• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. BASIS TEOLOGI DALAM GERAKAN EKOLOGI PESANTREN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. BASIS TEOLOGI DALAM GERAKAN EKOLOGI PESANTREN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

V. BASIS TEOLOGI DALAM GERAKAN EKOLOGI PESANTREN

5.1. Basis Teologi Ekologi Dalam Islam

Teologi dalam Islam selama ini dipahami terlalu sempit hanya pada urusan ketuhanan atau hanya berkutat pada relasi manusia dengan Tuhannya. Namun demikian, sesungguhnya, konstruksi teologis tidaklah hanya berkutat pada wilayah tersebut. Teologi dapat diperluas hingga mencakup wilayah lain seperti isu lingkungan yang akan dibahas selanjutnya pada bab ini dan pada bab berikutnya.

Islam merupakan agama yang didalamnya mencakup berbagai macam hal, Bennett (2005) menyatakan bahwa Islam secara inheren didalamnya memiliki seluruh pengetahuan. Jadi, dalam segi apapun baik yang dibicarakan itu masalah etika atau masalah proteksi dan perlindungan lingkungan, ataupun ilmu pengetahuan, jawabannya akan ditemukan dalam Islam.

Seperti banyak dipahami bahwa sesungguhnya Islam merupakan salah satu agama yang sangat komprehensif yang didalamnya mengatur kehidupan seluruh makhluk dimuka bumi ini dan kehadiran Islam melalui Nabi Muhammad SAW merupakan rahmat bagi semesta alam seperti disebutkan dalam Al-Quran:

Sungguh, (apa yang disebutkan) di dalam (Al-Qur‟an) ini, benar-benar menjadi petunjuk (yang lengkap) bagi orang-orang yang menyembah (Allah) ۞ dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam ۞ (Q.S. Al Anbiya: 106-107).

Ayat diatas menjelaskan bahwa, manusia yang direpresentasikan oleh Muhammad SAW serta para pengikutnya memiliki kewajiban yang sebenarnya sangat agung, yaitu kewajiban untuk menjaga alam karena kedudukannya yang merupakan rahmat bagi seluruh makhluk. Kewajiban ini memiliki relevasi dengan kedudukan manusia sebagai khalifah atau sebagai pemimpin di muka bumi yang pada kondisi tertentu sering disalahartikan sebagai penguasa diatas muka bumi atau bahkan menjadi pemiliknya. Padahal, meskipun manusia memiliki kewenangan untuk mengeksploitasi sumberdaya, sebenarnya disisi lain terdapat kewajiban untuk menjaganya.

Secara umum, berbagai problematika lingkungan yang muncul harusnya dilihat dan dikaji akar persoalannya. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Lynn

(2)

50 White yang menjelaskan bahwa akar problematika ekologi berakar pada agama – yang dalam kajiannya adalah agama Kristen. White menjelaskan bahwa karakter agama Kristen yang menjadi fokus kajiannya adalah merupakan agama yang antroposentrik (White, 1974). Dalam Islam, kajian White ini sejalan dengan ungkapan Kaveh L Afrasiabi (2003) sebagai berikut:

“…the criticism begins from the argument that Islam, much like other monotheistic religions, is anthropocentric, and concludes that the pursuit of an ecologically minded theology must necessarily transcend these religion in search of alternative traditions and belief systems…”

Islam dalam konteks ini dikritisi karena mendorong nilai-nilai humanitas serta pentingnya nilai tersebut sebagai titik awal. Manusia diberikan otoritas untuk menguasai alam serta makhluk lain karena kedudukannya sebagai khalifah. Padahal, seharusnya kedudukan sebagai seorang khalifah tersebut menuntut manusia untuk menjadi pemimpin dan bertanggungjawab atas makhluk hidup lainnya baik dari sisi kontinuitas maupun pemanfaatannya. Dalam Al-Quran, kedudukan manusia disebutkan sebagai berikut:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (Q.S. Al Baqarah: 30)

Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan (Q.S. Al Isra : 70)

Posisi manusia tersebut kemudian secara kosmis mengharuskannya mendapatkan tugas untuk menjalankan kepercayaan (amanat) sekaligus juga tanggungjawab. Amanat untuk mengelola alam dengan segenap potensi dan ketersediaan bahan yang diperlukan bagi kehidupan serta tanggungjawab terhadap kehidupan nabati dan hewan. Selain itu alam adalah titipan tuhan yang harus dijaga serta penciptaannya juga tidak sia-sia dan memiliki tujuan (Muhammad, 2007).

(3)

51 Oleh karena itu, hak yang diberikan kepada manusia untuk bertindak dan memanfaatkan alam diatur dalam kerangka etis. Kebebasan yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk mengelola alam dibatasi dan terikat dengan aturan-aturan moral dan etika kemanusiaan seperti keadilan, kemaslahatan, martabat manusia, kesejahteraan dan kerahmatan semesta. Ini yang kemudian mengharuskan manusia menjaga alam, dengan kata lain apabila manusia melakukan tindakan merusak alam, berarti juga merusak bahkan membunuh manusia karena alam tidak hanya untuk saat ini tetapi untuk manusia di masa mendatang (Muhammad, 2007).

Dalam kaitan dengan peranan manusia tersebut, Qardhawi (2002) menjelaskan tiga tujuan dari peran manusia terhadap lingkungan. Peran pertama adalah mengabdi kepada Allah SWT, peran kedua adalah menjadi wakil atau khalifah di atas bumi dan ketiga adalah membangun peradaban di muka bumi. Ketiga tujuan ini erat kaitannya dengan peranan manusia dalam perspektif teologis atau ushuluddin.

Pemahamanan dan penjagaan lingkungan serta tanggungjawab dan amanah menjadi potret dan refleksi iman individual seseorang. Ketika perilaku seseorang adalah bertindak merusak, memanfaatkan alam secara berlebihan dan bertindak semena-mena, hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks teologi dan keimanan yang dimiliki individu tersebut menjadi sangat rapuh. Selain itu, tindakan semacam itu menunjukkan bahwa sosok manusia tersebut menjadi tidak amanah dan berpotensi merusak kehidupan speciesnya dimasa yang akan datang.

Mahmudunnasir (1991) mendeskripsikan kewajiban manusia terhadap alam dengan menjelaskan bahwa Allah telah mengaruniai manusia dengan kekuasaan atas makhluk-makhluk-Nya yang tidak terhingga banyaknya. Dia telah diberi kekuasaan segala sesuatu. Dia telah diberi kekuatan untuk menundukkan mereka dan membuat mereka melayani tujuan-tujuannya. Manusia menikmati hak untuk menggunakan makhluk-makhluk itu sesuka mereka. Akan tetapi, Allah tidak memberikan hak itu tanpa batas. Dikatakan bahwa semua makhluk mempunyai hak tertentu atas manusia. Manusia tidak boleh memubazirkan mereka ataupun menyakiti atau membahayakan mereka tanpa guna. Apabila mereka menggunakan makhluk-makhluk itu harus sesedikit mungkin. Manusia harus menggunakan

(4)

52 cara-cara yang terbaik dan paling sedikit akibat buruknya dalam memanfaatkan mereka.

Selain pandangan tentang kedudukan dan tanggungjawab manusia secara kosmis diatas, konstruksi ekologi teologi Islam juga memperlihatkan bagaimana setiap ciptaan Tuhan memiliki nilai yang sejatinya merupakan bukti dari kekuasaan Tuhan. Oleh karena itu, seluruh ritual Islam berkaitan dengan fenomena alam dan secara umum umat Islam memandang alam dunia sebagai wahyu Tuhan yang pertama sebelum kitab suci diturunkan (Nasr, 2003).

Selain itu, kewajiban manusia untuk melakukan konservasi lingkungan erat kaitannya dengan pandangan mendudukkan Islam tidak hanya sebagai agama an sich, tetapi menjadi panduan hidup (way of life). Agama ini mewujud tidak hanya dalam bentuk kelembagaan, tetapi juga mewujud dalam bentuk nilai. Dien (2003) merangkum lima hal yang menjadi dasar kewajiban manusia yaitu, pertama, lingkungan juga merupakan ciptaan Tuhan sehingga memiliki kedudukan yang sama dengan manusia. Kedua, proses penciptaan bumi serta sumberdaya alam lainnya merupakan tanda dari kebesaran-Nya, sehingga menuntut kesadaran manusia dan pemahamannya tentang Pencipta. Ketiga, lingkungan karena posisinya sebagai ciptaan Tuhan, patut mendapatkan perlindungan (hurma). Keempat, Islam sebagai jalan hidup atau panduan hidup. Dalam konteks ini, kewajiban manusia untuk melakukan konservasi lingkungan menunjukkan suatu konsepsi kebaikan. Kelima, seluruh relasi manusia dalam Islam harus berdasarkan pada konsepsi keadilan („adl) dan kebaikan (ihsan) serta tidaklah berdasarkan pada landasan materil dan ekonomi.

Oleh karena itu, relasi antara manusia dengan lingkungan merupakan bagian dari eksistensi sosial yang merupakan suatu wujud eksistensi bahwa apapun yang berada diatas muka bumi ini memiliki kewajiban untuk menyembah kepada Tuhan. Penyembahan ini tidak semata-mata hanya ritus yang bersifat simbolik, tetapi lebih pada manifestasi manusia dalam ketundukannya kepada Sang Pencipta.

Selain menyangkut tentang nilai dan kedudukan, baik manusia maupun alam. Konstruksi lain yang menarik adalah menyangkut tentang perdamaian

(5)

53 (peace). Nasr (1990) menjelaskan bahwa perdamaian pada umat manusia tidak akan pernah terwujud tanpa adanya perdamaian dengan alam.

“…Peace in human society and the preservation of human values are impossible without peace with the natural and spiritual orders and respect for the immutable supra-human realities which are the source of all that is called „human values‟…” (Nasr, 1990)

Perdamaian semacam ini juga menyangkut penghargaan terhadap perbedaan serta keragaman (pluralitas) baik terhadap manusia dengan manusia maupun manusia dengan makhluk lainnya. Penghargaan ini merupakan bentuk pemahaman bahwa sesungguhnya, terdapat nilai esoteris pada masing-masing makhluk dan perbedaan tersebut menjadi rahmat bagi semesta alam. Perbedaan ini kemudian tidak saling menegasikan dan meniadakan, tetapi saling mengisi dan memahami satu sama lain serta berupaya untuk selalu memperbanyak kebajikan.

Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu. (Q.S. Al Maidah:48)

Selain konstruksi diatas, kritik yang dialamatkan kepada agama, yang dianggap menjadi salah satu sumber etis dan praksis manusia dalam mengeksploitasi sumber daya dan lingkungan juga mendapatkan batasan yang tegas dan jelas. Larangan pola hidup yang berlebihan dan cenderung melakukan kapitalisasi bagi kepentingan pribadi dan kelompok sehingga mengorbankan makhluk lain menjadi salah satu bukti teologi praksis yang menjadi dasar bagi umat Muslim. Oleh karena itu, sikap askestis yang mempraktikan kesederhanaan menjadi prinsip dasar dalam kehidupan umat Muslim. Ini dijelaskan dalam Al Quran

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) Masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.

(6)

54 Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (Q.S. Al Araf: 31)

Pada ayat lain, Al Quran juga menjelaskan penolakan Islam pada sifat dan perilaku berlebih-lebihan di satu sisi, juga perilaku kikir di sisi yang lainnya. Ini berarti bahwa Islam sebenarnya memberikan penggambaran praktis bahwa manusia harus terus mencari titik keseimbangan dalam hidup serta bersikap proporsional dengan tidak berlebihan serta tidak pula bersikap kikir.

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (Q.S. Al Furqan: 67)

5.2. Makna Tindakan Ekologi di Pesantren: Refleksi Para Aktor

Secara umum, gerakan ekologi di kedua pesantren tersebut dalam sejarahnya belum berlangsung begitu lama. Di satu sisi, pesantren Al Amin menginisiasi dan menerapkan gerakan ekologi sejak lima tahun belakangan. Sementara itu, gerakan ekologi di pesantren Daarul Ulum Lido telah berlangsung pada kurun periode yang tidak berbeda jauh.

Aktor yang dimaksud dalam gerakan ekologi di pesantren ini secara umum merujuk pada Dhofier (1985) dan Sukamto (1999). Keduanya merujuk aktor utama pesantren antara lain adalah Kyai dan Santri serta Khadam. Meskipun demikian, dalam konteks penelitian ini, tidak berarti aktor yang disebutkan diatas terlibat dalam kegiatan ekologi. Oleh karena itu, aktor-aktor yang terlibat dalam gerakan ekologi ini kemudian diperluas dan tidak hanya berhenti pada kyai dan santri, tetapi juga masyarakat yang terlibat dalam model gerakan yang diusung oleh pesantren maupun aktor lain selain kyai dan santri yang terdapat di dalam pesantren seperti Asatidz atau guru.

Meskipun demikian, lanskap teologi yang melatari munculnya gerakan ekologi di pesantren ini secara umum merujuk pada sumber utama mereka yaitu Al Quran. Al Quran menjadi sumber rujukan utama mereka yang selalu dikaji dan dicoba di kontekstualisasikan dengan fenomena yang terjadi di sekitar pesantren maupun masyarakat pada umumnya.

