HUBUNGAN EKSPRESI Ki-67 DENGAN DERAJAT
DESTRUKSI TULANG AKIBAT KOLESTEATOMA PADA
PENDERITA OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS TIPE
MALIGNA
Tesis
Oleh :
CUT ELVIRA NOVITA
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas rahmat, karunia dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu tugas dan syarat untuk mencapai gelar spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.dengan judul Hubungan ekspresi Ki-67 dengan derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma pada penderita otitis media
supuratif kronis tipe bahaya.
Berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
Rektor Universitas Sumatera Utara, BapakProf. Dr. dr. Sjahril Pasaribu, Sp.A (K), DTM&H, danmantan rektor Prof. dr. Chairuddin Panusunan Lubis, Sp.A (K), DTM&H yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Sumatera Utara.
Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD-KGEH yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja di Rumah Sakit ini.
Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) sebagai Kepala Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan arahan sejak penulis mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.
RSUP H. Adam Malik Medan, atas bimbingan dan dorongan semangat yang diberikan sehingga menimbulkan rasa percaya diri, baik dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya.
Yang terhormat Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K) sebagai ketua pembimbing tesis, dr. Devira Zahara, M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL dan Prof. Dr..dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL (K) sebagai anggota pembimbing tesis, yang telah banyak memberikan petunjuk, perhatian serta bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis Spesialis ini. Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada semua guru-guru di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp.THT-KL (K); dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K); Prof. dr. Askaroellah Aboet,Sp.THT-KL (K); Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL (K); dr. Muzakkir Zamzam, Sp.THT-KL (K), dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL; dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL (K); Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL (K); dr. Linda I Adenin, Sp.THT-KL; Alm. dr. Hafni, Sp.THT-KL (K); dr. Ida Sjailandrawati Harahap, Sp.THT-KL; dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL; dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL(K), dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL; dr. Andrina YM Rambe, Sp.THT-KL; dr. Harry A. Asroel, M.Ked, Sp.THT-KL; dr. Farhat, M.Ked(ORL-HNS), Sp.THT-KL (K); Dr. dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL; dr. Ashri Yudhistira, M. Ked(ORL-HNS) Sp.THT-KL; dr. Devira Zahara, M.Ked(ORL-HNS), SpTHT-KL, dr.H.R.Yusa Herwanto, M.Ked(ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. M. Pahala Hanafi Harahap, Sp.THT-KL dan dr. Ferryan Sofyan, M.Kes, Sp.THT-KL yang telah memberikan bimbingan, ilmu dan pengetahuan di bidang THT-KL yang bermanfaat bagi penulis di kemudian hari.
Yang terhormat Kepala Departemen/Staf Patologi Anatomi RSUP H. Adam Malik Medan terutama dr.Djamaluddin, SpPA yang telah banyak membantu dalam memberikan ilmu selama melakukan penelitian ini.
Yang terhormat perawat / paramedis dan seluruh karyawan / karyawati RSUP H. Adam Malik Medan, khususnya Departemen / SMF THT-KL yang selalu membantu dan bekerjasama dengan baik dalam menjalani tugas pendidikan dan pelayanan kesehatan selama ini.
Yang mulia dan tercinta Ayahanda dr.Teuku Razif Sp.A, Ibunda Hj.Ellyani Ginting, ananda sampaikan rasa hormat dan terimakasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah diberikan dan dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan dan dengan segala daya upaya telah mengasuh, membesarkan dan membimbing dengan penuh kasih sayang semenjak kecil sehingga penulis dewasa agar menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua, agama, bangsa dan Negara. Dengan memanjatkan do’a kehadirat Allah SWT, ampunilah dosa kedua orang tua penulis serta sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi penulis sewaktu kecil.
Yang tercinta Bapak mertua Amiruddin Raz dan Ibu mertua Zulisni Amir yang telah memberikan dorongan dan restu untuk selalu menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Kepada suamiku tercinta Zulfadhli Raz, S.kom, MM tiada kata yang lebih indah yang dapat saya ucapkan selain ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya atas pengorbanan tiada tara, kesabaran, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya sehingga dengan ridho Allah SWT akhirnya kita sampai pada saat yang berbahagia ini.
Yang tercinta teman-teman sejawat peserta Spesialis Ilmu Kesehatan THT-Bedah Kepala dan Leher yang telah bersama-sama, baik dalam suka maupun dalam duka, saling membantu sehingga terjalin persaudaraan yang erat, dengan harapan teman-teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah selalu memberkahi kita semua.
Medan, Maret 2014
DAFTAR ISI
1.2 Permasalahan ... 3
1.3 Hipotesis ... 3
1.4 Tujuan Penelitian ... 3
1.4.1 Tujuan Umum ... 3
1.4.2 Tujuan Khusus ... 3
1.5 Manfaat Penelitian ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Anatomi Telinga Tengah ... 5
2.1.1 Membran Timpani ... 5
2.1.2 Kavum Timpani ... 6
2.1.3 Tuba Eustachius ... 8
2.1.4 Prosesus Mastoid ... 8
2.1.5 Vaskularisasi Kavum Timpani ... 9
2.2 Kolesteotoma ... 9
2.3 Stadium Kolesteotoma ... 19
2.4 Ki-67 ... 20
2.5 Ki-67 terhadap kolesteotam ... 21
2.6 Kerangka Teori ... 24
2.7 Kerangka Konsep ... 25
BAB 3 METODE PENELITIAN ... 26
3.1 Jenis Penelitian ... 26
3.2 Tempat dan waktu penelitian ... 26
3.3 Populasi, Sampel dan Besar Sampel ... 26
3.3.1 Populasi ... 26
3.3.3.1 Kriteria Populasi ... 26
3.3.2 Sampel ... 26
3.3.3 Besar Sampel ... 27
3.3.4 Tehnik Pengambilan Sampel ... 27
3.4 Variabel Penelitian ... 27
3.5 Defenisi Operasional ... 27
3.6 Alat dan Bahan Penelitian ... 30
3.6.1 Alat ... 30
3.6.2 Bahan Penelitian ... 30
3.6.3 Prosedur Kerja ... 31
3.7 Tehnik Pengumpulan Data ... 32
3.8 Cara Analisis Data ... 32
3.9 Kerangka Kerja ... 33
3.10 Jadwal Penelitian ... 34
BAB 4 ANALISIS DATA ... 35
DAFTAR PUSTAKA ... 38
LAMPIRAN ... 43
DAFTAR TABEL
Tabel 4.2. Proporsi penderita OMSK berdasarkan keluhan utama
Tabel 4.3. Proporsi penderita OMSK maligna berdasarkan lama
keluhan
Tabel 4.4. Hubungan ekspresi Ki-67 dengan usia.
Tabel 4.5. Hubungan ekspresi Ki-67 dengan keluhan utama
Tabel 4.6. Hubungan ekspresi dengan lama keluhan.
Tabel 4.7 Hubungan ekspresi Ki-67 dengan agresifitas penyakit OMSK
maligna.
Tabel 4.7 Hubungan ekspresi Ki-67 dengan agresifitas penyakit OMSK
maligna
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Membran timpani
DAFTAR GRAFIK
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah satu dari masalah
kesehatan yang paling banyak di negara berkembang. Insiden terjadi
penyakit OMSK dilaporkan bergantung pada ras dan faktor sosial
ekonomi. Etiologi dan patogenesis dari otitis media adalah multifaktor
termasuk genetika, infeksi, alergi, lingkungan, sosial, faktor rasial dan
disfungsi tuba Eustachius (Kasliwal 2004 ; Prakash et al. 2009).
Prevalensi Penyakit otitis media supuratif kronis (OMSK) di seluruh
dunia menunjukkan beban dunia akibat penyakit ini berkisar antara 65-330
juta penderita, 60 % diantaranya (39-200juta) mengalami kematian dan
≤ 2 juta mengalami kecacatan; 94% diantaranya terdapat di negara berkembang (WHO 2004)
Insiden terjadinya otitis media supuratif kronis di Indonesia juga masih
tinggi. Beberapa penelitian di sejumlah sentra pendidikan menemukan
tingginya insiden kejadian OMSK. Aboet (2006) menemukan pasien
OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan di THT di RSUP H. Adam
Malik. Suryanti dan Rukmini (2003) pada penelitiannya di RSUD Soetomo
Surabaya menemukan 331 penderita otitis media supuratif Kronik yang
berobat periode Januari sd Desember 2002. Wisnubroto (2002) di RSUD
dr. Soetomo Surabaya melaporkan telah dilakukan operasi mastoidektomi
radikal sebanyak 298 (56,1%) kasus OMSK dengan kolesteatoma. Jumlah
pasien OMSK dengan kolesteatoma di Departemen THT-KL RSUP. H.
Adam Malik Medan periode 1 Januari 2006 - 31 Desember 2010 sebanyak
119 pasien (Siregar 2013).
OMSK dapat dibagi dalam kasus-kasus tanpa kolesteatoma dan
dengan kolesteatoma (Lee 2003 ; Chole & Nason 2009). Kolesteatoma
merupakan kelainan hiperproliferasi yang dihubungkan dengan inflamasi
kolesteatoma telinga tengah adalah kemampuan dari destruksi tulang
melalui proses pertumbuhan.
Akumulasi keratin pada kolesteatoma merupakan suatu kondisi serius
pada telinga tengah. Teknik pembedahan untuk membersihkan aktivitas
proliferasi dari kolesteatoma dianggap sangat penting. Hal ini didasarkan
pada sifat kolesteatoma itu sendiri yang merusak struktur vital dari tubuh,
tulang dan problem yang mengancam jiwa.
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menilai aktifitas proliferasi
dari kolesteatoma. Bagaimanapun, karakteristik utama dari jaringan
maupun mukosa kolesteatoma adalah infiltrasi proses peradangan yang
sangat aktif dengan proliferasi yang meningkat. Karena dianggap
berperan penting, aktifitas proliferasi dari kolesteatoma sedang diteliti
dengan berbagai variasi dan sejumlah marker proliferasi. Salah satunya
adalah Ki-67 yang diperkenalkan sebagai sel proliferasi dan penyebaran
tofografinya bergantung pada fase siklus sel. Pada kolesteatoma,
peningkatan jumlah Ki-67 pada basal dan lapisan spinosus epitel telah
diamati (Kuczkowsi et al 2007).
Ki-67 adalah protein posforilasi via serine dan theonine dengan peran
penting pada pembelahan sel. Antigen Ki-67 dideteksi pada fase G1,S, G2
dan fase M dari pembelahan sel tetapi tidak pada fase G0. Regensia ini
dilaporkan untuk mewarnai proliferasi inti sel dan pertumbuhan keratinosit
dari sitoplasma (Nabi et al 2008)
Sikka et al (2011) di India melakukan penelitian untuk mendeteksi
proliferasi kolesteatoma dibandingkan kulit normal dengan menggunakan
Ki-67 sebagai marker dan menemukan kolesteatoma memiliki
overekspresi yang tinggi dibandingkan kulit normal.
Kuczkowski et al (2007) di Polandia, melakukan penelitian untuk
menganalisis ekspresi Ki-67 pada kolesteatoma telinga tengah dengan
jumlah sebanyak 51 spesimen mendapatkan hasil overekspresi Ki-67
pada 21 sampel (41,5%) dan menyimpulkan bahwa Ki-67 memiliki peran
Identifikasi marker proliferasi berperan penting terhadap proses derajat
destruksi tulang akibat kolesteatoma pada OMSK tipe bahaya. Selama
dekade terakhir evaluasi histopatologis menjadi pemeriksaan baku emas
pada kolesteatoma pada telinga tengah. Penelitian untuk melihat aktifitas
proliferasi dari kolesteatoma masih sangat sedikit, bahkan di Indonesia
masih belum ditemukan, padahal penyakit ini dapat mendestruksi tulang
dan menyebar ke struktur vital pada tubuh, otak dan memberikan problem
yang mengancam jiwa. Dengan evaluasi pada proliferasi sel, angka
morbiditas dan mortalitas diharapkan menurun
Dari uraian diatas, peneliti tertarik untuk melihat apakah ada hubungan
ekspresi Ki-67 antara derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma
sehingga memungkinkan menurunkan keparahan penyakit dan
memberikan penatalaksanaan yang tepat terhadap kolesteatoma.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar penelitian diatas, dapat dirumuskan masalah
penelitian yaitu bagaimana hubungan ekspresi Ki-67 dengan derajat
destruksi tulang akibat kolesteatoma penyakit OMSK tipe bahaya di
RSUP H. Adam Malik Medan.
1.3 Hipotesis
Terdapat hubungan ekspresi Ki-67 dengan derajat desktruksi tulang
akibat kolesteatoma pada penyakit OMSK tipe bahaya.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan umum
Mengetahui hubungan ekpresi Ki-67 dengan derajat destruksi tulang
1.4.2 Tujuan khusus
a. Mengetahui proporsi OMSK tipe bahaya berdasarkan usia.
b. Mengetahui proporsi OMSK tipe bahaya berdasarkan jenis kelamin
c. Mengetahui proporsi OMSK tipe bahaya berdasarkan keluhan utama.
d. Mengetahui proporsi OMSK tipe bahaya berdasarkan lama keluhan.
e. Mengetahui proporsi penderita OMSK tipe bahaya berdasarkan
ekspresi Ki-67
f. Mengetahui proporsi komplikasi yang terjadi pada pasien OMSK tipe
bahaya.
g. Mengetahui hubungan ekspresi Ki-67 dengan usia.
h. Mengetahui hubungan ekspresi Ki-67 dengan lama keluhan
i. Mengetahui hubungan ekspresi Ki-67 dengan komplikasi yang terjadi
pada pasien OMSK tipe bahaya.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat antara lain :
1.5.1. Sebagai dasar penelitian penggunaan ekspresi Ki-67 sebagai
marker prognostik penyakit OMSK tipe bahaya.
1.5.2. Sebagai dasar penggunaan anti proliferasi dalam pelaksanaan
BAB 2
Tinjauan Pustaka
2.1. Otitis Media Supuratif Kronis 2.1.1 Definisi
Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret
dari telinga (otorea) lebih dari 3 bulan, baik terus menerus ataupun hilang
timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah
(Helmi 2005).
2.1.2 Etiologi dan patogenesis OMSK
Ada beberapa faktor yang menjadi etiologi dari otitis media supuratif
kronis antara lain : otitis media akut dan otitis media efusi, genetik dan ras,
lingkungan, disfungsi tuba Eusthacius, refluks gastroesofagal,
abnormalitas kraniofasial, defesiensi imun (Browning 2009).
Patogenesis dari OMSK tipe bahaya dengan kolesteatoma masih
belum diketahui dengan pasti. Sejumlah kasus disebabkan oleh perforasi
membran timpani yang berasal dari episode otitis media akut. Di sejumlah
kasus, perforasi terkadang kering dan kasus lainnya dengan telinga berair.
Pada kasus OMSK dengan tube timpanostomi, hal tersebut merupakan
hasil superinfeksi dari mukosa telinga tengah, organisme dari telinga luar
atau nasofaring (Lee 2008).
2.1.3 Klasifikasi OMSK
OMSK dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu :
• OMSK tipe aman (tipe mukosa = tipe benigna)
• OMSK tipe bahaya (tipe tulang=tipe maligna)
Proses peradangan pada OMSK tipe aman terbatas pada mukosa
saja, dan biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral.
berbahaya. Pada OMSK tipe aman tidak terdapat kolesteatoma
sedangkan OMSK tipe bahaya biasanya perforasi marginal, atik ataupun
dengan perforasi subtotal. Sebagian besar komplikasi yang berbahaya
atau fatal timbul pada OMSK tipe bahaya (Djaafar et al 2008).
Meskipun demikian, perforasi sentral membran timpani tidak bisa di
katakan sebagai “safe ears”. Analisis terbaru dari perforasi sentral
membran timpani dari pasien otitis media kronis, 38% mengalami
pertumbuhan epidermal dengan mucocutaneus junction terletak di
permukaan dalam dari perforasi (Chole & Nason 2009).
2.2 Kolesteatoma
2.2.1 Definisi
Kolesteatoma dapat didefinisikan sebagai lesi non neoplastik dan
destruktif yang mengandung lapisan keratin pada suatu kavitas yang
dilapisi oleh epitel skuamus dan jaringan ikat subepitelial (Persaud 2007).
Istilah kolesteatoma pertama sekali diperkenalkan oleh seorang ahli
anatomi kebangsaan Jerman yang bernama Johannes Muller pada tahun
1838 dimana kata kolesteatoma berasal dari kata cole berarti kolesterol,
esteado berarti lemak,dan oma yang berarti tumor, yang bila digabungkan
berarti suatu tumor yang terbentuk dari jaringan berlemak dan Kristal dari
kolesterol. Istilah lain yang digunakan antara lain pearl tumor oleh
Cruveilhier pada tahun 1829; margaritoma oleh Craigie pada tahun 1891,
epidermoid kolesteatoma oleh Causing pada tahun 1922 dan keratoma
oleh Shuknecht pada tahun 1974. Bagaimanapun kolesteatoma berasal
dari epitel skuamus keratinisasi dari membran timpani atau meatus
auditori eksternal (Nunes 2010).
2.2.2 Epidemiologi
Insiden kolesteatoma berkisar antara 3 kasus dari 100.000 pada
anak-anak dan 9 kasus dari 100.000 pada dewasa dan lebih dominan terhadap
Aquino pada penelitiannya menemukan selama 26 tahun (1962-1988)
terdapat 1146 kasus kolesteatoma dengan melakukan prosedur
mastoidektomi. Harker et al juga melaporkan insiden kolesteatoma
sebesar 6 orang per 100.000 kasus di Iowa. Insiden lebih tinggi pada
dekade ke-2 dan 3 dari kehidupan (Aquino 2012)
Padgham et al menemukan insiden tahunan sebesar 13 kasus dari
100.000 pertahun di Scotland (Aquino 2012).
Wisnubroto (2002) di RSUD dr. Soetomo Surabaya melaporkan telah
dilakukan operasi mastoidektomi radikal sebanyak 298 (56,1%) kasus
OMSK dengan kolesteatoma.
Aboet (2006) menemukan pasien OMSK merupakan 26% dari seluruh
kunjungan di THT RSUP H Adam Malik. Suryanti (2002) pada
penelitiannya di RSUD Soetomo Surabaya menemukan 331 penderita
otitis media supuratif Kronik yang berobat periode Januari sd Desember
2002. Penderita OMSK dengan kolesteatoma yang berkunjung di
departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan periode 1 Januari
2009 – 31 Desember 2009 adalah sebanyak 47 penderita (Nora 2011).
Jumlah pasien OMSK dengan kolesteatoma di Departemen THT-KL
RSUP. H. Adam Malik Medan periode 1 Januari 2006 - 31 Desember
2010 sebanyak 119 pasien (Siregar 2013).
2.2.3 Patogenesis kolesteatoma
Kolesteatoma dapat diklasifikasikan menjadi kongenital atau acquired.
Kolesteatoma acquired dibagi menjadi primer dan sekunder. Secondary
acquired cholesteatoma mengacu pada kolesteatoma muncul akibat
perforasi membran timpani (Chloe & Nason 2009).
1. Congenital cholesteatoma
Kista keratin bisa terakumulasi karena epitel yang dihasilkan tertutup.
Pada umumnya, kista akan terbentuk sebagai kelainan pertumbuhan atau
medial dengan membran timpani yang utuh. Menurut Derlaki dan Clemis
(2005), kolesteatoma dikatakan kongenital apabila memiliki syarat
sebagai berikut yakni:
• Massa putih medial dengan membran timpani utuh.
• Pars tensa dan pars plaksida normal.
• Tidak ada riwayat telinga berair, perforasi ataupun prosedur otologik sebelumnya.
• Kemungkinan bahwa terjadinya otitis media tidak bisa disingkirkan sebagai kriteria ekslusi dari kolesteatoma kongenital
ini karena sangat jarang anak tidak memiliki episode dari otitis
media pada lima tahun pertama kehidupannya.
2. Acquired cholesteatoma
Kolesteatoma acquired dibagi menjadi primer dan sekunder. Primary
acquired cholesteatoma adalah kolesteatoma yang berasal dari retraksi
pars flaksida, sedangkan secondary acquired cholesteatoma adalah
kolesteatoma yang terjadi akibat perforasi membran timpani, biasanya
pada kuadran posterior superior telinga tengah (Chole & Nason 2009)
Bentuk sisa, formasi epidermoid yang berasal dari kolesteatoma
kongenital mungkin berasal dari epitimpanum anterior. Tidak seluruh
kolesteatoma kongenital berlokasi di daerah anterosuperior dan tidak
semua ditemukan menjadi kista epitelial seperti adanya invaginasi epitel
skuamosa dari liang telinga atau masuknya elemen skuamosa pada
cairan amnion (Browning 2009).
Terdapat 4 teori utama sebagai etiopatogenesis kolesteatoma didapat
yakni:
A. Teori invaginasi
Teori invaginasi pembentukan kolesteatoma secara umum diterima
kolesteatoma. Retraction pockets dari pars flaksida terjadi karena tekanan
negatif telinga tengah dan kemungkinan disebabkan inflamasi berulang.
Ketika retraction pocket membesar, deskuamasi keratin tidak dapat
dibersihkan dari reses kemudian terbentuk kolesteatoma. Asal dari
retraction pocket kolesteatoma disangkakan adalah disfungsi tuba
Eustachius atau otitis media efusi dengan resultante tekanan telinga
tengah (ex vacuo theory). Pars flaksida, yang kurang fibrous dan kurang
tahan terhadap pergerakan, biasanya sebagai sumber kolesteatoma.
Sebagai hasil dari tipe kolesteatoma ini adalah defek yang terlihat pada
kuadran posterosuperior membran timpani dan erosi dari dinding liang
telinga yang berdekatan. Kegagalan migrasi epitel ini menyebabkan
akumulasi keratin dalam retraction pocket. Bakteri dapat menginfeksi
matriks keratin, membentuk biofilm yang menyebabkan infeksi kronis dan
proliferasi epitel (Chole & Sudhoff 2005 ; Chole & Nason 2009).
B. Teori invasi epitel
Teori ini menyatakan invasi epitel skuamosa dari liang telinga dan
permukaan luar dari membran timpani mempunyai kemampuan
bermigrasi ke telinga tengah melalui perforasi marginal atau perforasi atik.
Epitel akan masuk sampai bertemu dengan lapisan epitel yang lain, yang
di sebut dengan contact inhibition (Chole & Nason 2009).
Jika mukosa telinga tengah terganggu karena inflamasi, infeksi atau
trauma karena perforasi membran timpani, mucocutaneus junction secara
teori bergeser ke kavum timpani. Menyokong teori ini van Blitterswijk dkk
menyatakan bahwa cytokeratin (CK 10), yang merupakan intermediate
filament protein dan marker untuk epitel skuamosa,ditemukan pada
epidermis liang telinga matriks kolesteatoma tetapi tidak ada di mukosa
telinga tengah. Perforasi marginal dipahami sebagai penyebab
pertumbuhan epidermal dari pada perforasi sentral, karena lokasi
perforasi marginal membuka keadaan mukosa telinga tengah dan struktur
Palva dan peneliti lain menunjukkan perubahan histologi ini pada
tulang temporal manusia. Kolesteatoma yang berasal dari fraktur tulang
temporal dapat terjadi dari mekanisme ini. Fraktur liang telinga
menyebabkan pertumbuhan epitel berkeratinisasi dengan mekanisme
kontak (Chole & Sudhoff 2005).
Meskipun demikian, perforasi sentral membran timpani tidak bisa di
katakan sebagai “safe ears”. Analisis terbaru dari perforasi sentral
membran timpani dari pasien otitis media kronis, 38% mengalami
pertumbuhan epidermal dengan mucocutaneus junction terletak di
permukaan dalam dari perforasi (Chole & Nason 2009).
C. Teori hiperplasia sel basal
Pada tahun 1925, Lange mengobservasi bahwa sel epitel
berkeratinisasi pada pars flasida dapat menginvasi ruang sub epitelial
normal yang memiliki akses untuk membentuk kolesteatoma di atik (Chole
& Nason 2009).
Sel epitel (prickle cells) dari pars flaksida dapat menginvasi jaringan
subepitelial dengan cara proliferasi kolum sel epitel. Epitel yang
menginvasi lamina propria, basal lamina (basement membrane) menjadi
berubah. Huang dan Masaki meneliti teori ini dengan memperlihatkan
bahwa pertumbuhan epitel membran timpani dapat diinduksi dengan
meneteskan propylene glycol ke telinga tengah mencit. Kerusakan basal
lamina menyebabkan invasi kerucut epitel ke dalam jaringan ikat subepitel
dan membentuk mikrokolesteatoma. Mekanisme ini dapat menerangkan
beberapa tipe kolesteatoma, termasuk yang terbentuk di belakang
membran timpani yang utuh. Mikrokolesteatoma membesar dan
mengadakan perforasi secara sekunder melalui membran timpani,
meninggalkan ciri khas kolesteatoma atik (Chole & Nason 2009).
Perubahan diferensiasi keratinosit dan lapisan sel basal matriks
kolesteatoma telah diteliti pada beberapa penelitian. Distribusi abnormal
p53 protein, peningkatan reseptor epidermal growth factor terlihat dalam
matriks kolesteatoma telinga tengah. Peningkatan cytokeratin (CK 13 dan
16), di mana marker diferensiasi dan hiperproliferasi juga ditemukan. Kim
dkk mendemonstrasikan peningkatan ekspresi cytokeratin CK 13 dan 16
pada area perifer pars tensa yang diinduksi oleh kolesteatoma oleh ligasi
liang telinga dan area perifer serta sentral pars tensa yang diinduksi
kolesteatoma oleh obstruksi tuba Eustachius. Peningkatan ekspresi
human intercellular adhesion molecule-1 dan –2 terlihat yang memiliki
peran terhadap migrasi sel ke jaringan. Adanya heat shock protein 60
dan 70 menunjukkan proliferasi dan diferensiasi aktif dari keratinosit basal
yang berhubungan dengan kolesteatoma (Chole & Sudhoff 2005).
Terdapat berbagai laporan bahwa respon imun terlibat dalam derajat
hiperproliferasi epitel kolesteatoma. Sel Langhan's dapat menyebabkan
reaksi imun dan menunjang proliferasi epitel berkeratinisasi oleh IL-1α
(Chole & Sudhoff 2005).
D. Teori Metaplasia Skuamosa
Infeksi atau inflamasi jaringan yang kronis diketahui dapat mengalami
transformasi metaplasia. Epitel kuboid pada telinga tengah dapat berubah
menjadi epitel berkeratin. Epitel skuamosa berkeratinisasi telah ditemukan
pada biopsi telinga tengah pada penderita otitis media pada anak. Namun
progresivitas dari kolesteatoma masih belum berhasil dipaparkan (Chole &
Nason 2009).
2.2.4 Inflamasi dan proliferasi sel
Pada penyakit otitis media kronis dengan kolesteatoma, erosi dari
tulang hampir selalu ada dan merupakan penyebab utama dari morbiditas
penyakit ini. Tulang merupakan organ dinamis yang secara konstan
melakukan remodeling untuk mendapatkan kondisi homeostasis kalsium
dan integritas struktural. Sintesa dari matriks dilakukan oleh osteoblast
bertentangan antara nekrosis akibat dari tekanan atau sekresi faktor-faktor
proteolitik oleh matriks kolesteatoma, sekarang telah dipahami bahwa
terjadi resorpsi tulang karena aktivitas osteoklas pada kondisi inflamasi.
Pembentukan osteoklas dari sel-sel prekursor di kontrol oleh 2 esensial
sitokin yaitu Receptor Activator of Nuclear Factor κB Ligand (RANKL) dan
Macrophage Colony Stimulating Factor (M-CSF). Pada keadaan normal,
osteoblast memproduksi M-CSF dan RANKL untuk memulai pembentukan
osteoklas dengan menarik reseptor- reseptor c-fms dan RANK. Pada
kondisi patologis, banyak sel yang terlibat untuk menghasilkan
sitokin-sitokin tersebut. Inhibitor yang penting pada proses tersebut yaitu
osteoprotegrin (OPG) yang berkompetisi dengan RANK untuk RANKL.
Jeong et al (2006) menemukan peningkatan jumlah RANKL pada
kolesteatoma dibandingkan dengan kulit postaurikular yang normal.
Hasil ini menyatakan jaringan kolesteatoma meningkatkan rasio
RANKL/OPG pada proses inflamasi dan berpotensial untuk proses
osteoclastogenesis. Inflammatory cytokines (Interleukin-1 (IL-1), IL 6,
Tumor Necrosis Factor–alpha (TNFα) dan prostaglandin juga diketahui
meningkatkan osteoclastogenesis. Kolesteatoma yang terinfeksi diketahui
lebih cepat mendestruksi tulang. Peningkatan level dari virulensi bakteri
sepertinya memegang peranan penting terhadap fenomena ini (Chole &
Nason 2009).
2.2.5 Gejala dan tanda
Gejala khas dari OMSK adalah telinga berair berkepanjangan melalui
membran timpani yang tidak utuh lagi. Telinga biasanya tidak terasa sakit
kecuali jika bersamaan dengan otitis eksterna ataupun jika komplikasi
intrakranial atau temporal. Pasien juga mengeluhkan telinga berair.
Pemeriksaan otoskopi biasanya menemukan perforasi membran timpani
dengan mukosa telinga tengah yang sedikit edema. Pada OMSK tipe
bahaya, juga sering disertai dengan adanya jaringan granulasi pada
Menurut Djaafar (2007), tanda- tanda klinis OMSK tipe bahaya adalah :
1. Terdapat abses atau fistel retroaurikuler
2. Terdapat polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang
berasal dari dalam telinga tengah.
3. Terlihat kolesteatoma pada telinga tengah terutama di epitimpanum
4. Sekret berbau nanah dan berbau khas
5. Terlihat bayangan kolesteatoma pada rontgen mastoid
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis OMSk ditegakkan dengan beberapa tahapan (Lee et al,
2007; Chole & Nason 2009 ; Dhingra 2010, Vercryysse et al. 2010):
1. Anamnesis
Penyakit ini datang dengan perlahan –lahan dan gejala yang paling
sering dijumpai adalah telinga berair, adanya sekret di liang telinga
yang berbau busuk, kadangkala disertai jaringan granulasi ataupun
polip, maka sekret yang keluar berupa darah. Ada kalanya
penderita datang dengan keluhan kurang pendengaran atau telinga
berdarah.
2. Pemeriksaan otoskopi
Pemeriksaan otoskopi menunjukkan letak perforasi. Dari perforasi
dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah.
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan foto polos proyeksi schuller berguna untuk menilai
kolesteatoma, sedangkan pemeriksaan CT Scan dapat lebih efektif
menunjukkan anatomi tulang temporal dan kolesteatoma.
4. Pemeriksaan audiologi
Audiogram nada murni digunakan untuk menilai hantaran udara
dan tulang, penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan
Audiometri tutur berguna untuk menilai speech reception threshold
pada kasus untuk memperbaiki pendengaran.
5. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi sekret telinga penting untuk menentukan
antibiotika yang tepat.
2.2.7 Penatalaksanaan
Proseduroperasi untuk pembedahan kolesteatoma:
Tujuan penatalaksanaan OMSK adalah untuk menyembuhkan gejala dan
meminimalisir risiko komplikasi penyakit. Pembedahan adalah
satu-satunya pengobatan yang efektif pada kolesteatoma. Granulasi dan
inflamasi mukosa sementara dapat diatasi dengan obat topikal dan aural
toilet untuk mengurangi otorea sambil menunggu operasi (Wright &
Valentine 2008).
Terdapat berbagai macam teknik operasi untuk menangani
kolesteatoma, yang secara umum dapat dibagi atas open cavity (canal
wall down) dan closed cavity (intact canal wall) mastoidektomi (Wright &
Valentine 2008).
a. Canal wall down procedures
Prosedur ini membersihkan dan mengangkat semua kolesteatoma,
termasuk dinding posterior liang telinga, sehingga meninggalkan kavum
mastoid berhubungan langsung dengan liang telinga luar (Helmi 2005;
Dhingra 2007; Merchant, Rosowski & Shelton 2009). b. Intact canal wall procedures
Keuntungan intact canal wall mastoidectomy adalah anatomi normal
dinding posterior liang telinga dapat dipertahankan tanpa perlu membuang
dan merekonstruksi skutum.
Prosedur ini sering dilakukan pada kasus primary acquired
complete cortical mastoidectomy dan antrum mastoid dapat dimasuki.
Diseksi matriks kolesteatoma harus dilakukan dengan hati-hati. Rekurensi
dapat terjadi bila fragmen kecil dari epitel berkeratinisasi tertinggal. Sering
diperlukan “second look operation” setelah 6-12 bulan kemudian
disebabkan rekurensi kolesteatoma (Wright & Valentine 2008; Chole &
Nason 2009).
2.2.8. Komplikasi otitis media kronis dan kolesteatoma
Komplikasi dapat dibagi atas : ( Dhingra 2010)
A. Komplikasi Intratemporal
• Petrositis
• Paralisis nervus fasialis
• Labirinitis
• Mastoiditis B. Komplikasi intrakranial
• Abses ekstradural
• Abses subdural
• Meningitis
• Abses otak otogenik
• Tromboplebitis sinus lateralis
• Hidrosefalus otikus
2.3 Stadium Kolesteatoma
Pembagian stadium pada kolesteatoma secara berguna untuk
pemilihan prosedur operasi dan ketika membandingkan data hasil operasi
timpanomastoidektomi yang dipublikasikan. Pada tahun 1999, Saleh &
Mills mengajukan stadium kolesteatoma berdasarkan perluasan lesi,
keadaan osikel dan komplikasi pre operasi. Hal ini menunjukkan
hubungan antara stadium penyakit, kerusakan osikel dan terjadinya
pemilihan prosedur operasi dan ketika membandingkan data hasil operasi
timpanomastoidektomi yang dipublikasikan (Saleh & Mills 1999).
A. Berdasarkan lokasi kolesteatoma, Saleh & Mills (1999) membagi
stadium kolesteatoma menjadi:
S1 : Bila kolesteatoma terbatas pada lokasi asal
S2 : Bila telah terjadi perluasan lokal
S3 : Bila mengenai tiga lokasi
S4 : Bila mengenai empat lokasi
S5 : Bila mengenai lebih dari empat lokasi.
Sesuai dengan komplikasi sebelum dilakukannya tindakan operasi
Saleh dan Mills membagi stadium kolesteatoma menjadi:
C1 : Bila tidak terdapat komplikasi
C2 : Bila terdapat komplikasi
C3 : Bila terdapat dua komplikasi atau lebih (Nunes et al. 2009).
B. Menurut Japan Otological Society (JOS) stadium kolesteatoma primer
terdiri atas: (Ikihara et al 2011)
Stadium I : Kolesteatoma tidak meluas melebihi daerah atic
Stadium II : Kolesteatoma meluas melebihi daerah atic
Stadium III : Sejumlah kolesteatoma yang menyebabkan sedikitnya satu
komplikasi di bawah ini:
• Kelumpuhan saraf fasialis
• Komplikasi intrakranial
• Fistel labirin
• Defek luas pada kanal telinga luar
• Ganguan pendengaran sensorineural luas
• Adhesi total pada membran timpani
C. Berdasarkan derajat dektruksi tulang, kolesteatoma terbagi atas :
• Mild : erosi dari skutum dan osikel
• Moderate : destruksi dari tegmen dan seluruh osikel
• Severe : destruksi dari seluruh osikel, labirin tulang, kanalis fasialis dan liang telinga luar.
Sedangkan derajat invasi kolesteatoma terdiri atas 3 kelompok yaitu:
• Derajat 1 : melibatkan 1 area (epitimpanum atau mesotimpanum)
• Derajat 2: melibatkan 2 area (epitimpanum atau mesotimpanum dan antrum
• Derajat 3 : mesotimpanum, epitimpanum dan antrum
2.4. Ki-67
Proliferasi sel adalah dasar yang berperan penting terhadap proses
biologis yang dikontrol oleh mekanisme yang sangat serasi. Jaringan
regulasi kompleks akan bertindak sebagai mediasi pada embrio dan
perkembangan normal serta bertanggung jawab terhadap respon sistemik
berupa inflamasi ataupun proses infeksi. Kemajuan besar terhadap
mekanisme dan regulasi dari siklus sel telah diterima akhir – akhir ini.
Sejumlah siklus sel yang dihubungkan dengan sejumlah protein tidak
hanya bersifat sementara pada bagian siklus sel tetapi keberadaannya
tidak selalu dihubungkan dengan sejumlah siklus sel (Schluter 1993).
Antigen Ki-67 pertama sekali diidentifikasi karena reaksifitasnya
terhadap antibodi Ki-67. Protein ini adalah protein inti dan tidak hanya
dihubungkan dengan proliferasi sel somatik tapi juga diintegrasikan dengan
jaringan regulasi protein yang menjalankan siklus pembagian sel. Sejak
protein Ki-67 diaktifkan pada fase aktif dari siklus sel ( G1,S,G2 dan mitosis
tetapi tidak aktif pada fase istirahat (G0), hal ini menunjukkan bahwa Ki-67
merupakan marker proliferasi dihubungkan dengan rangkain penyakit. Gen
Ki-67 berasal dari isoform dua protein yang dihasilkan oleh penyambung
alternatif dari prekusor M-RNA. Kedua isoform dengan 320 dan 359 kDa
dikarakteristikan oleh sejumlah tempat posforilasi seperti protein kinase c,
defosforilasi dari protein Ki-67 dikendalikan oleh kunci regulasi
cyclinB/cdc2 yang paralel untuk transit dari mitosis sel (Tian 2010 ;
Schluter 1993).
Ekspresi KI-67 mencerminkan keadaan fisiologis tertentu dari sel.
Walaupun fungsi yang tepat dari protein Ki-67 selama proliferasi sel masih
sulit dijelaskan. Baru- baru ini, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa
sintesis DNA dapat dihambat oleh komplimenter oligodeoksinukleotida
dari mRNA Ki-67 (Tian 2010).
Sejumlah penelitian yang menggunakan Ki-67 selain pada
kolesteatoma juga sering digunakan pada beberapa tipe kanker seperti
karsinoma, sarkoma, limfoma dan glioma (Torp 2002).
2.5. Ki-67 terhadap kolesteatoma
Kolesteatoma dianggap memiliki karakteristik proliferatif dan sejumlah
penelitian telah menguraikan mekanisme proliferatif dari kolesteatoma
(Chae et al, 2000). Meskipun telah banyak penelitian berfokus pada
mekanisme pembentukan kolesteatoma, patogenese yang tepat dari
penyakit ini belum juga berhasil diungkapkan.
Sintesa dari matriks dilakukan oleh osteoblast sementara proses
resorpsi diatur oleh osteoklas. Konsep yang bertentangan antara nekrosis
akibat dari tekanan atau sekresi faktor-faktor proteolitik oleh matriks
kolesteatoma, sekarang telah dipahami bahwa terjadi resorpsi tulang
karena aktivitas osteoklas pada kondisi inflamasi. Pembentukan osteoklas
dari sel-sel prekursor di kontrol oleh 2 esensial sitokin yaitu Receptor
Activator of Nuclear Factor κB Ligand (RANKL) dan Macrophage Colony
Stimulating Factor (M-CSF). Pada keadaan normal, osteoblast
memproduksi M-CSF dan RANKL untuk memulai pembentukan osteoklas
dengan menarik reseptor- reseptor c-fms dan RANK. Pada kondisi
patologis, banyak sel yang terlibat untuk menghasilkan sitokin-sitokin
tersebut. Inhibitor yang penting pada proses tersebut yaitu osteoprotegrin
(2006) menemukan peningkatan jumlah RANKL pada kolesteatoma
dibandingkan dengan kulit postaurikular yang normal. Hasil ini
menyatakan jaringan kolesteatoma meningkatkan rasio RANKL/OPG
pada proses inflamasi dan berpotensial untuk proses osteoclastogenesis.
Inflammatory cytokines (Interleukin-1 (IL-1), IL 6, Tumor Necrosis Factor–
alpha (TNFα) dan prostaglandin juga diketahui meningkatkan osteoclastogenesis (Chole & Nason 2009). Proses inilah meningkatkan
aktivitas proliferatif sel yang dinilai dengan antigen Ki-67.
Sikka et al (2011) di India melakukan penelitian untuk mendeteksi
proliferasi kolesteatoma dibandingkan kulit normal dengan menggunakan
Ki-67 sebagai marker dan menemukan kolesteatoma memiliki
overekspresi yang tinggi dibandingkan kulit normal.
Kuczkowski et al (2007) di Polandia melakukan penelitian untuk
menganalisis ekspresi Ki-67 pada kolesteatoma telinga tengah dengan
jumlah sebanyak 51 spesimen mendapatkan hasil overekspresi Ki-67
pada 21 sampel (41,5%) dan menyimpulkan bahwa Ki-67 memiliki peran
penting pada proliferasi sel.
Olsweska et al (2006) di Polandia menemukan penelitian terhadap 29
pasien dengan kolesteatoma dan menemukan ekspresi kolesteatoma
meninggi sekitar 22% dibanding kulit yakni sekitar 7 %.
Raynov et al (2005) di Bulgaria melakukan penelitian terhadap 5
pasien dengan kolesteatoma dan menemukan bahwa ekspresi Ki-67
terjadi pada setiap fase sel, tetapi tidak terjadi pada fase istirahat.
Huisman et al (2003) di Belanda menemukan ekspresi positif Ki-67
pada pasien dengan kolesteatoma dan lebih dominan ditemukan di
daerah basal dan parabasal epitel.
Chae et al (2000) di Korea melakukan penelitian untuk mendeteksi
ekspresi pada Ki-67 pada 27 sampel dan mendapatkan hasil overekspresi
Ki-67 lebih tinggi pada kolesteatoma di epitel (36, 6% ± 10,8%)
terdapat perbedaan yang signifikan antara ekpresi kolesteatoma pada
telinga tengah dan liang telinga.
2.6 Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah adalah suatu ruang antara membran timpani dengan
badan kapsul dari labirin pada daerah petrosa dari tulang temporal yang
mengandung rantai tulang pendengaran. Telinga tengah berbentuk kubus,
terdiri dari membran timpani , kavum timpani, tuba Eustachius dan
prosesus mastoid (Gacek 2009).
2.6.1 Membran timpani
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani yang
memisahkan liang telinga luar dari kavum nasi. Tinggi 9-10 mm, lebar 8-9
mm dan ketebalan rata-rata 0,1 mm. Letak membran timpani tidak tegak
lurus terhadap liang telinga akan tetapi miring yang arahnya dari belakang
luar kemuka dalam dan membuat sudut 45º dari dataran sagital dan
horizontal. Dari umbo kemuka bawah tampak refleks cahaya (Dhingra
2010).
Membran timpani mempunyai tiga lapisan :
1. Stratum kutaneum(lapisan epitel) berasal dari liang telinga
2. Stratum mukosum(lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani
3. Stratum fibrosum (lamina propia) yang letaknya antara stratum
kutaneum dan mukosum pada pars tensa (Dhingra 2010).
Secara anatomi membran timpani dibagi dalam 2 bagian, yaitu pars
tensa dan pars flaksida atau membrane shrapnell yang letaknya dibagian
atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Antara pars tensa dan pars
flaksida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu : plika maleolaris anterior (Lipatan
Gambar. 2.1 Membran timpani (Dhingra 2010)
2.6.2 Kavum Timpani
Kavum timpani terletak di dalam pars petrosa dari tulang temporal.
Kavum timpani diumpamakan sebuah kotak dengan 6 sisi yaitu : bagian
atap, lantai, dinding lateral , dinding medial, dinding anterior, dinding
posterior.
Atap kavum timpani dibentuk oleh lempeng tulang tipis yang disebut
tegmen timpani. Daerah ini memanjang ke belakang membentuk atap
aditus ad antrum. Bagian atap ini memisahkan kavum timpani dari fossa
kranii media. Lantai kavum timpani juga merupakan lempeng tulang tipis
yang memisahkan kavum timpani dari bulbus jugularis. Kadang- kadang
secara kongenital tidak sempurna dan bulbus jugularis bisa menonjol ke
telinga tengah dan hanya dipisahkan oleh mukosa. Dinding anterior
merupakan lempeng tulang tipis yang memisahkan kavum timpani dengan
arteri karotis. Juga terdapat tuba Eustachius dibagian bawah dan kanalis
muskulus tensor timpani di bagian atas. Dinding posterior berbatasan
dengan sel- sel mastoid muncul sebagai penonjolan tulang yang disebut
piramid. Dinding posterior dekat keatap, mempunyai satu saluran yang
disebut aditus, yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum
mastoid melalui epitimpanum. Dibelakang dinding posterior kavum timpani
berbatasan dengan labirin. Tampak tonjolan promontorium yang
merupakan dasar koklea. Foramen ovale terfiksasi pada kaki stapes.
Diatas foramen ovale terdapat kanalis saraf fasialis. Tulang penutupnya
kadang secara kongenital mengalami dehisensi dan saraf fasialis lebih
terekspos yang membuat lebih terangsang infeksi. Dinding lateral
berbatasan dengan membran timpani dan liang telinga luar.
Kavum timpani terdiri dari tulang-tulang pendengaran (maleus,
inkus,stapes), dua otot yaitu muskulus tensor timpani dan muskulus
stapedius juga saraf korda timpani, saraf pleksus timpanikus (Dhingra
2010).
Gambar 2.2. Dinding dari telinga tengah (Dhingra 2010)
2.6.3 Tuba Eustachius
Tuba Eustachius adalah suatu saluran yang menghubungkan
nasofaring dengan telinga tengah yang bertanggung jawab terhadap
proses pneumatisasi pada telinga tengah dan mastoid serta
mempertahankan tekanan yang normal antara telinga tengah dan
atmosfir. Stabilnya tuba Eustachius disebabkan karena adanya konstraksi
mengunyah dan menguap. Tiga perempat medial merupakan tulang
rawan yang dikelilingi oleh jaringan lunak, jaringan adiposa dan epitel
saluran nafas (Gacek 2009).
2.6.4 Prosesus mastoid
Pneumatisasi mastoid ternyata saling berhubungan dan drainase-nya
menuju aditus ad antrum. Terdapat tiga tipe pneumatisasi, yaitu
pneumatik, diploik dan sklerotik. Pada tipe pneumatik, hampir seluruh
proses mastoid terisi oleh pneumatisasi, pada tipe sklerotik tidak terdapat
pneumatisasi sama sekali, sedangkan pada tipe diploik pneumatisasi
kurang berkembang. Sel mastoid dapat meluas ke daerah sekitarnya
sampai ke arkus zigomatikus dan ke pars skuamosa tulang temporal
(Gacek 2009).
Antrum mastoid adalah suatu rongga di dalam prosesus mastoid yang
terletak tepat di belakang epitimpani. Aditus ad antrum adalah saluran
yang menghubungkan antrum dengan epitimpani. Lempeng dura
merupakan bagian tulang tipis yang biasanya lebih keras dari tulang
sekitarnya yang membatasi rongga mastoid dengan duramater,
sedangkan yang membatasi rongga mastoid dengan sinus lateralis
disebut lempeng sinus. Sudut sinodura dapat ditemukan dengan
membuang sebersih-bersihnya sel pneumatisasi mastoid di bagian
superior inferior lempeng dura dan posterior superior lempeng sinus
(Gacek 2009).
2.6.5.Vaskularisasi kavum timpani
• Arteri timpani posterior yang merupakan cabang stilomastoid yang dapat berasal dari a. Aurikularis posterior atau a. Oksipital. A. Timpani Vaskularisasi kavum timpani berasal dari cabang – cabang kecil
arteri karotis eksterna. Cabang – cabang pembuluh darah kecil tersebut
posterior masuk ke kavum timpani bersama korda timpani lalu
mendarahi bagian posterior kavum timpani
• Arteri timpani inferior yang berasal dari cabang asedens a karotis eksterna yang masuk ke kavum timpani melalui kanalikulus timpani
bersama dengan cabang timpani timpani n IX lalu mendarahi terutama
bagian inferior kavum timpani
• Arteri petrosus superfisialis dan arteri timpani superior yang merupakan cabang-cabang a. Meningea media yang masuk ke kavum
timpani masing masing melalui lubang kecil di tegmen timpani dan
melalui fisura petroskuamosa, lalu mendarahi bagian superior kavum
timpani
• Arteri karotimpani yang merupakan satu satunya cabang berasal dari arteri karotis interna, masuk ke kavum timpani dengan menembus
lamina tulang tipis yang membatasi kanalis karotikus dengan telinga
tengah.
Aliran vena jalan sering dengan arterinya untuk bermuara pada sinus
petrosus superior dan pleksus pterigoideus (Helmi 2005)
2.7 Imunohistokimia
Pemeriksaan imunohistokimia dapat 33ntibo informasi mengenai
kandungan berbagai 33ntibo molekul didalam sel normal maupun sel
neoplastik. Dasar dari pemeriksaan ini adalah pengikatan antigen (yang
terkandung dalam sel) dengan 33ntibody spesifiknya yang diberi label
chromogen. Teknik ini diawali dengan prosedur histoteknik yaitu prosedur
pembuatan irisan jaringan (33ntibody33) untuk diamati di bawah
mikroskop. Irisan jaringan yang didapat kemudian memasuki prosedur
imunohistokimia (Hardjolukito & Endang 2005)
Imunohistokimia menjadi teknik pilihan untuk menentukan
petanda-petanda 33ntibody tersebut karena 33ntibody mudah, murah dan dapat
diperhatikan sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaan, dimana pengaruh faktor-faktor tersebut dimulai dari tahap
pembedahan, pengolahan jaringan hingga penilaian hasil pulasan
(Hardjolukito & Endang 2005).
2.7.1 Metode pewarnaan imunohistokimia
Prinsip dari metode imunohistokimia adalah perpaduan antara reaksi
imunologi dan kimiawi, dimana reaksi imunologi ditandai adanya reaksi
antara antigen dengan antibodi, dan reaksi kimiawi ditandai adanya reaksi
antara enzim dengan substrat (Sugiana & Ketut 2005)
Pemeriksaan imunohistokimia dimaksudkan untuk mengenali bahan
spesifik tertentu didalam jaringan dengan menggunakan antibodi dan
antibodi deteksi yang memungkinkan untuk mengenali bahan spesifik
tersebut secara visual (Sugiana & Ketut 2005).
Dengan diketahuinya bahan spesifik tersebut maka dokter dapat
menentukan dengan lebih tepat histogenesis dari lesi tertentu dan
prognostiknya (Sugiana & Ketut 2005)
Antibodi bereaksi terhadap determinan dari antigen yang berada dalam
bahan spesifik yang diperiksa. Antibodi-antibodi ini akan berikatan dengan
bahan dalam jaringan, dan antibodi-antibodi ini diketahui dengan
menggunakan antibodi-antibodi lain yang dirancang untuk mengenal
immunoglobulin tersebut dari spesies-spesies yang terekspos dengan
bahan asli (Sugiana & Ketut 2005).
Antibodi-antibodi penentu (anti-antibodi dari spesies lain) ini ditempeli
(tagged) dengan beberapa molekul pelapor (reporter molecule)
misalnya fluorecein atau enzim yang dapat mengkatalisa reaksi
Cara pewarnaan imunohistokimia ; (Sugiana & Ketut 2005)
1. Metode langsung (direct) :
Pada metode ini antibodi yang digunakan untuk mendeteksi suatu
marker pada sel, langsung di label dengan suatu enzim.
2. Metode tidak langsung (indirect)
Pada metode imunohistokimia indirect, antibodi yang digunakan untuk
mendeteksi suatu marker pada sel, tidak dilabel dengan suatu enzim.
Antibodi ini dikenal dengan sebutan antibodi primer. Namun pada
metode ini bukan berarti tidak membutuhkan antibodi yang dilabel
enzim. Hal ini tetap dibutuhkan tetapi yang dilabel adalah
antiimunoglobulin, dalam imunohistokimia indirect dikenal dengan
sebutan antibodi sekunder. Untuk melabel antibodi sekunder dapat
dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung
artinya antibodi sekunder telah terlabel oleh suatu enzim. Sedangkan
secara tidak langsung artinya pelabelan antibodi sekunder dengan
suatu enzim adalah menggunakan suatu bahan perantara (kombinasi)
2.8. Kerangka Teori
Gambar 2.3. Kerangka teori • Usia
• Jenis kelamin • Lama keluhan • Derajat destruksi
tulang • Komplikasi
Otitis Media Supuratif Kronik Tipe bahaya /
Kolesteatoma
Inflamasi
Proliferasi Ki-67
Peningkatan aktivitas osteoklas dalam
kolesteatoma
Degradasi ekstraseluler matriks
Bakteri
Komplikasi
Destruksi tulang
Intratemporal Intrakranial
Keterangan :
= Variabel Penelitian
Pada pasien OMSK tipe bahaya atau dengan kolesteatoma akan
terjadi akumulasi sel debris dan keratinosit yang diinvasi oleh sel-sel
sistem imun termasuk sel Langerhans, sel-T dan makrofag. Proses ini
distimulasi oleh proliferasi epitel yang tidak seimbang, diferensiasi dan
maturasi keratinosit dan pemanjangan apoptosis. Migrasi sel digantikan
oleh hyperplasia dalam kondisi inflamasi. Inflamasi yang mendorong
proliferasi epitel behubungan dengan peningkatan ekspresi enzim litik dan
sitokin termasuk asam arakidonat, Intercellular Adhesion Molecule
(ICAM), Receptor Activator Of Nuclear Factor Kappa-β Ligand (RANKL),
Interleukin-1, 2 dan 6 (IL-1, IL-2, IL-6), Matrix Metalloproteinase-2 dan 9
(MMP-2, MMP-9) dan Tumor Necrosis Factor Alpha yang sebagian
diinduksi oleh antigen bakterial termasuk endotoksin seperti
lipopolisakarida. Sel mast banyak terdapat pada jaringan kolesteatoma
dan berkontribusi terhadap inflamasi kronis. Sel efektor yang melepaskan
sitokin temasuk osteoklas yang menyebabkan degradasi matriks tulang
ekstraselular dan hiperproliferasi, sehingga terjadi erosi tulang. Aktivitas
proliferasi dari kolesteatoma inilah yang dinilai dengan antigen Ki-67.
Derajat destruksi tulang berdasarkan keparahannya dibagi dalang tingkat
Kerangka konsep
Gambar 2.4. Kerangka konsep
• USIA
• JENIS KELAMIN
• LAMA KELUHAN
• KOMPLIKASI
• DERAJAT DESTRUKSI TULANG
KOLESTEATOMA Ki-67
Mild
moderate
Severe Derajat
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat analitik, dengan studi potong lintang.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam
Malik Medan. Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2013 sampai Februari
2014. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan di Departemen Patologi
Anatomi Rumah sakit H. Adam Malik Medan
3.3 Populasi, Sampel dan Besar Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi adalah seluruh penderita dengan diagnosis OMSK Tipe
bahaya yang ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan telinga,
foto Rontgen mastoid/ CT-Scan mastoid yang berobat ke
Sub-Departemen Otologi THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan
selama kurun waktu Mei 2013 – Desember 2013.
3.3.1.1 Kriteria populasi
1. Penderita yang didiagnosis OMSK tipe bahaya, baik laki-laki maupun
perempuan.
2. Bersedia diikutsertakan dengan menandatangani informed consent
3.3.2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah kolesteatoma penderita OMSK tipe
bahaya yang diambil dari tindakan operasi mastoidektomi di sub bagian
Otologi-Bedah Kepala Leher THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik
Kriteria Inklusi : Kolesteatoma penderita OMSK tipe bahaya yang diambil
dari tindakan operasi mastoidektomi.
Kriteria Ekslusi :Kolesteatoma yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan
histopatologi atau imunohistokimia karena tidak
representatif atau rusak
3.3.3 Besar sampel
Penentuan besar sampel didapatkan berdasarkan rumus:
n1 = Zα√po.qo + Zβ√pa.qa pa-po
Keterangan:
Po= proporsi kolesteatoma
Po= 0,26
Qo= 0,73
Pa – Po = 0,25
Pa-0,26= 0,25
Pa= 0,51
Qa= 0,49
N= 1,96 √ 0,26 . 0,73 + 0,842 √ 0,51 . 0,49
0,25 =
0,25 0,8538 + 0,42
= 25,36
3.3.4 Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel penelitian adalah dengan secara non probability
concesutive sampling.
3.4 Variabel Penelitian
3.4.1 Variabel independent : ekspresi Ki-67, usia, jenis kelamin,gejala
klinis dan lama keluhan
3.4.2 Variabel dependent : derajat destruksi tulang dan komplikasi
3.5 Defenisi Operasional
3.5.1. OMSK tipe bahaya
Definisi: radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran
timpani dan riwayat keluarnya sekret purulen dari telinga tersebut
lebih dari tiga bulan, yang disertai proses erosi tulang (Chole &
Nason 2009).
Cara ukur: diagnosis OMSK
Alat ukur: pemeriksaan Foto Mastoid dan CT Scan Mastoid.
berdasarkan anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan fisik dan otologi.
Hasil ukur: dari anamnesis terdapat hasil yang sesuai dengan
penyakit OMSK tipe bahaya, dari Foto Mastoid dan CT Scan
Mastoid tampak gambaran kolesteatoma.
3.5.2. Kolesteatoma
Definisi: suatu kista epitelial yang dilapisi oleh stratified squamosa
epithelium yang berisi deskuamasi epitel (keratin) yang
terperangkap dalam rongga timpanomastoid atau di bagian
manapun dari tulang temporal yang berpneumatisasi, yang
dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (Meyer, Strunk &
Lambert 2006).
Alat ukur: dengan pewarnaan hematoksilin eosin menggunakan
mikroskop merk Olympus BX 51 pembesaran 400x.
Hasil ukur: adanya kombinasi dari material keratin dan stratified
squamousepithelium pada sediaan jaringan.
3.5.3. Ki-67
Definisi : protein inti dan tidak hanya dihubungkan dengan
proliferasi sel somatik tapi juga diintegrasikan dengan jaringan
regulasi protein yang menjalankan siklus pembagian sel.
Cara ukur : ekspresi Ki-67 ditentukan dengan pewarnaan
immunohistokimia.
Alat ukur: dengan melihat reaksi imunologi yaitu reaksi antara
antigen dengan antibodi menggunakan mouse antihuman poliklonal
antibodies (pAbs) Ki-67 menggunakan mikroskop Olympus BX 51
pembesaran 400x.
Hasil ukur : hasil pulasan imunohistokimia Ki-67 adalah tampilan
pulasan warna coklat pada inti sel epitel yang dinyatakan dengan:
• Negatif, bila tidak berhasil menampilkan warna coklat, dimana saat
proses yang sama kontrol (+) menampilkan warna coklat dengan
pewarnaan kromogen DAB.
• Positif, bila terlihat tampilan pulasan warna coklat pada inti sel epitel dengan menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 400x pada 5
lokasi lapangan pandang dan pada saat yang sama kontrol (+) juga
menampilkan warna yang sama.
Penilaian pada jaringan berdasarkan Ki-67 labelling index (indeks
• Low : ≤ 15% sel terekspresi Ki-67
• Intermediate : 16% - 30% sel terekspresi Ki-67
• High : > 30% sel terekspresi Ki-67
3.5.4 Usia
Definisi: umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai
berulang tahun.
Cara ukur: usia dihitung dalam tahun menurut ulang tahun terakhir.
Alat ukur: perhitungan usia berdasarkan kalender Masehi.
Hasil ukur: usia dibagi atas:
a. 6-10-tahun
b. 11-15 tahun
c. 16-20 tahun
d. 21-25 tahun
e. 26-30 tahun
g. 36-40 tahun
h. >40 tahun
3.5.5. Gejala klinis
Definisi: gejala klinis adalah keadaan atau kondisi yang dirasakan
atau dialami penderita sehubungan dengan penyakitnya.
Cara ukur: berdasarkan keluhan pasien dan dicatat dalam rekam
medis.
Alat ukur: anamnesis dalam rekam medis.
Hasil ukur: terdapat beberapa gejala klinis, yaitu:
a. Gangguan pendengaran
b. Telinga berair
c. Hoyong
d. Sakit kepala
e. Bengkak di belakang telinga
f. Lubang di belakang telinga
g. Mulut mencong
3.5.6. Lama keluhan
Definisi: lama keluhan adalah waktu sejak pertama kali
dirasakannya keluhan sampai penderita datang untuk berobat.
Cara ukur: lama keluhan diukur berdasarkan berapa lama durasi
penderita merasakan gejala klinis yang dialaminya.
Alat ukur: perhitungan lama keluhan berdasarkan kalender Masehi
Hasil ukur: lama keluhan dibagi atas:
a) 0-5 tahun
b) 6-10 tahun
c) >10 tahun
3.5.7. Komplikasi OMSK tipe bahaya
Definisi: penyakit yang timbul sebagai akibat dari destruksi tulang
Cara ukur: berdasarkan gejala dan tanda klinis penderita OMSK
tipe bahaya
Alat ukur: pemeriksaan CT Scan Mastoid, Head CT Scan dan
durante operasi.
Hasil ukur: terdapat komplikasi intratemporal dan intrakranial, yaitu:
a. Abses retroaurikukar
b. Mastoiditis
c. Petrositis
d. Paralisis nervus fasialis
e. Labirinitis
f. Abses ekstradural
g. Abses subdural
h. Meningitis
i. Abses otak
j. Tromboflebitis sinus lateralis
k. Hidrosefalus otikus
3.5.8 Derajat destruksi tulang akibat kolesteatoma.
Definisi: luasnya kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan oleh
kolesteatoma.
Cara ukur: berdasarkan derajat destruksi tulang yang diajukan oleh
Kuczkowski et al. (2011)
Alat ukur: CT Scan Mastoid dan durante mastoidektomi.
Hasil ukur:
a. Derajat ringan: erosi skutum dan osikel.
b. Derajat sedang: destruksi tegmen dan seluruh osikel.
c. Derajat berat: destruksi seluruh osikel, tulang labirin, kanalis
3.6 Alat dan Bahan Penelitian
3.6.1. Alat
Penelitian ini membutuhkan beberapa bahan, reagen dan peralatan
sebagai berikut:
a. Catatan medis penderita dan status penelitian penderita
b. Formulir persetujuan ikut penelitian
c. Untuk pemeriksaan hispatologi
Formalin 10%, blok parafin, aqua destilata, hematoxyllin-eosin.
d. Untuk pemeriksaan immunohistokimia
Xylol, alkohol absolut, alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 70%,
H202
e. Alat untuk pemeriksaan immunohistokimia
0,5% dalam methanol,Phosphat Buffer Saline (PBS), antibodi
KI-67 (The Envision+Dual link system dari Dako®), antibodi
sekunder, Envision, Choromogen Diamino Benzidine (DAB).
Lathium Carbonat jenuh, Tris EBTA, Hematoxylin, aqua destillata.
Sistem visualisasi immunohistokimia (Envision kit), mesin
pemotong jaringan (microtome), silanized slide, mikroskop cahaya
(Olympus®).
3.6.2. Bahan penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kolesteatoma
penderita OMSK tipe bahaya yang berasal dari telinga tengah dan kavum
mastoid yang diperoleh pada saat operasi mastoidektomi. Bahan jaringan
diperiksa secara imunohistokimia dengan menilai imunoreaktifitas Ki-67.
3.6.3 Prosedur kerja
A. Pengambilan bahan kolesteatoma
Kolesteatoma diambil pada saat operasi mastoidektomi dengan
B. Prosedur Imunohistokimia
Sampel blok parafin yang sudah dipotong tipis (4 µm) ditempelkan
pada kaca objek. Pada pulasan imunohistokimia Ki-67 digunakan kaca
objek yang telah di-coating dengan poly-L-lysine atau Silanized slide agar
jaringan dapat menempel pada kaca objek selama proses pulasan
imunohistokimia. Prosedur pulasan immunohistokimia KI67 sesuai
protokol Dako:
1. Siapkan preparat berupa potongan tipis jaringan 4 µm yang sudah
ditempelkan pada kaca objek silanized.
2. Preparat dimasukkan dalam inkubator 1 malam, suhu 37⁰C.
3. Deparafinisasi dengan meletakkan slide di hot-plate selama 60 menit,
kemudian mencelupkan slide ke dalam cairan xylol sebanyak 3 kali,
masing-masing 5 menit.
4. Rehidrasi dengan cara mencelupkan secara berurutan dalam etanol
98% sebanyak 3 kali, masing-masing selama 5 menit, kemudian
alkohol 90%, 80% dan 70% masing-masing selama 5 menit.
5. Bilas dengan air mengalir selama 5 menit.
6. Berikan antigen retrieval
7. Bilas dengan air selama 2-3 menit.
8. Netralisasi peroksidase endogen menggunakan peroxidase block
selama 5 menit.
9. Bilas dengan TBS selama 2 x 5 menit.
10. Inkubasi dengan protein block selama 5 menit.
11. Bilas dengan TBS selama 2 x 5 menit.
12. Inkubasi dengan antibodi primer yang telah didilusi secara optimal
selama 60 menit.
13. Bilas dengan TBS selama 2 x 5 menit.
14. Inkubasi dengan post primary block selama 30 menit.
15. Bilas dengan TBS selama 2 x 5 menit.
16. Inkubasi dengan Novolink Polymer selama 30 menit.
18. Amati aktivitas peroksidase dengan DAB working solution.
19. Bilas slide dengan air mengalir.
20. Beri counterstain hematoksilin
21. Bilas slide dengan air mengalir selama 5 menit
22. Dehidrasi dengan alkohol kemudian bersihkan
23. Tetesi dengan Entellan® dan tutup dengan kaca penutup.
3.7 Teknik Pengumpulan Data
Data mengenai jenis kelamin, usia, tanda dan gejala klinis, lama
keluhan diperoleh dari kuesioner/lembar pemeriksaan. Data mengenai
derajat destruksi tulang diperoleh dari pemeriksaan telinga, foto rontgen
mastoid/CT-Scan Mastoid dan durante mastoidektomi. Data mengenai
ekspresi Ki-67 diperoleh dari hasil pemeriksaan imunohistokimia Ki-67
terhadap jaringan kolesteatoma di Departemen Patologi Anatomi RSUP H.
Adam Malik Medan.
3.8 Analisis Data
Analisis akan dilakukan terhadap data yang dikumpulkan. Analisis
univariat dilakukan dengan menggunakan data dalam bentuk tabel dan
proporsi dihitung dengan persentase. Analisis multivariat digunakan untuk
melihat hubungan antar variabel dengan menggunakan uji Chi square
atau Fisher′s exact test. Data yang dikumpulkan diolah dan dianalisis
3. 9 Kerangka Kerja
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan
designcross sectional dimana pengambilan sampel penelitian didapat dari
telinga tengah pada saat tindakan operasi mastoidektomi di RSUP H.
Adam Malik Medan. Data penelitiannya adalah seluruh kasus OMSK tipe
bahaya yang dilakukan tindakan operatif di RSUP H. Adam Malik Medan
sejak Juni 2013 sampai dengan November 2013 yaitu sebanyak 30
sampel.
Ekspresi Ki-67 pada kolesteatoma diperiksa dengan teknik
imunohistokimia yang dilakukan di Departemen Patologi Anatomi RSUP
H. Adam Malik Medan.
4.1 Hasil Analisis Univariat
Berdasarkan pemeriksaan didapatkan gambaran umum subjek
penelitian sebagai berikut :
Tabel 4.1.1 Distribusi penderita OMSK berdasarkan usia
Kelompok Usia (tahun) Jumlah (n) Persen (%)
6-10 2 6,7
Rerata Usia (SB), Tahun 26,5 (13,43)
Jumlah 30 100
Penelitian diikuti oleh 30 orang responden dengan usia terbanyak pada
kelompok usia 16 - 20 tahun sebanyak 8 responden (26,7%). Rerata usia
Tabel 4.1.2. Distribusi penderita OMSK tipe bahaya berdasarkan jenis
Sebanyak 20 pasien yang ikut dalam penelitian ini adalah pasien
dengan jenis kelamin laki-laki (66,7%) dibanding perempuan 10 orang
(33,3%)
Tabel 4.1.3 Proporsi penderita OMSK Tipe bahaya berdasarkan gejala
klinis
Keluhan Utama Jumlah (n) Persen (%)
Gangguan Pendengaran 30 100,0
Telinga berair 29 96,7
Mulut mencong 7 23,3
Bengkak di belakang telinga 7 23,3
Lubang di belakang telinga 6 20,0
Vertigo 5 16,7
Sakit kepala 1 3,3
Gangguan pendengaran merupakan gejala klinis yang ditemukan pada
seluruh subjek penelitian yaitu pada 30 (100%) penderita, diikuti oleh
telinga berair pada 29 orang (96,7%)
Tabel 4.1.4 Proporsi penderita OMSK tipe bahaya berdasarkan lama
Umumnya pasien OMSK yang turut serta dalam penelitian ini telah
mengalami keluhan selama 6-10 tahun yaitu pada 12 pasien (40%) dan
selama > 10 tahun pada 11 orang pasien (36,7%) dengan rerata lama
keluhan (SB) tahun 11,86 ± (6,96).
Tabel 4.1.5 Proporsi penderita OMSK tipe bahaya berdasarkan ekspresi
Ki- 67
Ekspresi Ki-67 Jumlah (n) Persen (%)
Tinggi 12 40.0
Intermediate 17 56.7
Rendah 1 3.3
Jumlah 30 100.0
Dari 30 pasien OMSK tipe bahaya, ditemukan 17 pasien (56,7%)
dengan ekspresi Ki-67 intermediate 12 pasien (40%) dengan ekspresi
Ki-67 yang tinggi, dan 1 orang pasien (3,3%) dengan ekspresi Ki-67 yang
rendah.
Tabel 4.1.6 Proporsi penderita OMSK tipe bahaya berdasarkan
Komplikasi
Komplikasi Jumlah (n) Persen (%)
Paralisis nervus fasialis 7 23,3
Abses retroaurikular 7 23,3
Fistel retroaurikular 6 20,0
Labirinitis 5 16,7
Abses otak 1 3,3
Dari 30 pasien OMSK tipe bahaya , Komplikasi terbanyak yakni paralisis
nervus fasialis dan abses retroaurikular sebanyak 7 orang (23,3 %) diikuti