• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN SISTEM KEPEMILIKAN TANAH PADA PERKEBUNAN TEBU DI SINDANGLAUT, CIREBON ( )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERKEMBANGAN SISTEM KEPEMILIKAN TANAH PADA PERKEBUNAN TEBU DI SINDANGLAUT, CIREBON ( )"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN SISTEM KEPEMILIKAN TANAH PADA PERKEBUNAN TEBU DI SINDANGLAUT,

CIREBON (1870-1968)

Development of The Land Ownership System of Sugar Cane Plantation in Sindanglaut Cirebon (1870-1968)

Billy Nugraha Ramadhana 1803 1006 0008

ABSTRAK

Karya tulis ini berjudul “Perkembangan Sistem Kepemilikan Tanah Pada Perkebunan Tebu di Sindanglaut Cirebon 1870-1968”. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana perubahan sistem kepemilikan tanah yang terjadi di Sindanglaut dari masa sebelum adanya Undang-Undang Agraria sampai diberlakukannya Undang-Undang Agraria. Setelah itu perubahan kembali terjadi pada saat Indonesia merdeka. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Metode sejarah mencakup empat tahapan, yakni heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa sistem pertanahan di Sindanglaut awalnya bersifat tradisional. Setelah diberlakukannya Undang-Undang Agraria pada tahun 1870 terjadi perubahan bagi sistem kepemilikan tanah di Sindanglaut, selanjutnya dimulailah masa liberal yang memberikan kebebasan kepada pihak swasta untuk menguasai tanah dan membuat perkebunan-perkebunan. Setelah Indonesia merdeka, perkebunan-perkebunan tersebut dinasionalisasi oleh pemerintah dan tanah-tanahnya dikembalikan kepada rakyat. Selain itu pemerintah juga membuat Undang-Undang Pertanahan untuk mengganti Undang-Undang Pertanahan peninggalan pemerintah Hindia Belanda. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan sistem kepemilikan tanah dari milik swasta asing menjadi milik pemerintah yang kemudian dikembalikan kepada rakyat di Sindanglaut.

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Di dalam kehidupan petani Sindanglaut pada masa sebelum kolonial masyarakat masih menggunakan hukum kepemilikan adat atas tanah. Masalah kepemilikan tanah maupun pembagian tanah selalu mengedepankan keseimbangan antara kepentingan bersama dengan kepentingan perseorangan. Pemilikan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan keselarasan dan kesejahteraan bersama. Masalah kepemilikan tanah petani Jawa telah banyak berubah terutama ketika kolonial masuk dan menerapkan beberapa kebijakan yang berhubungan langsung dengan tanah. Kebijakan ini merupakan pijakan awal bagi petani Sindanglaut dalam mengenal sistem tanah yang berdasarkan atas kontrak dan bukan hukum kepemilikan adat ataupun ikatan-ikatan feodal (Rukhyat, 2001; 27).

Masuknya sistem pertanahan kolonial ini mengubah sistem kepemilikan tanah umumnya sistem kepemilikan tanah bersifat dualisme, di mana peraturan-peraturan agraria terdiri dari peraturan-peraturan-peraturan-peraturan yang bersumber pada hukum adat (hukum yang sudah lama melekat di masyarakat Indonesia) dan hukum barat (hukum pemerintahan Hindia Belanda). Masyarakat pribumi tunduk pada hukum barat dan hukum adat sedangkan pemerintah Hindia Belanda tidak memperdulikan hukum adat yang sudah turun temurun ada pada masyarakat Indonesia. Masyarakat membentuk sistem penguasaan tanah baru yang disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan mereka selaku penjajah, maka tidak mengherankan jika banyak hal melemahkan sendi-sendi hukum yang asli milik orang-orang pribumi. Oleh karena itu, terjadilah dualisme hukum pertanahan di Indonesia. Hukum barat bagi orang Eropa dan golongan asing lainnya yang dipersamakan dengan orang Eropa, dan di pihak lain berlaku hukum adat bagi orang pribumi (Sumardjono, 2005; 48)