Basis teologi yang melandasi gerakan secara khusus merujuk pada kekhasan dan ciri utama dari pesantren yang bersangkutan terutama bagaimana sosok Kyai

(7)

55 merefleksikan fenomena sekitar dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan pesantren secara umum serta memadukannya dengan kekhasan yang dimiliki oleh pesantren. Meskipun rujukan utama antara kedua pesantren ini sama yaitu Al Quran, tetapi sudut pandang dan cara mengartikannya jauh berbeda. Kondisi ini jelas terefleksikan atau bahkan termanifestasikan dalam bentuk gerakan yang mereka lakukan.

Kedua pesantren ini merujuk pada ayat Al Quran yang mengatakan bahwa sesungguhnya, manusia dilarang melakukan perusakan setelah Allah SWT menciptakannya. Selain itu, jargon umum yang banyak diterapkan di pesantren seperti kebersihan itu menjadi bagian dari Iman juga berlaku di dua pesantren ini.

Pesantren Al Amin, seperti terefleksikan dari Kyai Basith yang menjelaskan bahwa sesungguhnya kerangka dasar teologi yang terbangun di pesantren Al Amin adalah upaya untuk menjalankan tiga hubungan transenden. Hubungan yang pertama adalah hubungan dengan pencipta, hablu mina Allah. Hubungan yang kedua adalah hubungan dengan manusia, hablu mina an naas. Dan hubungan yang ketiga adalah hubungan dengan alam, hablu mina al alam. Hubungan ketiga inilah yang menjadi kunci dari implementasi gerakan ekologi yang dilakukan oleh pesantren. Ketiga hubungan ini merupakan terobosan pandangan kyai dari pandangan konvensional selama ini yang hanya mendudukkan relasi manusia hanya pada dua hal yaitu hubungan dengan Allah serta hubungan dengan sesama manusia. Pandangan seperti ini tergambar dalam pernyataan Kyai sebagai berikut:

“…Kadang-kadang kita ini suka lupa, didalam hubungan yang disebut Hablu mina Allah, Hablu mina An-nas. Orang berhubungan dengan Allah, itu sering. Mungkin dalam satu hari itu lima kali, dengan ditambah malamnya mungkin, sering sekali. Kedua, Hablu mina An-Nas, manusia hubungan dengan manusia, dengan kemasyarakatan, cara jual beli, itu hablu mina an-nas. Cuma agak dilalaikan selama ini itu Hablu mina al-alam. Padahal kita ini sepertinya dari alam ini tidak ada apa-apanya, justru kita ini hidup dari alam…”

Ajengan juga menyadari bahwa sesungguhnya problem lingkungan yang muncul belakangan merupakan akibat dari sifat dan tangan manusia yang tidak bisa menjaga amanat yang telah diberikan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, dorongan untuk merubah diri dengan tindakan konkrit dengan cara menanam

(8)

56 menjadi pilihan yang tidak terhindarkan. Pandangan ini terlihat dari pernyataan Kyai berikut:

“…Didalam Al-Quran diterangkan, dzoharo al fasaad fi al barri wa al

bahri bima kasabat aidi an naas. Kerusakan lautan dan daratan itu

sebetulnya dengan ulah-ulah manusia. Halaman atau gunung yang gundul, itulah manusia. Mungkin yang akan menjadi kerusakan-kerusakan yang ada di lautan. Cuma, kalau di darat sudah rusak, lalu (laut) ikut-ikutan. Buktinya, kekurangan oksigen saja, kutub bisa mencair. Makanya, hablu mina al alam ini harus di tonjolkan. Insya Allah kalau kita sudah melakukan dengan cara menyuruh nanam, kita harus menanam dahulu. Insya Allah masyarakat akan ikut.

Kami menghimbau kepada pemuda, ikut dengan hablu mina al alam tersebut dengan cara menanam. Yuk, kita sama-sama bershadaqah oksigen untuk siapa? Untuk kita. Kita ini kalau hanya ingin rajin saja, menanam. Dulu kalau tidak salah, setiap orang yang nikah itu diwajibkan menanam dua (pohon) didepan rumahnya itu. Kelapa kek, atau apa saja. Sekarang, saya kira sudah tidak ada seperti itu. Nah, itu akan lebih bagus. Kenapa maksudnya? Hablu mina al alam ini justru kita harus dihimbau terhadap masyarakat sekarang.

Allah SWT didalam Al-Qur‟an mengatakan, wama min daabbatin fi al ard

illa „ala Allahi rizquha. Sebetulnya, Allah itu sudah menanggungjawab

terhadap rizqi semua hambanya. Apa yang disebut rizqi itu? Sesuatu yang masuk ke dalam perut. Itu rizqi namanya. Yang dicari ini bukan rizqi sebetulnya, lebihnya, yang disebut apa? Milik. Kita jangan merasa diri kekuatan kita diri. Kita banyak uang, kita punya tenaga yang baik, itu tetap kita harus berhadapan dengan Allah SWT yang diharuskan orang itu harus memohon kepada Allah SWT setiap malam (tahajjud – HK), sesuai Al-Quran mengatakan “ud‟uuni astadjib lakum”. Berdoalah kamu, Aku yang akan mengabulkan. Diantaranya rohaniahnya, rohaninya kita meminta kepada Allah SWT, jadi kita harus bekerja keras, mau tidak mau. Didalam Al-Quran disebutkan “inna ma‟a al usri yusro”. Orang tidak akan senang kalau sebelum apa dulu? Repot dulu, bekerja dulu. Orang tidak akan langsung memakan apa, nasi kalau tidak menanam dahulu. Tetap semua juga harus ada proses…”

Konstruksi teologis yang terbangun di pesantren Al Amin ini memperlihatkan pergeseran dalam mendudukkan alam seperti tergambar dalam tafsir Kyai atas hubungan diatas. Dalam perspektif Islam, etika atas lingkungan seperti yang digambarkan oleh Abedi-Sarvestani dan Shahvali (2008) sebenarnya mencoba merekonstruksi dua hubungan antara manusia dengan alam yaitu mode pemeliharaan (nurturing mode) dan mode intervensi (interventionist mode). Abedi dan Shahvali kemudian menjelaskan bahwa Islam dalam hal relasi antara Tuhan,

(9)

57 manusia dan alam memahami bahwa sesungguhnya hubungan tersebut meliputi kepada tuhan sehingga seluruhnya menjadi terintegrasi.

Gambar 5.1. Gerak Perubahan Konstruksi Teologi Ekologi

Basis teologi yang diperlihatkan oleh kyai diatas memperlihatkan pergeseran pemaknaan kyai atas alam dari yang sebelumnya hanya dilihat sebagai makhluk sekunder, dan hanya mengedepankan hubungan manusia dengan manusia serta manusia dengan Tuhan, kemudian bergeser dan menjadikan alam sebagai entitas yang sama dengan manusia dan memiliki implikasi teologis dengan penafsiran hubungan triangulatif antara Tuhan, manusia dan alam.

Landasan teologi lain yang mengemuka adalah konsepsi tentang kutubul awliaa yang menjadi kerangka dasar untuk menjaga keseimbangan alam. Ketika kondisi kutub tidak seimbang, maka dipercaya akan muncul berbagai bencana. Landasan teologi semacam ini merupakan refleksi dari corak pesantren tradisional semacam Al-Amin. Pendekatan tasawuf menjadi pewarna dari tafsir yang dilakukan oleh pesantren atas fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar pesantren, terutama fenomena kerusakan lingkungan. Ini terlihat dari pernyataan kyai berikut:

“…Dua tahun belakang, Tahun 2008 atau tahun 2007, saya lihat TV bahwa kutub sudah mencair, wah kata saya ini bahaya, kalau dalam bahasa kan kutub itu, kan kutub es itu, padahal itu kutubul aulia, bahasa na kutub teh naon? pancer, itu kata ahli tata bahasa kalau ulama meninggal dunia paku dunianya hilang, apalagi kutub, apalagi kutub itu bukan paku lagi. Kutubul aulia di atas ulama aulia itu, makanya kalau kutubul aulia sudah tidak ada nah sekarang masih ada Nabi Hidir. Kalau pancernya sudah tidak ada, otomatis kegoyangan dunia ini akan terjadi seperti kalau kutub itu, ALLAH menciptakan kutub ini untuk mengikat dunia ini kalau mencair yah begitulah sudah banjir dimana-mana sekarang udah ketahuan. Pada saat itu saya mendengar apa sih akibatnya dikarenaka kekurangan oksigen padahal Indonesia, brazil itu paru-paru dunia. Adanya oksigen itu dari mana yaitu pohon. Saya harus menanam pohon. Saya lihat di beberapa kitab, apa sih manfaatnya pohon itu…”

Allah

Alam Manusia

Allah

(10)

58 Konsepsi lain adalah konsepsi sedekah yang menjadi ciri utama pesantren ini. Konsepsi sedekah yang digulirkan adalah seperti sedekah oksigen maupun sedekah kepada makhluk lainnya dengan kepercayaan bahwa seluruh pepohonan yang ditanam selalu bertasbih kepada Allah SWT. Konsepsi sedekah seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, terutama seperti yang menyangkut khomtsah atsnaf tampaknya menjadi basis dari upaya reflektif yang dilakukan oleh kyai. Oleh karena itu, konsepsi yang muncul, yang menjadi basis gerakan ekologi adalah sedekah (shodaqoh) yang mencakup sedekah kepada hewan melalui daun yang ditanam sehingga menjadi salah satu sumber pangan mereka, juga menjadi sumber hidup. Selain itu, kyai juga memaknai bahwa tanaman bukanlah benda mati yang tidak memiliki tugas dan fungsi apapun di bumi ini. Salah satu tugas, yang juga merupakan tugas dan kewajiban manusia adalah selalu mengingat dan berzikir kepada Allah SWT. Oleh karena itu, kyai memaknai bahwa salah satu manfaat utama dari menanam adalah memperbanyak kesempatan untuk berzikir dan bertasbih dengan adanya tanaman tersebut. Hal ini terlihat dalam pernyataan kyai berikut ini:

“…Malah kadang-kadang saya menjelaskan di luar dari pada orang di dalam Al-Quran itu ada hablumminallah ada hablumminannas, saya tambahkan habluminal alam (sambil tertawa) kan ga ada yah kurang. Itu manfaatnya banyak. Itu shodaqoh yang tidak sengaja, apa diantaranya:Pertama, daunnya saja kita sedang bershodaqoh kepada hewan ternak, kambing domba. Kedua, kita lihat lagi kita itu sedang bershodaqoh terhadap burung, satu tempat untuk burung yang kedua adalah untuk makanan burung karena pada pepohonan itu hidup ulat, biji.

Ketiga, menahan arus banjir, banjir bandang. Keempat, Kita bershodaqoh

air karena di bawah pepohonan itu kan ada air karena dalam pepohonan itu berfungsi menyimpan air, apabila waktu hujan dia simpan apabila waktu kemarau dia itu buka sendiri. Kelima itu bertasbih, pohon itu membaca tasbih (membaca surah atau hadist) tiada mahluk yang ada di muka bumi ini semua itu bertasbih, kodok itu bertasbih dengan suaranya kokokok, kambing. Saya tersentuh pada waktu itu, karena kita ini malas bertasbih maka kita menyuruh pohon untuk bertasbih dengan menanam pohon tersebut. Yang paling celaka itu bertasbih malas nanamnya juga engga nah itu celaka. Keenam, yaitu oksigen kita ini bershodaqoh oksigen. Kata ilmu peneliti kalau ada pohon 80 cm itu akan menyimpan oksigen kalau di rumah sakit 2 tabung, berapa tuh harganya sebab kita kan ada CO2 dari mulut termasuk racun, terus dari mobil, knalpot mobil, motor, pabrik. itu kan CO2 akan diserap oleh pohon diolah oleh pohon nanti

(11)

59 keluarnya oksigen, kita tidak sadar, kita punya racun juga kan racunnya hawa keluar racun kita akan menghisap oksigen

Kalau seandainya CO2nya terlalu banyak untuk menyangkutkan O2 nya tidak ada nah itu akan timbal balik CO2 nya keluar dan tidak ada tempat yang mengolah maka akan balik dihisap oleh kita makanya pada saat ini penyakit kebanyakan itu adalah penyakit pernafasan. Terus kalau diisap lagi oleh kita mungkin karena penyakit, iya kan? terus naik ke atas yang akan merusak atmosfer yang merusak bintik bintik hujan. Mungkin suatu saat nanti kalau ada batu jatuh dari planet yang besarnya sebesar rumah maka akan jatuh sebesar itu lagi.

Sekarang kan masih dibakar dulu oleh atmosfer, dibakar dulu makanya di jawa itu ada ponari yang mendapat batu kecil itu kan dari angkasa sebetulnya dari sana pecahan-pecahan dari planet.Ceuk urang mah gelap kang, kan aya tah batu gelap kang disananya mah itu besar tetapi sudah dibakar oleh atmosfir bolong nah kalau tidak ada atmosfher mungkin kalau itu akan datang dari sana itu akan rusak.

Itu diantara oksigen, dengan kurangnya oksigen nah itu kutub kan akibatnya menjadi mencair akibat global panas. saya lebih ngeri lagi kemaren kemaren kan ada gunung es belah sekarang menuju Australia, makanya lamunan saya waktu saya di Mekkah rame rame ada kiamat di Indonesia katanya 2012, isu kan? itu bukan kiamat sebenernya tapi dengan mencairnya gunung es, permukaan laut akan naik 6-7 meter maka Jakarta akan lebih dulu makanya kalau rumah di Jakarta harus pindah yah harus punya rumah di desa.

Sekarang kan permukaan laut, sudah tidak hujan tidak apa, udah 2 meter, sumatera termasuk jawa, nelayan nelayan sudah bingung mencari ikan dikarenakan arusnya besar. Itu akibat kekurangan oksigen…”

Selain konstruksi teologis yang telah dipaparkan diatas, baik menyangkut hubungan dengan alam, fungsi sedekah serta kedudukan tanaman yang juga bertasbih, kyai juga mengkonstruksikan permasalahan fundamental yang menghinggapi masyarakat disekitarnya. Salah satu problem terbesar dari masyarakat adalah problematika ekonomi yaitu karena terbatasnya akses terhadap sumberdaya sehingga tidak terbuka ruang mereka untuk berdaya. Oleh karena itu, meskipun basis teologis melingkupi gerakan ekologi di pesantren Al Amin, tetapi kyai juga mengintrodusir pendekatan ekonomi kepada masyarakat guna menarik simpati masyarakat sehingga tergerak untuk terlibat dalam kegiatan tersebut. Kyai juga mengkonseptualisasikan manfaat ekonomi tersebut untuk jangka pendek, jangka menengah serta jangka panjang. Solusi semacam ini tergambar dari pemaparan kyai berikut ini:

(12)

60 “… Manfaat terakhir adalah ekonomi, kenapa disebut ekonomi, pohon itu, sebab sekarang itu orang bisanya nebang tapi nanamnya tidak. Ada. Yang nanam sepuluh orang yang nebang seratus orang. Nah sekarang sengon itu, kenapa saya ikut sengon padahal ada jenis pepohonan yang lain banyak. Tetapi kita melihatnya kehidupan itu ada tiga versi, yakni ada jangka pendek ada jangka menengah ada jangka panjang.

Jangka pendek itu nanamnya tumpang sari, jagung, pepaya, ubi, sayur mayur. Jangka menengah itu termasuk kita nanam sengon, jabon, suren, itu diantaranya. Kalau jangka panjangnya itu mahoni, jati, terus rasamala dan lain lain, itu dua puluh tahun ke atas.

Kenapa saya memilih sengon sebab kalau saya memilih jati, masyarakat tidak akan ikut karena 20 tahun keburu mati, akhirnya kesanakan, ah keburu mati. kalau sengon itu 5 tahun dan kita bisa produksi kayu dan waktunya sedikit lah. Pada waktu itu saya menanam 30 ribu pohon sewa 12 hektar sekarang sudah 2 tahun lumayan juga sudah besar. Apa sebab sengon itu kalau 5 tahun jeleknya 1 pohon seratus ribu kalau punya 30 ribu 3 milyar, itu jeleknya. Malam ada tukang kayu dari bogor kalau sengon gelondongan ukuran 3 meter 750 ribu. Sebab kalau 5 tahun itu satu kubiknya itu paling 5 pohon kalau dijual per gelondongan itu 700ribu. Belum dahannya, dahannya bisa dijual untuk bahan bakar ke pabrik pabrik250 sampai 300 perak per kilo. Terus daunnya itu manfaat buat pakan kambing dan akan menjadi pupuk. Dan istimewanya lagi kalau sudah ditebang bawahnya tunas akan timbul lagi ini yang akan lebih cepat lagi pertumbuhannya, makanya kalau ingin kaya maka menanamlah tapi lima tahun…”

Pilihan untuk mengintrodusir manfaat ekonomi ini bukan tanpa alasan. Menurutnya, meskipun problematika mendasar terletak pada kesadaran untuk memahami pentingnya membangun hubungan alam, tetapi, apabila persoalan ekonomi tidak terselesaikan, kondisi ini menjadi penghambat dan dapat menjadi salah satu masalah dalam menjaga kelangsungan gerakan tersebut.

Selain kyai, gerakan yang dilakukan oleh pesantren Al Amin juga melibatkan aktor lain. Meskipun demikian, aktor yang dimaksud bukanlah santri maupun khadam. Aktor utama lain yang terlibat dalam gerakan adalah masyarakat yang terlibat dalam gerakan dan sebagian tergabung dalam kelompok Hejo Daun. Kelompok ini.

Makna ekologi yang terefleksikan pada masyarakat dapat dilihat dari individu maupun kelompok tani. Petani secara umum memahami kompleksitas masalah ekologi yang terjadi di daerah tersebut setelah menyaksikan kondisi gundulnya gunung disekitar lokasi tinggalnya. Kondisi yang terjadi seperti yang digambarkan oleh salah satu informan sebagai berikut:

(13)

61 “…Kalau disini biasanya yang ada itu kuli tani. Kalau petani asli itu ya punya lahan dan punya modal. Pas musim kemarau kemarin, yang namanya petani itu sangat membutuhkan air, apalagi untuk mengairi sawah. Sayur mayur juga tetap tidak bisa jalan kalau tidak ada air. Nah, baru aja satu sampai dua bulan kemarau air sumur kita sudah pada kering. Mulai dari situlah terbuka. Akhirnya kita pergi ke gunung. Ternyata gunung-gunung di Cidahu ini, mungkin bisa dibilang sekitar 40 persen gundul. Setahu saya gundulnya itu karena tidak ada penanaman kembali setelah ditanam. Maksudnya, kalau hutan itu kan ada hutan lindung dan hutan produksi. Nah, hutan produksi itu dahulu dikelola oleh Perum Perhutani. Setelah penebangan, bukan tidak ditanam (lagi), tetapi tidak diurus. Makanya berlomba dengan rumput. Akhirnya karena kalah dengan rumput, ya tanamannya mati. Ada sedikit yang tumbuh, tetapi justru kena penebangan liar…”

Melalui interaksi antara kyai dengan masyarakat, proses transfer pemaknaan atas problematika lingkungan serta konstruksi teologis yang dimiliki oleh kyai kemudian di diseminasikan melalui forum pengajian yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya. Disinilah makna teologi ekologi ditransfer kepada masyarakat sesuai dengan pemaknaan yang dilakukan oleh kyai. Proses ini sebagaimana digambarkan oleh pernyataan informan berikut ini:

“…Pertama kita dalam pengajian, kan kalau ini diperlukannya segera, jadi kalau anak-anak santri majelis taklim, nanti kita tahap kedua. Untuk tahap pertama itu pengajian bapak-bapak malam mingguan. Itu saya masukin, ya seperti itu tadi, program penyampaian Abuya kita sampaikan juga, dari mulai hablu mina Allah, hablu mina an naas, ternyata dibutuhkan juga hablu mina al alam. Ya seperti itu tadi, untuk ekonomi dibuat paling ujung. Selain itu karena memang kondisi alam sudah seperti ini…”

Potret yang serupa atas makna ekologi yang terbangun dalam gerakan yang di lakukan pesantren Al Amin juga tergambar dari pernyatan informan berikut ini: “…Kalau kita menanam pohon, satu pohon dengan niat kita ibadah, ada nilai ibadahnya juga. Karena satu pohon menghasilkan oksigen itu hingga dewasa menghasilkan oksigen hingga dua orang. Dengan alam lain, dengan burung menghasilkan makanan, tempat berlindung, dengan tanah bisa menghasilkan air. Ya mungkin waktu diterangkan, masyarakat mau dan tahu, tetapi ketika dilarikan dengan ekonomi, nah kebutuhan mereka itu tidak hanya dengan ibadah saja, apalagi diterima dengan kondisi keimanan seperti tadi mereka tidak begitu saja menerima, dengan jarak satu hingga lima tahun…”

Kondisi ini memperlihatkan, sebenarnya, potret pemaknaan ekologi yang dilakukan oleh aktor di pesantren Al Amin bergantung pada proses pemaknaan yang terjadi pada diri kyai. Artinya, refleksi individual kyai atas makna ekologi

(14)

62 akan menjadi landasan dan pijakan teologis mereka yang berada dibawahnya, baik murid maupun masyarakat yang terlibat dalam gerakan tersebut.

Lain halnya dengan pesantren Daarul Ulum Lido yang membangun kerangka teologi gerakannya pada konsepsi Fiqh Al-Bī‟ah di dunia pesantren. Konsepsi ini merupakan turunan dari filosofi dasar pesantren yang menjelaskan bahwa pesantren berupaya “menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik” serta filosofi “ilmu yang paling utama adalah ilmu tentang tingkah laku, dan pekerjaan yang paling utama adalah menjaga tingkah laku”.

Filosofi ini mendorong adanya pertanggungjawaban manusia sebagai khalifah yang bertugas menjaga kesinambungan hidup baik manusia maupun alam tempatnya tinggal. Selain itu, pesantren juga mendorong tumbuhnya kecintaan terhadap makhluk ciptaan yang lain selain manusia, juga sebagai bukti tanggungjawabnya sebagai khalifah diatas bumi. Landasan teologi lain adalah upaya ikhlas untuk berkontribusi menanam dengan tujuan menjaga kesinambungan hidup generasi manusia dimasa mendatang.

Seperti yang telah dijelaskan diawal, bahwa konstruksi teologis yang muncul dan mendasari gerakan lingkungan ini berangkat dari sumber utama dan rujukan kehidupan di pesantren yaitu Al Quran. Kyai di pesantren ini, yaitu Ust. Yani melakukan konstruksi individual atas makna ekologi dengan paparan yang sebenarnya tidak berbeda jauh dengan apa yang di paparkan oleh Kya Basith. Kyai di pesantren ini juga mendorong perluasan hubungan transenden yang tidak lagi hanya antara manusia dengan manusia serta manusia dengan Sang Pencipta, tetapi kemudian meluas menjadi hubungan dengan alam. Ini tergambar dari pernyataan kyai sebagai berikut:

“…Pertama, memang konsep Islam itu kita memiliki hubungan vertikal dengan Allah SWT, hubungan horizontal dengan manusia dan ada hubungan diagonal dengan alam. Secara normatif, ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk memelihara alam banyak, mulai dari dzoharo al fasaadu fi al barri, walaa tufsidu fi al ardi dan macam-macam lainnya. Itu secara normatif...”

Tidak hanya masalah perluasan hubungan yang menjadi perhatian utama kyai, tetapi tanggungjawab manusia sebagai khalifah menjadi salah satu perhatian utamanya. Manusia memiliki tanggungjawab untuk selalu menjaga lingkungan

(15)

63 serta mendapatkan perintah dari Allah SWT untuk tidak membuat kerusakan diatas muka bumi. Selain itu, hubungan mutualistik serta interdependensi juga tergambar antara manusia dengan alam sehingga peran masing-masing menjadi sangat penting untuk menjaga kelangsungan hidup keduanya.

Makna ekologi lainnya, dan menjadi sangat fundamental adalah ungkapan bahwa kondisi lingkungan menggambarkan kondisi keimanan seseorang. Pada titik inilah kemudian, praktik-praktik pemeliharaan lingkungan mencerminkan kondisi teologi seseorang. Kondisi ini dimaknai kyai sebagai kondisi refleksi keimanan yang merupakan potret dari seberapa dalam seorang manusia memaknai titah Pencipta serta Rasulnya, khususnya dalam menjaga lingkungan. Dalam konteks ini pula, tujuan utama kyai adalah berupaya melakukan penanaman ide kepada santri untuk memahami esensi dari gerakan ekologi yang dibangun di pesantren ini. Beberapa alasan pokok yang mendasari kyai tersebut tergambar dalam pernyataan berikut ini:

“…Alasan pokok, bahwa manusia itu tidak bisa lepas dari lingkungan bahkan ada ungkapan yang saya sangat setuju sekali bahwa “alam/lingkungan bisa hidup tanpa manusia, tetapi manusia tidak bisa hidup tanpa alam/lingkungan”. Kedua, alasan yang paling penting adalah menjaga lingkungan itu adalah cermin dari kemampuan seorang muslim dalam menjaga hati. Karena kepedulian kepada lingkungan itu bukan berhubungan dengan otak, tetapi hati. Walaupun otaknya bagus, tetapi hatinya belum menerima ya tidak bisa. Nah, ketika berbicara hati, sebetulnya kita sedang berbicara dengan iman masing-masing orang. itulah sebabnya ketika kita mendorong orang untuk memperbaiki lingkunan pada dasarnya kita sedang mendorong dia untuk memperbaiki hati dan imannya. Itulah sebabnya kemudian Rasul mengatakan “annadzofatu min al iman”, kebersihan sebagian dari iman. Karena memang kaitannya dengan hati. Jadi orang yang peduli dengan yang tidak peduli itu tidak ada kaitannya dengan cerdas atau tidak cerdas. Itu alasan yang paling mendasar bagi saya kenapa santri di dorong untuk peduli lingkungan walaupun pada praktiknya, menjadikan mereka terlibat itu tidak mudah. Butuh dorongan, butuh pengertian dsb. Tetapi yang paling penting adalah sudah terdapat untuk melakukan itu, yang penting itu.

Jadi kedepan itu bagaimana pesantren itu rindang, hijau, nyaman. Nah, setelah itu, setelah tertanam konsep-konsep lingkungan pada diri mereka, maka harapan terkahir pesantren ini pada diri mereka-mereka itu adalah bagaimana kemudian mereka itu memiliki kepedulian yang sama nantinya ketika mereka kembali ke kampung halamannya masing-masing. Sebab, kepedulian itu tidak tumbuh sekonyong-konyong, tetapi harus ditanamkan…”

(16)

64 Makna lain yang dikemukakan oleh kyai adalah sifat kasih sayang. Sifat ini merupakan sifat yang penting untuk selalu memperlakukan alam sebagai bagian dari dirinya. Kedua cerita yang diungkapkan oleh kyai dibawah ini menjadi potret bagaimana nilai kasih sayang yang coba ditanamkan oleh kyai serta implikasinya, terutama di hari akhir kelak. Selain itu, kyai juga melakukan revolusi penafsiran atas konsepsi haji dalam konteks lingkungan. Haji yang selama ini hanya dipahami sebagai ritus tahunan ummat Islam dengan berbagai tahapan didalamnya, seringkali tidak dimaknai secara mendalam dan hanya bertumpu pada beberapa ritual seperti tawaf, wukuf dan lainnya. Titik perhatian kyai yang melihat bahwa konsepsi larangan mencederai, melukai ataupun membunuh dalam suatu tahapan ritus haji menjadi penggambaran yang sangat imajinatif dan penuh dengan makna yang dalam dalam upaya menjaga lingkungan. Menurutnya, apabila nilai tersebut dipertahankan, dan diaplikasikan dalam keseharian manusia – setelah kembali ke tanah air – maka, suatu keniscayaan bahwa alam akan selalu diperlakukan dengan sangat baik dan adil. Ini tergambar secara jelas dalam pernyataan kyai berikut ini:

“…Sifat kasih sayang itu adalah sifat yang harus ditularkan kepada makhluk tuhan, bukan hanya sebatas pada manusia. Kita mengajarkan kepada anak bahwa salah satu yang sering kita ungkap ada dua kisah yg beredar di Pesantren.

Kisah pertama, yang sering di gembar gemborkan adalah kisah tentang Pelacur yang masuk surga hanya karena menolong Anjing.

Kisah yang lain, adalah bagaimana seorang ulama meninggal dunia. Kemudian temannya bermimpi bahwa dia masuk surga bukan karena rajin ibadah/shalat dsb, tetapi karena ketika dia berjalan dalam suatu gang, dia melihat ada seorang anak muda yang sedang mempermainkan burung hingga akan mati kemudian dia beli dan diterbangkannya (dilepaskan). Yang kedua yang sering kita tanamkan, dalam salah satu rukun Islam yaitu berhaji, dalam proses berhaji itu ada pelajaran yang sangat berharga, yaitu saat berihram, dimana manusia semuanya sama dan pada posisi yang hina. Salah satu larangan dalam berihram itu merusak tanaman, kita memetik pohon saja kita kena dam (sangsi), apalagi membunuh merpati disekitar Masjid Al Haram. Islam itu begitu mengagungkan tentang bagaimana mestinya manusia itu memelihara alam, Cuma memang seringkali beberapa orang analisa Fiqihnya hanya sampai Bab Tharah (bersuci). Padahal kalau kita kaji seluruh kitab Fiqih dalam Islam itu dimulai dari Kitab Thaharah. Bab pertama yang dibaca tentang air. Sebenarnya kalau kita bicara air itu bukan hanya tentang berwudhu, tetapi harusnya dari A sampai Z. Mestinya seperti itu Islam itu. Jadi ulama dulu itu sudah menjadikan air sebagai bahasan pertama dalam Fiqih karena

(17)

65 fiqih itu ilmu tentang perilaku, baik perilaku kepada Tuhan, manusia maupun alam. Karena dalam fiqih itu ada bab tentang jual beli dan lainnya. Itu sebenarnya sudah cukup kalau kita betul-betul. Jadi kalau konsepsi Islam menjadikan air sebagai bab paling awal menjadi sangat fundamental dan sangat signifikan dijadikan sebagai alasan kenapa manusia harus memperhatikan lingkungan dan alam sekitar. Cuma masalahnya, terkadang sebagian ulama misalnya menetapkan wudhu menggunakan air sebanyak dua kullah, ini menjadi pertanyaan, kenapa tidak satu? Sehingga perlu ditopang oleh kajian ilmu modern. Tetapi yang jelas konsep dasar seperti itu dan tinggal pengembangannya…”

Dalam paparan diatas juga, kyai memperlihatkan bagaimana seharusnya dilakukan pemaknaan lebih mendalam atas fikih sehingga tidak hanya menjadi pengetahuan yang bersifat ritualistik, tetapi lebih pada makna transenden yang lebih bersifat universal. Perhatian kepada bab awal kitab-kitab fikih yang coba dikontekstualisasikan pada hal lain sererti lingkungan, dan tidak sebatas urusan berwudlu memperlihatkan kondisi demikian. Dari sudut pandang perluasan hukum juga dimaknai oleh salah satu aktor di pesantren sebagaimana terlihat dalam penyataan berikut;

“…Konsep ekologi dalam Islam itu harusnya menjadi wajib. Bukan hanya Tauhid yang wajib kita imani atau shalat lima waktu yang wajib kita lakukan, tetapi menjaga lingkungan juga hukumnya wajib. Sebenarnya lingkungan juga termasuk amanah yang harus kita jaga kelestariannya. Jadi saya katakan itu wajib...”

Kondisi semacam diatas memperlihatkan bagaimana ekologi telah coba ditafsirkan dan dikontekstualisasikan melalui teropong teologi. Berbagai problematika yang terjadi belakangan maupun sudut pandang dalam melihat problematika tersebut selalu dikaitkan dengan fundamen teologis yang dipercayai oleh kyai maupun aktor lain dalam pesantren tersebut.

Namun demikian, penting untuk dilihat bagaimana pandangan aktor lain yang terdapat di pesantren Daarul Ulum Lido ini. Santri yang merupakan salah satu aktor kunci dalam pesantren dan gerakan ekologi khususnya menjadi penting untuk digali, terutama bagaimana mereka memaknai ekologi dalam kerangka pikir mereka sendiri.

Ekologi secara sederhana dimaknai oleh santri sebatas lingkungan tempat tinggal mereka saja. Lingkungan yang mereka pahami inipun dimaknai berbeda

(18)

66 dalam konteks kultural dan teritorial. Santri berpandangan bahwa lingkungan pesantren merupakan suatu teritori yang memiliki kekhasan karena terjaga dari lingkungan diluar pesantren. Seperti pernyataan informan berikut ini:

“…Lingkungan di pesantren lebih terjaga karena tidak ada kendaraan lalu lalang di dalam pesantren sehingga udara menjadi lebih sehat dan tidak ada polusi. Lingkungan di pesantren itu berbeda dengan lingkungan diluar, lingkungan di pesantren itu lebih mudah menjaga karena santri atau siswa yang ada di pesantren itu bisa mempunyai disiplin. Berbeda dengan anak diluar. Kalau anak diluar itu asal main corat coret, terus terkadang menyebabkan pohon rusak. Untuk membuang sampah, bisa dilihat perbedaannya dalam hal kebersihan antara di pesantren dengan diluar. Yang membedakan yaitu rasa kesadaran siswa itu, yaitu rasa kesadaran yang didorong karena awalnya dipaksa, kemudian menjadi bisa dan kemudian menjadi biasa…”

Dalam konteks kepedulian lingkungan, santri juga memiliki pandangan yang mendalam tentang makna Islam itu sendiri. Islam yang dimaknai sebagai potret dan landasan hidup yang mengajarkan untuk tidak merusak dan melestarikan alam sehingga kondisi ini menjadi pijakan santri untuk memahami bahwa kewajiban mereka untuk menjaga alam dan tidak berbuat kerusakan dimuka bumi seperti pernyataan informan berikut ini:

“…Konsepsi lingkungan sebenarnya banyak, sebagai contoh “walaa tufsidu fi al ardh”, janganlah berbuat kerusakan dimuka bumi. Ayat itu sudah menjadi dasar dan pondasi yang mengatakan bahwa Islam itu bukan perusak alam, islam itu orang yang suka dengan alam dan mencintai alam. Jadi itu sudah dikenal dalam Al-Quran. Masih banyak juga ayat-ayat lain yang membahas tentang bagaimana sebagai muslim melestarikan alam dan jangan merusak alam…”

Selain konsepsi diatas, konsepsi keimanan seperti yang dikemukakan oleh kyai di muka, tergambarkan juga oleh salah seorang santri. Santri juga mencirikan keimanan seorang berkorelasi dengan sikapnya terhadap lingkungan yang dalah konteks ini adalah pada urusan kebersihan dan kesehatan.

“…sebenarnya untuk lingkungan itu lebih identik dengan kebersihan dan kesehatan. Disana juga terdapat “annadzofatu min al-iman”. Cerminan dari iman itu bisa dilihat dari kebersihannya dan bagaimana dia menjaga dan memelihara kebersihan dan kesehatan dirinya dan lingkungannya. Jadi, biasanya orang yang sadar akan lingkungan, orang yang sadar akan kebersihan memiliki iman yang tinggi…”

(19)

67 Pemaknaan lainnya juga diperlihatkan oleh salah seorang Ustadz (guru) yang juga senada dengan pandangan diatas.

“…klo saya banyak bergerak bukan atas dasar latar belakang saya sebagai aktivis dibidang lingkungan, tapi sebagai dorongan hati, sekaligus kita punya tanggung jawab moral dipesantren itu, harus berdiri paling depan berbicara masalah lingkungan, mungkin saya punya dasarnya disitu aja. Tentu lingkungan ini cukup besar juga cakupannya. Terutama tentang kebersihan, kesehatan saya fikir menjadi satu pokok di pesantren ini, sehingga pesantren mempunyai slogan “annazofatul minal iman”.

Itu barangkali sudah familiar ditelinga siapapun, tetapi kenapa bgitu sulit untuk mengimplementasikan, mengaplikasikannya sulitlah. Berangkat dari situ saya pribadi ini hanya sebagai dorongan moral, mungkin saya banyak bergerak sekaligus juga menanamkan kepada anak-anak (santri) bahwa hidup bersih itu bukan sekedar slogan-slogan belaka, tapi bagaimana kita harus terapkan, mungkin pesantren adalah satu caranya untuk menjawab…”

Paparan diatas memperlihatkan bagaimana para aktor baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren yang terlibat dalam gerakan ekologi melakukan pemaknaan berdasarkan beberapa faktor. Faktor kultural menjadi salah satu faktor yang utama karena kultur yang terbangun di pesantren tersebut menjadi sangat berpengaruh terhadap proses pemaknaan yang dilakukan oleh aktor-aktor tersebut.

Selain itu, faktor kepemimpinan dan pola pendidikan di pesantren menjadi faktor lainnya. Tafsir yang dilakukan oleh kyai di maknai menjadi tafsir tunggal dan menjadi pemahaman umum bagi mereka yang terlibat dalam gerakan pesantren, seperti yang terjadi di pesantren Al Amin. Oleh karena itu, kyai kemudian merumuskan solusi yang tidak hanya bersifat idealistik yang bertumpu pada pemahaman teologis saja, tetapi memperluas pada solusi praktis seperti pemanfaatan dari sisi ekonomi. Interpretasi yang dilakukan oleh kedua pesantren tersebut juga mencirikan dua konstruksi teologi ekologi yang berbeda. Pesantren Al Amin memperlihatkan upaya membangun interpretasi ekologi keseimbangan dan pesantren Daarul Ulum Lido memperlihatkan upaya membangun interpretasi ekologi lingkungan.

Gambar

Gambar 5.1. Gerak Perubahan Konstruksi Teologi Ekologi

Referensi

Dokumen terkait

Jurusan Akuntansi Mercu Buana Bekasi, terima kasih banyak atas doa, ilmu, saran, semangat dan bantuan yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan

Puji syukur di panjatkan kepada kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan hidayahnya sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan jidul ― Penerapan Model

Setiap anggota jemaat yang setia mengikuti Retreat Encounter ini, pasti akan semakin diberkati dan diberi kekuatan yang luar biasa dari Tuhan untuk dapat semakin maju dalam

Hasil data yang telah dianalisis menunjukkan bahwa respon siswa terhadap media pembelajaran sastra Jepang ini adalah sangat baik dengan perolehan persentase 89.58%,

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran Conceptual Understanding Prosedures (CUPs) dapat meningkatkan

Beras tidak hanya menjadi komoditi ekonomi, melainkan juga komoditas sosial dan politik, perdagangan beras dalam kurun Tahun 1947-1956 baik langsung atau tidak

Standard Error Of Estimate (SEE) menunjukkan nilai sebesar 1444,91884 yang berarti makin kecil nilai SEE akan membuat model regresi semakin tepat dalam memprediksi variabel

SRT akan mencakup enam fungsi kerja sebagai berikut: (i) penyebaran informasi terkait program yang ada, dan terutama pada program jaminan sosial yang baru saja diluncurkan,