• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN. lain yang dilakukan terdahulu. Beberapa kajian berupa hasil penelitian, baik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN. lain yang dilakukan terdahulu. Beberapa kajian berupa hasil penelitian, baik"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

Pada umumnya, sebuah penelitian selalu bersentuhan dengan penelitian- penelitian lain yang dilakukan terdahulu. Beberapa kajian berupa hasil penelitian, baik tesis, disertasi, maupun jurnal yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.

Sukharani (2010) dengan penelitiannya berjudul “Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik”. Dalam penelilitanya, Sukharani membuat butir pertanyaan menguji tingkat pemahaman responden terhadap leksikon yang diacu dari: (1) nama-nama hewan dan ikan yang hidup di danau dan alirannya; (2) nama-nama burung, hewan, dan padi di lingkungan danau; (3) nama-nama benda mati yang ditemukan di dalam dan lingkungan danau;

(4) nama alat penangkap ikan tradisional dan penggemukan ikan, dan (5) kebertahanan bahasa Gayo yang terkait dengan kelestarian lingkungan Danau Lut Tawar. Dari hasil yang ditemukan dikatakan bahwa penutur bahasa Gayo, baik pria maupun wanita, masih mengenal, mengakrabi, mendengar serta menggunakan leksikon nonima kedanauan. Hal ini disebabkan pengetahuan mereka tentang lingkungan danau dan peralatan penangkapan ikan tradisional. Penelitian Sukharani juga mengungkap pemahaman keberadaan leksikon nomina bahasa Gayo dan lingkungan ragawi Danau

21

(2)

Lut Tawar, perangkat leksikon, nomina, verba, dan adjektiva dan dinamika lingkungan budaya kedanauan, kebertahanan, dan pergeseran leksikon Gayo di lingkungan Danau Lut Tawar. Data dianalisis dengan menggunakan teori ekolinguistik, teori pergeseran, dan pemertahanan bahasa.

Hasilnya menunjukkan bahwa pengetahuan lokal dan kearifan ekologi masyarakat telah banyak hilang, terutama pada nama-nama biodata laut dan istilah teknologi tradisional perikanan. Hal tersebut disebabkan berbagai faktor misalnya cara pandang masyarakat yang berlebihan terhadap merebaknya ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang diajarkan pada pendidikan formal modern dan tidak adanya pewarisan pengetahuan lokal dan kearifan ekologi dari generasi tua ke generasi selanjutnya. Hal tersebut mengakibatkan erosi pengetahuan lokal dan kearifan ekologi, dan akhirnya terjadinya berbagai bencana ekologi. Pemahaman nomina guyub bahasa Gayo dan dinamika lingkungan ragawi Lut Tawar mempengaruhi kebertahanan dan pergeseran leksikon nomina.

Terdapat perbedaan kajian antara Sukharani dan peneliti ini, yakni masyarakat tetap yakin bahwa walaupun terjadi perkembangan dan teknologi yang semakin modern, tetapi masyarakat tetap berusaha untuk memanfaatkan lingkungan alam untuk pengetahuan kearifan lokal, sedangkan peneliti melihat pengetahuan dan kekayaan leksikon yang berhubungan dengan pengobatan tradisional, proses pengolahan dan nijo

‘ doa pengobatan’ untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit yang diderita

masyarakat. Di samping itu, penelitian ini berusaha untuk menggambarkan ideologi

di balik penggunaan bahasa dalam pengobatan tradisional.

(3)

Baru (2012) dengan penelitiannya berjudul “Khazanah Leksikon Alami Guyub Tutur Karoon: Kajian Ekoleksikal”. Dalam penelitiannya digambarkan tentang pengetahuan dan pemahaman khazanah leksikon. Di samping itu, penelitiannya mengkaji faktor yang memengaruhi dinamika perkembangan leksikon alami.

Pengetahuan leksikon dan manfaat para responden generasi muda terhadap jenis tumbuhan liar pada umumnya sangat baik. Pengetahuan leksikon dari kedua generasi terhadap jenis tumbuhan dan tanaman yang dibudidayakan sangat baik karena berkisar antara 88% sampai dengan 100%. Di samping itu, hampir sebagian besar para responden mengenal dan mengakrabi jenis burung, ikan, ataupun hewan yang berada di lingkungan. Selain pengetahuan, ada juga faktor yang memengaruhi perkembangan leksikon, yaitu faktor yang kebertahanan dan faktor penyusutan. Kedua faktor ini sangat berkaitan erat dengan sikap dan keadaan lingkungan alami guyub tutur Koroon.

Persamaan antara penelitian Baru (2012) dan penelitian ini adalah sama-sama membicarakan tentang lingkungan dengan menggunakan teori ekolinguistik, sedangkan perbedaannya adalah penelitian Baru membicarakan tentang pengetahuan leksikon lingkungan alami yakni jenis hewan dan tumbuhan, sedangkan penelitian ini lebih berfokus pada ekoleksikon nijo yang ditemukan sebagai proses penyembuhan penyakit. Perbedaan lainnya adalah peneliti mengkaji tentang ekoleksikon nijo yang akan digunakan dalam proses pengobatan dengan menggunakan ramuan tradisional.

Mbete dkk. (2013) dengan penelitian berjudul “Khazanah Verbal Sebagai

Representasi Pengetahuan Lokal, Fungsi Pemeliharaan, dan Pelestarian Lingkungan

dalam Bahasa Waijewa dan Bahasa Kodi, Sumba Barat Daya”. Dari hasil penelitian

(4)

tersebut diperoleh kajian pemaknaan dan khazanah verbal berwujud perangkat leksikon dalam teks bahasa Waijewa dan bahasa Kodi sarat dan kaya makna serta fungsi- fungsi, antara lain: fungsi sosiologis, fungsi biologis, dan ideologis guyup tutur kedua bahasa tersebut. Sebagai bahasa lingkungan di lingkungan sosio-ekologis yang kaya makna dan representasi keanekaragaman hayati perlu dibudidayakan.

Kajian Mbete dkk tersebut menunjukkan persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukakan ini. Persamaannya keduanya berfokus pada lingkungan, yakni khazanah verbal berupa leksikon lingkungan dalam pemeliharaan dan pelestarian bahasa. Perbedaannya, adalah Mbete dkk menganalisis tentang leksikon persawahan dan perladangan dan teks bahasa Kodi yang kaya dan sarat makna, sedangkan peneliti mengkaji tentang ekoleksikon nijo pengobatan tradisional jenis flora dan fauna yang digunakan guyub tutur Lio Flores dalam proses penyembuhan penyakit serta pemeliharaan dan pemanfaatannya. Pada pengobatan terdapat berbagai leksikon peramuan berdasarkan bentuk dan kategori serta nijo ‘doa pengobatan’ dalam proses penyembuhan yang bervariasi.

Hadirman (2013) dengan penelitiannya berjudul Mengkreasi Produk Kajian

Ekolinguistik dan Eko-Botani Menuju ke Arah Penggalian Pengobatan Tradisional

dalam Naskah Kuno pada Masyarakat Etnik Muna. Kreasi produk kajian ekolinguistik

dan ekobotani sebagai langkah awal menuju ke pemahaman naskah-naskah kuno

untuk turut serta mendorong berbagai kajian atas naskah-naskah kuno yang dapat

memberikan kontribusi yang bermakna terhadap kajian linguistik terapan, naskah-

naskah kuno itu sendiri dan pengetahuan keilmuan masyarakat dalam konteks kekinian.

