemimpin (misalnya, kinerja karyawan tinggi). Di sisi lain, bawahan berupaya memenuhi harapan pemimpin disamping untuk memperoleh imbalan atau penghargaan, juga untuk menghindarkan diri dari sanksi atau hukuman.
Waldman et.al. (dalam Mariam, 2009:34) mengemukakan bahwa Gaya Kepemimpinan transaksional “beroperasi” pada sistem atau budaya yang sudah ada (existing) dan tujuannya adalah memperkuat strategi, sistem, atau budaya yang sudah ada, bukan bermaksud untuk mengubahnya. Oleh sebab itu, pemimpin transaksional selain berusaha
memuaskan kebutuhan bawahan untuk “membeli” performa, juga memusatkan perhatian pada penyimpangan, kesalahan, atau kekeliruan bawahan dan berupaya melakukan tindakan korektif.
Selain Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional, terdapat 5 (lima) Gaya Kepemimpinan lain yang dapat mengukur kecenderungan peningkatan kerja Karyawan (Robert; dan Kinicki, Angelo, 2005:67) Yakni:
1. Gaya Direktif
Dimana pemimpin memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus diselesaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.
Karakteristik pribadi bawahan mempengaruhi Gaya Kepemimpinan yang efektif. Jika bawahan merasa mempunyai kemampuan yang tidak baik, Gaya Kepemimpinan instrumental (direktif) akan lebih sesuai. Sebaliknya apabila bawahan merasa mempunyai kemampuan yang baik, gaya direktif akan dirasakan berlebihan, bawahan akan cenderung memusuhi (Mamduh, 1997)
2. Gaya Supportif
Gaya Kepemimpinan yang menunjukkan keramahan seorang pemimpin, mudah ditemui daan menunjukkan sikap memperhatikan
bawahannya (Yukl 1989:251). Mamduh (1997) menyatakan jika manajer ingin meningkatkan kesatuan dan kekompakan kelompok digunakan Gaya Kepemimpinan supportif. Jika bawahan tidak memperoleh kepuasan sosial dari kelompok Gaya Kepemimpinan supportif menjadi begitu penting.
Gaya Kepemimpinan gaya supportif, menggambarkan situasi dimana karyawan yang memiliki kebutuhan tinggi untuk berkembang mengerjakan tugas-tugas yang mudah, sederhana, dan rutin. Individu seperti ini mengharapkan pekerjaan sebagai sumber pemuasan kebutuhan, tetapi kebutuhan mereka tidak terpenuhi. Reaksi yang mungkin timbul adalah perasaan kecewa dan frustasi (Darwito, 2008:43).
3. Gaya Partisipatif
Gaya Kepemimpinan dimana mengharapkan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan (Yukl 1989:277). Apabila bawahan merasa mempunyai kemampuan yang baik, Gaya Kepemimpinan direktif akan dirasa berlebihan, bawahan akan cenderung memusuhi, sehingga Gaya Kepemimpinan partisipatif lebih sesuai. Jika bawahan mempunyai locus of control yang tinggi, ia merasa jalan hidupnya lebih banyak dikendalikan oleh dirinya bukan oleh faktor luar seperti takdir, Gaya Kepemimpinan yang partisipatif lebih sesuai (Mamduh dalam Darwito, 2008:42).
4. Gaya Orientasi Prestasi
Gaya Kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam pencapaian tujuan tersebut. Dalam Gaya Kepemimpinan ini, tingkah laku individu didorong oleh need for achievement atau kebutuhan untuk berprestasi (Yukl:1989).
Darwito (2008:44) menambahkan Gaya Kepemimpinan yang berorientasi kepada prestasi (achievement) dihipotesakan akan meningkatkan usaha dan kepuasan bila pekerjaan tersebut tidak tersetruktur (misalnya kompleks dan tidak diulang-ulang) dengan meningkatkan rasa percaya diri dan harapan akan menyelesaikan sebuah tugas dan tujuan yang menantang. Kepuasan kerja lebih tinggi diperoleh apabila telah melaksanakan prestasi kerja yang baik.