(3)

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, maka pemerintah Indonesia melakukan perubahan yang sangat mendasar terutama dalam sumber-sumber ekononominya salah satu sumber-sumber ekonominya adalah tanah. Pemerintah melakukan nasionalisasi terutama dalam bidang perkebunan karena menyangkut sumber ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia mengeluarkan undang-undang untuk menasionalisasi perkebunan, dan setelah dinasionalisasi pemerintah juga mengeluarkan undang-undang pokok agraria untuk menggantikan hukum agraria pada masa pemerintahan Belanda. Batasan waktu pada skripsi ini berakhir pada tahun 1968 ketika program landreform yang bertujuan untuk melakukan penataan kembali penguasaan tanah dan kepemilikan tanah mengalami kegagalan seiring dengan berakhirnya masa pemerintahan Soekarno.

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa perkembangan sistem kepemilikan tanah di Sindanglaut berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat di Sindanglaut. Hal ini menjadi landasan untuk diangkat dalam skripsi yang bejudul “Perkembangan Sistem Kepemilikan Tanah Pada Perkebunan Tebu Di Sindanglaut, Cirebon (1870-1968)”.

1.2 Rumusan Masalah

- Bagaimana sistem kepemilikan tanah di Sindanglaut dan kebijakannya pada masa Pemerintahan Hindia Belanda sebelum adanya Agrarische Wet?

- Bagaimana sistem kepemilikan tanah di Sindanglaut dan kebijakan pemerintah setelah diberlakukannya Agrarische Wet ?

- Bagaimana sistem kepemilikan tanah di Sindanglaut dan kebijakan pemerintah Indonesia setelah merdeka?

Tujuan Penelitian

- Mengetahui sistem kepemilikan tanah di Sindanglaut dan kebijakan pemerintah Belanda tentang pertanahan sebelum masa liberal atau sebelum adanya Undang-Undang Agraris.

(4)

- Mengetahui perubahan sistem kepemilikan tanah di Sindanglaut dan kebijakan pemerintah tentang pertanahan setelah dikeluarkannya Undang-Undang Agraris. - Mengetahui perubahan sistem kepemilikan tanah di Sindanglaut setelah Indonesia merdeka dan menasionalisasi perkebunan di Sindanglaut serta mengetahui kebijakan pemerintah Indonesia untuk menggantikan Undang-Undang Agaris peninggalan pemerintah Hindia Belanda.

1.4 Metode Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini, digunakan metode sejarah untuk menyusun menjadi sebuah karya ilmiah yang kronologis, sistematis, dan objektif. Metode sejarah tersebut terdiri atas empat tahapan, yaitu tahapan pertama adalah tahap heuristik atau pengumpulan data, kritik, interpretasi dan tahapan yang terakhir adalah historiografi (Herlina, 2008: 1).

1.5 Tinjauan Pustaka

Karya yang dijadikan tinjauan dalam penulisan skripsi ini adalah laporan penelitian dari A.C.C. Link yang bejudul De Aggrarische-Economische Hervoningen in Oost-Cheribon, diterbitkan dalam majalah Koloniaal Tijdschrift no. 12, tahun 1923, halaman 268-304. Link membahas tentang reformasi agraria di Cirebon Timur. Karya ini merupakan suatu laporan tentang kehidupan para petani sesudah terjadinya penyewaan tanah milik mereka secara besar-besaran oleh perkebunan tebu.

Karya selanjutnya yang banyak memberikan masukan yang sangat berharga adalah tulisan dari Dr. J.W. Meyer Reneft, adjunt-inspecteur dari Agrarische Zaken en Verplicate Diensten tahun 1919-1923, laporan ini berjudul Het Dessawezen en het Gronbenzit in de Afdeling Cheribon. Penulis mengambil laporan ini dari buku yang diterbitkan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia pada tahun 1974 yang berjudul Laporan-Laporan Desa (Desa Rapporten). Karya ini mempunyai kesamaan dengan karya Link (1923) yang membahas tentang reformasi Agraria di Cirebon bagian Timur. Tulisan ini memberikan gambaran secara panjang lebar mengenai masalah kepemilikan tanah di Cirebon Timur

(5)

(Renneft, 1974:17). Wilayah Cirebon Timur merupakan daerah pertanian tetapi hanya sebagian dari tanah pertanian di wilayah ini yang digarap oleh petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

1.6 Kerangka Pemikiran Teoretis

Konsep penguasaan tanah dalam desa tradisional bedasarkan hak ulayat, diperkenalkan oleh VanVollenhoven yaitu hak masyarakat hukum adat sebagai suatu kesatuan yang mempunyai wewenang keluar serta ke dalam. Terdapat dua unsur yang memberikan ciri ialah, pertama tidak adanya kekuasaan untuk memindahtangankan tanah, dan kedua terdapat interaksi antara hak komunal dan han individu (R. Van Dijk, dalam Soehardi, 1964; 43). Pembukaan dan perluasan perkebunan tebu telah menciptakan suatu sistem perekonomian yang bersifat dualistis1. Menurut Hiroyosi Kano (1984: 32), proses dualistis di Indonesia dapat dilihat dari adanya pembenturan dua sistem perekonomian yang berbeda, yaitu antara sistem perekonomian tradisional dan sistem perekonomian kolonial yang bersifat kapitalistik dalam bentuk perusahaan perkebunan. Berdirinya perkebunan tebu telah menciptakan sistem pertanahan yang dilatarbelakangi dualisme sistem perekonomian, karena sistem perkebunan berdampingan dengan sistem pertanahan rakyat.

1.7 Organisasi Penulisan

Dalam bab pendahuluan, diuraikan latar belakang masalah yang membahas berbagai alasan penulis memilih kajian ini. Selanjutnya adalah pembatasan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran teoretis, tinjauan pustaka dan organisasi penulisan.

Kemudian sebagai langkah awal, sebelum memasuki permasalahan utama, gambaran umum Sindanglaut perlu untuk diungkapkan. Latar belakang sosial ekonomi mencakup tentang kondisi geografi dan demografi serta stratifikasi sosial, sistem kepemilikan tanah sebelum Agrarische Wet, dan kebijakan

1 Konsep dualistis J.H. Boeke mengenai dualistis ekonomi tersebut mampu menjelaskan kondisi pertanian dan masyarakat pedesaan, sehingga dalam beberapa hal konsep tersebut dapat diterapkan secara wajar sebagai salah satu aspek perubahan yang menyeluruh.

(6)

pemerintah Belanda terhadap pertanahan. Setelah itu diuraikan tentang faktor-faktor dibukanya lahan perkebunan tebu di Sindanglaut, selanjutnya uraian tentang perubahan sistem kepemilikan tanahnya setelah Agrarische Wet, kemudian kebijakan pemerintah Belanda yang mengeluarkan uandang-undang pertahanan untuk mendukung perekonomian serta guna melindungi juga hak-hak orang pribumi dalam bidang pertanahan.

Pada bagian bab selanjutnya yaitu bab tiga, akan menguraikan tentang dinasionalisasinya perkebunan-perkebunan tebu di Sindanglaut yang berpengaruh terhadap sistem kepemilikan tanahnya, serta kebijakan yang di keluarkan pemerintah Indonesia untuk menggantikan kebijakan-kebijakan pertanahan bekas Belanda.

Bab keempat, sebagai bab terakhir, berisi penjelasan mengenai simpulan terhadap pembahasan yang dapat dijadikan sebagai jawaban terhadap permasalahan. Selanjutnya, skripsi ini dilengkapi dengan synopsis, daftar sumber, lampiran-lampiran, dan riwayat hidup penulis.

(7)

PERTANAHAN DI SINDANGLAUT

PADA MASA SEBELUM DAN DIBERLAKUKANNYA AGRARISCHE WET (1870-1945)

2.1 Gambaran Umum Sindanglaut

Sindanglaut merupakan sebuah distrik2 di Keresidenan Cirebon. Distrik Sindanglaut terletak sekitar 16 KM di sebelah timur kota Cirebon dengan batas-batas wilayahnya di sebelah utara berbatas-batasan dengan Laut Jawa, di sebelah barat dengan Distrik Cirebon, di sebelah timur dengan Distrik Ciledug (Losari) dan di sebelah selatan dengan Distrik Ciawigebang (Breman, 1986: 64; Handboek voor Cultuuren Handlesoordeerneming in Nederlandsch-Indie, 1939:346).

Distrik Sindanglaut terbagi menjadi tiga onderdistrik yaitu Lemah Abang, Karang Sembung, dan Astana Japura. Ibukota Distrik Sindanglaut adalah Sindanglaut yang termasuk onderdistrik Lemah Abang (ENI, IV, 1935: 399). Di ibukota terdapat banyak rumah-rumah yang terbuat dari batu yang sangat bagus dengan banyak menggunakan balok kayu dan atapnya terbuat dari papan, sedangkan di daerah pedesaan, rumahnya sangat sederhana dan kebanyakan dari bambu yang dibuat serampangan dan beratap injuk (OMW, Ixc, 1911: 234). Jumlah desa di Sindanglaut pada tahun 1876 adalah 53 desa, dan luas wilayahnya pada tahun 1905 adalah 164 KM (Groenhoef, 1919: 210-213).

2.2 Sistem Kepemilikan Tanah Sebelum Agrarische Wet

Pada masa pemerintah Hindia Belanda sebelum tahun 1870, hukum agraria belum menunjukan adanya unifikasi, artinya pemberlakuan hukum pertanahan tidak tunggal tapi dibedakan asal golongan dari masyarakat tersebut, sistem kepemilikan tanahnya berisifat dualisme karena tanahnya ada yang

2 Dalam pengertian administratif sekarang, istilah distrik telah diganti menjadi kewedanaan. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda distrik merupakan kesatuan administratif kecil, menurut Bestuurhervormingwet 1922 pasal 119-122 IS (Indische Staatsregeling), Jawa, dan Madura dibagi menjadi propinsi-propinsi (Gouverment). Propinsi dibagi menjadi Regentschapoen (keresidenan) yang meliputi wilayah Regenschap (kabupaten) dan Onderdistricten (kecamatan) yang masing-masing berada di bawah kekuasaan Pangreh Praja bumi putera yaitu bupati, wedana, dan asisten wedana (Paulus, 1979: 48-50).

(8)

menganut hukum barat dan ada yang menganut hukum orang pribumi. Tanah yang pertama ialah tanah-tanah barat atau tanah-tanah Eropa dan hampir semuanya terdaftar pada kantor pendaftaran tanah, seperti tanah Eigendom,3 tanah Erfpacht,4

tanah Opstal,5 dan lain sebagainya. Tanah-tanah barat ini tunduk pada

ketentuan-ketentuan hukum pertanahan barat, misalnya cara memperolehnya, peralihannya, lenyapnya, pembebanannya, dengan hak-hak lain dan wewenang-wewenang serta kewajiban-kewajiban yang mempunyai tanah (Rukhiyat, 1992: 141).

Munculnya dualisme sistem kepemilikan tanah itu, yaitu sistem kepemilikan barat dan sistem kepemilikan oleh orang pribumi ini, dikarenakan pemerintah Belanda ini masih belum mengetahui dengan jelas bagaimana batasan-batasan dari sistem kepemilikan pribumi. Diberlakukannya dualisme ini agar memperjelas tanah-tanah barat ini supaya tunduk pada hukum yang berlaku, sedangkan bagi pribumi untuk memperjelas kepastian hak pribumi tentang tanah, tetapi yang lebih penting agar pemerintah Belanda ini bisa memungut pajak dari tanah yang dimiliki oleh pribumi.

Kehidupan petani sangat terikat kepada bentuk organisasi tradisional dalam memenuhi kebutuhannya. Sifat dari pemenuhan kebutuhan petani adalah subsistem atau mencukupi diri sendiri, dan yang sangat penting adalah sifat tolong-menolong antar anggota masyarakat. Pada bentuk yang telah melembaga pada kehidupan petani sejak dulu tersebut tidak pernah tercipta hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah (majikan-buruh), dan hal itu baru terjadi ketika perkebunan tebu muncul di Sindanglaut.

Pada dasarnya, petani di Sindanglaut ini lebih menginginkan menanam tanahnya dengan tanaman seperti padi dan palawija. Hal ini disebabkan oleh petani dalam kehidupan sehari-hari tidak terlalu membutuhkan uang tunai (Boeke dan Burger, 1973: 26).

3 Eigendom adalah hak untuk dengan bebas mempergunakan atau menikmati benda sepenuh-penuhnya dan untuk menguasai seluas-luasnya, asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan umum yang ditetapkan oleh instansi yang berhak menetapkannya (Prodjodikoro, Wirjono, 1961: 154).

4 Erfpacht adalah hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya kegunaan sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban untuk membayar setiap tahun sejumlah uang atau hasil bumi kepada pemilik tanah (Prodjodikoro, Wirjono, 1961: 156).

5 Opstal adalah suatu hak kebendaan untuk mempunyai rumah-rumah, bangunan-bangunan dan tanaman di atas tanah milik orang lain (Prodjodikoro, Wirjono, 1961: 158).

(9)

2.3 Sistem Kepemilikan Tanah Setelah Agrarische Wet

Pada tahun 1870, pemerintah Hindia Belanda mengumumkan berlakunya kebijakan ekonomi liberal. Hal itu mengakibatkan Hindia Belanda menjadi terbuka bagi penanaman modal asing. Modal asing tersebut dapat ditanamkan pada perkebunan-perkebunan tebu yang dulunya merupakan milik pemerintah. Usaha perkebunan tebu tersebut berkembang dengan cara menyewa tanah-tanah milik petani (Geertz, 1983: 88: Sulistiyo, 1995: 12).

Perkebunan tebu di Sindanglaut pada awalnya merupakan perusahan gula milik pemerintah Hindia Belanda, namun setelah dikeluarkannya Undang-Undang Agraria 1870, statusnya berubah menjadi perusahaan swasta. Akte perusahaannya sendiri baru disahkan pada tahu 1893. Perkebunan tebu Sindanglaut merupakan perusahaan milik N.V. Maatschappij tot Exploitatie der Suikerfabriek Sindanglaoet. Dengan semakin meluasnya perkebunan tebu di Sindanglaut membuat perusahaan perkebunan tebu ini membuat pabrik gula di Sindanglaut dengan mesin-mesin yang modern agar mempermudah proses produksi gula yang selama ini masih menggunakan sistem tradisional, pabrik gula ini didirikan pada 1896 (Handboek, 1894: 312).

(10)

SISTEM PERTANAHAN PADA MASA KEMERDEKAAN (1945-1968)

3.1 Nasionalisasi Dan Perubahan Sistem Kepemilikan Tanah

Pemerintah Indonesia sendiri menyadari bahwa perlu adanya suatu perubahan yang mendasar pada bangsa ini terutama di bidang ekonomi, karena bangsa Indonesia tidak akan pernah berkembang jika sumber ekonominya salah satunya tanahnya sendiri masih dikuasai oleh bangsa lain. Maka dari itu pemerintah berusaha mengubah struktur ekonomi. Masalah penguasaan tanah oleh para priyayi-priyayi sejak awal kemerdekaan bangsa Indonesia sudah dikenal dan dihayati sebagai masalah dasar yang mengakibatkan kemelaratan di kalangan penduduk Jawa termasuk Sindanglaut. Selain itu di Sindanglaut juga terjadi pemakaian tanah-tanh oleh penduduk yang bukan haknya (tanah perkebunan tebu Sindanglaut dan tanah milik orang lain). Banyak tanah-tanah perkebunan tebu Sindanglaut menjadi sasaran penggarapan untuk pertanian hingga keadaan perkebunan semakin memprihatinkan.

Bagi perkebunan-perkebunan tebu di Sindanglaut yaitu perusahaan swasta asing yaitu NV NILM (Nederland Indische Landbouws Maaschapij), perusahaan yang bergerak dalam bidang perkebunan dan NV NHM (Nederland Handels Maschapij) yang merupakan salah satu bank terbesar milik Belanda. Namun seiring dengan adanya kebijaksanaan perekonomian pemerintah Indonesia tentang nasionalisasi perusahaan asing, maka secara otomatis perusahaan-perusahaan pun dinasionalisasikan.

Seiring dengan dinasonalisasinya perkebunan-perkebunan milik Belanda, maka tanah-tanah perkebunanpun diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Mulai tahun 1959 tanah-tanah di Sindanglaut bekas perkebunan Belanda ini diambil alih oleh pemerintah dan dibagikan kepada desa-desa yang ada di Sindanglaut, sehingga pabrik gula yang berada di Sindanglaut walaupun milik pemerintah ini tetap harus menyewa tanah dari rakyat untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tebu.

(11)

1960, menghapus Agrarische Wet dan Agrarische Besluit Tahun 1870. Dengan perundang-undangan baru ini, dualisme dalam masalah-masalah agraria diakhiri dan hukum-hukum adat lokal tunduk pada kesatuan hukum nasional. Dalam hal penggunaan tanah oleh perusahaan perkebunan, disatukan ke dalam sebuah bentuk hak guna usaha baru dan hanya diberikan kepada warga negara Indonesia atau perusahaan domestik. Pemilikan tanah komunal di desa-desa di Jawa juga diakhiri dengan undang-undang atau peraturan yang mengikutinya. Akibatnya, tanah desa yang sebelumnya merupakan hak komunal berubah menjadi tanah milik yang dimiliki oleh petani-petani secara individual. Akan tetapi, hak milik tanah tersebut sangat ketat dibatasi dengan ketentuan bahwa hak milik tersebut dapat diambilalih negara jika berlawanan dengan kepentingan umum.

(12)

SIMPULAN

Perkebunan dan tanah-tanah pada awalnya merupakan milik pemerintah Hindia Belanda. Setelah dikeluarkannya Agrarische Wet berubah menjadi milik perusahaan swasta. Untuk memperluas lahan perkebunan perusahaan swasta ini menyewa tanah-tanah di Sindanglaut dengan sistem gangsuran, sistem pergiliran tanah, dan sistem godagan.

Pada saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945, sudah langsung menghadapi masalah pertanahan. Pemerintah sendiri menyadari perlu melakukan perubahan yang mendasar, karena bangsa Indonesia tidak akan berkembang jika sumber ekonominya yaitu tanah masih dikuasai oleh bangsa lain. Untuk itu, pemerintah mengambil alih atau menasionalisasi perusahaan perkebunan di Sindanglaut menjadi milik pemerintah Indonesia, dan tanah-tanah bekas perkebunan asing tersebut dibagikan kepada desa-desa yang ada di Sindanglaut.

Selain itu pemerintah Indonesia juga berkeinginan mengubah sistem pertanahan kolonial dengan suatu struktur agraria nasional yang lebih memperhatikan dan melindungi bangsa Indonesia. Maka terbentuklah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960, yang bertujuan bukan saja untuk kepastian hukum tetapi juga untuk mengubah susunan tanah dari suatu struktur warisan feodal dan kolonialisme menjadi suatu susunan tanah yang adil dan sejahtera bagi masyarakat Indonesia. Perubahan undang-undang ini membuat perubahan juga bagi kememilikan tanah dengan menjadi milik pemerintah yang kemudian diberikan kepada masyarakat Sindanglaut.

(13)

DAFTAR SUMBER Arsip dan Sumber Resmi Tercetak

Algemeen Verslag der Residentie Cheribon (AVC) 1870, 1876, 1878, 1879, 1895, 1896

Arsip Perkebunan (AP) No. 1596, ANRI Kolonial Verslag (KV), 1869-1890

Ranefft, J.W. Meyer. 1974. “Het Desawezen aen het Grondbezit in de Afdeling Cheribon”, laporan-laporan desa, ANRI No. 6

Staatsblad (stb) no. 22 tahun 1934 Staatsblad (stb) no. 55 tahun 1870 Staatsblad (stb) no. 152 tahun 1863 Staatsblad (stb) no. 118 tahun 1870 Buku

Bergsma, W.B. 1880. Eindresume, Onderzoek naar de Rechten van den Inlander op den Grond Java en Madera, Vol. II. Batavia: Ersnt & co

Boeke. J.H dan D.H. Burger. 1973. Ekonomi Dualistis: Dialog antara Boeke dan Burger. Jakarta: Bhratara

Breman. 1986. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja; Jawa Masa Kolonial. Jakarta: LP3ES

Encyclopaedie van Nederlands-Indie. 1917. S. De Grafff dan D.G Stibbe (ed), jld. II. S Gravenhage: Marinus Nijhoff

Handboek voor Cultuur en Handels-Ondermingen in Nederland Indie. 1906. Amasterdam: J.H. de Bussy

Levert, P.H. 1934. Inheehsche Arbeid in de Java Suiker Industrie. Wagingen: H. Veenman and Zoonen

Artikel

Anom. 1985. “De Vrije Arbeid de Suikercultuur in de Residentie Cheribon”, TNI, 21-2. Hlm. 352

Bleker, P. 1963. “De Statistische Opname der Residentie Cheribon”, TNI, 2. Hlm. 1-12

Link, A.C.C. 1923. “De Agrarische-Economische Hervomingen in Oost-Cheribon”, KT, 12. Hlm 268-304

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini kami beritahukan bahwa perusahaan Saudara kami undang sebagai kelanjutan proses pelelangan, Saudara diminta untuk mengikuti Klarifikasi dan Negosiasi Teknis

PP No.46 Tahun 2013 adalah peraturan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk memberikan kemudahan bagi wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan yang memiliki

Berdasarkan uraian diatas, masalah dalam penelitian ini adalah rendahnya tingkat kepuasan kerja pada PT JAS Engineering dengan pola yang berbeda antara karyawan muslim dan non

Kalor yang besar atau nilainya sama dengan nilai kalor yang dibutuhkan air yang terdapat dalam bahan bakar dan air yang terbentuk untuk menguap  pada

Beberapa jenis hewan lain memiliki kemampuan perilaku untuk melepaskan diri dari pemangsaan, seperti berlari sangat cepat pada antelope dan berenang dengan cepat

Sebagai satuan pendidikan tinggi di Indonesia, Universitas Esa Unggul memiliki berbagai program studi yang dibutuhkan di dunia kerja, baik nasional maupun internasional..

Optimalisasi Pemanfaatan dan Pengembangan Jaringan Internet Lingkup Kantor Gubernur Prov.. Kegiatan Penataan pertelekomunikasi

Pihak lain yang bukan Pemilik atau yang namanya tidak disebutkan dalam surat menyurat kepemilikan tanah dan bangunan sesuai dengan peraturan perundang- undangan sebagaimana