• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II RAHASIA BANK. wajib merahasiakan hal-hal yang menyangkut penyakit pasiennya. Bahkan kalau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II RAHASIA BANK. wajib merahasiakan hal-hal yang menyangkut penyakit pasiennya. Bahkan kalau"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II RAHASIA BANK

A. Pengertian Rahasia Bank

Rahasia Bank atau Banking Secrecy di kenal di negara manapun di dunia ini yang mempunyai lembaga keuangan bank. Rahasia bank tidak bedanya dengan rahasia yang harus di pegang teguh oleh para professional seperti pengacara yang wajib merahasiakan hal-hal yang menyangkut penyakit pasiennya. Bahkan kalau rahasia di maksud tidak di pegang teguh dan dibocorkan kepada pihak lain, maka atas tindakan tersebut dpat dikenakan sanksi, baik perdata maupun pidana5

Pengertian ini telah di ubah dengan pengertian baru oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Oleh Undang-Undang itu rumusan yang baru diberikan dalam Pasal 1 ayat (28) Undang-undang No. 10 tahun 1998 yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut :

. Di Indonesia pun di kenal ketentuan rahasia bank yang terdapat dalam Undang-Undang Perbankan. Dasar hukum dari ketentuan rahasia bank di Indonesia mula-mula adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tetapi kemudian telah di ubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.

Pengertian rahasia bank oleh Undang-undang No. 7 Tahun 1992 diberikan oleh Pasal 1 ayat (16) yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut :

Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan.

(2)

Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya.

Selain memberikan rumusan dari pengertiannya, Undang-Undang Perbankan juga memberikan rumusan mengenai delik rahasia bank. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 memberikan rumusan delik rahasia bank sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 ayat (1). Bunyi lengkap dari rumusan delik rahasia bank menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 adalah :

Bank dilarang memberikan keteranganyang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal sebagaimana di maksud dalam Pasal 41, 42, 43 dan 44. Rumusan delik rahasia bank tersebut di atas telah di ubah dengan rumusan yang baru, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dari Undang-Undang No. 10 tahun 1998. Rumusan yang baru itu lengkapnya berbunyi sebagai berikut:

Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana di maksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44 A.

Ada anggapan sebahagian orang bahwa kerahasiaan bank bisa merugikan masyarakat, nasabah nakal bisa berlindung pada ketentuan rahasia bank, kerahasiaan bank harus di buka untuk kepentingan para penitip dana dan sebagainya. Sedangkan di pihak lain menghendaki dan menegaskan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank karena masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank apabila dari pihak bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak akan disalahgunakan.

(3)

Di samping itu ada beberapa harian dan majalah ramai mempermasalahkan rumusan mengenai kriteria rahasia bank, sehingga kerap kali menimbulkan berbagai macam interpretasi dan kontroversi. Ada pihak yang menghendaki agar pemerintah dapat memberikan suatu original interpretation mengenai rahasia bank. Ada pula yang berpendapat harus mencari rumusan histois mengenai rahasia bank dengan menanyakan langsung kepada pembuat undang-undang. Bahkan ada pihak yang mendesak agar pemerintah segera memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang rahasia bank agar pemerintah mengkaji ulang ketentuan rahasia bank untuk mengantisipasi perkembangan kondisi actual, agar ketentuan rahasia bank di rombak karena di anggap sifatnya “keblinger” dan banyak lagi pendapat yang pada dasarnya beranggapan bahwa ketentuan rahasia bank yang di atur dalam Undang-Undang Perbankan belum sempurna dan masih rancu sehingga perlu di revisi ulang lagi.

Pada saat ini, praktis Negara berlaku ketentuan rahasia bank. Dengan demikian rahasia bank bersifat universal, namun berbeda-beda dasar hukumnya untuk setiap Negara.

Pelanggaran rahasia bank yang di atur oleh masing-masing Negara dapat dikelompokkan dalam dua kelompok. Kelompok pertama menentukan pelanggaran rahasia bank sebagai pelanggaran perdata (civil violation). Negara-negara tersebut membiarkan kewajiban yang timbul dari hubungan kontraktual belaka di antara bank dan nasabah, namun kewajiban kontraktual tersebut dapat disampingi apabila kepentingan umum menghendaki dan apabila secara tegas dikecualikan oleh ketentuan undang-undang tertentu. Hal yang demikian misalnya

(4)

dapat kita lihat ketentuan rahasia bank menurut hukum Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Negeri Belanda, Belgia, The Bahamas, The Cayman Island dan beberapa Negara lainnya.

Sedangkan kelompok yang kedua menentukan pelanggaran rahasia bank sebagai pelanggaran public atau pidana (criminal violation), misalnya Swiss, Austria, korea Selatan, Perancis, Luxemburg dan Indonesia sendiri dan beberapa Negara lainnya.

Berkenaan dengan berlakunya ketentuan rahasia bank di beberapa Negara, ada beberapa masalah yang timbul dan memberikan perbedaan antara ketentuan rahasia bank dari satu Negara dengan Negara lainnya. Masalah-masalah tersebut ialah menyangkut ruang lingkup kerahasiaannya, yaitu:

1. Apakah yang diwajibkan untuk dirahasiakan itu seyogyanya terbatas sisi aktiva (assets) bank atau seyogyanya termasuk pula sisi pasiva (liabilities) bank itu ? 2. Apakah idetitas nasabah juga termasuk lingkup yang harus dirahasiakan ? 3. Apakah ketentuan rahasia bank itu masih berlaku setelah yang bersangkutan

tidak lagi menjadi nasabah bank (mantan nasabah) ? selain menyangkut ruang lingkup kerahasiaannya, dipermasalahkan juga mengenai siapa-siapa saja yang dibebani dengan kewajiban merahasiakan itu. Apakah hanya pengurus dan pegawai bank saja yang terikat oleh kewajiban rahasia bank.

4. Apakah kewajiban untuk merahasiakan itu berlaku pula bagi pemegang saham bank tersebut, bagi auditor, bagi pihak yang akan melakukan akuisisi bank tersebut, bagi pihak yang akan melakukan merger dengan bank tersebut.

(5)

5. Apakah rahasia bank masih tetap berlaku setelah seorang pengurus atau pegawai bank yang tidak lagi menjadi pengurus atau pegawai dari bank yang bersangkutan.