5. Gaya Pengasuh
Dalam Gaya Kepemimpinan gaya pengasuh, sikap yang mungkin tepat adalah campur tangan minim dari pimpinan. Dimana pemimpin hanya memantau kinerja tetapi tidak mengawasi karyawan secara aktif. Tidak dibutuhkan banyak interaksi antara pimpinan dengan karyawan sepanjang kinerja karyawan tidak menurun. Pimpinan merasa lebih tepat untuk tidak campur tangan dengan tugas-tugas karyawan (Griffin, 1980 dalam Yukl, 1989).
2.2 Kinerja
2.2.1 Pengertian Kinerja
Kinerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang hendak dicapai, prestasi yang diperlihatkan dan kemampuan kerja. Kinerja dipergunakan manajemen untuk melakukan penilaian secara periodik mengenai efektivitas operasional suatu oganisasi dan karyawan berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan kinerja, organisasi dan manajemen dapat mengetahui sejauh mana keberhasilan dan kegagalan karyawannya dalam menjalankan amanah yang diterima.
Membahas mengenai masalah kinerja tentu tidak terlepas dari proses, hasil dan daya guna. Dalam hal ini kinerja (prestasi kerja) merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan kinerja, seperti lingkungan kerja, kelengkapan kerja, budaya kerja, motivasi, kemampuan karyawan, struktur organisasi, Gaya Kepemimpinan dan sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mengkaji kinerja tidak lepas dari beberapa teori yang berhubungan dengan kinerja sebagaimana diuraikan berikut ini.
Menurut Rue dan Byars yang disunting Hamid dan Malian (2004:45) mengemukakan bahwa : “ kinerja dapat didefinisikan sebagai pencapaian hasil atau ”the degree of accomplishment” tingkat pencapaian
organisasi. Selanjutnya, hasil kerja seseorang dapat dinilai dengan standar yang telah ditentukan, sehingga akan dapat diketahui sejauhmana tingkat kinerjanya dengan membandingkan antara hasil yang dicapai dengan standar yang ada.”
Sementara itu kinerja menurut Prawirosentono (1999:2): “ Kinerja merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan berkaitan kuat terhadap tujuantujuan strategik organisasi.”
Menurut Robbins (2006:218) adalah sebagai fungsi dari interaksi antara kemampuan (ability), motivasi (motivation) dan keinginan (obsetion). Selanjutnya Robbins (1998: 21) memberikan arti kinerja adalah tingkat pencapaian tujuan. Dalam konteks penelitian yang akan dilakukan, maka pengertian analisis kinerja merupakan proses pengumpulan informasi tentang bagaimana tingkat kemampuan pencapaian hasil kerja yang dilakukan oleh karyawan PT. PLN Limboto Kabupaten Gorontalo dalam melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan program yang dijalankan institusi sehingga tujuan organisasi tersebut akan tercapai.
Tercapainya tujuan lembaga merupakan salah satu wujud dari keberhasilan sebuah lembaga dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Tetapi keberhasilan tersebut tidak dapat dilihat begitu saja, diperlukan penilaian terhadap kinerja lembaga tersebut. Penilaian terhadap kinerja juga sering disebut dengan pengukuran kinerja, dimana pengukuran
tersebut dilakukan dengan menggunakan variabel-variabel yang bergantung pada kompleksitas faktor-faktor yang membentuk kinerja tersebut.
2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan
Menurut Keban (2004:192) di Indonesia masih selalu dikaitkan dengan pelaksanaan pekerjaan (sebagaimana yang tercantum dalam surat Edaran BKN Nomor 02/SE/1980, tertanggal 11 Pebruari 1980) yang lebih menekankan penilaian kinerja pada 7 unsur yaitu kesetiaan, prestasi, ketaatan, tangungjawab, kejujuran, kerjasama dan prakarsa.
Menurut Swanson (dalam Keban, 2004:194) mengemukakan bahwa: “kinerja karyawan secara individu dapat dilihat dari apakah misi dan tujuan karyawan sesuai dengan misi lembaga, apakah karyawan menghadapi hambatan dalam bekerja dan mencapai hasil, apakah karyawan mempunyai kemampuan mental, fisik, emosi dalam bekerja, dan apakah mereka memiliki motivasi yang tinggi, pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman dalam bekerja” Sedangkan menurut Schuler dan Dowling (dalam Keban, 2000:195) “kinerja seorang karyawan/ karyawan dapat dilihat dari: (1) kuantitas kerja, (2) kualitas kerja, (3) kerjasama, (4) pengetahuan tentang kerja, (5) kemandirian kerja, (6) kehadiran dan ketepatan waktu, (7) pengetahuan tentang kebijakan dan tujuan organisasi, (8) inisiatif dan penyampaian ide-ide yang sehat, (9) kemampuan supervisi dan teknik”.
Lebih lanjut Schuler dan Dowling (dalam Yazid, 2009:21), menjelaskan indikator pengukuran diatas tergolong penilaian umum yang dapat digunakan kepada setiap karyawan kecuali kemampuan melakukan supervisi. Manurut Dharma (2005: 101), menyatakan bahwa indikator yang digunakan untuk melakukan pengukuran terhadap kinerja karyawan adalah (1) pemahaman pengetahuan, (2) keahlian, (3) kekaryawanan, (4) perilaku yang diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan baik.
2.3 Penelitian Terdahulu
No Nama Judul Hasil
1. Abdullah Latief (2013) Pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Kinerja Pegawai ( Suatu Studi Pada Staf
Fakultas Tarbiyah dan Tadris IAIN Sultan Amai Gorontalo) Hipotesis pertama penelitian tersebut menyatakan bahwa Gaya Kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap kinerja Pegawai Staf Administrasi Fakultas Tarbiyah IAIN Sultan Amai Gorontalo yang didukung oleh hasil pengujian secara statistika dengan menggunakan SPSS bahwa nilai uji t dan uji F signifikan memiliki
pengaruh secara parsial dan simultan terhadap Variabel Gaya
Kepemimpinan dan Kinerja Pegawai pada
Staf Fakultas Tarbiyah IAIN Sultan Amai Gorontalo. 2. Mayang Apuadji (2010) Fungsi Perencanaan Pimpinan dan Hubungannya dengan Kinerja Pegawai di Kantor Camat Kota Timur Kota Gorontalo Penelitian tersebut merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan menggunakan pengujian korelasi antara variabel Perencanaan Pimpinan (X) dan variabel Kinerja Pegawai (Y). hasil penelitian menunjukkan bahwa Perencanaan Pimpinan Kantor Camat Kota Timur Kota Gorontalo memiliki koefisien yang signifikan dengan tingkat signifikansi lebih dari 0.6, sehingga uji hipotesis dari penelitiannya dapat dikatakan diterima. 3. Hindun (2012) Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Budaya Kerja Karyawan di PT. PLN (Persero) Cabang Kota Gorontalo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Faktor Kepemimpinan yang dibawa oleh pimpinan memiliki pengaruh yang positif terhadap Budaya Organisasi, dimana uji t dan uji F dan dinyatakan bahwa t hitung>t table, dan Fhitung>Ftabel. Serta diketahui Uji determinanan sebesar 0.62.1 atau sebesar 62.1% variabel Budaya
kerja pada PT. PLN (persero) Cabang Gorontalo dijelaskan melalui Kepemimpinan, sedangkan sisanya sebesar 37.9% dijelaskan melalui faktor-faktor lainnya
Berdasarkan hasil dari penelitian-penelitian terdahulu, maka dapat dijelaskan bahwa sebagaian besar penelitian-penelitian yang telah dilakukan yang berhubungan dengan Kepemimpinan dan Kinerja Karyawan, dimana kedua variabel tersebut memiliki korelasi dan pengaruh yang signifikan antar variabel, sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam penyusunan penelitian ini, selain itu dapat pula mendukung hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya.
Untuk dapat mendukung penelitian yang dibuat maka peneliti mengambil satu penelitian yang dianggap mendukung hasil penelitian ini, yang menggunakan metode dan analisis penelitian yang sama. berdasarkan hasil penelitian diatas yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah penelitian dari Pengaruh Kepemimpinan terhadap Kinerja Pegawai (Suatu Studi Pada Staf Fakultas Tarbiyah dan Tadris IAIN Sultan Amai Gorontalo). Penelitian tersebut layak dijadikan acuan penelitian ini karena memiliki judul yang sama, serta objek penelitiannya yang keduanya sama-sama berorientasi kepada jasa. Sehingga dalam penempatan hipotesis juga memungkinkan untuk diterima.\
2.4 Kerangka Berpikir
Gaya Kepemimpinan adalah usaha suatu program pada saat terjadinya interaksi melalui komunikasi dengan gaya tertentu yang memotivasi seseorang atau kelompok dengaan pengaruh yang tidak memaksa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Gaya Kepemimpinan ditentukan oleh pemimpin itu sendiri, sehingga jika Gaya Kepemimpinan yang diterapkan baik dan dapat memberikan arahan yang baik kepada bawahan, maka akan timbul kepercayaan dan menciptakan motivasi kerja dalam diri karyawan, sehingga semangat kerja karyawan meningkat yang juga mempengaruhi kinerja karyawan kearah yang lebih baik (Fahmi, 2009:6).
Adapun batasan-batasan yang digunakan sebagai instrumen Gaya Kepemimpinan dalam penelitian ini adalah seluruh faktor yang merupakan dimensi kepemimpinan transformasional, yaitu (Bass et.al, 1990, dalam Maryam, 2009:30):
1. Karisma (kemudian diubah menjadi pengaruh ideal atau idealized influence).
2. Inspirasi (inspirational motivation).
3. Pengembangan Intelektual (intellectual stimulation), dan; 4. Perhatian Pribadi (individualized consideration).
Kinerja karyawan mengacu pada mutu pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan didalam implementasi mereka melayani program sosial. Memfokuskan pada asumsi mutu bahwa perilaku beberapa orang yang
lain lebih pandai daripada yang lainnya dan dapat diidentifikasi, digambarkan, dan terukur (Darwito, 2008:32).
Menurut Keban, (2004:195), menyatakan bahwa kinerja seorang karyawan dapat dilihat dari 9 elemen, dimana elemen-elemen tersebut digunakan sebagai batasan instrumen dalam penelitian ini, yakni: (1) kuantitas kerja, (2) kualitas kerja, (3) kerjasama, (4) pengetahuan tentang kerja, (5) kemandirian kerja, (6) kehadiran dan ketepatan waktu, (7) pengetahuan tentang kebijakan dan tujuan organisasi, (8) inisiatif dan penyampaian ide-ide yang sehat, (9) kemampuan supervisi dan teknik.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dijelaskan bahwa Kepemimpinan yang diterapkan pada suatu organisasi akan berhubungan erat dengan kinerja karyawan yang terlibat dalam organisasi tersebut. Sehingga penulis menyusun kerangka pemikiran sesuai dengan alur pemeikiran peneliti sebagai berikut.
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL: 1. Karisma (idealized influence). 2. Inspirasi (inspirational
motivation).
3. Pengembangan Intelektual (intellectual stimulation), dan; 4. Perhatian Pribadi
(individualized consideration). (Bass et.al, 1990, dalam
Maryam 2009)
KINERJA PEGAWAI: 1. Kuantitas Kerja
2. Kualitas Kerja 3. Kerjasama
4. Inisiatif dan Ide Kerja (Keban, 2004:195)
2.5 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan penjelasan yang termuat dalam kajian teori yang terurai dalam kerangka pemikiran, maka peneliti merumuskan suatu hipotesis yakni: Diduga adanya Pengaruh Kepemimpinan Transformasional yang signifikan terhadap Kinerja karyawan pada Kantor PLN Limboto Gorontalo.”