Oleh :
MEIZA NINGSIH
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS TIPE BAHAYA
Tesis
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk
Mencapai Gelar Spesialis Dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher
Oleh :
MEIZA NINGSIH
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dengan kerendahan hati penulis ucapkan kepada Allah
SWT yang telah memberikan saya akal budi, hikmat dan pemikiran sehingga
saya dapat menyelesaikan tesis ini, sebagai salah satu tugas dan syarat
untuk mencapai gelar spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Medan.
Berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya tesis ini
dapat diselesaikan. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Sjahril Pasaribu, Dr, dr,
Sp.A (K), DTM&H, dan mantan rektor Prof. Chairuddin Panusunan Lubis, dr,
Sp.A (K), DTM&H yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di Departemen
THT-KL Fakultas Kedokteran Sumatera Utara.
Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof.
Gontar Alamsyah, dr, Sp.PD-KGEH yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan di Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja di
Rumah Sakit ini.
Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) sebagai Kepala
Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah
memberikan kesempatan, bimbingan dan arahan sejak penulis mengikuti
Yang terhormat, Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp. THT-KL sebagai
Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL FK
USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, atas bimbingan dan dorongan semangat
yang diberikan sehingga menimbulkan rasa percaya diri, baik dalam bidang
keahlian maupun pengetahuan umum lainnya.
Yang terhormat Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp. THT-KL(K) sebagai ketua
pembimbing tesis, dr. Devira Zahara, M.Ked(ORL-HNS),Sp. THT-KL dan dr.
Ida Sjailandrawati Harahap, Sp. THT-KL sebagai anggota pembimbing tesis,
yang telah banyak memberikan petunjuk, perhatian serta bimbingan sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis Magister ini. Penulis mengucapkan
terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan
bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis
ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada semua
guru-guru di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan,
Prof. Ramsi Lutan, dr. Sp.THT-KL (K); dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K);
Prof. Askaroellah Aboet, dr, Sp.THT-KL (K); Prof. Dr. dr. Abdul Rachman
Saragih, Sp.THT-KL (K); dr. Muzakkir Zamzam, Sp.THT-KL (K); dr. Mangain
Hasibuan, Sp.THT-KL; dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL (K); Prof. Dr. dr.
Delfitri Munir, Sp.THT-KL (K); dr. Linda I Adenin, Sp.THT-KL; dr. Hafni,
Sp.THT-KL (K)(Alm); dr. Ida Sjailandrawati Harahap, Sp.THT-KL; dr. Adlin
Adnan, Sp.THT-KL; dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL(K), dr. Siti Nursiah,
Sp.THT-KL; dr. Andrina YM Rambe, Sp.THT-KL; dr. Harry Agustaf A, M,Ked.
Sp.THT-KL; dr. Farhat, M.Ked(ORL-HNS). Sp.THT-KL; Dr.dr. Tengku. Siti
Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL; dr. Ashri Yudhistira,
M.Ked(ORL-HNS) KL; dr. Devira Zahara,M.Ked(ORL-HNS)
Sp.THT-KL, dr.H.R.Yusa Herwanto,M.Ked(ORL-HNS) Sp.THT-Sp.THT-KL, dr.M. Pahala
telah memberikan bimbingan, ilmu dan pengetahuan di bidang THT-KL yang
bermanfaat bagi penulis di kemudian hari.
Yang terhormat dr. Jamaluddin, Sp.PA yang telah banyak membantu
saya sebagai konsultan Patologi Anatomi untuk pemeriksaan sampel secara
Imunohistokimia pada tesis ini.
Yang terhormat dr. M. Taufik ashar MKN, yang telah banyak membantu
saya di bidang metodologi penelitian dalam pengolahan data tesis ini.
Yang mulia dan tercinta kepada kedua orangtua saya, Bapak Prof. H.
Marbakri, SH dan Ibunda Hj. Mardiana, saya sampaikan rasa hormat dan
terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya
atas doa dan perjuangannya yang tiada henti serta dengan siraman kasih
sayang yang luar biasa yang telah diberikan kepada saya, semenjak saya
masih dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan, dan kemudian memberikan
asuhan, bimbingan, pendidikan serta suri tauladan yang baik kepada saya
sehingga saya dapat menjadi pribadi yang dewasa, berakhlak dan memiliki
landasan yang kokoh dalam menghadapi kehidupan ini dan dapat menjadi
anak yang berbakti kepada orangtua, dan berguna bagi bangsa dan negara.
Puji syukur serta doa saya panjatkan kehadirat Allah SWT agar kiranya orang
tua saya tercinta diberikan limpahan berkat dan kebaikan.
Yang saya hormati dan cintai Bapak mertua Drs.H. Amiruddin Tanjung
(ALM) dan Ibu mertua Hj. Azliar Akbar yang selama ini juga telah
memberikan doa dan restu untuk saya dapat menuntut ilmu dan mengejar
cita-cita saya yang setinggi-tingginya.
Kepada suamiku tercinta, Ir. Azmiral yang selalu menyayangi dengan
penuh perhatian dan dengan cinta kasihnya yang luar biasa selalu
memberikan dorongan, inspirasi, waktu, motivasi dan semangat kepada saya
selama saya menjalani pendidikan. Kami selalu berbagi kisah suka maupun
duka bersama bahkan ketika saya harus menjalani masa-masa yang sulit
dengan penuh kesabaran mendampingi saya. Tiada kata yang lebih indah
dan manis selain ungkapan cinta kasih dari adinda yang setulus-tulusnya,
semoga cinta dan kasih kita abadi selamanya.
Kepada kedua buah hati kami tersayang Khalisa Fayza Azmiral dan
Nadhira Musyafa Azmiral yang selama ini menjadi motivasi dan semangat
hidup saya dalam menjalani pendidikan. Terima kasih sayang buat doa
kepada Ibunda selama ini.
Kepada kakak Dr. Indra Afrita, SH,MH, suami Nur Idwal,SH.MH dan
ananda Rafif FadhlurRahman, penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya atas limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya
memberikan dorongan serta doa kepada penulis.
Kepada adik Jhoni Dian Putra, Ssi, istri Ermayanis, SE dan ananda
Natasha Okti Dianisa penulis mengucapkan terima kasih buat semangat dan
doanya selama ini.
Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat kami
sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan motivasi dan doa,
saya ucapkan penghargaan dan rasa terima kasih saya yang setulusnya.
Kepada perawat dan paramedis dan seluruh karyawan / karyawati RSUP
H. Adam Malik Medan, khususnya Departemen / SMF THT-KL yang selalu
membantu dan bekerjasama dengan baik dalam menjalani tugas pendidikan
dan pelayanan kesehatan selama ini.
Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL yang
telah bersama-sama, baik dalam suka maupun duka, saling membantu dan
bekerja sama sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat selama
masa-masa pendidikan. Terima kasih ku atas bantuan, nasehat dan kerjasamanya
selama ini.
Dan akhirnya izinkan dan perkenankanlah saya dalam kesempatan yang
mengikuti masa pendidikan di Departemen Telinga Hidung Tenggorokan,
Bedah Kepala dan Leher ini.
Semoga segala bimbingan, bantuan, dorongan, petunjuk, arahan dan kerja
sama yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan, kiranya
mendapat berkah serta balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT Tuhan
Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Medan, Maret 2014
Penulis
ABSTRAK
Latar Belakang: OMSK dengan kolesteatoma merupakan suatu kondisi dimana terjadi gangguan resorpsi dan destruksi tulang sehingga
menyebabkan komplikasi. IL-1 adalah zat yang aktif memicu penyerapan
tulang melalui Osteoklas. IL-1 menyebabkan destruksi tulang yang
menyebabkan komplikasi pada OMSK tipe bahaya.
Tujuan: Mengetahui hubungan ekspresi IL-1 dengan derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma pada penderita OMSK tipe bahaya
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan terhadap 30 sampel kolesteatoma penderita
OMSK tipe bahaya yang berasal dari telinga tengah dan kavum mastoid yang
diperoleh pada saat operasi timpanomastoidektomi. Bahan jaringan diperiksa
secara imunohistokimia untuk menilai ekspresi IL-1.
Hasil: Ekspresi IL-1 paling tinggi didapatkan pada destruksi tulang derajat sedang sebanyak 11 (57,9%) penderita. Tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara ekspresi IL-1 dengan derajat destruksi tulang (p=1,000).