Menjadi legal issue dari waktu ke waktu dipersoalkan di banyak Negara, termasuk pula di Indonesia, mengenai sikap apa yang seharusnya di ambil bila terdapat benturan antara kepentingan nasabah secara individual dan kepentingan masyarakat luas berkaitan dengan berlakunya rahasia bank itu. Dengan kata lain, bila terdapat benturan antara kewajiban untuk memegang teguh rahasia bank demi melindungi kepentingan nasabah yang bersangkut an dan kewajiban untuk kepentingan umum, sebagaimana hal itu seyogyamya di atur oleh hukum ? benturan kepentingan ini dapat terjadi sehubungan dengan penghitungan an penagihan pajak oleh pejabat pajak, pemberantasan tindak pidana korupsi dan money laundering.

Dari hasil mempelajari ketentuan-ketentuan rahasia bank di berbagai Negara, daoat diketahui bahwa rahasia bank idak bersifat mutlak. Artinya, dalam hal-hal tertentu dan unuk kepentingan pihak-pihak tertentu, rahasia bank dapat diungkapkan. Bahkan dalam hal-hal tertentu keterangan mengenai keadaan keuangan nasabah bukan saja dapat diungkapkan oleh bank bahkan wajib diungkapkan oleh bank tanpa di anggap melanggar kewajiban rahasia bank. Di beberapa Negara, undang-undang mengenai money laundering mengharuskan bank melaporkan pendepositoan dana oleh nasabahnya di atas jumlah tertentu atau dicurigai dana tersebut merupakan rangkaian dari kegiatan money laundering.

(6)

Dari hasil mempelajari ketentuan-ketentuan rahasia bank di berbagai Negara, dapat diketahui bahwa rahasia bank tidak bersifat mutlak. Artinya, dalam hal-hal tertentu dan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu, rahasia bank dapat diungkapkan. Bahkan dalam hal-hal tertentu keterangan mengenai keadaan keuangan nasabah bukan saja dapat diungkapkan oleh bank bahkan wajib diungkapkan oleh bank tanpa di anggap melanggar kewajiban rahasia bank. Di beberapa Negara, undang-undang mengenai money laundering mengharuskan bank melaporkan pendepositoan dana oleh nasabahnya di atas jumlah tertentu atau dicurigai dana tersebut merupakan rangkaian dari kegiatan money laundering.

Juga merupakan legal issue dalam hal terjadi keadaan di mana demi melindungi kepentingan bank, justru hanya mungkin kepentingan bank itu terlindungi apabila bank mengungkapkan keterangan mengenai keadaan keuangan nasabahnya. Hal itu terjadi antara lain apabila timbul perkara gugat menggugat antara bank dan nasabah. Tidaklah mungkin bagi bank untuk dapat mempertahankan pendapatnya atau membela diri dalam perkara itu apabila bank tidak diperkenankan untuk mengungkapkan keadaan keuangan nasabah yang berperkara dengan bank itu yang ada di bank tersebut.

Dalam hubungan tersebut,di antara yang satu dengan Negara yang lain, terdapat perbedaan menyangkut pengecualian tersebut,yakni mengenai apakah pengecualian itu diberikan bank demi hukum ataukah berdasarkan izin dari suatu otoritas tertentu? Apabila pengecualian harus berdasarkan izin pengecualian tersebut. Apakah otoritas yang berwenang memberikan izin pengecualian itu adalah Menteri keuangan, pimpinan Bank Sentral ataukah Pengadilan ?

(7)

Berkaitan dengan itu, ternyata berbeda-beda juga antara ketentuan Negara yang satu dengan yang lain mengenai, apakah persetujuan nasabah dapat menghapuskan kewajiban bank untuk memegang teguh rahasia bank itu.

B. Peraturan Rahasia Bank

1. Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992

Ketentuan rahasia bank menurut Undang-Undang menurut No. 7 Tahun 1992 (Pasal 40) disebutkan bahwa : “Bank di larang memberikan keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan”. Bahkan dalam penjelasannya dijelaskan bahwa : “yang menurut kelaziman wajib dirahasiakan oleh bank adalah seluruh data dan informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari orang dan badan yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya”.

Bahkan dalam penjelasan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Pasal 40 jelaslah bahwa ketentuan rahasia bank sangat luas karena bukan saja keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, melainkan juga termasuk “seluruh data dan informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari orang dan badan yang diketahui olehh karena kegiatan usahanya” dari nasabah yang bersangkutan.

Pemerintah bahkan pernah mengeluarkan penafsiran resmi tentang rahasia bank seperti tertuang dalam :

(8)

a. Surat Menteri keuangan republik Indonesia No. R-25/MK/IV/7/1969 (rahasia) tertanggal 24 Juli 1969;

b. Surat Menteri keuangan Republik Indonesia No. R-29/MK/IV/9/1969 (rahasia) tertanggal 03 September 1969;

c. Surat Edaran Bank Indonesia No. 2/377/UPPB/Pb.B tanggal 11 September 1969.

Dalam surat-surat tersebut pada dasarnya menjelaskan kata-kata “hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan” antara lain :

a. Pemberian pelayanan jasa dalam lalu lintas uang, baik dalam maupun luar negeri;

b. Mendiskontokan dan jual beli surat-surat berharga; c. Pemberian kredit.

Luasnya pengertian ketentuan rahasia bank tersebut telah menimbulkan ketidakpastian, apakah persetujuan nasabah dapat mengecualikan ketentuan rahasia bank.

Mengingat delik rahasia bank dalam undang-undang No. 7 Tahun 1992 itu bukan merupakan delik aduan, maka adanya persetujuan nasabah yang bersangkutan tidak dapat membebaskan bank dari dari kewajibannya untuk merahasiakan. Dengan kata lain, sekalipun nasabah telah memberikan persetujuan kepada bank untuk dapat mengungkapkan keadaan keuangannya,tetap saja bank di anggap telah melakukan pelanggaran rahasia bank dank arena itu terancam

(9)

dikenai pidana. Penjelasan di bawah ini dapat lebih memeperjelas permasalahannya.

Dalam pengecualian-pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank yang ditentukan oleh Undang-undang No.7 Tahun 1992, tidak disebutkan secara eksplisit bahwa rahasia bank tidak berlaku bila ada persetujuan nasabah kepada bank untuk mengungkapkannya. Sehubungan dengan itu, timbul pertanyaan, apakah sekalipun telah ada persetujuan nasabah, bank tetap tidak dapat terlepas dari kewajiban untuk merahasiakan keadaan keuangan nasabah yang telah memberikan persetujuan itu ?

Pertanyaan tersebut merupakan salah satu legal issue penting yang menyangkut ketentuan kerahasiaan Bank Indonesia berdasarkan Undang-undang No.7 Tahun 1992. Tidak demikian halnya dengan ketentuan rahasia bank menurut hukum inggris dan hukum dari Negara-negara yang menetapkan ketentuan rahasia bank sebagai kewajiban perdata atau kewajiban kontraktual. Dengan kata lain, menurut ketentuan hukum inggris, rhasia bank tidak berlaku apabila pengungkapannya oleh bank disetujui oleh nasbah.

Dalam pengecualian terhadap kewajiban rahasia bank yang ditentukan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, tidak termasuk adanya persetujuan nasabah. Dengan demikian apakah berarti sekalipun telah ada persetujuan nasabah, bahkan dalam hal-hal tertentu justru di minta oleh nasabah sendiri agar bank mengungkapkan kepada pihak lain mengenai keadaan keuangannya di bank itu, bank tetap terikat pada kewajiban rahasia bank tersebut ?

(10)

Bila telah ada persetujuan nasabah, maka bank tidak lagi terikat pada kewajiban merahasiakan itu. Alasannya, karena mengungkapkan keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabahnya oleh bank itu, dilakukan berdasarkan persetujuan nasaba, lebih-lebih lagi bila justru dalam rangka memenuhi permintaan nasabah. Menurut kelaziman dalam dunia perbankan, adanya persetujuan nasabah untuk merahasiakan oleh bank. Hal itu misalnya berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut :

a. Sehubungan dengan permintaan nasabah untuk memperoleh kredit dari bank lain demi bank lain itu mengetahui credit worthiness dari nasabah.

b. Dalam rangka nasabah dapat memperoleh fasilitas dari perusahaan atau instansi tertentu (misalnya untuk memenangkan proyek) yang untuk itu perlu credit worthiness atau bonafiditas keuangan nasabah yang bersangkutan diungakapkan oleh banknya kepada bank lain atau kepada prusahaan atau instansi lain yang diinginkan oleh nasabah fasilitasnya dapat di peroleh.

c. Dalam hal nasabah menunjuk seorang funds manager untuk mengurus keuangan nasabah.

d. Apabila nasabah menginginkan istri atau anak-anaknya perlu mengetahui keadaan keuangannya agar keluarga nasabah itu jangan sampai tidak mengetahui bahwa nasabah mempunyai simpanan di bank apabila terjadi kematian mendadak atas dirinya.

e. Apabila nasabah memperoleh kredit sindikasi itu harus diumumkan (mendapat publisitas). Publisitas mengenai perolehan kredit sindikasi tersebut bukan saja untuk kepentingan bank-bank peserta sindikasi, tetapi juga diinginkan oleh

(11)

nasabah demi publisitas bonafiditasnya sehubungan dengan kemampuan nasabah tersebut untuk memperoleh kepercayaan dari bank-bank peserta sindikasi, lebih-lebih lagi apabila bank-bank peserta sindikasi itu merupakan bank-bank besar dan terhormat.

Tetapi selalu terdapat keragu-raguan bagi bank untuk mengungkapkan keadaan keuangan sesuatu bank kepada pihak lain sekalipun telah ada persetujuan dari nasabah ketentuan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tidak secara tegas memberikan kepastian, apakah adanya persetujuan nasabah menghapuskan kewajiban bank untuk tetap merahasiakan sebagaimana ditentukan menurut ketentuan rahasia bank.

2. Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998

Undang-undang No. 10 Tahun 1998 yang berupa perubahan atas Undang- undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan diundangkan pada tanggal 10

November 1998.

Sehubungan dengan adanya permasalahan tentang rahasia bank dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tersebut di atas, maka pembuat undang-undang menganggap perlu untuk mencamtumkan ketentuan baru dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 Pasal 40, 41, 41A, 42, 42A, 44A, 47, 47A dan 48 di atur mengenai rahasia bank dengan segala pengecualian serta sanksinya.

Defenisi rahasia bank menurut Undang-undang No. 10 Tahun 1998 seperti yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (28) adalah : “segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.”

(12)

Apa yang dimaksud dengan kata-kata “segala sesuatu yang berhubungan dengan” dalam definisi tersebut, dalam penjelasan Pasal tersebut hanya disebut “cukup jelas”.

Pasal 40 ayat (1) menentukan bahwa : “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan penyimpan dan simpanannya.” Keterangan seperti apa yang wajib dirahasiakan oleh bank dari nasabah penyimpan dan simpanannya.

Dalam penjelasan ayat tersebut dinyatakan bahwa “keterangan mengenai nasabah selain sebagai nasabah penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan bank.” Bahkan disebutkan bahwa “apabila nasabah bank adalah nasabah penyimpan yang sekaligus juga sebagai nasabah debitur, bank tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan.”

Keterangan macam apa yang wajib dirahasiakan oleh bank? Dalam definisi tersebut di atas juga disebutkan “segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan.”

Begitupan apa yang di maksud dengan “keterangan” mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.

Dari apa yang diuraikan di atas, kiranya dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “keterangan” adalah “informasi”, sehingga yang wajib dirahasiakan oleh bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan informasi mengenai nasabah penyimpan dan simpananya,seperti kapan simpanan ditempatkan, simpanan ditempatkan dengan tunai atau melaui transfer atau LLG

(13)

(Lalu Lintas Giro) atau dengan menyetor cek/bilyet giro dan sebagainya, hanya saja ditegaskan dalam penjelasan Pasal rahasia bank tersebut, bahwa apabila nasabah penyimpan juga sebagai nasabah debitur, maka segala sesuatu informasi mengenai nasabah penyimpan tersebut dalam kedudukannya sebagai nasabah debitur bukan merupakan hal yang wajib dirahasiakan oleh bank. Sehingga apabila nasabah penyimpan kebetulan juga sebagai nasabah debitur seperti nama dan alamat serta jumlah pinjamannya, jaminan pinjaman yang diserahkan kepada bank, sejak kapan pinjaman diberikan, lancer/macet pinjamannya, bukan merupakan informasi (keterangan) yang berwajib dirahasiakan bank.

Karenanya tidak heran setelah Undang-undang No. 10 Tahun 1998 diundangkan pada tanggal 10 November 1998, maka 3 minggu kemudian (01 Desember 1998) Komisi VIII DPR-RI langsung mendesak Bank Indonesia untuk menyerahkan nama 50 (lima puluh) debitur Bank Nasional.6

Begitupun akhir-akhir ini di beberapa media massa ada di muat iklan pengumuman dari BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) maupun bank-bank tentang nama-nama debitur macet yang jumlahnya sampai ribuan. Iklan pengumuman semacam itu tentu saja akan membawa dampak negative bagi kelangsungan hidup perusahaan yang diumumkan namanya itu. Sebab sudah terbukti ada beberapa perusahaan atau pemilik/pemegang saham mayoritas perusahaan tersebut mengeluh karena tidak diperbolehkan membuka rekening di beberapa bank asing.

(14)

Sebagaimana diketahui, suatu perusahaan berskala besar tidak mungkin dapat beroperasi tanpa di bantu dengan kredit. Kiranya tidak ada perusahaan berskala besar yang hanya memakai modal sendiri dari pemiliknya untuk menjalankan usahanya. Karena itu, hampir semua perusahaan beroperasi dengan modal kerja sebagaian besar dari dana pinjaman/kredit. Apabila kemudian nama-nama perusahaan tersebut yang telah memperoleh kredit diumumkan kepada masyarakat, dikhawatirkan nantinya perusahaan tersebut akan sulit untuk melanjutkan usahanya karena semua hutangnya akan ditagih dan perusahaan itu tidak lagi dapat membeli bahan-bahan secara kredit melainkan harus tunai.

Dengan demikian, bukankah keadaan ini akan menyulitkan para pengusaha untuk bertahan, belum lagi pengumuman semacam itu dimanfaatkan oleh lawan-lawan dagangnya untuk menjatuhkan usahanya. Singkatnya, pengumuman nama-nama debitur lebih banyak memiliki segi negatifmya dari pada sisi positifnya. Sehingga dikhawatirkan ,perusahaan-perusahaan besar nantinya akan mengusahakan kredit dari bank-bank di luar negeri untuk menghindarkan diumumkannya nama perusahaan yang bersangkutan. Kalau hal ini sampai terjadi, maka yang rugi adalah perbankan nasional kita sendiri.

C. Penerapan Peraturan Rahasia Bank

Undang-undang tidak membatasi bahwa yang merupakan pihak yang merasa dirugikan hanyalah pihak nasabah saja. Dengan demikian siapapun juga, baik nasabah itu sendiri maupun pihak lain, bila merasa dirugikan oleh pemberian keterangan bank bersangkutan dapat meminta pembetulan yang di maksud.

(15)

Dalam hal bank tersebut tidak bersedia melakukan pembetulan yang mana di minta oleh pihak yang dirugikan maka pihak yang dirugikan itu bukan saja dapat menggugat bank melalui pengadilan perdata, tetapi dapat pula megadukan halnya kepada pihak kepolisian/kejaksaan berdasarkan bank tersebut telah melakukan tindak pidana yang ditentukan oleh Pasal 49 ayat (2) huruf b dari Undang-undang No.10 Tahun 1998. Bunyi lengkap pada Pasal 49 ayat (2) huruf b adalah sebagai berikut :

Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang lainnya yang berlaku bagi bank, di ancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah).

Sanksi pidana penjara dan denda menurut Pasal 49 ayat (2) huruf b tersebut bersifat kumulatif dan bukan alternatif. Artinya, hakim tidak dapat menjatuhkan salah satu dari bentuk sanksi pidana itu, tetapi harus kedua-duanya. Demikian pula terpidana tidak dapat memilih salah satu jenis pidana tersebut.

Perbuatan melanggar rahasia bank yang dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris, Direksi, Pegawai Bank atau Pihak Terafiliasi lainnya adalah tindak pidana kejahatan yang di ancam dengan pihak penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah), demikian ditentukan oleh Pasal 47 jo Pasal 51 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Kedua sanksi pidana tersebut, yakni sanksi pidana penjara dan denda dijatuhkan secara komulatif dan bukan secara alternatif.

(16)

Secara eksplisit ada dua jenis tindak pidana yang ditentukan oleh Pasal 47 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang berkaitan dengan rahasia bank. Yang pertama ialah tindakan pidana yang dilakukan oleh mereka yang tanpa membawa perintah atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia dengan sengaja memaksa bank atau pihak yang terafiliasi untuk memberikan keterangan yang harus dirahasiakan oleh Bank. Hal itu ditentukan oleh Pasal 47 ayat (1). Sedang tindak pidana yang ke dua ialah tindak oidana yang dilakukan oleh pihak terafiliasi yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh bank. Tindak pidana tersebut ditentukan oleh Pasal 47 ayat (2).

Untuk lebih jelasnya, bunyi Pasal 47 ayat (1) dan (2) tersebut adalah sebagai berikut :

(1) Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana di maksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A dan Pasal 42 dengan sengaja bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana di maksud dalam Pasal 40, di ancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,- (aepuluh milyar rupiah dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,- (dua ratus milyar rupiah).

(2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, Pegawai Bank atau Pihak Terafiliasi lainnya dengan sengajamemberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, di ancam dengan pidana sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.

(17)

4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah).

Pasal 47 ayat (1) merupakan tindak pidana formal, maka pihak yang memaksa tersebut tetap saja dapat di tuntut dan dikenai pidana sekalipun tidak sampai berhasil membuat pihak bank dan pihak terafiliasi memberikan keterangan yang dimintainya.

Telah dipermasalahkan oleh masyarakat mengenai hal-hal sebagai berikut: a. Apakah mereka yang memperoleh keterangan dari bank mengenai keadaan

keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank tersebut berdasarkan surat perintah atau izin Pimpinan Bank Indonesia boleh lebih lanjut memberikan keterangan itu kepada pihak lain.

b. Apakah mereka yang memperoleh keterangan dari bank yang dilakukan oleh bank tidak dalam rangka pengecualian yang ditentukan oleh Pasal 41, Pasal 41 A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44 A (menggunakan bocoran rahasia bank) dapat di pidana.

c. Apakah dasar hukum kepidanaan bagi mereka yang termasuk dalam huruf (b) tersebut di atas.

Mengenai mereka yang termasuk huruf (a) di atas tidak di atur oleh Undang-undang No. 10 Tahun 1998. Artinya Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tidak menentukan sebagai hal yang di larang, tetapi juga tidak menentukan sebagai yang diperbolehkan. Penggunaan keterangan yang di peroleh dalam rangka pengecualian itu hanya terbatas kepada tujuandiperbolehnya keterangan itu. Misalnya pihak kejaksaan yang memperoleh keterangan itu terbatas kepada

(18)

kepada nasabah yang bersangkutan. Misalnya, bank yang memperoleh keterangan dari bank lain dalam rangka informasi antar bank hanya boleh menggunakan keterangan yang diperolehnya itu terbatas dalam rangka bank tersebut mempertimbangkan permohonan kredit yang di minta nasabah tersebut.

