• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA MEMPERTAHANKAN KEEFEKTIFAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN UNTUK MENGENDALIKAN HAMA TANAMAN PANGAN. Yusmani Prayogo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UPAYA MEMPERTAHANKAN KEEFEKTIFAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN UNTUK MENGENDALIKAN HAMA TANAMAN PANGAN. Yusmani Prayogo"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA MEMPERTAHANKAN KEEFEKTIFAN

CENDAWAN ENTOMOPATOGEN UNTUK

MENGENDALIKAN HAMA TANAMAN PANGAN

Yusmani Prayogo

Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Jalan Raya Kendalpayak, Kotak Pos 66 Malang 65101

ABSTRAK

Cendawan entomopatogen merupakan salah satu jenis bioinsektisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama tanaman. Beberapa jenis cendawan entomopatogen yang sudah diketahui efektif mengendalikan hama penting tanaman adalah Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae, Nomuraea rileyi, Paecilomyces fumosoroseus,

Aspergillus parasiticus, dan Verticillium lecanii. Namun pemanfaatan berbagai jenis cendawan tersebut sering

menghadapi kendala, antara lain kurangnya pengetahuan petani tentang jenis hama serta manfaat dan upaya mempertahankan viabilitas dan keefektifan cendawan dalam pengendalian hama, termasukcara perbanyakan, penyiapan dan aplikasinya. Pada tanaman pangan, keefektifan cendawan biasanya rendah karena tanaman pangan bersifat semusim. Upaya untuk meningkatkan keefektifan cendawan dapat dilakukan dengan: 1) melakukan identifikasi jenis hama utama yang akan dikendalikan, 2) mengaplikasikan cendawan entomopatogen pada sore hari dengan konsentrasi konidia minimal 107/ml, 3) mengulang aplikasi sebanyak tiga kali, dan 4) menambahkan

bahan perekat dan bahan pembawa pada suspensi konidia sebelum diaplikasikan pada hama sasaran.

Kata kunci: Cendawan entomopatogen, pengendalian hama, tanaman pangan,

ABSTRACT

Efforts in maintaining the effectiveness of entomopathogenic fungi to control insect pests on food crops

Entomopathogenic fungi are one of the most common bioinsecticides that can be used to control insect pests on crops. Species of fungi known to be effective as biopesticide are Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae,

Nomuraea rileyi, Paecilomyces fumosoroseus, Aspergillus parasiticus, and Verticillium lecanii. However, there

are several constraints in using entomopathogenic fungi as biopesticide, namely low experience of farmers in identifying main pest in the field and also effort to sustain viability and effectiveness of entomopathogenic fungi as a control agent, including mass production and application methods. In food crops, effectiveness of the entomopathogenic fungi is commonly low. Increasing the effectiveness of entomopathogenic fungi can be conducted by: 1) identifying the targeted pest in the field before application, 2) applying the entomopathogenic fungi in the afternoon at least 107/ml, 3) applying the bioinsecticide three times, and 4) adding sticker and carrier or mild

surfactant to the conidia suspension before it is applied to control the insect pests.

Keywords: Entomopathogenic fungi, pest control, food crops

B

ioinsektisida adalah mikroorganisme

yang dapat digunakan sebagai agen

pengendalian serangga hama.

Peman-faatan bioinsektisida sebagai agen hayati

pada pengendalian hama merupakan salah

satu komponen pengendalian hama

terpadu (PHT). Terdapat enam kelompok

mikroorganisme yang dapat dimanfaatkan

sebagai bioinsektisida, yaitu cendawan,

bakteri, virus, nematoda, protozoa, dan

ricketsia (Santoso 1993; Tanada dan

Kaya 1993). Empat kelompok pertama

merupakan jenis yang sering digunakan

dan mempunyai prospek yang baik untuk

dikembangkan (Kaaya et al. 1996;

Reithinger et al. 1997; Sosa-Gomez dan

Moscardi 1997; Kim et al. 2001; Prayogo

et al. 2004).

Di Indonesia, pemanfaatan agen

hayati khususnya cendawan

entomo-patogen untuk pengendalian hama mulai

berkembang pesat sejak abad ke-19

khususnya untuk mengendalikan hama

pada tanaman perkebunan (Sudarmadji

dan Gunawan 1994; Junianto 2000). Pada

tanaman pangan, pemanfaatan cendawan

entomopatogen untuk pengendalian hama

masih menemui berbagai kendala, antara

lain kondisi lingkungan mikro yang kurang

kondusif bagi perkembangbiakan

mikro-organisme tersebut (Steinkraus dan

Slaymaker 1994; Glare et al. 1995; Lacey

dan Goettel 1995; Oduor et al. 1996). Hal

ini karena tanaman pangan bersifat

semusim, sehingga apabila tanaman

tersebut dipanen kemudian diganti

(2)

dengan jenis tanaman lain maka inokulum

cendawan sebagai sumber infeksi awal di

lapangan sulit untuk bertahan hidup dan

berkembang (Hajek et al. 1990; Farques et

al. 1997; Thomas dan Jenkins 1997). Hal

ini berbeda dengan tanaman perkebunan.

Biasanya tanaman yang dibudidayakan

hanya satu jenis dan bersifat tahunan,

sehingga cendawan entomopatogen yang

diaplikasikan mudah menyesuaikan diri

dan berkembang sesuai dengan kondisi

lingkungan setempat.

Kendala lainnya adalah jika tanaman

yang dibudidayakan beragam bahkan

berganti hampir setiap musim maka jenis

hama yang menyerang juga

berbeda-beda. Jenis hama yang menyerang

tanaman akan menentukan keefektifan

cendawan entomopatogen karena setiap

jenis cendawan entomopatogen

mem-punyai inang yang spesifik, walaupun ada

pula yang mempunyai kisaran inang

cukup luas (Santoso 1993; Suryawan dan

Carner 1993; Prayogo et al. 2002a;

Prayogo 2004). Jenis inang setiap jenis

cendawan entomopatogen biasanya

be-lum dipahami oleh petani.