Kesimpulan: Pada penelitian didapat bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan untuk rerata ekspresi Interleukin-1 dengan derajat destruksi tulang
akibat kolesteatoma pada OMSK tipe bahaya. Walaupun secara klinis
didapati ekspresi IL-1 dan skor imunoreaktifitas IL-1 yang meningkat sesuai
dengan peningkatan derajat destruksi tulang pada penyakit OMSK tipe
bahaya atau dengan kolesteatoma.
ABSTRACT
Background: Cholesteatoma is a disease which promotes bone destruction resulting in potentially serious complication. IL-1 is one of the most active
substances inducing bone resorption through osteoclast activation.
IL-1-mediated bone destruction is one of the clinical characteristics that signal the
onset of chronic Otitis Media.
Purpose: Aim of this study is to see the relationship between IL-1 expression and bone destruction in dangerous type of CSOM.
Methods: Research design was cross sectional, which analysed 30 cholesteatomas from middle ear cavity and obtained mastoid cavity of
timpanomastoidektomi operation through immunohistochemistry examination
to evaluated the IL-1 expression. Result: Expression of IL-1 highest in the group with moderate bone destruction as many as 11 (57,9%) patients. There
is no significant difference between IL-1 expression with the degree of bone
destruction (p=1,000).
Conclusion: There is no significant difference between IL-1 expresssion with the degree of bone destruction in dangerous type of CSOM. Although by
clinical discovered IL-1 expression and IL-1 imunoreaktivity score which
mounting as according to increase of degree of bone destruction CSOM
dangerous type disease or with cholesteatoma.
DAFTAR ISI 2.1. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)... 6
2.2.5. Patogenesis kolesteatoma……….. 12
2.2.6. Inflamasi dan hiperproliferasi………. 13
2.2.7. Komplikasi………..………. 15
2.2.8. Stadium dan derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma ...
2.5.5. Vaskularisasi telinga tengah……….. 23
2.6. Imunohistokimia 24 2.7.1. Metode pewarnaan imunohistokimia………... 24
2.7. Kerangka Teori………. 26
2.8. Kerangka Konsep………. 28
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN 29 3.1. Jenis Penelitian……… 29
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian………. 29
3.3. Populasi, Sampel dan Besar Sampel………. 29
3.3.1. Populasi……….. 29
3.3.2. Sampel……… 29
3.3.3. Besar sampel………. 30
3.3.4. Teknik pengambilan sampel……….. 30
3.4. Variabel Penelitian……….. 31
3.5. Definisi Operasional………. 31
3.6. Alat dan Bahan Penelitian………. 37
3.6.1. Alat penelitian……… 37
3.6.2. Bahan penelitian……… 37
3.8. Teknik Pengumpulan Data………. 39
3.9. Analisis Data……….. 39
3.10. 3.11. Kerangka Kerja………. Etika Penelitian ……… 40 40 BAB 4. HASIL PENELITIAN………. 41
4.1. Hasil Analisis Univariat………. 41
4.2. Hasil Analsisi Bivariat……….. 43
BAB 5. PEMBAHASAN……… 47
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN………. 55
6.1. Kesimpulan……… 55
6.2. Saran……….. 56
DAFTAR PUSTAKA………. 57
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1……… 63
Lampiran 2……… 67
Lampiran 3……… 69
Lampiran 4……… 70
Lampiran 5……… 71
Lampiran 6……… 74
Lampiran 7……… 88
Lampiran 8……….. 89
Lampiran 9……….. 90
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Kerangka Teori……… 26
Gambar 2.2. Kerangka Konsep……… 28
Gambar 3.3.
Gambar 3.4.
Skor Intensitas………
Kerangka Kerja………..
34
40
Gambar 4.1. Grafik linier skor imunoreaktifitas IL-1
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1.1. Proporsi penderita OMSK tipe bahaya
berdasarkan jenis kelamin……….. 41 Tabel 4.1.2. Proporsi penderita OMSK tipe bahaya
berdasarkan kelompok usia………. 41 Tabel 4.1.3. Proporsi penderita OMSK tipe bahaya
berdasarkan gejala klinis... 42
Tabel 4.1.4. Proporsi penderita OMSK tipe bahaya
berdasarkan lama keluhan………. 42 Tabel 4.1.5.
Tabel 4.1.6.
Proporsi penderita OMSK tipe bahaya
berdasarkan komplikasi………..
Proporsi penderita OMSK tipe bahaya
berdasarkan ekspresi IL-1………..
43
43
Tabel 4.2.1. Hubungan ekspresi IL-1 dengan kelompok
usia……….. 43
Tabel 4.2.2. Hubungan ekspresi IL-1 dengan lama
keluhan... 44
Tabel 4.2.3. Hubungan ekspresi IL-1 dengan komplikasi
OMSK tipe bahaya ………. 44
Tabel 4.2.4. Hubungan ekspresi IL-1 dengan derajat
destruksi tulang ……….. 44 Tabel 4.2.5. Hubungan skor imunoreaktifitas IL-1 dengan
DAFTAR SINGKATAN
OMSK : Otitis Media Supuratif Kronis
IL-1 : Interleukin-1
RANKL : Receptor Activator of Nuclear Factor kB Ligand
M-CSF : Macrophage Colony Stimulating Factor
OPG : Osteoprotegrin
TNFα : Tumor Necrosis Factor- α
MIF : Macrophage Migration Inhibitory Factor
PDGF : Platelet Derived Growth Factor
CK : Citokeratin
PAF : Platelet Activating Factor
ICAM : Intercellular Adhesion Molecule
CT : Computed Tomography
ECM : Extra Selular Matrix
EGFR : Epidermal Growth Factor Receptor
IL-6 : Interleukin-6
JOS : Japan Otological Society
KGF : Keratinocyte Growth Factor
LPS : Lipopolisakarida bacterial
MMP : Matrix Metaloproteinase
ABSTRAK
Latar Belakang: OMSK dengan kolesteatoma merupakan suatu kondisi dimana terjadi gangguan resorpsi dan destruksi tulang sehingga
menyebabkan komplikasi. IL-1 adalah zat yang aktif memicu penyerapan
tulang melalui Osteoklas. IL-1 menyebabkan destruksi tulang yang
menyebabkan komplikasi pada OMSK tipe bahaya.
Tujuan: Mengetahui hubungan ekspresi IL-1 dengan derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma pada penderita OMSK tipe bahaya
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan terhadap 30 sampel kolesteatoma penderita
OMSK tipe bahaya yang berasal dari telinga tengah dan kavum mastoid yang
diperoleh pada saat operasi timpanomastoidektomi. Bahan jaringan diperiksa
secara imunohistokimia untuk menilai ekspresi IL-1.
Hasil: Ekspresi IL-1 paling tinggi didapatkan pada destruksi tulang derajat sedang sebanyak 11 (57,9%) penderita. Tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara ekspresi IL-1 dengan derajat destruksi tulang (p=1,000).
Kesimpulan: Pada penelitian didapat bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan untuk rerata ekspresi Interleukin-1 dengan derajat destruksi tulang
akibat kolesteatoma pada OMSK tipe bahaya. Walaupun secara klinis
didapati ekspresi IL-1 dan skor imunoreaktifitas IL-1 yang meningkat sesuai
dengan peningkatan derajat destruksi tulang pada penyakit OMSK tipe
bahaya atau dengan kolesteatoma.
ABSTRACT
Background: Cholesteatoma is a disease which promotes bone destruction resulting in potentially serious complication. IL-1 is one of the most active
substances inducing bone resorption through osteoclast activation.
IL-1-mediated bone destruction is one of the clinical characteristics that signal the
onset of chronic Otitis Media.
Purpose: Aim of this study is to see the relationship between IL-1 expression and bone destruction in dangerous type of CSOM.
Methods: Research design was cross sectional, which analysed 30 cholesteatomas from middle ear cavity and obtained mastoid cavity of
timpanomastoidektomi operation through immunohistochemistry examination
to evaluated the IL-1 expression. Result: Expression of IL-1 highest in the group with moderate bone destruction as many as 11 (57,9%) patients. There
is no significant difference between IL-1 expression with the degree of bone
destruction (p=1,000).
Conclusion: There is no significant difference between IL-1 expresssion with the degree of bone destruction in dangerous type of CSOM. Although by
clinical discovered IL-1 expression and IL-1 imunoreaktivity score which
mounting as according to increase of degree of bone destruction CSOM
dangerous type disease or with cholesteatoma.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) dengan atau tanpa kolesteatoma
merupakan penyebab masalah kesehatan yang signifikan di berbagai
belahan dunia. Penyakit ini banyak terdapat pada negara berkembang
dengan kondisi yang kumuh,padat dan hygiene yang rendah (Santosh
2011; Thornton 2011).
Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret
dari telinga (otorea) lebih dari 3 bulan, baik terus menerus atau hilang
timbul. Sekret encer atau kental, bening atau berupa nanah (World Health
Organization 2004; Helmi 2005; Chole & Nason 2009).
Prevalensi yang pasti dari kolesteatoma belum diketahui secara pasti.
Insidensi tahunan dari kolesteatoma berkisar antara 3-12 kasus per
100.000 populasi (Chole & Nason, 2009).
Survei prevalensi menunjukkan bahwa penderita OMSK secara global
berkisar antara 65-330 juta orang dengan gejala telinga kering, 60%
diantaranya (39–200 juta) penderita dengan gangguan pendengaran yang
signifikan. Lebih dari 90% penderita berasal dari Asia Tenggara dan
Pasifik Barat, Afrika dan beberapa suku minoritas di Pasifik. OMSK jarang
terjadi di Amerika, Eropa dan Australia ( WHO 2004).
OMSK dengan kolesteatoma merupakan suatu kondisi dimana terjadi
gangguan resorpsi dan destruksi tulang sehingga menyebabkan
komplikasi. Komplikasi dapat dibagi menjadi intratemporal seperti
petrositis, paralisis nervus fasialis, labirinitis, sedangkan komplikasi
intrakranial seperti abses ekstradural, subdural, meningitis, abses
otogenik, tromboflebitis sinus lateral dan hidrosefalus otikus (Dhingra,
Pada penyakit otitis media kronis dengan kolesteatoma, erosi dari
tulang hampir selalu ada dan merupakan penyebab utama dari morbiditas
penyakit ini. Tulang merupakan organ dinamis yang secara konstan
melakukan remodeling untuk mendapatkan kondisi homeostasis kalsium
dan integritas struktural. Sintesis dari matriks dilakukan oleh osteoblas
sementara proses resorpsi diatur oleh osteoklas. Konsep yang
bertentangan antara nekrosis akibat tekanan atau sekresi faktor-faktor
proteolitik oleh matriks kolesteatoma, sekarang telah dipahami bahwa
terjadi resorpsi tulang karena aktivitas osteoklas pada kondisi inflamasi.
Pembentukan osteoklas dari sel-sel prekursor di kontrol oleh 2 esensial
sitokin yaitu Receptor Activator of Nuclear Factor κB Ligand (RANKL) dan
Macrophage Colony Stimulating Factor (M-CSF). Pada keadaan normal,
osteoblas memproduksi M-CSF dan RANKL untuk memulai pembentukan
osteoklas dengan menarik reseptor- reseptor c-fms dan RANK. Pada
kondisi patologis, banyak sel yang terlibat untuk menghasilkan
sitokin-sitokin tersebut. Inhibitor yang penting pada proses tersebut yaitu
osteoprotegrin (OPG) yang berkompetisi dengan RANK untuk RANKL.
Jeong et al (2006) menemukan peningkatan jumlah RANKL pada
kolesteatoma dibandingkan dengan kulit postaurikular yang normal.
Hasil ini menyatakan jaringan kolesteatoma meningkatkan rasio
RANKL/OPG pada proses inflamasi dan berpotensial untuk proses
osteoklastogenesis. Sitokin-sitokin inflamasi seperti Interleukin-1 (IL-1),
Interleukin-6, Tumor Necrosis Factor–Alpha (TNFα) dan prostaglandin
juga diketahui meningkatkan osteoklastogenesis. Kolesteatoma yang
terinfeksi diketahui lebih cepat mendestruksi tulang. Peningkatan level dari
virulensi bakteri sepertinya memegang peranan penting terhadap
fenomena ini (Chole & Nason 2009).
Macrophage Migration Inhibitory Factor (MIF) meningkatkan produksi pro-inflamatori sitokin dan kemokin oleh makrofag. Khususnya IL-1, IL-6,
dan osteoblas diaktivasi oleh sitokin dan kemokin melalui MIF (Kikkawa,
2010).
Kuczkowski (2011) di Polandia melakukan suatu analisis
semikuantitatif dengan menggunakan metode imunoblas menunjukkan
terjadinya peningkatan ekspresi IL-1 dan IL-6 pada kolesteatoma
dibanding pada jaringan granulasi maupun pada bagian kulit.
Shiwa (1995) di Tokyo Jepang melakukan pemeriksaan imunohistologi
untuk mengetahui adanya hubungan proliferasi IL-1 pada kolesteatoma
yang terdapat di telinga tengah dan perbedaan pada ekspresi IL-1
memainkan peranan penting dalam proses destruksi tulang pada penyakit
OMSK tipe bahaya.
Akimoto (2000) di Tokyo Jepang pada penelitiannya mengenai skor
IL-1 pada kolesteatoma dengan ELISA. Ekspresi IL-1 tidak terdapat pada
kondisi yang normal. Hubungan antara parameter imunologi dan ekspresi
penyakit secara klinik.Tetapi tidak terdapat hubungan yang kuat antara
derajat infeksi dengan destruksi tulang.
Yamamoto (2003) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat sel
inflamasi pada kolesteatoma dan over ekspresi sitokin pro inflamasi
seperti IL-1, TNF dan Platelet Derived Growth Factor (PDGF).
Identifikasi molekul-molekul penting yang menjadi kunci pada proses
destruksi kolesteatoma diharapkan akan mendapatkan target baru yang
memungkinkan terhadap penatalaksanaan yang tepat pada kolesteatoma
(Yamamoto 2003).
Di RSUP H. Adam Malik Medan periode 1 Januari 2006 - 31
Desember 2010 terdapat 119 kasus Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)
dengan kolesteatoma (Siregar 2013).
Mengingat karena sebagian besar penderita datang dengan komplikasi
dan adanya keterkaitan antara mediator pro inflamatori terutama IL-1 yang
berperan terhadap kemampuan kolesteatoma dalam mendestruksi tulang
IL-1 dengan derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma di RSUP H.
Adam Malik Medan.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas,
dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana hubungan ekspresi
IL-1 dengan derajat destruksi tulang pada penderita OMSK tipe bahaya di
RSUP H. Adam Malik Medan.
1.3. Hipotesis
Terdapat hubungan antara ekspresi IL-1 dengan derajat destruksi
tulang akibat kolesteatoma pada penderita OMSK tipe bahaya.
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan umum
Mengetahui hubungan ekspresi IL-1 dengan derajat destruksi tulang
pada penderita OMSK tipe bahaya.
1.4.2. Tujuan khusus
a. Mengetahui distribusi frekwensi OMSK tipe bahaya berdasarkan
jenis kelamin.
b. Mengetahui distribusi frekwensi OMSK tipe bahaya berdasarkan
usia.
c. Mengetahui distribusi frekwensi OMSK tipe bahaya berdasarkan
gejala klinis.
d. Mengetahui distribusi frekwensi OMSK tipe bahaya berdasarkan
lama keluhan.
e. Mengetahui distribusi frekwensi penderita OMSK tipe bahaya
berdasarkan komplikasi
f. Mengetahui distribusi frekwensi penderita OMSK tipe bahaya
g. Mengetahui hubungan ekspresi IL-1 dengan usia
h. Mengetahui hubungan ekspresi IL-1 dengan lama keluhan
i. Mengetahui hubungan ekspresi IL-1 dengan OMSK tipe bahaya
berdasarkan komplikasi.
j. Mengetahui hubungan skor imunoreaktifitas IL-1 dengan derajat
destruksi tulang
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat antara lain :
1.5.1. Sebagai dasar penelitian penggunaan ekspresi IL-1 sebagai marker
faktor prognostik penyakit OMSK tipe bahaya.
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) 2.1.1 Definisi
Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret
dari telinga (otorea) lebih dari 3 bulan, baik terus menerus atau hilang
timbul. Sekret encer atau kental, bening atau berupa nanah (World Health
Organization 2004; Helmi 2005; Chole & Nason 2009).
OMSK dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe jinak dan tipe bahaya. OMSK tipe bahaya adalah OMSK yang mengandung kolesteatoma, disebut tipe
bahaya karena sering menimbulkan komplikasi berbahaya (Helmi 2005;
Chole & Nason 2009).
Insidens OMSK tinggi di negara berkembang, karena lingkungan yang
padat, pelayanan kesehatan yang tidak memadai, higiene yang buruk, dan
infeksi saluran pernafasan atas yang rekuren, nutrisi yang kurang dan
polusi (World Health Organization 2004; Chole & Nason 2009).
OMSK tipe bahaya disebut juga tipe atikoantral. Komplikasi umumnya
disebabkan jaringan granulasi dan kolesteatoma yang menyebabkan erosi
dan nekrosis yang mengenai struktur penting seperti nervus fasialis,
telinga dalam dan komponen intrakranial. Dapat terjadi erosi tulang
pendengaran dan menyebabkan tuli (Browning et al. 2008; Rout et al.
2012).
2.1.2 Etiologi OMSK
Faktor risiko pada otitis media adalah sumbatan tuba Eustachius
(misalnya rinosinusitis, adenoid hipertrofi, atau karsinoma nasofaring),
imunodefisiensi (primer atau didapat), gangguan fungsi silia, anomali
midfasial kongenital (cleft palate atau Down syndrome), dan refluks
otitis media yang berulang dan orang tua dengan riwayat otitis media
kronis dengan perawatan yang tidak baik (World Health Organization
2004; Ramakrishnan et al. 2005; Bhat et al. 2009; Chole & Nason 2009).
Kuman yang terdapat di telinga tengah dapat masuk melalui liang
telinga luar dengan perforasi membran timpani ataupun melalui
nasofaring. Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri yang terbanyak
dijumpai pada otitis media akut. Pada isolasi dari otitis media kronis,
kuman aerobik dan anaerobik juga terlibat pada sebagian kasus. Kuman
aerob yang sering dijumpai adalah Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus aureus, basil gram negatif seperti Escherichia coli,
Proteus species, dan Klebsiella species. Kuman anaerobik yang paling
sering dijumpai adalah Bacteroides spp. dan Fusobacterium spp. (World
Health Organization 2004; Chole & Sudhoff 2005; Wright & Valentine
2008; Chole & Nason 2009).
2.1.3. Patogenesis OMSK
OMSK ditandai dengan keadaan patologis yaitu inflamasi yang
ireversibel di telinga tengah dan mastoid. Disfungsi tuba Eustachius
memegang peranan penting pada otitis media akut dan otitis media kronis.
Kontraksi muskulus veli palatini menyebabkan tuba Eustachius membuka
selama proses menelan dan pada kondisi fisiologik tertentu, mengalirkan
sekret dari telinga tengah ke nasofaring, mencegah sekret dari nasofaring
refluks ke telinga tengah dan menyeimbangkan tekanan antara telinga
tengah dengan lingkungan luar (Chole & Nason 2009).
Bila bakteri memasuki telinga tengah melalui nasofaring atau defek
membran timpani, terjadi replikasi bakteri di dalam efusi serosa. Hal ini
diikuti oleh pelepasan mediator inflamasi dan imun ke dalam ruang telinga
tengah. Hiperemia dan leukosit polimorfonuklear yang mendominasi fase
inflamasi akut memberi jalan pada fase kronis, ditandai dengan
mononuklear selular mediator (makrofag, sel plasma, limfosit), edema
epitel telinga tengah, dimana terjadi perubahan epitel kuboidal menjadi
epitel kolumnar pseudostratified yang mampu meningkatkan sekret
mukoid. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrotik, kadang-kadang
membentuk adhesi terhadap struktur penting di telinga tengah. Hal ini
akan mengganggu aerasi antrum dan mastoid dengan mengurangi ruang
antara osikel dan mukosa yang memisahkan telinga tengah dari antrum.
Obstruksi kronis menyebabkan perubahan ireversibel di dalam tulang dan
mukosa (Chole & Nason 2009).
2.1.4 Diagnosis OMSK
Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik. Gejala klinis meliputi tuli, otorea, otalgia, obstruksi
hidung, tinitus dan vertigo. Tuli dan otorea merupakan gejala yang paling
umum terjadi (Chole & Nason 2009).
OMSK ditandai oleh otorea yang banyak dan intermiten, bila disertai
dengan kolesteatoma yang terinfeksi maka menimbulkan bau busuk. Nyeri
dapat terjadi sebagai tanda komplikasi intrakranial dari kolesteatoma.
Gejala lainnya adalah otorea yang berdarah, vertigo akibat fistula labirin,
paralisa nervus fasialis atau gejala neurologis akibat penyebaran
intrakranial). Jaringan granulasi sering yang sering dijumpai pada otitis
media kronis disebabkan oleh reaksi inflamasi (Yates & Anari 2008;
Chole & Nason 2009).
Diagnosis OMSK dan kolesteatoma telinga biasanya dilakukan dengan
pemeriksaan otomikroskopik. Perlu juga untuk mengevaluasi nasofaring
karena disfungsi tuba Eustachius sering menyebabkan OMSK pada
beberapa kasus. Pemeriksaan dengan mikroskop akan membantu untuk
mengidentifikasi perforasi membran timpani, retraction pockets,
kolesteatoma, dan jaringan granulasi. Primary acquired kolesteatoma
akan terlihat pada daerah posterosuperior membran timpani tampak
secondary acquired kolesteatoma dapat dilihat di belakang membran
timpani (Yates & Anari 2008; Chole & Nason 2009).
2.1.5 Penatalaksanaan OMSK
Tujuan penatalaksanaan OMSK adalah untuk menyembuhkan gejala
dan meminimalisir risiko komplikasi penyakit. Pembedahan adalah
satu-satunya pengobatan yang efektif pada kolesteatoma. Granulasi dan
inflamasi mukosa sementara dapat diatasi dengan obat topikal dan aural
toilet untuk mengurangi otorea sambil menunggu operasi (Wright &
Valentine, 2008).
Terdapat berbagai macam teknik operasi untuk menangani
kolesteatoma, yang secara umum dapat dibagi atas open cavity (canal
wall down) dan closed cavity (intact canal wall) mastoidektomi (Wright &
Valentine 2008).
a.Canal wall down procedures
Prosedur ini mengeluarkan dan mengangkat semua kolesteatoma,
termasuk dinding posterior liang telinga, sehingga kavum mastoid
berhubungan langsung dengan liang telinga luar (Helmi 2005; Merchant,
Rosowski & Shelton 2009; Dhingra 2010).
b.Intact Canal Wall Procedures
Keuntungan intact canal wall mastoidectomy adalah anatomi normal
dinding posterior liang telinga dapat dipertahankan tanpa perlu membuang
dan merekonstruksi skutum.
Prosedur ini sering dilakukan pada kasus primary acquired
cholesteatoma bila kolesteatoma terdapat di atik dan antrum. Dilakukan
complete cortical mastoidectomy dan antrum mastoid dapat dilihat. Diseksi
matriks kolesteatoma harus dilakukan dengan hati-hati. Rekurensi dapat
disebabkan rekurensi kolesteatoma (Wright & Valentine 2008; Chole &
Nason 2009).
2.2. Kolesteatoma 2.2.1 Definisi
Kolesteatoma adalah suatu kista epitel yang dilapisi oleh stratified squamosa epithelium yang berisi deskuamasi epitel (keratin) yang
terperangkap dalam rongga timpanomastoid, tetapi dapat juga
terperangkap di bagian manapun dari tulang temporal yang
berpneumatisasi (Levine & Souza 2003; Meyer, Strunk & Lambert 2006).
2.2.2. Sejarah kolesteatoma
Istilah kolesteatoma pertama sekali dikemukakan oleh Johannes Müller
pada tahun 1838 untuk menjelaskan apa yang kita sebut sebagai kista
epidermal pada tulang temporal yang berpneumatisasi (Chole & Nason
2009).
Penggunaan istilah kolesteatoma ini tidak sesuai karena kolesteatoma
berasal dari epitel squamosa berkeratinisasi yang berasal dari membran
timpani dan atau meatus akustikus eksternus, tanpa adanya kristal
kolesterol ataupun lemak pada strukturnya. Istilah lain yang digunakan
antara lain pearl tumor oleh Cruveilhier pada tahun 1829; margaritoma
oleh Craigie pada tahun 1891, epidermoid kolesteatoma oleh Causing
pada tahun 1922 dan keratoma oleh Shuknecht pada tahun 1974.
Istilah-istilah tersebut sesungguhnya lebih menggambarkan dan sesuai, namun
tidak digunakan karena terminologi kolesteatoma telah luas digunakan
oleh ahli-ahli otologi (Dornelles 2005).
Kolesteatoma diartikan oleh Friedman pada tahun 1959 sebagai suatu
struktur kistik yang diselubungi oleh epitel skuamosa berlapis, yang
melapisi lapisan stroma fibrosa dengan berbagai ketebalan yang
sebahagian mungkin bisa berasal dari lapisan mukosa. Schuknecht pada
eksfoliasi keratin di telinga tengah atau area pneumatisasi dari tulang
temporal, yang berasal dari epitel squamosa berkeratinisasi. Atau dengan kata lain, dapat diartikan sebagai “kulit pada tempat yang salah” (Dornelles 2005).
2.2.3. Histopatologi
Secara histologis kolesteatoma dapat dibagi dua: matriks (epithelium)
dan peri-matriks (underlying connective tissue). Matriks kolesteatoma
mempunyai empat lapisan yang berbeda: basal, spinosus, granulous dan
stratum korneum, seperti yang terdapat pada kulit yang tipis. Peri-matriks
ditandai oleh adanya jaringan ikat longgar yang terbuat dari kolagen dan
elastic fibers, fibroblas and sel inflamasi (Vitale et al. 2011).
Analisis histologis dari matriks kolesteatoma memperlihatkan pola
yang berbeda yaitu atrofi, akantosis, hiperplasia lapisan basal dan
epithelial cones (Vitale et al. 2011).
2.2.4. Epidemiologi kolesteatoma
Prevalensi yang pasti dari kolesteatoma belum diketahui secara pasti.
Insidensi tahunan dari kolesteatoma berkisar antara 3-12 kasus per
100.000 populasi (Chole & Nason 2009).
Restuti (2008) di RS dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta melaporkan
sebanyak 182 kasus OMSK dengan kolesteatoma dari 333 kasus OMSK
yang dioperasi tahun 2002-2007.
Wisnubroto (2002) di RSUD dr. Soetomo Surabaya melaporkan telah
dilakukan operasi mastoidektomi radikal sebanyak 298 (56,1%) kasus
OMSK dengan kolesteatoma.
Jumlah pasien OMSK dengan kolesteatoma di Departemen THT-KL
RSUP H. Adam Malik Medan periode 1 Januari 2006-31 Desember 2010
sebanyak 119 pasien (Siregar 2013), sedangkan Lubis (2010)
mendapatkan 38,7% kasus OMSK merupakan OMSK dengan
2.2.5. Patogenesiskolesteatoma
Terdapat 4 teori utama sebagai etiopatogenesis kolesteatoma didapat
yakni:
1.Teori invaginasi: teori ini diterima secara luas sebagai mekanisme yang paling utama pada kolesteatoma primer atau kolesteatoma atik. Pada teori
ini, membran timpani mengalami retraksi dan kemudian menjadi lebih
kemedial disebabkan oleh meningkatnya tekanan pada telinga tengah.
Alasan perpindahan menuju medial sama seperti yang telah dikemukakan
pada OMSK secara umum, yakni disfungsi tuba Eustachius, inflamasi,
atrofi membran timpani, dan pneumatisasi mastoid yang buruk. Wolfman
dan Chloe mendemonstrasikan perkembangan kolesteatoma pada 75%
mencit setelah 16 minggu percobaan obstruksi tuba eustasius. Meskipun
proses ini terjadi pada pars flasida yang disebabkan kelemahannya oleh
karena tidak adanya lapisan fibrosa, bagian manapun dari membran
timpani dapat terlibat (Chole & Nason 2009).
2.Teori invasi epitel: Teori ini menyatakan invasi epitel skuamosa dari liang telinga dan permukaan luar dari membran timpani mempunyai
kemampuan bermigrasi ke telinga tengah melalui perforasi marginal atau
perforasi atik. Epitel akan masuk sampai bertemu dengan lapisan epitel
yang lain yang di sebut dengan contact inhibition. Jika mukosa telinga
tengah terganggu karena inflamasi, infeksi atau trauma karena perforasi
membran timpani, mucocutaneus junction secara teori bergeser ke kavum
timpani. Menyokong teori ini yakni van Blitterswijk dkk menyatakan bahwa
citokeratin (CK 10) merupakan intermediate filament protein dan marker
untuk epitel skuamosa,ditemukan pada epidermis liang telinga matriks
kolesteatoma tetapi tidak ada di mukosa telinga tengah. Perforasi
marginal dianggap sebagai penyebab pertumbuhan epidermal pada
perforasi sentral karena lokasi perforasi marginal terpapar mukosa telinga
perforasi sentral membran timpani dari pasien otitis media kronis, 38%
mengalami pertumbuhan epidermal di mucocutaneus junction yang
terletak di permukaan dalam dari perforasi (Chole & Nason, 2009).
3.Teori hiperplasia sel basal: pada tahun 1925, Lange mengobservasi bahwa sel epitel berkeratinisasi pada pars flasida dapat menginvasi ruang
sub epitelial normal yang memiliki akses untuk membentuk kolesteatoma
di atik. Huang dkk telah memperlihatkan kerusakan membran timpani
melalui aplikasi propilen glikol yang mengakibatkan pertumbuhan epitel di
telinga tengah pada mencit (Chole & Nason, 2009).
4.Teori metaplasia skuamosa: Infeksi atau inflamasi jaringan yang kronis diketahui dapat mengalami transformasi metaplasia. Epitel kuboid
pada telinga tengah dapat berubah menjadi epitel berkeratin. Epitel
skuamosa berkeratinisasi telah ditemukan pada biopsi telinga tengah
pada penderita otitis media pada anak. Namun progresivitas dari
kolesteatoma masih belum berhasil dipaparkan (Chole & Nason, 2009).
2.2.6. Inflamasi dan hiperproliferasi
Epitel kolesteatoma walaupun tidak bersifat neoplastik tetapi bersifat
hiperproliferatif. Involucrin, adalah prekursor untuk pembentukan lapisan
teratas dari epidermis, ditemukan hanya pada high suprabasal layer pada
kulit yang normal. Pada kolesteatoma, involukrin ditemukan pada semua
lapisan suprabasal yang mengakibatkan peningkatan akumulasi keratin
didalam epidermis. Beberapa studi juga menunjukkan peningkatan
ekspresi dari marker proliferasi pada lapisan basal dan supra basal dari
epidermis, yaitu CK4, CK5/6, CK 10, CK13/16, epidermal growth factor
receptor (EGFR), keratinocyte growth factor (KGF), dan Ki-67. Distribusi
yang abnormal dari p-53, c-jun dan ekspresi c-myc juga terlibat dalam
proses hiperproliferatif. Studi terbaru menggunakan teknologi cDNA array
pembentukan kolesteatoma seperti calgranulin A/B, thymosin dan
extracellular matrix protein-1 (Chole & Nason, 2009).
Faktor penting lain yang berperan dalam proses hiperproliferatif adalah
inflamasi kronis. Pada stroma dari kolesteatoma terdapat fibroblas, sel-sel
Langerhans, sel-sel mast, limfosit yang teraktivasi, makrofag dan
keratinosit. Keratinosit memproduksi keratin dalam jumlah yang besar.
Inflamasi dengan atau tanpa infeksi merekrut sel-sel tersebut untuk
membentuk suatu lingkungan dengan peningkatan konsentrasi dari
proinflammatory cytokines. Lingkungan diketahui dapat menstimulasi
basal keratinocytes untuk berproliferasi aktif dan memicu pertumbuhan
kolesteatoma (Chole & Nason 2009).
Pada penyakit otitis media kronis dengan kolesteatoma, erosi dari
tulang hampir selalu ada dan merupakan penyebab utama dari morbiditas
penyakit ini. Tulang merupakan organ dinamis yang secara konstan
melakukan remodeling untuk mendapatkan kondisi homeostasis kalsium
dan integritas struktural. Sintesis dari matriks dilakukan oleh osteoblas
sementara proses resorbsi diatur oleh osteoklas. Konsep yang
bertentangan antara nekrosis akibat tekanan atau sekresi faktor-faktor
proteolitik oleh matriks kolesteatoma, sekarang telah dipahami bahwa
terjadi resorpsi tulang karena aktivitas osteoklas pada kondisi inflamasi.
Pembentukan osteoklas dari sel-sel prekursor di kontrol oleh 2 esensial
sitokin yaitu Receptor Activator of Nuclear Factor κB Ligand (RANKL) dan
Macrophage Colony Stimulating Factor (M-CSF). Pada keadaan normal,
osteoblas memproduksi M-CSF dan RANKL untuk memulai pembentukan
osteoklas dengan menarik reseptor- reseptor c-fms dan RANK. Pada
kondisi patologis, banyak sel yang terlibat untuk menghasilkan
sitokin-sitokin tersebut. Inhibitor yang penting pada proses tersebut yaitu
osteoprotegrin (OPG) yang berkompetisi dengan RANK untuk RANKL.
Jeong et al (2006) menemukan peningkatan jumlah RANKL pada
kolesteatoma dibandingkan dengan kulit postaurikular yang normal.
RANKL/OPG pada proses inflamasi dan berpotensial untuk proses
osteoclastogenesis. Inflammatory cytokines (Interleukin-1 (IL-1), IL 6,
Tumor Necrosis Factor–alpha (TNFα) dan prostaglandin juga diketahui
meningkatkan osteoclastogenesis. Kolesteatoma yang terinfeksi diketahui
lebih cepat mendestruksi tulang. Peningkatan level dari virulensi bakteri
sepertinya memegang peranan penting terhadap fenomena ini (Chole &
Nason, 2009).
2.2.7 Komplikasi
Komplikasi dapat dibagi atas: Komplikasi intratemporal a.Petrositis
Perluasan infeksi pada telinga tengah dan mastoid menuju bagian
petrosa disebut dengan petrositis (Dhingra, 2010).
b.Paralisa nervus fasialis
Nervus fasialis secara normal dilindungi oleh tulang. Kolesteatoma
dapat merusak tulang pelindung nervus fasialis dan kemudian
mengakibatkan kerusakan pada nervus fasialis (Dhingra, 2010).
c.Labirinitis
Peradangan pada labirin yang diakibatkan oleh otitis media
mengakibatkan gangguan pendengaran dan vertigo. Diagnosa labirinitis
didapat dari pemeriksaan klinis, namun inflamasi pada labirin dapat
divisualisasi menggunakan Magnetic Resonance Imagine dengan kontras
(Friendland, 2009).
Komplikasi Intrakranial a.Abses ekstradural
Abses ekstradural yakni terbentuknya pus diantara tulang kranial dan
duramater yang disebabkan destruksi tulang oleh kolesteatoma (Dhingra,
b.Abses subdural
Abses subdural ditandai dengan terbentuknya pus diantara duramater
dan ruang arahnoid. Infeksi menyebar dari telinga disebabkan oleh erosi
tulang dan duramater ataupun melalui proses trombophlebitis (Dhingra,
2010).
c.Meningitis
Meningitis merupakan peradangan pada leptomeningen (pia dan
arakhnoid). Merupakan komplikasi intrakranial tersering pada penderita
otitis media. Penderita dengan meningitis biasanya mengeluhkan sakit
kepala yang berat namun keluhan ini tidaklah spesifik. Keluhan yang lebih
spesifik yakni demam, kaku leher, dan perubahan status mental
(Friendland, 2009).
d.Abses otak otogenik
Perluasan infeksi telinga pada meningen dapat menimbulkan terjadinya
serebritis dan abses pada parenkim otak. Abses otak yang diakibatkan
otitis media biasanya bersifat unilateral sesuai dengan telinga yang terlibat
(Friendland, 2009).
e.Tromboplebitis sinus lateralis
Merupakan peradangan dari dinding sinus vena lateral disertai
terbentuknya trombus. Komplikasi ini merupakan komplikasi intrakranial
kadua tersering pda penderita otitis media dengan angka mortalitas
sebesar 10% (Dhingra, 2010).
f.Hidrosefalus otikus
Hidrosefalus otikus merupakan peningkatan tekanan intrakranial yang
disebabkan oleh infeksi pada telinga. Secara defenisi hidrosefalus otikus
bukan disebabkan oleh abses otak ataupun meningitis. Penderita datang
dengan keluhan sakit kepala, gangguan visus, dan muntah. Hal ini dapat
disertai perubahan status mental, gangguan kesadaran, pusing dan
2.2.8 Stadium dan derajat destruksi akibat Kolesteatoma Terdapat beberapa klasifikasi stadium kolesteatoma antara lain:
A. Berdasarkan Saleh dan Mills, 1999
S1 : Bila kolesteatoma terbatas pada lokasi asal
S2 : Bila telah terjadi perluasan lokal
S3 : Bila mengenai tiga lokasi
S4 : Bila mengenai empat lokasi
S5 : Bila mengenai lebih dari empat lokasi
Sesuai dengan komplikasi sebelum dilakukannya tindakan operasi
Saleh dan Mills mengklasifikasikan OMSK dengan kolesteatoma dengan:
C1 : Bila tidak terdapat komplikasi
C2 : Bila terdapat komplikasi
C3 : Bila terdapat dua komplikasi atau lebih
B.Pembagian stadium kolesteatoma berdasarkan pembagian yang
diajukan oleh The Japan Otological Society (JOS) for Attic Cholesteatoma
Staging System (2008) yang dibagi atas:
Stadium I : Kolesteatoma tidak meluas melebihi atik
Stadium II : Kolesteatoma meluas melebihi atik
Stadium III : Kolesteatoma menyebabkan satu atau lebih komplikasi :
1. Kelumpuhan saraf fasialis
2. Komplikasi Intrakranial
3. Fistula Labirin
4. Kerusakan yang luas pada tulang liang telinga luar.
5. Sensorineural hearing loss berat
6. Adhesi total membran timpani.
C.Berdasarkan pembagian yang diajukan oleh Kuczkowski et al (2011).
Derajat destruksi tulang akibat kolestetoma terdiri dari :
Derajat ringan : Erosi pada skutum dan osikel
Derajat berat: Destruksi seluruh osikel, tulang labirin, kanalis
fasialis dan liang telinga luar.
Derajat invasi kolesteatoma dan jaringan granulasi dikategorikan
atas:
Meliputi 1 area: epitimpanum atau mesotimpanum
Meliputi 2 area: epitimpanum atau mesotimpanum dan antrum
Meliputi 3 area: mesotimpanum, epitimpanum dan antrum.
2.3 Interleukin-1 (IL-1)
Interleukin-1 adalah limfokin yang merupakan mitogen untuk thymocytes. IL-1 dihasilkan dari banyak sel yang berbeda untuk
meregulasi respon imun. IL-1 adalah suatu zat yang paling aktif memicu
penyerapan tulang melalui aktivasi osteoklas. IL-1 ini memperantarai
destruksi tulang yang merupakan salah satu karakteristik klinis gejala
OMSK. Neutrofil adalah penghasil utama IL-1β. Pemicu produksi IL-1 di
dalam neutrofil terjadi melalui suatu mekanisme umpan balik positif. IL-1
telah menunjukkan stimulasi sintesis TNF, IL-2, IL-6, IL-8. IL-1 terdiri dari
dua polipeptida utama, 17kDa, IL-1α, IL-1β. IL-1α bekerja sebagai suatu zat yang terkait membran dimana IL-1β ditemukan secara bebas dalam
sirkulasi (Juhn, 2008).
IL-1 merangsang pelepasan sitokin lain dan menstimulasi metabolisme
asam arakidonat dalam siklus siklooksigenase dan lipooksigenase. IL-1
terutama disintesis oleh makrofag yang teraktivasi, dalam hal ini produksi
IL-1 distimulasi oleh lipopolisakarida dan leukotrien. TNF juga
menstimulasi IL-1. Platelet Activating Factor (PAF) dapat meningkatkan
pelepasan IL-1 dengan memproduksi metabolisme leukotrien. IL-1β
terutama diproduksi dan dilepaskan secara ekstraseluler oleh sel-sel
inflamatori seperti makrofag, monosit dan IL-1α terlokalisasi secara
intraseluler atau pada permukaan sel. IL-1 memicu adhesi molekul sel
(Adhesion Interceluller Molecule-1 dan Adhesion vasculer Molecule-1)
Sitokin juga berpegaruh terhadap sintesis dan efek sitokin yang lain.
Respon selular sitokin terdiri atas perubahan ekspresi gen terhadap sel
sasaran (Baratawidjaja 2012). Famili sitokin IL-1 meliputi IL-1α dan IL-1β
yang merupakan stimulator kuat terhadap resorpsi tulang dan suatu
reseptor antagonis yang disekresi yaitu IL-1 ra akan menghambat kerja
IL-1α dan IL-1β. Sitokin yang berhubung ini dihasilkan dalam sel inflamasi
dari matriks kolesteatoma dan keratinosit dari epithelium (Jung & Cole
2002).
2.4 Interleukin-1 dan Kolesteatoma
Kolesteatoma pada telinga tengah mempunyai ciri proliferasi abnormal
yang mengakibatkan akumulasi debris keratin, destruksi struktur tulang di
sekitarnya, dan invasi ke telinga dalam atau menuju intrakranial. Meskipun
telah banyak penelitian mengenai mekanisme pembentukan
kolesteatoma, patogenesis yang tepat dari penyakit ini belum berhasil
diungkapkan (Welkoborsky 2011).
Telah banyak dilakukan pembahasan mengenai konsep patogenesis
kolesteatoma. Terjadinya retraction pocket diakibatkan oleh adanya
disfungsi tuba Eustachius. Infeksi lokal akan menimbulkan gangguan
mekanisme self-cleaning yang mengakibatkan akumulasi debris-debris sel
dan keratinosit dalam retraction pocket. Hal ini diikuti oleh migrasi sel-sel
imun misalnya, sel Langerhans, sel T, dan makrofag. Terjadi suatu
ketidakseimbangan dan lingkaran setan dari proliferasi epitel, diferensiasi
keratinosit dan maturisasi, proses apoptosis yang melambat, dan ganguan
mekanisme self-cleaning. Stimulus pada proses inflamasi akan
merangsang proliferasi epitel dengan menghasilkan ekspresi enzim-enzim
litik dan sitokin. Sebagai hasilnya akan berkembang mikrokolesteatoma.
Bakteri-bakteri yang berada dalam retraction pocket akan memproduksi
beberapa antigen yang akan mengaktivasi sitokin dan enzim litik seperti
Intercellular Adhesion Molecule (ICAM), Receptor Activator of Nuclear
Sitokin-sitokin ini akan merangsang aktifasi dan pematangan osteoklas yang
mengakibatkan degradasi Extra Cellular Matrix tulang dan hiperproliferasi,
destruksi tulang dan akhirnya progresifitas penyakit tersebut. Namun
mengapa tidak semua kolesteatoma memperlihatkan progresifitas yang
sama masih menjadi pertanyaan (Welkoborsky 2011).
Kuczkowski et al. (2011) dalam penelitiannya dengan menggunakan
metode imunoblas menunjukkan terjadinya peningkatan ekspresi IL-1 dan
IL-6 pada kolesteatoma dibanding pada jaringan granulasi maupun pada
bagian kulit.
Yamamoto (2003) dalam penelitiannya menyatakan terdapat sel
inflamasi pada kolesteatoma dan over ekspresi sitokin pro inflamasi
seperti IL-1, TNF dan PDGF.
Akimoto et al. (2000) di Tokyo Jepang mendapatkan peningkatan IL-1
dan TNF-α pada kolesteatoma acquired bila dibandingkan dengan kulit
liang telinga luar. Kadar TNF-α pada kolesteatoma acquired berkorelasi
dengan derajat infeksi, kadar ICAM-1 dan jumlah sel infiltrasi, tetapi tidak
demikian dengan kadar IL-1. Derajat destruksi tulang pada kolesteatoma
congenital dan acquired berkorelasi dengan kadar ekspresi TNF-α,
namun IL-1 tidak, hal ini mengindikasikan bahwa TNF-α mungkin
memegang peranan penting dalam proses resorpsi tulang pada kedua
jenis kolesteatoma.
Shiwa (1995) seperti yang dikutip oleh Akimoto et al. (2000)
melaporkan tidak terdapat korelasi antara kadar IL-1 dengan tingkat
keparahan infeksi, perkembangan stadium kolesteatoma dan derajat
resorpsi tulang.
2.5 Anatomi
Telinga tengah adalah suatu ruang antara membran timpani dengan badan kapsul dari labirin pada daerah petrosa dari tulang temporal yang
terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustachius, dan
prosesus mastoid (Gacek, 2009).
2.5.1. Membran timpani
Membran timpani membentuk dinding lateral kavum timpani dan memisahkan telinga luar dan telinga tengah. Membran timpani berbentuk
bulat dan mempunyai ukuran vertikal kira-kira 9-10 mm, horizontal 8-9
mm, tebal ± 0,1 mm. Membran timpani tipis, licin, dan berwarna putih
mutiara (Dhingra 2010).
Membran timpani secara anatomi terdiri dari 2 bagian yaitu pars tensa
terletak di bagian bawah, tegang dan lebih luas, serta pars flasida
(membran Shrapnell`s) di bagian atas yang lebih tipis. Secara histologis
membran timpani terdiri dari 3 lapisan, yaitu:
1. Lapisan luar (stratum kutaneum) yaitu: lapisan epitel yang berasal
dari liang telinga luar.
2. Lapisan mukosa (stratum mukosum) yang berasal dari mukosa
telinga tengah.
3. Lapisan fibrosa (lamina propria) terletak diantara stratum kutaneum
dan stratum mukosum (Dhingra 2010).
2.5.2. Kavum timpani
Kavum timpani merupakan suatu ruang yang terletak diantara
membran timpani dan telinga dalam. Kavum timpani adalah suatu ruang
bikonkaf dengan diameter vertikal dan antero-posteriornya sekitar 15 mm
dan diameter transversal 2-6 mm, yang mempunyai 6 dinding, yang
dibatasi oleh :
1. Dinding atas, dibatasi oleh tulang yang tipis yang disebut tegmen
timpani, kadang-kadang mengalami dehisensi.
2. Dinding bawah, dibentuk oleh tulang tipis yang membatasi kavum
timpani dari bulbus vena jugularis.
4. Dinding anterior, berhubungan dengan otot tensor timpani, ostium
tuba Eustachius, dan dinding dari karotis.
5. Dinding medial, memisahkan kavum timpani pada dinding telinga
dalam. Terdapat promontorium yang merupakan lingkaran basal
koklea. Pada bagian belakang bawah dinding media ini terdapat
fenestra koklea (rotundum), dan pada bagian belakang atas
terdapat fenestra ovale.
6. Dinding posterior, bagian atas berhubungan dengan sellulae
mastoideus melalui aditus ad antrum (Helmi, 2005).
Dalam kavum timpani terdapat tulang-tulang pendengaran yang
berhubungan satu sama lain terdiri dari maleus, inkus dan stapes yang
menghubungkan membran timpani dengan foramen ovale (Helmi, 2005).
2.5.3. Tuba Eustachius
Tuba Eustachius adalah suatu saluran yang menghubungkan
nasofaring dengan telinga tengah, yang bertanggung jawab terhadap
proses pneumatisasi pada telinga tengah dan mastoid serta
mempertahankan tekanan yang normal antara telinga tengah dan
atmosfir. Kestabilannya oleh karena adanya konstraksi muskulus tensor
veli palatini dan muskulus levator veli palatini pada saat mengunyah dan
menguap. Tiga perempat medial merupakan tulang rawan yang dikelilingi
oleh jaringan lunak, jaringan adiposa, dan epitel saluran nafas (Gacek,
2009).
2.5.4. Prosesus mastoid
Pneumatisasi mastoid ternyata saling berhubungan dan drainase-nya
menuju aditus ad antrum. Terdapat tiga tipe pneumatisasi, yaitu
pneumatik, diploik dan sklerotik. Pada tipe pneumatik, hampir seluruh
proses mastoid terisi oleh pneumatisasi, pada tipe sklerotik tidak terdapat
kurang berkembang. Sel mastoid dapat meluas ke daerah sekitarnya
sampai ke arkus zigomatikus dan ke pars skuamosa tulang temporal
(Gacek, 2009).
