• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Buah Naga

2.1.1 Tinjauan Umum

Buah naga memiliki bentuk bulat memanjang, warna kulit merah, dan berkulit sangat tebal (2-3 cm). Daging buah naga warnanya merah keunguan. Berat buah naga sekitar 400 g. Bentukan seperti jumbai atau jambul dapat ditemui di kulit buah bagian luar. Ukuran jumbai atau jambul biasanya 1-2 cm. biji buah naga bentuknya bulat, kecil, warnanya hitam, tipis, dan keras. Satu buah naga memiliki biji sebanyak 1200-2300 biji. Biji kulit buah naga berwarna hitam, seperti yang tampak pada Gambar 2.1 (Kristanto, 2014).

Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta

Gambar 2. 1 Buah Hylocereus polyrhizus A : Kulit Buah Naga, B : Biji pada Daging Buah Naga. Sumber : Kristanto, 2014

(2)

Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Cactales Famili : Cactacae Subfamili : Hylocereanea Genus : Hylocereus

Spesies : Hylocereus polyrhizus

Buah naga adalah tanaman yang banyak ditemukan dan dapat tumbuh dengan mudah di Indonesia (Karimah & Hendrawan, 2019). Salah satu jenis dari tanaman buah naga yang banyak ditanam di Indonesia adalah tanaman buah naga merah (Karimah & Hendrawan, 2019). Buah naga banyak dibudidayakan di Pasuruan, Jember, Mojokerto, dan Jombang mulai tahun 2001 (Kristanto, 2014). Kulit buah naga juga sudah banyak digunakan untuk obat tradisional. Penggunaan kulit buah naga oleh masyarakat didasarkan pada data empiris, di mana buah naga digunakan sebagai obat diabetes dan penyakit jantung (Lanisthi, et al., 2015).

2.1.2 Kandungan Kulit Buah Naga Merah

Kulit buah naga merah memiliki kandungan flavonoid, saponin, tannin, vitamin C, steroid, dan alkaloid (Noor, et al., 2016).

(3)

2.1.2.1 Flavonoid

Flavonoid termasuk dalam metabolit sekunder yang terdapat di semua bagian tumbuhan. Flavonoid adalah salah satu senyawa yang termasuk dalam kelompok polifenol. Flavonoid bertindak sebagai antioksidan dengan menghambat oksidasi lipid dan menangkap radikal bebas (Santos-Sánchez, et al., 2019). Flavonoid memiliki efek antiinflamasi dengan menghambat jalur siklooksigenase, produksi prostaglandin E2 (PGE2) dan sitokin proinflamatori (Ribeiro, et al., 2014). Flavonoid juga berperan sebagai antibakteri yaitu dengan cara menghambat sintesis asam nukleat, menghambat fungsi membran sel, dan menghambat metabolisme energi (Farhadi, et al., 2018). Jenis flavonoid yang ada di dalam ekstrak kulit buah naga salah satunya adalah quercetin (Tenore, et al., 2012). Quercetin merupakan tipikal flavonol, yang memiliki aktivitas antibakteri kuat. Efek antibakteri spektrum luas dari quercetin dapat digunakan untuk mencegah dan mengobati berbagai bakteri infeksi penyakit (Wang, et al., 2018). Efek quercetin membuat flavonoid sama dengan SSD, yaitu sama-sama memiliki efek antibakteri spektrum luas.

2.1.2.2 Steroid

Steroid merupakan senyawa aktif yang terdiri atas 17 atom karbon dengan membentuk struktur dasar 1,2-siklopentenoperhidrofenantren. Mekanisme steroid sebagai antibakteri yaitu dengan berinteraksi pada membrane fosfolipid sel yang bersifat permeable terhadap senyawa lipofilik. Proses tersebut menyebabkan turunnya integritas membrane dan berubahnya

(4)

morfologi membrane sel, sehingga sel menjadi rapuh dan lisis (Dogan, et al., 2017).

2.1.2.3 Saponin

Saponin adalah produk alami yang secara struktural terdiri dari aglikon (steroid) dan gula. Saponin terdistribusi di banyak tanaman. Saponin berperan sebagai antibakteri, bahkan mampu menyebabkan kematian sel (bakterisidal). Mekanisme kerja saponin yaitu menyebabkan kebocoran enzim dan protein dalam sel (Kon & Rai, 2016). Saponin juga mampu mestimulasi pembentukan protein struktural (kolagen), sehingga mempercepat proses penyembuhan luka (Pingili & Vanga, 2019).

2.1.2.4 Tanin

Tanin adalah metabolit sekunder yang terdiri dari zat organik yang sangat kompleks, karena tannin merupakan senyawa fenolik yang sulit terpisah. Tanin dapat berperan sebagai agen astringen dengan mengendapkan protein darah, seperti albumin. Proses pengendapan protein ini akan menginduksi sintesis tromboksan A2 untuk meningkatkan agregasi platelet, sehingga mempercepat proses hemostasis pada pembuluh darah yang terluka. Hemostasis yang terjadi meningkatkan oksigenasi, meningkatkan aliran pembuluh darah dan fibroblas, deposisi kolagen, pembentukan jaringan granulasi, epitelisasi, dan meningkatkan kontraksi luka (Ashok & Upadhyaya, 2012). Tanin juga memiliki sifat antibakteri. Tanin mengganggu

(5)

permeabilitas sel pada bakteri dengan cara mengkerutkan membran atau dinding sel (Huang, et al., 2018).

2.1.2.5 Alkaloid

Alkaloid merupakan senyawa yang terdiri dari struktur heterosiklik dan atom N pada inti. Sifat alkaloid yaitu basa, sebagian besar berasal dari tumbuhan dan bermanfaat secara farmakologis. Beberapa alkaloid seperti isoquinoline, indole, dan diterpene terkenal memiliki aktivitas antiinflamasi yang cukup bagus. Alkaloid memiliki kemampuan dalam mencegah sintesis atau aksi dari beberapa sitokin proinflamatori. Alkaloid juga menunjukkan efek supresi pelepasan histamin dan produksi NO (Mohammed & Osman, 2014).

2.1.2.6 Vitamin C

Vitamin C (L-ascorbic acid) adalah asam diprotic dengan kelompok enediol yang terdiri atas lima cincin lakton heterosiklik (Pehlivan, 2017). Vitamin C berperan sebagai antioksidan dengan menetralkan radikal bebas atau stres oksidatif dengan proses transfer dan/atau donor elektron. Vitamin C juga secara langsung mengaktifkan faktor transkripsi yang terlibat dalam sintesis kolagen dan menstabilkan procollagen messenger RNA (mRNA) yang mengatur sintesis kolagen Tipe I dan III (Al-Niaimi, et al., 2017).

(6)

2. 2 Kulit

2.2.1 Tinjauan Umum

Kulit adalah organ terbesar manusia. Kulit berperan sebagai barier terhadap agen fisik dan kimia, pencegah kehilangan cairan tubuh, dan membantu dalam regulasi suhu tubuh. Kulit juga termasuk dalam organ sensorik dengan permukaannya yang dapat digenggam. Kulit berperan penting dalam produksi vitamin D dan peptide antimikroba. Kulit dilengkapi dengan aksesoris tambahan seperti kuku, rambut, dan kelenjar Kulit tersusun atas tiga lapisan, yaitu epidermis, dermis, dan hypodermis (Albana & Holmes IV, 2016).

2.2.2 Struktur Kulit

Kulit tersusun dari tiga lapisan, yaitu epidermis, dermis, dan hypodermis, seperti yang tampak pada Gambar 2.2.

(7)

2.2.2.1 Epidermis

Epidermis adalah lapisan terluar kulit dengan ketebalan rata-rata mulai dari 0,05 mm pada kelopak mata sampai 1,55 mm pada telapak tangan dan telapak kaki. Epidermis memiliki lima lapisan, lebih banyak tersusun atas epitel squamous berlapis dengan penandukan (Albana & Holmes IV, 2016).

1. Stratum Basalis

Stratum basalis adalah lapisan terdalam dari epidermis, berupa satu lapisan sel kolumnar. Sel basal memproduksi protein antimikroba yang sangat penting dalam pertahanan kulit. Melanosit meliputi hampir 5 sampai 10% dari populasi sel basal, berperan dalam intensitas pigmen pada kulit. Sel merkel jarang ditemukan di sel basal (Albana & Holmes IV, 2016).