Keefektifan cendawan

entomo-patogen di lapangan juga ditentukan oleh

stadia inang pada saat cendawan

diapli-kasikan. Biasanya populasi hama di

lapangan sering tumpang tindih, terutama

hama dari ordo Lepidoptera dan

Hemip-tera. Perubahan stadia instar (nimfa)

serangga akan mempengaruhi perilaku

serangga tersebut yang akhirnya akan

menentukan keefektifan cendawan.

Keefektifan cendawan

entomopato-gen juga ditentukan oleh kondisi

ling-kungan, seperti curah hujan dan sinar

matahari khususnya sinar ultra violet

yang dapat merusak konidia cendawan

(Tanada dan Kaya 1993; Wahyunendo

2002; Prayogo 2004; Suharsono dan

Prayogo 2005). Konidia merupakan salah

satu organ infektif (propagule) cendawan

yang menyebabkan infeksi pada

inte-gumen serangga yang diakhiri dengan

kematian. Oleh karena itu, konidia

cen-dawan tersebut perlu dilindungi waktu

diaplikasikan, baik dengan bahan perekat

maupun bahan pembawa sehingga

peng-aruh buruk tersebut dapat dieliminir.

Tulisan ini menyajikan berbagai faktor

yang mempengaruhi keefektifan

cen-dawan entomopatogen dan upaya untuk

meningkatkan keefektifannya dalam

pengendalian hama, terutama pada

tanaman pangan.

JENIS HAMA SASARAN

Salah satu kelemahan petani dalam

pe-ngendalian hama adalah kurangnya

pema-haman tentang jenis hama yang akan

dikendalikan sehingga akan menentukan

keberhasilan usaha pengendalian. Dalam

konsep PHT, identifikasi jenis hama

merupakan salah satu tindakan pertama

yang harus dilakukan petani sebelum

mengambil keputusan tindakan

pengen-dalian (Rauf 1996). Melalui identifikasi

akan diketahui jenis hama sasaran, perilaku

hama, tindakan pengendalian yang

di-perlukan, dan kapan tindakan

pengenda-lian perlu dilakukan.

Dengan mengetahui hama yang

me-nyerang tanaman, secara tidak langsung

dapat diketahui pula jenis cendawan

ento-mopatogen yang sesuai untuk tindakan

pengendalian, karena setiap jenis

cen-dawan entomopatogen mempunyai inang

yang spesifik. Cendawan Metarhizium

anisopliae, misalnya, diketahui dapat

menginfeksi beberapa jenis serangga dari

ordo Coleoptera, Lepidoptera, Homoptera,

Hemiptera, dan Isoptera. (Lee dan Hou

1989; Romero et al. 1997; Luz et al. 1998;

Kanga et al. 2003; Strack 2003). Namun

M. anisopliae paling efektif bila

digu-nakan untuk mengendalikan hama dari

ordo Isoptera (Strack 2003). Hal ini karena

adanya hubungan perilaku antara

serang-ga inang denserang-gan keefektifan cendawan

entomopatogen. Fenomena tersebut

ditunjukkan oleh hasil uji infeksi ulang.

Dari beberapa jenis cendawan

entomo-patogen yang diperoleh dari ulat grayak

Spodoptera litura dan Helicoverpa

armigera, cendawan Nomuraea rileyi

paling efektif mengendalikan S. litura

dengan mortalitas mencapai 100%

(Pra-yogo et al. 2002a; Gambar 1). Cendawan

tersebut dilaporkan merupakan salah satu

agen hayati yang potensial untuk

mengen-dalikan hama dari ordo Lepidoptera,

walau-pun juga mampu menginfeksi serangga

dari ordo lain (Ignofo 1981; Suryawan dan

Carner 1993).

Fakta lain menunjukkan bahwa

cendawan Verticillium lecanii yang

diisolasi dari walang sangit (Leptocoriza

acuta) efektif terhadap hama pengisap

polong kedelai Riptortus linearis

(Pra-yogo 2004) dengan menyebabkan

morta-litas yang cukup tinggi dan biji yang rusak

relatif rendah (Gambar 2). Cendawan V.

lecanii juga dapat mengkolonisasi telur

R. linearis sehingga banyak telur yang

tidak menetas (Gambar 3) (Prayogo 2004;

Prayogo et al. 2004).

Cendawan B. bassiana juga mampu

menginfeksi beberapa jenis serangga

hama, terutama dari ordo Lepidoptera,

Hemiptera, Homoptera, dan Coleoptera

(Varela dan Morales 1996; Hardaningsih

dan Prayogo 2001; Prayogo et al. 2002b).

Namun, cendawan tersebut lebih efektif

mengendalikan hama dari ordo Coleoptera

(Varela dan Morales 1996).

0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7 0 8 0 9 0 100 M. anisopliae N. rileyi P. fumosor oseus B. bassiana V. lecanii Fusarium sp . Penicillium sp . A. parasiticus Mortalitas S. litura (%)

Gambar 1.

Mortalitas ulat grayak (Spodoptera litura) akibat aplikasi beberapa

jenis cendawan entomopatogen (Prayogo et al. 2002a).

(3)

WAKTU APLIKASI

Keefektifan cendawan entomopatogen

dipengaruhi oleh waktu aplikasi. Setelah

diaplikasikan, cendawan entomopatogen

memerlukan kelembapan yang tinggi untuk

tumbuh dan berkembang (Lacey dan

Goettel 1995; Mazet et al. 1996).

Kelem-bapan udara yang tinggi diperlukan

selama proses pembentukan tabung

kecambah (germ tube), sebelum terjadi

penetrasi ke integumen serangga

(Stein-kraus dan Slaymaker 1994; Arthurs dan

Thomas 2001). Kelembapan di atas 90%

selama 6−12 jam setelah inokulasi

dibu-tuhkan cendawan untuk melakukan

pene-trasi ke dalam tubuh serangga (Hoddle

1999; Altre dan Vandenberg 2001a; Cloyd

2003).

Waktu aplikasi perlu diperhatikan

karena cendawan entomopatogen sangat

rentan terhadap sinar matahari khususnya

sinar ultra violet (Altre dan Vandenberg

2001b; Cloyd 2003). Bila terkena sinar

matahari dalam waktu 4 jam, cendawan V.

lecanii akan kehilangan viabilitas sebesar

16% (Suharsono dan Prayogo 2005), dan

bila terkena sinar matahari 8 jam, viabilitas

berkurang hingga di atas 50%. Oleh

karena itu, bila cendawan diaplikasikan

pada musim kemarau perlu dihindarkan dari

sinar matahari langsung dan sebaiknya

aplikasi dilakukan pada saat kelembapan

udara tinggi (sore hari). Keberhasilan

aplikasi cendawan entomopatogen pada

musim hujan belum pernah dilaporkan.

Aplikasi V. lecanii pada sore hari

(setelah pukul 16.00) mampu

menyebab-kan kematian hama pengisap polong

kedelai R. linearis hingga 80%. Makin

tinggi mortalitas serangga, jumlah biji yang

rusak pun makin menurun (Prayogo dan

Tengkano 2004b). Penurunan kerusakan

biji tampak pada jumlah tusukan stilet R.

linearis yang hanya 3 tusukan tiap biji

bila cendawan entomopatogen

diapli-kasikan pada sore hari, dan meningkat

menjadi 4,70−6,30 tusukan tiap biji bila

aplikasi dilakukan pada pagi hingga siang

hari (Gambar 4).

KONSENTRASI APLIKASI

Keberhasilan pengendalian hama dengan

cendawan entomopatogen juga

diten-tukan oleh konsentrasi cendawan yang

diaplikasikan (Hall 1980), yaitu kerapatan

konidia dalam setiap mililiter air. Jumlah

konidia berkaitan dengan banyaknya

biakan cendawan yang dibutuhkan setiap

hektar. Kerapatan konidia yang

dibutuh-kan untuk mengendalidibutuh-kan hama

bergan-tung pada jenis dan populasi hama yang

akan dikendalikan (Tohidin et al. 1993;

Wikardi 1993).

Pada tanaman pangan, kerapatan

konidia yang dibutuhkan lebih tinggi

dibandingkan dengan pada tanaman

perkebunan. Untuk mengendalikan hama

wereng coklat, dibutuhkan kerapatan

konidia cendawan M. anisopliae 10

15

/ml

(Baehaki dan Noviyanti 1993; Tabel 1).

Sementara itu untuk mengendalikan hama

ulat daun kelapa sawit (Darna catenata)

hanya dibutuhkan kerapatan konidia B.

0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7 0 8 0 9 0 0 5 1 0 1 5 2 0 2 5 3 0 3 5 V. lecanii B. bassiana N. rileyi P. fumosor oseus M. anisopliae Kontrol Mortalitas R. linearis (%) Mortalitas Jumlah tusukan

Jumlah tusukan R. linearis pada tiap biji

Gambar 2.

Mortalitas Riptortus linearis dan jumlah tusukan pada biji kedelai

pada aplikasi beberapa jenis cendawan entomopatogen (Prayogo

2004).

Gambar 3.

Telur Riptortus linearis yang terkolonisasi cendawan entomopatogen V.

lecanii (kiri) dan kelompok telur R. linearis yang tidak menetas akibat

terinfeksi V. lecanii (kanan) (Prayogo 2004).

Gambar 4.

Jumlah tusukan R. linearis

pada biji kedelai

ber-dasarkan waktu

apli-kasi cendawan V. lecanii

(Prayogo dan Tengkano

2004b).

123 123 123 123 123 123 123 123 123 12345 12345 12345 12345 12345 12345 12345 12345 12345 12345 12345 12345 12345 12345 0 1 2 3 4 5 6 7 07.00 10.00 13.00 16.00 Jumlah tusukan tiap biji

(4)

bassiana 39,90 x 10

6

/ml untuk mencapai

mortalitas 100% (Daud et al. 1993). Hal ini

karena tanaman pangan bersifat semusim,

sehingga sekali aplikasi cendawan harus

mampu menginfeksi dan mengkolonisasi

serangga hama sasaran. Oleh karena itu,

kerapatan konidia yang dibutuhkan lebih

tinggi.

Konsentrasi cendawan

entomopato-gen harus ditentukan secara tepat untuk

mendapatkan hasil pengendalian yang

optimal. Kerapatan konidia M. anisopliae

yang tepat

untuk mengendalikan ulat

grayak (S. litura)

adalah 10

7

/ml (Prayogo

dan Tengkano 2004a) (Tabel 2).

Untuk

mengendalikan hama walang sangit (L.

acuta) pada tanaman padi dibutuhkan

kerapatan konidia cendawan B. bassiana

10

7

/ml (Tohidin et al. 1993). Kerapatan

konidia B. bassiana 10

7

/ml juga efektif

untuk mengendalikan hama penggerek

buah kopi (Hypothenemus hampei), yang

setara dengan biakan cendawan 1 kg/ha

(Haryanta et al. 1993). Untuk tanaman

pangan, dosis yang diperlukan dua kali

lebih banyak, yaitu 2 kg/ha untuk

mem-peroleh hasil yang optimal.

FREKUENSI APLIKASI

Keefektifan cendawan entomopatogen

dalam pengendalian hama juga

ditentu-kan oleh frekuensi aplikasi. Hal ini karena

konidia yang diaplikasikan pada tahap

awal (yang belum mampu menginfeksi

hama sasaran) perlu digantikan oleh

konidia yang diaplikasikan pada tahap

selanjutnya. Frekuensi aplikasi

dipenga-ruhi oleh kondisi cuaca, seperti curah

Tabel 1. Mortalitas imago wereng

coklat pada beberapa

ke-rapatan konidia

Metar-hizium anisopliae.

Kerapatan konidia Mortalitas wereng

co-M. anisopliae klat pada n MSA (%)

1 2 3

0 9,30 13,30 13,30

105 15,30 27,30 27,30

1010 36,70 54,70 55,30

1015 39,30 61,70 63

MSA = minggu setelah aplikasi. Sumber: Baehaki dan Noviyanti (1993).

Tabel 2. Kematian larva Spodoptera litura instar 2 pada aplikasi beberapa

konsentrasi konidia M. anisopliae.

Konsentrasi Mortalitas S. litura (%) pada n HSA

M. anisopliae 2 4 6 8 1 0 1 2 (ml air) 104 8 35,33 4 2 44,33 47,33 4 8 105 13,67 43,67 50,67 5 4 54,33 5 5 106 14,33 45,67 5 5 6 0 60,67 64,33 107 2 2 5 6 77,33 7 9 82,67 83,33 108 2 3 51 64,33 70,67 7 1 71,67 KK (%) 19,27 14,60 15,42 15,42 17,72 17,07 HSA = hari setelah aplikasi.

Sumber: Prayogo dan Tengkano (2004a).

1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7 0 8 0 9 0 100

1x aplikasi 2x aplikasi 3x aplikasi Mortalitas S. litura (%) 123 123 123 3 HSA 8 HSA 12 HSA

Gambar 5.

Mortalitas Spodoptera litura pada berbagai waktu dan frekuensi aplikasi

cendawan M. anisopliae (Prayogo dan Tengkano 2004a).

hujan, angin, dan sinar matahari. Aplikasi

juga perlu memperhatikan stadia serangga

hama di lapangan yang saling tumpang

tindih (tidak seragam). Perubahan stadia

instar (nimfa) akan mengakibatkan

peru-bahan perilaku serangga yang akhirnya

berpengaruh pada frekuensi aplikasi.

F

rekuensi aplikasi

perlu diketahui

dengan tepat agar populasi hama di bawah

nilai ambang kendali. Aplikasi M.

ani-sopliae tiga kali berturut-turut selama 3

hari lebih efektif mengendalikan S. litura

hingga menyebabkan kematian 86%,

dibandingkan dengan aplikasi satu kali

yang hanya menimbulkan kematian 40%

(Gambar 5; Prayogo dan Tengkano 2004a).

Bahkan untuk mengendalikan ulat jengkal

(E. bhurmitra) pada tanaman teh

diper-lukan aplikasi cendawan B. bassiana atau

P. fumosoroseus hingga empat kali

(Widayat dan Rayati 1993a; 1993b). Di

daerah dengan curah hujan tinggi

di-anjurkan melakukan aplikasi berulang

kali untuk menghindari kegagalan konidia

dalam menginfeksi serangga (Hoddle

1999; Cloyd 2003).

PENAMBAHAN PEREKAT

Keberhasilan konidia cendawan

entomo-patogen menempel pada integumen

(5)

serangga akan menentukan proses infeksi

lebih lanjut yaitu proliferasi dalam organ

yang diakhiri dengan kematian serangga.

Proses infeksi dapat mengalami kegagalan

baik karena faktor internal (viabilitas

cendawan entomopatogen) maupun

faktor eksternal seperti perubahan stadia

instar (nimfa) dan lingkungan (angin, sinar

matahari, dan hujan).

Salah satu upaya untuk menjamin

keberhasilan proses inokulasi adalah

dengan menggunakan bahan perekat

untuk meningkatkan daya rekat konidia

pada integumen serangga (Devi dan

Prasad 1988; Widayat dan Rayati 1993b;

Leland 2001a; 2001b). Dengan cara

demikian, konidia langsung dapat

me-nempel pada integumen serangga serta

melakukan infeksi lebih lanjut.

Penambahan bahan perekat alkil

gliserol ftalat 1 ml/l ke dalam suspensi V.

lecanii sebelum aplikasi mampu

mening-katkan keefektifan cendawan

entomo-patogen hingga 20% dibanding kontrol

(Prayogo dan Tengkano 2004b).

Keefek-tifan cendawan terlihat dari menurunnya

biji yang rusak akibat tusukan stilet hama

pengisap polong R. linearis hingga 43%

(Prayogo dan Tengkano 2004b). Bahan

perekat lainnya, yaitu alkilaril poliglikol

eter juga mampu menekan kerusakan biji

kedelai, dan keefektifan V. lecanii lebih

tinggi dibandingkan dengan penambahan

alkil gliserol ftalat (Gambar 6).

Penambahan perekat ke dalam

sus-pensi cendawan entomopatogen

dianjur-kan dilakudianjur-kan sebelum aplikasi, terutama

untuk mengendalikan hama yang

meng-alami pergantian kulit beberapa kali. Bila

cendawan diaplikasikan saat serangga

berganti kulit maka konidia cendawan

yang diaplikasikan tidak mampu

meng-infeksi integumen serangga karena ikut

terlepas sewaktu serangga mengalami

ganti kulit (Widayat dan Rayati 1993a;

Prayogo dan Tengkano 2002b).

Ulat grayak selama stadia larva

akan mengalami ganti kulit enam kali.

Pergantian kulit yang paling tinggi terjadi

pada larva instar III dan IV yang hampir

mencapai 50% (Gambar 7). Hasil aplikasi

cendawan M. anisopliae pada stadia

instar tersebut menyebabkan mortalitas

lebih rendah yaitu kurang dari 20%

dibandingkan pada instar lainnya.

Sebaliknya instar I, II, V, dan VI mengalami

ganti kulit lebih rendah sehingga aplikasi

cendawan lebih efektif (Prayogo dan

Tengkano 2002b). Hal ini karena selain

ditentukan oleh pergantian kulit, perilaku

serangga juga mempengaruhi keefektifan

cendawan entomopatogen (Widayat dan

Rayati 1993b).

PENAMBAHAN BAHAN

PEMBAWA

Tidak semua konidia cendawan

entomo-patogen yang diaplikasikan berhasil

mencapai sasaran karena mobilitas

se-rangga yang tinggi terutama hama dari

ordo Homoptera dan Hemiptera, cara

aplikasi yang tidak benar, serta adanya

proses ganti kulit pada serangga. Salah

satu upaya untuk mengatasi masalah

tersebut adalah dengan menambahkan

bahan pembawa (carrier) sebagai

ma-kanan cadangan (starter) bagi konidia

sebelum berhasil menginfeksi serangga.

Dengan demikian, konidia yang gagal

menginfeksi serangga masih dapat

bertahan dengan makanan cadangan.

Penambahan bahan pembawa berupa

tetes tebu sebanyak 10 ml/1.000 ml air pada

suspensi konidia cendawan B. bassiana,

V. lecanii, dan P. fumosoroseus mampu

meningkatkan mortalitas hama tungau

merah pada ubi kayu (Gambar 8).

Ke-efektifan cendawan terlihat dari

pening-katan mortalitas tungau merah hingga

mencapai 17%. Bahan pembawa tetes tebu

lebih efektif dibandingkan dengan larutan

gula dan agar-agar, baik pada B. bassiana,

V. lecanii maupun P. fumosoroseus

(Prayogo dan Indiati 2004). Hal ini diduga

karena tetes tebu masih banyak

mengan-dung berbagai unsur nutrisi, terutama gula

dan protein yang sangat diperlukan

cendawan untuk pertumbuhan dan

pembentukan spora (Prayogo dan

Teng-kano 2002a; Mello-Pererira dan daEira

2003; Yuliatin 2004). Sebelum menemukan

hama inang, cendawan entomopatogen

memerlukan lingkungan yang sesuai

seperti tersedianya nutrisi yang cukup

agar viabilitas konidia tetap tinggi dan

konidia tidak mengalami kekeringan

(desiccation) bahkan kematian sebelum

proses infeksi. Viabilitas yang tinggi

123 123 123 123 123 123 123 123 0 1 2 3 4 5 6 7 Alkil gliserol ftalat Alkilaril poliglikol eter Kontrol

Jumlah tusukan R. linearis pada tiap biji

Jenis bahan perekat

Gambar 6.

Kerusakan biji kedelai

pada aplikasi V. lecanii

de-ngan berbagai bahan

perekat (Prayogo dan

Tengkano 2004b).

0 5 1 0 1 5 2 0 2 5 3 0 3 5 4 0 4 5 5 0 Mortalitas S. litura (%) 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0

Instar I Instar II Instar III Instar IV Instar V Instar VI

Ganti kulit (%)

Gambar 7.

Hubungan antara instar Spodoptera litura dengan mortalitas dan ganti

kulit (Prayogo dan Tengkano 2002b).

(6)

DAFTAR PUSTAKA

Altre, J.A. and J.D. Vandenberg. 2001a. Pene-tration of cuticle and proliferation in himolymph by Paecilomyces fumosoroseus isolates that differ in virulence against lepidopteran larvae. J. Invertebr. Pathol. (78): 78−85.

Altre, J.A. and J.D. Vandenberg. 2001b. Factors influencing the infectivity of isolates of

Paecilomyces fumosoroseus against

dia-mondback moth Plutella xylostella. J. Invertebr. Pathol. (78): 31−36.

Arthurs, S. and M.B. Thomas. 2001. Effects of temperature and relative humidity on speculation of Metarhizium anisopliae var.

acridum in mycosed cadavers of Schis-tocerca gregaria. J. Invertebr. Pathol. (78):

59−65.

Baehaki, S.E. dan Noviyanti. 1993. Pengaruh umur biakan Metarhizium anisopliae strain lokal Sukamandi terhadap perkembangan wereng coklat. hlm. 113−124. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Prosiding Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7 0 8 0

B. bassiana V. lecanii P. fumosoroseus

Mortalitas T. bimaculatus (%) 12 12 Larutan gula Tetes tebu Agar-agar

Gambar 8.

Mortalitas hama tungau merah akibat aplikasi cendawan

entomo-patogen dengan berbagai bahan pembawa (Prayogo dan Indiati 2004).

sangat menentukan keefektifan cendawan

entomopatogen (James dan Jaronski 2000;

James 2001; Prayogo dan Tengkano

2002a; Suharsono dan Prayogo 2005).

KESIMPULAN

Keefektifan cendawan entomopatogen

untuk pengendalian hama tanaman

pangan dapat ditingkatkan melalui

berbagai upaya, antara lain: 1)

mengeta-hui jenis hama yang akan dikendalikan, 2)

melakukan aplikasi pada sore hari dengan

dosis aplikasi 1−2 kg biakan cendawan tiap

hektar dengan kerapatan konidia minimal

10

7

/ml, 3) melakukan aplikasi tiga kali

berturut-turut selama 3 hari, dan 4)

menambahkan perekat alkil gliserol ftalat

dan bahan pembawa berupa tetes tebu

pada suspensi konidia sebelum

diapli-kasikan pada hama sasaran.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih

kepada Ketua Kelompok Peneliti Proteksi

Tanaman Balai Penelitian Tanaman

Kacang-kacangan dan Umbi-umbian

(Balitkabi), Dr. Ir. Suharsono, MS., Kepala

Balitkabi Prof. (Riset) Dr. Subandi, Ketua

PEKI Prof. (Riset) Dr. Titis Adisarwanto,

dan Prof. (Riset) Dr. Nasir Saleh atas saran

dan koreksi terhadap naskah ini.

Cloyd, R. 2003. The entomopathogen

Verti-cillium lecanii. Midwest Biological Control

News. University of Illions. http://www. extension.umn.Edu/distribution/horticulture/ DG7373.html [22 April 2005].

Daud, I.D., A. Papulung, dan Mery. 1993. Efektivitas lima konsentrasi suspensi spora

Beauveria bassiana Vuill. terhadap

mor-talitas tiga instar larva Darna catenata Snellen (Lepidoptera: Limacodidae). hlm. 125−134. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Prosiding Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993. Univer-sitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Devi, P.S.V. and Y.G. Prasad. 1988. Com-patibility of soil and atifeedants of plant origin with the entomopathogenic fungus

Nomuraea rileyi. J. Invertebr. Pathol. (68):

91−93.

Farques, J., A. Ouedraogo, M.S. Goettel, and C.J. Lomer. 1997. Effect of temperature, humidi-ty, and inoculation method on susceptibility of Schistocera gregaria to Metarhizium

flavoviridae. Biocontrol Sci. Technol. (7):

345−356.

Glare, T.R., R.J. Townsend, and S.D. Young. 1995. Temperature limitations on field effectiveness of Metarhizium anisopliae against Costelytra zealandica (White) (Coleoptera:Scarabidae) in Canterbury. The New Zealand Plat Protection Society Incor-porated. http://www.hornet.co.nz/publica-tions/nzpps/proceeding/94/94 266.htm [20 December 2003].

Hajek, A.E., R.I. Carruthers, and R.S. Soper. 1990. Temperature and moisture relations of sporulation and germination by

phaga maimaiga (Zygomycetes:

Entomo-phthoraceae), a fungal pathogen of

Lyman-tria dispar (Lepidoptera: Lymantriidae).

Environ. Entomol. (19): 85−90.

Hall, R.A. 1980. Control of aphids by the fungus,

Verticillium lecanii: Effect of spore

con-centration. Entomol. Experiment. App. (27): 1−5.

Hardaningsih, S. dan Y. Prayogo. 2001. Iden-tifikasi dan patogenisitas jamur entomopa-togen untuk mengendalikan hama pengisap polong (Riptortus linearis) dan hama boleng (Cylas formicarius). hlm. 145150. Dalam B. Praswanto, H. Semangun, N. Widijawati,

(7)

D. Rahardjo, A. Prasetyaningsih, dan C. Amarantini (Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional Strategi Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati dalam Era Otonomi Daerah. Yogyakarta, 8−9 Juni 2001. Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Haryanta, D., A. Susilo, dan H. Prasetyono.

1993. Pengaruh dosis dan waktu aplikasi cendawan Beauveria bassiana terhadap efektivitas pengendalian bubuk buah kopi (Hypothenemus hampei). hlm. 249−254.

Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra,

dan Y. Trisetyawati (Ed.). Prosiding Sim-posium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12−

13 Oktober 1993. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Hoddle, M.S. 1999. The biology and manage-ment of silverleaf whitefly Bemisia

argenti-folii Bellows and Perring (Homoptera:

Aleyrodidae) on greenhouse grown ornamen-t a l s . h ornamen-t ornamen-t p : / / w w w. b i o c o n ornamen-t r o l . u c r. e d u / bemisia.html# verticillium [5 April 2005]. Ignofo, C.M. 1981. The fungus Nomuraea rileyi

as a microbial insecticide. In Microbial Con-trol of Pests and Diseases 1970−1980. Aca-demic Press, London. p. 513−538. James, R.R. and S. Jaronski. 2000. Effect of low

viability on infectivity of Beauveria

bassi-ana conidia toward the silverleaf whitefly.

J. Invertebr. Pathol. (76): 227−228. James, R.R. 2001. Effect of exogeneous nutrients

on conidial germination and virulence against the silverlef whitefly for two hyphomycetes. J. Invertebr. Pathol. (77): 99−107. Junianto, Y.D. 2000. Penggunaan Beauveria

bassiana untuk pengendalian hama tanaman

kopi dan kakao. Workshop Nasional Pengen-dalian Hayati OPT Tanaman Perkebunan, Cipayung, 15−17 Februari 2000. Balai Penelitian Kopi dan Kakao, Jember. 15 hlm. Kanga, L.B.B., W.A. Jones, and R.R. James. 2003. Field trials using fungal pathogen,

Metarhi-zium anisopliae (Deuteromycetes:

Hypho-mycetes) to control the ectoparasitic mite

Varroa destructor (Acari: Varroidae) in honey

bee Aphis mellifera (Hymenoptera: Api-didae) colonies. J. Environ. Entomol. (96): 1.091−1.099. http://www.bioone.org/bioone/ r e q u e s t = g e t - a b s t r a c t & i s s n =00220493&volume=0964issue=048& page=1.091.htm [20 December 2003]. Kaaya, G.P., E.N. Mwangi, and E.A. Ouna. 1996.

Prospects for biological control of livestock ticks Rhipicephalus appendiculatus and

Amblyomma variegatum using the

entomo-genous fungi Beauveria bassiana and

Metarhizium anisopliae. J. Invertebr. Pathol.

(67): 15−20.

Kim, J.J., M.H. Lee, C.S. Yoon, H.S. Kim, and J.K. You. 2001. Control of cotton aphid and greenhouse whitefly with a fungal patho-gen. Food & Fertilizer Technology Center, An international information center for farmers in the Asia Pacific Region. http:// www.agnet.org/library/article/eb502.htm [27 March 2004].

Lacey, L.A. and M.S. Goettel. 1995. Current developments in microbial control of insect pests and prospects for the early 21st

cen-tury. Entomophaga (40): 3−27.

Leland, J.E. 2001a. Enviromental-stress tolerant formulations of Metarhizium anisopliae var.

Acridum for control of African Desert

Lo-cust (Schistocerca gregaria). Dissertation. Faculty of Virginia Polytechnic. http:// s c h o l a r. l i b . v t . e d u / t h e s e s / a v a i l a b l e / etd_12052001_115455/unrestrictited/ JlelandDisertation. PDF [21 July 2005]. Leland, J.E. 2001b. Coating Metarhizium

anisopliae var Acridum with water soluble

lignins for enhanced UVB-protection and effects on virulence to Schistocerca

Americana (Drary). Virginia: Department

of Entomology. http://essa.confex.com/esa/ 2001/echprogram/paper3552.htm [21 July 2005].

Lee, P.C. and R. Hou. 1989. Pathogenesis of

Metarhizium anisopliae var. anisopliae in

the smaller brown planthopper, laodelphax striatellus. Chinese J. Entomol. (9): 13−19. http://www.entsoc.org.tw/english/journal/ 9vol/nol/2.htm. [20 December 2003]. Luz, C., M.S. Tigano, I.G. Silva, C.M.T. Cordeiro,

and S.M. Aljanabi. 1998. Selection of

Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae isolates to control Triatoma infestans. Memorias do instituto Oswaldo

Cruz (93): 839−846 [serial online] http:// memorias.ioc.fiocruz.br/936/3556.html. [20 December 2003].

Mazet, I., J.C. Pendland, and D.G. Boucias. 1996. Dependence of Verticillium lecanii (Fungi:Hypomycetes) on high humidity for infection and sporulation using Myzus

persicae (Homoptera:Aphididae) as host.

Environ. Entomol. (15): 380−382. Mello-Pererira, S.R. and A.F. daEira. 2003.

Methodology for production of Metarhizium

anisopliae (Metsch.) Sorokin in submerged

cultivation: biomass sporulation, sugar concentration effect and inoculation cost. http://www.ufsm.br/ccr/revista/resumes/ rv293/eng/rvi293_1001.html [20 April 2005].

Oduor, G.I., G.J. de-Morales, L.P.S. vander Geest, and J.S. Yaninek. 1996. Production and germination of primary conidia of Neozygites

floridana (Zygomycetes: Entomophthorales)

under constant temperatures, humidities, and photoperiods. J. Invertebr. Pathol. (68): 213−222.

Prayogo, Y. dan W. Tengkano. 2002a. Pengaruh media tumbuh terhadap daya berkecambah, sporulasi, dan virulensi Metarhizium

ani-sopliae (Metchnikoff) Sorokin isolat

Ken-dalpayak pada larva Spodoptera litura. Jurnal Ilmiah Sainteks IX(4): 233−241. Prayogo, Y. dan W. Tengkano. 2002b. Pengaruh

umur larva Spodoptera litura terhadap efektivitas Metarhizium anisopliae isolat Kendalpayak. Majalah Ilmiah Biologi Biosfera 3(19): 70−76.

Prayogo, Y., W. Tengkano, dan Suharsono. 2002a. Jamur entomopatogen pada

Spodop-tera litura dan Helicoverpa armigera.

Seminar Hasil Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang, 25−

26 Juni 2002. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Ma-lang. 15 hlm.

Prayogo, Y., W. Tengkano, dan Suharsono. 2002b. Efektivitas jamur Beauveria bassiana isolat Probolinggo untuk mengendalikan hama pengisap polong kacang-kacangan. Seminar Nasional Perkembangan Terkini Pengendalian Hayati di Bidang Pertanian dan Kesehatan. Institut Pertanian Bogor, 5 September 2002. 12 hlm.

Prayogo, Y. dan W. Tengkano. 2004a. Pengaruh konsentrasi dan frekuensi aplikasi

Metar-hizium anisopliae isolat kendalpayak

ter-hadap tingkat kematian Spodoptera litura. Jurnal Ilmiah Sainteks XI(3): 233−243. Universitas Semarang.

Prayogo, Y. dan W. Tengkano. 2004b. Pening-katan keefektifan dan waktu aplikasi yang tepat cendawan Verticillium lecanii untuk mengendalikan hama pengisap polong kedelai Riptortus linearis (Hemiptera: Alydidae). Laporan Tahunan Hasil Penelitian Tahun 2004. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Ma-lang.

Prayogo, Y. 2004. Keefektifan lima jenis cendawan entomopatogen terhadap hama pengisap polong kedelai Riptortus linearis (L.) (Hemiptera: Alydidae) dan dampaknya terhadap predator Oxyopes javanus Thorell (Araneida: Oxyopidae). Tesis. Departemen Hama Penyakit Tanaman, Sekolah Pasca-sarjana, Institut Pertanian Bogor. 51 hlm. Prayogo, Y dan S.W. Indiati. 2004. Pengaruh

bahan perekat dan bahan pembawa pada tiga jenis cendawan entomopatogen untuk mengendalikan hama tungau merah pada ubi kayu. Laporan Tahunan Hasil Penelitian Tahun 2004. (belum diterbitkan)

Prayogo, Y., T. Santoso, dan Widodo. 2004. Ke-efektifan lima jenis cendawan entomopa-togen terhadap telur hama pengisap polong kedelai (Riptortus linearis) (Hemiptera: Alydidae). Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. 11 hlm (belum terbit).

Rauf, A. 1996. Analisis ekosistem dalam pengen-dalian hama terpadu. Pelatihan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Padi dan Palawija Tingkat Nasional, Jatisari, 2−9 Januari 1996. Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Institut Pertanian Bogor.

Reithinger, R., C.R. Davies, H. Cadena, and B. Alexander. 1997. Evaluation of the fungus

Beauveria bassiana as a potential biological

control agent against phlebotomine sand flies in Colombian coffee plantations. J. Invertebr. Pathol. (70): 131−135.

(8)

Romero, M., M. Estrada, R.F. Castaneda, and M. Lujan. 1997. Morphological and patho-genical characterization of Metarhizium

anisopliae (Metsch.) Sorokin. Cane Sugar

15(1): 17−25. http://memorias.ioc.fiocruz. br/936/3556.html. [20 December 2003]. Santoso, T. 1993. Dasar-dasar patologi serangga.

Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra,

dan Y. Trisetyawati (Ed.). Simposium Pato-logi Serangga I. Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. hlm. 1−15.

Sosa-Gomez, D.R. and F. Moscardi. 1997. Laboratory and field studies on the infection of stink bugs Nezara viridula, Piezodorus

guildini, and Euschistus heros (Hemiptera:

Pentatomidae) with Metarhizium anisopliae and Beauveria bassiana in Brazil. J. Inver-tebr. Pathol. (71): 115−120.

Sudarmadji, D. dan S. Gunawan. 1994. Pato-genisitas fungi entomopatogen Beauveria

bassiana terhadap Helopeltis antoni. Balai

Penelitian Kopi dan Kakao, Jember. Menara Perkebunan 62(1): 11 hlm.

Suharsono dan Y. Prayogo. 2005. Pengaruh lama pemaparan pada sinar matahari terhadap viabilitas jamur entomopatogen Verticillium

lecanii. Jurnal Habitat XVI(2): 122−131. Steinkraus, D.C. and P.H. Slaymaker. 1994.

Effect of temperature and humidity on formation, germination, and infectivity of conidia of Neozygites fresenii (Zygomycetes: Neozygitaceae) from Aphis gossypii (Ho-moptera: Aphididae). J. Invertebr. Pathol. (64): 130−137.

Strack, B.H. 2003. Biological control of termites by the fungal entomopathogen Metarhizium

anisopliae. http://www.utoronto.ca/forest/

termite/metani_1.htm [20 December 2003] Suryawan, I.B.G. dan G.R. Carner. 1993. Cendawan patogen dari serangga hama pada tanaman palawija dan sayuran. hlm. 288−

295. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Prosiding Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tanada, Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect Pathol-ogy. Academic Press, Inc., California. Thomas, M.B. and N.E. Jenkins. 1997. Effect

of temperature on growth of Metarhizium

flavoviridae and virulence to the variegated

grasshopper Zonocerus variegates. Mycol. Res. (101): 1.469−1.474.

Tohidin, A.T. Lisrianto, dan B.P. Machdar. 1993. Daya bunuh jamur entomopatogen Beauveria

bassiana (Balsamo) Vuillemin (Moniliales:

Moniliacea) terhadap Leptocoriza acuta Thunberg (Hemiptera: Alydidae) di rumah kaca. hlm. 135−143. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Prosiding Simposium Patologi Se-rangga I. Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Varela, A. and E. Morales. 1996. Characterization

of some Beauveria bassiana isolates and their virulence toward the coffee berry borer

Hypothenemus hampei. J. Invertebr. Pathol.

(67): 147−152.

Wahyunendo, Y.D. 2002. Sporulasi cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.)

Vuill. pada berbagai media alami dan viabilitasnya di bawah pengaruh suhu dan sinar matahari [Skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan.

Widayat, W. dan D.J. Rayati. 1993a. Hasil Penelitian Jamur Entomopatogen Lokal dan Prospek Penggunaannya sebagai Insektisida Hayati. hlm. 61−74 Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993. Univer-sitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Widayat, W. dan D.J. Rayati. 1993b. Pengaruh frekuensi penyemprotan jamur entomo-patogenik terhadap ulat jengkal (Ectropis

bhurmitra) di perkebunan teh. hlm. 91−103.

Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra,

dan Y. Trisetyawati (Ed.). Prosiding Sim-posium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12−

13 Oktober 1993. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Wikardi, E.A. 1993. Teknik perbanyakan

Beauveria bassiana dan aplikasinya di

lapang. hlm. 205−214. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Prosiding Simposium Patologi Se-rangga I. Yogyakarta, 12−13 Oktober 1993. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Yuliatin, E. 2004. Pengaruh berbagai jenis

media alami terhadap pertumbuhan dan perkembangan cendawan entomopatogen

Verticillium lecanii. Laporan Praktek Kerja

Lapangan. Universitas Negeri Malang. 25 hlm.

Gambar

Gambar 1. Mortalitas ulat grayak (Spodoptera litura) akibat aplikasi beberapa jenis cendawan entomopatogen (Prayogo et al
Gambar 2. Mortalitas  Riptortus linearis dan jumlah tusukan pada biji kedelai pada aplikasi beberapa jenis cendawan entomopatogen (Prayogo 2004).
Tabel 2. Kematian larva Spodoptera litura instar 2 pada aplikasi beberapa konsentrasi konidia M
Gambar 6. Kerusakan biji kedelai pada aplikasi V. lecanii  de-ngan berbagai bahan perekat (Prayogo dan Tengkano 2004b)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Seperti siswa mengalami kesulitan ketika menyelesaikan tugas belajar yang diberikan oleh guru ketika di kelas, selain itu hasil dari observasi yang telah dilakukan selama

Dari hasil jawaban tertulis yang ditunjukkan pada gambar 4.26 dan gambar 4.27 sudah melakukan cara yang benar sehingga jawaban tertulis dan hasil wawancara subjek

mendukung siswa dalam melatih kemampuan berpikir kritis. Guru melaksanakan pembelajaran secara terpusat pada soal-soal yang terdapat di buku LKS. Sehingga siswa

Berdasarkan hasil pre-test diperoleh 6 siswa yang mendapatkan skor tinggi yang termasuk prokrastinasi akade mik siswa dan a kan d iberikan perlakuan

Laki-laki sebagai ayah berfungsi sebagai pemimpin bagi putri-putrinya dan seorang saudara laki-laki adalah pemimpin bagi saudara perempuannya. Pemimpin adalah orang yang

7 Hamidiyah Desy Wulandari SMPN 2 Tiris Probolinggo 22. 8 Afrilia Nuril Fatimatuzzahra SMPN

Dengan telah ditetapkannya ide besar tentang yayasan sebagai lembaga wakaf, lembaga pendidikan yang akan dibuka adalah sekolah berasrama ( boarding school ) selama enam

Artinya apa yang ditekankan media merupakan tafsir atas keinginan pembaca kecenderungan Harian Fajar dan Tribun Timur dalam berita headline politik yaitu: dalam hal