Yang termasuk dalam huruf (b) tersebut di atas mungkin masih dapat diperdebatkan dengan keras mengenai dapat tidaknya mereka itu di tuntut, karena telah melakukan tindak pidana dan masih pula dapat diperdebatkan dengan keras mengenai macam tindak pidana apa yang telah dilakukan mereka itu. Namun bila nasabah berpendapat telah dirugikan sebagai akibat dari penggunaan keterangan yang menyangkut keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bersangkutan oleh mereka yang memperoleh keterangan itu dari pihak bank yang membocorkannya secara bertentangan dengan rahasia bank, maka nasabah tersebut dapat mengajukan ganti kerugian kepada mereka berdasarkan perbuatan melawan hukum sebagaimana di atur oleh Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.7

D. Pembocoran Rahasia Bank

Dalam aktivitasnya, lembaga keuangan tidak hanya menjalankan kegiatan menarik dan menyalurkan kembali dana dari dan kepada masyarakat, tetapi lebih jauh menawarkan jasa-jasa usaha yang boleh dilakukan. Lembaga keuangan misalnya bank menurut ketentuan Pasal 6 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992

7

(19)

sebagaimana telah di ubah dengan undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dapat menjalankan fungsi antara lain :

1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam sbentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;

2. Memberikan kredit;

3. Menerbitkan surat pengakuan hutang;

4. Membeli dan menjual atau menjammin atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya;

a. Surat-surat wesel termasuk wesel diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama dari pada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;

b. Surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat di maksud; c. Kertas Sertifikat Bank Indonesia (SBI);

d. Perbendaharaan Negara dan surat jaminan pemerintah; e. Obligasi;

f. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;

g. Instrument surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;

5. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah;

(20)

6. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari atau meminjamkan dana kepada bank lain bain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel tunjuk, cek dan sarana lainnya;

7. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antara pihak ketiga;

8. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;

9. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak;

10. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;

11. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank dengan ketentuan agunan yang di beli tersebut wajib dicairkan secepatnya;

12. Melakukan kegiatan anjak piutang usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat;

13. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah;

14. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mengingat demikian pentingnya peranan bank, maka pengaturan gerak pelaksanaan bank harus pula diiringi sesuai dengan perannya yang strategis tersebut. Aktivitas bank yang berkaitan dengan menghimpun dan menyalurkan

(21)

dana masyarakat secara efektif dan efesien agar mencapai sasaran yang optiman, maka harus pula diiringi dengan pembinaan dan pengawasan yang efektif dan optimal pula.

Sasaran yang hendak di capai dari upaya pembinaan dan pengawasan tersebut adalah agar perbankan mampu berfungsi secara efisien, sehat, wajar dan mampu menghadapi persaingan yang bersifat global, mampu melindungi secara baik dana yang dititipkan masyarakat kepadanya, serta mampu menyalurkan dana tersebut ke bidang-bidang yang produktif bagi pencapaian sarana pembangunan.

Oleh karena itu dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dalam Pasal 2 ditetapkan salah satu azas dari system perbankan di Indonesia adalah azas demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Persyaratan bank yang sehat dan mampu melindungi dana yang dititipkan masyarakat kepadanya merupakan hal yang sangat diperlukan guna menumbuhkan kepercayaan terhadap dunia perbankan. Untuk itu prinsip kehati-hatian dalam mengelola dana haruslah dijadikan sebagai way of thinking oleh para bankir. Ini berarti pula prinsip kehati-hatian harus di anut secara pro aktif. Kegagalan penyelenggaraan usaha-usaha perbankan lebih banyak terjadi oleh karena kurang kehati-hatian pihak bank dalam mengelola dana masyarakat.

Hal ini pada gilirannya akan menyebabkan bank berada dalam posisi sulit dan membahayakan. Jika ini terjadi maka Bank Indonesia sebagai bank Sentral akan mengambil kebijakan guna menyelamatkan posisi bank itu.

(22)

Pasal 37 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 menyebutkan :

(1) Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan usahanya, Bank Indonesia dapat melakukan usaha agar :

a. Pemegang saham menambah modal;

b. Pemegang saham mengganti Dewan Komisaris dan atau Direksi Bank; c. Bank menghapus bukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip

syari’ah yang macet, dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;

d. Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;

e. Bank di jual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;

f. Bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank terhadap pihak lain;

g. Bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain.

(2) Apabila :

a. Tindakan sebagaimana di maksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank atau;

b. Menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan keadaan suatu perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut ijin usaha bank dan memerintahkan direksi bank untuk segera

(23)

menyelenggarakan Rapat umum Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi.

(3) Dalam hal direksi bank tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana di maksud dalam ayat (2), Pimpinan bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 37 A

(1) Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan perbaikan yang membahayakan perekonomian nasional atas permintaan bank Indonesia, pemerintah setelah berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan perbankan.

(2) Badan khusus sebagaimana di maksud dalam ayat (1) melakukan program penyehatan terhadap bank-bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh bank Indonesia kepada badan di maksud.

(3) Dalam melaksanakan program penyehatan terhadap bank-bank, bandan khusus sebagimana di maksud dalam ayat (1) mempunyai wewenang sebagaimana di maksud dalam Pasal 37 ayat (1) serta wewenang lain , yaitu : a. Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang

(24)

b. Mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang Direksi dan Komisaris Bank;

c. Menguasai, mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan atas kekayaan milik atau yang menjadi hak bank, termasuk kekayaan bank yang berada pada pihak manapun, baik di dalam maupun di luar negeri; d. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri dan atau mengubah kontrak

yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut pertimbangan badan khusus merugikan bank;

e. Menjual atau mengalihkan kekayaan bank, Direksi, Komisaris dan Pemegang Saham tertentu di dalam negeri, baik secara langsung maupun melalui penawaran umum;

f. Menjual atau mengalihkan tagihan bank dan atau menyerahkan pengelolaan nya kepada pihak lain, tanpa memerlukan persetujuan nasabah debitur;

g. Mengalihkan pengelolaan kekayaan dan atau manajemen bank kepada pihak lain;

h. Melakukan penyertaan modal sementara pada bank, secara langsung atau melalui pengonversian tagihan badan khusus menjadi penyertaan modal pada bank;

i. Melakukan penagihan piutang bank yang sudah pasti dengan penerbitan surat paksa;

(25)

j. Melakukan pengosongan atas tanah dan atau bangunan milik atau yang menjadi hak bank yang dikuasai oleh pihak lain, baik sendiri maupun dengan bantuan alat Negara penegak hukum yang berwenang;

k. Melakukan penelitian dan pemeriksaan untuk memperoleh segala keterangan yang diperlukan dari dan mengenai bank dalam program penyehatan dan pihak manapun yang terlibat atau patut di duga terlibat, atau mengetahui kegiatan yang merugikan bank dalam program penyehatan tersebut;

l. Menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami bank dalam program penyehatan dan membebankan kerugian tersebut kepada modal bank yang bersangkutan dan bila mana kerugian tersebut terjadi karena kesalahan bank atau kelalaian Direksi, Komisaris dan atau Pemegang Saham, maka kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang bersangkutan;

m. Menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib di setor oleh pemegang saham bank dalam program penyehatan;

n. Melakukan tindakan lai yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan sebagaimana di maksud dalam huruf a sampai dengan huruf

(4) Tindakan peneyehatan perbankan oleh badan khusus sebagaimana di maksud dalam ayat (3) adalah sah berdasarkan undang-undang ini.

(5) Atas permintaaan badan khusus sebagaiman di maksud dalam ayat (1), bank dalam program penyehatan wajib memberikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya termasuk memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas yang ada padanya dan wajib memberikan

(26)

bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh keterangan, dokumen dan penjelasan yang diperoleh bank di maksud,

(6) Pihak-pihak sebgaimana di maksud dalam ayat (3) huruf k wajib memberikan keterangan dan penjelasan yang di minta oleh bank khusus.

(7) Badan khusus sebagaimana di maksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan laporan kegiatan kepada Menteri keuangan.

(8) Apabila menurut penilaian pemerintah, badan khusus telah menyelesaikan tugasnya, pemerintah menyatakan berakhirnya badan khusus tersebut.

(9) Ketentuan yang diperlukan bagi pelaksanaan Pasal ini di atur lebh lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 37 B

(1) Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang di simpan pada bank yang bersangkutan.

(2) Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana di maksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.

(3) Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berbentuk badan hukum Indonesia.

Ketentuan mengenai penjamin dana masyarakat dan Lembaga Penjamin Simpanan, di atur lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Langkah-langkah atau kebijakan sebgaimana ditetapkan dalam Pasal 37 Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah di ubah dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tersebut sebenarnya di maksudkan adalah untuk menyelamatkan bank yang bersangkutan sekaligus melindungi hak-hak atau

(27)

kepentingan-kepentingan nasabah yang terkait dengan aktivitas bank tersebut. Bank perlu diselamatkan, nasabah pun perlu dilindungi. Bagi bank hal ini menyangkut kelangsungan usahanya, sedangkan bagi nasabah, hal ini menyangkut pula tentang hak (privat) yang berhubungan dengan harta kekayaannya. Lebih jauh lagi upaya yang demikian itu dimaksudkan pula untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan.

Namun sehubungan dengan perkembangan keadaan politik di dalam negeri, keadaan sosial, terutama yang menyangkut timbulnya kejahatan-kejahatan dalam bidang money laundering dan kebutuhan akan adanya stabilitas ekonomi, terutama stabilitas moneter, telah menimbulkan kebutuhan akan perlunya peraturan terhadap kewajiban rahasia bank yang mutlak itu. Artinya, apabila kepentingan Negara, bangsa dan msyarakat umum harus didahulukan dari pada kepentingan nasabah secara pribadi maka kewajiban bank untuk melindungi kepentingan nasabah secara individual itu (dalam arti tidak boleh mengungkapkan keadaan keuangan nasabah) harus dapat dikesampingkan. Contoh konkrit mengenai hal ini adalah berkaitan dengan kepentingan Negara untuk mengitung, memungut pajak nasabah yang besangkutan, penindakan korupsi dan pemberantasan money laundering.

Merupakan hal yang kontradiktif bahwa ada hal-hal tertentu, justru demi kepentingan tertentu, justru demi kepentingan negara, bangsa dan masyarakat umum, kewajiban rahasia bank malah diperketat. kepentingan bangsa dan masyarakat umum, kewajiban rahasia bank malah diperketat. Kepentingan nnegara yang dimaksud adalah pengerahan dana perbankan untuk keperluan

(28)

pembangunan. Kepentingan Negara, bangsa dan masyarakat umum itu dilandasi oleh alasan bahwa di junjung tingginya dan di pegang teguhnya kewajiban rahasia bank merupakan faktor terpenting bagi kerahasiaan bank dalam upaya bank itu mengerahkan tabungan masyarakat dan terganggunya stabilitas moneter yang antara lain dapat diakibatkan oleh runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan karena terlalu longgarnya rahasia bank. Dalam kaitan itu, undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank harus tidak secara mudah memberikan ketentuan yang memungkinkan kewajiban rahasia bank secara mudah dapat dikesampingkan dengan dalih karena kepentingan umum menghendaki demikian.

Dari uraian tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa kewajiban rahasia bank yang harus di pegang teguh oleh bank adalah bukan semata-mata bagi kepentingan nasabah sendiri, tetapi juga bagi bank yang bersangkutan dan bagi kepentingan masyarakat umum send, tetapi juga bagi bank yang bersangkutan dan bagi kepentingan masyarakat umum sendiri.

E. Pengecualian Rahasia Bank

Sebagaimana diketahui, bahwa di satu pihak kepentingan masyarakat menghendaki supaya kewajiban rahasia bank di pegang teguh oleh perbankan, namun di pihak lain jangan sampai untuk hal-hal tertentu kepentingan masyarakat tersisihkan justru apabila kewajiban rahasia bank itu dilaksanakan dengan teguh, Untuk keperluan itu, masyarakat mengizinkan agar untuk hal-hal tertentu kewajiban rahasia bank itu hendaknya dapat dikecualikan.

(29)

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 memberikan pengecualian dalam 6 (enam) hal. Pengecualian tersebut bersifat limitatif, artinya di luar 6 (enam) hal yang telah dikecualikan itu tidak terdapat pengecualian yang lain.

Pengecualian itu adalah :

a. Untuk kepentingan perpajakan dapat diberikan pengecualian kepada pejabat pajak berdasarkan perintah pimpinan bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan (Pasal 41).

b. Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/ Panitia Urusan Piutang Negara dapat diberikan pengecualian kepada Pejabat Badan urusan Piutang dan Lelang Negara/ Panitia Urusan Piutang Negara atas izin Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 41 A).

c. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana dapat diberikan pengecualian kepada polisi, jaksa atau hakim atas izin Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 42).

d. Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 43).

e. Dalam rangka tukar-menukar informasi diantara bank kepada bank lain dapat diberikan pengecualian tanpa harus memproleh izin dari Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 44).

(30)

f. Atas persetujuan, permintaan atau kuasa dari nasabah penyimpan secara tertulis dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 44 A).

Sehubungan dengan pengecualian yang bersifat limitatif itu apabila pihak-pihak lain (selain yang telah ditentukan sebagai pihak-pihak-pihak-pihak yang boleh memperoleh pengecualian) meminta penjelasan mengenai keadaan keuangan suatu nasabah dalam suatu bank, jelas adalah jawabannya tidak boleh. Misalnya saja apabila Dewan Perwakilan Rakyat (yang nota bene adalah lembaga tinggi negara yang mewakili rakyat untuk kepentingan umum, dengan demikian segala tindakannya tentu dilandasi oleh kepentingan umum), menghendaki agar bank dalam suatu sidang dengar pendapat mengungkapkan tentang nasabah penyimpan atau simpananya, maka bank tidak boleh memberikan keterangan itu.

Sebagaimana ditentukan oleh Pasal 43 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 bahwa dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, direksi bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan yang relevan dalam perkara tersebut. Namun di dalam praktek sering bank dihadapkan kepada keadaan yang bagi bank tidak jelas pengaturannya apakah untuk menghadapi keadaan keungan nasabah. Misalnya kasus pertama adalah kasus gugatan dimana pihak ketiga menggugat nasabah sebagai Tergugat II. Kasus kedua adalah pihak ketiga yang bukan nasabah yang bersengketa dengan nasabah dan telah menggugat nasabah. Untuk jaminan bagi gugatannya itu, pihak ketiga telah mengajukan permohonan sita jaminan kepada pengadilan atas simpanan nasabah (misalnya berupa giro,

(31)

deposito atau tabungan) di bank tersebut. Atas permohonan tersebut, pengadilan telah mengabulkandan melalui juru sita, pengadilan memerintahkan kepada bank untuk memblokir dana nasabah tersebut sebagai jaminan.

Undang-undang menentukan bahwa bank dapat mengungkapkan keadaan keuangan dalam hal bersengketa dalam perkara perdata degan nasabah. Tetapi dalam sebuah kasus tersebut bank bukan menghadapi nasabah sebagai lawan, tetapi menghadapim pihak ketiga yang bukan nasabah. Dalam kasus yang pertama,apakah bank (Tergugat II) harus meminta izin dari Pimpinan Bank Indonesia apabila untuk membela diri dalam rangka gugatan pihak ketiga yang bukan nasabah itu harus terpaksa mengungkapkan data mengenai dana simpanan nasabah (Tergugat I).

Undang-undang tidak memberikan aturan sama sekali mengenai kemungkinan bagi bank untuk dapat mengungkapkan data keuangan nasabah sekalipun dengan cara meminta izin dari Pimpinan Bank Indonesia. Dalam hal ini, jalan satu-satunya yang dapat di tempuh oleh bank adalah meminta persetujuan dari nasabah. Akan timbul masalah apabila nasabah tiddak memberikan persetujuan bagi bank untuk mengungkapkan keadaan dana simpanannya itu justru akan memperlemah posisi hukum nasabah atau upaya pembelaannya.

Apabila bank didatangi oleh juru sita dalam rangka pelaksanaan peletakan sita jaminan sebagaimana pada kasus kedua tersebut di atas, bank juga tidak dimungkinkan oleh undang-undang untuk mengungkapkan ada atau tidak adanya dana nasabah di bank tersebut. Apabila permintaan sita jaminan itu harus dipenuhi oleh bank dengan cara memblokir dana simpanan nasabah itu, maka bank

(32)

melanggar ketentuan rahasia bank. Dalam hal ini jalan yang dapat di tempuh oleh bank adalah meminta persetujuan nasbah, Tetapi seperti apa kasus yang pertama, belum tentu nasabah memberikan persetujuannya.

Hal tersebut ternyata tidak ditentukan oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 sebagai hal yang dikecualikan. Dengan demikian menjadi pertanyaan, apakah bank boleh mengungkapkan identitas nasabah dan simpanannya apabila untuk kepentingan bank hal yang demikian itu perlu dilakukan. Oleh karena hal itu tidak dikecualikan sebagai yang diperbolehkan, maka bank selalu mengahadapi kesulitan apabila menghadapi hal yang demikian.

Selanjutnya sebagaimana diketahui bahwa badan Pemeriksa keuangan (BPK) adalah external auditor dari bank-bank BUMN. Apabila BPK dalam rangka melakukan audit pada bank-bank BUMN bermaksud untuk melakukan pemeriksaan yang menyangkut keadaan keuangan nasabah (termasuk nasabah debitur), apakah Bank BUMN yang bersangkutan harus mengizinkannya tanpa di anggap melanggar rahasia bank ?

BPK tidak berwenang karena BPK bukan merupakan pihak yang terhadapnya ketentuan rahasia bank dikecualikan. Hal tersebut mengingat alas an-alasan sebagai berikut :

1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, bahwa dalam pelaksanaan tugasnya, pada dasarnya BPK memang berwenang meminta keterangan yang wajib diberikan oleh setiap orang, badan/instansi pemerintah atau badan swasta, namun sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang.

(33)

2. Pemeriksaan oleh BPK terhadap suatu bank BUMN tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 40 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang menentukan bahwa bank dilarang untuk memberikan keterangan tentang nasabah penyimpan dan simpanannya.

3. Karena pelaksanaan audit oleh BPK terhadap suatu bank BUMN tidak boleh bertentangan dengan undang-undang sebagaimana ditentukan Pasal 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1973 tentang BPK, dengan demikian tidak boleh pula bertentangan dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, maka BPK tidak berwenang untuk memeriksa berkas nasabah, atau untuk meminta bank menyampaikan informasi mengenai simpanan para nasabahnya secara individual.

Hal ini juga sebagaimana ditegaskian dalam Surat Bank Indonesia No. 26/531/UHS/HKM tanggal 31 Maret 1994 kepada Direksi PT, Bank Negara Indonesia (Persero) perihal “Pemeriksaan Data Keuangan Nasabah oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)”.8

Rumusan rahasia bank sebagaimana menurut Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun1992 dan pengecualian - pengecualiannya telah menimbulakan ketidakpastian, apakah persetujuan nasabah dapat mengecualikan ketentuan rahasia bank. Mengingat delik rahasia bank dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 itu bukan merupakan delik aduan, maka adanya persetujuan nasabah yang bersangkutan tidak dapat membebaskan bank dari kewajibannya

(34)

untuk merahasiakan.9

Dengan kata lain, menurut ketentuan hukum Inggris, rahasia bank tidak berlaku apabila pengungkapannya oleh bank disetujui oleh nasabah. Dalam pengecualian terhadap kewajiban rahasia bank yang ditentukan oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tidak termasuk adanya persetujuan nasabah. Dengan demikian apakah berarti sekalipun telah ada persetujuan nasabah, bahkan dalam Dengan kata lain, sekalipun nasabah telah memberikan persetujuannya kepada bank untuk dapat mengungkapkan keadaan keuangannya, tetap saja bank di anggap telah melakukan pelanggaran rahasia bank dan karena itu terancam dikenai pidana. Penjelasan di bawah ini akan dapat lebih memperjelas permasalahannya.

Dalam pengecualian-pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank yang ditentukan oleh Undang-Undang No.7 tahun 1992 tidak disebutkan secara eksplisit bahwa rahasia bank tidak berlaku bila ada persetujuan nasabah kepada bank untuk mengungkapkannya. Sehubungan dengan itu, timbul pertanyaan, apakah sekalipun telah ada persetujuan dari nasabah, bank tetap tidak dapat terlepas dari kewajiban untuk merahasiakan keadaan keuangan nasabah yang telah memberikan persetujuan itu ? pertanyyan tersebut merupakan salah satu legal issue penting yang menyangkut ketentuan kerahasiaan Bank Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Tidak demikian halnya dengan ketentuan rahasia bank menurut hukum Inggris dan hukum dari Negara-negara yang menetapkan ketentuan rahasia bank sebagai kewajiban perdata atau kewajiban kontraktual.

(35)

hal-hal tertentu justru di minta oleh nasabah sendiri agar bank mengungkapkan kepada pihak lain mengenai keadaan keuangannya di bank itu, bank tetap terikat pada kewajiban rahasia bank tersebut ?

Menurut Sutan Remy Sjahdeini : bila telah ada persetujuan nasabah, maka bank tidak lagi terikat pada kewajiban merahasiakan itu,. Alasannya karena mengungkapkan keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabahnya oleh bank itu, dilakukan berdasarkan persetujuan nasabah, lebih-lebih lagi bila justru dalam rangka memenuhi permintaan nasabah.10

a. Sehubungan dengan permintaan nasabah untuk memperoleh kredit dari bank lain demi bank lain itu mengetahui credit worthiness dari nasabah.

Menurut kelaziman dalam dunia perbankan, adanya persetujuan nasabah untuk mengungkapkan keadaan keuangan tidak termasuk yang diwajibkan untuk dirahasiakan oleh bank. Hal itu misalnya berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:

b. Dalam rangka nasabah dapat memperoleh fasilitas dari perusahaan atau instansi tertentu (misalnya untuk memenangkan proyek) yang untuk itu perlu kredit worthiness atau bonafiditas keuangan nasabah yang besangkutan diungkapkan oleh banknya kepada bank lain atau kepada perusahaan atau instansi lain yang diinginkan oleh nasabah fasilitasnya dapat diperoleh.

c. Dalam hal nasabah menunjuk seorang funds manager untuk mengurus keuangan nasabah.

d. Apabila nasabah menginginkan istri atau anak-anaknya perlu mengetahui keadaan keuangannya agar keluarga itu jangan sampai tidak mengetahui

(36)

bahwa nasabah mempunyai simpanan di bank apabila terjadi kematian mendadak atas dirinya.

e. Apabila nasabah memperoleh kredit sindikasi dari banyak bank yang menurut ketentuan, justru perolehan kredit sindikasi itu harus diumukan (mendapat publisitas). Publisitas mengenai perolehan kredit sindikasi tersebut bukan saja untuk kepentingan bank-bank peserta sindikasi, tetapi juga diinginkan oleh nasabah demi publisitas bonafiditasnya sehubungan dengan kemampuan nasabah tersebut untuk memperoleh kepercayaan dari bank-bank para peserta sindikasi, lebih-lebih lagi apabila bank-bank peserta sindikasi itu merupakan bank-bank besar dan terkemuka.

Tetapi selalu mendapat keragu-raguan bagi bank untuk mengungkapkan keadaan keuangan suatu bank kepada pihak lain sekalipun telah ada persetujuan dari nasabah. Ketentuan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tidak secara tegas mmemberikan kepastian,apakah adanya persetujuan nasabah menghapuskannya kewajiban bank untuk tetap merahasiakan sebagaimana ditentukan menurut ketentuan rahasia bank.

Sehubungan dengan permasalahan tersebut maka pembuat undang-undang menganggap perlu untuk mencamtumkan ketentuan baru dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1988 yaitu Pasal 44A yang mencamtumkan bahwa adanya persetujuan nasabah membebaskan bank dari kewajiban untuk merahasiakan. Bukan saja persetujuan nasabah, tetapi permintaan nasabah atau pemberian kuasa dari nasabah akan membebaskan bank dari kewajiban untuk merahasiakan.

(37)

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pengecualian atas berlakunya kewajiban rahasia bank ditentukan oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 hanya untuk 6 (enam) hal limitative (termasuk kepada Bank Indonesia).Namun sesuai dengan azas hukum,tidaklah berarti bahwa jumlah pengecualian itu tidak dapat di tambah. Hanya saja penambahan pengecualian itu harus ditentukan dengan undang-undang pula. Bukanlah mustahil bahwa untuk keperluan-keperluan lain di luar ke enam hal yang telah ditentukan oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 akan terdapat pula keperluan-keperluan lain yang menghendaki dapat diungkapkannya materi dari rahasia bank. Misalnya saja, dalam rangka bank melakukan IPIO (Initial Publik Offering) di pasar modal, BAPEPAM menunjuk/menugasi suatu akuntan publik untuk memeriksa ulang kebenaran keadaan keuangan calon emitten, termasuk keuangan calon emitten di bank-banknya.

Referensi

Dokumen terkait

Analisis spasial wilayah potensial PKL menghasilkan peta tingkat wilayah potensial yang tersebar sepanjang Jalan Dr.Radjiman berdasarkan aksesibilitas lokasi dan

Penelitian umumnya mencakup dua tahap, yaitu penemuan masalah dan pemecahan masalah. Penemuan masalah dalam penelitian meliputi identifikasi bidang masalah, penentuan

Pada penelitian ini hasil dari karakterisasi morfologi dengan menggunakan alat SEM akan dibandingkan dan dianalisis citra dari gambar morfologi yang dihasilkan

Perlu diingat bahwa unsur-unsur tubuh sedimen dasar yang ada dalam sistem ini sama dengan unsur-unsur tubuh sedimen yang ada di muara sungai

Salah satu varietas unggul kencur dengan ukuran rimpang besar adalah varietas unggul asal Bogor (Galesia-1) yang mempunyai ciri sangat spesifik dan berbeda dengan klon

Surat Izin Praktik selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis yang diberikan kepada tenaga medis yang menjalankan praktik setelah memenuhi persyaratan sebagai pengakuan

Objek sasaran dari Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKM-M) ini adalah masyarakat desa Cindaga khususnya siswa SD N 3 Cindaga. SD N 3 Cindaga merupakan

pada mahasiswa FKIP Universitas Lampung angkatan 2014 yang berasal dari. luar Propinsi Lampung dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu: