Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena kasih dan
anugerah-Nya saya dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Gambaran Gerakan Sendi pada Ekstremitas Bawah Pasien Immobilisasi yang Mengalami
Gnagguan Sistem Saraf di RSUP H. Adam Malik Medan” sebagai salah satu syarat memperoleh kelulusan sarjana keperawatan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Pengerjaan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan selesainya pengerjaan skripsi ini, dengan penuh
rasa hormat saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Dedi Ardinata, M.kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Erniyati, SKp, MNS selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Evi Karota Bukit, SKp, MNS selaku Pembantu Dekan II Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Ikhsanuddin Ahmad Harahap, SKp, MNS selaku Pembantu Dekan
III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
5. Dosen pembimbing saya, Ibu Rosina Tarigan, SKp, M.Kep, Sp.KMB,
Penelitian, Kepala Instalasi LITBANG beserta stafnya, Kepala Instalasi
Rindu A, Kepala Ruangan dan pegawai Rindu A4 RSUP. H. Adam Malik Medan yang telah memberikan izin penelitian dan membantu
dalam proses penelitian skripsi ini.
7. Bapak Ikhsanuddin Ahmad Harahap, SKp, MNS selaku dosen penguji I dan Ibu Yesi selaku dosen penguji II yang telah memberikan saran-saran
dan arahan yang sangat berharga dalam penulisan skripsi ini. 8. Dosen pembimbing akademik saya, Ibu Siti Zahara Nasution
9. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Fakultas Keperawatan Sumatera Utara yang telah memberikan dukungan kepada saya.
10. Kedua orangtua saya yang tercinta, Ayahanda D. Sitanggang dan Ibunda
B. Harianja yang sangat menyayangi saya dan tiada henti-hentinya mendoakan, memberi semangat dan memberi dukungan kepada saya
terlebih selama mengerjakan skripsi ini, dan juga kepada adik-adik saya yang tercinta Theresia Theo Angelica, Paulus Theo Dorus, Theo Hamido, serta kepada keluarga besar saya yang selalu membantu, memberi
dukungan dan motivasi kepada saya terlebih selama mengerjakan skripsi ini.
11. Responden penelitian yang telah bersedia untuk membantu saya dalam pengambilan data.
12. Kepada sahabat saya selama di Fakultas Keperawatan ini Eryani, Winda,
semangat dan dukungan kepada saya.
13. Teman-teman seperjuanganku Patrecia, Putri dan Ayu teman-teman FKep 2011 yang selalu membantu dan memberi dukungan kepada saya.
14. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu namun sangat membantu dalam penelitian ini.
Saya menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan skripsi ini sehingga dapat lebih disempurnakan.
Medan, Juli 2015 Peneliti
Halaman
Halaman Judul... i
Halaman Persetuan Sidang Skripsi ... ii
Prakata ... iii
Dafar Isi ... vi
Daftar Skema... viii
Daftar Tabel ... ix
Abstrak ... x
Bab 1. Pendahuluan ... 1
1. Latar Belakang ... 1
2. Pertanyaan Penelitian ... 5
3. Tujuan Penelitian ... 5
4. Manfaat Penelitian ... 5
Bab 2. Tinjauan Pustaka ... 7
1. Sistem Saraf ... 7
1.1 Pengertian ... 7
1.2 Fungsi Sistem Saraf ... 7
1.3 Klasifikasi Sistem Saraf... 8
1.4 Gangguan Sistem Saraf ... 17
2. Imobilisasi ... 20
2.1 Pengertian ... 20
2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi... 21
2.3 Efek Imobilisasi ... 22
3. Konsep Gerakan Sendi ... 26
3.1 Rentang Gerak Sendi ... 26
Bab 3. Kerangka Konseptual ... 31
1. Kerangka Penelitian ... 31
2. Definisi Operasional... 32
Bab 4. Metodologi Penelitian ... 33
1. Desain Penelitian... 33
2. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling ... 33
2.1 Populasi ... 33
2.2 Sampel ... 33
2.3 Teknik Sampling... 34
3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34
4. Pertimbangan Etik... 35
5. Instrumen Penelitian... 36
6. Pengumpulan Data ... 36
1.1 Karakteristik Responden ... 38
1.2 Gerakan Sendi pada Ekstremitas Bawah Pasien Immobilisasi yang Mengalami Gangguan Gerakan Sendi ... 39
2. Pembahasan ... 42
Bab 6. Kesimpulan dan Saran ... 44
1. Kesimpulan ... 44
2. Saran ... 44
Daftar Pustaka... 46
Lampira-lampiran ... 49 Lampiran 1. Lembar Penjelasan Penelitian
Lampiran 2.Inform Consent Lampiran 3. Instrumen Penelitian Lampiran 4. Jadwal Tentatif Penelitian Lampiran 5. Taksasi Dana
Skema 3.1 Kerangka Penelitian gerakan sendi pada ekstremitas bawah
Tabel 2.1 Rentang gerak sendi dan luas gerak sendi ... 28 Tabel 3.1 Definisi operasional gerakan sendi pada ektremitas bawah
pasien mmobilisasi yang mengalami gangguan sistem saraf ... 32
Tabel 5.1 Distribusi dan frekuensi karakteristik pasien immobilisasi yang mengalami gangguan sistem saraf di RSUP Haji
Adam Malik Medan ... 39 Tabel 5.2 Distribusi dan frekuensi gerakan sendi eksremitas bawah
pasien immobilisasi yang mengalami gangguan sistem saraf
Saraf Di RSUP H. Adam Malik Medan Peneliti : Isodorus Theo Resky Feb Sitanggang
NIM : 111101107
Jurusan : Ilmu Keperawatan (S1 Keperawatan)
Tahun : 2015
ABSTRAK
Rentang pergerakan sendi adalah pergerakan maksimal yang mungkin dilakukan oleh sendi. Rentang pergerakan sendi bervariasi tiap individu dan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu usia, jenis kelamin dan apakah gerakan tersebut dilakukan secara aktif maupun pasif. Kerusakan komponen sistem saraf pusat yang mengatur pergerakan volunter mengakibatkan gangguan kesejajaran tubuh dan immobilisasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran gerakan sendi pada ekstremitas bawah yaitu panggul dan lutut pasien immobilisasi yang gangguan sistem saraf di RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini dilaksanakan di Rindu A4 RSUP H. Adam Malik Medan. Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif dengan teknik sampling yaitu purposive sampling,jumlah sampel sebanyak 28 orang. Hasil analisa data dibuat dalam bentuk tabel distribusi dan frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rentang gerak sendi panggul dan lutut pasien immobilisasi yang mengalami gangguan sistem saraf adalah fleksi dan ekstensi panggul seluruhnya berada pada rentang normal, abduksi panggul mayoritas berada dibawah rentang normal, adduksi panggul seluruhnya dibawah rentang normal, Sedangkan untuk fleksi lutut mayoritas berada pada rentang normal, dan ekstensi lutut seluruhnya berada pada rentang normal. Disarankan kepada perawat untuk memberikan latihan gerak sendi pada pasien immobilisasi untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kontraktur ataupun keterbatasan gerak sendi.
Saraf Di RSUP H. Adam Malik Medan Peneliti : Isodorus Theo Resky Feb Sitanggang
NIM : 111101107
Jurusan : Ilmu Keperawatan (S1 Keperawatan)
Tahun : 2015
ABSTRAK
Rentang pergerakan sendi adalah pergerakan maksimal yang mungkin dilakukan oleh sendi. Rentang pergerakan sendi bervariasi tiap individu dan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu usia, jenis kelamin dan apakah gerakan tersebut dilakukan secara aktif maupun pasif. Kerusakan komponen sistem saraf pusat yang mengatur pergerakan volunter mengakibatkan gangguan kesejajaran tubuh dan immobilisasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran gerakan sendi pada ekstremitas bawah yaitu panggul dan lutut pasien immobilisasi yang gangguan sistem saraf di RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini dilaksanakan di Rindu A4 RSUP H. Adam Malik Medan. Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif dengan teknik sampling yaitu purposive sampling,jumlah sampel sebanyak 28 orang. Hasil analisa data dibuat dalam bentuk tabel distribusi dan frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rentang gerak sendi panggul dan lutut pasien immobilisasi yang mengalami gangguan sistem saraf adalah fleksi dan ekstensi panggul seluruhnya berada pada rentang normal, abduksi panggul mayoritas berada dibawah rentang normal, adduksi panggul seluruhnya dibawah rentang normal, Sedangkan untuk fleksi lutut mayoritas berada pada rentang normal, dan ekstensi lutut seluruhnya berada pada rentang normal. Disarankan kepada perawat untuk memberikan latihan gerak sendi pada pasien immobilisasi untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kontraktur ataupun keterbatasan gerak sendi.
1. Latar Belakang
Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai
fungsi yang berbeda dan saling mempengaruhi. Sistem saraf mengatur kegiatan tubuh yang cepat seperti kontraksi otot atau peristiwa viseral yang berubah dengan cepat. Sistem saraf menerima ribuan informasi dari berbagai organ sensoris dan
kemudian mengintegrasikannya untuk menentukan reaksi yang harus dilakukan tubuh (Syaifuddin, 2011). Kerja sistem saraf adalah mengatur aktivitas sensorik
dan motorik, perilaku instriktif dan dipelajari, organ dalam dan sitem-sistem dalam tubuh. Pentingnya fungsi ini menjadi jelas saat individu menderita misalnya kebutaan, kelumpuhan, atau kesulitan lain setelah trauma spinal ataupun
stroke(Mardiati, 2010).
Gangguan sistem saraf bisa terjadi pada sistem saraf pusat dan perifer.
Dengan kata lain, otak, sumsum tulang belakang, saraf kranial, saraf perifer, akar saraf, sistem saraf otonom, neuromuscular junction, dan otot. Gangguan ini termasuk epilepsi, penyakit Alzheimer dan demensia lainnya, penyakit
serebrovaskular termasuk stroke, migrain dan gangguan sakit kepala lainnya, multipel sklerosis, penyakit Parkinson, neuroinfections, tumor otak, gangguan
traumatis dari sistem saraf seperti trauma otak, dan gangguan neurologis sebagai hasilnya kekurangan gizi (WHO, 2014).
Ratusan juta orang di seluruh dunia menderita gangguan neurologis. Sekitar
terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia memiliki epilepsi. Diperkirakan ada global 35.600.000
orang dengan demensia dengan 7,7 juta kasus baru setiap tahun. Penyakit Alzheimer adalah penyebab paling umum dari demensia dan dapat berkontribusi
60-70% kasus. Prevalensi migrain lebih dari 10% di seluruh dunia (WHO, 2014). Berdasarkan estimasi dari data statistik, sekitar 40% dari populasi Negara maju, pada usia dewasa mengalami atau menderita kelainan terkait dengan saraf seperti
dementia, stroke, epilepsi, parkinson, tumor dan penyakit lainnya (Journal of Neuroscience, 2013).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2011) mencatat Indonesia sebagai negara dengan jumlah penderita gangguan sistem saraf terbesar di Asia. Setiap 7 orang meninggal di Indonesia, 1 diantaranya karena mengalami gangguan
sistem saraf yaitu stroke. Catatan Riskesdas tahun 2013 menyatakan bahwa jumlah penderita gangguan sistem saraf yaitu penderita stroke sebanyak 500.000
penduduk setiap tahunnya dan sekitar 2,5% orang meninggal, penderita cedera kepala 2,18%, dan demensia 7,58%.
Data yang didapatkan dari RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2013,
yaitu pasien stroke hemoragik sebanyak 262 orang, stroke iskemik 353 orang, trauma kepala 66 orang, Parkinson 3 orang, dan migraine 174 orang. Stroke dan
penyakit gangguan fungsi neurologis lainnya akan mengakibatkan berbagai macam gangguan fungsi tubuh seperti gangguan fungsi kognitif, gangguan fungsi sirkulasi, gangguan kekuatan otot, gangguan fungsi perifer, gangguan fisiologis
akan membuat pasien mengalami immobilisasi yaitu ketidakmampuan untuk bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atau gangguan pada organ tubuh
yang bersifat fisik atau mental (Kumalasari, 2012).
Imobilisasi adalah suatu keadaan di mana individu mengalami atau berisiko
mengalami keterbatasan gerak fisik. Imobilisasi dapat berbentuk tirah baring yang bertujuan mengurangi aktivitas fisik dan kebutuhan oksigen tubuh, mengurangi nyeri, dan untuk mengembalikan kekuatan. Imobilisasi secara fisik, merupakan
pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan. Mobilisasi dan imobilisasi berada pada suatu
rentang dengan banyak tingkatan imobilisasi parsial di antaranya. Beberapa pasien mengalami kemunduran dan selanjutnya berada diantara rentang mobilisasi-imobilisasi, tetapi pada pasien lain berada pada kondisi imobilisasi mutlak dan
berlanjut sampai jangka waktu tidak terbatas (Potter & Perry, 2006).
Berdasarkan rekam medik RSUP H. Adam Malik Medan pada periode
Januari hingga Juni 2008 jumlah pasien yang dirawat diruang rawat inap dewasa berjumlah 9977. Dari jumlah tersebut pasien imobilisasi yang terdiri dari pasien fraktur yang menjalani rawat inap 5,72%, pasien stroke sistemik 1,03 %, stroke
hemoragik 1,38 % (Parinduri, 2010).
Pengaruh penurunan kondisi otot dikaitkan dengan penurunan aktivitas fisik
akan terlihat jelas dalam beberapa hari. Pada individu nomal dengan kondisi tirah baring akan mengalami kurangnya kekuatan otot dari tingkat dasarnya pada rata-rata 3% sehari. Tirah baring juga dikaitkan dengan perubahan pada
Potter & Perry, 2006). Pengaruh lain dari keterbatasan mobilisasi adalah gangguan metabolisme kalsium dan gangguan mobilisasi sendi. Immobilisasi
dapat mempengaruhi fungsi otot dan skeletal. Jika immobilisasi berlanjut dan otot tidak dilatih maka akan terjadi penurunan massa otot yang berkelanjutan.
Immobilisasi juga dapat mengakibatkan kontraktur sendi yaitu suatu kondisi abnormal yang ditandai dengan fleksi sendi dan terfiksasi. Hal ini terjadi akibat sendi tidak digunakan, atrofi dan pemendekan serat otot. Jika terjadi kontraktur
maka sendi tidak dapat mempertahankan rentang geraknya dengan penuh (Potter & Perry, 2006).
Salah satu masalah yang muncul pada penderita gangguan saraf yaitu adanya gangguan pada fungsi motoriknya, misalnya pada penderita stroke. Mobilisasi penderita stroke akut akan mengalami kemunduran aktivitas seperti kelemahan
menggerakkan kaki, tangan, ketidakmampuan berbicara dan ketidakmampuan fungsi-fungsi motorik lainnya (Muttaqin, 2008).
Sejauh ini, belum diketahui dengan jelas bagaimana gambaran rentang gerak sendi pasien gangguan sistem saraf. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti gambaran gerakan sendi akibat imobilisasi pada pasien gangguan sistem
saraf.
2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat disimpulkan rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimanakah gambaran rentang gerak sendi pada ekstremitas bawah pasien immobilisasi yang mengalami gangguan sistem saraf di
3. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran rentang gerak sendi pada ekstremitas bawah yaitu panggul dan lutut pasien
immobilisasi yang mengalami gangguan sistem saraf di RSUP H. Adam Malik Medan.
4. Manfaat Penelitian 4.1 Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat dapat berguna khususnya untuk mata kuliah
medikal bedah menjadi bahan masukan dan informasi tambahan bagi mahasiswa keperawatan tentang gambaran gerakan sendi pada pasien gangguan sistem saraf. 4.1 Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan bagi praktek keperawatan sehingga perawat dapat memberikan asuhan keperawatan yang
optimal pada pasien gangguan sistem saraf tentang rentang gerak sendi. 4.2 Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat memberikan data awal bagi peneliti selanjutnya
1. Sistem Saraf 1.1 Pengertian
Sistem saraf merupakan serangkaian organ yang kompleks dan
bersambungan serta terdiri terutama dari jaringan saraf (Sloane, 2003). Sistem saraf merupakan salah satu sistem yang berfungsi untuk memantau dan merespon perubahan yg terjadi di dalam dan diluar tubuh atau lingkungan. Sistem saraf juga
bertanggung jawab sebagai sistem persepsi, perilaku dan daya ingat, serta merangsang pergerakan tubuh (Farley et all, 2014). Kemampuan untuk dapat
memahami, mempelajari, dan merespon suatu rangsangan merupakan hasil kerja terintegrasi sistem persarafan yang mencapai puncaknya dalam bentuk kepribadian dan tingkah laku individu (Batticaca, 2008).
1.2 Fungsi Sistem Saraf
Saraf sebagai sistem koordinasi atau pengatur seluruh aktifitas tubuh
manusia mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai alat komunikasi, pengendali atau pengatur kerja dan pusat pengendali tanggapan.
a. Saraf sebagai alat komunikasi antara tubuh dan dunia di luar tubuh. Hal
ini dilakukan oleh alat indera yang meliputi mata, hidung, telinga, lidah, dan kulit. Karena ada indera, dengan mudah kita dapat mengetahui perubahan
yang terjadi di luar tubuh kita.
pengendali tanggapan atau reaksi tubuh terhadap perubahan keadaan di sekitarnya. Karena saraf sebagai pengendali kerja alat tubuh maka jaringan
saraf terdapat pada seluruh alat tubuh (Syaifuddin, 2011). 1.3 Klasifikasi
Susunan saraf terdiri dari susunan saraf sentral dan susunan saraf perifer. Susunan saraf sentral terdiri dari otak (otak besar, otak kecil, dan batang otak) dan medula spinalis. Susunan saraf perifer terdiri dari saraf somatik dan saraf otonom
(saraf simpatis dan saraf parasimpatis). 1.3.1 Susunan Saraf Sentral
Susunan saraf sentral terdiri dari: 1) Otak
Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam
seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme oksidasi glukosa. Otak mengandung hampir 98% jaringan saraf tubuh
(Batticaca, 2008). Otak dibungkus oleh tiga selaput otak (meningen) dan dilindungi oleh tulang tengkorak. Selaput otak terdiri dari tiga lapis yaitu durameter (lapisan paling luar yang menutupi otak dan medula spinalis,
serabut berwarna abu-abu yang bersifat liat, tebal dan tidak elastis), araknoid (membran bagian tengah yang tipis dan lembut yang menyerupai
sarang laba-laba, berwarna putih karena tidak tidak dialiri aliran darah), dan piameter (membran yang paling dalam berupa dinding tipis dan transparan yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak)
a) Serebrum
Sereberum atau otak besar mempunyai dua belahan yaitu hemisfer
kiri dan hemisfer kanan yang dihubungkan oleh massa substansia alba yang disebut korpus kollosum. Serebrum(telensefalon) terdiri dari korteks
serebri, basal ganglia dan rheniensefalon. i) Korteks Serebri
Korteks serebri adalah lapisan permukaan hemisfer yang disusun
oleh substansia grisea. Beberapa daerah tertentu dari korteks serebri telah diketahui memiliki fungsi spesifik. Brodmann (1909) membagi korteks
serebri menjadi 47 area berdasarkan struktur selular. Bagian-bagian dari korteks serebri menurut Brodmann:
1. Lobus Frontalis
Area 4 (area motorik primer) sebagian besar girus presentralis dan bagian anterior lobus parasentralis); area 6 bagian sirkuit traktus
piramidalis (area premotorik) mengatur gerakan motorik dan premotorik, area 8 mengatur gerakan mata dan perubahan pupil; dan area 9, 10, 11, 12 (area asosiasi frontalis). Lobus frontalis terletak di depan serebrum, bagian
belakang dibatasi oleh sulkus sentralis rolandi. 2. Lobus Perietalis
Area 3, 1, 2 adalah area sensorik primer (area postsentral) meliputi girus sentralis dan meluas ke arah anterior sampai mencapai dasar sulkus sentralis dan area 5, 7 (area asosiasi somatosensorik) meliputi sebagian
3. Lobus Oksipitalis
Area 17 (korteks visual primer) permukaan medial lobus oksipitalis
sepanjang bibir superior dan inferior sulkus kalkanius; area 18, 19 (area asosiasi visual) sejajar dengan area 17 meluas sampai meliputi permukaan
lateral lobus oksipitalis. 4. Lobus Temporalis
Area 41 (korteks auditori primer) meliputi girus temporalis superior
meluas sampai ke permukaan lateral girus temporalis; area 42 (area asosiasi auditorik) korteks area sedikit meluas sampai pada permukaan
girus temporalis superior; dan area 38, 40, 20, 21, 22 (area asosiasi) permukaan lateral dibagi menjadi girus temporalis superior, girus temporalis media dan girus temporalis inferior. Pada bagian basal terdapat
girus fusiformis. 5. Area Broka
Area broka (area bicara motoris) terletak di atas sulkus lateralis, mengatur gerakan berbicara.
6. Area Visualis
Area visualis terdapat pada polus posterior dan aspek medial hemisfer serebri di daerah sulkus kalkaneus, merupakan daerah menerima
visual. Gangguan dalam ingatan untuk peristiwa yang belum lama. 7. Insula Reili
Insula reili yaitu bagian serebrum yang membentuk dasar fisura silvi
oksipitalis. Bagian otak ini ditutupi oleh girus temporalis dan girus frontalis inferior.
8. Girus Singuli
Girus singuli yaitu bagian medial hemisfer terletak di atas korpus
kolosum.
Fungsi kortek serebri (Syaifuddin, 2011) yaitu:
1. Korteks motorik primer (area 4, 6, 8) mengontrol gerakan
volunter otot dan tulang pada sisi tubuh kontralateral. Impulsnya berjalan melalui akson-akson dalam traktus kortikobulber dan kortikospinal, menuju
nuclei saraf-saraf serebrospinal. Proyeksi motori dari berbagai bagian tubuh terutama daerah kaki terletak diatas, sedangkan daerah wajah bilateral terletak dibawah. Lesi area 4 akan mengakibatkan paralisis kontralateral dari
kumpulan otot yang disarafi. Lesi area 6 dan 8 pada perangsangan akan timbul gerakan mata dan kepala.
2. Korteks sensorik primer (area 3, 4, 5) penerima sensasi umum (area somestesia); menerima serabut saraf yaitu radiasi yang membawa impuls sensoris dari kulit, otot sendi dan tendo di sisi kontralateral. Lesi didaerah ini
dapat menimbulkan gangguan sensasi pada sisi tubuh kontralateral; dan terdapat homunculus sensorik yaitu menggambarkan luas daerah proyeksi
sensorik dari bagian-bagian tubuh di sisi tubuh kontraleteral.
menimbulkan gangguan lapangan pandang; dan menerima impuls dari radio-optika.
4. Korteks auditorik primer (area 41) terletak pada tranvers temporal girus di dasar visura lateralis serebri. Menerima impuls dari radiasioauditorik
yang berasal dari korpus genikulatum medialis. Lesi area ini hanya menimbulkan ketulian ringan kecuali bila lesinya bilateral.
5. Area penghidu (area reseptif olfaktorius) terletak di daerah yang
berdekatan dengan girus parahipotalamus lobus temporalis. Kerusakan jalur olfaktorius menimbulkan anosmia (tidak bisa menghidu). Lesi iritasi
menimbulkan halusinasi olfaktorius. Pada keadaan ini penderita dapat menghidu bau yang aneh atau mengecap rasa yang aneh.
6. Area asosiasi, korteks yang mempunyai hubungan dengan area
sensorik maupun motorik, dihubungkan oleh serabut asosiasi. Pada manusia terdapat tiga daerah asosiasi penting, yaitu daerah frontal (di depan korteks
motorik), daerah temporal (antara girus temporalis superior dan korteks limbik) dan daerah parieto-oksifital (antara korteks somatetik dan korteks vosual. Kerusakan daerah sosiasi akan menimbulkan gangguan dengan gejala
yang sesuai dengan tempat kerusakan. Misalnya, pada area 5 dan 7 akan menimbulkan astereognosis (tidak mengenali bentuk benda, yang diletakkan
ii) Basal Ganglia
Basal ganglia terdiri dari beberapa kumpulan substansia grisea yang
padat yang terbentuk dalam hubungan yang erat dengan dasar ventrikulus lateralis. Ganglia basalis merupakan nuklei subkortikalis yang berasal dari
telensefalon. Pada gerakan lambat dan mantap basal ganglia akan aktif, sedangkan pada gerakan cepat dan tiba-tiba basal ganglia tidak aktif. Basal ganglia sudah mulai aktif sebelum gerakan dimulai, berperan dalam
penataan dan perencanaan gerakan yaitu dalam proses konversi pikiran menjadi gerakan volunter. Kerusakan ganglia basalis pada manusia
menimbulkan gangguan fungsi motorik yaitu hiperkinetik (terjadinya gerakan-gerakan abnormal yang berlebihan) dan hipokinetik (berkurangnya gerakan, misalnya kekakuan) (Syaifuddin, 2011).
iii) Rinensefalon
Sistem limbik (lobus limbic atau rinensefalon) merupakan bagian
otak yang terdiri atas jaringan alo-korteks yang melingkar sekeliling hilus hemisfer serebri serta berbagai struktur lain yang lebih dalam yaitu amiglada, hipokampus, dan nuklei septal. Rinensefalon berperan dalam
fungsi penghidu, perilaku makan dan bersama dengan hipotalamus berfungsi dalam perilaku seksual, emosi takut, marah dan motivasi
(Syaifuddin, 2011). b) Serebelum
Serebelum (otak kecil) terletak dalam fosa kranial posterior, dibawah
oblongata. Serebelum berfungsi sebagai pusat koordinasi untuk mempertahankan keseimbangan dan tonus otot. Serebelum diperlukan
untuk mempertahankan postur dan keseimbangan saat berjalan dan berlari (Syaifuddin, 2011).
c) Batang otak
Batang otak terdiri dari: a) Diesenfalon yaitu bagian otak paling atas terdapat diantara serebelum dengan mesenfalon, b) Mesensefalon yaitu
bagian otak yang terletak diantara pons varoli dan hemisfer serebri, c) Pons varoli terletak didepan serebelum diantara otak tengah dan medula
oblongata, d) Medula oblongata merupakan bagian otak paling bawah yang menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Fungsi dari batang otak yang utama adalah sebagai pengatur pusat pernafasan dan pengatur
gerakan refleks dari tubuh. 2) Medula Spinalis
Medula spinalis dan batang otak membentuk struktur kontinu yang keluar dari hemisfer serebral dan bertugas sebagai penghubung otak dan saraf perifer. Panjangnya rata-rata 45 cm dan menipis pada jari-jari. Fungsi
medula spinalis sebagai pusat saraf mengintegrasikan sinyal sensoris yang datang mengaktifkan keluaran motorik secara langsung tanpa campur
tangan otak (fungsi ini terlihat pada kerja refleks spinal, untuk melindungi tubuh dari bahaya dan menjaga pemeliharaan tubuh) dan sebagai pusat perantara antara susunan saraf tepi dan otak (susunan saraf pusat), semua
dikomunikasikan terlebih dahulu pada pusat motorik spinal. Pusat motorik spinal akan memproses sinyal sebagaimana mestinya sebelum
mengirimkannya ke otot. Sinyal sensoris dari reseptor perifer ke pusat otak harus terlebih dahulu dikomunikasikan ke pusat sensorik di medula
spinalis. Medula spinalis berfungsi untuk mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh serta berperan dalam gerak refleks, denyut jantung, pengatur tekanan darah, pernafasan, menelan, muntah dan berisi
pusat pengontrolan yang penting (Setiadi, 2007). 1.3.2 Susunan Saraf Perifer
Susunan saraf perifer atau susunan saraf tepi merupakan penghubung susunan saraf pusat dengan reseptor sensorik dan efektor motorik (otot dan kelenjar). Serabut saraf perifer berhubungan dengan otak
dan korda spinalis. Serabut saraf perifer terdiri dari 12 pasang saraf cranial dan 31 pasang saraf spinal. Setiap saraf spinal adalah gabungan dari
serabut motorik somatik, sensorik somatik dan otonom. Sistem saraf tepi dibagi menjadi dua berdasarkan cara kerjanya, yaitu:
a. Susunan Saraf Somatik
Indra somatik merupakan saraf yang mengumpulkan informasi sensoris dari tubuh. Indra somatik dapat digolongkan menjadi tiga jenis:
indra somatik mekanoreseptif, yang dirangsang oleh pemindahan mekanisme sejumlah jaringan tubuh meliputi indra raba, tekanan, tekanan yang menentukan posisi relatif, dan kecepatan gerakan berbagai bagian
digiatkan oleh faktor apa saja yang merusak jaringan, perasaan kompleks karena menyertakan sensasi perasaan dan emosi (Syaifuddin, 2011).
b. Susunan Saraf Otonom
Saraf yang mempersarafi alat-alat dalam tubuh seperti kelenjar,
pembuluh darah, paru, lambung, usus dan ginjal. Ada dua jenis saraf otonom yang fungsinya saling bertentangan, kedua susunan saraf ini disebut saraf simpatis dan saraf parasimpatis.
1) Saraf Simpatis
Saraf simpatis terletak di dalam kornu lateralis medula spinalis
servikal VIII sampai lumbal I. Sistem saraf simpatis berfungsi membantu proses kedaruratan. Stres fisik maupun emosional akan menyebabkan peningkatan impuls simpatis. Tubuh siap untuk berespon fight or flight
jika ada ancaman. Pelepasan simpatis yang meningkat sama seperti ketika tubuh disuntikkan adrenalin. Oleh karena itu, stadium sistem saraf
adrenergik kadang-kadang dipakai jika menunjukkan kondisi seperti pada sistem saraf simpatis (Batticaca, 2008).
2) Saraf Parasimpatis
Fungsi saraf parasimpatis adalah sebagai pengontrol dominan untuk kebanyakan efektor visceral dalam waktu lama. Selama keadaan
diam, kondisi tanpa stres, impuls dari serabut-serabut parasimpatis (kolenergik) menonjol. Serabut-serabut sistem parasimpatis terletak di dua area, yaitu batang otak dan segmen spinal di bawah L2. Karena lokasi
kraniosakral, sedangkan saraf simpatis menghubungkan area torakalumbal dari sistem saraf autonom. Parasimpatis kranial muncul dari mesenfalon
dan medula oblongata. Serabut dari sel-sel pada mesenfalon berjalan dengan saraf okulomotorius ketiga menuju ganglia siliaris, yang memiliki
serabut postganglion yang berhubungan dengan sistem simpatis lain yang mengontrol bagian posisi yang berlawanan dengan mempertahankan kesimbangan antara keduanya pada satu waktu (Batticaca, 2008).
1.4 Gangguan Fungsi Saraf a. Tumor otak
Tumor otak merupakan lesi yang terletak pada intrakranial yang menempati ruang didalam tengkorak. Tumor otak menunjukkan manifestasi klinis yang tersebar bila tumor ini menyebabkan peningkatan tekanan intracranial serta
tanda dan gejala lokal sebagai akibat dari tumor yang menggangu bagian spesifik dari otak. Gejala-gejala yang biasanya banyak terjadi akibat tekanan ini adalah
sakit kepala, muntah, papiledema, perubahan kepribadian dan adanya variasi penurunan fokal motorik, sensori dan disfungsi saraf cranial (Smeltzer & Bare, 2002).
b. Meningitis
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi
otak dan medulla spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur. Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan tekanan intrakranial, saktit kepala dan demam, perubahan pada tingkat kesadaran, iritasi
c. Aneurisma Intrakranial
Aneurisma intracranial (serebral) adalah dilatasi dinding arteri serebral
yang berkembang sebagai hasil dari kelemahan dinding arteri. Pecahnya aneurisma selalu terjadi tiba-tiba, tidak selalu disertai dengan sakit kepala yang
berat dan sering kehilangan kesadaran untuk periode yang bervariasi. Mungkin ada nyeri dan kaku leher bagian belakang dan medula spinalis akibat adanya iritasi meningen (Smeltzer & Bare, 2002).
d. Sklerosis Multipel
Sklerosis multiple (SM) merupakan keadaan kronis, penyakit sistem
saraf pusat degenerative dikarakteristikkan oleh adanya bercak kecil demielinasi pada otak dan medulla spinalis. Tanda dan gejala SM bervariasi dan banyak, gejala primer paling banyak dilaporkan berupa kelelahan, lemah, kebas, kesukaran
koordinasi dan kehilangan keseimbangan. Gangguan penglihatan akibat adanya lesi pada saraf optik atau penghubungnya dapat mencakup penglihatan kabur,
diplopia, kebutaan parsial dan kebutaan total (Smeltzer & Bare, 2002). e. Penyakit Parkinson
Penyakit Parkinson adalah gangguan neurologic progresif yang
mengenai pusat otak yang bertanggung jawab untuk mengontrol dan mengatur gerakan. Manifestasi utama penyakit Parkinson adalah gangguan gerakan, kaku
otot, tremor menyeluruh, kelemahan otot, dan hilangnya refleks postural. Pasien mempunyai kesukaran dalam memulai, mempertahankan, dam membentuk aktivitas motorik dan pengalaman lambat dalam menghasilkan aktivitas normal
f. Penyakit Alzhaimer
Penyakit alzhaimer atau demensial senile merupakan penyakit kronik,
progresif dan merupakan gangguan degenerative otak dan diketahui mempengaruhi memori, kognitif dan kemampuan untuk merawat diri (Smeltzer &
Bare, 2002).
g. Cedera Kepala
Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala dapat disebabkan karena
kecelakaan lalu lintas, terjatuh, kecelakaan industri, kecelakaan olah raga dan luka pada persalinan (Tarwoto, 2007).
h. Cedera Medula Spinalis
Trauma pada medula spinalis dapat bervariasi dari trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara menadadak sampai yang
menyebabkan transeksi lengkap dari medula spinalis dengan quadriplegia. Cedera tulang belakang selalu diduga pada kasus dimana setelah cedera klien mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan klien dan punggung (Batticaca, 2008).
i. Stroke
Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan
peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian (Batticaca, 2008). Manifestasi klinis stroke tergantung dari sisi atau bagian mana
stroke akut gejala klinis meliputi: kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah yang timbul mendadak, gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan,
penurunan kesadaran, afasia (kesulitan bicara), disatria (bicara cadel atau pelo), gangguan penglihatan, diplopia, ataksia, verigo, mual, muntah dan nyeri kepala
(Tarwoto, 2007).
j. Sindrom Guillain Barre
Sindrom Guillain Barre merupakan sindrom klinis yang ditunjukkan
oleh onset waktu akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenerasi selaput myelin dari saraf
perifer dan kranial (Batticaca, 2008).
k. Bell’s Palsy
Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses
non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau
sedikit proksimal dari foramen tersebut yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Penyebabnya tidak diketahui, meskipun kemungkinan penyebab dapat meliputi iskemia vascular, penyakit virus (herpes simplek, herpes
zoster), penyakit autoimun atau kombinasi semua faktor (Batticaca, 2008).
2. Imobilisasi
2.1 Pengertian Imobilisasi
North American Nursing Diagnosa Association (NANDA) mendefinisikan imobilisasi sebagai suatu keadaan ketika individu mengalami atau
Dalam hubungannya dengan perawatan pasien, maka immobilisasi adalah keadaan dimana pasien berbaring lama ditempat tidur, tidak dapat bergerak secara
bebas karena kondisi yang menggangu pergerakan (aktifitas). Immobilisasi pada pasien tersebut dapat disebabkan oleh penyakit yang dideritanya, trauma, fraktur
pada ekstremitas atau menderita kecacatan (Asmadi, 2008).
Immobilisasi merupakan suatu keadaan dimana penderita harus istirahat ditempat tidur, tidak bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atau gangguan
pada alat/organ tubuh yang bersifat fisik atau mental. Dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan tidak bergerak/tirah baring yang terus-menerus selama 5 hari atau
lebih akibat perubahan fungsi fisiologis (Mubarak, 2008). 2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Imobilisasi
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2004), faktor-faktor yang
mempengaruhi kurangnya pergerakan atau immobilisasi adalah sebagi berikut : a. Gangguan muskuloskletal
Gangguan pada muskuloskletal biasanya dipengaruhi oleh beberapa keadaan tertentu yang menggangu pergerakan tubuh seseorang misalnya; osteoporosis, atrofi, kontraktur, kekakuan sendi dan sakit
sendi.
b. Gangguan kardiovaskuler
c. Gangguan sistem pernapasan
Beberapa keadaan gangguan respirasi yang dapat berpengaruh
terhadap mobilitas seseorang antara lain penurunan gerak pernapasan, bertambahnya sekresi paru, atelektasis dan hipostatis pneumonia.
2.3 Efek dari Imobilisasi
Potter & Perry (2005) menyatakan ada beberapa akibat yang ditimbulkan oleh keadaan imobilisasi fisik antara lain:
1. Pengaruh Fisiologi
Apabila ada perubahan mobilisasi, maka setiap sistem tubuh berisiko
terjadi gangguan. Tingkat keparahan dari gangguan tersebut tergantung pada umur klien, dan kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat imobilisasi yang dialami. Misalnya, perkembangan pengaruh imobilisasi lansia berpenyakit kronik
lebih cepat dibandingkan klien yang lebih muda. 2. Perubahan Metabolik
Imobilisasi mengganggu fungsi metabolik normal, antara lain laju metabolik; metabolisme karbohidrat, lemak dan protein; ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; ketidakseimbangan kalsium; dan gangguan pencernaan.
Keberadaan proses infeksius pada klien imobilisasi mengalami peningkatan BMR diakibatkan karena demam atau peyembuhan luka.
3. Perubahan Sistem Respiratori
Klien imobilisasi berisiko tinggi mengalami komplikasi paru-paru. Komplikasi paru-paru yang paling umum adalah atelektasis dan pneumonia
penyebaran mukus dalam bronkus meningkat, terutama pada klien dalam posisi telentang, telungkup, atau lateral. Mukus menumpuk di regio yang dependen di
saluran pernapasan. Karena mukus merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri, maka terjadi bronkopneumonia hipostatik.
4. Perubahan Sistem Kardiovaskuler
Sistem kardiovaskuler juga dipengaruhi oleh imobilisasi. Ada tiga perubahan utama yaitu hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja jantung, dan
pembentukan thrombus.
5. Perubahan Sistem Muskuloskeletal
Pengaruh imobilisasi pada sistem muskuloskeletal meliputi gangguan mobilisasi permanen. Keterbatasan mobilisasi mempengaruhi otot klien melalui kehilangan daya tahan, penurunan masa otot, atrofi, dan penurunan stabilisas.
Penurunan masa otot akibat dari kecepatan metabolisme yang turun dan kurangnya aktivitas sehingga mengakibatkan berkurangnya kekuatan otot sampai
akhirnya memburuknya koordinasi pergerakan. Pengaruh lain dari keterbatasan mobilisasi yang mempengaruhi sistem skeletal adalah gangguan metabolisme kalsium dan gangguan mobilisasi sendi. Akibat pemecahan protein, klien
mengalami kehilangan massa tubuh, yang membentuk sebagian otot tidak mampu mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan kelelahan. Jika immobilisasi
Immobilisasi menyebabkan dua perubahan terhadap skelet yaitu gangguan metabolisme kalsium dan kelainan sendi. Karena immobilisasi
berakibat pada resorpsi tulang, sehingga jaringan tulang menjadi kurang padat, dan terjadi osteoporosis. Immobilisasi dan aktivitas yang terjadi tidak menyangga
tubuh meningkatkan kecepatan resorpsi tulang. Resorpsi tulang juga menyebabkan kalsium terlepas kedalam darah, sehingga mengakibatkan terjadinya hiperkalsemia. Immobilisasi dapat mengakibatkan kontraktur sendi.
Kontraktur sendi adalah kondisi abnormal dan biasa permanen yang ditandai oleh sendi fleksi dan terfiksasi. Hal ini disebabkan tidak dugunakanya, atrofi, dan
pemendekan serat otot. Jika terjadi kontraktur maka sendi tidak dapat mempertahankan rentang gerak dengan penuh. Kontraktur menjadikan sendi pada posisi yang tidak berfungsi.
6. Perubahan Sistem Integumen
Kerusakan integritas kulit mempunyai dampak yang bermakna pada
tingkat kesejahteraan, asuhan keperawatan, dan lamanya perawatan dirumah sakit. Dekubitus adalah salah satu penyakit iatrogenic paling umum dalam perawatan kesehatan dimana berpengaruh terhadap populasi klien khusus lansia dan yang
imobilisasi. Dekubitus terjadi akibat iskemia dan anoksia jaringan. Jaringan yang tertekan, darah membelok, dan kontriksi kuat pada pembuluh darah akibat tekanan
7. Perubahan Eliminasi Urine
Eliminasi urin klien berubah oleh adanya imobilisasi. Pada posisi tegak
lurus, urin mengalir keluar dari pelvis ginjal lalu masuk ke dalam ureter dan kandung kemih akibat gaya gravitasi. Jika klien dalam posisi rekumben atau datar,
ginjal dan ureter membentuk garis datar. Ginjal yang membentuk urine harus masuk ke dalam kandung kemih melawan gaya gravitasi. Akibat kontraksi peristaltik ureter yang tidak cukup kuat melawan gaya gravitasi, pelvis ginjal
menjadi terisi sebelum urine masuk ke dalam ureter. Kondisi ini disebut statis urine dan meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan dan atau ginjal.
8. Pengaruh Psikososial
Imobilisasi menyebabkan respons emosional, intelektual, sensori, dan sosiokultural. Perubahan status emosional biasa terjadi bertahap. Perubahan
emosional paling umum adalah depresi, perubahan perilaku, perubahan siklus tidur-bangun, dan gangguan koping.
3. Konsep Rentang Gerak Sendi 3.1 Rentang Gerak
Menurut Potter & Perry (2006) rentang gerak merupakan jumlah maksimum gerakan yang mungkin dilakukan sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh:
belakang. Potongan transversal adalah garis horizontal yang membagi tubuh menjadi bagian atas dan bawah.
Untuk menjamin keadekuatan gerakan sendi atau mobilisasi sendi maka perawat dapat mengajarkan klien latihan ROM. Apabila klien tidak mempunyai
kontrol motorik volunter maka perawat melakukan latihan gerak pasif (Potter & Perry, 2006).
Gerakan-gerakan yang dapat dilakukan oleh sendi (Potter & Perry, 2006)
antara lain adalah:
a. Fleksi: menggerakkan sendi kearah pengurangan sudut sendi, misalnya
menekuk siku
b. Ekstensi: menggerakkan sendi kearah peningkatan sudut sendi, misalnya meluruskan tangan
c. Hiperekstensi: ekstensi maksimal atau meluruskan sendi, misalnya menekuk kepala ke belakang
d. Adduksi: gerakan tulang mendekati garis tengah tubuh e. Abduksi: gerakan tulang menjauhi garis tengah tubuh f. Rotasi: menggerakkan sendi mengelilingi pusat sumbu
g. Sirkumduksi: menggerakkan bagian distal tulang atau sendi dalam lingkaran ketika akhir proksimal tetap terfiksasi
h. Eversi: menggerakkan telapak kaki keluar dengan cara menggerakkan sendi pergelangan kaki
i. Inversi: menggerakkan telapak kaki kedalam dengan cara menggerakkan
j. Pronasi: menggerakkan lengan bawah sehingga telapak tangan menghadap kebawah
k. Supinasi: menggerakkan lengan bawah sehingga telapak tangan menghadap keatas
l. Protaksi: menggerakkan bagian tubuh kedepan pada bidang yang sama, paralel dengan dasar
m. Retraksi: menggerakkan bagian tubuh kebelakang pada bidang yang sama,
paralel dengan dasar
Gerakan yang dilakukan oleh sendi berbeda untuk setiap potongan tubuh.
Gerakan fleksi dan ekstensi pada jari tangan dan siku serta gerakan hiperekstensi pada pinggul merupakan rentang gerak pada potongan sagital. Pada potongan frontal gerakannya adalah abduksi dan adduksi pada lengan dan tungkai, eversi
dan inversi pada kaki. Sedangkan pada potongan transversal gerakannya adalah pronasi dan supinasi pada tangan, rotasi internal dan eksternal pada lutut serta
dorsofleksi dan plantar fleksi pada kaki. Selain gerakan yang berbeda, setiap sendi juga mempunyai rentang gerak maksimal yang dapat dicapai saat ia melakukan aktifitasnya (Potter & Perry, 2006). Contoh gerakan sendi dan luas rentang gerak
NO NAMA SENDI TIPE GERAKAN RENTANG GERAK (°)
1 Leher Fleksi
Ekstensi Hiperekstensi Fleksi lateral Rotasi 45 45 10 40-45 180
2 Bahu Fleksi
Ekstensi Hiperekstensi Abduksi Adduksi Rotasi dalam Rotasi luar Sirkumduksi 180 180 45-60 180 320 90 90 360
3 Siku Fleksi
Ekstensi
150 150
4 Lengan bawah Supinasi
Pronasi
70-90 70-90
5 Pergelangan tangan Fleksi Ekstensi Hiperekstensi Abduksi Adduksi 80-90 80-90 89-90 Sampai 30 30-50
6 Jari tangan Fleksi
Ekstensi Hiperekstensi Abduksi Adduksi 90 90 30-60 30 30
7 Ibu jari Fleksi
8 Pinggul Fleksi Ekstensi Hiperekstensi Abduksi Adduksi Rotasi dalam Rotasi luar
90-120 10-15 30-50 30-50 30-50 90 90
9 Lutut Fleksi
Ekstensi
120-130 0-15
10 Pergelangan kaki Dorsifleksi Plantarfleksi
20-30 45-50
11 Jari kaki Fleksi
Ekstensi Abduksi Adduksi
30-60 30-60
3.1.2 Rentang Gerak Pasif
Rentang gerak pasif adalah gerakan yang dicapai seseorang dengan bantuan
pemeriksa. Pengujian ROM pasif memberikan pemeriksa informasi tentang integritas permukaan sendi, kapsul sendi dan ligamen yang terkait, otot, fasia dan
kulit. Tidak seperti ROM aktif, ROM pasif tidak tergantung pada kekuatan dan kordinasi otot seseorang. Jika rasa nyeri terjadi selama ROM pasif, sering disebabkan oleh karena bergerak, peregangan struktur kontraktil serta struktur
nonkontraktil (Norkin & White, 2009). a. Hipomobilitas
Hipomobilitas adalah penurunan ROM pasif yang substansial kurang dari nilai normal. Keterbatasan dalam ROM mungkin karena berbagai penyebab termasuk kelainan permukaan sendi, pemendekan pasif kapsul sendi, ligamen,
otot, fasia, dan kulit; dan radang struktur. Hipomobilitas dikaitkan dengan banyak kondisi ortopedi seperti osteoarthritis, arthritis, dan gangguan tulang belakang.
Penurunan ROM merupakan konsekuensi umum dari imobilisasi setelah patah tulang dan pengembangan bekas luka setelah luka bakar. kondisi neurologis seperti stroke, trauma kepala, cerebral palsy, dan sindrom nyeri regional kompleks
dapat juga mengakibatkan hipomobilitas karena hilangnya gerakan volunter, otot meningkat, immobilisasi, dan nyeri. Disamping itu, kondisi metabolik seperti
b. Hipermobilitas
Hipermobilitas yaitu peningkatan ROM yang melebihi nilai normal.
Misalnya, pada orang dewasa ROM normal untuk ekstensi pada sendi siku adalah sekitar 0 derajat. Pengukuran ROM dari 30 derajat atau lebih ekstensi pada siku
adalah baik diluar ROM normal dan merupakan indikasi dari hipermobilitas pada orang dewasa. Pada anak-anak biasanya terjadi beberapa kasus spesifik meningkatnya ROM dibandingkan dengan orang dewasa. Peningkatan gerak yang
terjadi pada anak-anak ini adalah normal untuk usia mereka. Jika peningkatan gerak bertahan di luar rentang usia yang diharapkan, itu akan dianggap abnormal
dan terjadi hipermobilitas. Hipermobilitas ini disebabkan oleh kelemahan dari struktur jaringan lunak seperti ligamen, kapsul, dan otot-otot yang biasanya mencegah gerakan berlebihan pada sendi. Dalam beberapa kasus hipermobilitas
mungkin karena kelainan permukaan sendi. Penyebab yang paling sering adalah trauma sendi. Hipermobilitas juga terjadi pada gangguan herediter yang serius dari
jaringan ikat seperti sindrom Ehlers-Danlos, Marfan Sindroma, penyakit rematik, dan osteogenesis imperfecta. Salah satu kelainan fisik khas sindrom down hipermobilitas. Dalam hal ini umum hipotonia diduga menjadi faktor penting
1. Kerangka Penelitian
Kerangka penelitian ini bertujuan mengidentifikasi gambaran gerakan sendi
pada ekstremitas pasien immobilisasi yang mengalami gangguan sistem saraf di RSUP H. Adam Malik Medan.
Skema 3.1 Kerangka penelitan rentang gerak sendi pada ekstremitas bawah pasien immobilisasi yang mengalami gangguan sistem saraf
Rentang Gerak Sendi Ekstremitas Bawah
Panggul
2. Definisi Operasional
Table 3.1 Definisi Operasional Gambaran Rentang Gerak Sendi pada Ekstremitas Bawah Pasien Immobilisasi yang Mengalami Gangguan Sistem Saraf Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala
Ukur Hasil Ukur Rentang gerak sendi ekstremitas bawah yaitu panggul dan lutut Besarnya gerakan/gerakan maksimal yang dapat dicapai oleh sendi dan dinyatakan dalam derajat Goniometer Cara: Mengukur rentang gerak sendi yang mampu dilakukan responden
1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran gerakan sendi pada ekstremitas bawah yaitu panggul dan lutut pasien immobilisasi yang mengalami gangguan sistem saraf di RSUP H.
Adam Malik Medan.
2. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling 2.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek atau objek yang diteliti (Notoadmojo, 2012). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien immobilidasi yang
mengalami gangguan sistem saraf di RSUP H. Adam Malik Medan. Data yang didapatkan pada bulan Mei 2015 adalah 32 orang.
2.2 Sampel
Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoadmojo, 2012). Sampel yang diperoleh sebanyak 28 responden. Teknik
sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah purposive sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan ciri atau sifat yang telah ditentukan sebelumnya
oleh peneliti (Notoatmodjo, 2012).
Kriteria inklusi sampel pada penelitian ini yaitu:
a. Pasien imobilisasi yang mengalami gangguan sistem saraf
c. Keadaan sadar
d. Bersedia menjadi responden
Kriteria Ekskulsi pada penelitian ini yaitu: a. Paralisis/Hemiparalisis
b. Kontraktur c. Fraktur
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rindu A4 RSUP H. Adam Malik Medan. Alasan peneliti melakukan penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan adalah RSUP H.
Adam Malik medan merupakan rumah sakit pendidikan sekaligus rumah sakit rujukan dimana banyak pasien ganguan sistem saraf. Penelitian ini dilakukan dari 24 April 2015 sampai 24 Mei 2015.
4. Pertimbangan Etik
Penelitian ini dilakukan setelah proposal penelitian selesai di uji, peneliti
mendapat izin penelitian dari Fakultas Keperawatan USU dan RSUP H. Adam Malik Medan dan mendapat persetujuan Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan USU (Ethical Clearance). Setelah mendapatkan
persetujuan, peneliti mulai melakukan penelitian pada responden yang memenuhi kriteria dengan terlebih dahulu memperkenalkan diri, memberi penjelasan secara
lengkap tentang tujuan dan manfaat kegiatan penelitian serta memberikan lembar persetujuan kepada responden untuk meminta persetujuan responden berpartisipasi dalam penelitian sesuai dengan kode etik yang berlaku tanpa ada
Apabila responden bersedia untuk diteliti maka responden dipersilahkan menandatangani lembar persetujuan yang telah dibuat. Jika responden tidak
bersedia atau menolak untuk berpartisipasi maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak responden. Dalam menjaga kerahasiaan informasi responden,
peneliti tidak mencantumkan nama responden pada instrumen penelitian, cukup dengan mencantumkan nomor kode (anonimity). Kerahasiaan responden terjamin (confidentiality) dimana peneliti meyakinkan responden bahwa partisipasinya
dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan dijamin kerahasiaannya dan tidak akan dipergunakan dalam hal-hal yang bisa merugikan responden dalam
bentuk apapun.
5. Instrumen Penelitian 5.1 Kuesioner Demografi
Kuesioner data demografi responden meliputi inisial responden, umur, jenis kelamin, dan diagnosa medis. Data demografi ini digunakan untuk mengetahui
karakteristik responden dan sebagai data pendukung untuk variabel penelitian. 5.2 Lembar Observasi
Lembar observasi ini digunakan untuk mencatat hasil pengukuran gerak
sendi panggul dan lutut. Nilai ditulis dengan derajat, nilai normal yang dicapai oleh sendi panggul dan sendi lutut. Nilai ini dapat bervariasi tergantung individu,
bisa kurang atau lebih dari normal. 5.3 Goniometer
Goniometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur sudut sendi yang
netral (0°) sampai sudut maksimal yang bisa dicapai sendi. Hasil pengukuran ini ditulis dalam lembar observasi penilaian gerak sendi.
6. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dimulai dengan cara mengajukan permohonan izin
pelaksanaan penelitian kepada Fakultas Keperawatan USU dan memperoleh ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan. Kemudian mengirim surat izin penelitian dari Fakultas Keperawatan USU ke RSUP H. Adam Malik
Medan. Setelah mendapat izin maka peneliti melakukan pengumpulan data. Peneliti mencari responden sesuai dengan kriteria yang telah dibuat sebelumnya.
Apabila peneliti sudah menemukan responden, terlebih dahulu peneliti memperkenalkan diri, menjelaskan tujuan dan manfaat dari penelitian kepada responden. Responden yang bersedia untuk menjadi sampel penelitan diminta
untuk menandatangani surat persetujuan menjadi responden penelitian. Setelah itu, peneliti menjelaskan tindakan yang akan dilakukan responden dan peneliti
melakukan pengukuran terhadap gerakan sendi yang dapat dilakukan responden. Setelah peneliti selesai mengisi lembar observasi maka seluruh data dikumpulkan untuk diperiksa dan dianalisa.
7. Analisa Data
Setelah semua data terkumpul, maka peneliti melakukan pengolahan data
atau analisa data melalui beberapa tahap, yaitu editing untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan serta memastikan bahwa semua pertanyaan telah diisi. Setelah itu, melakukan coding untuk memberikan kode
data menggunakan komputer. Selanjutnya melakukan pengolahan data dengan tehnik komputerisasi, yaitu dengan melakukan entri data dan analisa data statistik
deskriptif. Analisis data yang digunakan untuk instrument penelitian adalah analisis univariat yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan setiap
variabel penelitian. Analisis ini hanya menganalisis distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel. Hasil dari analisa data penelitian yang dilakukan oleh peneliti disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase
Pada bab ini akan diuraikan data hasil penelitian serta pembahasan mengenai gambaran rentang gerak sendi pada ekstremitas bawah pasien
immobilisasi yang mengalami gangguan sistem saraf di RSUP H. Adam Malik Medan.
1. Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini didapat dari pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti mulai 24 April 2015 sampai dengan 24 Mei 2015 di RSUP H. Adam
Malik Medan. Responden dalam penelitian ini adalah pasien neurologi dengan jumlah responden sebanyak 28 orang. Penyajian hasil analisa data dalam penelitian ini meliputi karakteristik responden dan data gerakan sendi.
1.1 Karakteristik Responden
Deskripsi karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi umur, jenis
kelamin, dan diagnosa medis. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa mayoritas responden berusia 46-55 tahun yaitu sebanyak 10 orang (35.7%) dan mayoritas responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 16 orang
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik Pasien Immobiisasi yang Mengalami Gangguan Saraf di RSUP H. Adam Malik Medan(n=28)
Data Demografi Frekuensi (f) Presentase (%) Umur
17-25 tahun 4 14.4
26-35 tahun 1 3.6
36-45 tahun 4 14.4
46-55 tahun 10 35.7
55-65 tahun 7 25.0
>65 2 7.1
Jenis Kelamin
Laki-laki 12 42.9
Perempuan 16 57.1
Diagnosa Medis
SOL Intrakrnial 16 57.1
Subdural Hematoma 1 3.6
Stroke Iskemik 6 21.4
Stroke Hematoma 1 3.6
Spinal Cord Injury 1 3.6
Epilepsi 1 3.6
Head Injury 2 7.1
1.2 Rentang Gerak Sendi pada Ekstremitas Bawah Pasien Immobilisasi yang Mengalami Gangguan Gerakan Sendi
Hasil penelitian didapatkan nilai rentang gerak sendi ekstremitas bawah yaitu fleksi hip kanan seluruhnya berada pada rentang normal, ekstensi panggul
kanan mayoritas pada rentang normal sebayak 19 orang, abduksi panggul kanan mayoritas dibawah rentang normal sebanyak 25 orang, adduksi panggul kanan seluruhnya dibawah rentang normal, fleksi panggul kiri seluruhnya berada pada
rentang normal, ekstensi panggul kiri mayoritas pada rentang normal sebanyak 19 orang, abduksi panggul kiri seluruhnya dibawah rentang normal, dan adduksi
[image:49.595.114.516.169.435.2]untuk fleksi lutut kanan mayoritas berada pada rentang normal sebanyak 25 orang, ekstensi lutut kanan seluruhnya berada pada rentang normal, fleksi lutut kiri
mayoritas berada pada rentang normal sebanyak 25 orang, dan ekstensi lutut kiri seluruhnya berada pada rentang normal. Hasil ini dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi dan Persentase Rentang Gerak Sendi Ekstremitas Bawah Pasien Immobiisasi yang Mengalami Gangguan Saraf di RSUP H. Adam Malik Medan (n=28)
Variabel Frekuensi (f) Presentase (%)
Hip Kanan Fleksi
<90 0 0
90-120 28 100
>120 0 0
Ekstensi
<10 5 17.9
10-15 19 67.9
>15 4 14.3
Abduksi
<30 25 89.3
30-50 3 10.7
>50 0 0
Adduksi
<30 28 100
30-50 0 0
>50 0 0
Hip Kiri Fleksi
<90 0 0
90-120 28 100
>120 0 0
Ekstensi
<10 5 17.9
10-15 19 67.9
>15 4 14.3
Abduksi
<30 24 85.7
30-50 4 14.3
[image:50.595.109.513.289.741.2]Adduksi
<30 28 100
30-50 0 0
>50 0 0
Knee Kanan Fleksi
<120 0 0
120-130 25 89.3
>130 3 10.7
Ekstensi
<0 0 0
0-15 28 100
>15 0 0
Knee Kiri Fleksi
<120 0 0
120-130 25 89.3
>130 3 10.7
Ekstensi
<0 0 0
0-15 28 100
>15 0 0
2. Pembahasan
Rentang pergerakan sendi adalah pergerakan maksimal yang mungkin dilakukan oleh sendi. Rentang pergerakan sendi bervariasi tiap individu dan
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu usia, jenis kelamin dan apakah gerakan tersebut dilakukan secara aktif maupun pasif (Norkin & White, 2009).
Pengukuran rentang gerak sendi pada penelitian ini dilakukan secara aktif
yaitu responden melakukan gerakan secara mandiri tanpa dibantu oleh orang lain maupun peneliti. Hasil analisis didapatkan bahwa rentang gerak sendi ekstemitas bawah pasien immobilisasi yang mengalami gangguan saraf bervariasi.
fleksi lutut kanan-kiri sebanyak 3 responden. Sedangkan yang rentang gerak sendinya dibawah rentang normal mayoritas terjadi pada gerakan abduksi panggul
kanan-kiri sebanyak 25 responden dan adduksi panggul kanan-kiri 28 responden. Menurunnya ROM merupakan akibat umum dari immobilisasi setelah patah
tulang dan pengembangan bekas luka setelah luka bakar. Kondisi neurologis seperti stroke, trauma kepala, cerebral palsy, dan sindrom nyeri regional kompleks dapat juga mengakibatkan penurunan ROM karena hilangnya gerakan volunter,
immobilisasi, dan nyeri.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan rentang usia responden berada
pada rentang usia lansia awal yaitu 46-55 tahun, penelitian ini sejalan dengan Roach dan Miles (dalam Norkin & White, 2009) yang dalam penelitiannya menemukan gerakan aktif panggul dan lutut mengalami penurunan 3° sampai 5°
antara kelompok usia termuda (25-39 tahun) dan kelompok usia tertua (60-74 tahun). Secara teori, usia mempengaruhi sistem tubuh termasuk muskuloskeletal.
Semakin bertambah usia maka fungsi muskuloskeletal akan semakin berkurang. Setelah mencapai puncaknya maka perlahan-lahan terjadi perubahan fungsi ke arah penurunan. Selain kolagen, unsur lain juga berkurang seiring bertambahnya
umur. Menurunnya kepadatan tulang, berubahnya struktur otot dan sendi yang lama kelamaan mengalami penurunan elastisitas menyebabkan kekuatan dan
fleksibilitas otot sendi menjadi menurun sehingga terjadi penurunan luas gerak sendi (Pudjiastuti & Utomo, 2003).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Doriot dan Wang (2006 dalam
terhadap rentang gerak sendi ekstremitas atas pada berbagai usia. Hasilnya menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara usia dan jenis kelamin
terhadap perubahan rentang gerak sendi antara berbagai tahap usia. Penurunan yang lebih besar terjadi pada usia tua.
Hasil penelitian ini didapatkan diagnosa medis responden mayoritas SOL (Space Occupying Lesion) Intrakranial. SOL Intrakranial/tumor otak intrakranial termasuk lesi yang mendesak ruang di otak, dapat berupa tumor jinak maupun
ganas. Tumor otak dapat menyebabkan fungsi otak mengalami gangguan pada serebelum maka akan menyebabkan pusing, ataksia (kehilangan kesimbangan)
atau gaya berjalan yang sempoyongan dan kecenderungan jatuh kesisi yang lesu, otot-otot tidak terkoordinasi ristagmus (gerakan mata berirama tidak disengaja) biasanya menunjukkan gerakan horizontal. Apabila terjadi kerusakan pada control
motorik volunter maka responden tidak mampu melakukan gerakan secara mandiri/aktif. Kerusakan komponen sistem saraf pusat yang mengatur pergerakan
volunter mengakibatkan gangguan kesejajaran tubuh dan immobilisasi. Jalur motorik pada serebrum dapat dirusak oleh trauma karena cedera kepala, stroke, dan meningitis. Seseorang yang mengalami hemoragik serebral kanan disertai
nekrosis total, mengakibatkan kerusakan jalur motorik kanan dan hemiplegi tubuh bagian kiri (Handayani, 2013).
Secara teori, apabila otot-otot termasuk otot ekstremitas bawah tidak dilatih dalam jangka waktu tertentu maka otot akan kehilangan fungsi motoriknya secara permanen. Hal ini terjadi karena otot cenderung dalam keadaan immobilisasi.
penurunan masa otot, atrofi dan penurunan stabilitas. Immobilisasi dapat menyebabkan beberapa otot mengalami atrofi, kehilangan tonus otot dan
kekakuan sendi. Immobilisasi juga dapat mengakibatkan kontraktur sendi yaitu suatu kondisi abnormal yang ditandai dengan fleksi sendi dan terfiksasi. Hal ini
terjadi akibat sendi tidak digunakan, atrofi dan pemendekan serat otot. Jika terjadi kontraktur maka sendi tidak dapat mempertahankan rentang geraknya dengan penuh (Potter & Perry, 2006). Menurut Bowden dan Greenberg (2008) agar sendi
tidak kehilangan fungsinya, maka latihan rentang gerak sendi sebaiknya dilakukan 2 kali dalam sehari. Jika sendi telah kehilangan gerakannya, maka latihan
1. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran gerakan sendi pada
ekstremitas bawah pasien immobilitas yang mengalami gangguan saraf di RSUP H. Adam Malik Medan adalah fleksi dan ekstensi panggul seluruhnya berada pada rentang normal, abduksi panggul mayoritas berada dibawah rentang normal,
adduksi panggul seluruhnya dibawah rentang normal, Sedangkan untuk fleksi lutut mayoritas berada pada rentang normal, dan ekstensi lutut seluruhnya berada
pada rentang normal. 2. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka penulis memberikan saran sebagai
berikut:
1) Bagi Perawat
Perawat diharapkan memberikan latihan gerak sendi pada pasien immobilisasi untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kontraktur ataupun keterbatasan gerak sendi.
2) Bagi Pasien
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi bagi pasien tentang rentang
3) Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini hanya menggambarkan gerakan sendi pada ekstremitas bawah
pasien immobilisasi yang mengalami gangguan saraf di RSUP H. Adam Malik Medan. Oleh karena itu, untuk peneliti selanjutnya diharapkan untuk meneliti
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2006).Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta
__________ (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatam Praktek.Jakarta: PT. Rineka Cipta
Asmadi. (2008).Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC
_______ (2008). Tehnik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika
Batticaca, F. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Bowden, V.R & Greenberg, C.S. (2008).Pediatric nursing procedures. Second edition. Philadelphia: Lipincot William and Wilkins
Carpenito, J. L. (2006). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC
Dharma, K. K. (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan: Panduan Melaksanakan dan Menerapkan Hasil Penelitian. Edisi Revisi. Jakarta: Trans Info Media
Depkes RI. (2010). Profil Kesehatan Indonesia 2000. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Farley, A. et al. (2014). Nervous system: part 1 vol 28 no. 31. Diunduh 19 November 2014
Ginsberg, L. (2007).Lecture Notes NeurulogiEdisi 8. Jakarta : Erlangga
Gunawan,D. P., dkk. (2014).Gambaran tingkat pengetahuan masyarakat tentang epilepsi di kelurahan mahena kecamatan tahuna kabupaten sangihe. Manado.
Handayani, R, T. (2013). Mobilisasi dan Immobilisasi. Diakses tanggal 29 Juni 2015 dari http://www.academia.edu/8340394/MOBILISASI DAN IMOBILISASI
Kristy, Y. (2014). Jenis Macam Sendi dalam Tubuh. Diakses tanggal 4 Januari 2015 dari http://www.sridianti.com/jenis-macam-sendi-dalam-tubuh.html Moorhead, S., et all. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC):
Measurement of Health Outcomes. 5thEdition. USA: Elsevier
Norkin, C., White, D. (2009). Measurement of Joint Motion: A Guideto Goniometry. 4thEdition.
Notoatmodjo, S. (2012).Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Parinduri, J. S. (2009). Tingkat kepuasan pasien imobilisasi dalam pemenuhan pelaksanaan personal higiene oleh perawat di RSUP H. Adam Malik Medan. Skripsi, Universitas Sumatera Utara Medan
Potter & Perry. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik. Edisi 4, Vol 2.Jakarta : EGC
____________ (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik. Edisi 4, Vol 2.Jakarta : EGC
Pudiastuti, R. D. (2011).Penyakit Pemicu Stroke.Yogyakarta: Nuha Medika. Range of Motion Measurements. Diambil tanggal 4 Januari 2015 dari
http://www.continuing-ed.cc/hsgoniometry/goniometrystandards.pdf Robbins, dkk. (2007).Buku Ajar Patologi. Edisi 7, Vol 2. Jakarta: EGC
Setiadi. (2007).Anatomi & Fisiologi Manusia. Yogyakarta: GRAHA ILMU Sloane, E. (2003).Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC
Smeltzer, C. S., Bare G. B. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC
Suheri. (2009). Gambaran lama hari rawat dalam terjadinya luka dekubitus pada pasien imobilisasi di RSUP Haji Adam Malik Medan. Skripsi Fakultas Keperawatan USU Medan.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuatitatif, Kualitatif dan R & B. Bandung: Alfabeta
Syaifuddin, H. (2011). Anatomi Fisiologi: Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk Keperawatan dan Kebidanan. Edisi 4. Jakarta: EGC
Tarwoto., Wartonah., Suryati, E. S. (2007). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persyarafan.Jakarata: EGC
World Health Organization. (2011). Atlas Of Headache Disorders and Resources In The World.
______________________ (2014). Neurogical Disorders: A Publich Health Approach. Diambil tanggal 18 Desember 2014 dari http://www.who.int/mental_health/neurology/chapter_3_a_neuro_disorder s_public_h_challenges.pdf?ua=1
No Kegiatan September 2014 Oktober 2014 November 2014 Desember 2014 Januari 2015 Februari 2015 Maret 2015 April 2015 Mei 2015 Juni
2015 Juli 2015 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Mengajukan judul , Acc judul proposal penelitian 2 Menyusun Bab 1
3 Menyusun Bab 2 4 Menyusun Bab 3 5 Menyususun Bab 4
6 Menyerahkan proposal penelitian
7 Ujian sidang proposal 8 Revisi proposal penelitian
9 Pengumpulan data responden
10 Analisa data
11 Pengajuan sidang skripsi 12 Ujian sidang skripsi 13 Revisi skripsi
Saya yang bertanda tangan dibawah ini,
Nama : Isodorus
NIM : 111101107
Semester : 8 (Delapan)
Judul Penelitian : Gambaran Rentang Ge