• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Pembahasan

4.2.1. Dari saat sebelum transfer a. Infertil

Infertil merupakan telur yang tidak dibuahi oleh pejantan. Sedangkan fertilitas merupakan persentase telur yang telah dibuahi dibandingkan telur yang dierami. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa rata-rata presentase telur tetas yang infertil yang di candling pada saat transfer yaitu untuk strain Isa Brown grade A3 adalah 8,21%, strain Isa Brown grade A2 adalah 8,23%, strain Isa Brown grade A1 adalah 6,20%. Sedangkan untuk strain Lohman grade A3 adalah 10,76%, strain Lohman grade A2 adalah 12,16%, dan strain Lohman grade A1 adalah 12,56%.

Telur yang ditetaskan yang mempunyai infertil tertinggi adalah strain Lohman grade A1 yaitu 12,56% dan paling rendah adalah Isa Brown A1 yaitu 6,20%, hal ini disebabkan oleh penanganan dan manajemen parent stock yang menghasilkan telur tetas tersebut selama di Breeding Farm. Fertilitas telur tetas dipengaruhi oleh ada tidaknya pejantan dan betina melakukan perkawinan. Jika betina dikawini oleh pejantan maka telur yang dihasilkan itu fertil, sebaliknya jika betina tidak sempat dikawini oleh pejantan maka telur yang dihasilkan infertil dan tidak akan menghasilkan bibit.

Fertilitas diartikan sebagai presentase jumlah telur fertil berdasarkan jumlah telur yang dierami. Secara alami, fertilisasi terjadi di infundibulum sekitar 15 menit sebelum ovulasi. Sperma bergerak sepanjang oviduct selama 30 menit untuk mencapai infundibulum, apabila belum ada telur yang terbentuk. Gerakan sperma dibantu oleh cilia dari oviduct, antiperistaltik otot, dan mortilitas sperma.

Menurut Kartasudjana dan Suprijatna (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas adalah yang pertama mortilitas sperma. Dalam satu hari, pejantan akan memproduksi sperma normal selama 12 jam. Mortilitas berkurang bila pejantan terlalu sering mengawini betina. Selanjutnya umur, fertilitas yang baik untuk jantan maupun betina terjadi pada produksi tahun pertama dan menurun setelah tahun tersebut. Pejantan digunakan saat berumur 6 bulan sampai 2 tahun. Setelah itu Produksi sperma, sperma yang mengandung persentase sperma abnormal yang tinggi, fertilitasnya menjadi rendah. Adapun faktor lain yang mempengaruhi fertilitas adalah ransum, hormon, lama penyinaran, preferential mating (memilih pasangan), musim, peck order, perbandingan jumlah jantan dan betina, dan lamanya jantan dalam kandang.

b. Explode (HE yang busuk)

Adapun data rata-rata persentase telur tetas yang mengalami kebusukan (explode) didapat pada proses transfer dapat pada Tabel 3. Pada strain Isa Brown grade A3 yaitu 0,23%, strain Isa Brown grade A2 yaitu 0,22%, strain Isa Brown grade A1 yaitu 0,22%. Sedangkan pada strain Lohman grade A3 yaitu 0,31%, strain Lohman grade A2 yaitu 0,39%, dan strain Lohman grade A1 0,45%.

Dilihat dari data di atas telur tetas yang mengalami kebusukan adalah pada strain Lohman grade A1 yaitu 0,45% dan yang paling rendah adalah Isa Brown A2 dan A1 yaitu 0,22%. Telur explode adalah telur tetas yang mengalami kebusukan dan pada akhirnya meledak. Telur explode disebabkan oleh penanganan telur tetas yang kurang baik mulai dari penerimaan telur tetas sampai manajemen di setter. Adapun faktor yang paling mendasar adalah telur tetas yang kurang bersih sehingga menyebabkan mudahnya bakteri masuk melalui pori-pori

telur. Selanjutnya faktor penanganan di holding room sampai saat preheat, preheat harus dilakukan dengan metode yang tepat. Apabila preheat tidak maksimal dan tidak dilakukan dengan temperatur dan kelembapan yang tepat, maka telur tetas akan mudah mengembun dan menyebabkan telur busuk.

Jika telur tetas akan dikeluarkan dari tempat penyimpanan dan akan dimasukkan ke dalam mesin tetas maka telur tersebut harus bebas dari kondensasi atau pengembunan pada permukaan kulitnya. Kondensasi terjadi karena kelebaban yang tinggi dan temperatur yang rendah selama penyimpanan. Titik-titik air ini perlu dihilangkan karena kemungkinan mengandung bakteri di dalamnya yang dapat menyebabkan rusaknya telur dan menurunkan daya tetasnya. Kondensasi dapat dihilangkan dengan cara, mengurangi kelembapan penyimpanan sesaat sebelum telur dikeluarkan dan meningkatkan temperatur ruangan penyimpanan agar menguap dengan cepat (Kartasudjana dan Suprijatna, 2010).

c. Loss (HE yang hilang)

Dilihat pada Tabel 3 rata-rata persentase telur tetas yang hilang (loss) yang dihitung pada saat transfer yaitu untuk strain Isa Brown grade A3 adalah 0,11%, strain Isa Brown grade A2 adalah 0,09%, strain Isa Brown grade A1 adalah 0,08%. Sedangkan untuk strain Lohman grade A3 adalah 0,11%, strain Lohman grade A2 adalah 0,22%, strain Lohman grade A1 adalah 0,12%.

Dari data di atas dapat dlihat bahwa telur tetas yang paling banyak hilang adalah Lohman A2 yaitu 0,22% dan paling sedikit adalah A2 dan A1 Isa Brown yaitu 0,08%. Hal ini tidak berpengaruh besar bagi hasil penetasan karena dalam jumlah sedikit. Hanya saja kehilangan telur ini disebabkan karena telur yang busuk telah disisir pada saat di dalam mesin setter saat proses sweeping. Sweeping

dilakukan supaya telur yang busuk tidak pecah di dalam mesin setter. Apabila telur tersebut sempat meledak akan berpengaruh terhadap telur yang lain dan menyebabkan mesin kotor.

c. HE yang layak

Dilihat pada Tabel 3 HE yang layak yang dihitung pada saat transfer yaitu untuk strain Isa Brown grade A3 adalah 85,94%, strain Isa Brown grade A2 adalah 86,65%, strain Isa Brown grade A1 adalah 88,83%. Sedangkan untuk strain Lohman grade A3 adalah 81,53%, strain Lohman grade A2 adalah 78,80%, strain Lohman grade A1 adalah 78,83%.

Dari data di atas dapat dlihat bahwa telur tetas yang layak ditetaskan adalah Isa Brown A1 yaitu 88,83% dan paling sedikit adalah A2 Lohman yaitu 78,80%. Semakin banyak HE yang layak untuk ditetaskan maka semakin baik pula produksi yang dihasilkan pada saat pullchick. Sebaliknya, semakin sedikit HE yang layak ditetaskan semakin tidak efektif pula hasil penetasan tersebut. 4.2.2. Dari saat setelah transfer

a. DIS (Death In Sheel)

Dilihat pada Tabel 4 rata-rata persentase telur tetas yang DIS (Death In Sheel) yang dihitung pada saat pullchick yaitu untuk strain Isa Brown grade A3 adalah 6,02%, strain Isa Brown grade A2 adalah 5,26%, strain Isa Brown grade A1 adalah 5,00%. Sedangkan untuk strain Lohman grade A3 adalah 8,22%, strain Lohman grade A2 adalah 9,68%, strain Lohman grade A1 adalah 9,27%.

Dari data di atas dapat dilihat bahwa telur tetas yang banyak mengalami kematian dalam kerabang adalah strain Lohman grade A2 yaitu 9,68% dan yang terendah adalah Isa Brown A1 yaitu 5,00%. Hal ini disebabkan oleh penanganan

dalam proses penetasan yang kurang tepat. Suhu dan kelembaban pada saat pengeraman di mesin setter sangat berpengaruh bagi kelangsungan penetasan yang baik. Apabila suhu terlalu tinggi maka kemungkinan akan matinya embrio itu sangat tinggi. Begitu juga dengan kelembapan yang rendah maka embrio akan mengalami dehidration.

Temperatur inkubasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Temperatur yang tidak tepat akan menyebabkan rendahnya daya tetas. Dalam mesin tetas tipe forced draft incubator, antara hari ke-1 sampai hari ke-18, temperatur yang baik yaitu 99°-100° F. Setelah hari ke-18, temperatur diturunkan 2°-3° F (97°-99° F). Bila inkubator akan dipergunakan, temperatur harus benar-benar konstan. Kelembapan yang baik dalam mesin tetas antara hari ke-1 sampai hari ke-18 yaitu 50-60%, setelah hari ke-18 kelembaban dinaikkan menjadi 75% (Kartasudjana dan Suprijatna, 2010).

b. Hatch (HE yang menetas)

Dilihat pada Tabel 4 rata-rata persentase telur tetas yang menetas dihitung pada saat pullchick yaitu untuk A3 adalah 93,98%, strain Isa Brown grade A2 adalah 94,74%, strain Isa Brown grade A1 adalah 95,00%. Sedangkan untuk strain Lohman grade A3 adalah 91,78%, strain Lohman grade A2 adalah 90,32%, strain Lohman grade A1 adalah 90,84%.

Dilihat dari data di atas data HE yang menetas pada saat pullchick yang paling tinggi adalah dari strain Isa Brown grade A1 yaitu 95,00% dan paling rendah adalah dari strain Lohman grade A2 yaitu 90,32%. HE yang menetas bergantung pada jumlah HE yang infertil, explode, loss dan DIS, semakin banyak jumlah HE yang tidak layak tetas maka makin sedikit HE yang menetas pada saat

pullchick, sebaliknya jika sedikit jumlah HE yang tidak layak maka HE yang menetas dalam saat pullchick akan semakin banyak.

Keadaan fisik telur mempengaruhi daya tetas. Untuk mempertahankan daya tetas telur maka keadaan fisik telur harus diseleksi sebelum ditetaskan. Bentuk telur dipengaruhi oleh faktor keturunan (Kartasudjana dan Suprijatna, 2010).

c. Culling

Dilihat pada Tabel 4 rata-rata persentase DOC yang diculling yang dihitung pada saat pullchick dan dihitung dari total hatch (yang ditetaskan setelah transfer) yaitu untuk strain Isa Brown grade A3 adalah 2,07%, strain Isa Brown grade A2 adalah 1,87%, strain Isa Brown grade A1 adalah 1,82%. Sedangkan untuk strain Lohman grade A3 adalah 2,23%, strain Lohman grade A2 adalah 2,35%, strain Lohman grade A1 adalah 2,39%.

Dari data di atas DOC yang paling banyak di culling adalah dari strain Lohman grade A1 yaitu 2,39% dan yang paling rendah adalah strain Lohman grade A2 dan A1 yaitu 1,82%. Menurut SOP Hatchery, DOC culling disebabkan oleh suhu dan kelembaban dalam mesin tetas. Kemudian disebabkan juga oleh kesalahan turning pada mesin. Adapun kesalahan turning (pemutaran telur) diantaranya posisi turning yang tidak tepat, biasanya standar SOP Hatchery 45°, turning harus dilakukan sitiap 1 jam sekali. Kereta yang macet atau tidak bisa turning juga berakibat terhadap DOC yang ditetaskan. Selanjutnya kesalahan pada sistem listrik. Adapun jenis-jenis DOC culling di Hatchery Pekan Baru sebagai berikut. Kulit telur, string navel, black navel, cacat, lumpuh, wetneck, sticky, dehidration, small under grade, yellow navel, blody.

d. Female

Dilihat pada Tabel 4 rata-rata persentase DOC betina yang dihitung pada saat pullchick dan dihitung dari total ditetaskan setelah transfer yaitu untuk strain Isa Brown grade A3 adalah 49,11%, strain Isa Brown grade A2 adalah 49,29%, strain Isa Brown grade A1 adalah 49,31%. Sedangkan untuk strain Lohman grade A3 adalah 48,99%, strain Lohman grade A2 adalah 48,82%, strain Lohman grade A1 adalah 48,43%.

Dari data di atas tingkat persentase telur tetas yang menghasilkan DOC layer betina paling banyak adalah strain Isa Brown grade A1 yaitu 49,31% dan yang paling rendah adalah strain Lohman grade A1 yaitu 48,43%. Persentase jantan dan betina yang dihasilkan oleh suatu penetasan bergantung pada strain dan grade dari telur yang ditetaskan. Hal ini berawal dari pemeliharan dan pengelolaan dari peternak parent stock. Faktor genetik dan pakan juga menentukan dari hasil produksi DOC. DOC betina sebaiknya lebih banyak dari DOC jantan, karena hanya DOC betina yang bisa menghasilkan telur komsumsi. DOC betina banyak dipelihara oleh peternak dibanding DOC jantan, karena lebih menguntungkan. Salah satu faktor genetik yang mempengaruhi adalah strain, dan dari faktor lingkungan yang memberikan pengaruh paling besar adalah ransum. Pemilihan strain merupakan salah satu langkah awal yang harus ditentukan agar pemeliharaannya berhasil (Ardiansyah dkk, 2012).

e. Male

Dilihat pada Tabel 4 persentase DOC jantan yang dihitung pada saat pullchick dan dihitung dari total hatch (yang ditetaskan setelah transfer) yaitu untuk strain Isa Brown grade A3 adalah 48,82%, strain Isa Brown grade A2

adalah 48,87%, strain Isa Brown grade A1 adalah 48,87%. Sedangkan untuk strain Lohman grade A3 adalah 48,78%, strain Lohman grade A2 adalah 48,82%, strain Lohman grade A1 adalah 49,18%.

Dari data di atas yang paling banyak mengahsilkan DOC jantan adalah dari strain Lohman grade A1 yaitu 49,18% dan yang paling rendah adalah Lohman grade A2 dan Isa Brown A3 yaitu 48,82%. Seperti yang dijelaskan di atas produksi DOC dipengaruhi oleh ransum dan lingkungan. Ada beberapa peternak yang memelihara DOC jantan karena harga bibit yang murah serta konversi ransum rendah, tetapi pertumbuhan lambat. Pada saat sekarang ini harga pasaran DOC layer jantan adalah Rp. 1.400,- sedangkan harga DOC layer betina adalah Rp. 4.900,- (SOP Hatchery, 2015).

Dokumen terkait