8
2.1. Konsep Pelayanan Publik 2.1.1. Pengertian Pelayanan Publik
Menurut Ivancevich dkk dalam Mukarom dan Laksana (2015:80) bahwa “Pelayanan adalah produk yang tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang melibatkan usaha-usaha manusia dan menggunakan peralatan”.
Menurut Kurniawan dalam Sinambela dkk (2014:5), “Pelayanan publik diartikan sebagai pemberi pelayanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditetapkan”.
Menurut Sinambela dkk (2014:128) menyatakan bahwa, “Pelayanan Publik adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik”.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dalam Basuki (2013:150) mendefinisikan bahwa:
Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Pelayanan publik menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan No.81 Tahun 1993 yang disempurnakan dengan Keputusan Menteri Pendayagunaan No.63 Tahun 2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan dalam
Mukarom dan Laksana (2015:81) adalah “Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dan di lingkungan BUMN atau BUMD dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
2.1.2. Prinsip-Prinsip Pelayanan Publik
Menurut keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 tahun 2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan dalam Mukarom dan Laksana (2015:84) bahwa, “Pelayanan umum dilaksanakan dalam suatu kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, jelas dan pasti, aman, terbuka, efisien, ekonomis, keadilan, pemerataan dan tepat waktu”.
Sesuai dengan Kep. MENPAN No. 63 Tahun 2003 dalam Mukarom dan Laksana (2015:84), prinsip penyelenggaraan pelayanan adalah sebagai berikut: 1. Kesederhanaan 2. Kejelasan 3. Kepastian waktu 4. Akurasi 5. Keamanan 6. Tanggungjawab
7. Kelengkapan sarana dan prasarana 8. Kemudahan akses
9. Kedisiplinan
2.1.3. Standar Pelayanan Publik
Menurut Mukarom dan Laksana (2015:85), standar pelayanan publik merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan, sekurang-kurangnya meliputi hal-hal berikut:
1. Prosedur pelayanan; dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan.
2. Waktu penyelesaian; ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan, termasuk pengaduan.
3. Biaya pelayanan; termasuk perincian tarif yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan
4. Sarana dan prasarana; penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penyelenggara pelayanan publik.
5. Kompetensi petugas pemberi pelayanan; harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap dan perilaku yang diperlukan.
2.1.4. Tujuan Pelayanan Publik
Tujuan pelayanan publik pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik dalam Mukarom dan Laksana (2015:133) adalah: 1. Terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik;
2. Terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan koorporasi yang baik;
3. Terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
4. Terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
2.1.5. Asas-asas Pelayanan Publik
Menurut Ratminto dalam Mukarom dan Laksana (2015:109), ada beberapa asas dalam penyelenggaraan pelayanan pemerintahan dan perizinan yang harus diperhatikan:
1. Empati dengan masyarakat. Pegawai yang melayani urusan perizinan dari instansi penyelenggara jasa perizinan harus dapat berempati dengan masyarakat pengguna jasa pelayanan.
2. Pembatasan prosedur. Prosedur dirancang sependek mungkin agar konsep one stop service benar-benar diterapkan.
3. Kejelasan tata cara pelayanan. Tata cara pelayanan harus didesain sesederhana mungkin dan dikomunikasikan kepada masyarakat pengguna jasa pelayanan.
4. Minimalisasi persyaratan pelayanan. Persyaratan dalam mengurus pelayanaan harus dibatasi sesedikit mungkin dan sebanyak yang benar-benar diperlukan. 5. Kejelasan kewenangan. Kewenangan pegawai yang melayani masyarakat
bagan tugas dan distribusi kewenangan. Dengan demikian, tidak ada duplikasi tugas dan kekosongan tugas.
6. Transparansi biaya. Biaya pelayanan harus ditetapkan seminimal mungkin dan setransparan mungkin.
7. Kepastian jadwal dan durasi pelayanan. Jadwal dan durasi pelayanan juga harus pasti sehingga masyarakat memilih gambaran yang jelas dan tidak resah.
8. Minimalisasi formulir. Formulir-formulir harus dirancang secara efisien sehingga akan dihasilkan formulir komposit (satu formulir yang dapat dipakai untuk berbagai keperluan).
9. Maksimalisasi masa berlakunya izin. Untuk menghindarkan terlalu seringnya masyarakat mengurus izin, masa berlakunya izin harus ditetapkan selama mungkin.
10. Kejelasan hak dan kewajiban provider dan masyarakat. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban, baik bagi provider maupun bagi masyarakat harus dirumuskan secara jelas dan dilengkapi dengan sanksi serta ketentuan ganti rugi.
11. Efektivitas penanganan keluhan. Pelayanan yang baik sedapat mungkin harus menghindarkan terjadinya keluhan. Jika muncul keluhan, harus dirancang suatu mekanisme yang dapat memastikan bahwa keluhan tersebut akan ditangani secara efektif sehingga pemasalahan yang ada dapat segera diselesaikan dengan baik.
2.2. Perizinan
2.2.1. Pengertian Perizinan
Menurut Sutedi (2011:167), “Izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan Undang-Undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan”.
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, “Izin adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan warga masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Menurut Ridwan dan Sudrajat (2009:203), “Perizinan adalah wujud pelayanan publik yang sangat menonjol dalam tata pemerintahan”.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu mendefinisikan bahwa:
Perizinan merupakan salah satu bentuk pelaksanaan dari pengaturan yang bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, dan izin untuk melakukan suatu tindakan atau kegiatan usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan atau usaha.
Menurut Hadjon (2014:2), “Perizinan adalah pemberian legalitas kepada seseorang atau pelaku usaha atau kegiatan tertentu, baik dalam bentuk izin maupun tanda daftar usaha”.
Pada umumnya sistem izin terdiri dari tiga menurut Pudyatmoko (2009:17): 1. Larangan.
2. Persetujuan yang merupakan dasar kekecualian (izin). 3. Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan izin.
2.2.2 Tujuan Perizinan
Tujuan dari perizinan dapat dilihat dari dua sisi menurut Sutedi (2011:200), yaitu:
1. Dari sisi pemerintah
Melalui sisi pemerintah tujuan pemberian izin adalah :
a. Untuk melaksanakan peraturan apakah ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan tersebut sesuai dengan kenyataan dalam praktiknya atau tidak dan sekalipun untuk mengatur ketertiban.
b. Sebagai sumber pendapatan daerah. Dengan adanya permintaan permohonan izin, maka secara langsung pendapatan pemerintah akan bertambah karena setiap izin yang dikeluarkan pemohon harus membayar retribusi dahulu. Semakin banyak pula pendapatan di bidang retribusi tujuan akhirnya yaitu untuk membiayai pembangunan.
2. Dari sisi masyarakat
Adapun dari sisi masyarakat tujuan pemberian izin itu menurut Hadjon (2014:4) adalah sebagai berikut:
a. Untuk adanya kepastian hukum b. Untuk adanya kepastian hak
c. Untuk mendapatkan fasilitas setelah bangunan yang didirikan mempunyai izin
Perizinan dapat berbentuk tertulis maupun tidak tertulis, dimana di dalamnya harus termuat unsur-unsur menurut Sutedi (2011:201), antara lain:
1. Instrumen yuridis
Izin merupakan instrument yuridis dalam bentuk ketetapan yang bersifat konstitutif dan yang digunakan oleh pemerintah untuk menghadapi atau menetapkan peristiwa konkret, sebagai ketetapan izin itu dibuat dengan ketentuan dan persyaratan yang berlaku pada ketetapan pada umumnya. 2. Peraturan perundang-undangan
Pembuatan dan penerbitan ketetapan izin merupakan tindakan hukum pemerintah. Sebagai tindakan hukum maka harus ada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau harus berdasarkan pada asas legalitas. Tanpa dasar wewenang, tindakan hukum itu menjadi tidak sah. Oleh karena itu dalam hal membuat dan menerbitkan izin haruslah didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena tanpa adanya dasar wewenang, ketetapan izin tersebut menjadi tidak sah.
3. Organ pemerintah
Organ pemerintah adalah organ yang menjalankan urusan pemerintah baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah.
4. Peristiwa konkret
Izin merupakan instrument yuridis yang berbentuk ketetapan yang digunakan oleh pemerintah dalam menghadapi peristiwa kongkret dan individual. Peristiwa kongkret artinya peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu, orang tertentu, tempat tertentu dan fakta hukum tertentu.
5. Prosedur dan persyaratan
Pada umumnya permohonan izin harus menempuh prosedur tertentu yang ditentukan oleh pemerintah, selaku pemberi izin. Selain itu pemohon juga harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah atau pemberi izin. Prosedur dan persyaratan perizinan itu berbeda-beda tergantung jenis izin, tujuan izin, dan instansi pemberi izin.
2.3. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
Menurut Setianto (2008:79), “Setiap orang yang ingin mendirikan usaha perdagangan selalu mengantongi surat izin dari pemerintah”.
Menurut Permendag No. 36 Tahun 2007 Tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan Pasal 1 butir 4, “Surat Izin Usaha Perdagangan yang selanjutnya disebut SIUP adalah Surat Izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan”.
Sedangkan menurut Permendag No. 36 Tahun 2007 Pasal 1 butir 1, ”Perdagangan adalah kegiatan usaha transaksi barang atau jasa seperti jual beli, sewa beli, sewa menyewa yang dilakukan secara berkelanjutan dengan tujuan pengalihan hak atas barang atau jasa dengan disertai imbalan atau kompensasi”.
Berikut adalah batasan atau kriteria menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah:
a. Usaha Mikro
Usaha produktif milik orang atau perorangan dan atau badan usaha perorangan yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha untuk memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000
b. Usaha Kecil
Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000 sampai dengan paling banyak Rp500.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha untuk memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000.
c. Usaha Menengah
Usaha ekonomi produk yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000 sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000 sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000
2.4. Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 bahwa Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah kegiatan penyelenggaraan perizinan dan non
perizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat.
Menurut Dewa (2011: 126) konsep Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) merupakan salah satu kegiatan penyelenggaraan perizinan dan non perizinan, dimana proses pengelolaanya mulai dari tahap permohonan sampai pada penerbitan dokumen izin dilakukan secara terpadu dalam satu tempat, dengan menganut prinsip-prinsip seperti :
1. Kesederhanaan 2. Transparansi 3. Akuntabilitas
4. Menjamin kepastian biaya 5. Waktu dan
6. Adanya kejelasan prosedur.
Adapun tujuan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu menurut Mukarom dan Laksana (2015:115), adalah:
1. Meningkatkan kualitas layanan publik;
2. Memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik.