• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN HASIL PENETASAN (DOC LAYER) ANTARA STRAIN ISA BROWN DAN LOHMAN DI PT. CHAROEN POKPHAND JAYA FARM HATCHERY PEKANBARU. Laporan Tugas Akhir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBANDINGAN HASIL PENETASAN (DOC LAYER) ANTARA STRAIN ISA BROWN DAN LOHMAN DI PT. CHAROEN POKPHAND JAYA FARM HATCHERY PEKANBARU. Laporan Tugas Akhir"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN HASIL PENETASAN (DOC LAYER)

ANTARA STRAIN ISA BROWN DAN LOHMAN

DI PT. CHAROEN POKPHAND JAYA FARM HATCHERY

PEKANBARU

Laporan Tugas Akhir

OLEH:

RIFKA ULYA

NBP.1201373033

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PANGAN

POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH

PAYAKUMBUH

2015

(2)

PERBANDINGAN HASIL PENETASAN (DOC LAYER)

ANTARA STRAIN ISA BROWN DAN LOHMAN

DI PT. CHAROEN POKPHAND JAYA FARM HATCHERY

PEKANBARU

Laporan Tugas Akhir

OLEH:

RIFKA ULYA

NBP.1201373033

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PANGAN

POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH

PAYAKUMBUH

2015

(3)

Laporan Tugas Akhir

PERBANDINGAN HASIL PENETASAN (DOC LAYER)

ANTARA STRAIN ISA BROWN DAN LOHMAN

DI PT. CHAROEN POKPHAND JAYA FARM HATCHERY

PEKANBARU

Disusun oleh:

RIFKA ULYA

NBP.1201373033

Laporan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Ahli Madya (A.Md)

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PANGAN

POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH

PAYAKUMBUH

2015

(4)

Laporan Tugas Akhir

PERBANDINGAN HASIL PENETASAN (DOC LAYER)

ANTARA STRAIN ISA BROWN DAN LOHMAN

DI PT. CHAROEN POKPHAND JAYA FARM HATCHERY

PEKANBARU

Disusun oleh:

RIFKA ULYA

NBP.1201373033

Menyetujui : Mengetahui,

Direktur Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh

Ir. Gusmalini, M.Si NIP. 195711101987032001

Ketua Jurusan

Budidaya Tanaman Pangan

Ir. Setya Dharma, M.Si NIP. 196010061987031003

Dosen Pembimbing

Nilawati, S.Pt, MP

(5)

Laporan Tugas Akhir

PERBANDINGAN HASIL PENETASAN (DOC LAYER)

ANTARA STRAIN ISA BROWN DAN LOHMAN

DI PT. CHAROEN POKPHAND JAYA FARM HATCHERY

PEKANBARU

Disusun oleh:

RIFKA ULYA

NBP.1201373033

Telah diuji dan dipertahankan di depan Tim Penguji Laporan Tugas Akhir Program Studi Peternakan

Jurusan Budidaya Tanaman Pangan Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh

Pada tanggal 29 Juni 2015

TIM PENGUJI

No Nama Jabatan TandaTangan

1 Drh. Prima Silvia Noor, M.Si Ketua

2 Ir. Nelzi Fati, MP Anggota

(6)

PERBANDINGAN HASIL PENETASAN (DOC LAYER)

ANTARA STRAIN ISA BROWN DAN LOHMAN

DI PT. CHAROEN POKPHAND JAYA FARM HATCHERY

PEKANBARU

Oleh: Rifka Ulya

Dibimbing oleh Nilawati, S.Pt, MP

Program Studi Peternakan Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh RINGKASAN

Unggas ras petelur penghasil telur konsumsi merupakan wadah untuk menghasilkan telur konsumsi yang digemari masyarakat. Peternak lebih cenderung memelihara ayam ras petelur dalam jumlah yang besar, karena ini merupakan investasi yang sangat menguntungkan pada saat sekarang ini. Oleh sebab itu, permintaan akan bibit ayam ras petelur yang berkualitas dan berkuantitas sangat tinggi.

PT. Charoen Pokphand Jaya Farm Hatchery Pekan Baru merupakan salah satu perusahaan penetasan yang memproduksi DOC layer. Sedangkan, HE untuk menghasilkan DOC tersebut berasal dari farm 1 Medan yang menghasilkan 2 strain yaitu Isa Brown dan Lohman dan menghasilkan 3 grade yang sama yaitu A1, A2 dan A3 dengan berat masing-masing yaitu 50-53,9 gram, 54- 59,9 gram dan 60 gram ke atas. Perusahaan Hatchery ini tidak mengetahui dari strain dan grade mana yang menghasilkan DOC betina dan jantan yang paling banyak. Sedangkan yang diharapkan adalah DOC betina lebih banyak dari jantan.

Metode yang digunakan adalah dengan melihat perbandingan persentase produksi DOC jantan dan betina pada saat pullchick. Adapun yang dibandingkan adalah DOC dari Strain Isa Brown dan Lohman, dengan masing-masing strain mempunyai grade yang sama yaitu A1 A2 dan A3. Masing-masing strain mendapatkan perlakuan yang sama. Adapun dan yang diambil dari saat sebelum transfer dan saat setelah transfer atau pada saat pullchick.

Dari saat sebelum transfer HE (Hatching Egg) yang paling banyak infertil yaitu Lohman A1 12,56%, explode terbanyak yaitu Lohman A1 0,45%, loss terbanyak yaitu Lohman A2 0,22%, Sedangkan dari saat setelah transfer DIS terbanyak yaitu Lohman A2 8,44%, dan yang terbanyak ditetaskan yaitu Isa Brown A1 88,83%, yang terbanyak culling yaitu Lohman A1 2,39%, paling banyak betina yaitu Isa Brown A1 49,31%, paling banyak jantan yaitu Lohman A1 49,18%.

Ternyata dari saat sebelum transfer data HE yang infertil, explode, loss, DIS sampai saat ditetaskan di mesin hatcher, strain Isa Brown dari grade A1 dengan berat telur berkisar antara 50-53,9 gram paling baik. Kemudian, dari saat setelah transfer atau saat pullchick yang paling banyak menghasilkan DOC betina juga dari strain Isa Brown grade A1. Sedangkan yang terbanyak jantan adalah strain Lohman grade A1 49,18%.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan dan menyusun Laporan Tugas Akhir (LTA) dengan judul “Perbandingan Hasil Penetasan (Doc Layer) Antara Strain Isa Brown Dan Lohman di PT. Charoen Pokphand Jaya Farm Hatchery Pekanbaru” ini dengan baik. Penyusunan laporan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk melaksanakan pendidikan diploma III di Program Studi Peternakan Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh.

Laporan ini dapat diselesaikan berkat adanya bimbingan, bantuan serta do’a, untuk itu diucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberikan dukungan berupa moril maupun materil.

2. Ibu Ir. Gusmalini, M.Si, selaku Direktur Politani Pertanian Negeri Payakumbuh.

3. Bapak Ir. Setya Dharma, M.Si, selaku Ketua Jurusan Budidaya Tanaman Pangang Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh.

4. Ibu Muthia Dewi, S.Pt, M.Sc, selaku Ketua Program Studi Peternakan. 5. Ibu Nilawati, S.Pt, MP, selaku Dosen Pembimbing Akademik.

6. Ibu dan Bapak Dosen yang telah memberi ilmu pengetahuan dalam penyusunan laporan ini.

7. Bapak Rosetya Agung Nugroho selaku Menejer di PT. Charoen Pokphand Hatchery Pekan Baru.

8. Bapak Isminardi selaku Supervisor Holding, Bapak Agustinus Indra selaku Supervisor Setter dan Hatcher dan Bapak Aidil Maarif selaku Supervisor Pullchick beserta semua karyawan, karyawati PT. Charoen Pokphand Hatchery Pekan Baru.

9. Semua pihak yang telah terlibat dan ikut serta dalam membantu penyusunan Laporan Tugas Akhir ini.

(8)

Disadari bahwa laporan ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh sebab itu dharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan laporan ini. Diharapkan semoga laporan ini bermanfaat bagi semua pihak.

Akhir kata, diucapkan Terima Kasih.

Tanjung Pati, Agustus 2015

(9)

DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ... i KATA PENGANTAR ... ii DAFTAR ISI ... iv DAFTAR TABEL ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Sejarah Perkembangan Ayam Ras Petelur ... 5

2.2. Hatchery ... 6

2.3. Telur Tetas ... 8

2.4. Parent Stock ... 9

2.5. Strain Ayam Ras Petelur ... 10

2.5.1. Strain Isa Brown ... 12

2.5.2. Strain Lohman ... 13

2.6. Proses Penetasan ... 13

III. METODE PELAKSANAAN ... 15

3.1. Waktu dan Tempat ... 15

3.2. Alat dan Bahan ... 15

3.3. Metode Pelaksanaan ... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

4.1. Hasil ... 20

4.2. Pembahasan ... 21

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 29

5.1. Kesimpulan ... 29

5.2. Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Daya tetas telur berbagai kondisi ... 9 2. Temperatur dan humidity holding room ... 18 3. Rata-rata total presentase telur infertil, explode, loss, DIS dan hatch .... 20 4. Rata-rata total persentase DOC culling, female dan male ... 20

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Dokumentasi ... 31

2. Daily report hatchability strain isa brown ... 35

3. Daily report hatchability strain isa brown ... 36

4. Daily report hatchability strain lohman ... 37

5. Daily report hatchability strain lohman ... 38

6. Denah ruang di dalam Hatchery ... 39

7. Sejarah perusahaan ... 40

(12)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Unggas adalah hewan yang termasuk di dalam kelas Aves yang telah didomestikasikan dan dikembangbiakkan serta cara hidupnya diatur oleh manusia agar memberikan nilai ekonomis dalam bentuk barang dan jasa. Sebagai sumber protein hewani asal ternak, unggas merupakan produsen daging yang paling cepat dan ekonomis dibandingkan dengan ternak lain selain babi. Daging unggas termasuk salah makanan bergizi tinggi yang paling dapat diterima oleh setiap orang karena kandungan lemaknya relatif rendah dibandingkan dengan daging ternak ruminansia sehingga digunakan sebagai makanan dietetik.

Di samping penghasil daging, unggas juga berperan sebagai penghasil telur, yang merupakan sumber pangan bagi manusia. Seperti halnya daging unggas, telur adalah makanan bergizi tinggi. Harga daging unggas dan telur relatif murah sehingga dapat terjangkau oleh segala lapisan masyarakat. Oleh karena keluwesannya maka unggas merupakan sumber protein hewani yang paling potensial bagi masyarakat (Yuwanta, 2004).

Industri perunggasan di Indonesia semakin gencar melakukan peningkatan hasil produksinya baik secara kualitas maupun kuantitas. Usaha peningkatan produk peternakan unggas dimulai dari peningkatan kualitas ayam bibit atau “Parent Stock” sebagai penghasil ayam “Final Stock”. Manajemen bibit perlu ditingkatkan untuk menghasilkan DOC (Day Old Chick) yang berkualitas baik. Salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pembibitan ayam petelur adalah

(13)

PT. Charoen Pokhpand Jaya Farm khususnya yaitu Hatchery PT Charoen Pokhpand Jaya Farm Pekan Baru.

Usaha penetasan merupakan parameter dari suatu usaha peternakan pembibitan dalam menghasilkan telur tetas yang berkualitas dan merupakan langkah awal dari suatu usaha peternakan baik komersial maupun pembibitan (breeding). Seleksi yang ketat terhadap ayam bibit parent stock harus dilakukan oleh perusahaan pembibitan yang bersangkutan untuk dapat memperoleh anak ayam (Final Stock) yang mempunyai sifat-sifat yang unggul seperti yang dimiliki oleh tetuanya (Parent Stock) yang dalam hal ini adalah produktivitas dan nilai ekonomisnya yang tinggi (Ardiansyah, Tantalo dan Nova, 2012).

Ayam ras petelur strain Isa Brown ialah jenis ayam hibrida unggulan hasil persilangan dari ayam jenis Rhode Island Red dan White Leghorns, yang diciptakan di Inggris pada tahun 1978 oleh perusahaan breeder ISA. Ciri khasnya adalah bulu dan telurnya berwarna cokelat. Ayam Isa Brown memiliki empat fase pertumbuhan, yaitu starter (umur 0-4 minggu), grower (umur 5-10 minggu), developer (umur 11-16 minggu) dan layer (umur >16 minggu) (Sahlan, 2013).

Ditambahkan oleh Sahlan (2013) Lohman adalah ayam tipe petelur yang populer untuk pasar komersial, ayam ini merupakan ayam hibrida dan selektif dibiakkan khusus untuk menghasilkan telur, diambil dari jenis Rhode Island Red yang dikembangkan oleh perusahaan asal Jerman pada tahun 1972 bernama Lohmann Tierzuch. Kebanyakan ayam ini memiliki bulu berwarna coklat seperti caramel, dengan bulu putih di sekitar leher dan di ujung ekor (Anonim, 2011). Ayam ini mulai dapat bertelur pada umur 18 minggu, menghasilkan 1 butir telur per hari, dapat bertelur sampai 300 butir pertahun dan biasanya bertelur pada saat

(14)

pagi atau sore hari. Kebanyakan orang akan memelihara ayam ini pada fase grower atau fase dimana ayam ini akan mulai berproduksi (Anonim, 2011).

Unggas ras petelur penghasil telur konsumsi merupakan wadah untuk menghasilkan telur konsumsi yang digemari masyarakat. Peternak lebih cenderung memelihara ayam ras petelur dalam jumlah yang besar, karena ini merupakan investasi yang sangat menguntungkan pada saat sekarang ini. Oleh sebab itu, permintaan akan bibit ayam ras petelur yang berkualitas dan berkuantitas sangat tinggi.

PT. Charoen Pokphand Jaya Farm Hatchery Pekan Baru merupakan salah satu perusahaan penetasan yang memproduksi DOC layer. Sedangkan, HE untuk menghasilkan DOC tersebut berasal dari farm 1 Medan yang menghasilkan 2 strain yaitu Isa Brown dan Lohman dan menghasilkan 3 grade yang sama yaitu A1, A2 dan A3 dengan berat masing-masing yaitu 50-53,9 gram, 54-59,9 gram dan 60 gram ke atas.

Perusahaan Hatchery ini tidak mengetahui dari strain dan grade mana yang menghasilkan DOC betina dan jantan yang paling banyak. Sedangkan yang diharapkan adalah DOC betina lebih banyak dari jantan. Pembedaan telur bibit dari beberapa strain dan grade diperlukan untuk melihat perbedaan presentase hasil DOC betina dengan DOC jantan pada layer. Dalam hal ini diharapkan akan menghasilkan DOC betina yang lebih banyak dari DOC jantan, maka akan dilihat dari strain mana yang menghasilkan DOC betina yang lebih banyak dari DOC jantan dan dari strain yang menghasilkan DOC terbanyak tersebut dari grade mana pula yang menghasilkan DOC betina yang paling banyak, apakah dari grade A3, A2 atau A1. Apabila dari DOC yang dihasilkan terbukti betina lebih banyak

(15)

dari jantan dari salah satu strain dan grade tertentu maka hal itu perlu dikembangkan.

1.2.Tujuan

Tujuan dari penulisan laporan tugas akhir ini adalah untuk mengetahui dari strain dan grade mana yang menghasilkan persentase DOC jantan dan betina.

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Perkembangan Ayam Ras Petelur

Menurut Suharno (2012), usaha pembibitan adalah usaha peternakan yang menghasilkan ternak untuk dipelihara dan bukan yaitu dikonsumsi. Ada empat usaha pembibitan, yaitu sebagai berikut.

1. Pembibitan untuk menghasilkan PL (pure line) atau ayam galur murni.

2. Pembibitan untuk menghasilkan GGPS (great grand parent stock) atau ayam bibit “buyut”.

3. Pembibitan yang menghasilkan GPS (grand parent stock) ayam bibit nenek. 4. Pembibitan untuk menghasilkan PS (parent stock) atau ayam induk. Keturunan

parent stock ini disebut final stock. Jenis bibit terakhir ini yang disebut sebagai ayam niaga dan DOC-nya dipelihara peternak untuk dibudidayakan.

Berdasarkan (Ditjennak, 2005) perkembangan populasi ayam ras petelur sejak tahap perintisan hingga tahap landasan masih sangat lambat, tapi sejak tahun 1971 terjadi lonjakan populasi dan lonjakan tertinggi terjadi antara tahun 1979 (7.007 ribu ekor) dengan tahun 1981 (24.568 ribu ekor) mencapai 350 kali. Setelah tahun 1981 kenaikan populasi tidak begitu mencolok lagi. Kenaikkan populasi ayam petelur dari tahun 1993-1994 tidak terlalu drastis lagi, tetapi relatif konstan. Lain halnya dengan ternak ayam pedaging yang sejak tahun 1981, saat mulai masuk hingga tahun 1994, terus mengalami peningkatan yang cukup tajam. Hal ini mungkin sejalan dengan berhasilnya proyek pembangunan nasional.

Ayam ras di Indonesia sebagian besar masih diimpor terutama untuk Grand Parent Stock (GPS) karena pusat pembibitan masih belum banyak bahkan

(17)

mungkin belum ada. Sampai tahun 1992, jumlah galur ayam ras yang pernah diimpor tercatat ada 50 macam galur ayam petelur dan 45 macam galur ayam pedaging. Dari jumlah galur yang begitu banyak, yang dapat bertahan sampai tahun 1992, tercatat ada 11 galur ayam petelur dan 13 galur ayam pedaging.

Persaingan yang terjadi diantara galur yang dipasarkan cukup tajam. Galur yang paling baik (mutu ayam, mutu pelayanan) akan dapat bertahan dan sebaliknya yang kurang baik akan disingkirkan dari pasaran. Pada tahan perintisan hingga tahap landasan tahun (1971), galur yang diimpor adalah dalam bentuk DOC final stock (FS). Mengikuti perkembangan perundangan di Indonesia maka pada tahap pertumbuhan (1980) maka bibit yang diimpor adalah DOC parent stock (PS) penghasil FS. Pada masa akhir tahap pertumbuhan (1980) maka bibit yang diimpor grand parent stock (GPS), penghasil PS. Hal inilah yang mendorong para investor menjadikan usaha ternak unggas sebagai industri (Kartasudjana dan Suprijatna, 2010).

2.2. Hatchery

Menurut Riyanto (2001) untuk memperoleh bibit ayam petelur maupun broiler komersial, para peternak umumnya membeli anak ayam dari perusahaan pembibitan (Hatchery). Penetasan telur pada perusahaan pembibitan biasanya menggunakan mesin tetas modern dengan kapasitas yang banyak. Cara penetasan seperti ini disebut penetasan secara buatan. Berbeda dengan penetasan ayam buras yang dilakukan oleh para peternak kecil, biasanya menggunakan induknya sendiri dan penetasan seperti ini disebut penetasan secara alami.

Penetasan merupakan suatu usaha untuk menghasilkan seekor anak ayam umur sehari (day old chick) dari sebutir telur tetas. Awal mulanya penetasan

(18)

dilakukan secara alami oleh induk ayam, namun dengan berkembangnya ilmu pengetahuan ditemukanlah sebuah teknologi tepat guna yang efisien yaitu mesin tetas. Cara kerja mesin tetas pada prinsipnya hampir sama dengan penetasan alami oleh induk ayam, namun yang menjadi efisien adalah jumlah telur yang dapat ditetaskan dapat lebih banyak dengan waktu yang sama (Riyanto, 2001).

Daya tetas telur yang dihasilkan pada proses penetasan secara alami umumnya lebih rendah dibandingkan dengan penetasan secara buatan. Namun, penggunaan mesin tetas tanpa mengikuti petunjuk penggunaan yang benar dapat menyebabkan terjadinya kegagalan penetasan. Daya tetas yang rendah disertai angka kematian yang tinggi karena kesalahan operasional penetasan, masih sering terjadi. Mesin tetas yang digunakan pada tiap perusahaan pembibitan memang berbeda-beda, tetapi mempunyai prinsip dasar yang sama. Perbedaan pada mesin tetas ini terletak pada bentuk dan cara penggunaannya (Kartasudjana dan Suprijatna, 2010).

Semakin meningkatnya kebutuhan konsumen akan produk daging dan telur asal unggas, maka dibutuhkan bibit atau DOC dalam jumlah yang besar secara kontiniu, berdasarkan itulah didirikan sebuah Hatchery. Hatchery merupakan suatu unit usaha yang menangani proses penetasan telur tetas (hatching egg) dari breeder farm menjadi produk utama berupa DOC dengan kualitas tetas yang terjamin, tentunya hal itu tidak terlepas dari penggunaan mesin dengan teknologi canggih dan peranan manusia terlatih (Paimin, 2011).

(19)

2.3. Telur Tetas

Ayam yang dipelihara sebagai penghasil telur konsumsi umumnya tidak memakai pejantan dalam kandangnya karena telur konsumsi tidak perlu dibuahi. Berbeda dengan ayam petelur yang dipelihara untuk tujuan penghasil telur tetas, di dalam ruangan kandang perlu ada pejantan. Hal ini dimaksudkan agar telur yang dihasilkan dapat dibuahi atau fertil, sebab telur yang steril tidak akan menetas. Namun, dalam kenyataannya sering dijumpai telur tersebut tidak fertil seluruhnya (Rasyaf, 1991).

Ditambahkan oleh Rasyaf (1991) seleksi telur merupakan aktifitas awal yang sangat menentukan keberhasilan penetasan. Telur tetas harus berasal dari induk (pembibit) yang sehat dan produktivitasnya tinggi dengan sex ratio yang baik, umur telur tidak boleh lebih dari satu minggu, kualitas fisik telur diantaranya bentuk telur tidak terlalu lonjong atau terlalu bulat, berat atau besar dan warna kulit telur harus seragam, permukaan kulit telur harus halus, tidak kotor dan tidak retak. Ayam pembibit petelur adalah ayam dengan ciri produksi tinggi karena sudah terseleksi dengan baik, tidak mempunyai sifat mengeram, mempunyai bentuk tubuh langsing, jengger dan pial besar.

Daya tetas dipengaruhi oleh kondisi telur, menurut Kartasudjana dan Suprijatna (2010) yang disadur dari North (1984), di bawah ini adalah tabel daya tetas telur pada berbagai kondisi.

(20)

Tabel 1. Daya tetas telur pada berbagai kondisi. Kondisi telur Daya tetas (%) Fertilitas Berdasarkan telur fertil Berdasarkan semua telur Telur normal 82,3 87,2 71,7 Telur retak 74,6 53,2 39,7

Telur berbentuk tidak normal 69,1 48,9 33,8

Telur berkerabang tipis 72,5 47,3 34,3

Telur tanpa rongga udara 72,3 32,4 23,4

Rongga udara tidak normal letaknya

81,1 68,1 53,2

Bercak darah besar 78,7 71,5 56,3

Sumber: North (1984)

Daya tetas adalah angka yang menunjukkan tinggi rendahnya kemampuan telur untuk menetas. Daya tetas ini dapat dihitung dengan dua cara, yaitu pertama membandingkan jumlah telur yang dieramkan, dan kedua membandingkan jumlah telur yang menetas dengan jumlah telur yang fertil (dibuahi).

2.4. Parent Stock

Menurut Sudaryani dan Santosa (2002), untuk mendapatkan sejumlah anak ayam petelur dan anak ayam pedaging, maka peternak pembibit harus memikirkan jumlah ayam betina dara/bertelur yang dimiliki pada saat-saat tersebut. Dengan memperkirakan jumlah telur tetas yang yang dihasilkan serta daya tetasnya dan memperhitungkan tingkat kematian ayam induk, maka peternak akan melakukan pemesanan anak ayam induk parent stock betina kepada peternak grandparent stock. Harus diperhitungkan juga bahwa di antara anak ayam komersial yang dihasilkan, terdapat ayam jantan dengan perbandingan jantan : betina kurang lebih 50% : 50%.

Anak ayam induk parent stock jantan biasanya tidak diperhitungkan dalam pemesanan sebab peternak grandparent stock selalu menyertakan sejumlah 15% dari total pemesanan anak ayam induk betina. Standar jumlah telur tetas yang

(21)

dihasilkan, daya tetas, maupun tingkat kematian parent stock tergantung pada strain ayam parent stock yang dipelihara atau yang akan diberikan oleh peternak grandparent stock (Sudaryani dan Santosa, 2002).

2.5. Strain Ayam Ras Petelur (Layer)

Menurut Yuwanta (2004), untuk mendapatkan tipe ayam petelur, ada beberapa sifat/karakteristik yang harus diperhatikan pada tipe ayam petelur tersebut. Sifat-sifat yang dikembangkan pada tipe ayam petelur adalah sebagai berikut:

1. Cepat mencapai dewasa kelamin (18-20 minggu). 2. Ukuran telur normal (60-65 gram).

3. Kualitas telur baik, kuat dan seragam.

4. Produksi telur per tahun tinggi (250-300 butir). 5. Bebas dari sifat mengeram.

6. Daya hidup tinggi (90%) dengan tingkat kematian rendah. 7. Bebas dari sifat kanibalisme dan sifat mematuk bulu. 8. Mudah beradaptasi dengan lingkungan.

9. Nilai afkir ayam tinggi (2,3-2,5 kg). 10. Konversi pakan rendah.

11. Pertumbuhan anak ayam relatif cepat. 12. Harga DOC bersaing.

Dari sifat-sifat di atas, bangsa/kelas ayam yang cocok untuk dikembangkan sebagai ayam petelur adalah ayam yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

(22)

1. Bentuk tubuh lonjong (memanjang). 2. Bobot badan relatif ringan.

3. Tulang ringan.

4. Shank pipih dan melebar ke samping. 5. Sayap kuat dan dapat terbang.

6. Gerakan lincah, temperamental, dan peka terhadap perubaha cuaca. 7. Pertumbuhan bulu cepat (pada umur empat bulan bulu sudah sempurna). 8. Jengger tumbuh cepat dan masak kelamin pada umur 4,5-5 bulan.

9. Produksi telur tinggi (250-300 butir/tahun) dan berat telur rata-rata 62 gram/butir sampai pada umur afkir (72 minggu).

10. Bebas dari sifat mengeram.

11. Jarak antara tulang sternum dan kloaka 4-5 jari dan jarak antara tulang pubis minimal 3-4 jari.

Ayam jantan tipe medium mempunyai potensi untuk digunakan sebagai penghasil daging. Ayam jantan tipe medium mempunyai bentuk tubuh dan kadar lemak yang menyerupai ayam kampung, sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang mempunyai kebiasaan lebih menyukai ayam yang kadar lemaknya seperti ayam kampung. Pertumbuhan ayam dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik 30% dan lingkungan 70 %. Salah satu faktor genetik yang mempengaruhi adalah strain, dan dari faktor lingkungan yang memberikan pengaruh paling besar adalah ransum. Pemilihan strain merupakan salah satu langkah awal yang harus ditentukan agar pemeliharaannya berhasil (Ardiansyah dkk, 2012).

(23)

2.5.1. Strain Isa Brown

Menurut PT Charoen Pokphand Jaya Farm Indonesia (2006), kelebihan strain Isa Brown adalah produktivitas tinggi (selain produksi telur juga produksi daging), konversi ransum rendah, kekebalan dan daya tahan hidup tinggi, dan pertumbuhan yang baik (Ardiansyah dkk, 2012).

Ayam ras petelur strain Isa Brown ialah jenis ayam hibrida unggulan hasil persilangan dari ayam jenis Rhode Island Red dan White Leghorns, yang diciptakan di Inggris pada tahun 1978 oleh perusahaan breeder ISA. Ciri khasnya adalah bulu dan telurnya berwarna cokelat. Ayam Isa Brown memiliki empat fase pertumbuhan, yaitu starter (umur 0-4 minggu), grower (umur 5-10 minggu), developer (umur 11-16 minggu) dan layer (umur >16 minggu) (Sahlan, 2013).

Periode produksi telur ayam Isa Brown mulai dari minggu ke 18 sampai 90 dan memiliki daya hidup sebesar 94%. Pada umur 144 hari tingkat produksi telur adalah 50%, pada puncak produksi mencapai 96%. Setiap ekor ayam dalam sekali masa pemeliharaan dapat memproduksi telur sebanyak 409 butir dengan berat rata-rata 62,9 gram. Jumlah pakan yang dikonsumsi rata-rata 111 gram, dengan nilai perbandingan konversi pakan atau Feed Conversion Ratio (FCR) rata-rata sebesar 2,15 (Ardiansyah, dkk ,2012).

2.4.2. Strain Lohman

Menurut Sahlan (2013), Lohmann Brown adalah ayam tipe petelur yang populer untuk pasar komersial, ayam ini merupakan ayam hibrida dan selektif dibiakkan khusus untuk menghasilkan telur, diambil dari jenis Rhode Island Red yang dikembangkan oleh perusahaan asal Jerman bernama Lohmann Tierzuch. Kebanyakan ayam ini memiliki bulu berwarna coklat seperti caramel, dengan bulu

(24)

putih di sekitar leher dan di ujung ekor (Anonim, 2011). Ayam ini mulai dapat bertelur pada umur 18 minggu, menghasilkan 1 butir telur per hari, dapat bertelur sampai 300 butir pertahun dan biasanya bertelur pada saat pagi atau sore hari. Kebanyakan orang akan memelihara ayam ini pada fase grower atau fase dimana ayam ini akan mulai berproduksi (Anonim, 2011).

Ayam betina strain Lohman memiliki umur awal produksi pada 19-20 minggu dan pada umur 22 minggu produksi telur mencapai 50 %. Selain itu juga strain Lohman pada umur 20 minggu sekitar 1,6-1,7 kg dan akhir produksi 1,9-2,1 kg. Puncak produksi strain Lohman mencapai 92-93%, dengan FCR sebesar 2,3-2,4, serta tingkat kematian sampai dengan 2-6% (Ardiansyah dkk, 2012).

2.6. Proses Penetasan

Tata laksana penetasan merupakan suatu rangkaian kegiatan mulai dari penerimaan telur tetas, penanganan telur tetas baik seleksi, grading, fumigasi, candling dan penyimpanan telur tetas, persiapan mesin tetas, pemasukan telur ke dalam mesin tetas, pengeraman di mesin Setter, pemutaran (turning) telur tetas, transfer ke mesin Hatcher, penanganan pasca penetasan meliputi Pullchick (pengambilan DOC), Grading dan Sexing, Debeaking (pemotongan paruh), vaksinasi pengemasan dan pendistribusian DOC, kegiatan rutin selama penetasan sampai pada pembersihan mesin tetas setelah menetas. Usaha menetaskan telur ayam artinya mengeramkan telur supaya menetas, yaitu pecah dan terbuka kulitnya, sehingga benih yang berkembang di dalamnya menjadi anak ayam hidup (Sarwono, 2002). Penetasan dengan mesin tetas, telur diletakkan dengan bagian ujung tumpul di bagian atas, tidak berarti harus vertical.

(25)

III. METODE PELAKSANAAN

3.1. Waktu dan Tempat

Pengalaman Kerja Praktek Mahasiswa (PKPM) penulis laksanakan di Unit Hatchery PT. Charoen Pokphand Jaya Farm Pekan Baru yang beralamat di Jln. Siak II Km 16, Desa Umban Sari, Kecamatan Rumbai, Kota Pekan Baru, Provinsi Riau. Kegiatan magang dimulai pada tanggal 16 Maret s/d 31 Mei 2015.

3.2. Alat dan Bahan

Bahan utama yang digunakan adalah telur tetas (hatching egg) ayam layer strain Isa Brown dan strain Lohman. Jumlah telur tetas yang digunakan sebanyak 25.920 butir atau sebanyak 4 kereta Jamesway strain Isa Brown dan 25.920 butir atau sebanyak 4 kereta Jamesway strain Lohman. Telur tetas dibagi dalam 6 buah kelompok diantaranya:

Telur tetas grade A1 strain Isa Brown sebanyak 25.920 butir atau 4 kereta Jamesway.

Telur tetas grade A2 strain Isa Brown sebanyak 25.920 butir atau 4 kereta Jamesway.

Telur tetas grade A3 strain Isa Brown sebanyak 25.920 butir atau 4 kereta Jamesway.

Telur tetas grade A1 strain Lohman sebanyak 25.920 butir atau 4 kereta Jamesway.

Telur tetas grade A2 strain Lohman sebanyak 25.920 butir atau 4 kereta Jamesway.

(26)

Telur tetas grade A3 strain Lohman sebanyak 25.920 butir atau 4 kereta Jamesway.

Mesin yang digunakan dalam penetasan adalah mesin tetas otomatis skala besar milik perusahaan dengan merk Jamesway yang terbagi 2 inkubator yaitu inkubator setter dan inkubator hatcher. Sementara itu alat pendukung lain yang diperlukan adalah meja grading, lampu 45 watt sebanyak 3 buah masing-masing meja, box kertas, box plastik.

3.3. Metode Pelaksanaan

Metode yang dilakukan yaitu dengan cara mengikuti semua kegiatan di Hatchery PT. Charoen Pokphand Jaya Farm Pekanbaru, adapun data diambil pada saat candling HE dan pada saat pullchick yaitu pada saat sexing sebagai berikut: 1. Candling HE

Infertil

Infertil merupakan telur yang tidak dibuahi oleh pejantan. Sedangkan fertilitas merupakan persentase telur yang telah dibuahi dibandingkan telur yang dierami. Adapun persentase telur tetas infertil di Hatchery Pekan Baru dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Persentase Infertil = total telur infertil × 100% total telur yang di setting

Explode

Telur explode adalah telur tetas yang mengalami kebusukan dan pada akhirnya meledak. Adapun persentase telur tetas explode di Hatchery Pekan Baru dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Persentase telur Explode = total telur explode × 100% total telur yang di setting

(27)

Loss

Telur loss merupakan telur tetas yang hilang, ditaksir ada kesalahan saat menghitung explode dan ada yang diambil pada saat sweeping di setter. Adapun persentase telur tetas loss di Hatchery Pekan Baru dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Persentase Telur Loss = total telur loss × 100% total telur yang di setting

HE layak

HE layak merupakan telur tetas yang layak dimasukkan ke dalam mesin hatcher. Adapun HE layak di Hatchery Pekan Baru dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

HE layak = HE DIS + HE yang menetas (hatch)

2. Sexing (pemisahan jantan dan betina)

Sexing merupakan proses pemisahan antara jantan dan betina layer. Sexing hanya dilakukan pada DOC ayam layer, yaitu dengan menggunakan metode warna bulu. DOC betina memiliki warna bulu cokelat keemasan. Sementara itu DOC pejantan memiliki warna bulu kuning keemasan.

Sexing adalah memisahkan/memilih antara ayam jantan dan betina. Biasanya dilakukan dengan metode buka kloaka, perbedaan warna bulu, dan perbedaan panjang bulu sayap (Suprijatna dan Kartasudjana, 2005). Sexing dengan melihat perbedaan warna bulu disebabkan adanya sifat-sifat tertentu yang terkait dengan kromosom yang berhubungan dengan jenis kelamin. Sexing dengan perbedaan bulu sayap biasanya dilakukan pada ayam yang pertumbuhan bulunya

(28)

cepat dengan melihat bulu sayap runcing pada ayam betina dan pada jantan bulu sayap tidak runcing.

Adapun kegiatan saat sexing adalah sebagai berikut.

DIS

Death in sheel merupakan telur tetas fertil tetapi telah mengalami kematian embrio sebelum masa menetas. Adapun persentase telur tetas DIS di Hatchery Pekan Baru dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Persentase Telur DIS = total telur DIS × 100% total telur yang layak

Hatch

Telur hatch merupakan telur tetas yang menetas setelah proses transfer. Adapun persentase telur tetas hatch di Hatchery Pekan Baru dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Persentase Telur di Hatch = total telur hatch × 100% total telur yang layak

Culling

DOC culling merupakan DOC yang tidak layak untuk dijual termasuk juga HE yang tidak jadi menetas. Adapun persentase telur tetas culling di Hatchery Pekan Baru dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Persentase Telur di culling = total telur culling × 100% total telur yang di hatch

(29)

Female

Adapun persentase telur tetas betina di Hatchery Pekan Baru dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Persentase Female = total telur female × 100% total telur yang di hatch

 Male

Adapun persentase telur tetas jantan di Hatchery Pekan Baru dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Persentase Male = total telur male × 100% total telur yang di hatch

Berdasarkan SOP Hatchery 2015, standar bobot telur berdasarkan grade untuk HE layer adalah grade A1 yaitu 50-53,9 gram, grade A2 yaitu 54-59,9 gram sedangkan untuk grade A3 yaitu 60 gram ke atas.

(30)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Dari saat sebelum transfer Infertil, explode dan loss

Semua HE layer yang ditetaskan di Hatchery Pekan Baru berasal dari Farm 1 Medan. Adapun data telur tetas infertil, explode dan loss di Hatchery Pekan Baru dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Rata-rata total dan persentase telur infertil, explode dan loss Srain Grade Total

Sett

Infertil Explode Loss HE layak

Jml % Jml % Jml % Jml % Isa Brown A3 6.480 532 8,21 15 0,23 7 0,11 926 85,94 A2 6.480 533 8,23 14 0,22 6 0,09 927 86,65 A1 6.480 402 6,20 14 0,22 5 0,08 059 88,83 Lohman A3 6.480 697 10,76 20 0,31 7 0,11 756 81,53 A2 6.480 788 12,16 25 0,39 14 0,22 653 78,80 A1 6.480 814 12,56 29 0,45 8 0,12 623 78,83 ket: HE layak merupakan jumlah antara hatch dengan HE DIS

4.1.2. Dari saat setelah transfer Culling, female dan male

Adapun data DOC culling, female dan male di Hatchery Pekan Baru dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4. Rata-rata total dan persentase DOC hatch, DIS, culling, female dan male

Strain Grade Hatch DIS Culling Female Male

Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Isa Brown A3 5569 93,98 357 6,02 115 2,07 2735 49,11 2719 48,82 A2 5615 94,74 312 5,26 105 1,87 2766 49,26 2744 48,87 A1 5756 95,00 303 5,00 105 1,82 2838 49,31 2813 48,87 Lohman A3 5283 91,78 473 8,22 118 2,23 2588 48,99 2577 48,78 A2 5106 90,32 547 9,68 120 2,35 2493 48,82 2493 48,82 A1 5108 90,84 521 9,27 122 2,39 2474 48,43 2512 49,18

(31)

4.2. Pembahasan

4.2.1. Dari saat sebelum transfer a. Infertil

Infertil merupakan telur yang tidak dibuahi oleh pejantan. Sedangkan fertilitas merupakan persentase telur yang telah dibuahi dibandingkan telur yang dierami. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa rata-rata presentase telur tetas yang infertil yang di candling pada saat transfer yaitu untuk strain Isa Brown grade A3 adalah 8,21%, strain Isa Brown grade A2 adalah 8,23%, strain Isa Brown grade A1 adalah 6,20%. Sedangkan untuk strain Lohman grade A3 adalah 10,76%, strain Lohman grade A2 adalah 12,16%, dan strain Lohman grade A1 adalah 12,56%.

Telur yang ditetaskan yang mempunyai infertil tertinggi adalah strain Lohman grade A1 yaitu 12,56% dan paling rendah adalah Isa Brown A1 yaitu 6,20%, hal ini disebabkan oleh penanganan dan manajemen parent stock yang menghasilkan telur tetas tersebut selama di Breeding Farm. Fertilitas telur tetas dipengaruhi oleh ada tidaknya pejantan dan betina melakukan perkawinan. Jika betina dikawini oleh pejantan maka telur yang dihasilkan itu fertil, sebaliknya jika betina tidak sempat dikawini oleh pejantan maka telur yang dihasilkan infertil dan tidak akan menghasilkan bibit.

Fertilitas diartikan sebagai presentase jumlah telur fertil berdasarkan jumlah telur yang dierami. Secara alami, fertilisasi terjadi di infundibulum sekitar 15 menit sebelum ovulasi. Sperma bergerak sepanjang oviduct selama 30 menit untuk mencapai infundibulum, apabila belum ada telur yang terbentuk. Gerakan sperma dibantu oleh cilia dari oviduct, antiperistaltik otot, dan mortilitas sperma.

(32)

Menurut Kartasudjana dan Suprijatna (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas adalah yang pertama mortilitas sperma. Dalam satu hari, pejantan akan memproduksi sperma normal selama 12 jam. Mortilitas berkurang bila pejantan terlalu sering mengawini betina. Selanjutnya umur, fertilitas yang baik untuk jantan maupun betina terjadi pada produksi tahun pertama dan menurun setelah tahun tersebut. Pejantan digunakan saat berumur 6 bulan sampai 2 tahun. Setelah itu Produksi sperma, sperma yang mengandung persentase sperma abnormal yang tinggi, fertilitasnya menjadi rendah. Adapun faktor lain yang mempengaruhi fertilitas adalah ransum, hormon, lama penyinaran, preferential mating (memilih pasangan), musim, peck order, perbandingan jumlah jantan dan betina, dan lamanya jantan dalam kandang.

b. Explode (HE yang busuk)

Adapun data rata-rata persentase telur tetas yang mengalami kebusukan (explode) didapat pada proses transfer dapat pada Tabel 3. Pada strain Isa Brown grade A3 yaitu 0,23%, strain Isa Brown grade A2 yaitu 0,22%, strain Isa Brown grade A1 yaitu 0,22%. Sedangkan pada strain Lohman grade A3 yaitu 0,31%, strain Lohman grade A2 yaitu 0,39%, dan strain Lohman grade A1 0,45%.

Dilihat dari data di atas telur tetas yang mengalami kebusukan adalah pada strain Lohman grade A1 yaitu 0,45% dan yang paling rendah adalah Isa Brown A2 dan A1 yaitu 0,22%. Telur explode adalah telur tetas yang mengalami kebusukan dan pada akhirnya meledak. Telur explode disebabkan oleh penanganan telur tetas yang kurang baik mulai dari penerimaan telur tetas sampai manajemen di setter. Adapun faktor yang paling mendasar adalah telur tetas yang kurang bersih sehingga menyebabkan mudahnya bakteri masuk melalui pori-pori

(33)

telur. Selanjutnya faktor penanganan di holding room sampai saat preheat, preheat harus dilakukan dengan metode yang tepat. Apabila preheat tidak maksimal dan tidak dilakukan dengan temperatur dan kelembapan yang tepat, maka telur tetas akan mudah mengembun dan menyebabkan telur busuk.

Jika telur tetas akan dikeluarkan dari tempat penyimpanan dan akan dimasukkan ke dalam mesin tetas maka telur tersebut harus bebas dari kondensasi atau pengembunan pada permukaan kulitnya. Kondensasi terjadi karena kelebaban yang tinggi dan temperatur yang rendah selama penyimpanan. Titik-titik air ini perlu dihilangkan karena kemungkinan mengandung bakteri di dalamnya yang dapat menyebabkan rusaknya telur dan menurunkan daya tetasnya. Kondensasi dapat dihilangkan dengan cara, mengurangi kelembapan penyimpanan sesaat sebelum telur dikeluarkan dan meningkatkan temperatur ruangan penyimpanan agar menguap dengan cepat (Kartasudjana dan Suprijatna, 2010).

c. Loss (HE yang hilang)

Dilihat pada Tabel 3 rata-rata persentase telur tetas yang hilang (loss) yang dihitung pada saat transfer yaitu untuk strain Isa Brown grade A3 adalah 0,11%, strain Isa Brown grade A2 adalah 0,09%, strain Isa Brown grade A1 adalah 0,08%. Sedangkan untuk strain Lohman grade A3 adalah 0,11%, strain Lohman grade A2 adalah 0,22%, strain Lohman grade A1 adalah 0,12%.

Dari data di atas dapat dlihat bahwa telur tetas yang paling banyak hilang adalah Lohman A2 yaitu 0,22% dan paling sedikit adalah A2 dan A1 Isa Brown yaitu 0,08%. Hal ini tidak berpengaruh besar bagi hasil penetasan karena dalam jumlah sedikit. Hanya saja kehilangan telur ini disebabkan karena telur yang busuk telah disisir pada saat di dalam mesin setter saat proses sweeping. Sweeping

(34)

dilakukan supaya telur yang busuk tidak pecah di dalam mesin setter. Apabila telur tersebut sempat meledak akan berpengaruh terhadap telur yang lain dan menyebabkan mesin kotor.

c. HE yang layak

Dilihat pada Tabel 3 HE yang layak yang dihitung pada saat transfer yaitu untuk strain Isa Brown grade A3 adalah 85,94%, strain Isa Brown grade A2 adalah 86,65%, strain Isa Brown grade A1 adalah 88,83%. Sedangkan untuk strain Lohman grade A3 adalah 81,53%, strain Lohman grade A2 adalah 78,80%, strain Lohman grade A1 adalah 78,83%.

Dari data di atas dapat dlihat bahwa telur tetas yang layak ditetaskan adalah Isa Brown A1 yaitu 88,83% dan paling sedikit adalah A2 Lohman yaitu 78,80%. Semakin banyak HE yang layak untuk ditetaskan maka semakin baik pula produksi yang dihasilkan pada saat pullchick. Sebaliknya, semakin sedikit HE yang layak ditetaskan semakin tidak efektif pula hasil penetasan tersebut. 4.2.2. Dari saat setelah transfer

a. DIS (Death In Sheel)

Dilihat pada Tabel 4 rata-rata persentase telur tetas yang DIS (Death In Sheel) yang dihitung pada saat pullchick yaitu untuk strain Isa Brown grade A3 adalah 6,02%, strain Isa Brown grade A2 adalah 5,26%, strain Isa Brown grade A1 adalah 5,00%. Sedangkan untuk strain Lohman grade A3 adalah 8,22%, strain Lohman grade A2 adalah 9,68%, strain Lohman grade A1 adalah 9,27%.

Dari data di atas dapat dilihat bahwa telur tetas yang banyak mengalami kematian dalam kerabang adalah strain Lohman grade A2 yaitu 9,68% dan yang terendah adalah Isa Brown A1 yaitu 5,00%. Hal ini disebabkan oleh penanganan

(35)

dalam proses penetasan yang kurang tepat. Suhu dan kelembaban pada saat pengeraman di mesin setter sangat berpengaruh bagi kelangsungan penetasan yang baik. Apabila suhu terlalu tinggi maka kemungkinan akan matinya embrio itu sangat tinggi. Begitu juga dengan kelembapan yang rendah maka embrio akan mengalami dehidration.

Temperatur inkubasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Temperatur yang tidak tepat akan menyebabkan rendahnya daya tetas. Dalam mesin tetas tipe forced draft incubator, antara hari ke-1 sampai hari ke-18, temperatur yang baik yaitu 99°-100° F. Setelah hari ke-18, temperatur diturunkan 2°-3° F (97°-99° F). Bila inkubator akan dipergunakan, temperatur harus benar-benar konstan. Kelembapan yang baik dalam mesin tetas antara hari ke-1 sampai hari ke-18 yaitu 50-60%, setelah hari ke-18 kelembaban dinaikkan menjadi 75% (Kartasudjana dan Suprijatna, 2010).

b. Hatch (HE yang menetas)

Dilihat pada Tabel 4 rata-rata persentase telur tetas yang menetas dihitung pada saat pullchick yaitu untuk A3 adalah 93,98%, strain Isa Brown grade A2 adalah 94,74%, strain Isa Brown grade A1 adalah 95,00%. Sedangkan untuk strain Lohman grade A3 adalah 91,78%, strain Lohman grade A2 adalah 90,32%, strain Lohman grade A1 adalah 90,84%.

Dilihat dari data di atas data HE yang menetas pada saat pullchick yang paling tinggi adalah dari strain Isa Brown grade A1 yaitu 95,00% dan paling rendah adalah dari strain Lohman grade A2 yaitu 90,32%. HE yang menetas bergantung pada jumlah HE yang infertil, explode, loss dan DIS, semakin banyak jumlah HE yang tidak layak tetas maka makin sedikit HE yang menetas pada saat

(36)

pullchick, sebaliknya jika sedikit jumlah HE yang tidak layak maka HE yang menetas dalam saat pullchick akan semakin banyak.

Keadaan fisik telur mempengaruhi daya tetas. Untuk mempertahankan daya tetas telur maka keadaan fisik telur harus diseleksi sebelum ditetaskan. Bentuk telur dipengaruhi oleh faktor keturunan (Kartasudjana dan Suprijatna, 2010).

c. Culling

Dilihat pada Tabel 4 rata-rata persentase DOC yang diculling yang dihitung pada saat pullchick dan dihitung dari total hatch (yang ditetaskan setelah transfer) yaitu untuk strain Isa Brown grade A3 adalah 2,07%, strain Isa Brown grade A2 adalah 1,87%, strain Isa Brown grade A1 adalah 1,82%. Sedangkan untuk strain Lohman grade A3 adalah 2,23%, strain Lohman grade A2 adalah 2,35%, strain Lohman grade A1 adalah 2,39%.

Dari data di atas DOC yang paling banyak di culling adalah dari strain Lohman grade A1 yaitu 2,39% dan yang paling rendah adalah strain Lohman grade A2 dan A1 yaitu 1,82%. Menurut SOP Hatchery, DOC culling disebabkan oleh suhu dan kelembaban dalam mesin tetas. Kemudian disebabkan juga oleh kesalahan turning pada mesin. Adapun kesalahan turning (pemutaran telur) diantaranya posisi turning yang tidak tepat, biasanya standar SOP Hatchery 45°, turning harus dilakukan sitiap 1 jam sekali. Kereta yang macet atau tidak bisa turning juga berakibat terhadap DOC yang ditetaskan. Selanjutnya kesalahan pada sistem listrik. Adapun jenis-jenis DOC culling di Hatchery Pekan Baru sebagai berikut. Kulit telur, string navel, black navel, cacat, lumpuh, wetneck, sticky, dehidration, small under grade, yellow navel, blody.

(37)

d. Female

Dilihat pada Tabel 4 rata-rata persentase DOC betina yang dihitung pada saat pullchick dan dihitung dari total ditetaskan setelah transfer yaitu untuk strain Isa Brown grade A3 adalah 49,11%, strain Isa Brown grade A2 adalah 49,29%, strain Isa Brown grade A1 adalah 49,31%. Sedangkan untuk strain Lohman grade A3 adalah 48,99%, strain Lohman grade A2 adalah 48,82%, strain Lohman grade A1 adalah 48,43%.

Dari data di atas tingkat persentase telur tetas yang menghasilkan DOC layer betina paling banyak adalah strain Isa Brown grade A1 yaitu 49,31% dan yang paling rendah adalah strain Lohman grade A1 yaitu 48,43%. Persentase jantan dan betina yang dihasilkan oleh suatu penetasan bergantung pada strain dan grade dari telur yang ditetaskan. Hal ini berawal dari pemeliharan dan pengelolaan dari peternak parent stock. Faktor genetik dan pakan juga menentukan dari hasil produksi DOC. DOC betina sebaiknya lebih banyak dari DOC jantan, karena hanya DOC betina yang bisa menghasilkan telur komsumsi. DOC betina banyak dipelihara oleh peternak dibanding DOC jantan, karena lebih menguntungkan. Salah satu faktor genetik yang mempengaruhi adalah strain, dan dari faktor lingkungan yang memberikan pengaruh paling besar adalah ransum. Pemilihan strain merupakan salah satu langkah awal yang harus ditentukan agar pemeliharaannya berhasil (Ardiansyah dkk, 2012).

e. Male

Dilihat pada Tabel 4 persentase DOC jantan yang dihitung pada saat pullchick dan dihitung dari total hatch (yang ditetaskan setelah transfer) yaitu untuk strain Isa Brown grade A3 adalah 48,82%, strain Isa Brown grade A2

(38)

adalah 48,87%, strain Isa Brown grade A1 adalah 48,87%. Sedangkan untuk strain Lohman grade A3 adalah 48,78%, strain Lohman grade A2 adalah 48,82%, strain Lohman grade A1 adalah 49,18%.

Dari data di atas yang paling banyak mengahsilkan DOC jantan adalah dari strain Lohman grade A1 yaitu 49,18% dan yang paling rendah adalah Lohman grade A2 dan Isa Brown A3 yaitu 48,82%. Seperti yang dijelaskan di atas produksi DOC dipengaruhi oleh ransum dan lingkungan. Ada beberapa peternak yang memelihara DOC jantan karena harga bibit yang murah serta konversi ransum rendah, tetapi pertumbuhan lambat. Pada saat sekarang ini harga pasaran DOC layer jantan adalah Rp. 1.400,- sedangkan harga DOC layer betina adalah Rp. 4.900,- (SOP Hatchery, 2015).

(39)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Ternyata dari saat sebelum transfer data HE yang infertil, explode, loss, sampai saat ditetaskan di mesin hatcher, strain Isa Brown dari grade A1 dengan berat telur berkisar antara 50-53,9 gram paling baik.

2. Ternyata dari saat setelah transfer atau saat pullchick yang paling banyak menghasilkan DOC betina juga dari strain Isa Brown grade A1 yaitu 49,31%. Sedangkan yang terbanyak jantan adalah strain Lohman grade A1 yaitu 49,18%.

5.2. Saran

Seandainya perusahaan ingin mendapatkan produksi DOC betina layer dengan jumlah yang lebih banyak, maka telur yang paling banyak ditetaskan sebaiknya dari strain Isa Brown grade A1.

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah, dkk. 2012. Perbandingan performa dua strain ayam jantan tipe medium yang diberi ramsum kmersial broiler. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=97062&val=401 7 (Diunggah tanggal 16 Juni 2015).

Direktorat Jenderal Peternakan, 1982. Syarat-syarat teknis pada perusahaan peternakan ayam bibit. Departement Pertanian. Jakarta

Kartasudjatna, R, Suprijatna. 2010. Manajemen ternak unggas. Penebar Swadaya, Jakarta. 124 hal.

Paimin, B. Farry. 2011. Mesin tetas. Penebar Swadaya, Jakarta. 164 hal. Rasyaf, M. 1991. Pengelolaan penetasan. Cetakan ke-2. Kanisius, Yogyakarta. , M. 1995. Pengelolaan usaha peternakan ayam pedaging. Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta.

Riyanto, A. 2001. Sukses menetaskan telur ayam. Agromedia Pustaka, Jakarta. Sahlan, B. Pengaruh berat badan ayam ras petelur fase grower terhadap produksi telur fase produksi.

http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/4729 (Diunggah tanggal 22 Juni 2015)

Sarwono, B. 2002. Beternak ayam buras. Penebar Swadaya, Jakarta.

Standar Operasional (SOP) Hatchery. 2015. Unit Hatchery PT. Charoen Pokphand Jaya Farm. Pekanbaru, Provinsi Riau.

Sudaryani, T. 2003. Kualitas telur. Cetakan ke-4. Penebar Swadaya, Jakarta. Sudaryani, T, Santosa. 2002. Pembibitan ayam ras. Penebar Swadaya, Jakarta.

159 hal.

Suharno, B. 2012. Agribisnis ayam ras. Penebar Swadaya, Jakarta. 92 hal.

Suprijatna, Kartasudjana. 2005. Ilmu dasar ternak unggas. Penebar swadaya, Jakarta.

(41)

Lampiran 1. Dokumentasi

Ruang penerimaan HE Candling HE

Isa Brown A3 Isa Brown A2

(42)

Lohman A2 Lohman A1

Sett HE Setting HE

(43)

Grading dan Sexing Debeaking

Vaksin Inject Vaksin spray

(44)

DOC betina DOC Culling

Holding room Setter

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait