• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perbandingan hukum diantaranya: dalam istilah inggris comparative law,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perbandingan hukum diantaranya: dalam istilah inggris comparative law,"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perbandingan Hukum

A.1 Peristilahan perbandingan hukum

Dalam bahasa asing, terdapat berbagai istilah dalam penyebutan perbandingan hukum diantaranya: dalam istilah inggris comparative law, comparative jurisprudence, foreign law, dalam istilah belanda vergleihende rechtstlehre, dalam istilah prancis droit compare’ dan dalam istilah jerman rechtsvergleichung atau vergleichende.7 Berdasarkan hal tersebut setiap negara masing-masing mempunyai peristilahan untuk perbandingan hukum.

Comparative jurisprudence yang merupakan peristilahan inggris untuk perbandingan hukum adalah suatu studi tentang prinsip-prinsip ilmu hukum dengan melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum. Sedangkan yang dimaksudkan dengan comparative law adalah mempelajari berbagai sistem hukum asing dengan maksud untuk membandingaknnya.8 Penekanannya adalah di perbandingannya dimana kalimat comparative memberikan sifat kepada hukum (yang dibandingkan). Istilah perbandingan hukum, dengan demikian mentikberatkan kepada segi perbandingannya, bukan kepada segi hukumnya. Inti dari pengertian istilah dari perbandingan hukum adalah

7 Barda Nawawi Arief, 1990, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan ke I. Rajawali. Jakarta. Hal 3 8 Ibid

(2)

27 membandingkan sistem-sistem hukum.9 Sistem-sistem hukum merupakan seperangkat unsur-unsur yang teratur secara beraturan serta saling berkaitan sehingga membentuk suatu hukum.

Sedangkan yang dimaksudkan dengan istilah foreign law yakni mempelajari hukum asing dengan tujuan untuk mengetahui sistem hukum asing tersebut serta tidak bertujuan melakukan perbandingan dengan sistem hukum lainnya.10 Jelaslah perbedaan antara comparative law dengan foreign law. Dimana comparative law bertujuan untuk melakukan perbadingan dua atau lebih daru sistem hukum sedangkan foreign law hanya bertujuan untuk mengetahui sistem hukum asing itu tanpa membandingkannya.

Sedangkan di dalam pendidikan tinggi hukum di Amerika Serikat peristilahan perbandingan hukum sering diterjemahkan yakni sebagai conflict law atau jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi hukum perselisihan, yang menjadi berbeda artinya di dalam pendidikan hukum di Indonesia.11 Peristilahan perbandingan yang digunakan di Amerika sangat berbeda dengan arti perbandingan hukum yang dimaksud di Indonesia.

Istilah lain yang digunakan oleh beberapa pakar di Indonesia yakni hukum perbandingan pidana, namun peristilahan tersebut sampai saat ini belum populer serta hampir tidak dipergunakan lagi. Alasan peristilahan

9 Romli Atmasasmita. 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Cetatakan ke II. Cikutra Baru. Bandung. Hal 7

10 Barda Nawawi Arief. Loc.cit 11 Romli Atmasasmita. Op.cit. Hal 6

(3)

28 tersebut belum populer serta hampir tidak dipergunakan lagi dimungkinkan karena kurangnya penjelasan yang tidak memadai baik dari segi etimologi maupun dari substansi keilmuannya.12 Oleh karena itulah tidak digunakannya istilah hukum perbandingan pidana.

Adapun istilah yang sudah cukup di kenal oleh masyarakat di kalangan teoritikus hukum di Indonesia atas peristilahan perbandingan hukum adalah perbandingan hukum pidana. Peristilahan ini sejalan dengan istilah yang telah digunakan untuk hal yang sama di dalam bidang hukum perdata, yakni perbandingan hukum perdata.13

Dari penjelasan beberapa istilah yang telah dijelaskan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa peristilahan terhadap perbandingan hukum di terjemahkan berbeda oleh setiap negara. Di Indonesia sendiri peristilahan yang populer yakni perbandingan hukum pidana. Adapun alasan pemilihan penggunaan peristilahan tersebut dikarenakan sejalan dengan peristilahan yang digunakan untuk hal yang sama di dalam bidang hukum perdata.

A.2 Pengertian perbandingan hukum

Di bawah ini akan dikemukakan beberapa definisi perbandingan hukum dari pakar-pakar hukum terkenal:

Menurut Redolf B. Schlesinger, mengemukakan bahwa perbandingan hukum bukanlah perangkat dan asas-asas hukum serta bukan suatu cabang hukum, tetapi merupakan teknik untuk menghadapi

12Ibid 13 Ibid

(4)

29 unsur hukum asing dari suatu masalah hukum.14 Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa perbandingan hukum merupakan sebuah cara pendekatan yang bermaksud untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam terhadap bahan hukum tertentu.

Menurut Winterton, mengemukakan bahwa perbandingan hukum merupakan suatu metode yang membandingkan sistem-sistem hukum serta dari perbandingan tersebut menghasilkan data sistem hukum yang dibandingkan.15 Pendapat yang dikemukakan oleh Winterton bahwa tujuan dari dilakukannya perbandingan hukum yakni untuk mendapatkan hasil yang berupa data dari sistem hukum yang diperbandingan.

Menurut Gutterdige, menggemukakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metode perbandingan yang dapat digunakan dalam sebuah cabang hukum. Dari pendapat Gutterdige membedakan antara comparative law, dengan foreign law (peristilahan perbandingan hukum dari Inggris), istilah comparative law, digunakan untuk membandingkan dua atau lebih dari sistem hukum, sedangkan foreign law adalah mempelajari hukum asing tanpa secara nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang lain.16 Antara comparative law dengan foreign law memiliki penjelasan yang berbeda yang walaupun keduanya merupakan istilah yang perbandingan hukum yang sama-sama dari Inggris.

14 Ibid. Hal 7 15 Ibid. Hal 6 16 Ibid. Hal 6

(5)

30 Van Apeldorn17 memberikan pandangan bahwa perbandingan hukum sebagai metode: ‘’Hukum sebagai gejala masyarakat … sebagai juga halnya dengan tiap-tiap ilmu pengetahuan lainnya, ia tak puas dengan mancatat gejala-gejala yang dilihatnya, akan tetapi… mencoba menerangkannya hubungan sebab akibat dengan gejala-gejala lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, ia memakai tiga cara yakni, cara sosiologis, cara sejarah dan cara perbandingan hukum…’’. Menurut Van Apeldorn bahwa perbandingan hukum merupakan salah satu metode atau cara yang dapat digunakan untuk menghubungkan antara sebab dan akibat dengan gejala-gejala hukum yang ada.

Dalam bukunya W.L.G. Lemaire, yang berjudul Het Recht in Indonesia Lemaire,18 mengemukakan bahwa, perbandingan hukum merupakan cabang ilmu pengetahuan juga merupakan metode perbandingan yang di dalamnya melingkupi isi dari kaidah-daidah hukum, persamaan serta perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya. Berbedan dengan pendapat sebelumnya di atas, menurut W.L.G. Lemaire, perbandingan hukum bukanlah hanya merupakan metode perbandingan tetapi juga merupakan cabang ilmu pengetahuan.

Ole Lando,19 memberikan pandangan bahwa perbandingan hukum di dalamnya mencakupi ‘’analysis and comparison of the laws’’. Dari

17 Dalam L.J.Van Apeldorn. 1985. Pengantar Ilmu Hukum; Terjemahan Soepomo. Pradjna Paramita. Jakarta. Hal 424

18 Ibid. Hal 9

(6)

31 pendapat tersebut telah menunjukkan kecenderungan untuk mengakui bahwa perbandingan merupakan sebagai cabang dari ilmu hukum.

Pengertian lain juga dikemukakan oleh Zweigert dan Kotz20 yang telah diterjemahkan bahwa perbandingan dari jiwa dan gaya dari sistem hukum yang beda atau lembaga-lembaga hukum yang berbeda-beda atau penyelesaian masalah hukum yang dapat diperbandingkan dalam sistem hukum yang berbeda-beda.

Zweigert dan Kotz memberikan gagasan functional legal comparison,21 dari pengertian tersebut menjelaskan fungsi dari perbandingan hukum yakni dengan pendekatan yang fungsional maka berbagai sistem hukum hanya dapat dilakukan perbandingan selama sistem–sistem hukum tersebut berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hukum yang sama. Tujuan dari perbandingan tersebut semata-mata untuk mencari identitas dari fungsi kaidah-kaidah hukum dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial yang sama. Berdasarkan pada pendekatan yang fungsional maka metode yang digunakan dalam perandingan hukum yakni motode yang bersifat kritis, realistik dan tidak dogmatis.22 Berdasar dari gagasan Zweigert dan Kotz bahwa perbandingan hukum dapat dilakukan selama sistem-sistem hukum yang dijadikan perbandingan mempunyai fungsi untuk memenuhi kebutuhan hukum yang sama dengan hukum negarannya.

20 A.E Orucu. 1986. Method and Object of Comparative Law; dikutip dari ‘’Method en Object in de Rechtwetwnschappen Opstellen Over Filosofie en Recht’’. Hal 70

21 Ibid 22 Ibid

(7)

32 Metode yang bersifat kritis, para ahli perbandingan hukum tidak lagi mementingkan persamaan dan perbedaan dari berbagai sistem hukum yang semata-mata hanya untuk mengetahui suatu fakta melainkan yang dipentingkan adalah keadilan dan jalan keluar terhadap suatu masalah hukum tertentu.

Metode yang bersifat realistik, dikarenakan perbandingan hukum bukan hanya memeliti perundang-undangan, putusan hakim dan doktrin semata-mata melainkan semua motivasi yang sesungguhnya menentukan atau mempengaruhi dunia, seperti: etika, psikologi, ekonomi dan kebijakan perundang-undangan.

Metode yang bersifat tidak dogmatis, dikarenakan perbandingan hukum tidak hanya terkekang di dalam kekuasaan dogma-dogma. Walaupun dogma-dogma tersebut memiliki fungsi sistematisasi akan tetapi dogma dapat menyebarkan dan membuat pandangan yang kurang tepat dalam menemukan pemecahan atas masalah hukum yang dianggap terbaik menurut masanya.

Soedarto berpendapat23 bahwa perbandingan hukum adalah cabang dari ilmu hukum dan karena itu lebih tepat menggunakan istilah perbandingan hukum jika dibandingkan dengan istilah hukum perbandingan. Pendapat Soedarto sejalan dengan pendapat Ole Lando bahwa perbandingan hukum merupakan cabang dari ilmu hukum.

(8)

33 Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh para pakar di atas terkait dengan perbandingan hukum dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat dua kelompok pengertian perbandingan hukum. Yakni yang berbendapat bahwa perbandingan hukum sebagai sebuah metode dan kelompok yang lain berpendapat bahwa perbandingan hukum sebagai cabang ilmu hukum.

A.3 Tujuan perbandingan hukum

Van Apeldorn24 memberikan perbedaan tujuan perbandingan hukum dalam tujuan yang bersifat teoritis dan tujuan yang bersifat praktis. Tujuan yang bersifat teoritis menjelaskan hukum sebagai gejala dunia (universal) oleh karena itu lah ilmu pengetahuan hukum haruslah dapat memahami gejala dunia tersebut, serta untuk itu harus dipahami hukum di masa lampau dan hukum di masa sekarang. Sedangakan tujuan yang bersifat praktis dari perbandingan hukum merupakan alat pertolongan untuk tata tertib masyarakat dan pembaharuan hukum nasional serta memberikan pengetahuan mengenai berbagai peraturan dan pemikiran hukum kepada pembentuk undang-undang dan hakim.

Sederhananya tujuan perbandingan hukum menurut Van Apeldorn yang terbagi menjadi tujuan yang bersifat teoritis dan tujuan yang bersifat praktis yakni secara teoritis menerangkan bahwa dari perbandingan hukum yang dilakukan akan menjadi bahan konstribusi positif untuk menambah rujukan, informasi, atau masukan hukum yang di dalamnya

(9)

34 menguraikan hukum merupakan gejala dunia, sehingga ilmu pengetahuan hukum harus dapat memahami gejala dunia, serta perlu juga pemahaman hukum di masa lalu dan pemahaman hukum sekarang ini. Sementara tujuan perbandingan hukum secara praktis akan memberikan manfaat melalui analisis yang dipaparkan dari perbandingan hukum yang dilakukan dan tujuannya sebagai sarana untuk melakukan pembaharuan hukum nasional, menciptakan masyarakat yang tertib serta dari berbagai peraturan dan pemikiran hukum yang dibandingkan dapat memberikan pengetahuan kepada pembentuk undang-undang dan hakim.

Berdasarkan kepada fungsi perbandingan hukum yang bersifat fungsional maka terdapat 4 (empat) tujuan dari mempelajari perbandingan hukum yaitu: tujuan yang praktis, tujuan sosiologis, tujuan politis, dan tujuan pedagogis:25

1. Tujuan yang praktis dari perbandingan hukum sangat dirasakan oleh para ahli hukum yang harus menangani perjanjian internasional; 2. Tujuan sosiologis dari perbandingan hukum merupakan observasi

suatu ilmu hukum yang secara mum menyelidiki hukum dalam arti ilmu pengetahuan. Perabndingan oleh para ahli sosiologi hukum pada sekarang ini dipergunakan sebagai metode untuk mempelajari dan mendalami sistem hukum di dunia dengan bermaksud membangun asas-asas umum sehubungan dengan peranan hukum dalam masyarakat;

(10)

35 3. Tujuan politis dari perbandingan hukum adalah mempelajari perbandingan hukum untuk mempertahankan ‘’status quo’’ di mana tidak ada maksud sama sekali mengadakan peruabahan mendasar di negara yang berkembang;

4. Tujuan pedagogis dari perbandingan hukum adalah untuk memperluas wawasan mahasiswa sehingga mereka dapat berpikir inter dan multi disiplin serta mempertajam penelaran di dalam mempelajari hukum asing.

Selaian tujuan perbandingan hukum di atas, berbagai pendapat di bawah ini mencerminkan tujuan dari perbandingan hukum:26

1. Pembaharuan hukum dan pengembangan kebijakan;

2. Sarana penelitian untuk mencapai teori hukum yang bersifat universal;

3. Bantuan untuk praktik hukum dalam hubungan internasional; 4. Unifikasi dan harmonisasi hukum;

5. Suatu alat bantu dalam peradilan.

A.4 Kegunaan atau manfaat perbandingan hukum

Di bawah ini akan dijelaskan tentang manfaat atau kegunaan dari perbandingan hukum yang dikemukakan oleh beberapa pakar:

(11)

36 1. Menurut Prof. Sudarto27

Di dalam mempelajari perbandingan hukum terdapat kecenderungan untuk menjurus mempelajari sistem hukum asing. Terdapat 2 manfaat mempelajari perbandingan hukum asing yaitu:

a. Yang bersifat umum:

1) Memberikan keputusan bagi orang yang berhasrat ingin tahu yang bersifat ilmiah;

2) Memperdalam pengertian tentang pranata masyarakat dan kebudayaan sendiri;

3) Membawa sikap kritis terhadap sistem hukum sendiri. b. Yang bersifat khusus:

Sehubungan dengan dianutnya asas regional aktif dalam KUHP kita, yaitu Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), bahwa aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warna negara yang berada di luar Indonesia melakukan salah satu perbuatan yang oleh suatu aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana.

2. Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto:28

a. Memberikan pengetahuan perihal persamaan serta perbedaan diantara berbagai bidang hukum termasuk pengertian dasarnya;

27 Barda Nawawi Arief, Op.Cit Hal 17 28 Ibid, Hal 18

(12)

37 b. Pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan tersebut akan memberikan kemudahan dalam melakukan: unifikas, kepastian hukum, serta kesadaran hukum;

c. Pengetahuan tentang perbedaan akan memberikan pedoman yang lebih baik, bahwa dalam hal-hal tertentu keanekawarnaan hukum merupakan kenyataan yang dan hal yang harus diterapkan;

d. Perbandingan hukum dapat memberikan bahan tentang faktor-faktor hukum apakah yang perlu dikembangkan atau dihapuskan secara berangsue-angsur demi integritas masyarakat, etrutama pada masyarakat majemuk seperti Indonesia;

e. Perbandingann hukum mampu memerikan bahan untuk pengembangan hukum antar tat hukum pada bidang-bidang di mana kodifikasi dan unifikasi tertalu sulit untuk diwujudkan; f. Dengan pengembangan perbandingan hukum maka yang hendak

menjadi tujuan akhir bukan lagi menentukan persamaan dan perbedaan, melainkan tetepai justru pemecahan masalah-masalah hukum secara adil;

g. Mengetahui motif-motif politis, ekonomis, sosial dan psikologis, yang menjadi latar-belakang dari perundang-undangan, yurisprudensi, hukum kebiasaan, traktat dan doktrin yang berlaku di suatu negara;

h. Perbandingan hukum tidak terikat pada kekakuan dogma; i. Penting untuk melaksanakan pembaharuan hukum;

(13)

38 j. Dalam bidang penelitian, penting untuk lebih memperdalam serta

mengarahkan proses penelitin hukum;

k. Dalam bidang pendidikan hukum, memperluas kemampuan untuk memahami sistem-istem hukum yang ada dan penegakkannya yang tepat dan adil.

3. Menurut Sunaryati Hartono29 mengemukakan bahwa kegunaan dari perbandingan hukum terdiri dari tiga topik, yaitu topik pertama masalah relevansi perbandingan hukum dengan riset historis, ilosofis dan dan yuridis; kedua yakni urgensi perbandingan hukum untuk lebih memahami hukum nasional, topic ketiga adalah perbandingan hukum dapat membantu menghayati budaya bangsa-bangsa lain dan lebih daam keitannya dengan pembentukan atau pengembangan hubungan antar bangsa.

Perkembangan dunia semakin maju dan canggih. Hubungan budaya, sosial, ekonomi, dan militer semakin intensif dan menyatu. Begitu pula dengan hukum. Beberapa aturan hukum dan lembaga dipandang tidak selaras dengan perkembangan modern. Dalam usaha menyusun KUHP baru di Indonesia, kita tidak dapat menutup diri dari pengaruh luar.30 Oleh sebab itulah salah satu alasan mengapa perlu untuk dilakukannya pembaharuan hukum termasuk pembaharuan terhadap KUHP.

29 Romli Atmasasmita, Op.Cit, Hal 20

30 Andi Hamzah. 2009. Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara. Cetakan Ke II. Sinar Grafika. Jakarta. Hal 4

(14)

39 Dari pendapat tersebut di atas terhadap kegunaan dari perbandingan hukum maka semakin terang kiranya bahwa studi perbandingan hukum merupakan studi yang utama bagi perkembangan ilmu hukum dan perkembangan pembaharuan hukum nasional. Bertolak dari pandangan atau pendapat para pakar di atas dapat ditegaskan bahwa fungsi perbandingan hukum tidak lagi hanya semata-mata hanyalah untuk memahami hukum nasional ataupun hukum asing tetetntu tetapi juga dapat dipergunakan untuk menemukan penyelesaian dalam masalah hukum yang menyangkut peristiwa hukum yang konkret atau dalam pembentukan hukum nasional.31

Dari penjelasan di atas mengenai manfaat atau kegunaan dari perbandingan hukum tidak hanya untuk mengetahui atau memahami hukum nasional ataukah memahami hukum asing saja melainkan juga untuk mencari pemecahan dari suatu permasalahan hukum dalam upaya pembentukan hukum nasional sehingga hukum tersebut berkesesuaian dengan kebutuhan masyarakat sekarang ini.

B. Tindak Pidana Perzinaan B.1 Tindak pidana

Seperti yang telah diketahui bahwa atas dasar asas konkordansi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, yang terdahulu dinamakan Wetboek van Strafrecht voor Indonesia yang merupakan

(15)

40 semacam kutipan berasal WvS Nederland. Pasal 1 KUHP mengatakan bahwa perbuatan yang pelakunya dapat dipidana atau dijatuhi hukuman adalah perbuatan yang sudah disebutkan di dalam perundang-undangan sebelum perbuatan itu dilakukan.32

B.1.1 Peristilahan tindak pidana

Di dalam kepustakaan hukum pidana, istilah ‘’tindak pidana’’ pada dasarnya adalah istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda strafbaarfeit. Kemudian kata strafbaarfeit diartikan ke berbagai terjemahan bahasa indonesia. Adapun kata yang digunakan untuk menerjemahkan oleh para sarjana Indonesia diantaranya seperti: tindak pidana, delict, perbuatan pidana. Di berbagai perundang-undangan juga digunakan berbagai istilah yang menunjuk kepada pengertian kata strafbaarfeit di antaranya seperti: peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang diancam dengan hukum, tindak pidana dan lainnya.33 Istilah tindak pidana merupakan salah satu terjemahan dari kata strafbaarfeit yang berasal dari belanda kemudian oleh pakar hukum diterjemahkan ke dalam berbagai istilah di Indonesia.

Menurut Simons,34 strafbaarfeit diartikan sebagai perbuatan yang diancamkan dengan pidana, bersifat melawan

32 Teguh Prasetro. 2010. Hukum Pidana. Cetakan ke I. Rajawali Pers. Jakarta. Hal 45

33 Tongat. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Persfektif Pembaharuan. Cetakan II, UMM Press, Malang, Hal 91-92

(16)

41 hukum, berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Adapun strafbaarfeit menurut Van Hammel, berpendapat bahwa kelakuan orang yang dirumuskan dengan wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana serta dilakukan dengan kesalahan.

Sementara menurut Sudarto,35 pemakaian istilah yang bermacam-macam tersebut tidak menjadi sebuah persoalan, asalkan diketahui apa yang dimaksud dengan istilah tersebut dan apa isi dari pengertian itu. Menurut Sudarto, penggunaan istilah ‘’tindak pidana’’ didasari atas pertimbangan yang bersifat sosiologis, disebabkan istilah tersebut sudah dapat diterima dan karenanya sudah tidak asing lagi didengar oleh masyarakat.

Menurut Tongat, bahwa strafbaarfeit pada dasarnya mengandung pengertian:36

1. Kata feit pada istilah strafbaarfeit memiliki arti kelakuan atau tingkah laku;

2. Pengertian strafbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tersebut.

Berdasarkan beberapa peristilahan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa belanda yakni strafbaarfeit,

35 A. Fuad Usfa, Dkk, Cetakan Pertama, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, Malang, 2004, Hal 32

(17)

42 yang diartikan beragam oleh para pakar hukum di Indonesia. Tindak pidana merupakan perbuatan yang sebelumnya telah di ataur oleh hukum sebagai perbuatan yang dilarang untuk dilakukannya dan adapula perbuatan yang diharuskan oleh hukum untuk dilakukan tetapi tidak dilakukan serta atas perbuatannya tersebut telah diancam dengan pidana.

B.1.2 Pengertian tindak pidana dan unsur-unsur tindak pidana

Secara doktrial, diantara pakar-pakar hukum tidak terjadi kesatuan dalam pendapat tentang isi pengertian hukum pidana. Ada sebagian ahli hukum yang menganut pandangan dualistis dan sebagian lainnya menganut pandangan monistis.37

1. Pandangan Monistis

Pandangan Monistis merupakan pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari suatu perbuatan. Berdasarkan pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di dalam pengertian tindak pidana sudah termasuk di dalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan (criminal responsibility). Berikut akan dijelaskan tentang pengertian tindak pidana oleh para sarjana yang menganut pandanagan monistis:

(18)

43 a. D. Simons

Menurut Simons38 yang dimaksud dengan tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab serta oleh undang-undang dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dijatuhi hukuman. Oleh karena itu, maka menurut Simons, untuk dapat dikatakan telah terjadinya suatu tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur seperti:

1) Perbuatan manusia; 2) Diancam dengan pidana; 3) Melawan hukum;

4) Dilakukan dengan kesalahan;

5) Oleh orang yang mampu bertanggungjawab. b. J. Bauman39

Menurut J. Bauman yang dimaksud dengan tindak pidana atau perbuatan merupakan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang bersifat melawa hukum serta dilakukan dengan kesalahan.

38 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997, Hal 185

39 Sudarto, Hukum Pidana Jilid IA-B, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1975, Hal 31-32

(19)

44 c. Wirjono Prodjodioro

Menurut Wirjono Prodjodioro, tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.

2. Pandangan Dualistis

Di dalam pandangan monistis dalam pengertian tindak pidana sudah mencakup di dalamnya criminal act dan criminal responsibility. Sedangkan menurut pandangan dualistis di dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act sedangkan criminal responsibility tidak menjadi unsur tindak pidana menurut pandangan ini. Berikut ini akan dijelaskan tentang pengertian tindak pidana yang diberikan oleh para sarjana yang menganut pandanagan dualistis:

a. Pompe

Menurut Pompe, dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain merupakan feit (tindakan), yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang. 40

b. Moeljanto

Menurut Moeljanto, perbuatan pidana merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. berdasarkan pengertian tersebut, maka adapun unsur-unsur yang harus terpenuhi agar dikatakan telah terjadi tindak pidana yakni:

(20)

45 1) Adanya perbuatan (manusia);

2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil, terkait dengan berlakunya pasal 1 ayat (1) KUHP);

3) Bersifat melawa hukum (syarat materiil, terkait dengan diikutinya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif).

Berdasar dari penjelasan kedua pandangan tersebut sebenarnya tidak ada perbedaan yang sangat mendasar dikarenakan antara pandangan monistis dan pandangan dualistis keduanya memberikan persyarata untk dikatakan telah terjadi perbuatan pidana atau tindak pidana (criminal act) dan juga pertanggungjawaban pidana (criminal responbility criminal liability). Adapun yang memberikan perbedaan diantara kedua pandangan tersebut adalah bahwa pandangan monistis keseluruhan syarat untuk adanya pidana dianggap melakat pada perbuatan pidana oleh karena dalam pengertian tindak pidana tercakup baik criminal act maupun criminal responbility sedangkan menurut pandangan dualistis keseluruhan syarat untuk adanya pidana tidak melakat pada perbuatan pidana oleh karena pengertian tindak pidana hanya mencakup criminal act dan tidak mencakup criminal

(21)

46 responbility. Terdapat pemisahan antara perbuatan pidana dengan orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut.41

Perlu kecermatan yang mendalam dalam memahami perbadaan antara pandangan monistis dan dualistis. Tetapi pada dasarnya kedua pandangan tersebut dapat diikuti dalam memberikan penjelasan mengenai tindak pidana.

B.1.3 Kualifikasi tindak pidana

Kualifikasi merupakan suatu pengelompokkan atau pembagian. Tindak pidana berdasarkan sistem KUHP kita, terbagi menjadi dua yakni kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Di dalam KUHP kejahatan (misdrijven) di atur dalam Buku II sedangkan pelanggaran (overtredingen) di atur dalam Buku III.42

Menurut M.v.T pengelompokkan atau pembagian tindak pidana atas dua jenis tersebut di atas didasarkan atas perbedaan prinsipil. Kejahatan adalah rechtsdelicten, yakni perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan pelanggaran adalah wetsdelicten, yakni perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan

41 Tongat, Op.cit, Hal 97-98

(22)

47 demikian.43 Atau dengan kata lain suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana ketika telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan.

Pendangan tersebut telah ditentang sejak sebelum Wetboek v. Strafrecht mulai berlaku. Dikarenakan bahwa ada pelanggaran yang juga sebelum adanya ketentuan wet sudah dirasakan sebagai perbuatan yang tidak patut. Di dalam kepustakaan pandangan di atas terkenal dengan adanya perbedaan kualitatif antara kejahatan dan pelanggaran, sedangkan pada sekarang ini sudah banyak ditinggalkan dan diganti dengan pandangan bahwa hanya terdapat perbedaan kuantitatif (persoalan berat atau ringannya ancaman pidana yakni antara kejahatan dan pelanggaran. Demikian atas pendapat dan van Hattum dan Jonkers.44

Perlu dibedakan antara kejahatan dan pelanggaran terhadap suatu perbuatan yang mengakibatkan adanya sanksi hukuman bagi seseorang yang melakukan perbuatan kejahatan atau pelanggaran. Kejahatan adalah mengenai perbuatan yang besar, serta diancam dengan hukuman yang sesuai dengan hukuman yang sesuai dengan perbuatan hukum pidana. Sedangkan adapun yang dimaksud dengan pelangggaran adalah mengenai hal-hal kecil atau ringan, yang diancam dengan hukuman denda.45

43 Ibid, Hal 78 44 Ibid, Hal 78-79

45 Mokhammad Najih & Soimin, Pengantar Hukum Indonesia Sejarah Konsep Tata Hukum dan Politik Hukum Indonesia, Cetakan Kelima, Setara Press, Malang, 2016, Hal 160

(23)

48 Mengenai kualifikasi delik terdapat berbagai pembagian delik. Secara umum pembagian jenis tindak pidana dapat dikemukakan sebagai berikut:46

1. Delik formil dan delik materiil (delik dengan perumusan secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil)

Pada umumnya rumusan-rumusan delik di dalam KUHP merupakan rumusan-rumusan dari apa yang disebut voltooid delict, yaitu delik yang telah selesai dilakukan oleh pelakunya. Menurut Lamintang,47 delik formil merupakan delik yang dianggap telah selesai dengan hukuman olej undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan delik materiil merupakan delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman undang-undang.

Menurut Sudarto,48 bahwa delik formil merupakan delik yang perumusannya dititik beratkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dirumuskan dalam rumusan delik tersbut (tanpa melihat akibatnya).

Sedangkan yang dimaksud dengan delik materiil merupakan delik yang perumusannya dititik beratkan pada akibat yang tidak dikehendaki atau dilarang. Delik ini baru

46 A. Fuad Usfa, Op.Cit, Hal 40 47Ibid, Hal 213

(24)

49 dianggap selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki atau dilarang tersebut benar-benar terjadi.

2. Delik commissionis, delik ommissionis, delik commissionis per ommissionis commissa

a. Delik commissionis, merupakan delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan-larangan di dalam undang-undang. Contohnya seperti pencurian, penggelapan, penupuan dan lain sebagainya.;

b. Delik ommissionis, merupakan delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah (keharusan-keharusan) menurut undang-undang. Contohnya tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (Pasal 522 KUHP), tidak menolong terhadap orang yang atut untuk ditolong (Pasal 531 KUHP);

c. Delik commissionis per ommissionis commissa, merupakan delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan dalam undang-undang (Delik commissionis) tetapi dilakukannya dengan cara tidak berbuat. Contohnya, seorang ibu yang membunuh anaknya dengan cara tidak memberikan susunya (Pasal 338, 340 KUHP).

(25)

50 3. Delik dolus dan delik culpa

a. Delik dolus, merupakan delik yang di dalamnya memuat unsur-unsur kesengajaan,49 atau delik-delik yang oleh pembentuk undang-undang dipersyaratkan bahwa delik-delik tersebut harus dilakukan dengan sengaja.50;

b. Delik culpa, merupakan delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsurnya, atau menurut Lamintang51 merupakan delik-delik yang cukup terjadi dengan tidak sengaja, agar pelakunya dapat dihukum.

4. Delik tunggal dan delik berganda (enkovondigde en samengestelde delicten)

a. Delik tunggal, yaitu delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali, atau delik-delik yang pelakunya sudah dapat dihukum dengan satu kali saja melakukan tibdakan yang dilarang oleh undang-undang;

b. Delik berganda, yaitu merupan delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukannya beberapa kali perbuatan, atau delik-delik yang pelakunya hanya dapat dihukum menurut sesuatu ketentuan pidana apabila pelaku tersbut telah berulang kali melakukan tindakan yang sama yang dilarang oleh undang-undang.

49 Sudarto, Op.cit, Hal 47

50 P.A.F. Lamintang, Op,cit, Hal 214 51 Ibid

(26)

51 5. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung

terus (voorturende en niet voorturende/aflopende delicten) Delik yang berlangsung terus merupakan delik yang memiliki ciri bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus.

6. Delik aduan dan delik biasa/bukan aduan (klacbdelicten en niet klacbtdelicten)

Delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat dituntut dikarenakan adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan. Delik-delik seperti ini misalnya delik yang diatur dalam Pasal 310 KUHP dan seterusnya tentang penghinaan, Pasal 284 KUHP tentang Perzinaan dan sebagainya. Dalam pasal Pasal 284 KUHP dikatakan bahwa:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan:

1a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,

b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;

2a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin,

b. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

(27)

52 (2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

Delik aduan menurut sifanya dapat dibedakan atas delik aduan absolut (absolute klakhtdelict) dan delik aduan relative (relatieve klakhtdelict). Delik aduan absolut misalnya delik yang diatur dalam Pasal 284, 310, 332 KUHP. Sedangkan delik aduan relatif misalnya delik yang diatur dalam Pasal 367 tentang pencurian dalam keluarga.

Perlu diketahui antara aduan dengan laporan. Pengaduan merupakan suatu laporan dengan permintaan untuk dilakukan penuntutan terhadap orang atau terhadap orang-orang tertentu. Pada delik aduan absolut adalah cukup apabila pengadu hanya menyebutkan peristiwanya saja, sedang pada dlik aduan relatif, pengadu juga harus menyebutkan orangnya yang ia duga telah merugikan dirinya. Pada delik aduan relati antara pelaku atau orang yang bersalah orang yang dirugikan terhadap suatu hubungan yang bersifat khusus.

Disebutkannya nama seseorang sebagai orang yang telah merugikannya seorang pengadu pada suatu delik aduan absolut, memberikan kemungkinan kepada alat-alat negara yang namanya telah disebutkan oleh pengadu, melainkan juga

(28)

53 terhadap lain-lain peserta dari tindak pidana yang diadukan sekalipun nama-nama mereka telah disebutkan.

7. Delik sederhana (eenvondige delicten) dan delik yang ada pemberatannya (gegualificeerde delicten)

a. Delik sederhada, merupakan delik-delik dalam bentuknya yang pokok seperti dirumuskan di dalam undang-undang. Misalnya delik yang diatur dalam Pasal 362 KUHP tentang pencurian;

b. Delik yang ada pemberatannya, merupakan delik-delik dalam bentuk yang pokok. Yang karena di dalamnya terhadap keadaan-keadaan yang memberatkan maka hukuman yang diancamkan menjadi diperberat. Contohnya delik yang diatur dalam Pasal 365 KUHP.

B.2. Tindak pidana perzinaan

Menurut P.A.F. Lamintang, Tindak pidana perzinaan harus dilakukan secara sengaja untuk melakukan perzinaan. Oleh karena itulah unsur kesengajaan dari si pelaku harus dapat dibuktikan. Apabila unsur tersebut tidak dapat dibuktikan atau tidak terbukti di muka persidangan, maka hakim harus memberikan putusan bebas dari tuntutan hukum atas orang tersebut.52 Salah satu unsur untuk dapat dikatakan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana perzinaan adalah persetubuhan yang

52 P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusulaan & Norma Kesopanan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Hal 88-87

(29)

54 dilakukan tersebut memang atas dasar kesengajaan atau tidak ada unsur pemaksaan dari salah satu pihak.

Menurut Andi Hamsah zina merupakan persetubuhan dengan wanita di luar perkawinan.53 Sedangkan menurut Topo Santoso, zina merupakan perbuatan bersenggama antara laki-laki dengan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan). Perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan merupakan istrinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan laki-laki yang bukan suaminya.54 Menurut Andi Hamsah dan Topo Santoso dikatakan telah melakukan zina apabila pelaku melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan pasangan suami atau istrinya atau dengan kata lain melakukan persetubuhan tetapi keduannya tidak terikat kedalam ikatan perkawinan.

Sedangkan menurut Neng Dzubaedah di dalam bukunya memberikan pengertian tentang zina yaitu merupakan hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah secara syariah islam, yang didasari atas suka sama suka oleh kedua belah pihak yang berzina, tanpa keraguan (syubhat) dari pelaku zina yang bersangkutan.55 Pendapat dari Neng Dzubaedah mengenai pengertian zina tidak berbeda dengan pendapat yang telah dikemukannya sebelumnya di atas, bahwa zina

53 Andi Hamsah, Kamus Hukum, Cet I, Jakarta, Ghalia, 1986, Hal 460

54 Topo Santoso, Seksualitas dan Hukum Pidana, Cet I, Depok, Indo-Hillco, 1997, Hal 93-94 55 Neng Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Ditinjau

(30)

55 merupakan persetubuhan yang dilakukan oleh oranag yang tidak terikat perkawinan serta tidak unsur paksaan untuk melakukan persetubuhan tersebut.

Menurut Ensiklopedia Hukum Islam, zina merupakan hubungan seksual yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan yang tidak atau belum diikat perkawinan dan tidak terdapat unsur keraguan dalam hubungan seksual tersebut.56

Secara harfiah zina diartikan fahisyah yaitu perbuatan keji. Para fuqaha (ahli hukum islam) memberikan pengertian bahwa zina adalah melakukan hubungan seksual dalam arti memasukkan zakar (kelamin laki-laki) ke dalam vagina wanita yang dinyatakan haram, bukan dikarenakan syubhat dan atas dasar syahwat.57

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan zina dari beberapa literature seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa zina merupakan persetubuhan yang dilakukan oleh antara laki-laki dengan perempuan tanpa hubungan perkawinan yang sah. Serta persetubuhan tersebut dilakukan dengan cara sukarela diantara kedua pihak atau tidak adanya paksaan dari salah satu pihak.

56 Abdul Aziz Dahlan, et al, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 6, Cet I, Jakarta, Ichtiar Van Hoeve, 1999, Hal 2026

57 Departemen Agama RI. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum Buku Dasar Pendidikan Agama Pada

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini Fuzzy Inference System Metode Tsukamoto akan Pada penelitian ini Fuzzy Inference System Metode Tsukamoto akan diterapkan untuk menetukan waktu

Pertama Peran humas DPRD Kabupaten Nganjuk yakni penasehat ahli Humas sebagai penasehat ahli yaitu berperan untuk menampung ide-ide atau aspirasi yang ditemukan

akuntabilitas kinerja instansi pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 13 Tahun 2010 tentang

Cara kerja dari arduino memberi output pada relay ini adalah arduino akan bekerja ketika sensor mendeteksi air terkontaminasi oleh cairan kimia (pH air kurang dari 6).. Pada

diadakan seleksi berdasarkan emampuan akademik dan atau hasil verifikasi biodata ( Home Visit ) yang dilakukan oleh panitia. Jalur Bina Lingkungan ini merupakan salah

Dokumen RPJMD Kabupaten Paser Tahun 2016-2021 ini berfungsi juga sebagai pedoman bagi beberapa dokumen perencanaan jangka pendek misalnya Rencana Kerja Pemerintah Daerah

Gambar 4.1 Potensial listrik dalam koordinat kartesian Persamaan potensial listrik yang akan dibahas adalah peninjauan untuk sisi atas dengan nilai V menggunakan fungsi

Biakkan bakteri uji diambil sebanyak 1 ose secara aseptis dari medium agar miring dan diletakkan di atas gelas benda lalu ditetesi dengan H 2 O 2 , hasil positif