(5)

Berdasarkan temuan di lapangan, hasil penelitiannya berupa identifikasi nama-nama tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan, cara penggunaannya, dan fungsinya dalam dunia klinis pada masyarakat etnik Muna.

Kajian Hardiman dan penelitian yang dilakukan ini memiliki persamaan, yakni sama-sama membicarakan tentang pengobatan tradisional. Perbedaannya adalah Hardiman membicarakan tentang penggalian pengobatan tradisional dalam naskah kuno pada masyarakat etnik Muna, sedangkan peneliti membicarakan tentang ekoleksikon nijo yang berhubungan dengan pengobatan tradisional yang dilakukan guyub tutur Lio Flores dalam kehidupan sehari-hari. Kajian yang dilakukan bertujuan untuk menganalisis bahasa dari bentuk dan struktur unit-unit linguistik pada pengobatan secara tradisional.

Subiyanto (2013) dengan tulisannya berjudul “Ekolinguistik: Model Analisis dan Penerapannya”. Kebaruan dari kerangka teoretis ekolinguistik terletak pada penggunaan konsep praksis sosial sebagai lingkungan bahasa, yang mengacu pada tiga dimensi, yakni dimensi ideologis, dimensi sosiologis, dan dimensi biologis. Dalam kajiannya dijelaskan kerangka teoretis ekolinguistik dialektikal, model analisis, dan penerapannya dalam menganalisis teks. Model kerangka teoretis ini dapat dijadikan dasar dalam menganalisis berbagai teks, baik teks yang terkait dengan masalah lingkungan maupun teks umum lainnya, secara holistik.

Persamaan antara pandangan Subiyanto dan peneliti adalah sama-sama membicarakan tentang teori ekolinguistik dan model ekoliguistik menurut Bang &

Door yang juga digunakan dalam penelitian ini. Perbedaannya, Subyanto

(6)

membicarakan tentang analisis dalam berbagai teks lingkungan dan teks umum, sedangkan peneliti mengkaji tentang ekoleksikon nijo dalam kaitan dengan pengobatan tradisional berdasarkan leksikalisasi, tekstualisasi, gramatikalisasi, kulturalisasi, dan ideologi pemanfaatan bahasa pengobatan tradisional.

Nuzwaty (2014) dengan penelitiannya berjudul “Keterkaitan Metafora dengan Lingkungan Alam pada Komunitas Bahasa Aceh di Desa Trumon Aceh Selatan: Kajian Ekolinguistik”. Dari hasil penelitiannya ditemukan hal-hal sebagai berikut: (1) secara linguistik metafora yang dipergunakan masyarakat tutur terbentuk dari kelas kata yang bervariasi dan membentuk frasa yang bervariasi pula; (2) metafora yang digunakan diklasifikasi berdasarkan kesepakatan masyarakat tutur secara konvensional; dan (3) Interdependensi antara flora-fauna dan benda ataupun manusia sangat bertalian dengan kondisi dan perilaku sebagai ranah target melalui proses pemetaan silang dan berlokasi pada mental dan kognisi anggota masyarakat tutur yang kemudian direalisasikan dalam komunikasi verbal tutur. Perbedaannya Nuzwaty membicarakan tentang metafora masyarakat tutur secara konvensional berdasarkan pemetaan silang lokasi, sedangkan peneliti mengkaji tentang ekoleksikon nijo dalam hubungan dengan pengobatan tradisional dan pada guyub tutur Lio Flores.

Farida (2014) dengan penelitian berjudul Khazanah Ekoleksikal, Sikap, dan

Pergeseran Bahasa Melayu Serdang: Kajian Ekolinguistik.. Berdasarkan hasil

penelitiannya ditemukan (1) bentuk dan kategori leksikal, yakni (a) leksikal dasar

berkategori nomina, (b) leksikal dasar berkategori verba, dan (c) leksikal dasar

berkategori adjektiva. Secara semantik bentuk leksikal dibedakan atas yang bernyawa

(7)

nonhuman dan tidak bernyawa nonhuman. Sementara itu, makna dibedakan atas makna leksikal, makna referensial eksternal, makna budaya, dan makna filosofis.

Di samping itu, perubahan lingkungan penutur pada mulanya kaya akan leksikal flora dan fauna sesuai dengan ekoregion pada masa itu, banyaknya hutan lebat tempat flora dan fauna, seiring dengan waktu saat ini tidak ditemukan lagi hutan lebat tempat flora dan fauna itu bermukim. Korelasi pengetahuan dan sikap penutur muda dan tua sangat signifikan. Selain itu, dalam sikap dan pergeseran bahasa terdapat tiga kategori sikap positif, yakni bangga, setia, dan sadar terhadap BMS tidak lagi dimiliki oleh penutur muda, tetapi sebaliknya memiliki sikap negatif. Penutur usia muda tidak lagi menggunakannya dan beralih menggunakan bahasa BI karena domisili BI, kebutuhan untuk mecari pekerjaan. Hanya penutur usia tua yang masih setia menggunakan BMS, sehingga hal ini menjadi pemicu pergeseran ke BI.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan dapat dilihat persamaan dan perbedaannya dengan penelitian ini. Persamaannya adalah sama-sama membicarakan masalah tentang lingkungan alam yang dibutuhkan manusia dan teori ekolinguistik.

Perbedaannya, Farida mengkaji bentuk dan pergeseran leksikal bahasa Melayu pada masyarakat usia muda, sedangkan penelitian yang dilakukan ini, yakni tentang leksikalisasi, gramatikalisasi, kulturalisasi, tektualisasi, dan idelogi pemanfaatan bahasa di balik ekoleksikon nijo yang berkaitan dengan pengobatan tradisional.

Sarmi (2015), dengan penelitiannya berjudul “Khazanah Leksikon

Lingkungan Alam dalam Dinamika Guyub Tutur Bahasa Using: Kajian

Ekolinguistik”. Berdasarkan hasil penelitiannya ditemukan (1) keberagaman leksikon

(8)

lingkungan alam bahasa Using meliputi: (a) bentuk-bentuk lingual leksikon lingkungan alam; (b) keberagaman leksikon berdasarkan kategori; (c) keragaman cara penamaan dan relasi makna; (2) dinamika pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam antargenerasi; (3) faktor-faktor penyebab tingkat pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam meliputi faktor kebahasaan dan faktor penutur. Teori yang digunakan untuk membedah kajiannya adalah teori ekoliguistik, teori perubahan bahasa, teori morfologi, dan teori semantik.

Berdasarkan kajian yang dilakukan Sarmi (2015) tersebut terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini yakni sama-sama membicarakan tentang lingkungan alam, keberagaman leksikon, dan dinamika dengan menggunakan kajian ekolinguistik. Perbedaannya, Sarmi hanya menganalisis lingkungan alam flora dan fauna yang bersifat umum, sedangkan peneliti lebih terfokus membicarakan tentang lingkungan alam sebagai sumber ramuan obat tradisional dan dikaji berdasarkan tridimensi. Selain itu, bentuk dan struktur satuan lingual, ideologi pengobatan, dan penamaan yang tentunya memiliki ciri tersendiri sesuai dengan guyub tutur Lio-Flores.

2.2 Konsep

Konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian tentang ekoleksikon nijo

pada guyub tutur Lio Flores secara rinci akan dibahas di bawah ini.

(9)

2.2.1 Ekoleksikon

Konsep “ekoleksikon” merujuk pada kekayaan kata yang dipetakan berdasarkan lingkungannya. Kekayaan kata yang dimaksud adalah ekoleksikon nijo yang berkaitan dengan doa pengobatan disertai ramuan secara tradisional dari proses pengindraan pada lingkungan guyub tutur Lio-Flores. Kekayaan bahasa tercermin dalam leksikon yang dimaknai oleh pemiliknya, dipakai dan digunakan oleh pemilik bahasa pada lingkungannya.

Selanjutnya, untuk pemahaman lebih jelas harus dilihat juga konsep

“leksikon” menurut Kridalaksana (2008:142), yakni (1) Komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; (2) Kekayaan kata yang dimiliki oleh seorang pembicara, penulis, atau suatu bahasa;

kosakata; perbendaharaan kata; dan (3) daftar kata yang disusun seperti kamus, tetapi dengan penjelasan yang singkat dan praktis. Leksikon dapat pula dikategorikan menjadi dua bentuk, yakni leksikon aktif (active vocabulary), kekayaan kata yang biasa dipakai oleh seseorang, dan leksikon pasif (passive vocabulary), kekayaan kata yang dipahami seseorang tetapi tidak pernah atau jarang dipakainya.

Berdasarkan dua kategori leksikon tersebut dapat dikatakan bahwa guyub tutur

Lio Flores pun memiliki kategori tersebut terutama berhubungan kekayaan leksikon

pengobatan tradisional. Leksikon aktif, yakni kekayaan kata yang dipakai dan

dipahami guyub tutur Lio Flores tentang leksikon pengobatan tradisional yang sangat

kaya. Leksikon-leksikon tersebut masih digunakan dalam pengobatan secara

(10)

tradisional dan menjadi tradisi dari warisan para leluhur serta dipercaya. Masyarakat tetap mengetahui, memahami leksikon tersebut karena selalu digunakan dalam proses pengobatan penyakit. Selanjutnya, leksikon pasif yakni kekayaan kata yang hanya digunakan oleh orang tua dan para dukun karena tidak dibudayakan atau diceritakan pada generasi muda. Generasi muda hanya dapat memahami apabila dijelaskan oleh generasi tua karena jarang digunakan. Jenis ramuan obat tersebut juga langka sehingga generasi muda tidak mengetahui apalagi mengenalnya. Salah satu contoh jenis ramuan yang tidak diketahui namanya, terutama flora jenis daun-daunan disebut dengan istilah umum pada guyub tutur Lio Flores yakni wunu beta ’kumpulan daun-daunan’ (sumber data para dukun).

Segala sesuatu yang berhubungan dengan leksikon terkait erat dengan

benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang dihadapi, terikat dalam keadaannya di

dalam ruang dan waktu, tetapi dengan kata-kata yang melambangkan konsep-

konsepnya terbebaslah sekaliannya dari waktu dan ruang, yaitu mendapat kedinamisan

dalam pikiran ataupun dalam perbuatan kita (Alisjahbana, 1977:4). Berdasarkan

pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa kedinamisan konsep-konsep

melambangkan kata-kata itu dalam pikiran, tanggapan dan perbuatan manusia dapat

menciptakan konsep-konsep baru, yang pada hakikatnya tidak ada benda atau

peristiwanya selain dalam pikiran atau tanggapan manusia. Hal tersebut di atas

menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan dalam pikiran seseorang melambangkan

kata-kata dalam pikiran sesuai dengan konsep yang telah disepakati bersama.

(11)

2.2.2 Nijo

Nijo merupakan doa pengobatan secara tradisional yang disertai ramuan yang

berkhasiat yang obat dilakukan orang tertentu untuk penyembuhan penyakit. Nijo dapat dilakukan bagi orang yang memiliki kekuatan, ilham atau kharisma khusus yang disebut ata bhisa ‘ dukun’. Nijo diperoleh dari warisan leluhur yang diturunkan pada orang-orang tertentu, atau melalui mimpi dari para leluhur atau pemberian ilham khusus. Nijo memiliki kekuatan sendiri yang tidak diperoleh melalui proses belajar.

Nijo yang dilakukan oleh orang tertentu melalui proses belajar tidak akan bertahan

lama. Nijo dalam pengobatan tradisional tentunya berhubungan dengan leksikon jenis

flora dan fauna, baik yang dipelihara maupun secara liar. Ramuan adalah bahan-bahan

untuk membuat sesuatu (kayu-kayuan untuk rumah, daun-daunan untuk obat), hasil

meramu. Pengobatan adalah proses, cara, dan juga perbuatan mengobati, sedangkan

tradisional yakni obat yang diramu dari berbagai macam akar, kulit pohon, batang,

bunga, buah, dan daun untuk berbagai macam penyakit (obat kampung). Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa ramuan pengobatan tradisional adalah media

pengobatan yang menggunakan tanaman dengan kandungan bahan-bahan alamiah

sebagai bahan bakunya. Metode ini sangat erat kaitannya dengan tradisi nenek

moyang (para leluhur) manusia pada zaman dahulu, ketika proses pengobatan masih

dilakukan secara primitif dengan menggunakan berbagai jenis tanaman yang diyakini

mempunyai khasiat obat. Oleh karena itu, ramuan ini disebut dengan ramuan

tradisional atau obat tradisional. Berbagai jenis tanaman yang berkhasiat obat

(12)

sebenarnya banyak yang dapat diperoleh di sekitar kita atau pada lingkungan (Agromedia, 2008:1).

Obat tradisional berupa ramuan dari flora dan fauna tertentu yang dengan mudah didapat di sekitar pekarangan rumah. Ramuan itu umumnya tidak mengandung resiko yang membahayakan pasien dan mudah dibuat oleh siapa saja, bahkan dalam keadaan mendadak. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang semakin pesat dan canggih dewasa ini ternyata tidak menggeser peranan obat tradisional begitu saja, tetapi justru hidup berdampingan dan saling melengkapi (Latif, 2009:1).

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa pengetahuan tentang nijo dalam kaitan dengan penggunaan ramuan tradisional harus tetap dilakukan. Hal

ini juga dimaksudkan untuk membina masyarakat secara umum dan juga generasi muda untuk belajar mengetahui, mengenal, serta memahami leksikon-leksikon yang berhubungan dengan ramuan tradisional. Perhatian perlu diarahkan pada leksikon- leksikon yang mulai perlahan-lahan berubah atau memudar yang hanya dikenal dan diketahui oleh generasi tua. Untuk itu keberadaannya perlu dilestarikan kembali dengan mengenal, mempelajari, memahami leksikon serta manfaat dari ramuan tradisional.

Inventarisasi dan dokumen dari pengobatan tradisional dalam masyarakat

pedesaan tersebut dilakukan karena adanya pengaruh perkembangan dan kemajuan

teknologi kedokteran dan kesehatan modern sehingga timbul kecenderungan

masyarakat pedesaan meninggalkan cara pengobatan tradisional yang telah

membudaya. Padahal, pengobatan tradisional ini masih efektif menyembuhkan

(13)

berbagai penyakit pada kondisi tertentu sesuai dengan masyarakat pendukungnya.

Dengan demikian, pengaruh kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan tidak mampu menggeser dan menghilangkan nilai pengobatan tradisional (Depdikbud, 2006:3).

Pandangan yang telah disampaikan tersebut mengingatkan masyarakat akan pentingnya pengobatan secara tradisional yang merupakan warisan dari para leluhur yang memiliki berbagai khasiat. Hal ini harus dipertahankan dengan cara mengenal leksikon-leksikon flora dan fauna yang dijadikan sebagai ramuan tradisional serta dipahami manfaat yang terkandung di dalamnya.

Tidak dapat dipastikan sejak kapan ramuan tradisional digunakan untuk pengobatan karena tidak ada tulisan yang jelas menyebutkan waktunya. Namun, dari informasi yang berkembang disebutkan bahwa pengobatan tradisional telah dilakukan oleh nenek moyang sejak zaman dahulu dan diwariskan secara turun temurun kepada anak cucunya. Artinya, pengetahuan ramuan diterima dari angkatan sebelumnya dan dipergunakan sesuai dengan pengalaman dan pembuktian. Pewarisan pengetahuan pengobatan tradisional tersebut ada yang secara sadar dan apa pula yang secara tidak sadar.

2.2.3 Kajian Ekolinguistik

Sebelum dijelaskan secara terperinci tentang ekolinguistik, terlebih dahulu

diperkenalkan tentang ekologi. Kata ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos,

(14)

berarti rumah atau tempat untuk hidup. Secara harfiah, ekologi adalah pengkajian organisme di rumah. Ekologi didefinisikan sebagai pengkajian hubungan organisme- organisme atau kelompok-kelompok organisme terhadap lingkungannya. Ekologi memperhatikan terutama biologi golongan-golongan organisme, dan dengan proses- proses fungsional di daratan, di lautan, dan di perairan adalah tetap berhubungan dengan upaya mutakhir untuk mendefinisikan ekologi sebagai pengkajian struktur dan fungsi alam, telah dipahami bahwa manusia merupakan bagian dari alam (Odum, 1966:3).

Ekolinguistik merupakan kajian interdisipliner antara ekologi dan linguistik.

Ekologi adalah studi tentang hubungan timbal balik yang bersifat fungsional. Dua parameter yang hendak dihubungkan adalah bahasa dan lingkungan/ekologi, tergantung pada perspektif yang digunakan, baik ekologi bahasa maupun bahasa ekologi. Kombinasi keduanya menghasilkan kajian ekolinguistik. Ekologi bahasa mempelajari dukungan pelbagai sistem bahasa yang diperlukan bagi kelangsungan makhluk hidup, seperti halnya dengan faktor-faktor yang memengaruhi kediaman (tempat) bahasa-bahasa dewasa ini.

Ekologi merupakan ilmu yang mengkaji hubungan antara makhluk hidup

dan lingkungannya. Ekolinguistik merupakan hubungan antara bahasa dan

lingkungannya. Lingkungan bahasa dalam ekolinguistik meliputi lingkungan ragawi

dan sosial (Sapir dalam Fill, 2001: 14). Lingkungan ragawi menyangkut geografi yang

terdiri atas: topografi suatu Negara (pesisir, lembah, daratan, dataran tinggi, gunung),

iklim, dan sintesitas curah hujan, dasar ekonomis kehidupan manusia yang terdiri atas

(15)

fauna, flora, dan sumber-sumber mineral. Lingkungan sosial terdiri atas berbagai kekuatan masyarakat yang membentuk pikiran dan kehidupan setiap individu, di antaranya, agama, etika, bentuk organisasi, politik, dan seni.

Ekologi merupakan ilmu yang mengkaji hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya (Soermarwoto, 2004: 22). Ekologi bahasa merupakan lingkungan kebahasaan dan juga merupakan lingkungan alam dan lingkungan “buatan” manusia dan lingkungan masyarakat. Di dalam lingkungan itu pasti terjadi interaksi, saling memengaruhi antara bahasa-bahasa tersebut dalam kehidupan bermasyarakat (Mbete, 2012). Ekologi bahasa dapat didefinisikan sebagai kajian yang mempelajari interaksi antara bahasa dan lingkungannya. Haugen (dalam Fill dan Muhlhausler, 2001: 57) menyebut komponen-komponen utama dalam ekolinguistik, yang pertama adalah aspek psikologis yakni hubungan antara bahasa lain yang terdapat dalam pikiran penutur bilingual atau multilingual. Kedua, adalah aspek sosiologis, yakni hubungan lingkungan dengan masyarakat yang berfungsi sebagai media komunikasi. Ketiga, aspek ideologi, yakni bahasa hidup dalam pikiran penuturnya, dan akan berfungsi bila penuturnya saling berhubungan atau berkomunikasi satu sama lain, seperti interaksi antara lingkungan sosial dan lingkungan alamiah. Meskipun bahasa merupakan alat atau instrumen komunikasi, bahasa tersebut tidak dapat digunakan semena-mena dalam meningkatkan efisiensi komunikasi.

Faktor lingkungan tercermin dalam bahasa. Penggunaan kosakata atau

leksikon juga mencerminkan lingkungan fisik dan juga lingkungan sosial dari

(16)

penuturnya. Oleh karena itu, bila tipografi berbeda maka berbeda pula kosakatanya (Sapir dalam Fill dan Muhlhauser, 2001; 14).

2.2.4 Ideologi Pengobatan

Ideologi merupakan cara berpikir seseorang atau kelompok dalam suatu komunitas tertentu. Hal ini juga terjadi dalam pengobatan tradisional yang diyakini masyarakat pemiliknya terkandung ideologi. Ideologi yang dimaksud adalah sistem berpikir, sistem kepercayaan, praktik-praktik simbolik yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik. Ideologi secara mendasar berhubungan dengan proses pembenaran hubungan kekuasaan yang tidak simetris dengan proses pembenaran nominasi (Thompson, 2003: 17). Selain itu, ideologi menyebar pada seluruh praktik kehidupan, pada tindakan kecil dan besar, pada pikiran awam dan ilmiah, pada percakapan tentang cuaca dan iklim politik hari ini pada semua sela-sela kecil kehidupan manusia. Ideologi adalah segala sesuatu yang tertanam dalam diri individu sepanjang hidupnya; history turn into nature, produk sejarah yang seolah-olah menjelma sebagai sesuatu yang alamiah. Sejak dari buaian hingga kuburan manusia hidup dengan ideologi. Dari ujung kaki hingga ujung rambut, ideologi menjadi bagian dari mekanisme pengaturan diri, pengelolaan tubuh dan jiwa. Kepercayaan yang tertanam tanpa disadari itulah ideologi dalam pengertian (Althusser, 2004: xxii).

Selain itu, dikatakan pula bahwa ideologi adalah sistem gagasan dan pelbagai

(17)

representasi yang mendominasi benak manusia atau kelompok manusia (Althusser, 2004: 35).

Berdasarkan pandangan Althusser tersebut di atas dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang telah tertanam dalam diri masyarakat tentang suatu hal tentunya memiliki ideologinya masing-masing. Hal tersebut akan terlihat pada ideologi yang berhubungan dengan pengobatan secara tradisional khususnya pada guyub tutur Lio- Flores. Setiap orang atau kelompok tentunya mempunyai ideologi, baik kelompok sosial maupun perorangan (personal), dalam hal ini, salah satu ideologi yang berhubungan dengan pengobatan tentunya seseorang berharap dengan berkeyakinan agar menjadi sehat atau sembuh dari penyakit yang diderita baik yang menggunakan nijo doa dan pengobatan secara tradisional.

2.2.5 Lingkungan, Bahasa, Budaya, dan Masyarakat

Lingkungan yang dibangun manusia sesuai dengan kebutuhan manusia

dinamakan kebudayaan. Dilihat dari sisi lingkungan maka kebudayaan dapat

didefinisikan sebagai keseluruhan usaha untuk mengubah lingkungan alam menjadi

lingkungan manusia (man made environment). Kebudayaanlah yang mengubah

lingkungan, apalagi kebudayaan modern dengan teknlogi yang bergantung pada

sumber daya lingkungan. Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) sebagai

garda penjaga lingkungan di Indonesia selalu mengasumsikan bahwa dengan teknologi

kerusakan lingkungan dapat dihindari. Teknologi dapat merehabilitasi lingkungan

yang rusak, baik di daratan maupun lingkungan laut. Manusia memang tidak terluput

(18)

dari kebutuhan biologis, namun sekaligus tidak seluruhnya terikat pada kebutuhan biologis saja. Lingkungan hidup manusia bukanlah diberikan oleh alam, melainkan harus dibangun dan dikembangkan sendiri oleh manusia dalam kebudayaan. Dengan demikian, kebutuhan manusia adalah sesuatu yang berkembang bersama dan di dalam lingkungan (Ginting, 2012:4)

Manusia adalah bagian yang tak terpisahkan, bagian integral yang terkait erat, dan tidak berada di luar, atau atas alam. Itu berarti hidup dan kehidupan tidak dipahami dalam kerangka paradigma mekanistis yang menerima adanya dualisme yang terpisahkan antara bagian-bagian alam (Keraf, 2014: 19). Selain itu, dapat dikatakan bahwa manusia hidup berada di luar dan di atas alam semesta. Sebagai penghuni, manusia memperoleh kehidupan dari alam semesta yang sama, bersama dan sebagaimana makhluk hidup lainnya. Sambil bersamaan saling menunjang dan memungkinkan masing-masing organisme hidup dapat berkembang dan bertahan hidup melalui proses timbal balik menyerap energi dan materi sambil bersama mengeluarkan sisa-sisa proses metabolisme untuk diserap makhluk hidup lainnya. Di situlah letaknya keluhuran dan kehidupan yang harus dihormati, dijaga, dan dipelihara.

Hal ini sekaligus menegaskan bahwa pada tempat pertama dan terutama manusia

adalah makhluk ekologis, makhluk yang hanya bisa hidup dalam jaringan kehidupan

dan interaksi dengan seluruh tatanan ekologis lainnya. Tanpa interaksi ekologis dalam

tatanan ekologis itu, manusia akan musnah dan kehilangan jati dirinya sebagai

organisme hidup (Keraf, 2014:119).

(19)

2.3 Landasan Teori

Teori yang dijadikan acuan dalam penelitian tentang ekoleksikon nijo pada guyub tutur Lio Flores adalah teori ekolinguistik ditunjang dengan teori linguistik kebudayaan. Kedua teori tersebut akan dibahas masing-masing berikut ini.

2.3.1 Ekolinguistik

Bidang kajian yang disebut ekolinguistik pertama kali diperkenalkan oleh Einar Haugen dalam tulisannya yang bertajuk Ecology of Language (1972:325).

Haugen lebih memilih istilah ekologi bahasa (ecology of language) dari istilah lainnya yang bertalian dengan kajian ini. Pemilihan istilah tersebut karena cakupan yang luas di dalamnya, para pakar bahasa dapat bekerja sama dengan pelbagai jenis ilmu sosial lainnya dalam memahami interaksi antarbahasa (Haugan dalam Fill & Mühlhäusler, 2001:57). Menurut Haugen “language ecology may be defined as the study of interactions between any given language and its environment”. Ekologi bahasa

tersebut didefinisikan sebagai studi tentang interaksi atau hubungan timbal balik antara

bahasa tertentu dengan lingkungannya. Haugen menegaskan bahwa bahasa berada

dalam pikiran penggunanya dan berfungsi apabila digunakan oleh penutur untuk

berkomunkasi atau berinteraksi dengan sesamanya dan lingkungan, yaitu lingkungan

alam dan lingkungan sosial. Haugen mengatakan pula bahwa perubahan atau

pergeseran suatu bahasa dipengaruhi oleh perubahan budaya pada lingkungan tempat

suatu bahasa itu hidup. Suatu lingkungan memiliki pengaruh terhadap bahasa yang ada

(20)

di lingkungannya terutama di bidang leksikal. Begitu pula perubahan yang terjadi pada lingkungan suatu bahasa akan memberi pengaruh, bahkan perubahan terhadap bahasa tersebut. Dalam hubungan ini, masyarakat bahasa menyesuaikan diri pula dengan lingkungannya.

Ekologi adalah studi tentang hubungan timbal balik yang bersifat fungsional.

Dua parameter yang hendak dihubungkan adalah bahasa dan lingkungan/ekologi. Hal ini tergantung pada perspektif yang digunakan, baik ekologi bahasa maupun bahasa ekologi. Kombinasi keduanya menghasilkan kajian ekolinguistik. Ekologi bahasa mempelajari dukungan pelbagai sistem bahasa yang diperlukan bagi kelangsungan makhluk hidup, seperti halnya dengan faktor-faktor yang memengaruhi kediaman (tempat) bahasa-bahasa dewasa ini.

Pakar ekolinguistik, Haugen (1972:326), menggambarkan lingkungan alam sebuah bahasa adalah masyarakat pengguna bahasa itu, dan bahasa sesungguhnya hanya ada dalam otak manusia penuturnya yang hanya berfungsi menghubungkan penutur dengan sesamanya, dan dengan alam sekitar, yaitu lingkungan sosial dan lingkungan alam. Makna lingkungan yang dimaksud mencakup manusia, pikiran seseorang yang merujuk pada dunia atau wilayah tempat bahasa itu ada dan digunakan.

Sebelum dijelaskan secara terperinci tentang ekolinguistik, ada baiknya

terlebih dahulu diketahui apa ekologi itu. Ekologi memperhatikan terutama biologi

golongan-golongan organisme dan dengan proses-proses fungsional di daratan, di

lautan, dan di perairan adalah lebih tetap berhubungan dengan upaya mutakhir untuk

(21)

mendefinisikan ekologi sebagai pengkajian struktur dan fungsi alam, telah dipahami bahwa manusia merupakan bagian dari alam (Odum, 1966:3).

Derni (2008:29) menyatakan bahwa bahasa merupakan salah satu bagian dari lingkungan biosfer tempat tinggal dan hidup maka sudah semestinya bahasa juga dispekulasikan seturut dengan lingkungan tempatnya berada. Selain itu, dikatakan bahwa bahasa ketika itu memasuki pelbagai aspek kehidupan manusia, semestinya pelbagai disiplin ilmu yang terkait dengan beragam aspek dalam kehidupan manusia bisa melibatkan kajian linguistik pula. Dengan demikian, penelitian ini dapat mengkaji relasi bahasa dengan lingkungan setempat bahasa tersebut dipraktikkan ataupun digunakan.

Bang dan Door (1996: 10) menyatakan bahwa teori linguistik merupakan keterkaitan antara ekologi yang merefleksikan manusia dan permasalahan- permasalahan dalam fenomena bahasa. Teori linguistik juga merupakan teori ekologi, yakni sebuah pendekatan ekologi yang menyelidiki objek penelitian dalam hubungan dengan lingkungan sebagai sebuah penyelidikan relasional (Bang dan Door, 1996: 3).

Bunsdgraard dan Steffensen menjelaskan bahwa ekolinguistik adalah studi tentang interelasi dimensi biologis, sosiologis, dan ideologis bahasa (dalam Linda dan Bundsgraad (ed), 2000:11). Gambar 2.1 diperlihatkan interrelasi antara ketiga dimensi tersebut: biologis, sosiologis, dan ideologis bahasa.

Ideo-logics socio-logics

Situation : Topos

M

S S

S O

(22)

Environment

Bio-logics

Gambar. 2.1 Hubungan Interrelasi Keterangan :

S1 : Pembuat Teks S2 : Konsumen Teks S3 : Subjek O : Objek yang dirujuk

Topos : Ruang, tempat dan waktu

: Dialog Berdasarkan Gambar 2.1 di atas dapat dijelaskan bahwa S1 adalah pembuat teks, yakni penutur atau penulis, S2 adalah konsumen / penikmat teks, yaitu mitra tutur atau pembaca, S3 adalah subjek atau kategori anonim yang merupakan konstituen sosiokultural, dan O adalah objek yang dirujuk dalam komunikasi. Dialog dari keempat konstituen, yang dinyatakan dengan tanda „↔‟, terjadi dalam TOPOS (ruang, tempat, dan waktu), dengan latar belakang tiga dimensi praksis sosial, yakni dimensi ideologis, sosiologis, dan biologis. Ketiga dimensi praksis sosial ini merupakan ekologi atau lingkungan dari bahasa.

Gambar tersebut menunjukkan pula bahwa sebuah dialog sekurang-kurangnya melibatkan tiga orang atau subjek. Dalam konteks ini, walaupun hanya dua orang yang terlibat dalam sebuah komunikasi, selalu ada pihak ketiga anonim yang ikut terlibat di dalamnya, seperti yang dikemukakan oleh Door (1998), yang dikutip dan diterjemahkan oleh Steffensen (2007:24), berikut

There is always an anonymous third party present when we use language. The

anonymous third expresses the cultural dan social order that has pre-organized

the language use to a certain degree. This means that the child learning a

language is forced to consider the anonymous third. Often we do not reflect on

these matters, because it is so tempting to believe that our inner speech in a

(23)

conversation with ourselves and no-one else. We are tempted to believe that we are in a ‘free’ conversation. But even the so-called monological situation contains a number of subjects (Steffensen, 2007:24).

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa ketika bahasa digunakan selalu ada pihak ketiga anonim yang hadir. Pihak ketiga tersebut menyatakan perintah sosial budaya yang sebelumnya mengatur penggunaan bahasa kita. Dengan kata lain, bentuk bahasa yang digunakan dipengaruhi oleh konstituen sosial budaya, dan hal ini sering tidak disadari.

Bahkan, ketika kita sedang berkomunikasi dalam situasi monolog pun, kita tidak terlepas dari sejumlah subjek atau pihak ketiga yang hadir dalam komunikasi. Pihak ketiga tersebut dapat berupa orang-orang atau hal-hal yang ikut membentuk perilaku berbahasa kita.

Model dialog di atas merupakan dasar dalam kajian linguistik dialektal.

Sebuah teks harus dipahami dalam situasi dialogis, yang meliputi dimensi ideologis, sosiologis, dan biologis. Di samping itu, harus diingat pula bahwa untuk memahami sebuah teks secara holistis, dilihat sebagai produk dari situasi dialogis yang melibatkan empat konstituen, yakni penutur, mitra tutur, objek yang diiacu, dan pihak ketiga yang anonim.

Ketiga dimensi menurut Bang & Door di atas saling berhubungan satu dengan

yang lain. Dimensi ideologis terkait dengan mental individu atau mental kolektif

(masyarakat), kognitif, ideologis, dan psikis yang melekat pada guyub tutur. Dimensi

sosiologis terkait dengan cara manusia mengatur serta menata satu sama lain,

mengorganisasikan dan mengkomunikasikan interaksi dengan sesama sehingga

(24)

muncul rasa kebersamaan, saling mengasihi, saling membutuhkan satu sama lain, dan pada akhirnya muncul rasa penghargaan antarsesama. Dimensi biologis berhubungan dengan dimensi yang berkenaan dengan keberadaan kita secara biologis bersama dengan spesies lain, yang identik dengan adanya keberagaman baik hewan maupun tumhuhan (flora dan fauna), secara berimbang dalam sebuh ekosistem yang secara verbal terekam dalam leksikon bahasa (BL: bahasa Lio) sehingga entitas-entitas itu dikenal kemudian dipahami. Fenomena bahasa berjalan secara berkesinambungan dan saling terkait. Bahasa merupakan objek dari ketiga dimensi tersebut (Lindo dan Bundsgraad, (ed), 2000: 11).

Pemahaman secara teoretis, mendalam, dan faktual tentang lingkungan sangat penting dan mendasar. Di lingkungan itulah bahasa-bahasa hadir, digunakan dan hidup.

Dimensi ruang yang mencakupi lingkungan kesajagatan (makrokosmos, jagat raya, buana agung) dan lingkungan khusus (mikrokosmos, jagat kecil, buana alit) perlu dipahami secara mendalam karena lingkungan itulah ruang (spasi) bagi segala sesuatu bisa hadir, berada, berelasi, berinteraksi secara harmonis. Termasuk di dalamnya lingkungan hidup buatan, buil environment (lingkungan manusia dengan budaya, masyarakat dan bahasa) yang merupakan bagian dari lingkungan alamiah.

Parameter keberagaman atau kebhinekaan (diversity) yang ada di lingkungan

atau realitas lingkungan pula dan merupakan isi lingkungan (environment). Isi

lingkungan itu mencakupi segalanya, baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat

mata yang hidup (biotik) maupun yang tidak hidup (abiotik).

(25)

Lingkungan yang memiliki keterikatan dengan manusia menyediakan berbagai macam hal yang dibutuhkan oleh manusia. Keterikatan ini menyebabkan manusia menyadari betapa pentingnya keharmonisan hubungan manusia dengan lingkungannya. Manusia telah dianugerahi dengan kemampuan yang berbeda dari makhluk hidup lainnya untuk memelihara apa yang telah ada di lingkungannya.

Manusia perlu mengontrol dan melestarikan alam sekitarnya dan sebaiknya tidak hanya dilihat dari segi kegunaan dan keindahan semata, tetapi juga dari segi keseimbangan.

Alam yang seimbang akan menjaga dan melindungi keberlangsungan makhluk yang berada di dalamnya. Sebaliknya, ketimpangan yang terjadi akibat perusakan alam tidak hanya menghancurkan alam, tetapi juga makhluk yang bernaung di dalamnya, termasuk manusia. Dalam mendekatkan diri dengan lingkungan agar lebih memantapkan hubungan dengan lingkungannya, manusia mulai mempelajari alam beserta seluk-beluknya. Sudah bukan hal yang baru lagi dipahami bahwa untuk menjaga peradaban peran lingkungan sangat dibutuhkan, terlebih hubungan dengan organisme-organisme yang ada di lingkungan karena berpengaruh langsung dengan kehidupan manusia. Manusia merupakan bagian dari alam. Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme hidup dan lingkungannya adalah ekologi.

Lingkungan terbagi atas organisme-organisme hidup dan lingkungan tidak

hidupnya (abiotik) berhubungan erat tak terpisahkan dan saling memengaruhi satu

sama lain. Satuan yang mencakup semua organisme (yakni “komunitas”) dalam satu

daerah yang saling memengaruhi dengan lingkungan fisiknya, sehingga arus energi

mengarah ke struktur makanan, keanekaragaman biotik dan daur bahan yang jelas

(26)

(Odum, 1996:10). Selain hubungan timbal balik antara organisme hidup dan lingkungannya, juga terdapat sistem antara semua organisme dan lingkungan fisik yang disebut sebagai ekosistem.

Ekologi berkaitan dengan berbagai ilmu pengetahuan yang relevan dengan kehidupan (peradaban) manusia. Ekologi juga mempelajari hidup dalam rumah tangganya ilmu yang mempelajari seluruh pola hubungan timbal balik antara makhluk

hidup sesamanya dan dengan komponen di sekitarnya. Sebab, manusia merupakan spesies lain (makhluk hidup) dalam kehidupan biosfer secara keseluruhan (Irwan, 2014: 8). Lingkungan suatu bahasa memiliki pengaruh terhadap bahasa yang ada di lingkungan tersebut terutama di bidang leksikal. Begitu pula perubahan yang terjadi pada lingkungan suatu bahasa akan memberi pengaruh, bahkan perubahan terhadap bahasa tersebut. Dalam hubungan ini, masyarakat bahasa menyesuaikan diri pula dengan lingkungan.

Berpengaruhnya lingkungan terhadap keberadaan suatu bahasa ialah karena adanya interaksi, interrelasi, dan interdependensi masyarakat yang tinggal di lingkungan tersebut dengan lingkungannya sehingga memungkinkan adanya pengaruh dari lingkungan terhadap bahasa yang dipergunakan sehari-hari oleh masyarakat tersebut, termasuk pengetahuan dan pemahaman mereka tentang segala sesuatu yang ada dan hidup di lingkungan itu. Pengetahuan dan pengalaman itu terekam dalam bahasa lokal ataupun bahasa ibu mereka (lihat Mbete, 2013: 51).

Dalam kaitannya dengan hal itu, Mühlhäusler (2001) mengatakan bahwa

ekologi adalah studi timbal balik entitas yang satu dengan yang lainnya dan yang

(27)

bersifat fungsional. Dua parameter yang dihubungkan adalah bahasa dan lingkungan.

Fokusnya tergantung pada perspektif yang digunakan, baik pada lingkungan bahasa maupun bahasa lingkungan. Kombinasi dari keduanya menghasilkan kajian ekolinguistik. Ekologi bahasa didefinisikan sebagai studi tentang sistem pendukung yang diperlukan oleh bahasa-bahasa untuk menjaga keberadaannya seperti adanya pengaruh dari berbagai faktor yang terdapat pada lingkungan terhadap habitat dari banyak bahasa. Faktor-faktor lingkungan suatu bahasa memiliki pengaruh terhadap keberadaan suatu bahasa di lingkungan tertentu. Oleh karena itu, kajian ekolinguistik atau ekologi bahasa ditunjukkan oleh adanya pengaruh dari lingkungan terhadap kebertahanan suatu bahasa di lingkungan tersebut. Alam dan masyarakat memiliki keterhubungan yang sangat erat yang tidak terbedakan (lihat Cassirer, 1987: 168).

Hal tersebut dimulai dari keyakinan manusia pada adanya kekuatan magis dalam kata sampai pada pemahaman manusia akan fungsi semantis dan simbolis kata.

Untuk itu, pada penelitian ini ditelaah perangkat leksikon dan istilah-istilah yang dituangkan dalam wujud kata-kata ataupun frasa pada leksikon tentang jenis tanaman/

tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai ramuan tradisional agar dapat dipahami keberlangsungan hubungan antara manusia khususnya dan lingkungan pada guyub tutur Lio Flores.

Edward Sapir (dalam Fill dan Muhlhausler, Ed., 2001: 14) menyatakan: “it

is the vocabulary of a language that most clearly reflects the physical and social

environment of its speakers. The complete vocabulary of a language may indeed

be looked upon as a complex inventory of all the ideas, interests, and occupations

that take up the attention of the community, and were such a complete thesaurus

of the language of a given tribal at our disposal, we right to a large extent infer

(28)

the character of the physical environment and the characteristics of the culture of the people making use of it.”

Pengetahuan penduduk asli tentang leksikon dan istilah-istilah yang terdapat di lingkungannya telah tertanam dan terawat pada masyarakat dari generasi ke generasi.

Adanya istilah-istilah khusus untuk jenis- jenis spesies tertentu yang diketahui oleh penduduk asli dan tidak diketahui oleh pihak dari luar menunjukkan bahwa penduduk yang tinggal di tempat terpencil sekalipun telah memiliki pengetahuan akan lingkungannya. Pengetahuan dan pengalaman akan lingkungan yang ternyata telah dimiliki oleh masyarakat yang telah dipandang sebagai masyarakat “primitif” oleh

“masyarakat modern” ini.

Keahlian dalam pemanfaatan akan sumber daya alam dengan tanpa merusak yang telah dibuktikan dengan keseimbangan alam selama berabad-abad di lingkungan masyarakat asli pun telah menunjukkan bahwa mereka telah memiliki bahkan mengembangkan teknologi asli yang berselaras dengan alam, tetapi mampu untuk menunjang kehidupan masyarakat tersebut, baik dari segi kesejahteraan sosial maupun ekonomi (lihat Florus dkk., 1994) dengan menyatakan bahwa sistem yang dilakukan oleh penduduk setempat telah menyalahi alam.

Segala sesuatu yang beragam di suatu lingkungan tertentu senantiasa saling

berinteraksi, interrelasi, dan interdependensi. Manusia tidak hanya meramu jejaring

interaksi, interrelasi, dan interdependensi dengan sesama makhluk manusia. Parameter

ekolingistik secara khusus keberadaan dan kehadiran bahasa-bahasa memang yang

harus hadir dengan dan bersama manusia, selalu dan juga sangat saling tergantung,

(29)

berinteraksi, dan berinterrelasi dengan segala sesuatu di lingkungannya menjadikan ekolinguistik sebagai life science, ilmu pengetahuan tentang hidup dan kehidupan.

Dalam kaitan dengan penggunaan bahasa pengobatan tradisional secara khusus pada nijo ‘doa pengobatan’ secara tradisional untuk menggali bahasa-bahasa atau teks yang

selama ini kurang digunakan oleh guyub tutur Lio-Flores. Cara yang dilakukan yakni mengkaji kembali dan membuat masyarakat merasa memiliki bahasa-bahasa tersebut agar tidak punah. Dikatakan demikian karena bahasa merupakan sumber daya budaya dan kekayaan serta identitas masyarakat setempat. Benda-benda dan peristiwa- peristiwa yang dihadapi terikat dalam keadaanya terutama di dalam ruang dan waktu, tetapi dengan kata-kata yang melambangkan konsep-konsepnya, terbataslah sekaliannya dari waktu dan ruang, yaitu mendapat kedinamisan dalam pikiran ataupun dalam perbuatan guyub tutur agar tetap melestarikan. Salah satu teori terkait yakni ekolinguistik.

2.3.2 Linguistik Kebudayaan

Linguistik kebudayaan merupakan bidang ilmu interdisipliner yang

mempelajari hubungan antara bahasa dan kebudayaan di dalam suatu masyarakat

(bdk.Tobin, 1990:4). Linguistik kebudayaan memandang bahasa dan kebudayaan

seperti dua sisi mata uang, yang satu tidak mungkin ada tanpa yang lainnya, atau

setidaknya, memerikan yang satu dengan mengabaikan yang lainnya merupakan

pekerjaan yang sudah tentu tidak tuntas. Menurut Koentjaraningrat (1983:182), karena

bahasa dari perspektif antropologi merupakan bagian dari kebudayaan Sebaliknya,

(30)

kebudayaan pada umumnya diwariskan secara lebih saksama melalui bahasa; artinya bahasa merupakan wahana utama bagi pewarisan, sekaligus pengembangan kebudayaan. Menurut Duranti (1997:27), mendeskripsikan suatu budaya sama halnya dengan mendeskripsikan bahasa.

Hubungan bahasa dan kebudayaan dikemukakan oleh White dan Dillingham (1973:31): “Language is a part of culture; the science of linguistics is subdivision of culturology.” Pengertian ini tidak hanya menyiratkan hubungan antara bahasa dan

budaya, tetapi juga antara ilmu bahasa dan ilmu budaya. Dengan demikian, dapat dikatakan, baik secara empiris maupun secara teoretis, bahasa dan budaya memiliki hubungan ketercakupan; bahasa merupakan bagian dari kebudayaan.

Berdasarkan pendapat yang disampaikan oleh White dan Dillingham,

Alisjahbana (1979:11) mengemukakan bahwa sebagai penjelmaan konsep-konsep

suatu kebudayaan, tak kurang pentingnya aturan pembentukan dan penyusunan kata

dan kalimat dalam sesuatu bahasa untuk menentukan ciri-ciri pikiran dalam kebuda

yaan bahasa itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tak ada yang lebih jelas

dan teliti mencerminkan kebudayaan suatu bangsa daripada bahasanya. Lebih lanjut,

dikatakannya bahwa setiap bahasa secara sempurna menjelmakan kebudayaan

masyarakat penuturnya. Di samping itu, dapat dikatakan bahwa tiap-tiap bahasa itu

sempurna menjelmakan kebudayaannya. Ibrahim (1994:45) mengatakan: “....tidak ada

keraguan bahwa terdapat korelasi antara bentuk dan isi bahasa dengan kepercayaan,

nilai, dan kebutuhan saat ini dalam kebudayaan para penuturnya.”

(31)

Setiap ujaran yang dihasilkan sesunguhnya menggambarkan budaya penuturnya. Sapir-Whorf dalam hipotesis mereka mengatakan bahwa bahasa tidak hanya menentukan budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran penuturnya.

Hipotesis Sapir-Whorf tersebut mengandung pengertian bahwa jika suatu bangsa berbeda bahasa dengan bangsa lain, maka berbeda pula jalan pikirannya (lihat juga Black, 1969:432—437; Hudson, 1985:103; Anwar, 1990:85-89; Malmkjaer dan Anderson, 1991:305—307; Ibrahim, 1994:45).

Pandangan mengenai hubungan antara bahasa dan kebudayaan dikemukakan pula oleh Wierzbicka (1992:1) yang secara tegas mengatakan bahwa berpikir tidak dapat dialihkan dari satu bahasa ke bahasa lainnya karena berpikir sangat bergantung pada bahasa yang digunakan untuk memformulasikannya. Dengan demikian, berarti bahwa bahasa merupakan sarana berpikir sekaligus menjembatani pikiran dan kebudayaan. Hal itu pulalah yang memberikan pengertian yang saksama bahwa bahasa senantiasa digunakan dalam konteks sosial budaya. Pola pikir dan perilaku budaya suatu kelompok etnik tidak terlepas dari bahasa (ragam/ langgam, diksi, tekanan, dan lain-lain) yang digunakan oleh seseorang atau sekelompok orang. Wierzbicka (1991:2—4) juga mengatakan bahwa perbedaan budaya berimplikasi pada perbedaan cara berinteraksi. Linguistik kebudayaan memperlakukan bahasa sebagai fenomena yang kebermaknaannya hanya bisa dipahami secara menyeluruh bila dikaitkan dengan penuturnya.

Berdasarkan gambaran tentang linguistik kebudayaan tersebut dapat

dikatakan bahwa terdapat hubungan dalam pengobatan dan ritual untuk mendapatkan

(32)

ramuan, proses pengobatan dan ritual pemulihan. Para informan dalam melakukan ritual menggunakan bahasa sesuai dengan tradisi atau budaya masyarakat setempat.

Hal ini sudah menjadi kepercayaan masyarakat secara turun-temurun.

2.4 Model Penelitian

Gambar 2.2 berikut merupakan jalan atau alur berpikir dari penelitian yang dilakukan. Hal ini terlihat dari apa yang diteliti sampai hasil yang

diperoleh di lapangan tergambar pada model penelitian ini.

Ekoleksikon Nijo

Khasanah Ekoleksikon nijo

GTLF

Bentuk dan Struktur Satuan Lingual

Ekoleksikon Nijo GTLF

Dinamika Pengetahuan, Pemahaman,

Penggunaan, Nijo Antargenerasi

Pengamatan

Wawancara Terstruktur dan Tidak Terstruktur Leksikalisasi,

Gramatikalisasi, Tekstualisasi, dan

Kulturalisasi

Linguistik Kebudayaan

Ekolinguistik Sapir, Bang & Door, Haugen

Ideologi Teks Nijo

Data

(33)

Gambar 2.2 Model Penelitian Keterangan :

Saling berhubungan dengan Arah analisis struktur Terikat Teks

Berdasarkan Gambar 2.2 tentang model penelitian dapat dijelaskan bahwa topik mengenai ekoleksikon nijo pada guyub tutur Lio-Flores dalam pengobatan tradisional, memunculkan empat rumusan masalah, yakni (1) ekoleksikon nijo pada guyub tutur Lio Flores; (2) bentuk dan struktur unit-unit satuan lingual ekoleksikon nijo dalam kaitan dengan pengobatan tradisional ; (3) dinamika pengetahuan, pemahaman, dan penggunaan ramuan pengobatan tradisional antargenerasi; dan (4) ideologi pemanfaatan bahasa di balik penggunaan ramuan pengobatan tradisional.

Keempat masalah tersebut dianalisis dengan menggunakan teori ekolinguistik

berdasarkan model Bang & Door, dan teori linguistik kebudayaan. Berdasarkan teori

tersebut maka untuk mendapatkan data di lapangan digunakan teknik observasi,

kuisioner, dan wawancara .

(34)

Gambar

Gambar 2.2 berikut   merupakan jalan atau alur berpikir dari penelitian  yang  dilakukan

Referensi

Dokumen terkait

Von mises stress dan defleksi maksimum yang terjadi pada rancangan rangka D Tegangan maksimum yang dialami pada rangka optimasi D meningkat menjadi 52,75 MPa dengan

(6) Global positioning system (GPS), digunakan untuk menentukan posisi (7) Kompas, digunakan untuk menentukan arah. Dalam pengamatan komunitas mangrove, diperlukan: perahu

Spektrum UV dari senyawa calkon 4a-4t pada umumnya memperlihatkan adanya 2 pola serapan maksimum untuk turunan asetofenon yang tidak mengandung gugus hidroksi yaitu pada 234-240

Berdasarkan uraian di atas yang menarik peneliti untuk melakukan penelitian ini adalah sejauh mana interaksi iklan khususnya adalah iklan kopi NESCAFE 3 in 1 versi anak band

Dengan menghubungkan peralatan listrik (alat pemanas, lampu dll) ke sistem ini dan memprogramnya untuk waktu ON dan OFF maka semua dapat teratasi dari bentuk kelalaian pada

Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi penurunan pernikahan usia muda di tahun 2015 dengan perbandingan tahun 2011, tingginya pernikahan usia muda sebagian besar

Bidang adalah Bidang-Bidang pada Dinas Daerah Kabupaten Buleleng yang dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas melalui

pelanggan; (7)Fungsi pengiriman; (8)Fungsi dalam penyerahan barang atas dasar surat pesanan penjualan yang diterima dari fungsi penjualan; (9)Fungsi penagihan; (10)Fungsi