HUBUNGAN PARAMETER KRANIOFASIAL DAN
OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK BENIGNA
PADA PENDERITA DEWASA
Tesis
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Oleh
I r w a n
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
as Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam
a berharap
paikan penghargaan dan
artemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas
Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas rahmat,
karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini
sebagai salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan spesialis
dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher Fakult
Malik Medan.
Kami menyadari bahwa tulisan ini mungkin jauh dari sempurna baik isi
maupun bahasanya, dengan semua keterbatasan tersebut, say
mendapat masukan yang bermanfaat demi kebaikan kita semua.
Dengan berakhirnya masa pendidikan saya, maka pada kesempatan
yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyam
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak
Prof. Chairuddin Panusunan Lubis, dr, SpA(K), DTM&H, yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan
Dokter Spesialis I di Dep
Sumatera Utara Medan.
Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Prof. Gontar Alamsyah, dr, SpPD-KGEH, yang telah
Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam
Malik Medan yang telah mengizinkan dan memberikan kesempatan kepada
saya untuk belajar dan bekerja di lingkungan Rumah Sakit ini.
Yang terhormat Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, SpTHT-KL(K)
sebagai Kepala Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan
yang telah banyak memberikan petunjuk, pengarahan serta nasehat baik
sebagai Kepala Departemen, sebagai guru bahkan orang tua selama saya
mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU RSUP H. Adam Malik
Medan.
Yang terhormat Prof. Askaroellah Aboet, dr, SpTHT-KL(K) sebagai
Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen THT-KL
FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan atas bimbingan dan dorongan
semangat yang diberikan sehingga menimbulkan rasa percaya diri, baik
dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya.
Yang terhormat Prof. Askaroellah Aboet, dr, SpTHT-KL(K) sebagai
ketua pembimbing tesis saya. Yang terhormat dr. Harry Agustaf Asroel,
SpTHT-KL dan dr. Ida Sjailendrawati Harahap, SpTHT-KL sebagai anggota
pembimbing tesis, yang telah banyak memberikan petunjuk, perhatian serta
bimbingan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Saya mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan
bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan
Yang terhormat guru saya di jajaran THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam
Malik Medan, dr. Asroel Aboet, KL(K), Prof. Ramsi Lutan, dr,
SpTHT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, SpTHT-SpTHT-KL(K), Prof. Askaroellah Aboet, dr,
SpTHT-KL(K), Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, SpTHT-KL(K), dr. Muzakkir
Zamzam, SpTHT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL, dr. T. Sofia
Hanum, SpTHT-KL(K), dr. Linda I. Adenin, SpTHT-KL, Dr. dr. Delfitri Munir,
SpTHT-KL(K), dr. Hafni, SpTHT-KL(K), dr. Ida Sjailandrawati H, SpTHT-KL,
dr. Adlin Adnan, SpTHT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, SpTHT-KL, dr. Ainul
Mardhiah, SpTHT-KL (almarhumah), dr. Siti Nursiah, SpTHT-KL, dr. Andrina
Y.M. Rambe, KL, dr. Harry A. Asroel, KL, dr. Farhat,
SpTHT-KL, dr. T. Siti Hajar Haryuna, SpTHT-SpTHT-KL, dr. Aliandri, SpTHT-KL dan dr. Ashri
Yudhistira, SpTHT-KL yang telah banyak memberikan bimbingan dalam ilmu
dan pengetahuan dibidang THT-KL, baik secara teori maupun keterampilan
yang kiranya sangat bermanfaaat bagi saya di kemudian hari.
Yang terhormat Bapak Kepala Departemen/ Staf Radiologi FK USU/
RSUP.H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen/ Staf Radiologi RS.
Materna Medan, Kepala Departemen/ Staf Anestesiologi dan Reanimasi FK
USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen/ Staf Patologi
Anatomi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan
bimbingan kepada saya selama menjalani stase asisten di Departemen
tersebut. Saya mengucapkan terima kasih.
Yang terhormat Direktur/ Staf RSUD. Lubuk Pakam, RS Tembakau
Medan, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan
menjalani stase pendidikan di keempat rumah sakit tersebut.
Yang terhormat dr. Sidik Rauf, SpTHT-KL, dr. Farhaan Abdullah,
SpTHT-KL, selaku Kepala Departemen/ Staf Departemen THT Rumkit Dam I
Bukit Barisan Medan, serta dr. Sari Soelaiman, SpTHT-KL selaku Kepala
Poliklinik THT Lubuk Pakam yang telah memberikan kesempatan dan
bimbingan selama saya menjalani stase pendidikan di rumah sakit tersebut.
Yang terhormat dr. Dewi F. Shahnan, SpTHT-KL beserta staf selaku
kepala Departemen/ Staf Departemen THT RSU dr. Pirngadi Medan yang
telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada saya selama
menjalani stase pendidikan di rumah sakit tersebut.
Yang terhormat dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes. staf Departemen
Ilmu Kesehatan Masyarakat/ Ilmu Kedokteran Pencegahan/ Ilmu Kedokteran
Komunitas yang telah banyak membantu saya di bidang statistik dalam
pengolahan data tesis ini.
Yang terhormat drg. Fidelis Susanto Adiwinata, SpOrt. Staf pengajar
luar biasa pada PPDGS Ortodonti FKG-USU Medan yang telah banyak
memberi masukan, perhatian dan bimbingan di bidang ilmu lateral
cephalometric radiography dalam penulisan tesis ini.
Yang Mulia Ayahanda Hasyim dan Ibunda Siti Aisyah yang dengan
segala daya upaya telah mengasuh, membesarkan dan membimbing dengan
penuh kasih sayang semenjak kecil sehingga saya dewasa agar menjadi
membacakan doa ke hadirat Allah SWT, ampunilah dosa kedua orang tua
saya serta sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi saya
sewaktu kecil. Terima kasih juga saya tujukan kepada kakak, abang dan
adik-adik saya yang telah memberikan dorongan semangat selama saya
menjalani pendidikan ini.
Yang terhormat kedua mertua saya Muchlis B, Hj. Ruaidah serta
abang dan kakak ipar yang telah memberikan dorongan semangat kepada
saya sehingga pendidikan ini dapat selesai.
Kepada isteriku tercinta Yulza Muchlis dan anak-anakku tersayang
Shalma Fairisza Irwan, Zahwa Restia Aathifa Irwan dan Hastika Dwanda
Irwan yang selalu menyayangi serta dengan penuh cinta kasih mendampingi
saya selama mengikuti pendidikan ini. Tiada kata yang lebih indah yang
dapat diucapkan selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas
pengorbanan, kesabaran, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada
henti-hentinya sehingga dengan ridho Allah SWT. akhirnya kita sampai pada
saat yang berbahagia ini.
Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan, saya ucapkan
terima kasih.
Yang tercinta teman-teman sejawat peserta pendidikan keahlian Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher yang telah
bersama-sama baik dalam suka maupun duka, saling membantu sehingga
lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah SWT.
selalu memberkahi kita semua.
Kepada paramedis dan karyawan Departemen THT Bedah Kepala dan
Leher FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak membantu
dan bekerjasama selama saya menjalani pendidikan ini, saya ucapkan terima
kasih.
Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas
kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala
bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti
pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT
yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Amin, amin ya
robbal ‘alamin,
Medan, 11 Juli 2009
Penulis
HUBUNGAN PARAMETER KRANIOFASIAL DAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK BENIGNA PADA PENDERITA DEWASA
Abstrak
Latar Belakang : Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan salah satu penyakit infeksi kronik yang sering terjadi pada usia anak-anak, dan pada
usia ini merupakan periode aktif pertumbuhan tulang kraniofasial. Gangguan
fungsi tuba Eustachius merupakan faktor penting pada patogenesis
terjadinya OMSK benigna. Lokasi tuba Eustachius sangat berhubungan
dengan proses pertumbuhan dan perkembangan anatomi tulang kraniofasial
dan ukuran parameter kraniofasial daerah sekitarnya. Penelitian ini dilakukan
untuk melihat ukuran parameter kraniofasial, serta melihat hubungan ukuran
parameter kraniofasial dengan OMSK benigna dewasa.
Metode Penelitian : Penelitian ini dilakukan dengan studi potong lintang (cross sectional study) yang bersifat deskriptif analitik di Departemen THT-KL
FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian dilakukan pada
30 penderita OMSK benigna dewasa dan 30 kontrol. Terhadap penderita
OMSK benigna dewasa dan kontrol dilakukan foto lateral cephalometric
radiography, pengukuran parameter kraniofasial dilakukan pada hasil digital
cephalogram. Data dianalisa dengan uji t independent dengan batas
kemaknaan p<0,05.
dewasa normal (kontrol) pada ukuran panjang mep-pmp, mep-ma, ptm-pns,
n-ba, s-ptm, n-ans dan mep.ptm.pnsangle, SBaL/TLangle, NSL/TLangle,
ba.s.nangle, s.n.ansangle dan NSL/PLangle.
Kesimpulan : Terdapat hubungan (perbedaan) yang bermakna antara ukuran parameter kraniofasial penderita OMSK benigna dewasa dengan
dewasa normal (kontrol).
Kata Kunci : OMSK benigna, tuba Eustachius, parameter kraniofasial.
CORRELATION BETWEEN CRANIOFACIAL PARAMETER AND BENIGN CHRONIC SUPPURATIVE OTITIS MEDIA IN ADULT PATIENTS Abstract
Background: Chronic Suppurative Otitis Media (CSOM) is one of chronic infection disease which usually in childhood and this periode is characterized
by active growing of the craniofacial skeleton. Insufficiency in functions of the
Eustachian tube has been suggested as an important factor in pathogenesis
of benign CSOM. Growth and development of the anatomic region where the
Eustachian tube is located are associated with the parameters related to
other parts of the craniofacial skeleton. This research is to determine the
measurement of craniofacial parameter and correlation of craniofacial
parameter measurements with adult benign CSOM.
Results: There are a significant differences (p<0,05) in measurement of mep-pmp, mep-ma, ptm-pns, n-ba, s-ptm, n-ans and mep.ptm.pnsangle,
Sbal/T angle, NSL/TLangle, ba.s.nangle, s.n.ans angle and NSL/PLangle.
Conclusion: There are a significant correlation of craniofacial parameters measurement between adult benign CSOM patients and control group.
DAFTAR ISI
2.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Tulang Tengkorak ……… 22
2.3 Otitis Media Supuratif Kronik ……….. 25
2.4 Cephalometric Radiography ……… 27
2.4.1 Teknik Lateral Cephalometric Radiography ………. 27
2.4.2 Teknik Penjiplakan dan Identifikasi Landmark pada Film Cephalogram ………. 28
2.5 Hubungan Parameter Kraniofasial dengan OMSK ……….. 37
BAB 3 : KERANGKA KONSEPTUAL ……….. 41
BAB 4 : METODE PENELITIAN ……… 42
4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ……… 42
4.2 Populasi, Sampel, Kontrol, Besar sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ……… 42
4.2.1 Populasi ………... 42
4.2.2 Sampel ………. 42
4.2.3 Kontrol ……….. 43
4.2.4 Besar Sampel ………. 43
4.3 Variabel Penelitian ………. 44
4.3.1 Klasifikasi Variabel Penelitian ……….. 44
4.3.2 Definisi Operasional Variabel ……… 44
4.4 Bahan dan Alat Penelitian ………. 49
4.5 Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 49
4.6 Kerangka Kerja ……… 50
4.7 Pelaksanaan Penelitian ……….. 51
4.8 Cara Analisa Data ……… 52
BAB 5 : HASIL PENELITIAN ………. 53
BAB 6 : PEMBAHASAN ………. 67
BAB 7 : KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 83
7.1. Kesimpulan ……… 83
7.2. Saran ………... 83
DAFTAR PUSTAKA ………. 84
LAMPIRAN ………. 87
Lampiran 1. Data Sampel dan Hasil Pengukuran Parameter Kraniofasial ……… 87
Lampiran 2. Data Kontrol dan Hasil Pengukuran Parameter Kraniofasial ……… 89
Lampiran 3. Status Penelitian ………. 91
Lampiran 4. Lembaran Penjelasan Kepada Subyek Penelitian …………. 95
Lampiran 5. Lembaran Persetujuan Setelah Penjelasan ……… 98
Lampiran 6. Persetujuan Komite Etik Penelitian ……….. 99
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 : Film cephalogram ... 29
Gambar 2.2 : Titik dan garis referensi yang berhubungan dengan tulang-tulang kraniofasial ………. 32
Gambar 2.3 : Titik dan garis referensi berhubungan dengan sistem
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 5.1 : Distribusi penderita OMSK benigna dan kontrol berdasarkan umur ... 53
Tabel 5.2 : Distribusi penderita OMSK benigna dan kontrol berdasarkan suku bangsa ... 54
Tabel 5.3 : Distribusi penderita OMSK benigna dan kontrol berdasarkan jenis kelamin ... 55
Tabel 5.4 : Distribusi penderita OMSK benigna berdasarkan telinga yang sakit ... 55
Tabel 5.5 : Distribusi rata-rata ukuran parameter garis dan sudut yang berhubungan dengan sistem mastoid-telinga tengah-tuba
Eustachius pada kontrol ... 56
Tabel 5.6 : Distribusi rata-rata ukuran Parameter garis dan sudut yang berhubungan dengan sistem mastoid-telinga tengah-tuba Eustachius pada penderita OMSK benigna dewasa ... 57
Tabel 5.7 : Distribusi rata-rata ukuran parameter garis dan sudut yang berhubungan dengan tulang basis kranial dan nasofaring pada kontrol ... 58
Tabel 5.8 : Distribusi rata-rata ukuran Parameter garis dan sudut yang berhubungan dengan tulang basis kranial dan nasofaring pada penderita OMSK benigna dewasa ... 59
Tabel 5.9 : Distribusi rata-rata ukuran parameter garis dan sudut yang berhubungan dengan tulang fasial (wajah)pada kontrol ... 60
Tabel 5.10: Distribusi rata-rata ukuran Parameter garis dan sudut yang berhubungan dengan tulang fasial (wajah)pada penderita OMSK benigna dewasa ... 61
Tabel 5.11: Hubungan ukuran parameter garis dan sudut referensi yang berhubungan sistem mastoid-telinga tengah-tuba Eustachius antara kelompok penderita OMSK benigna dewasa dengan
Tabel 5.12: Hubungan ukuran parameter garis dan sudut referensi yang berhubungan dengan tulang basis kranial dan nasofaring antara kelompok penderita OMSK benigna dewasa dengan kelompok kontrol ... 64
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang terbesar pada beberapa populasi di dunia, yang dapat
menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Penyakit ini berdampak nyata pada
kerugian ekonomi dan sosial. Hal ini umumnya terjadi pada komunitas miskin
pada suatu negara berkembang dan tentunya menimbulkan kerugian pada
negara berkembang (WHO, 1996). OMSK juga merupakan salah satu
penyakit infeksi kronik yang sering terjadi pada usia anak-anak, dan pada
usia ini merupakan periode aktif pertumbuhan tulang kraniofasial (Kemaloğlu, 1995 ; Verhoeff, 2006).
Angka kejadian OMSK jauh lebih tinggi di negara-negara sedang
berkembang dibandingkan dengan negara maju, karena beberapa hal
misalnya higiene yang kurang, faktor sosioekonomi, gizi yang rendah,
kepadatan penduduk serta masih ada pengertian masyarakat yang salah
terhadap penyakit ini sehingga mereka tidak berobat sampai tuntas (Mills,
1997; Djaafar, 2003).
Patogenesis terjadinya OMSK adalah multifaktor, antara lain infeksi
virus atau bakteri, alergi, kekebalan tubuh, lingkungan, sosial ekonomi,
obstruksi tuba Eustachius, faktor anatomi dan gangguan fungsi tuba
pada patogenesis terjadinya otitis media, meskipun juga dilaporkan bahwa
tidak terdapatnya obstruksi tuba Eustachius pada anak-anak dengan OMSK.
Penelitian-penelitian sebelumnya berpendapat bahwa gangguan fungsi tuba
Eustachius berhubungan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan
tulang kraniofasial postnatal (Kemaloğlu, 2000; Helmi, 2005; Verhoeff, 2006). Insiden OMSK semakin berkurang dengan bertambahnya umur.
Menurunnya insiden OMSK ini berhubungan dengan perubahan posisi tuba
Eustachius, dimana pada orang dewasa posisinya lebih vertikal. Perubahan
posisi tuba Eustachius ini terjadi akibat pertumbuhan dan perkembangan
tulang-tulang kraniofasial. Pada tahun 1862, Politzer berpendapat bahwa
proses terjadinya otitis media disebabkan oleh buruknya fungsi tuba
Eustachius. Tahun 1925, Pautow melaporkan hasil penelitiannya tentang
hubungan bentuk kepala dengan morfologi tuba Eustachius, dia
mendapatkan bahwa orang dewasa dengan bentuk kepala brachycephalic
mempunyai bentuk tuba yang relatif lebih lurus. Tahun 1987, Worley et al
juga mendapatkan kesimpulan yang sama. Disamping itu, telah diketahui
bahwa anak-anak dengan kelainan kraniofasial seperti pada celah palatum
(palato schisis) dan Down syndrome sering mengalami infeksi telinga tengah.
Proses terjadinya infeksi ini akibat dari kelainan tulang dasar tengkorak dan
berhubungan dengan kelainan bentuk tuba Eustachius (DiFrancesco, 2007).
Kemaloğlu et al di Turki pada tahun 1995, mengevaluasi sistem mastoid-telinga tengah-tuba Eustachius pada 30 penderita otitis media
cephalometric radiography untuk mengukur titik dan garis yang berhubungan
dengan tulang kraniofasial dan sistem mastoid-telinga tengah-tuba
Eustachius. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang bagian tulang tuba
Eustachius, panjang bagian vertikal otot tensor veli palatini dan sistem sel
udara mastoid lebih kecil pada pasien otitis media (Kemaloğlu, 1995).
Kemaloğlu et al di Jepang pada tahun 1999, dari hasil penelitian klinik dan data cephalometric pada 37 anak-anak Jepang yang terdiri dari 12
penderita celah palatum (palato schisis), 25 penderita bibir sumbing unilateral
disertai celah palatum (labiopalato schisis) dan 40 orang kontrol. Data
menunjukkan bahwa OMSK lebih sering terjadi pada anak-anak yang
menderita bibir sumbing unilateral disertai celah palatum (76%) dan pada
anak-anak yang menderita celah palatum saja (67%) dibandingkan kontrol
(10 %). Terdapat perbedaan pada ukuran sistem mastoid-telinga tengah-tuba
Eustachius yang berhubungan dengan kecenderungan terjadinya OMSK
pada kasus bibir sumbing unilateral disertai celah palatum (Kemaloğlu, 1999). Kemaloğlu et al di Jepang pada tahun 2000, dari penelitian yang dilakukan pada 50 orang Jepang dewasa (25 laki-laki dan 25 perempuan)
mendapatkan data penelitian yang menunjukkan bahwa
parameter-parameter kraniofasial sangat jelas berpengaruh pada ukuran panjang tuba
Eustachius dan menunjukkan hubungan antara abnormalitas kraniofasial dan
tuba Eustachius merupakan sesuatu yang penting pada terjadinya otitis
DiFrancesco et al di Brazil pada tahun 2003, melakukan penelitian
pada 66 orang dewasa (usia 18 – 40 tahun) yang dibagi dalam dua kelompok
(32 penderita OMSK dan 34 orang normal). Berdasarkan analisa statistik
terhadap hasil pengukuran cephalometric pada pasien OMSK dan normal
didapatkan perbedaan yang bermakna. Dari penelitian ini DiFrancesco et al
berkesimpulan bahwa ada empat ukuran parameter kraniofasial yang dapat
digunakan untuk meramalkan perkembangan otitis media, yaitu : panjang
basis kranial anterior, sudut antara basis kranial, sudut kedalaman
maksila dan anterior upper face height / AUFH (DiFrancesco, 2003;
DiFrancesco, 2007).
Pada pemeriksaan cephalometric radiography, dapat ditentukan
ukuran-ukuran tulang, gigi dan jaringan lunak komplek kraniofasial.
Cephalometric radiography memungkinkan untuk mengevaluasi komplek
karniofasial melalui proyeksi lateral cephalometric radiography dan
posteroanterior cephalometric radiography dengan tujuan untuk membuat
pengukuran kepala. Cephalometric radiography memungkinkan untuk
mempelajari hubungan posisi mandibula, maksila dan basis kranium
dengan struktur komplek kraniofasial (Sadowsky, 1995; Weems, 1995;
DiFrancesco, 2003).
Lateral cephalometric radiography memberikan data bilateral.
Rata-rata ukuran yang diperoleh dari lateral cephalometric radiography merupakan
angka rata-rata ukuran dari sisi kanan dan kiri tulang tengkorak. Todd et al
ukuran-ukuran pada dasar tengkorak dan tuba Eustachius antara sisi kiri dan
kanan pada tulang tengkorak (Kemaloğlu, 2000).
1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan ukuran parameter kraniofasial dengan
penderita OMSK benigna dewasa.
1.3 Hipotesis
Terdapat hubungan ukuran parameter kraniofasial dengan penderita
OMSK benigna dewasa.
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan ukuran parameter kraniofasial dengan
penderita OMSK benigna dewasa.
1.4.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui ukuran parameter garis dan sudut referensi tulang
kraniofasial pada penderita OMSK benigna dewasa.
b. Mengetahui ukuran parameter garis dan sudut referensi tulang
c. Mengetahui perbedaan ukuran parameter garis dan sudut referensi
tulang kraniofasial penderita OMSK benigna dewasa dengan dewasa
normal (kontrol).
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Dapat mengetahui parameter kraniofasial yang menjadi faktor
penyebab terjadinya perubahan posisi tuba Eustachius sehingga
mempengaruhi perkembangan kedepan penyakit OMSK benigna.
1.5.2 Sebagai pengembangan keilmuan di bidang Ilmu Kesehatan Telinga
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Anatomi Tulang Tengkorak
Tengkorak dibentuk oleh sejumlah tulang-tulang, sebagian besar
tulang-tulang tengkorak merupakan tulang pipih dan saling terikat oleh
sendi-sendi kaku yang disebut sutura. Jaringan pengikat antara tulang-tulang
disebut sutura ligamentum. Bentuk sutura tidak rata dan terlihat seperti gerigi.
Sutura yang terpanjang dan sangat penting yaitu sutura coronalis, sutura
sagittalis, sutura squamosa dan sutura lambdoidea yang menghubungkan
tulang-tulang kranium (Snell, 1995; Marieb, 2001).
Tengkorak terdiri dari 22 buah tulang, 21 buah tulang terikat secara
bersama-sama dan 1 buah tulang mandibula atau tulang rahang bawah yang
dapat bergerak dan berhubungan dengan tengkorak oleh sepasang sendi
sinovial. Tulang-tulang tengkorak dapat dibagi menjadi dua, yaitu
tulang-tulang kranium dan tulang-tulang-tulang-tulang fasial. Tulang-tulang-tulang kranium menutupi dan
melindungi otak dan tempat melekatnya otot-otot kepala dan leher.
Tulang-tulang fasial membentuk kerangka wajah, membentuk rongga tempat
organ-organ sensori, tempat lewatnya makanan dan udara pernafasan, tempat
tumbuhnya gigi dan tempat melekatnya otot-otot wajah (Hollinshead, 1985;
Tulang-tulang kranial terdiri dari : tulang frontale (1 buah), tulang
parietale (2 buah), tulang occipitale (1 buah), tulang temporal (2 buah), tulang
sphenoidale (1 buah) dan tulang ethmoidale (1 buah). Tulang-tulang fasial
terdiri dari : tulang zygomaticum (2 buah), maksila (2 buah), tulang nasale
(2 buah), tulang lacrimale (2 buah), vomer (1 buah), tulang palatinum
(2 buah), tulang conchae nasalis inferior (2 buah) dan mandibula (1 buah)
(Snell, 1995; Marieb, 2001).
a. Gambaran anterior tulang tengkorak
Tulang frontale melengkung kearah bawah membentuk batas atas
orbita. Pada bagian medial, tulang frontale bersendi dengan processus
frontalis maxilla dan tulang nasale. Pada bagian lateral, tulang frontale
bersendi dengan tulang zygomaticum. Orbita dibatasi oleh superior: tulang
frontale, lateral: tulang zygomaticum, inferior: maksila dan medial: processus
maxilla dan tulang frontale (Snell, 1995).
Punggung hidung dibentuk oleh dua buah tulang nasale. Pinggir
bawahnya berbatasan dengan maksila, membentuk apertura nasalis anterior.
Kavum nasi dibagi menjadi dua oleh tulang septum nasal, yang sebagian
besar adalah vomer. Concha nasalis superior dan media menonjol ke kavum
nasi berasal dari tulang ethmoidale, concha nasalis inferior merupakan tulang
tersendiri (Snell, 1995).
Dua buah tulang maksila membentuk rahang atas, bagian anterior
Kedua tulang-tulang ini bertemu di garis tengah pada sutura intermaxillaris
dan membentuk batas bawah apertura nasalis (Snell, 1995).
Tulang zygomaticum membentuk penonjolan pipi, dinding lateral dan
dasar kavum orbita. Pada bagian medial tulang zygomaticum bersendi
dengan maksila, dan lateral bersendi dengan processus zygomaticus tulang
temporal untuk membentuk arcus zygomaticus. Mandibula atau rahang
bawah, terdiri dari corpus horizontal dan dua ramus vertikal. Corpus bertemu
dengan ramus pada angulus mandibulae. Batas atas mandibula adalah
bagian alveolaris yang terdapat gigi-gigi bawah (Snell, 1995).
b. Gambaran lateral tulang tengkorak
Tulang frontale membentuk bagian sisi anterior tengkorak dan
bersendi dengan tulang parietale oleh sutura coronalis. Tulang parietale
membentuk bagian samping dan atap tengkorak, kemudian bersendi dengan
tulang parietale yang lainnya pada garis tengah oleh sutura sagittalis. Dan
bersendi dengan tulang occipitale pada bagian belakang oleh sutura
lambdoidea (Snell, 1995).
Tangkorak bagian lateral dibentuk secara keseluruhan oleh bagian
squamousa tulang occipitale; bagian-bagian tulang temporale yaitu
squamousa, tympanic, processus mastoideus, processus styloideus dan
processus zygomaticus; dan ala major tulang sphenoidale. Ramus dan
c. Gambaran posterior tulang tengkorak
Pada bagian posterior kedua tulang parietale dibagi oleh sutura
sagittale di sebelah atas. Pada bagian bawah, tulang parietale bersendi
dengan bagian squamosa tulang occipitale oleh sutura lambdoidea. Pada
setiap sisi tulang occipitale bersendian dengan tulang temporal. Pada garis
tengah tulang occipitale terdapat tonjolan kasar yang disebut protuberantia
occipitalis externa, yang merupakan tempat melekatnya otot dan ligamentum
nuchae. Pada setiap sisi protuberantia membentuk linea nuchae superior
yang meluas ke lateral kearah tulang temporal (Snell, 1995).
d. Gambaran superior tulang tengkorak
Pada bagian anterior, 1 buah tulang frontale yang bersendi dengan
2 buah tulang parietale oleh sutura coronalis. Pada bagian belakang, diantara
kedua tulang parietale membentuk sendi di garis tengah oleh sutura sagittale.
Pada bagian tengah tulang parietale terbentuk tonjolan kecil disebut
eminentia parietale (Snell, 1995).
c. Gambaran inferior tulang tengkorak
Jika mandibula dibuang, maka pada bagian anterior dibentuk oleh
palatum durum. Processus palatinus maxilla dan bidang horizontal dari tulang
palatinum dapat dikenali. Pada anterior garis tengah terdapat fossa dan
foramen incisivum. Pada posterolateral terdapat foramen palatinum major
inferior lamina pterygoideus medial memanjang seperti ujung tulang yang
melengkung disebut hamulus pterygoideus, ujung superior melebar
membentuk fossa scaphoid (Snell, 1995).
Posterolateral dari lamina pterygoideus lateral, pada bagian ala major
sphenoid terdapat foramen ovale dan foramen spinosum. Posterolateral dari
foramen spinosum terdapat spina ossis sphenoidalis. Di atas pinggir medial
fossa scaphoid, tulang sphenoidale ditembus oleh canalis pterygoideus.
Dibelakang spina ossis sphenoidalis, di antara tulang sphenoid dan bagian
petrosus tulang temporal terdapat lekukan tempat bagian tulang rawan tuba
Eustachius dan ostium bagian tulang tuba Eustachius (Snell, 1995).
Fossa mandibularis dari tulang temporal dan tuberculum articulare
membentuk permukaan atas sendi temporomandibularis. Processus
styloideus dari tulang temporal menonjol ke arah bawah dan ke arah depan.
Orifisium canalis caroticus terdapat pada permukaan inferior bagian petrosus
tulang temporal(Snell, 1995).
Lempeng timpani, yang merupakan bagian dari tulang temporal,
berbentuk seperti C dan membentuk bagian tulang meatus acusticus
externus. Diantara processus styloideus dan processus mastoideus terdapat
foramen stylomastoideum. Posterior dari foramen magnum pada garis tengah
terdapat crista occipitalis externa menuju kearah atas dan belakang ke
2.1.2 Anatomi Telinga Tengah
Telinga berfungsi sebagai organ pendengaran dan pengatur
keseimbangan. Secara anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu
telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam (Soetirto, 2004). Telinga tengah
terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba eustachius dan prosesus
mastoideus (Dhingra, 2007).
a. Membran timpani
Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani yang
memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran timpani ini
berbentuk oval dan mempunyai ukuran panjang vertikal rata-rata 9-10 mm,
dan diameter antero-posterior kira-kira 8-9 mm, tebal kira-kira 0,1 mm.
Membran ini tipis, licin dan berwarna putih mutiara (Dhingra, 2007). Membran
timpani terdiri dari tiga lapisan, lapisan luar terdiri dari epitel skuamosa,
bagian dalam merupakan lanjutan dari mukosa telinga tengah yang dilapisi
epitel kuboidal. Lapisan tengah merupakan lapisan fibrosa yang terdiri dari
dua lapisan yaitu lapisan radial dan sirkuler (sirkumferensial) (Yates, 2008).
Secara anatomis membran timpani dibagi dalam dua bagian yaitu:
1. Pars tensa, merupakan bagian terbesar dari membran timpani
merupakan suatu permukaan yang tegang dan bergetar dengan
sekelilingnya yang menebal dan melekat di anulus timpanikus pada
2. Pars flaksida atau membran Sharpnell, letaknya di bagian atas muka
dan lebih tipis dari pars tensa. Pars flaksida dibatasi oleh dua lipatan
yaitu plika maleolaris anterior (lipatan muka) dan plika maleolaris
posterior (lipatan belakang) (Dhingra, 2007).
b. Kavum timpani
Kavum timpani mempunyai bentuk ireguler, antara dinding lateral dan
dinding medial kavum timpani berisi udara. Kavum timpani terdiri dari tiga
bagian yaitu bagian superior yang berhubungan dengan membran timpani
disebut epitimpani atau atik, yang terletak dipinggir atas dari membran
timpani. Setentang membran timpani adalah mesotimpani dan dibawah
pinggir membran timpani disebut hipotimpani (Colman, 1993; Yates, 2008).
Kavum timpani mempunyai enam dinding yaitu bagian atap, lantai,
dinding lateral, dinding medial, dinding anterior dan dinding posterior (Helmi,
2005; Dhingra, 2007).
Atap kavum timpani dibentuk oleh lempengan tulang yang tipis disebut
tegmen timpani. Tegmen timpani memisahkan telinga tengah dari fosa kranial
media (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).
Lantai kavum timpani dibentuk oleh tulang tipis yang memisahkan
lantai kavum timpani dari bulbus vena jugularis yang dinding superiornya
dibatasi oleh lempeng tulang yang mempunyai ketebalan yang bervariasi,
bahkan kadang-kadang hanya dibatasi oleh mukosa dengan kavum timpani
Dinding medial kavum timpani memisahkan kavum timpani dari telinga
dalam, ini juga merupakan dinding lateral dari telinga dalam. Dinding ini pada
mesotimpani menonjol kearah kavum timpani yang disebut promontorium.
Tonjolan ini karena didalamnya terdapat koklea (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).
Dinding posterior kavum timpani ke arah superior, terdapat sebuah
saluran disebut aditus yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum
mastoid melalui epitimpani. Pada bagian posterior ini, dari medial ke lateral
terdapat eminentia pyramidalis yang terletak di bagian supero-medial dinding
posterior, kemudian sinus posterior yang membatasi eminentia pyramidalis
dengan tempat keluarnya khorda timpani. Terdapat juga fosa inkudis yang
terletak persis diatas sinus lateral (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).
Dinding anterior kavum timpani sebagian besar berhadapan dengan
arteri karotis, dibatasi lempengan tulang tipis. Dibagian atas dinding anterior
terdapat semikanal otot tensor tympani yang terletak persis diatas muara
tuba eustachius (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).
Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani,
sedangkan dibagian epitimpani dinding lateralnya adalah skutum yaitu
lempeng tulang yang merupakan bagian pars skuamosa tulang temporal
(Helmi, 2005; Dhingra, 2007).
Ada 5 faktor yang mengatur tekanan pada kavum timpani, yaitu:
(Ahmed, 2004)
1. Fungsi ventilasi tuba Eustachius.
3. Ketebalan mukosa telinga tengah.
4. Elastisitas membran timpani.
5. Ukuran pneumatisasi mastoid.
c. Tuba Eustachius
Tuba Eustachius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani
bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang
menghubungkan antara kavum timpani dengan nasofaring. Tuba Eustachius
terdiri dari dua bagian yaitu bagain tulang yang terdapat pada bagian
belakang dan pendek (sepertiga bagian) dan bagian tulang rawan yang
terletak pada bagian depan dan panjang (duapertiga bagian) (Helmi, 2005).
Fungsi tuba Eustachius adalah sebagai ventilasi telinga tengah yang
mempertahankan keseimbangan tekanan udara didalam kavum timpani
dengan tekanan udara luar, drainase sekret yang berasal dari kavum timpani
menuju ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring
menuju ke kavum timpani (Healy, 2003; Helmi, 2005).
Lumen tuba Eustachius menghubungkan antara nasofaring
(proksimal) dengan telinga tengah (distal). Pada pertengahan terdapat
penyempitan yang disebut isthmus. Penelitian yang terbaru dengan
menggunakan pencitraan tiga dimensi pada 9 sampel tulang temporal
manusia oleh Sudo menunjukkan bahwa isthmus berada pada ujung distal
bagian tulang rawan dan bukan pada pertemuan bagian tulang rawan dengan
bagian tulang tuba Eustachius ini dinamakan junctional portion, pada orang
dewasa panjangnya 3 mm. Pada dinding lateral nasofaring terdapat
penonjolan disebut torus tubarius, yang menonjol ke nasofaring. Penonjolan
ini dibentuk oleh kumpulan jaringan lunak yang melapisi tulang rawan tuba
Eustachius (Bluestone, 2006).
Pada orang dewasa, tuba Eustachius lebih panjang dibandingkan
dengan bayi dan anak-anak. Panjang tuba Eustachius yang terpendek
30 mm dan terpanjang 40 mm, tetapi berdasarkan literatur rata-rata panjang
tuba Eustachius adalah antara 31 – 38 mm. Pada sepertiga posterior tuba
Eustachius orang dewasa merupakan bagian tulang yang panjangnya
11 – 14 mm, dan duapertiga anterior merupakan bagian tulang rawan yang
panjangnya 20 – 25 mm. Pada orang dewasa tuba Eustachius membentuk
sudut 450 terhadap bidang horizontal dan pada anak-anak hanya 100.
Anatomi basis kranial sangat berhubungan dengan panjang tuba Eustachius,
yang juga berhubungan dengan faktor predisposisi terjadinya penyakit telinga
tengah (Bluestone, 2006).
Bagian tulang tuba Eustachius (protympanum) seluruhnya berada
pada bagian petrosus tulang temporal dan dilanjutkan dengan dinding
anterior dari bagian superior telinga tengah. Pertemuan antara bagian tulang
dan epitimpanum kira-kira 4 mm di atas dasar kavum timpani. Hubungan
antara tuba Eustachius dan telinga tengah ini sangat penting pada fungsi
Bagian tulang tuba Eustachius mempunyai arah anteromedial,
mengikuti apex petrosus dan sedikit menyimpang dari bidang horizontal.
Bentuk lumen kira-kira seperti segitiga, ukuran diameter vertikal 2 – 3 mm
dan horizontal 3 – 4 mm. Pada keadaan normal bagian tulang tuba
Eustachius tetap terbuka, sedangkan bagian tulang rawan tertutup pada
waktu istirahat dan terbuka pada waktu menelan atau dipaksa membuka
seperti pada waktu valsava manuver. Bagian tulang dan tulang rawan tuba
Eustachius bertemu pada permukaan tulang yang tidak rata dan membentuk
sudut 1600. Dinding medial bagian tulang tuba Eustachius terdiri dari dua
bagian, yaitu posterolateral (labyrinthine) dan anteromedial (carotis), dimana
ukuran dan bentuknya tergantung pada posisi arteri carotis interna. Ukuran
rata-rata ketebalan bagian anteromedial adalah 1,5 – 3 mm dan pada 2 %
populasi tidak terbentuk dinding dan terpapar dengan arteri carotis interna
(Bluestone, 2006).
Bagian tulang rawan tuba Eustachius mempunyai arah anteromedial
dan inferior, membentuk sudut 300 – 400 terhadap bidang tranversal dan
membentuk sudut 450 terhadap bidang sagital. Bagian ini melekat dengan
kuat ke orifisium bagian tulang tuba Eustachius oleh jaringan ikat (fibrous)
dan meluas ke bagian tulang tuba Eustachius kira-kira 3 mm. Pada ujung
inferomedial melekat ke tuberculum pada pinggir posterior lamina
pterygoideus medial. Lumen tuba berbentuk seperti dua buah kerucut yang
saling berhubungan pada ujung-ujungnya. Pada lumen ini terdapat titik yang
pertemuan bagian tulang dan bagian tulang rawan tuba Eustachius. Diameter
lumen isthmus tinggi 2 mm dan lebar 1 mm. Dari sejak lahir sampai pubertas
panjang bagian tulang rawan tuba Eustachius semakin bertambah,
perkembangan ini mempunyai implikasi fisiologik (Bluestone, 2006).
Terdapat empat otot yang berhubungan dengan tuba Eustachius:
tensor veli palatini, levator veli palatini, salpingopharyngeus dan tensor
tympani. Masing-masing otot secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi fungsi tuba Eustachius. Meskipun terjadinya mekanisme
dilatasi tuba Eustachius masih kontroversi, kebanyakan bukti-bukti anatomi
dan fisiologi yang mendukung bahwa terjadinya dilatasi tuba Eustachius
hanya disebabkan oleh otot tensor veli palatini (Bluestone, 2006).
Ventilasi pada telinga tengah dipertahankan melalui adanya
pembukaan yang aktif pada lumen tuba Eustachius dan ini dapat terjadi
secara primer karena kontraksi otot tensor veli palatini dan secara sekunder
akibat kontraksi otot levator veli palatini terutama pada bagian anterior.
Sandoz et al telah menekankan bahwa pembukaan bagian superior lumen
tuba Eustachius diakibatkan oleh kontraksi otot tensor veli palatini yang
menarik lamina lateralis pada tulang rawan inferolateral tuba Eustachius.
Hipotesa ini memberikan suatu implikasi bahwa hubungan anatomis yang
berbeda antara otot tensor veli palatini dan lamina lateralis tulang rawan tuba
Eustachius dapat menjadi suatu faktor yang penting dalam memahami
perobahan fungsi ventilasi yang dihubungkan dengan peningkatan prevalensi
mendapatkan bahwa panjang tempat perlengketan otot tensor veli palatini di
lamina lateral tulang rawan tuba Eustachius masih pendek pada masa
anak-anak dan terus bertambah dengan meningkatnya usia, selanjutnya menetap
antara usia 17 sampai 38 tahun. Sebaliknya, tempat perlengketan otot tensor
veli palatini berkurang pada usia lanjut, dimana panjang tempat perlengketan
otot tensor veli palatini lebih pendek secara bermakna pada 3 subjek usia
lebih dari 70 tahun (p <0,01). Penemuan Suzuki et al mendukung kenyataan
bahwa terjadi peningkatan prevalensi otitis media pada anak-anak dan usia
lanjut (Suzuki, 2003).
Aktifitas otot tensor veli palatini dan otot levator veli palatini
merupakan faktor penting pada fungsi tuba Eustachius. Aktivitas otot levator
veli palatini menetap pada waktu dilatasi ostium tuba Eustachius, walaupun
aktifitas otot tensor veli palatini sudah berakhir. Kontraksi otot levator veli
palatini yang menetap ini menyebabkan bagian anterior tulang rawan tuba
Eustachius tetap terbuka setelah relaksasi otot tensor veli palatini. Tetap
terbukanya bagian anterior tulang rawan tuba eustachius setelah bagian
tulang rawan medial dan posterior tertutup oleh relaksasi otot tensor veli
palatini akan menghasilkan aksi pompa tuba Eustachius dari arah kavum
timpani ke nasofaring, hal ini membantu fungsi pembersihan telinga tengah
d. Prosesus mastoideus
Bagian terbesar tulang temporal dibentuk oleh bagian mastoid
disebelah posterior dan inferior. Namun demikian, karena bagian ini
mengalami pneumatisasi yang luas, massanya tidak melebihi bagian-bagian
tulang temporal lainnya. Prosesus mastoid menonjol kearah inferior
dibelakang meatus acusticus externus. Bagian ini berperan sebagai tempat
perlekatan otot-otot sternocleidomastoidea, splenius capitis dan longisimus
capitis. Pada bagian inferior terdapat suatu lekukan yang dalam yaitu fossa
digastricus, tempat melekatnya otot digastricus. Pada bagian dalam prosesus
mastoideus, lekukan ini membentuk eminentia digastricus yang merupakan
suatu patokan penting pada saat operasi mastoidektomi, karena foramen
stilomastoid merupakan tempat lewatnya nervus fasialis terletak pada ujung
anterior eminentia digastricus tersebut. Permukaan superior mastoid
merupakan suatu lempengan tipis terletak diatas antrum timpanika yang
dikenal dengan tegmen mastoid. Di posterior, bersama-sama dengan
permukaan posterior tulang petrosa membentuk batas anterior fosa kranial
posterior. Disini terdapat suatu lekukan dalam yang dibentuk oleh sinus
lateral atau sinus sigmoid. Dua buah saluran lain yang lebih kecil menuju ke
medial, berisi sinus petrosa inferior dan superior (Austin, 1994).
Prosesus mastoideus baru terbentuk pada usia satu tahun, antrum
mastoideum adalah ruangan pertama dan terbesar yang terdiri dari sel udara
mastoid. Sel udara ini berhubungan satu dengan lain dan pertumbuhan dari
menurut tipe perkembangannya dibagi atas prosesus mastoideus sklerotik,
diploik dan pneumatik. Bila drainase tidak baik pada mastoid akan mudah
terjadi radang (Helmi, 2005).
Luasnya pneumatisasi tulang temporal bervariasi untuk
masing-masing individu. Hal ini ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor heriditer dan
faktor lingkungan. Terjadinya otitis media pada masa bayi dan anak-anak
dapat menghambat pneumatisasi dan mengakibatkan sklerosis. Dilain pihak
terdapat bukti bahwa pneumatisasi yang terbatas merupakan faktor
predisposisi untuk infeksi telinga tengah (Austin, 1994). Sel udara mastoid
mempunyai peranan penting terhadap fungsi fisiologis telinga tengah.
Turmarkin dan Holmquist menyatakan bahwa sel udara mastoid berperan
sebagai rongga udara pada telinga tengah dan bertanggung jawab terhadap
pengaturan tekanan telinga tengah. Menurut Wittmaack’s (teori endodermal),
mukosa telinga tengah yang normal merupakan syarat mutlak untuk
terjadinya pneumatisasi normal sel udara mastoid, tetapi proses tersebut
dapat dihambat oleh inflamasi atau kelainan fungsi tuba Eustachius
(Virapongse, 1985; Ahmet, 2004).
Berdasarkan ukuran sistem sel udara mastoid, telinga dibagi atas
2 kelompok yaitu telinga dengan pneumatisasi rendah (low-pneumatized
ears) dan telinga dengan pneumatisasi baik (well-pneumatized ears).
Low-pneumatized ears mempunyai ukuran sistem sel udara mastoid < 8 cm2 dan
well-pneumatized ears mempunyai ukuran sistem sel udara mastoid > 8 cm2
Faktor predisposisi terjadinya otitis media supuratif adalah telinga
dengan pneumatisasi sel udara mastoid rendah (< 8 cm2). Menjadi kroniknya
otitis media supuratif menunjukkan tidak berfungsinya struktur sel udara
mastoid dalam mengatur dan mempertahankan fluktuasi tekanan telinga
tengah. Pada berbagai bentuk otitis media, terjadi tekanan negatif di telinga
tengah dan pengaturan tekanan ini tidak dapat dilakukan pada kasus dengan
pneumatisasi sel udara mastoid rendah (Ahmet, 2004)
Sade melaporkan pada 72 penderita OMSK dewasa didapatkan
52,2% dengan pneumatisasi sel udara mastoid rendah (< 8 cm2) dan 20%
dengan pneumatisasi sel udara mastoid baik (> 8 cm2). Pada 150 telinga
normal mendapatkan rata-rata volume pneumatisasi sel udara mastoid
12,9±4 cm2. Sade berpendapat bahwa otitis media supuratif dan
komplikasinya terjadi setelah perkembangan dan maturasi sistem sel udara
mastoid. Dia juga berpendapat bahwa proses inflamasi (seperti pada otitis
media supuratif) menyebabkan terjadinya keseimbangan negatif gas-gas di
telinga tengah. Menurut Sade dan Hadas, prognosis otitis media sangat
tergantung pada volume sistem sel udara mastoid. Semua penelitian
menunjukan bahwa tingkat pneumatisasi sel udara mastoid merupakan faktor
penting dalam prognosis otitis media (Ahmet, 2004)
2.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Tulang Tengkorak
Pada umumnya, pertumbuhan hanya mengenai bertambahnya
pertumbuhan. Jika hanya berdasarkan konsep itu, maka bayi akan tumbuh
seperti balon yang mengembang dan orang dewasa merupakan pembesaran
dari bayi. Ada 3 aspek yang mempengaruhi pertumbuhan yang digambarkan
pada kurva pertumbuhan Scammon yaitu bertambahnya ukuran,
berkurangnya ukuran (negative growth) dan pertumbuhan diferensiasi
(Jacobson, 1995).
Tengkorak dapat dibagi atas dua struktur utama yaitu bagian kranium
dan fasial. Bagian fasial terdiri dari nasal, maksila dan mandibula.
Pertumbuhan rongga otak atau calvarium sangat berhubungan dengan
pertumbuhan otak itu sendiri, sedangkan pertumbuhan tulang-tulang bagian
fasial mengikuti pertumbuhan somatik. Pada bayi baru lahir, bagian kranium
berukuran 8 sampai 9 kali lebih besar dibandingkan bagian fasial.
Perbandingan ukuran ini berubah akibat pertumbuhan diferensiasi sampai
ukuran bagian kranium kira-kira 50% dari wajah orang dewasa. Kecepatan
pertumbuhan diferensiasi juga terdapat pada pertemuan tulang-tulang
kranium dan fasial. Daerah atau area pertemuan antara tulang-tulang
kranium dan dentofasial dinamakan dengan basis kranial. Basis kranial terdiri
dari beberapa tulang-tulang pendukung yang berada di anterior foramen
magnum. Tulang-tulang yang membentuk basis kranial adalah bagian dasar
tulang occipitale, sphenoidale dan ethmoidale. Bagian intrakranial mengikuti
kurva pertumbuhan saraf dan bagian fasial mengikuti kurva pertumbuhan
Pertumbuhan yang tercepat terjadi pada tahun-tahun pertama
kelahiran. Selama 7 bulan pertama kelahiran, kecepatan pertumbuhan anak
laki-laki lebih cepat daripada anak perempuan. Dari usia 4 tahun sampai
masa pubertas, kecepatan pertumbuhan anak laki-laki sama dengan anak
perempuan. Perlambatan pertumbuhan masa pubertas mulai pada usia 13
tahun pada sebagian besar anak perempuan dan usia 15 tahun pada anak
laki-laki. Pertumbuhan pada perempuan berhenti pada usia 17 sampai 19
tahun, tetapi pada laki-laki bisa berlanjut sampai usia 20 tahun
(Jacobson, 1995).
Enlow pada tahun 1996 menyatakan bahwa perubahan pertumbuhan
pada bagian-bagian yang berbeda tulang kraniofasial mempengaruhi satu
sama lainnya. Basis kranial, komplek nasomaksilaris dan mandibula
merupakan unit-unit perkembangan utama pada tulang kraniofasial. Tuba
Eustachius dan otot-ototnya berlokasi diantara basis kranial posterior dan
maksila. Diketahui bahwa basis kranial posterior bergerak tumbuh ke arah
anterior bersama-sama lamina pterygoideus dan komplek nasomaksilaris
sebagai akibat dari berpindahnya letak fosa kranial media ke anterior sebagai
hasil dari pembesaran otak. Komplek nasomaksilaris bergerak ke arah bawah
dan ke depan oleh pergerakan primer dan aktifitas deposisi dan reposisi pada
maksila posterior. Pertumbuhan daerah dimana tuba Eustachius berada
tergantung pada aktifitas pertumbuhan kedua basis kranial (basis kranial
2.3 Otitis Media Supuratif Kronik
Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari
telinga (otorea) lebih dari 12 minggu, baik terus menerus atau hilang timbul
(Helmi, 2005; Kenna, 2006).
Banyak faktor medikal dan atau faktor abnormalitas anatomi yang
dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit telinga tengah. Kelainan
kraniofasial akan mempengaruhi fungsi tuba Eustachius sehingga dapat
meningkatkan resiko terjadinya otitis media. Anak-anak dengan celah
palatum atau kelainan bentuk wajah, dasar tengkorak atau hidung dan sinus
paranasal secara statistik mempunyai insiden otitis media yang tinggi pada
semua usia. Bayi dan anak mempunyai sistem immun yang belum matang
sehingga sangat rentan terjadinya otitis media. Kondisi lainnya yang
berhubungan dengan meningkatnya insidensi otitis media, seperti alergi,
nasal obstruksi (sinusitis, adenoid hipertropi, nasal atau nasofaring tumor),
prolonged nasal intubation dan refluks gastroesophageal (Kenna, 2006).
Abnormalitas fungsi tuba Eustachius merupakan dasar patogenesis
terjadinya otitis media. Tuba Eustachius pada bayi dan anak lebih pendek,
lebih horizontal dan fungsinya belum sempurna dibandingkan orang dewasa.
Infeksi saluran nafas atas akan menyebabkan edema dan menebalnya
mukosa tuba Eustachius dan telinga tengah sehingga lumen tuba Eustachius
menyempit. Keadaan ini meningkatkan tekanan negatif telinga tengah
saat tuba Eustachius terbuka. Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi
fungsi tuba Eustachius seperti obstruksi fungsional atau kelainan anatomi
tuba Eustachius dan abnormalitas mukosa (Parisier, 1974; Kenna, 2006).
