BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejarah privatisasi di Indonesia dimulai dengan lahirnya UU No.6 tahun 1968 pada tanggal
6 juli 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Dalam undang-undang tersebut secara
resmi pemodal asing dapat menginvestasikan modalnya dengan adanya fasilitas keringanan
pajak. Di Indonesia, istilah privatisasi sebelumnya dikenal dengan nama “swastanisasi” baru
setelah berdirinya Kantor Menteri (Negara) BUMN. Istilah ini menjadi sangat popularberkenaan
dengan gagasan, kebijakan dan program yang sangat luas cakupannya. Secara makro, privatisasi
berarti pengurangan peran negara dalam kegiatan bisnis. Dalam sisi mikro, privatisasi berarti
transfer kepemilikan negara kepada masyarakatnya(Moeljono, 2004).
Privatisasi BUMN pertama kali dilakukan pada pemerintahan Soeharto ke-5 pada tahun
1991. Meskipun secara tidak langsung privatisasi telah diundang-undangkan pada tahun 1968
akan tetapi baru pada tahun 1991 privatisasi mulai dilakukan secara terus menerus. Pada tahun
2016 ini, privatisasi menjadi bahan perbincangan lagi karena pemerintah merencakan delapan
perusahaan masuk dalam daftar privatisasi(Sinaga, 2015). Departemen keuangan melakukan
penelitian pada tahun 1989 tentang sehat tidaknya usaha BUMN. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa 189 BUMN yang diteliti, 92 (48,68%) tergolong tidak sehat, 37 (19,58%)
tergolong kurang sehat, 25(13,23%) tergolong sehat, dan 35(18,32%) tergolong sehat sekali.
Kriteria penilaian sehat tidaknya kondisi badan usaha tersebut adalah rentabilitas, likuiditas, dan
Solvabilitas (Widodo, 2001). Selanjutnya, data dari tahun 2000 menunjukkan bahwa hanya
16,06% (22 perusahaan) dalam kondisi kurang sehat dan 5,84% (8 perusahaan) dalam keadaan
tidak sehat (Purwoko,2002).
Misi ganda dari BUMN disebut – sebut menjadi salah satu faktor yang membuat BUMN
kinerjanya kurang maksimal. Selain untuk mencari keuntungan optimal, BUMN juga
mengemban misi sosial sesuai dengan salah satu tujuan pembentukannya. Dengan mengemban
misi ganda ini, BUMN yang seharusnya mendapatkan laba, kemungkinan bisa mengalami
kerugian karena terlalu banyak dibebani dengan misi sosial. Melalui privatisasi, fokus BUMN
hanya pada satu tujuan yaitu mencari keuntungan seoptimal mungkin. BUMN sering kali
mengalami kerugian karena dibebani dengan tujuan untuk memaksimumkan tenaga kerja dan
mengembangkan daerah-daerah yang terbelakang (Megginson et al,1994). Perusahaan tersebut
sebenarnya sudah tidak sehat, tetapi dengan adanya visi dan misi yang berkaitan dengan tujuan
sosial maka perusahaan tetap berjalan. Alternatifnya pemerintah memberikan subsidi untuk
pembelian input ataupun akan menutup kerugian-kerugian yang diderita perusahaan. Oleh karena
itu,salah satu cara yang dipilih pemerintah untuk meningkatkan kinerja dengan melakukan
privatisasi. Privatisasi BUMN merupakan kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk
meningkatkan kinerja BUMN yang meliputi perbaikan struktur permodalan, meningkatkan
profesionalisme dan efisiensi usaha, perubahan budaya perusahaan, memperluas partisipasi
masyarakat dalam kepemilikan saham BUMN serta penciptaan nilai tambah perusahaan melalui
penerapan prinsip GCG yang didasarkan pada transparansi, akuntabilitas dan kemandirian.
Selain itu, orientasi pembangunan yang mengacu kepada pertumbuhan ekonomi yang pesat
menuntut partisipasi pihak swasta dan asing untuk secara aktif terlibat dalam proses
pembangunan nasional. Pengelolaan perusahaan oleh swasta dengan prinsip maksimalisasi
pemerintah.Dengan efisiensi yang lebih baik,BUMN diharapkan dapat lebih kompetitif didalam
maupun diluar negeri.
Menurut kantor Kementrian NegaraBUMN, hingga tahun 2007 BUMN di Indonesia
berjumlah 139. Dari 22 BUMN terbesar dari segi angka asset, ekuitas, penjualan dan laba bersih
8 diantaranya adalah BUMN Tbk. Apabila dibandingkan dengan jumlah agregat seluruh BUMN,
maka 22 BUMNtersebut memiliki 92.21% asset, 92.64%ekuitas, 87.16% penjualan dan 91.78%
laba bersih. Dengan kata lain, dari jumlah keseluruhan BUMN 139, 117 BUMN hanya
berkontribusi kurang dari 10%. Hal ini menunjukkan kinerja sebagian besar BUMN yang kurang
optimal(Kementrian Keuangan, 2008)
Laporan bank dunia tentang sektor publik di Indonesia tahun 1999 menunjukkan fenomena
kebanyakan BUMN menyedot anggaran pemerintah yang sebenarnya bisa dialokasikan untuk
pelayanan sosial, kebanyakan BUMN mengambil kredit untuk investasi yang tidak tepat,
kebanyakan BUMN tidak efisien dibandingkan dengan perusahaan swasta dan diharapkan
dengan perbaikan manajemen BUMN menghasilkan efisiensi (Patriadi, 2003).
Aspek lain yang mendorong program privatisasi adalah adanya konsep yang menyatakan
asas manfaat lebih penting daripada asas kepemilikan(Khajar, 2005),artinya pemerintah akan
lebih memilih mendapatkan keuntungan atau manfaat yang sebesar-besarnya dari BUMN tanpa
harus memilikinya, yakni melalui penerimaan pajak dariBUMN.Dengan begitu, pemerintah
dapat terhindar dari segala beban dan resiko kerugian yang ditimbulkan (Khajar, 2005).
Berdasarkan pengalaman negara lain, menunjukkan bahwa negara lebih baik tidak berperan
langsung dalam menjalankan operasi suatu industri, tetapi cukup sebagai regulator yang
menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menikmati hasil melalui penerimaan pajak (Hakim,
Menurut Prof Peter F Drucker dalam kompas “Privatisasi terkontaminasi virus politisasi”
menyatakan bahwa privatisasi memiliki manfaat yang besar bagi Negara. Dengan lepasnya
kepemilikan dari negara ke swasta dapat menjadikan BUMN itu lebih sehat, efisien dan
memberikan kontribusi yang lebih besar kepada negara berupa pajak karena membaiknya
kinerja. Sehingga disini pemerintah tidak lagi menjadi pengusaha, tetapi tinggal menjalankan
fungsi regulator dan kontrolnya saja(Kompas, 2003).
Berdasarkan data dari Kementrian BUMN (2008) hasil dari privatisasi BUMN pada tahun
2005 mencapai Rp 42 triliun , sedangkan pada tahun 2008 penerimaan negara dari dividen dan
hasil privatisasi mencapai Rp 23,4 triliun dan RP 8 triliun dalam pasar modal total kapitalisasi 15
BUMN yang sudah go publikper 28 Desember 2007 adalah Rp 605.51T atau 30,45% dari total
kapitalisasi pasar Bursa Efek Indonesia.
Privatisasi merupakan akses terhadap investasi asing secara langsung (Foreign Direct
Investment/ FDI). Aliran FDI ke Negara berkembang terus tumbuh dari $23.7 milliar pada tahun 1990 hingga pada tahun 1998 menyentuh angka $166 milliar. Jumlah tersebut berkontribusi
terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto negara berkembang dari 5% naik menjadi
20.5% (United Nations, 1999 dalam (Yonnedi, 2010)). Sedangkan database privatisasi dari Bank
Dunia menunjukkan bahwa privatisasi di 62 negara berkembang terus meningkat pada tahun
2004 dan 2005 dengan 400 transaksi dengan nilai sekitar $90 milliar (World Bank,2007).
Disamping itu,Witular (2005) mengungkapkan bahwa salah satu alasan mengapa
privatisasi harus dilakukan di Indonesia adalah bahwa BUMN sering disalah gunakan. Witular
(2005) lebih lanjut menjelaskan bahwa BUMN biasanya hanya digunakan sebagai cash cow(sapi
perah), melakukan pembelian input dengan harga marked up dan tidak ada transparansi dalam
Kebijakan privatisasi telah diterapkan ke berbagai macam industri BUMN, seperti
pertanian kehutanan dan perikanan, pertambangan dan penggalian, pengolahan (manufactur),
pengadaan listrik,gas, uap, konstruksi, transportasi, komunikasi, perbankan, real estate, dan jasa
professional (BUMN, 2015). Salah satu sektor yang menarik untuk diteliti keberhasilan
privatisasi adalah sektor perbankan. Karena Sampai saat ini perbankan masih menjadi sektor
andalan bagi BUMN yang menyumbangkan laba terbesar yaitu lebih dari 60% dari total laba
yang dihasilkan seluruhan BUMN (Bisnis Indonesia, 2016)
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat (UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Bank
merupakan sektor yang sangat penting dan berpengaruh dalam perekonomian karena bank
memberikan pelayanan jasa penyimpanan dan peminjaman dana. Dalam rangka menjaga
kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan, maka Bank Indonesia selaku bank sentral
melakukan pengawasan terhadap operasi industri perbankan di Indonesia dengan mengeluarkan
peraturan ketat (prudential regulation) untuk menjaga likuiditas dan solvabilitas bank. Kinerja
bank diukur berdasarkan standar kesehatan bank yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 6/10/PBI/2004 tentang sistem penilaian tingkat kesehatan bank dan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Ketentuan
tersebut menetapkan rasio CAMEL sebagai indikator pengukur tingkat kesehatan bank, yang
meliputi 5 aspek, yaitu pemodalan (capital), kualitas aktiva produktif,manajemen, rentabilitas,
dan likuiditas(Bank Indonesia). Akan tetapi saat ini penggunaan rasio CAMEL pada beberapa
bank telah diganti dengan metode RGEC hal tersebut mengacu pada Surat Edaran (SE) Bank
Umum. Metode tersebut menilai kesehatan bank dari faktor profil risiko, tata kelola manajemen
yang baik, pendapatan dan permodalan.
Dalam industri perbankan terdapat 4 bank yang telah mengalami privatisasi yaitu PT. Bank
Negara Indonesia, PT. Bank Mandiri, PT. Bank Rakyat Indonesia, dan PT. Bank Tabungan
Negara. Tiga dari empat bank yang telah diprivatisasi masuk dalam kategori 10 emiten dengan
kapitalisasi terbesar di Bursa Efek Indonesia(Bisnis Indonesia, 2016). Pada tahun 2015, seluruh
BUMN membukukan laba bersih sebesar Rp 150 triliun, jumlah tersebut mengalami penurunan
sebesar 5% dari tahun 2014. Sedangkan pada tahun 2016 Kementrian BUMN memprediksi laba
bersih keseluruhan BUMN akan meningkat sebesar 14.6% dari tahun 2015 yaitu sebesar Rp 172
triliun (Bisnis Indonesia, 2016). Dari keseluruhan laba tahun 2015 tersebut sektor perbankan
masih menjadi penopang utama. Empat bank pelat merah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk., PT
Bank Mandiri Tbk., PT Bank Negara Indonesia Tbk., dan PT Bank Tabungan Negara
Tbk. mengumpulkan laba sebesar Rp56,65 triliun atau lebih dari 60% laba yang dihimpun. Laba
bersih emiten perbankan itu tumbuh tipis dibandingkan dengan pencapaian pada 2014 yang
tercatat Rp56,01 triliun. Dari sisi kinerja secara keseluruhan, BRI masih menjadi pendulang laba
tertinggi dengan menghimpun Rp25,39 triliun diikuti Bank Mandiri dengan nilai Rp20,33 triliun,
dan PT Telekomunikasi Indonesia sebesar Rp15,49 triliun(Bisnis Indonesia, 2016).
Hambatan privatisasi biasanya datang dari para karyawan perusahaan yang akan
diprivatisasi karena mereka lebih memilih bekerja di perusahaan milik pemerintah (BUMN).
Kekhawatiran para karyawan disebabkan karena kelangsungan karir dan insentif setelah mereka
pensiun(Battaglio, 2009).Privatisasi BUMN juga tidak lepas dari pro kontra dikalangan
masyarakat. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa aset negara harus tetap dipertahankan
kepemilikan sepenuhnya tidaklah terlalu penting, asal yang menjadi fokus utama BUMN tersebut
mendatangkan manfaat yang lebih baik bagi Negara dan masyarakat Indonesia (Purwoko,2002).
Prokontra mengenai privatisasi juga dapat dilihat dari perbedaan hasil penelitian terdahulu
mengenai dampak privatisasi terhadap kinerja keuangan. Penelitian yang dilakukan oleh
(Wattanakul, 2002) menunjukkan kesimpulan bahwa perubahan kepemilikan dari pemerintah
kepada swasta tidak berpengaruh terhadap ROA namun berpengaruh secara positif terhadap
ROS. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh (Banchuenvijit, 2006) menyimpulkan bahwa
profitabilitas yang diukur dengan 3 rasio yaitu ROA, ROE, dan ROS meningkat secara signifikan
setelah diterapkannya program privatisasi.
Berdasarkan uraian tersebut , menjadi menarik untuk diteliti apakah privatisasi benar-benar
berdampak positif pada perusahaan perbankan yang telah diprivatisasi khususnya pada
pengukuran kinerja keuangan. Hal itulah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian
dengan judul “PENGARUH PRIVATISASI TERHADAP RASIO-RASIO KEUANGAN
PERUSAHAAN DALAM INDUSTRI PERBANKAN”.
1.2. Rumusan Masalah
Privatisasi diharapkan menjadi salah satu cara paling jitu untuk menjaring modal dari pihak
swasta dalam jumlah yang besar melalui transaksi kepemilikan perusahaan. Kinerja BUMN hasil
privatisasi menjadi hal yangpaling disoroti setelah diterapkannya kebijakan tersebut, baik kinerja
keuangan maupun non keungan. Kinerja keuangan dapat dilihat dan diproyeksikan melalui
rasio-rasio keuangan dalam laporan keuangan, sedangkan kinerja non keuangan dapat dilihat dari
kinerja BUMN dari data tahun 1998 dan data tahun 2015 yang telah dijelaskan dalam latar
belakang masalah terlihat bahwa kinerja BUMN semakin hari semakin membaik. Oleh karena
itu, penelitian ini ingin melihat apakah kebiijakan privatisasi berdampak besar terhadap
membaiknya kinerja keuangan BUMN khususnya pada industri perbankan. Berdasarkan latar
belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah dari penelitian ini adalah: “Apakah
privatisasi berpengaruh terhadap rasio keuangan perusahaan privatisasian yang bergerak industri
perbankan?”
1.3. Tujuan Penelitian
1. Menguji dampak privatisasi terhadap rasio-rasio keuangan pada perusahaan perbankan
yang telah diprivatisasi.
2. Mengetahui besarnya dampak privatisasi terhadap rasio-rasio keuangan pada perusahaan
perbankan yang telah diprivatisasi.
1.4. Batasan Luas Penelitian
Penelitian ini menganalisis kinerja keuangan dengan mengambil proyeksi pada rasio-rasio
keuangan perusahaan dalam industri perbankan yang mengalami privatisasi. Jadi, fokus
penelitian ini pada perubahan rasio-rasio keuangan sebelum dan setelah privatisasi perusahaan
industri perbankan.
1.5. Manfaat Penelitian
Mengetahui dampak privatisasi terhadap rasio keuangan perusahaan yang mereka kelola
karena selaku pihak yang dipercaya untuk mengelola dana investor dan masyarakat,
keberhasilan manajemen sangat ditentukan oleh tingkat efisiensi operasi perusahaan.
Disamping itu, baik buruknya kinerja manajer BUMN dilihat dari angka laba yang dapat
diproyeksikan dengan rasio-rasio keuangan. Penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan manfaat kepada industri perbankan BUMN dengan mengetahui dampak
kebijakan privatisasi yang diterapkan pada perusahaan bank BUMN.
2. Pihak-pihak yang berkepentingan terhadap BUMN dan pasar modal di Indonesia
Sebagai bahan evaluasi terhadap kebijakan yang telah diambil agar kedepannya kebijakan
yang akan diberlakukan lebih baik dan lebih menguntungkan bagi Negara Indonesia.
Selain itu, sebagai bahan pertimbangan dalam membuat aturan-aturan mengenai
privatisasi dan atau penanaman modal di Indonesia.
3. Memberikan informasi mengenai kinerja BUMN yang diprivatisasi sebagai salah satu
sumber pendanaan bagi negara.
4. Dapat dijadikan referensi untuk menambah wawasan bagi pembaca, dalam kaitannya
dengan kajian bidang keuangan.
1.6. Research Gap(Celah Penelitian)
Megginson (2001) melaporkan bahwa 30 dari 34 jumlah penawaran saham perdana
terbesar berasal dari transaksi privatisasi dan diperkirakan jumlah privatisasi dalam dua dekade
meningkat mencapain ribuan transaksi. Dengan banyaknya privatisasi yang dilakukan
pemerintah, literatur akademikmengenai privatisasi juga telah berkembang. Penelitian mengenai
mengenai dampak privatisasi. Penelitian yang dilakukan oleh (Yonnedi, 2010); (Lumbatoruan,
1996); (Siagian, 2004); (Mapes, 2002); (Djamhari, 1996) meneliti mengenai dampak privatisasi
pada BUMN di Indonesia akan tetapi masih sangat sedikit penelitian mengenai dampak
privatisasi pada rasio keuangan bank dan bahkan belum ada yang khusus membahas dampak
privatisasi terhadap industri perbankan di Indonesia secara keseluruhan. Harper (1997) telah
meneliti dampak privatisasi menggunakan metode analisis data wilcoxon signed rank test,begitu
juga penelitian yang dilakukan oleh (Saphira, 2007) dan (widodo, 2001), akan tetapi belum ada
yang menggunakan metode analisis data paired t-test. Penggunaan metode analisis paired t-test
bertujuan untuk menguji hipotesis dari peneliti yaitu rasio keuangan setelah privatisasi lebih baik
dibandingkan sebelum privatisasi. Maka, penelitian kali ini bertujuan untuk mengetahui dampak
privatisasi pada rasio keuangan perusahaan yang bergerak dalam industri perbankan
menggunakan dua metode yaitu wilcoxon signed rank testdanpaired t-test.
Penelitian ini penting dilakukan karena:
1. Privatisasi saat ini menjadi hal yang hangat diperbincangkan dan diperdebatkan karena
pada tahun 2016 pemerintah melalui Kementrian BUMN telah memastikan ada delapan
BUMN yang akan masuk daftar privatisasi antara lain PT Krakatau Steel, PT Wijaya
Karya, PT Jasa Marga, PT Pembangunan Perumahan, PT Merpati Airlines, PT Kertas
Leces,dll (Antara News, 2015).
2. Perbedaan hasil penelitian seperti yang ditunjukkan oleh (Wattanakul,2002)
menghasilkan kesimpulan bahwa privatisasi berpengaruh secara negatif terhadap ROA
sedangkan penelitian (Yonnedi, 2010) menghasilkan kesimpulan bahwa privatisasi
berpengaruh postif terhadap perubahan organisasional BUMN. Oleh karena itu, kita dapat
karenaperdebatan dampak yang dihasilkan dibandingkan dengan kos yang harus
dikeluarkan.
3. Sampai saat ini perbankan masih menjadi sektor andalan bagi BUMN yang
menyumbangkan laba terbesar yaitu lebih dari 60% dari total laba yang dihasilkan
seluruhan BUMN (Bisnis Indonesia, 2016).
1.7. Sistematika Penulisan BAB I: Pendahuluan
Bagian ini terdiri dari uraian latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, batasan luas penelitian dan research gap yang menjelaskan perbedaan
penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
BAB II: Landasan Teori
Bab ini meliputi tentang teori yang mendasari privatisasi dan konsep-konsep yang
relevan dengan penelitian, pengembangan hipotesis dan review dari penelitian
sebelumnya.
BAB III: Metodologi Penelitian
Bab ini berisi tentang penjelasan model penelitian yang mencakup sampel dan populasi,
metode pengumpulan data, dan alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini.
BAB IV: Analisis Data
Bab ini menjelaskan hasil perhitungan rasio-rasio keuangan dan seberapa besar dampak
privatisasi terhadap masing-masing perbankan, hasil pengujian hipotesis dan analisis data
yang telah diperoleh.
BAB V: Penutup