2. Stratum Spinosum

Stratum spinosum terbentuk dari 8-10 lapisan sel yang berbentuk tidak teratur dengan jembatan antar sel yang sangat menonjol, disebut desmosome. Sel langerhans sebagian besar berada di stratum spinosum. Sel langerhans sangat berperan dalam imunologis kulit. Stratum spinosum kaya akan RNA, sehingga dengan baik dapat memulai sintesis protein yang diperlukan untuk produksi kreatin (Patton & Thibodeau, 2016) .

3. Stratum Granulosum

Stratum granulosum merupakan tempat pembentukan keratin. Sel-sel disusun oleh 2-4 lapisan dalam dan diisi dengan butiran pewarnaan intens yang disebut keratohyalin. Keratohyalin sangat diperlukan dalam pembentukan keratin (Patton & Thibodeau, 2016).

(8)

4. Stratum Lusidum

Stratum lusidum berisi keratinosit yang sangat rata, padat, dan bening. Biasanya nuklei tidak ada dan garis sel tidak jelas. Sel-sel tersebut diisi dengan zat yang disebut eleidin, yang pada akhirnya akan diubah menjadi keratin. Eleidin akan menjadikan lapisan ini terlihat translusen (Patton & Thibodeau, 2016).

5. Stratum Korneum

Stratum korneum adalah lapisan epidermis paling superfisial. Lapisan ini terdiri dari beberapa lapisan sel-sel skuamosa yang sangat tipis, pada permukaan kulit berupa sel mati dan terus-menerus diganti. Stratum korneum berfungsi sebagai penghalang hilangnya air dan berbagai ancaman lingkungan mulai dari mikroorganisme, bahan kimia berbahaya, hingga trauma fisik. Efektivitas kulit sebagai pelindung akan sangat berkurang saat lapisan ini rusak, sehingga sebagian besar kontaminan dapat dengan mudah melewati lapisan bawah epidermis seluler (Patton & Thibodeau, 2016).

Lapisan epidermis memiliki 4 jenis sel, yaitu keratinosit, melanosit, sel Langerhans dan sel merkel.

a. Keratinosit

Keratinosit adalah sel utama epidermis. Keratinosit bermigrasi dari membran basement menuju stratum corneum selama proses keratinisasi. Keratinosit berasal dari sel-sel yang tidak berdiferensiasi di stratum basale epidermis. Keratinosit memiliki kapasitas untuk meningkatkan replikasi

(9)

selama periode peradangan, penyakit, atau cedera (Albana & Holmes IV, 2016).

b. Melanosit

Melanosit adalah sel-sel yang berada di stratum basalis dengan frekuensi 1 di dalam seyiap 10 keratinosit basal. Peran utama melanosit adalah membuat melanosom. Melanosit mentransfer melanosom ke keratinosit melalui sekresi sitokin. Melanosom adalah butiran memanjang, terikat membran, berpigmen, dan menentukan perbedaan warna kulit (Albana & Holmes IV, 2016).

c. Sel Langerhans

Sel langerhans merupakan garis pertahanan imunologis pertama di kulit. Sel-sel ini berasal dari sumsum tulang dan biasanya dapat ditemukan tersebar di antara keratinosit stratum spinosum. Setiap sel Langerhans (sebagai jenis sel penyaji antigen) menemukan penanda (antigen) pada bakteri atau zat asing lain dan memprosesnya untuk disajikan ke sel T (Patton & Thibodeau, 2016). Mereka bermigrasi ke kelenjar getah bening untuk mengaktifkan sel T. Sel ini sangat penting untuk pengenalan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Hyaluronan penting dalam pematangan dan migrasi sel Langerhans (Albana & Holmes IV, 2016).

d. Sel Merkel

Sel merkel dapat ditemukan di stratum basale pada telapak tangan, kaki, oral, mukosa genital, dan dasar kuku (ditemukan langsung di atas membran basement). Sel merkel mengandung butiran seperti neurosecretory inti padat,

(10)

terminal akhir dari saraf kulit dan berperan dalam sensasi (Albana & Holmes IV, 2016).

2.2.2.2 Dermis

Dermis, atau corium, terkadang disebut "kulit asli", terdiri dari dua lapisan papiler tipis dan lapisan reticular yang lebih tebal. Dermis memperluas diri sebagai serat otot, folikel rambut, keringat, dan kelenjar sebaceous, banyak limfatik, pembuluh darah reseptor sensorik somatik. Reseptor sensorik somatik terletak di dermis pada semua area kulit, memproses informasi sensorik seperti nyeri, tekanan, sentuhan, dan suhu (Patton & Thibodeau, 2016). Dermis terdiri dari dua lapisan penyusun, yaitu :

a. Stratum Papilaris

Stratum Papilaris merupakan lapisan yang permukaannya terdiri dari papilla-papila. Lapisan papiler memiliki mikrovaskulatur yang mengandung banyak suplai kapiler, arteriol terminal, dan venula postkapiler untuk memasok oksigen dan nutrisi yang cukup ke epidermis melalui difusi. lapisan papiler pada dasarnya tersusun dari elemen jaringan ikat fibrosa yang longgar dan jaringan halus dari serat kolagen dan elastis yang tipis (Patton & Thibodeau, 2016).

(11)

b. Stratum Retikularis

Lapisan retikular adalah lapisan tebal dari dermis, terdiri dari retikulum yang jauh lebih padat, atau jaringan serat, daripada yang terlihat pada lapisan papiler di atasnya. Sebagian besar serat di lapisan ini adalah dari jenis kolagen, yang memberikan ketangguhan pada kulit, tetapi serat elastis juga ada. Serat-serat ini membuat kulit meregang dan elastis (Patton & Thibodeau, 2016).

2.2.2.3 Hipodermis

Hipodermis (jaringan adiposa subkutikular) ditemukan di bawah dermis dan di atas otot. Sebagian besar hipodermis terdiri dari adiposit (sel lemak). Jaringan lemak berfungsi sebagai isolator dingin, tempat penyimpanan energi, bahkan bertindak sebagai organ endokrin. Jaringan mikrovaskuler yang kaya berjalan melalui septa, menyediakan oksigenasi dan pertukaran nutrisi (Albana & Holmes IV, 2016).

2.2.3 Cedera Kulit, Penyembuhan, atau Konversi ke Ulkus Kronis

Cedera kulit (tampak pada Gambar 2.3 sisi kiri) menghasilkan respons penyembuhan luka dalam kondisi fisiologis normal (Gambar 2.3 sisi kanan atas), tetapi mungkin gagal Ketika diperberat oleh invasi mikroba, sehingga menciptakan luka kronis (tampak pada Gambar 2.3 sisi kanan bawah).

(12)

Gambar 2. 3 Skema Cedera Kulit dan Penyembuhan (Albana & Holmes IV, 2016)

Cedera jaringan memicu pembekuan darah, agregasi trombosit, dan migrasi leukosit, termasuk leukosit dan makrofag ke tempat cedera. Awalnya, bekuan darah terdiri dari fibrin dan fibronektin, yang menyediakan struktur sementara untuk migrasi sel dan trombosit teragregasi, yang melepaskan

growth factor (GF) ke jaringan di sekitarnya. Dalam 3 hari, bekuan telah

bersinergi (terkontraksi) dan mengakumulasi banyak neutrofil dan makrofag, yang memfagositosis dan membunuh mikroorganisme. Sel epidermis juga berpartisipasi dalam rilisnya GF (Albana & Holmes IV, 2016).

Pada kondisi fisiologis normal, luka akan melanjutkan penyembuhannya dalam 5 hari dengan pertumbuhan jaringan granulasi yang terdiri dari fibroblas, makrofag tambahan, dan neovaskuler. Epidermis yang bermigrasi sekarang mengubah arahnya dan bermigrasi ke jaringan yang baru

(13)

terbentuk. Protease terbatas pada ujung terdepan dari sel-sel jaringan yang bermigrasi sangat penting untuk invasi seluler dari gumpalan dan masuk ke dalam luka. Banyak faktor pertumbuhan yang dikeluarkan oleh trombosit dan disekresikan oleh makrofag, selama fase pertama penyembuhan telah diasingkan dalam matriks sementara dan merangsang sel-sel jaringan ketika mereka bergerak ke dalam luka. Faktor pertumbuhan sekarang disekresikan oleh sel-sel jaringan itu sendiri, termasuk sel-sel epidermis, fibroblas, dan sel endotel, serta makrofag (Albana & Holmes IV, 2016).

Ketika invasi patobiologi atau mikroorganisme yang memperberat, mengganggu proses penyembuhan, memperlambat pengurangan diameter atau luas luka secara makros atau histologis, dengan asumsi bahwa luka tersebut melingkar. Ukuran permukaan luka dapat langsung diukur dengan planimetri. Setidaknya dua titik waktu sebelum penutupan harus diukur, karena tingkat penyembuhan melambat mendekati selesainya penyembuhan (Albana & Holmes IV, 2016).

2. 3 Luka Bakar

Luka bakar adalah kerusakan kulit atau jaringan tubuh yang lain, akibat trauma panas seperti api, radiasi, listrik, air panas, friksi, atau kimia (Lumbuun & Wardhana, 2017).

2.3.1 Klasifikasi Luka Bakar

Luka bakar diklasifikasikan menjadi tiga derajat berdasarkan kedalamannya, yaitu luka bakar derajat I, luka bakar derajat II, dan luka bakar

(14)

derajat III, seperti yang tampak pada Gambar 2.4 (Lumbuun & Wardhana, 2017).

a. Luka Bakar Derajat I

1. Luka bakar hanya sebatas lapisan epidermis (superfisial)

2. Warna luka kemerahan dan tidak terdapat bula, ada sensasi nyeri 3. Luka dapat sembuh 3-5 hari tanpa diikuti jaringan parut

b. Luka Bakar Derajat II (terbagi menjadi IIA dan IIB)

1. Luka bakar derajat IIA adalah luka bakar pada seluruh lapisan epidermis dan lapisan dermis superfisial, tampak berwarna pink pucat, disertai bula, terasa nyeri berat, umumnya sembuh dalam 2 minggu diikuti perubahan pigmentasi. Bula yang terdapat pada luka bakar tingkat dua dangkal menjadi lingkungan yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroorganisme dan meningkatkan risiko infeksi (Kartal & Bayramgurler, 2018). Meskipun luka bakar steril pada awal cedera, luka mulai diserang oleh organisme dari flora pasien atau dari lingkungan. oleh karena itu, antimikroba topikal direkomendasikan untuk luka bakar derajat dua dangkal / derajat IIA (Kartal & Bayramgurler, 2018). Meskipun luka bakar steril pada awal cedera, luka mulai diserang oleh organisme dari flora pasien atau dari lingkungan. oleh karena itu, antimikroba topikal direkomendasikan untuk luka bakar derajat dua dangkal.

(15)

2. Luka bakar derajat IIB adalah luka bakar pada seluruh lapisan epidermis sampai ke lapisan dermis bagian stratum retikularis, tampak berwarna merah gelap, dapat ditemukan bula ataupun tidak, tidak terasa nyeri berat, memerlukan skin graft atau operasi eksisi untuk penyembuhan, akan meninggalkan scar saat penyembuhan

c. Luka Bakar Derajat III

1. Luka bakar derajat III adalah luka bakar pada lapisan epidermis, dermis, bahkan mencapai lapisan yang lebih dalam

2. Tampak berwarna putih akibat dari terkoagulasinya kulit mati atau protein, terdapat eskar (tampilan kasar), dan tidak terdapat bula

3. Diperlukan skin graft atau operasi eksisi untuk penyembuhan

Gambar 2. 4 Gambaran klasifikasi derajat luka bakar. A : Luka bakar derajat I

(Douglas & Wood, 2017), B : Luka bakar derajat IIA (Evers, et al., 2010), C : Luka

(16)

2.3.2 Patofisiologi Luka Bakar

Kulit melindungi tubuh dari lingkungan luar, mencegah dehidrasi, dan mengontrol suhu tubuh. Luasnya kerusakan akibat cedera termal tergantung pada suhu dan periode pemaparan. Ketika suhu naik menjadi 45˚C, koagulasi protein terjadi. Douglas Jackson telah mengklasifikasikan jaringan yang rusak sebagai respon lokal kulit saat terjadi cedera termal menjadi 3 zona, yaitu zona koagulasi, zona stasis, dan zona hiperemia. Berkembangnya salah satu zona akibat peradangan berlebihan akan memperluas area luka bakar (Nielson, et al., 2017). Tiga zona yang termasuk respon lokal akibat cedera termal tampak pada Gambar 2.5 (Bunman, et al., 2017).

(17)

a. Zona koagulasi

Zona koagulasi adalah area pusat yang mengalami kerusakan permanen. Sel-sel di zona koagulasi mati karena terjadi koagulasi nekrosis. Zona koagulasi tidak memiliki aliran darah. Daerah ini berwarna putih atau hangus (Singh & Prakash, 2018).

b. Zona stasis

Zona statis adalah area yang langsung mengelilingi zona koagulasi. Area ini mengalami penurunan perfusi jaringan akibat kerusakan dan kebocoran pembuluh darah. area ini dapat bertahan atau terus berkembang menjadi nekrosis koagulatif, tergantung pada lingkungan luka selanjutnya, selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah dapat menyebabkan edema luka. Ada beberapa mediator peradangan dan mediator vasoaktif, seperti prostaglandin, histamin, dan bradykinin (Bunman, et al., 2017). Radikal bebas, misalnya, xanthine oksidase, juga dapat menyebabkannya edema luka (Bunman, et al., 2017). Beberapa intervensi seperti penghambat thromboxane 2, antioksidan, antagonis bradykinin, tekanan luka, dan agen antiinflamasi dapat membantu mengurangi kerusakan di area ini (Singh & Prakash, 2018). c. Zona hiperemia

Zona hiperemia adalah area terluar yang ditandai oleh hiperemia akibat vasodilatasi. Hiperemia disebabkan oleh reaksi inflamasi, sebagai respon adanya cedera jaringan (Singh & Prakash, 2018). Area ini akan

(18)

mengalami proses penyembuhan dalam beberapa jam setelah cedera (Douglas & Wood, 2017).

Lebih dari 30% luka bakar memiliki respons inflamasi sistemik melalui sitokin dan mediator, mengakibatkan dehidrasi dan hipovolemik. Proses ini mempengaruhi oksigen yang ditransfer ke sel-sel dan selanjutnya dapat menyebabkan terhentinya aliran darah dan penurunan tingkat penekanan otot jantung dari faktor nekrotik tumor (Bunman, et al., 2017).

2.3.3 Proses Penyembuhan Luka Bakar

Luka akut dapat pulih dengan sendirinya melalui jalur penyembuhan normal dari 5-10 hari atau dalam 30 hari. Dalam kasus luka kronis, luka gagal dipulihkan melalui jalur penyembuhan normal. Luka normal mulai sembuh secara instan setelah cedera, tetapi dalam beberapa kasus luka gagal sembuh memerlukan manajemen yang tepat dan teratur. Proses penyembuhan luka normal adalah terdiri dari fase inflamasi, fase proliferatif dan fase maturase, seperti yang terlihat pada Gambar 2. 6 (Verma, et al., 2019).

(19)

Gambar 2. 6 Proses Penyembuhan Luka (Bunman, et al., 2017)

1. Fase inflamasi

Fase ini muncul antara beberapa menit hingga 24 menit setelah cedera. Homeostasis adalah langkah pertama penyembuhan luka. Pada fase ini banyak faktor koagulasi ekstrinsik dan intrinsik akan diaktifkan dalam beberapa menit setelah cedera, menyebabkan degranulasi dan melepaskan faktor kemotaksis (kemokin) dan faktor pertumbuhan (GF) yang dapat membantu pembentukan gumpalan (Verma, et al., 2019).

Langkah kedua fase inflamasi adalah neutrofil, sel pertama yang muncul pada cedera. Neutrofil membersihkan limbah dan bakteri untuk memberikan lingkungan yang baik untuk penyembuhan luka (Verma, et al., 2019). Langkah terakhir fase inflamasi adalah makrofag, sel yang paling penting bertindak sebagai pengatur perbaikan. Makrofag menumpuk dan memfasilitasi fagositosis bakteri dan merusak jaringan. Makrofag memulai dua aspek penting dari penyembuhan seperti angiogenesis dan fibroplasia.

(20)

Mereka sangat penting untuk menyediakan kebutuhan metabolisme dari proses penyembuhan (Verma, et al., 2019).

2. Fase Proliferatif

Fase ini dimulai pada 3 hari luka dan berlangsung hingga 2-4 minggu. Pada tahap ini, fibroblast stimulating factor diaktifkan. Mereka merilis fibroblas. Fibroblast bertindak sebagai sel kunci dari fase proliferative. Aktivasi fibroblast menghasilkan kolagen dan proteoglikan yang berefek pada remodeling jaringan granulasi. Jaringan granulasi meningkatkan kekuatan tarik luka dan mengurangi ukuran epitelisasi yang terluka, sehingga luas luka dapat berkurang (Verma, et al., 2019).

3. Fase Maturasi

Tahap akhir penyembuhan luka dapat memakan waktu hingga 2 tahun untuk menghasilkan perkembangan epitel normal dan maturasi jaringan parut. Fase ini melibatkan keseimbangan antara sintesis dan degradasi, karena kolagen dan protein lain mengendap luka menjadi semakin terorganisir dengan baik. Akhirnya mereka akan mendapatkan kembali struktur yang mirip dengan yang terlihat pada jaringan yang tidak terluka (mengganti kolagen tipe 1 dengan kolagen tipe 3) (Singh, et al., 2017) .

Salah satu parameter penyembuhan luka adalah luas area. Luas area suatu luka bakar tergantung pada pembentukan jaringan epitel luka. Luas luka bakar dapat digunakan sebagai evaluasi luka bakar karena merepresentasikan kontraksi luka dan epitelisasi secara makroskopis (Verma

(21)

mencapai tingkat kekuatan jaringan yang sama, rata-rata mencapai 50% dari kekuatan tarik asli selama 3 bulan dan hanya 80% jangka panjang. Saat bekas luka matang, tingkat vaskularisasi menurun dan bekas luka berubah dari merah menjadi merah muda menjadi abu-abu, seiring perjalanan waktu (Singh, et al., 2017).

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka yaitu : a. Angiogenesis

Angiogenesis adalah sebuah proses penyembuhan luka yang bertujuan untuk memperbaiki jaringan kulit yang terkena luka ataupun memperbaiki sirkulasi darah dalam jaringan setelah trauma. Vitamin C, oksigen, zat besi, dan agen penyintesis kolagen sangat penting untuk produksi kolagen yang diproses dalam sel fibroblast melalui sintesis tripeptide, sehingga menghasilkan generasi jaringan untuk mengisi kulit yang terluka (Bunman, et al., 2017).

b. Re-epitelisasi

Sel-sel epitel bermigrasi dari tepi luka segera setelah awal cidera sampai selapis sel lengkap menutupi luka dan menempel pada matriks di bawahnya. Pada luka yang terutama tertutup, reepitelisasi dapat diselesaikan dalam waktu 24 jam (Singh, et al., 2017). Suasana luka dan astringent (zat dengan kemampuan meningkatkan kontraksi luka) dapat mempengaruhi kecepatan epitelisasi. Pada luka lembab, tingkat

(22)

migrasi sel epitel dua kali lebih cepat, sehingga memperpendek jangka waktu epitelisasi (Fossum, 2019).

c. Inflamasi

Inflamasi luka akan bertahan selama ada kebutuhan untuk itu, di antaranya memastikan bahwa semua bakteri dan bakteri berlebih dari luka sudah dibersihkan. Peradangan yang berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang luas, menunda proliferasi dan mengakibatkan pembentukan luka kronis. Beberapa faktor, termasuk antibiotic, antioksidan atau antiinflamasi meredam respon imun dan membiarkan fase selanjutnya dalam penyembuhan luka muncul (Singh, et al., 2017).

2. 4 Pengaruh Gel Ekstrak Kulit Buah Naga Merah terhadap Proses Penyembuhan Luka Bakar

Kandungan ekstrak kulit buah naga merah yang berperan sebagai antibakteri, seperti flavonoid, steroid, dan saponin akan mencegah terjadinya infeksi berlebih pada luka bakar, sehingga fase inflamasi pada proses regenerasi dapat selesai dengan optimal. Flavonoid berperan sebagai antibakteri yaitu dengan menghambat sintesis asam nukleat, menghambat fungsi membran sel, dan menghambat metabolisme energi (Farhadi, et al., 2018). Mekanisme steroid sebagai antibakteri yaitu dengan berinteraksi pada membrane fosfolipid sel yang bersifat permeable terhadap senyawa lipofilik. Proses tersebut menyebabkan turunnya integritas membrane dan berubahnya morfologi membrane sel, sehingga sel menjadi rapuh

(23)

dan lisis (Dogan, et al., 2017). Saponin berperan sebagai antibakteri, bahkan mampu menyebabkan kematian sel (bakterisidal). Mekanisme kerja saponin yaitu menyebabkan kebocoran enzim dan protein dalam sel (Kon & Rai, 2016).

Alkaloid, flavonoid, dan vitamin C juga berperan sebagai agen antiinflamasi akan meredam respon imun berlebih dan membiarkan fase penyembuhan luka selanjutnya terjadi, sehingga fase inflamasi dapat selesai dengan optimal (Singh, et al., 2017). Flavonoid bertindak sebagai antioksidan dengan menghambat oksidasi lipid dan menangkap radikal bebas (Santos-Sánchez, et al., 2019). Flavonoid memiliki efek antiinflamasi dengan menghambat jalur siklooksigenase, produksi prostaglandin E2 (PGE2) dan sitokin proinflamatori (Ribeiro, et al., 2014). Alkaloid memiliki kemampuan dalam mencegah sintesis atau aksi dari beberapa sitokin proinflamatori. Alkaloid juga menunjukkan efek supresi pelepasan histamin dan produksi NO (Mohammed & Osman, 2014). Vitamin C berperan sebagai antioksidan dengan menetralkan radikal bebas atau stres oksidatif dengan proses transfer dan/atau donor electron (Al-Niaimi, et al., 2017).

Gelling agent atau bahan dasar gel dan vitamin C akan mendukung proses

angiogenesis. Tannin dan saponin yang masing-masing berperan sebagai agen astringent dan stimulator produksi kolagen akan membantu proses epitelisasi. Proses angiogenesis dan re-epitelisasi yang didukung oleh tannin dan saponin dengan mekanismenya masing-masing ini akan memperpendek fase proliferasi pada proses penyembuhan luka bakar. Tanin dapat berperan sebagai agen astringen dengan mengendapkan protein darah, seperti albumin. Proses pengendapan protein

(24)

ini akan menginduksi sintesis tromboksan A2 untuk meningkatkan agregasi platelet, sehingga mempercepat proses hemostasis pada pembuluh darah yang terluka. Hemostasis yang terjadi meningkatkan oksigenasi, meningkatkan aliran pembuluh darah dan fibroblas, deposisi kolagen, pembentukan jaringan granulasi, epitelisasi, dan meningkatkan kontraksi luka (Ashok & Upadhyaya, 2012). Saponin juga mampu mestimulasi pembentukan protein struktural (kolagen), sehingga mempercepat proses penyembuhan luka (Pingili & Vanga, 2019).

Gambar

Gambar 2. 1 Buah Hylocereus polyrhizus A : Kulit Buah Naga, B : Biji  pada Daging Buah Naga
Gambar 2. 2 Struktur Kulit. Sumber: Patton, 2016
Gambar 2. 3 Skema Cedera Kulit dan Penyembuhan (Albana & Holmes IV, 2016)
Gambar  2.  4  Gambaran  klasifikasi  derajat  luka  bakar.  A  :  Luka  bakar  derajat  I  (Douglas & Wood, 2017), B : Luka bakar derajat IIA (Evers, et al., 2010), C : Luka  bakar derajat IIB, D : Luka bakar derajat III (Douglas & Wood, 2017)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Tako se ističe da «kada se čovjek bavi različitim znanostima, kao što su filozofija, pov- ijest, matematika, prirodne znanosti i kad njeguje umjetnost, može vrlo mnogo pridonijeti

Dari percobaan yang telah diJakukan dengan menggunakan alat seperti tersebut diatas dengan batasan-batasan yang ada maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

Besar kuat arus yang mengalir pada suatu penghantar sebanding dengan beda potensial antara ujung-ujung penghantar!. tersebut, dengan syarat suhu

Berdasarkan pada rumusan masalah dan tinjauan pustaka yang telah diuraikan mengenai strategi pengembangan pada SAB untuk dapat mengetahui bagaimana keadaan

ITZ charucterization for fiber-cement matrix composites is manifested for fiber pullout problern as strain energy released rate G;n1 by LEFM

Studi Teknik Informatika 1.0 Pengolahan Data Jadwal Kuliah 3.0 Pengolahan Data Dosen 4.0 Pengolahan Data Ruang Kuliah Level 1 2.0 Pengolahan Data Mata Kuliah 1.1 Tambah Data

Sesuai Dengan skala keeratan hubungannya menurut Guiford, maka nilai korelasi sebesar 0,614 tersebut berada pada criteria korelasi antara 0,40– 0,70 maka hasil

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, rahmat, dan kasih karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan Landasan Teori dan Program (LTP) Projek