OMSK dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe jinak (tipe tubotimpanik, tipe
benigna, tipe mukosa) dan tipe bahaya (tipe atiko-antral, tipe tulang, tipe
maligna) (Dhingra, 2004; Helmi, 2005).
OMSK tipe benigna, proses patologi telinga tengah pada tipe ini
didahului oleh kelainan fungsi tuba Eustachius, maka disebut juga sebagai
penyakit tubotimpanik. Terjadinya OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis
media berulang pada anak-anak, jarang dimulai setelah dewasa. Anak lebih
mudah mendapat infeksi telinga tengah karena struktur tuba Eustachius anak
yang berbeda dengan dewasa serta kekebalan tubuh yang belum
berkembang sempurna sehingga bila terjadi infeksi saluran nafas atas, maka
otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi (Dhingra, 2004;
Helmi, 2005).
OMSK tipe maligna adalah OMSK yang mengandung kolesteatoma.
Disebut tipe berbahaya karena sering menimbulkan komplikasi berbahaya.
Kolesteatoma adalah epitel gepeng dan debris tumpukan pengelupasan
keratin yang terjebak di dalam rongga timpanomastoid. Patofisiologinya bisa
terjadi kongenital maupun didapat. Tidak ada terapi medikamentosa untuk
kolesteatoma, untuk eradikasinya memerlukan pembersihan dengan operasi
2.4 Cephalometric Radiography
Cephalometric radiography adalah pencitraan tulang tengkorak yang
diperoleh dengan cara yang standar, sehingga menciptakan proyeksi
geometri antara sinar / film / pasien untuk mendapatkan pencitraan struktur
anatomi kranial, fasial dan oral. Proyeksi radiografi yang standar memberikan
ukuran yang tepat dan perbandingan antara strukrtur oral dan kraniofasial
secara langsung pada film, selanjutnya dilakukan penjiplakan sketsa
landmark anatomi tulang yang diperoleh dari film hasil pencitraan
(Weems, 1995).
Ada dua jenis proyeksi pada cephalometric radiography, yaitu : lateral
cephalometric radiography dan posteroanterior cephalometric radiography.
Lateral cephalometric radiography memperlihatkan pencitraan sebagian
besar struktur anatomi kranial, fasial dan oral dari arah lateral
(Weems, 1995).
2.4.1 Teknik Lateral Cephalometric Radiography
Posisi kepala pasien berada dalam cephalostat yang dapat
disesuaikan pada kedua telinga, kedua ujung cephalostat ditempatkan pada
masing-masing liang telinga, biasanya pasien pada posisi berdiri. Pasien
pada bidang midsagittal dalam posisi vertikal dan tegak lurus terhadap
sinar x. Bidang film sejajar dengan pasien dan sumber sinar x, juga tegak
lurus dengan sinar x. Bidang Frankfort pasien (garis yang menghubungkan
dengan lantai. Posisi pasien pada posteroanterior cepahalometric sama
dengan lateral cephalometric radiography, kecuali pasien diputar 900
sehingga wajah menghadap film (Smith, 1988; Weems, 1995).
Karena sinar x yang berasal dari sumber sinar membentuk pola
divergen, maka akan terbentuk pembesaran objek pada film. Besarnya
derajat pembesaran tergantung pada rasio jarak sumber sinar ke objek dan
jarak sumber sinar ke film. Untuk mengurangi efek ini, jarak antara sumber
sinar x ke bidang midsagittal kepala pasien adalah 5 kaki dan jarak bidang
midsagittal kepala pasien ke film adalah 15 cm (Smith, 1988; Weems, 1995).
2.4.2 Teknik Penjiplakan dan Identifikasi Landmark pada Film
Cephalogram
Pertama film cephalogram diletakkan di atas viewbox dengan wajah
pasien menghadap ke kanan, selanjutnya ke empat sudut dilekatkan dengan
plester ke viewbox. Dengan menggunakan pena tinta hitam dibuat tiga buah
tanda tambah (+) di atas film cephalogram, dua buah di dalam kranium dan
satu buah di daerah vertebra cervical. Tanda tambah ini akan membantu
orientasi saat penjiplakan pada kertas asetat. Berikutnya, kertas asetat
diletakkan di atas film cephalogram dan diplester dengan kuat pada film dan
viewbox. Setelah kertas asetat dilekatkan dengan kuat, kemudian dibuat
jiplakan tiga buah tanda tambah. Tuliskan nama pasien, nomor catatan
medik, umur dalam tahun dan bulan, tanggal film cephalogram dibuat dan
dimulai penjiplakan sketsa dengan menggunakan pensil. Penggunaan
pensil dengan tekanan yang halus, tidak putus-putus dan hindari
penghapusan (Caufield, 1995).
Gambar 2.1 Film cephalogram (Shin 2002).
Sketsa bentuk jaringan lunak atau jaringan keras (seperti nasion,
anterior nasal spine) bila merupakan bayangan garis yang kabur, maka untuk
lebih memperjelas visualisasi kurangi pencahayaan dengan menggunakan
satu atau lebih kertas karbon hitam (Caufield, 1995).
Setelah penjiplakan selesai, hasil penjiplakan dapat dilepaskan dari
viewbox dan film cephalogram. Terlebih dahulu landmark dibuat, kemudian
ketetapan umum, hanya titik yang melambangkan landmark yang ditulis
langsung pada kertas penjiplakan asli. Menggambar beberapa garis atau
notasi pada hasil penjiplakan asli harus dihindari, karena hal yang demikian
dapat membuat berantakan penjiplakan dan sering mengaburkan
bagian-bagian yang dibutuhkan untuk perbandingan selanjutnya (Caufield, 1995).
Pada saat sekarang ini, mesin radiografi konvensional yang
menggunakan film sudah mulai digantikan oleh sistem digital. Keuntungan
menggunakan radiografi digital dibandingkan dengan radiografi konvensional
yang menggunakan film akan membuat penyimpanan hasil pencitraan
menjadi lebih mudah, pencitraan yang dihasilkan lebih cepat, beban radiasi
lebih kecil, penggunaan bahan-bahan kimia berkurang dan lebih banyak
pilihan untuk memanipulasi hasil pencitraan dari segi ukuran dan kontras.
Dari hasil penelitian Schulze et al pada tahun 2002 di Jerman mendapatkan
bahwa ketepatan dan kemampuan untuk mengidentifikasi landmark pada
cephalogram digital dibandingkan dengan cephalogram konvensional adalah
sama (Schulze, 2002).
a. Titik dan garis referensi pada lateral cephalometric radiography. Beberapa titik dan garis referensi yang digunakan sebagai landmark
pada lateral cephalometric radiography, yaitu : (Caufield 1995; Kemaloğlu, 1999; Kemaloğlu, 2000)
ans : Anterior nasal spine, titik paling ujung pada bagian anterior dasar
ar : Articulare, titik perpotongan antara kontur eksternal basis kranial
dan kontur dorsal caput atau collum condylaris.
ba : Basion, titik paling postero-inferior dari tulang spheno-occipital
pada batas anterior foramen magnum.
go : Gonion, titik paling posterior-inferior pada bagian luar angulus
mandibulae.
gn : Gnathion, titik paling antero-inferior pada symphysis mandibulae.
m : Titik paling antero-inferior pada batas posterior foramen magnum.
me : Menton, titik paling inferior pada symphysis mandibulae.
mep : Middle ear point, titik paling antero-inferior pada bayangan telinga
tengah.
n : Nasion, titik paling anterior pada fronto-nasal suture.
pg : Pogonion, titik paling anterior pada symphysis mandibulae.
pns : Posterior nasal spine, titik paling posterior dari tulang palatum.
ptm : Pterygomaxillare, titik paling inferior dari fissure antara lamina
pterygoideus dan kontur posterior maksila.
s : Sella, titik dipertengahan sella turcica.
sep : Sphenoethmoidal point, titik paling superior pada perpotongan
tulang sphenoidale dan ethmoidale.
sm : Supramentale, titik paling posterior pada kontur anterior processus
alveolar inferior.
ss : Subspinale, titik paling posterior pada kontur anterior processus
PL : Palatal line, garis yang menghubungkan titik ans dan pns.
NSL : Nasion-sella line, garis yang menghubungkan titik n dan s.
SBaL : Sella-basion line (posterior cranial base line), garis yang
menghubungkan titik s dan ba.
Gambar 2.2 Titik dan garis referensi yang berhubungan dengan
tulang-tulang kraniofasial (Kemaloğlu, 1999).
b. Titik, garis dan sudut referensi yang berhubungan dengan sistem mastoid-telinga tengah-tuba Eustachian pada lateral cephalometric
radiography
Beberapa titik, garis dan sudut referensi yang digunakan sebagai
Eustachian pada lateral cephalometric radiography, yaitu : (Kemaloğlu, 1999; Kemaloğlu, 2000)
ma : Mastoid apex, titik paling inferior pada apeks mastoid.
mep : Middle ear point, titik paling anteroinferior bayangan telinga tengah.
pmp : Posterior mastoidal point, titik paling posterior sel udara mastoid.
ta : Tuberculum articulare, titik paling inferior pada tuberculum articulare
yang terletak anterior fossa glenoid, pada processus zygomaticus.
ptm : Pterygoid, titik paling inferior dari fissure antara lamina pterygoideus
dan kontur posterior maksila.
pns : Posterior nasal spine, titik paling posterior dari palatum durum.
TL : Tubal line, garis yang mehubungkan titik mep dan ptm.
mep-pmp : Garis yang menghubung titik mep dan pmp, kedalaman mastoid.
mep-ma : Garis yang menghubungkan titik mep dan ma, tinggi mastoid.
mep-ptm : Garis yang menghubungkan titik mep dan ptm, total panjang tuba
Eustachius.
mep-ta : Panjang bagian tulang tuba Eustachius.
ptm-pns : Panjang bagian vertikal otot tensor veli palatini (TVP) yang
berhubungan dengan tuba Eustachius.
ta-ptm : Panjang bagian tulang rawan tuba Eustachius.
ta-pns : Panjang bagian horizontal otot tensor veli palatini (TVP) yang
berhubungan dengan tuba Eustachius.
mep-s : Garis yang menghubungkan titik mep dan s.
SBaL/TL angle : Sudut antara garis SBaL dan TL, posisi dari tuba
Eustachius terhadap basis kranial posterior.
NSL/TL angle : Sudut antara garis NSL dan TL, posisi dari tuba
Eustachius terhadap basis kranial anterior.
Gambar 2.3 Titik dan garis referensi berhubungan dengan sistem
mastoid-telinga tenga-tuba Eustachius (Kemaloğlu, 1999).
c. Parameter garis dan sudut referensi yang berhubungan dengan tulang kraniofasial pada lateral cephalometric radiography
Beberapa parameter garis dan sudut referensi yang digunakan
sebagai landmark yang berhubungan dengan tulang kraniofasial pada lateral
cephalometric radiography, yaitu : (Kemaloğlu, 1999; Kemaloğlu, 2000) Basis kranial dan nasofaring
s-ba : Garis yang menghubungkan titik s dan ba, panjang basis kranial
posterior (posterior cranial base / PCB).
s-ptm : Garis yang menghubungkan titik s dan ptm.
s-n : Garis yang menghubungkan titik s dan n, panjang basis kranial
anterior (anterior cranial base / ACB).
m-ba : Garis yang menghubungkan titik m dan ba, lebar foramen magnum.
ba-ptm: Garis yang menghubungkan titik ba dan ptm.
s-sep : Garis yang menghubungkan titik s dan sep, panjang bagian
anterior tulang sphenoidale.
sep-n : Garis yang menghubungkan titik sep dan n, kedalaman daerah
nasoethmoidale.
ba-pns: Garis yang menghubung titik ba dan pns, kedalaman nasofaring.
ba.s.n angle : sudut antara titik ba, s dan n, sudut basis kranial.
Wajah
s-go : Garis yang menghubungkan titik s dan go, tinggi wajah posterior
(posterior face height / PFH).
s-pns : Garis yang menghubungkan titik s dan pns, tinggi wajah posterior
bagian atas (posterior upper face height / PUFH)
ans-pns: Garis yang menghubungkan titik ans dan pns, panjang maksila
(maxillary depth / MxD).
n-me : Garis yang menghubungkan titik n dan me, tinggi wajah anterior
(anterior face height / AFH)
bagian atas (anterior upper face height / AUFH)
ans-me : Garis yang menghubung titik ans dan me, tinggi wajah anterior
bagian bawah (anterior lower face height / ALFH)
go-pg : Garis yang menghubungkan titik go dan pg, panjang corpus
mandibulae.
ar-go : Garis yang menghubungkan titik ar dan go, panjang ramus
mandibulae.
sm.n.ss angle : Sudut antara titik sm, n dan ss, sudut ini menunjukkan posisi
anterior maksila terhadap anterior mandibula (facial profile
angle).
s.n.ans angle : Sudut antara titik s, n dan ans, sudut ini menunjukkan posisi
“ans” terhadap basis kranial anterior.
ba.s.pns angle : Sudut antara titik ba, s dan pns, sudut ini menunjukkan posisi
“pns” terhadap basis kranial posterior, sudut nasofaring.
s.n.go angle : Sudut antara titik s, n dan go, menunjukkan posisi “go”
terhadap basis kranial anterior, sudut wajah posterior.
ar.go.me angle : Sudut antara titik ar, go dan me, sudut mandibula.
NSL/PL angle : Sudut antara garis NSL dan PL, sudut ini menunjukkan posisi
palatum terhadap basis kranial anterior.
SBaL/PL angle : Sudut antara garis SBaL dan PL, sudut ini menunjukkan
posisi palatum terhadap basis kranial posterior.
PFR : Posterior facial ratio, rasio panjang garis s-pns dan s-go.
2.5 Hubungan Parameter Kraniofasial dengan OMSK
Abnormalitas anatomi dan atau kelainan klinis dapat meningkatkan
resiko infeksi telinga tengah. Kelainan kraniofasial akan mempengaruhi
fungsi tuba Eustachius sehingga meningkatkan resiko terjadinya otitis media
(Kenna, 2006).
Pada tahun 1862, Politzer berpendapat bahwa proses terjadinya otitis
media disebabkan oleh buruknya fungsi tuba Eustachius. Tahun 1925,
Pautow melaporkan hasil penelitiannya tentang hubungan bentuk kepala
dengan morfologi tuba Eustachius, dia mendapatkan bahwa orang dewasa
dengan bentuk kepala brachycephalic mempunyai bentuk tuba yang relatif
lebih lurus. Tahun 1987, Worley et al juga mendapatkan kesimpulan yang
sama. Disamping itu, telah diketahui bahwa anak-anak dengan kelainan
kraniofasial seperti celah palatum (palato schisis) dan Down syndrome sering
mengalami infeksi telinga tengah. Proses terjadinya infeksi ini akibat dari
kelainan tulang dasar tengkorak dan berhubungan dengan kelainan bentuk
tuba Eustachius (DiFrancesco, 2007).
Kemaloğlu et al di Turki pada tahun 1995, mengevaluasi sistem mastoid-telinga tengah-tuba Eustachius pada 30 penderita otitis media
supuratif anak-anak dan 30 anak-anak sehat dengan menggunakan lateral
cephalography untuk mengukur titik dan garis yang berhubungan dengan
tulang kraniofasial dan sistem mastoid-telinga tengah-tuba Eustachius. Hasil
panjang bagian vertikal otot tensor veli palatini dan sistem sel udara mastoid
lebih kecil pada pasien otitis media (Kemaloğlu, 1995).
Todd et al pada tahun 1998 melaporkan hasil penelitian bahwa
panjang tuba Eustachian (mep-ptm) dan posterior upper face height / PUFH
(s-pns) merupakan salah satu indikator predisposisi otitis media
(Kemaloğlu, 2000).
Kemaloğlu et al di Jepang pada tahun 1998, dari hasil penelitian klinik dan data cephalometric pada 37 anak-anak Jepang yang terdiri dari 12
penderita celah palatum (palato schisis), 25 penderita bibir sumbing unilateral
disertai celah palatum (labiopalato schisis) dan 40 anak normal. Data
menunjukkan bahwa OMSK lebih sering terjadi pada anak-anak yang
menderita bibir sumbing unilateral disertai celah palatum (76%) dan pada
anak-anak yang menderita celah palatum saja (67%) dibandingkan kontrol
(10 %). Terdapat perbedaan pada ukuran sistem mastoid-telinga tengah-tuba
Eustachius yang berhubungan dengan kecenderungan terjadinya OMSK
pada kasus bibir sumbing unilateral dan celah palatum, yaitu : tuba
Eustachius posisinya lebih horizontal dibandingkan basis kranial posterior
(SBaL/TLangle), panjang bagian tulang tuba Eustachius lebih pendek
(mep-ta), tinggi dan panjang antero-posterior sistem sel udara mastoid lebih
pendek (mep-ma dan mep-pmp) (Kemaloğlu, 1999).
Kemaloğlu et al di Jepang pada tahun 2000, dari penelitian yang dilakukan pada 50 orang Jepang dewasa (25 laki-laki dan 25 perempuan)