Antrum mastoid adalah suatu rongga di dalam prosesus mastoid yang
terletak tepat di belakang epitimpani. Aditus ad antrum adalah saluran
yang menghubungkan antrum dengan epitimpani. Lempeng dura
merupakan bagian tulang tipis yang biasanya lebih keras dari tulang
sekitarnya yang membatasi rongga mastoid dengan duramater,
sedangkan yang membatasi rongga mastoid dengan sinus lateralis
disebut lempeng sinus. Sudut sinodura dapat ditemukan dengan
membuang sebersih-bersihnya sel pneumatisasi mastoid di bagian
superior inferior lempeng dura dan posterior superior lempeng sinus
(Gacek, 2009).
2.5.5. Vaskularisasi Kavum timpani
Vaskularisasi kavum timpani berasal dari cabang-cabang kecil arteri
karotis eksterna. Cabang- cabang pembuluh darah kecil tersebut adalah:
Arteri timpani posterior yang merupakan cabang stilomastoid yang
berasal dari arteri aurikularis posterior atau arteri oksipital. Arteri
timpani posterior masuk ke kavum timpani bersama korda timpani
lalu mendarahi bagian posterior kavum timpani.
Arteri timpani inferior yang berasal dari cabang ascenden arteri
karotis eksterna yang masuk ke kavum timpani melalui kanalikulus
timpani bersama dengan cabang timpani nervus IX lalu mendarahi
terutama bagian inferior kavum timpani.
Arteri petrosus superfisialis dan arteri timpani superior yang
merupakan cabang-cabang arteri meningea media yang masuk ke
kavum timpani masing-masing melalui lubang kecil di tegmen
timpani dan melalui fisura petroskuamosa, lalu mendarahi bagian
Arteri karotimpani yang merupakan satu-satunya cabang yang
berasal dari arteri karotis interna, masuk ke kavum timpani dengan
menembus lamina tulang tipis yang membatasi kanalis karotikus
dengan liang telinga tengah.
Aliran vena yang berjalan seiring dengan arterinya untuk bermuara pada
sinus petrosus superior dan pleksus pterigoideus (Helmi, 2005).
2.6. Imunohistokimia
Pemeriksaan imunohistokimia dapat memberi informasi mengenai
kandungan berbagai unsur molekul didalam sel normal maupun sel
neoplastik. Dasar dari pemeriksaan ini adalah pengikatan antigen (yang
terkandung dalam sel) dengan antibodi spesifiknya yang diberi label
chromogen. ini diawali dengan prosedur histo yaitu prosedur pembuatan
irisan jaringan (histologi) untuk diamati di bawah mikroskop. Irisan jaringan
yang didapat kemudian memasuki prosedur imunohistokimia (Hardjolukito,
& Endang, 2005)
Interaksi antara antigen dan antibodi adalah reaksi yang tidak kasat
mata. Oleh karena itu, diperlukan visualisasi adanya ikatan tersebut
dengan molekul antibodi yang digunakan dengan enzim atau fluorokrom.
Enzim (yang dipakai untuk molekul) selanjutnya direaksikan dengan
substrat chromogen (yaitu substrat yang menghasilkan produk akhir
berwarna dan tidak larut) yang dapat diamati dengan mikroskop bright
field (mikroskop bidang terang). Imunohistokimia yang menggunakan
fluorokrom untuk molekul antibodi, dapat langsung diamati dibawah
mikroskop fluorescence (Hardjolukito, Endang, SR 2005).
Berbagai jenis molekul yang yang terkandung dalam sel dapat
dideteksi dengan ini, termasuk berbagai jenis reseptor, onkoprotein,
faktor pertumbuhan dan protein-protein lainnya. Imunohistokimia menjadi
pilihan untuk menentukan petanda-petanda biologik tersebut karena relatif
mudah, murah dan dapat diterapkan pada sediaan rutin histopatologik.
mempengaruhi hasil pemeriksaan, dimana pengaruh faktor-faktor tersebut
dimulai dari tahap pembedahan, pengolahan jaringan hingga penilaian
hasil pulasan (Hardjolukito, Endang, SR 2005).
Pewarnaan imunohistokimia pada dasarnya ada dua macam metode
yaitu (Sudiana & Ketut 2005):
a. Metode Direct
Pada metode ini antibodi monoklonal yang digunakan untuk
mendeteksi suatu marker pada sel, langsung di label dengan suatu enzim.
b. Metode Indirect
Pada metode imunohistokimia indirect, antibodi monoklonal yang
digunakan untuk mendeteksi suatu marker pada sel, tidak dilabel dengan
suatu enzim. Antibodi ini dikenal dengan sebutan antibodi primer. Namun
pada metode ini bukan berarti tidak membutuhkan antibodi yang dilabel
enzim. Hal ini tetap dibutuhkan tetapi yang dilabel adalah
antiimunoglobulin, dalam imunohistokimia indirect dikenal dengan sebutan
antibodi sekunder. Untuk melabel antibodi sekunder dapat dilakukan
secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung artinya
antibodi sekunder telah terlabel oleh suatu enzim. Sedangkan secara tidak
langsung artinya pelabelan antibodi sekunder dengan suatu enzim adalah
menggunakan suatu bahan perantara (kombinasi) seperti :
2.7. Kerangka Teori
Gambar 2.1. Kerangka Teori
Kolesteatoma pada OMSK tipe bahaya
Inflamasi
Proliferasi Epitel
Peningkatan aktifitas osteoklas dalam
kolesteatoma
Degradasi Ekstra Selular Matriks Tulang Bakteri
Derajat destruksi tulang Peningkatan permeabilitas
vaskuler dan aktifitas sekretori epitel USIA
JENIS KELAMIN GEJALA KLINIS LAMA KELUHAN
Ringan Sedang Berat Komplikasi
Intratemporal Intrakranial
Keterangan :
= Variabel penelitian
OMSK tipe bahaya dapat disebabkan oleh infeksi bakteri yang memicu
timbulnya aktivasi sitokin antara lain Interleukin-1. Proses inflamasi ini
akan merangsang peningkatan permeabilitas vaskuler dan aktifitas
sekretori epitel dan merangsang proliferasi epitel. Hal ini akan
menyebabkan peningkatan aktifitas osteoklas dalam kolesteatoma
sehingga terjadi degradasi matriks tulang ekstra selular sehingga terjadi
destruksi tulang. Derajat destruksi tulang dapat dibagi menjadi derajat
ringan, sedang dan berat. Terjadinya destruksi tulang dapat
2.8. Kerangka Konsep
Gambar 2.2. Kerangka Konsep USIA
JENIS KELAMIN GEJALA KLINIS LAMA KELUHAN KOMPLIKASI KOLESTEATOMA
IL-1 Derajat
destruksi tulang
RINGAN
SEDANG
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat analitik, dengan studi potong lintang
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam
Malik Medan. Penelitian dilakukan mulai bulan Juni 2013 sampai Februari
2014. Pengambilan sampel dilakukan di kamar bedah Instalasi Bedah
Pusat RSUP H.Adam Malik Medan. Pemeriksaan imunohistokimia
dilakukan di Departemen Patologi Anatomi RSUP H. Adam Malik Medan.
3.3. Populasi, Sampel dan Besar Sampel 3.3.1. Populasi
Populasi adalah seluruh penderita dengan diagnosis OMSK tipe bahaya yang ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan telinga,
foto rontgen mastoid/CT-Scan mastoid yang berobat di Sub Departemen
Otologi THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan dan dilakukan
timpanomastoidektomi selama kurun waktu Juni 2013 – Desember 2013.
Kriteria populasi
1. Penderita yang didiagnosis OMSK tipe bahaya, baik laki-laki maupun
perempuan yang dilakukan operasi timpanomastoidektomi.
2. Bersedia diikutsertakan dengan menandatangani informed consent
3.3.2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah kolesteatoma penderita OMSK tipe
bahaya yang diambil dari tindakan operasi timpanomastoidektomi di sub
bagian Otologi-Bedah Kepala Leher THT-KL FK USU/RSUP H. Adam