• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Pelaksanaan Program Keluarga Harapan Kabupaten Sidoarjo Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisa Pelaksanaan Program Keluarga Harapan Kabupaten Sidoarjo Tahun 2014"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ANALISA PELAKSANAAN PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH)

KABUPATEN SIDOARJO

TAHUN 2014

© 2014

PEMERINTAH KABUPATEN SIDOARJO

Diterbitkan Oleh :

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)

Kabupaten Sidoarjo

Penanggung Jawab :

Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Kemasyarakatan

(3)

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, pada akhirnya penyusunan Analisa Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) di Kabupaten Sidoarjo ini dapat terselesaikan. Penyusunan dokumen ini bertujuan untuk mengetahui hasil pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) di Kabupaten Sidoarjo. Kegiatan ini juga bertujuan untuk mengetahui program apa yang bisa dijadikan pengganti pasca berakhirnya Program Keluarga Harapan (PKH) di Kabupaten Sidoarjo.

Secara umum ruang lingkup penyusunan Analisa Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) di Kabupaten Sidoarjo ini adalah mengidentifikasi pelaksanaan PKH di Kabupaten Sidoarjo. Fokus dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi mengenai hasil pelaksanaan PKH di Kabupaten Sidoarjo sekaligus merumuskan program yang dapat dijadikan pengganti pasca berakhirnya PKH.

Ucapan terima kasih tidak lupa kami sampaikan kepada semua pihak yang terlibat dan telah banyak memberikan sumbangan pemikiran, data-data maupun informasi yang berkaitan dengan penyusunan Akhir Analisa Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) di Kabupaten Sidoarjo ini. Masukan dan saran tentunya sangat diharapkan demi penyempurnaan dokumen ini, karena kami sangat menyadari bahwa tentunya masih banyak hal yang perlu disempurnakan.

Akhirnya kami berharap Analisa Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) di Kabupaten Sidoarjo ini dapat memberikan manfaat terutama bagi Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan semua pihak yang terkait dengan pengatasan kemiskinan di Kabupaten Sidoarjo. Harapannya kualitas program dan kegiatan yang terkait dengan pengatasan kemiskinan di Kabupaten Sidoarjo dapat lebih baik lagi.

Sidoarjo, Nopember 2014 KEPALA BAPPEDA KABUPATEN SIDOARJO

Ir. SULAKSONO Pembina Utama Muda NIP. 19620129 198903 1 005

(4)

Daftar Isi

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... ii

Daftar Tabel ... v

Daftar Grafik ... vi

Daftar Gambar ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.2 Maksud dan Tujuan ... 4

1.3 Hasil Yang Diharapkan ... 4

1.4 Ruang Lingkup ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Kemiskinan ... 6

2.1.1 Konsep Kemiskinan ... 6

2.1.2 Data Kemiskinan Makro dan Mikro ... 8

2.1.2.1 Data Makro ... 9

2.1.2.2 Data Mikro... 12

2.1.3 Program Penanggulangan Kemiskinan ... 17

2.2 Bantuan Tunai Bersyarat ... 19

2.3 Program Keluarga Harapan (PKH) ... 21

2.3.1 PKH Sebagai Bantuan Tunai Bersyarat ... 21

2.3.2 Landasan Kebijakan dan Peraturan PKH ... 22

2.3.3 Tujuan PKH ... 26

2.3.4 Penerima Manfaat PKH ... 26

2.3.5 Kewajiban Peserta PKH ... 27

2.3.6 Besaran Bantuan ... 29

(5)

BAB III METODE PENELITIAN ... 33

3.1 Jenis Penelitian ... 33

3.2 Sumber Data ... 33

3.4 Metode Analisis ... 33

3.5 Lokasi ... 34

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN SIDOARJO ... 35

4.1 Kedudukan dan Wilayah Administratif ... 35

4.2 Klimatologi dan Topografi ... 36

4.3 Penggunaan Lahan ... 37

4.4 Demografi ... 38

4.4.1 Jumlah Penduduk ... 38

4.4.2 Tingkat Pendidikan Penduduk ... 43

4.4.3 Mata Pencaharian Penduduk ... 45

4.5 Kondisi Makro Ekonomi ... 46

4.6 Kondisi Umum Kemiskinan di Kabupaten Sidoarjo ... 48

BAB V TAHAPAN DAN MEKANISME PELAKSANAAN KEGIATAN UTAMA PKH ... 54

5.1 Penyediaan Data Calon Peserta ... 55

5.2 Penetapan Lokasi dan Penentuan Calon Peserta ... 55

5.3 Pengecekan Keabsahan, Kebenaran dan Perubahan Data Calon Peserta PKH (Validasi) ... 57

5.4 Pembayaran Dana Tunai Bersyarat ... 59

5.5 Verifikasi Kepatuhan Kewajiban Peserta ... 53

5.6 Pemutakhiran Data ... 60

5.7 Pembatalan dan Penangguhan Program ... 62

BAB VI ANALISA PELAKSANAAN PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH) DI KABUPATEN SIDOARJO ... 64

6.1 Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) di Kabupaten Sidoarjo 68 6.2 Program Pengganti Program Keluarga Harapan (PKH) di Kabupaten Sidoarjo ... 79

(6)

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 85

7.1 Kesimpulan ... 85

7.2 Rekomendasi ... 87

(7)

Daftar Tabel

Tabel 2.1 Besaran Bantuan PKH ... 29

Tabel 2.2 Variasi Komposisi Anggota Keluarga dan Jumlah Bantuan ... 30

Tabel 4.1 Pembagian Wilayah Administrasi dan Luas Tiap Kecamatan di Kabupaten Sidoarjo ... 31

Tabel 4.2 Penggunaan Tanah Menurut Kecamatan Tahun 2013 ... 33

Tabel 4.3 Luas Wilayah (Km²) dan Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan Hasil Sensus Penduduk Tahun 1980, 1990, 2000 dan 2010 ... 34

Tabel 4.4 Penduduk per Kecamatan Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2013 . 39 Tabel 4.5 Penduduk Menurut Mata Pencaharian dan Kecamatan di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2013 ... 40

Tabel 4.6 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Sidoarjo Tahun 2011-2013 ... 41

Tabel 4.7 Jumlah RTS dan Anggota RTS Hasil PPLS-2011 Per Kecamatan di Kabupaten Sidoarjo ... 43

Tabel 5.1 Jadwal Pelaksanaan Kegiatan ... 47

Tabel 6.1 Cakupan PKH Tahun 2007-2012 ... 56

Tabel 6.2 Jumlah Bantuan PKH ... 57

Tabel 6.3 Perkembangan RTSM Peserta PKH Kabupaten Sidoarjo Yang Eligible per Kecamatan Tahun 2014 ... 65

Tabel 6.4 Distribusi Realisasi Bantuan PKH per Kecamatan di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2014 ... 66

(8)

Daftar Grafik

Grafik 4.1 Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Sidoarjo Tahun 1980 – 2010 .... 34 Grafik 4.2 Penduduk Kabupaten Sidoarjo Hasil Sensus Penduduk 2010

per Kecamatan Berdasarkan Jenis Kelamin ... 35 Grafik 4.3 Perkembangan Penduduk Kabupaten Sidoarjo Tahun 2009 – 2013

Hasil Registrasi Penduduk ... 36 Grafik 4.4 Penduduk Kabupaten Sidoarjo Hasil Registrasi Penduduk

Tahun 2013 Per Kecamatan Berdasarkan Jenis Kelamin ... 36 Grafik 4.5 Komposisi Penduduk Kabupaten Sidoarjo Menurut Umur

Tahun 2013 ... 37 Grafik 4.6 Perbandingan Tingkat Pendidikan Penduduk Kabupaten Sidoarjo

Tahun 2013 ... 38 Grafik 4.7 Perkembangan Angka Kemiskinan di Kabupaten Sidoarjo

Tahun 2006-2013 ... 43 Grafik 4.8 Perkembangan Angka Kemiskinan di Kabupaten Sidoarjo Terhadap

Nasional Dan Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2012 ... 44 Grafik 4.9 Posisi Relatif Angka Kemiskinan Di Kabupaten Sidoarjo Terhadap

Nasional Dan Provinsi Jawa Timur Tahun 2012 ... 44 Grafik 4.10 Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)

Kabupaten Sidoarjo Tahun 2003-2011 ... 45 Grafik 4.11 Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)

Kabupaten Sidoarjo Tahun 2002 – Tahun 2011 ... 46 Grafik 6.1 Perkembangan Jumlah Kecamatan Terjangkau PKH

di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007 – 2014 ... 59 Grafik 6.2 Perkembangan Jumlah Awal RTSM PKH di Kabupaten Sidoarjo

Tahun 2007 – 2014 ... 60 Grafik 6.3 Perkembangan Alokasi dan Realisasi Anggaran PKH

di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007 – 2014 ... 61 Grafik 6.4 Rata-rata Persentase RTSM Non Eligible di Kabupaten Sidoarjo

Tahun 2007 – 2014 ... 62 Grafik 6.5 Jumlah Desa/Kelurahan Terjangkau PKH per Kecamatan

(9)

Grafik 6.6 Jumlah Awal RTSM PKH per Kecamatan di Kabupaten Sidoarjo

Tahun 2014 ... 63 Grafik 6.7 Perbandingan Jumlah Awal RTSM Dengan Jumlah RTSM Eligible

per Tahap Pencairan Tahun 2014 ... 64 Grafik 6.8 Realisasi Bantuan PKH per Kecamatan di Kabupaten Sidoarjo

(10)

Daftar Gambar

Gambar 4.1 Peta Administratif Kabupaten Sidoarjo ... 30 Gambar 5.1 Proses Utama Pelaksanaan PKH ... 48

(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Program Keluarga Harapan (PKH) secara internasional dikenal sebagai program conditional cash transfers (CCT) atau program Bantuan Tunai Bersyarat (BTB). PKH memberikan bantuan dana tunai kepada keluarga yang ada pada rumah tangga sangat miskin selama anggota keluarga tersebut memenuhipersyaratan yang telah ditentukan. Persyaratan tersebut dapat berupa kehadiran di fasilitas pendidikan (misalnya bagi anak usia sekolah), ataupun kehadiran di fasilitas kesehatan (misalnya bagi anak balita,atau bagi ibu hamil).

Program ini awalnya dilaksanakan di Meksiko pada pertengahan tahun 1990, dengan nama Progressa yang kemudian berganti menjadi Oportunidades. Sejak itu, program BTB seperti ini mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan, pengambil kebijakan, peneliti dan akademisi. Program ini terus dikembangkan, dipelajari, dievaluasi, dan kemudian direplikasi ke banyak program serupa di berbagai Negara. Di Indonesia, PKH dimulai sebagai program uji coba pada tahun 2007. Periode uji coba ini dimaksudkan untuk menguji berbagai instrumen yang diperlukan dalam pelaksanaan PKH, antara lain metode penentuan sasaran, validasi data, verifikasi kepatuhan terhadap persyaratan, mekanisme pembayaran dan pengaduan masyarakat. Program ini melibatkan berbagai instansi pemerintah dan lembaga baik di pusat maupun di daerah. Masing-masing instansi atau lembaga mempunyai tugas pokok dan fungsi yang berbeda. Para pihak yang terkait dalam menunjang keberhasilan PKH, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, baik pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan (service provider), pendamping maupun petugas lainnya.

Pada saat ini dapat dikatakan bahwa PKH telah dijalankan sebagai BTB, di mana terdapat tiga hal yang mendasari hal tersebut. Pertama, PKH telah menjalankan kegiatan verifikasi telah dilakukan untuk memantau kepatuhan rumah tangga memenuhi kewajibannya. Verifikasi adalah esensi utama dari PKH. Kegiatan verifikasi mengecek kepatuhan peserta memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Tanpa

(12)

verifikasi maka PKH tidak ubahnya dengan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang membagikan bantuan tunai tanpa syarat. Kedua, PKH telah melaksanakan pemotongan bantuan tunai bagi keluarga yang tidak mematuhi kewajiban yang telah ditetapkan. Pemotongan merupakan konsekuensi atas ketidakpatuhan peserta. Ketiga, peserta PKH mengetahui persis bahwa mereka harus memenuhi sejumlah kewajiban untuk dapat menerima bantuan tunai. Peserta adalah elemen penting dalam program BTB. Pengetahuan atas kewajiban inilah seyogyanya yang menjadi awal dari perubahan perilaku keluarga dan anggota keluarga di bidang pendidikan dan kesehatan.

Bantuan tunai hanya akan diberikan kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang telah terpilih sebagai peserta PKH dan mengikuti ketentuan yang diatur dalam program. Keluarga RTSM yang dapat menjadi peserta PKH adalah RTSM yang memiliki anggota keluarga terdiri dari anak usia 0-15 tahun dan/atau ibu hamil/nifas yang ditetapkan oleh Unit Pelaksana Program Keluarga Harapan – Pusat (UPPKH Pusat). Sebagaimana diketahui bahwa PKH mulai dilaksanakan sejak tahun 2007, di mana pada tahun pertama pesertanya sebanyak 500.000 RTSM, dan jumlah tersebut setiap tahun terus bertambah hingga tahun 2013 mencapai jumlah 6.500.000 RTSM. Kepesertaan keluarga RTSM dalam PKH diharapkan akan membawa perbaikan pendapatan dan kualitas anak-anak dari RTSM tersebut. Mereka tidak akan selamanya menjadi peserta atau penerima bantuan PKH, ada batas sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

Resertifikasi adalah proses evaluasi status kepesertaan PKH untuk menentukan apakah peserta masih layak atau tidak sebagai penerima bantuan. Untuk melakukan resertifikasi, pelaksana program akan mendatangi peserta PKH dengan melihat secara langsung kondisi mereka dan mengajukan pertanyaan seperti pada saat registrasi awal, yaitu antara lain informasi dasar kepesertaan (nama, alamat, umur dan jenis kelamin), kondisi ekonomi peserta (pekerjaan, tempat bekerja dan penghasilan yang diterima), status pendidikan anggota keluarga (orang tua dan anak-anak), kondisi tempat tinggal dan sebagainya.

PKH akan dilaksanakan setidaknya sampai dengan tahun 2015, hal ini sejalan dengan komitmen pencapaian MDG’s mengingat sebagian indikatornya juga diupayakan melalui PKH. Peserta PKH akan menerima bantuan selama maksimal

(13)

enam tahun. Ketentuan ini berdasar pada pengalaman pelaksanaan program serupa di negara-negara lain yang menunjukkan bahwa setelah lima sampai dengan enam tahun peserta sudah dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Apabila setelah enam tahun kondisi RTSM masih berada di bawah garis kemiskinan, maka untuk exit strategy PKH memerlukan koordinasi dengan program lain yang terkait seperti ketenagakerjaan, perindustrian, perdagangan, pertanian, pemberdayaan masyarakat dan lain sebagainya.

Manfaat PKH telah dirasakan secara langsung oleh RTSM, termasuk juga RTSM di Kabupaten Sidoarjo. Sejak menjalankan program ini pada tahun 2007, berdasarkan hasil re-sertifikasi pada tahun tersebut terdaftar 4.153 RTSM yang menjadi sasaran. Sampai dengan tahun 2014 tercatat sebanyak 836 RTSM yang dinyatakan lulus karena sosial ekonominya meningkat. Sebagaimana disampaikan oleh Kabid Sosial Dinsosnaker Kabupaten Sidoarjo, Wiyono SH, M.Si dari 836 RTSM yang dinyatakan lulus masing-masing berada di Kecamatan Tarik, Prambon, Wonoayu, Sukodono, Krian, dan Balongbendo (http://www.humas-

protokol.sidoarjokab.go.id/berita-289-sebanyak-836-rtsm-dinyatakan-lulus-pkh.html, akses tanggal 20 September 2014). Bantuan yang dikeluarkan oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia untuk membiayai kegiatan PKH di Kabupaten Sidoarjo mencapai Rp. 5.000.000.000,- s/d Rp. 7.000.000.000,- setiap tahunnya. Sejak dimulai tahun 2007, saat ini penerima PKH di Kabupaten Sidoarjo sudah merata pada semua kecamatan.

Sebagaimana program yang telah dijalankan pada umumnya, PKH di Kabupaten Sidoarjo juga tidak bisa lepas dari berbagai permasalahan. Berbagai kendala dan permasalahan yang terjadi pada PKH tidak hanya pada tataran penyedia layanan kesehatan dan penyediaan fasilitas kesehatan, tetapi juga perangkat pemerintahan mulai dari tingkat Desa sampai dengan Kecamatan. Pada tahun 2013 jumlah RTSM yang tidak memenuhi syarat untuk masuk PKH tentunya semakin berkurang sebagaimana telah disampaikan di atas. Kondisi ini ternyata juga menimbulkan permasalahan tersendiri, sebab berkurangnya RTSM dalam program ini tidak dibarengi dengan program open system sebagaimana dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Dampak yang dapat dirasakan adalah anggaran yang terserap juga semakin berkurang. Memperhatikan masih banyak dari RTSM yang tidak tar-cover

(14)

dalam program seharusnya program open system dapat diterapkan kembali. Dari sisi peserta PKH juga terdapat permasalahan yaitu seringnya didapati peserta yang pindah tanpa pemberitahuan. Selain itu masih juga banyak ditemui peserta PKH yang mempunyai balita di atas lima tahun tidak mempunyai Kartu Sehat.

Memperhatikan kemanfaatan PKH di Kabupaten Sidoarjo di satu sisi, sedangkan di sisi yang lain masih banyak ditemui berbagai kendala dan permasalahan dalam pelaksanaannya, maka diperlukan sebuah analisa guna mendapatkan gambaran mengenai pelaksanaan PKH di Kabupaten Sidoarjo. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa PKH akan berakhir pada tahun 2015, dengan demikian perlu dirumuskan suatu program yang dapat menjadi pengganti. Hasil dari analisa ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi pengambil kebijakan terkait dengan pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) di Kabupaten Sidoarjo. Dengan demikian kajian ANALISA PELAKSANAAN PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH) DI KABUPATEN SIDOARJO menjadi penting untuk dilakukan.

1.2 Perumusan Masalah

Memperhatikan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam kegiatan Analisa Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) Di Kabupaten Sidoarjo adalah :

1.

Bagaimana hasil pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) di Kabupaten Sidoarjo ?

2.

Program apa yang bisa dijadikan pengganti pasca berakhirnya Program Keluarga Harapan (PKH) di Kabupaten Sidoarjo ?

1.3 Tujuan

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari kegiatan Analisa Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) Di Kabupaten Sidoarjo adalah : a. Mengetahui hasil pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) di Kabupaten

Sidoarjo;

b. Mengetahui program apa yang bisa dijadikan pengganti pasca berakhirnya Program Keluarga Harapan (PKH) di Kabupaten Sidoarjo.

(15)

1.4 Hasil Yang Diharapkan

Berdasarkan permasalahan dan tujuan di atas, maka hasil yang diharapkan dengan adanya kegiatan penyusunan ini adalah tersedianya dokumen hasil pelaksanaan PKH di Kabupaten Sidoarjo yang dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang pelaksanaan PKH di Kabupaten Sidoarjo beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selain itu juga diharapkan diperoleh rumusan program yang dapat dijadikan sebagai pengganti pasca berakhirnya PKH.

1.5 Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam Analisa Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) di Kabupaten Sidoarjo adalah mengidentifikasi pelaksanaan PKH di Kabupaten Sidoarjo. Fokus dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi mengenai hasil pelaksanaan PKH di Kabupaten Sidoarjo sekaligus merumuskan program yang dapat dijadikan pengganti pasca berakhirnya PKH.

(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kemiskinan

2.1.1 Konsep Kemiskinan

Berbagai konsep kemiskinan telah dinyatakan dalam beberapa penelitian kemiskinan, diantaranya adalah seperti yang dikemukakan oleh World Bank (Bank Dunia) dalam World Bank Institute (2005). Menurut Bank Dunia, kemiskinan adalah deprivasi dalam kesejahteraan. Berdasarkan definisi tersebut kemiskinan dapat dipandang dari beberapa sisi. Dari sudut pandangan konvensional kemiskinan dipandang dari sisi moneter, di mana kemiskinan diukur dengan membandingkan pendapatan/konsumsi individu dengan beberapa batasan tertentu, jika mereka berada di bawah batasan tersebut maka mereka dianggap miskin. Pandangan mengenai kemiskinan berikutnya adalah bahwa kemiskinan tidak hanya sebatas ukuran moneter, tetapi juga mencakup miskin nutrisi yang diukur dengan memeriksa apakah pertumbuhan anak-anak terhambat. Selain itu, juga bisa dari miskin pendidikan, misalnya dengan menggunakan indikator angka buta huruf. Selanjutnya pandangan yang lebih luas mengenai kemiskinan adalah kemiskinan ada jika masyarakat kekurangan kemampuan dasar, sehingga pendapatan dan pendidikan yang dimiliki tidak memadai atau kesehatan yang buruk, atau ketidakamanan, atau kepercayaan diri yang rendah, atau rasa ketidakberdayaan, atau tidak adanya hak bebas berpendapat. Berdasarkan pandangan ini, kemiskinan adalah fenomena multidimensi, dan solusi untuk mengatasinya tidaklah sederhana.

Terdapat empat alasan menurut World Bank Institute (2005) terkait perlunya kemiskinan diukur. Pertama, untuk membuat orang miskin terus berada dalam agenda, sebab jika kemiskinan tidak diukur, maka orang miskin akan mudah terlupakan. Kedua, orang harus mampu mengidentifikasi orang miskin jika salah satu tujuannya adalah untuk keperluan intervensi dalam rangka mengentaskan kemiskinan. Ketiga, untuk memantau dan mengevaluasi proyek-proyek atau kebijakan intervensi yang diarahkan kepada orang miskin. Sedangkan yang keempat adalah untuk

(17)

mengevaluasi efektivitas lembaga-lembaga pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan.

Barrientos (2010) mengungkapkan konsep kemiskinan yang hampir mirip dengan yang dikemukakan oleh Bank Dunia. Kemiskinan menggambarkan keadaan dimana individu atau rumah tangga berada dalam kondisi yang sangat kekurangan dalam kesejahteraannya. Perspektif yang berbeda mengenai kesejahteraan dan pembangunan memberikan ruang yang berbeda dimana kemiskinan diamati dan diukur. Perspektif resources mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan individu atau keluarga untuk memerintahkan sumber daya yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Perspektif ini mendominasi diskusi mengenai kemiskinan dan pengukurannya di negara sedang berkembang. Perspektif partisipasi sosial dan inklusi mendefinisikan kemiskinan sebagai pengucilan dari aktivitas kerja sama; orang yang berada dalam kemiskinan tidak bisa berpartisipasi dalam kehidupan sosial dari suatu komunitas pada tingkat minimal yang dapat diterima. Perspektif ini mendominasi diskusi mengenai kemiskinan di negara maju.

Cox (2004) membagi kemiskinan ke dalam beberapa dimensi yaitu antara lain (1) Kemiskinan sebagai akibat dari globalisasi yang menghasilkan pihak pemenang dan kalah. Pemenang pada umumnya adalah negara-negara maju, sedangkan negara-negara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang menjadi syarat globalisasi. (2) Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan, dalam hal ini meliputi Kemiskinan Subsisten, Kemiskinan Pedesaan, dan Kemiskinan Perkotaan. Kemiskinan Subsisten merupakan kemiskinan yang diakibatkan oleh rendahnya pembangunan. Kemiskinan Pedesaan merupakan kemiskinan akibat terjadinya peminggiran desa dalam proses pembangunan. Adapun Kemiskinan Perkotaan merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan kota. (3) Kemiskinan Sosial, yaitu kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas. (4) Kemiskinan Konsekuensial, yaitu kemiskinan sebagai akibat kejadian lain atau faktor eksternal seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan dan lain sebaginya.

Suharto dkk (2004) menjelaskan bahwa kemiskinan juga memiliki berbagai dimensi yaitu sebagai berikut :

(18)

a. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang, papan);

b. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi);

c. Tidak adanya jaminan masa depan karena tidak ada investasi untuk pendidikan dan keluarga;

d. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massa; e. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam; f. Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat;

g. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan;

h. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental;

i. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial seperti anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil.

Terperangkapnya penduduk miskin dalam lingkaran setan kemiskinan mengakibatkan mereka tidak berdaya untuk keluar dari kemiskinan. Para pakar berpendapat bahwa pengentasan kemiskinan penduduk miskin dapat dilakukan melalui pemutusan rantai lingkaran setan kemiskinan. Chambers (dalam Dharmawan dkk, 2009) menyatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi yaitu Kemiskinan (Proper); Ketidakberdayaan (Powerless); Kerentanan Menghadapi Situasi Darurat (State of Emergency); Ketergantungan (Dependence); dan Keterasingan (Isolation) baik secara geografis maupun sosial.

2.1.2 Data Kemiskinan Makro dan Mikro

Data kemiskinan dapat dibedakan menjadi data kemiskinan makro dan data kemiskinan mikro. Penggunaan istilah makro dan mikro merujuk pada bagaimana suatu data kemiskinan tersebut disajikan. Seperti yang diketahui, data dikumpulkan dalam berbagai bentuk, yang menghasilkan berbagai jenis file. Misal, jika ada data sensus, maka yang disebut data makro antara lain jumlah individu menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan tingkat pendapatan, wilayah tempat tinggal, dan sebagainya. Sedangkan, data mikro terdiri dari data individu (http://data.library.ubc.ca/guide/). Dalam kumpulan istilah ilmu komputer dan ilmu sosial disebutkan bahwa data makro

(19)

disebut juga data aggregate (jumlah) atau data yang dijumlahkan. Sedangkan, data mikro disebut juga data tingkat individu atau data yang mengandung informasi individu (http://3stages.org/glossary).

2.1.2.1 Data Makro

Data kemiskinan makro yang dihasilkan oleh BPS adalah data kemiskinan yang bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) juga digunakan sebagai informasi tambahan yang dipakai untuk memperkirakan proporsi pengeluaran masing-masing komoditi pokok non makanan. Indikator kemiskinan yang dihasilkan diantaranya adalah persentase penduduk miskin, yaitu persentase penduduk yang pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan (yang disebut Po/ Head Count Index), jumlah penduduk miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1/ Poverty Gap Index), Indeks Keparahan Kemiskinan (P2/ Poverty Severity Index).

Ravallion (1998) menyebutkan bahwa untuk mengukur kemiskinan, ada tiga tahapan, yaitu pertama mendefinisikan sebuah indikator kesejahteraan, kedua membangun standar minimum dari indikator kesejahteraan, dan yang ketiga membuat ringkasan statistik. Dalam mengukur kesejahteraan, BPS menggunakan pendekatan yang berdasarkan pada ukuran moneter, yaitu pengeluaran konsumsi rumah tangga dengan mempertimbangkan setiap anggota rumah tangga (yang disebut pengeluaran per kapita). Setelah menentukan sebuah indikator kesejahteraan, dalam hal ini adalah pengeluaran per kapita, langkah selanjutnya adalah membangun standar minimum dari indikator kesejahteraan tersebut untuk membagi penduduk menjadi miskin dan tidak miskin. Standar minimum ini sering dikenal sebagai garis kemiskinan (GK).

Guna menentukan GK yang mencakup kebutuhan dasar, BPS menggunakan metode food energy intake (FEI). Pada metode FEI ini nilai kuantitas dan harga setiap komoditas yang terpilih berubah sesuai dengan perubahan pola konsumsi dari penduduk referensi (20% penduduk yang pengeluarannya berada di atas garis kemiskinan sementara) dan basket komoditi (sekelompok komoditas makanan terpilih yang dikonsumsi rumah tangga) ditentukan dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic need approach). Melalui pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Garis Kemiskinan merupakan nilai

(20)

pengeluaran untuk kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan per kapita per bulan. Batas kecukupan makanan ini dikenal sebagai Garis Kemiskinan Makanan (GKM).

GKM adalah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan (antara lain: beras, gula pasir, telur ayam ras, dan lain-lain) yang riil dikonsumsi oleh penduduk referensi. Pemilihan paket komoditi makanan ditentukan atas dasar persentase rumah tangga yang mengkonsumsi komoditi tersebut, serta dengan mempertimbangkan volume kalori yang tergantung dan kewajaran sebagai komoditi penting. Pemilihan paket komoditi makanan tidak membedakan antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Perbedaan nilai pengeluaran untuk komoditi-komoditi makanan terpilih antara penduduk perkotaan dan perdesaan dicerminkan oleh perbedaan volume, harga, dan kualitas dari setiap komoditi makanan terpilih. Nilai pengeluaran dari paket komoditi tersebut kemudian disetarakan menjadi 2.100 kilokalori per kapita per hari. Angka ini merupakan standar minimum untuk makanan yang memadai yang harus dikonsumsi oleh seseorang dalam sehari. Penetapan standar minimum ini mengacu pada rekomendasi dari Widyakara Nasional Pangan dan Gizi Tahun 1978, yaitu setara dengan nilai konsumsi makanan yang menghasilkan 2.100 kalori per orang per hari. Ukuran kalori ini pun sudah menjadi kesepakatan dunia. Dalam pertemuan di Roma tahun 2001, FAO (Food and Agriculture Organization) dan WHO (World Health Organization) dari hasil kajian mendalam para pakar merekomendasikan bahwa batas minimal kebutuhan manusia untuk mampu bertahan hidup dan mampu bekerja adalah sekitar 2.100 kilokalori plus kebutuhan paling mendasar bukan makanan (Hasbullah, 2012).

Komponen GK yang kedua adalah Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) yang merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum komoditi non makanan yang mencakup pengeluaran untuk perumahan, penerangan, bahan bakar, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, barang-barang tahan lama, serta barang dan jasa esensial lainnya. Pemilihan komoditi non makanan senantiasa mengalami perubahan pada jumlah. Suatu komoditi non makanan dipilih jika komoditi ini merupakan salah satu kebutuhan dasar penduduk referensi. Pemilihan komoditi non makanan ini didasarkan atas hasil SPKKD yang terakhir dilakukan pada tahun 2004 dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk item konsumsi bukan makanan

(21)

yang lebih rinci dibanding yang ditanyakan pada Susenas. Informasi rinci ini memungkinkan seseorang untuk mengidentifikasi secara spesifik komoditi bukan makanan yang benar-benar dikonsumsi oleh penduduk referensi. Berdasarkan hasil SPKKD ini jumlah paket komoditi kebutuhan dasar non makanan di perkotaan adalah 51 komoditi, sedangkan di perdesaan hanya 47 komoditi.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya oleh Ravallion, bahwa ada 3 tahapan utama dalam mengukur kemiskinan. Kedua tahapan telah disebutkan di atas, dan selanjutnya adalah tahap yang ketiga, yaitu membuat ringkasan statistik untuk memberikan informasi secara agregat mengenai distribusi dari indikator kesejahteraan tersebut dan posisi relatifnya terhadap standar minimum yang telah ditentukan. Dalam manual kemiskinan yang dikeluarkan oleh World Bank Institute tahun 2005, disebutkan sejumlah ukuran agregate kemiskinan yang bisa dihitung, yaitu:

1. Headcount index (Po).

Sampai saat ini, ukuran kemiskinan ini telah digunakan secara luas. Headcount index secara sederhana mengukur proporsi penduduk yang terkategori miskin. Kelebihan dari ukuran kemiskinan ini adalah kemudahannya dalam penghitungan dan mudah untuk dipahami. Namun, kelemahannya adalah headcount index tidak memperhitungkan intensitas kemiskinan, tidak menunjukkan seberapa miskin yang miskin, dan tidak berubah jika penduduk di bawah GK menjadi lebih miskin. Salah satu yang menjadi catatan di sini adalah estimasi kemiskinan harus dihitung untuk individu dan bukan rumah tangga. Dalam headcount index yang dihitung adalah persentase individu penduduk miskin dan bukan persentase rumah tangga miskin. Agar persentase rumah tangga bisa berlaku, maka dibuat asumsi, yaitu semua anggota rumah tangga menikmati tingkat kesejahteraan yang sama. Namun, asumsi ini mungkin tidak berlaku di banyak situasi, misalnya beberapa orang tua anggota rumah tangga mungkin lebih miskin dibanding anggota rumah tangga lainnya. Dalam kenyataan, tidak semua konsumsi dibagi secara merata untuk semua anggota rumah tangga.

2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1/Poverty Gap Index).

Ukuran kemiskinan ini sudah cukup populer, di mana indeks ini menyatakan rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks berarti semakin dalam tingkat kemiskinan

(22)

karena semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.

3. Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index/Squared Poverty Gap Index/P2).

Indeks ini digunakan oleh para peneliti untuk menjawab masalah ketimpangan di antara penduduk miskin. Indeks ini menyatakan sebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks berarti semakin parah tingkat kemiskinan karena semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.

Ukuran-ukuran agregate kemiskinan tersebut secara rutin telah dipublikasikan oleh BPS yang dikenal sebagai data kemiskinan makro. Selain tiga ukuran agregate kemiskinan di atas, ada beberapa ukuran agregate kemiskinan lainnya, seperti Indeks Sen, Indeks Sen-Shorrocks-Thon (SST), dan lain sebagainya. Akan tetapi BPS tidak rutin menghitung indeks-indeks tersebut.

2.1.2.2 Data Mikro

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, data kemiskinan makro yang telah dihasilkan hanya dapat disajikan sampai tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Beberapa tahun terakhir data kemiskinan mikro yang merupakan data level individu pun telah tersedia. Beberapa contoh data kemiskinan mikro yang telah dihasilkan adalah Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05), Survei Pelayanan Dasar Kesehatan dan Pendidikan 2007 (SPDKP07) yang merupakan bagian PSE05 untuk rumah tangga-rumah tangga tertentu, Pendataan Program Perlindungan Sosial 2008 (PPLS08), dan yang terbaru adalah Pendataan Program Perlindungan Sosial 2011 (PPLS11).

PSE05 merupakan data level individu pertama yang tersedia sebagai dasar dari program-program perlindungan sosial dalam rangka mengurangi jumlah penduduk miskin. PSE05 dimaksudkan untuk mendapatkan data kemiskinan mikro berupa direktori rumah tangga penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang berisi nama kepala rumah tangga dan alamat tempat tinggal mereka. Penentuan rumah tangga penerima BLT pada PSE05 didasarkan pada pendekatan karakteristik rumah tangga, bukan dengan pendekatan nilai konsumsi pengeluaran untuk memenuhi

(23)

kebutuhan dasar minimum seperti pada data kemiskinan makro. Indikator-indikator yang digunakan ada sebanyak 14 variabel, yaitu:

1. Luas lantai rumah; 2. Jenis lantai rumah; 3. Jenis dinding rumah;

4. Fasilitas tempat buang air besar; 5. Sumber air minum;

6. Penerangan yang digunakan; 7. Bahan bakar yang digunakan; 8. Frekuensi makan dalam sehari;

9. Kebiasaan membeli daging/ayam/susu; 10. Kemampuan membeli pakaian;

11. Kemampuan berobat ke puskesmas/poliklinik; 12. Lapangan pekerjaan kepala rumah tangga; 13. Pendidikan kepala rumah tangga; dan 14. Kepemilikan aset.

Metode yang digunakan untuk menentukan kategori rumah tangga penerima BLT adalah dengan menggunakan sistem skoring, yaitu setiap variabel diberi skor yang diberi bobot, di mana bobotnya didasarkan pada besarnya pengaruh dari setiap variabel terhadap kemiskinan. Jumlah variabel dan besarnya bobot berbeda di setiap Kabupaten/Kota. Dari bobot masing-masing variabel terpilih untuk setiap Kabupaten/Kota selanjutnya dihitung indeks skor rumah tangga penerima BLT. Selanjutnya indeks diurutkan dari terbesar sampai terkecil, semakin tinggi nilainya, maka semakin miskin rumah tangga tersebut (BPS, 2011).

Selain PSE05, BPS pada tahun 2007 kembali mengumpulkan data kemiskinan mikro yang dikenal dengan nama SPDKP 2007 yang merupakan basis data untuk calon penerima bantuan tunai melalui Program Keluarga Harapan (PKH). Sebagaimana diketahui bahwa PKH adalah program penanggulangan kemiskinan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dini dengan cara pemberian bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Dalam jangka pendek, program ini diharapkan dapat mengurangi beban pengeluaran RTSM. Sedangkan dalam jangka panjang,

(24)

melalui persyaratan yang ditentukan diharapkan akan terjadi perubahan pola pikir dan perilaku yang mengarah pada perbaikan status kesehatan anak-anak dan ibu hamil, serta perbaikan tingkat pendidikan anak-anak RTSM, sehingga secara berangsur-angsur rantai kemiskinan dapat diputus.

SPDKP dilakukan dalam dua putaran, SPDKP Putaran-1 dilakukan pada bulan April-Juli 2007 dan SPDKP Putaran-2 dilakukan pada bulan Agustus-November 2007. SPDKP Putaran-1 diselenggarakan untuk menjaring RTSM yang memenuhi syarat (rumah tangga yang memiliki anak balita, anak usia sekolah, dan wanita hamil) untuk implementasi Tahun Anggaran 2007, sedangkan pelaksanaan Putaran-2 dimaksudkan untuk memperoleh RTSM bagi pelaksanaan PKH Tahun Anggaran 2008. SPDKP Putaran-1 diselenggarakan pada 348 Kecamatan yang tersebar di 49 Kabupaten/Kota di tujuh Provinsi, yaitu Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Gorontalo. Cakupan wilayah SPDKP Putaran-2 adalah 615 Kecamatan yang tersebar di 97 Kabupaten/Kota di 15 Provinsi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Papua Barat. Dalam laporan SPDKP07 disebutkan beberapa kriteria umum RTSM, yaitu: 1. Sebagian besar pengeluarannya digunakan untuk memenuhi konsumsi makanan

pokok yang sangat sederhana;

2. Biasanya tidak mampu atau mengalami kesulitan untuk berobat ke tenaga medis, kecuali Puskesmas atau yang disubsidi pemerintah;

3. Tidak mampu membeli pakaian satu kali dalam satu tahun untuk setiap anggota rumah tangga;

4. Biasanya tidak/hanya mampu menyekolahkan anaknya sampai jenjang pendidikan SLTP.

Berdasarkan kondisi fisik serta fasilitas tempat tinggal RTSM biasanya tinggal pada rumah yang:

1. Dinding rumahnya terbuat dari bambu/kayu/tembok dengan kondisi tidak baik/kualitas rendah, termasuk tembok yang sudah usang/berlumut atau tembok tidak diplester;

(25)

2. Sebagian besar lantai terbuat dari tanah atau kayu/semen/keramik dengan kondisi tidak baik/kualitas rendah;

3. Atap terbuat dari ijuk/rumbia atau genteng/seng/asbes dengan kondisi tidak baik/ kualitas rendah;

4. Penerangan bangunan tempat tinggal bukan dari listrik atau listrik tanpa meteran; 5. Luas lantai rumah kecil (biasanya kurang dari 8 m2/orang);

6. Sumber air minum berasal dari sumur atau mata air tak terlindung/air sungai/air hujan/lainnya.

Pada tahun 2008, BPS melakukan pemutakhiran (updating) data basis Rumah Tangga Sasaran Bantuan Langsung Tunai (RTS BLT). Dalam BPS (2011) disebutkan bahwa pemutakhiran data tersebut dilaksanakan melalui kegiatan Pendataan Program Perlindungan Sosial Tahun 2008 (PPLS08). Adapun tujuan kegiatan PPLS08 adalah: 1. Memperbaharui database RTS, yaitu untuk mendapatkan daftar nama dan alamat

RTS:

a. Membuang data rumah tangga penerima BLT 2005 yang sudah meninggal dunia tanpa ahli waris yang berada pada rumah tangga yang sama;

b. Membuang data rumah tangga penerima BLT 2005 yang tidak layak sebagai sasaran program karena status ekonominya sudah tidak miskin lagi;

c. Memasukkan data rumah tangga sasaran baru, baik mereka adalah rumah tangga yang sebelumnya telah tercatat tetapi pindah tempat tinggal atau mereka yang belum pernah tercatat sama sekali.

2. Memperbaharui informasi tentang kehidupan sosial ekonomi RTS, khususnya tentang kualitas tempat tinggal, pendidikan dan pekerjaan kepala rumah tangga; 3. Menambah data anggota rumah tangga sasaran dengan informasi nama, umur,

jenis kelamin, status sekolah dan pekerjaan anggota rumah tangga dan informasi tambahan tentang kondisi perumahan.

Jenis data yang dikumpulkan adalah (1) Keterangan Rumah Tangga yang meliputi: luas lantai, jenis lantai, jenis dinding, fasilitas tempat buang air besar, sumber air minum, sumber penerangan, jenis bahan bakar untuk memasak, frekuensi membeli daging/ayam/susu, frekuensi makan, jumlah pakaian yang biasa dibeli, kemampuan berobat, lapangan pekerjaan utama, pendidikan Kepala Rumah Tangga (KRT), kepemilikan aset; (2) Keterangan sosial ekonomi Anggota Rumah Tangga

(26)

(ART) yaitu nama, hubungan dengan kepala rumah tangga, jenis kelamin, tanggal lahir, umur, status perkawinan, kepemilikan tanda pengenal, kecacatan, pendidikan, kegiatan ekonomi ART yang berumur 5 tahun dan lebih.

Setelah PPLS08, BPS kembali melakukan pendataan rumah tangga/keluarga sasaran pada tahun 2011. Dengan demikian PPLS11 merupakan kegiatan pendataan rumah tangga untuk program bantuan dan perlindungan sosial yang ke-empat. Kegiatan PPLS11 dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan basis data terpadu yang dapat digunakan untuk program-program bantuan dan perlindungan sosial pemerintah pada tahun 2012-2014. Tujuan dari PPLS11 adalah untuk mendapatkan 40% rumah tangga sasaran kelompok menengah ke bawah (masyarakat miskin dan rentan miskin) secara nasional. Guna mendapatkan daftar nama yang akan didata, digunakan data dari Sensus Penduduk (SP) 2010 dengan menggunakan model PovertyTargeting (PovTar). Model PovTar merupakan model yang dikembangkan dari model PovMap, dan juga merupakan pengembangan dari model Proxy Means Test (PMT). Model ini dapat memperkirakan jumlah rumah tangga (kuota) yang akan didata sampai dengan level Desa/Kelurahan. Selain dari PovTar, kuota PPLS 2011 juga mempertimbangkan jumlah rumah tangga PPLS 2008. Apabila ditemukan di suatu wilayah hasil PovTar lebih rendah daripada PPLS2008, maka kuota di wilayah tersebut minimal sama dengan jumlah rumah tangga PPLS 2008. Kuota yang dihasilkan dari model Povtar ini merupakan perkiraan jumlah rumah tangga yang akan di data dalam suatu wilayah. Apabila ternyata wilayah tersebut masih banyak ditemukan rumah tangga yang dianggap miskin, maka wilayah tersebut bisa menambah pendataan sekitar 5% dari kuota.

Data yang dihasilkan akan menjadi basis data terpadu untuk Program Perlindungan Sosial. Basis Data Terpadu akan digunakan untuk mendapatkan daftar nama dan alamat peserta program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan seperti Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Program Keluarga Harapan (PKH), Program Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Program Beasiswa, dan lain-lain. PPLS 2011 dilakukan di seluruh wilayah Indonesia yang meliputi 33 Provinsi, 497 Kabupaten/Kota, 6.699 Kecamatan, 77.062 Desa/Kelurahan dan kurang lebih terdiri dari 1,2 juta Satuan Lingkungan Setempat (SLS). Metode yang dipergunakan adalah metode wawancara, di mana petugas mengunjungi rumah

(27)

tangga responden. Khusus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat yang memiliki wilayah sulit dijangkau, metode yang dipergunakan adalah metode deskstudy dari hasil SP 2010. Sedangkan untuk wilayah yang mudah dijangkau maka tetap menggunakan metode wawancara. Metode deskstudy dilakukan dengan cara mencoret rumah tangga hasil data SP 2010 yang KRT-nya berstatus sebagai PNS/Polri/BUMN/BUMD/Anggota Legistaltif.

Data PPLS 2011 akan berbeda dengan data rumah tangga yang dimiliki oleh BPS pada umumnya. Hal ini dikarenakan data PPLS 2011 yang berbasis rumah tangga bisa dipilah menjadi keluarga. Adapun isi dari data tersebut mencakup:

 Keterangan umum anggota rumah tangga (ART) yaitu: nama, hubungan dengan kepala rumah tangga, hubungan dengan kepala keluarga, jenis kelamin, tanggal lahir, umur, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, kecacatan, dan penyakit kronis;

 Keterangan perumahan dan rumah tangga yaitu: status kepemilikan rumah, luas lantai, jenis lantai, jenis dinding, jenis atap, sumber air minum, cara memperoleh air minum, sumber penerangan utama, daya terpasang, bahan bakar energi untuk memasak, penggunaan fasilitas buang air besar, tempat pembuangan tinja, serta aset yang dimiliki.

2.1.3 Program Penanggulangan Kemiskinan

Dalam rangka pengurangan penduduk miskin, pemerintah telah menelurkan berbagai program penanggulangan kemiskinan. Salah satunya adalah dengan menciptakan skema perlindungan sosial yang berfungsi sebagai kerangka kerja kebijakan untuk mengatasi kemiskinan dan kerentanan. Perlindungan sosial juga mencakup dan memperluas pendekatan alternatif untuk pembangunan ekonomi dan sosial. Hal ini dapat diilustrasikan dengan mempertimbangkan perspektif yang berbeda tentang perlindungan sosial yang diusulkan oleh organisasi multilateral, yaitu: o ILO (International Labour Organization) mendefinisikan perlindungan sosial sebagai hak atas tunjangan yang masyarakat berikan kepada individu dan rumah tangga (melalui tindakan publik dan kolektif) untuk melindungi dari standar hidup yang menurun akibat sejumlah risiko dasar dan kebutuhan dasar. Dunia internasional mengakui bahwa perlindungan sosial adalah hak dasar manusia yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang disepakati oleh Majelis Umum

(28)

PBB tahun 1948. Dalam Deklarasi disebutkan “setiap orang mempunyai hak atas standar hidup yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya”. ILO kemudian mereformulasi pernyataan misinya yang mencakup pekerjaan untuk “mengamankan pekerjaan yang layak untuk wanita dan anak-anak di mana pun” merupakan penegasan yang mencerminkan komitmen dari Deklarasi untuk memperluas perlindungan sosial untuk semua;

o Makalah Strategi Perlindungan Sosial dari Bank Dunia bergerak di luar perlindungan sosial “tradisional” dalam mendefinisikan sebuah kerangka kerja “manajemen risiko sosial”, dengan menambahkan stabilitas makro ekonomi dan pembangunan pasar keuangan khas program perlindungan sosial. Manajemen risiko sosial terdiri dari intervensi publik “untuk membantu individu, rumah tangga, dan komunitas dalam mengelola risiko-risiko pendapatan” (Holzmann dan Jorgensen dalam Barrientos, 2010). Penekanan pada risiko mengasumsikan bahwa kerentanan terhadap risiko merupakan kendala yang signifikan pada pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia, dan upaya untuk mengurangi kemungkinan risiko atau memperbaiki pengaruhnya pada standar hidup adalah sangat penting untuk pertumbuhan dan pembangunan;

o PBB mendefenisikan perlindungan sosial sebagai “sekumpulan kebijakan publik dan swasta dan program yang diambil oleh masyarakat dalam merespon berbagai kejadian untuk mengimbangi ketiadaan dan pengurangan pendapatan; untuk memberikan bantuan kepada keluarga yang memiliki anak serta memberikan masyarakat kesehatan dan perumahan dasar. Hal ini didukung oleh “nilai-nilai mendasar tentang tingkat yang dapat diterima dan keamanan akses ke pendapatan, mata pencaharian, pekerjaan, pelayanan kesehatan, dan pelayanan pendidikan, gizi, dan tempat tinggal”. Pendekatan ini memperluas peran perlindungan sosial untuk menjamin kebutuhan dasar sebagai pra-syarat untuk pembangunan ekonomi dan manusia.

Barrientos (2010) menyatakan bahwa dalam ILO perlindungan sosial dikaitkan dengan berbagai lembaga masyarakat, norma, dan program-program yang bertujuan untuk melindungi para pekerja dan rumah tangga mereka dari suatu kejadian yang mengancam standar hidup dasar. Kemudian tahun 1990-an, perlindungan sosial mengalami transformasi penting, khususnya dalam konteks negara-negara sedang

(29)

berkembang. Perlindungan sosial di negara berkembang semakin meningkat untuk menjelaskan kerangka kerja kebijakan untuk mengatasi kemiskinan dan kerawanan dalam menghadapi krisis ekonomi, penyesuaian struktur, dan globalisasi. Berdasarkan hal tersebut, perlindungan sosial dapat didefinisikan sebagai tindakan publik yang diambil dalam merespon tingkat kerentanan, risiko, dan kekurangan yang dianggap tidak dapat diterima secara sosial dalam pemerintahan atau masyarakat tertentu (Conway et al., 2000).

Sebagai kerangka kerja kebijakan untuk mengatasi kemiskinan dan kerentanan di negara berkembang, perlindungan sosial merupakan komponen kunci dari kebijakan pembangunan. Peran pembangunan yang lebih luas dari perlindungan sosial di negara berkembang mencakup tiga fungsi, yaitu (Barrientos, 2010):

1) Membantu melindungi tingkat dasar dari konsumsi diantara masyarakat miskin dan masyarakat yang terancam jatuh ke dalam kemiskinan;

2) Memfasilitasi investasi manusia dan aset produktif lainnya yang dapat memberikan jalan keluar dari kemiskinan yang menetap (persistent) dan kemiskinan antar generasi;

3) Memperkuat mereka yang berada dalam kemiskinan sehingga mereka dapat mengatasi kesulitannya.

Terdapat dua jenis tindakan umum dalam bidang perlindungan sosial, yaitu bantuan sosial dan jaminan sosial. Bantuan sosial meliputi segala bentuk tindakan publik (pemerintah dan non pemerintah) yang dirancang untuk mentransfer sumber daya untuk kelompok-kelompok yang dianggap memenuhi syarat karena kekurangan, atau kasus lain seperti veteran perang. Kekurangan dapat dilihat dari segi miskin pendapatan, atau status sosial atau gizi. Jaminan sosial adalah jaminan yang didanai dan didasarkan pada prinsip asuransi.

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai perkembangan perlindungan sosial di dunia, Indonesia pun sudah lama mengimplementasikan berbagai perlindungan sosial dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang.

2.2 Bantuan Tunai Bersyarat

Salah satu bentuk intervensi yang dapat memutuskan rantai kemiskinan adalah Bantuan Tunai Bersyarat (Conditional Cash Transfer/CCT). Pendekatan ini memberikan uang kepada keluarga miskin yang didasarkan pada perilaku tertentu dan

(30)

dimasukkan sebagai investasi sumber daya manusia (SDM). Pendekatan ini juga diorientasikan sebagai bagian dari strategi pemberantasan kemiskinan. Pendekatan ini sangat berbeda dengan bantuan tunai tak bersyarat yang berbasis pada kriteria penerima yang sudah ditentukan sebelumnya.

Habibullah (2011) menjelaskan bahwa program CCT pertama kali diimplementasikan di sejumlah negara Amerika Latin dan Karibia. Pada tahun 1997, Meksiko meluncurkan The Programa de Educacion, Saludy Alimentacion (PROGRESA). Brazil juga memiliki program serupa yang bernama Programa Nacional de Bolsa Escola dan Programa de Erradicacao do Trabalho Infantil (PETI). Kolumbia juga meluncurkan program The Familias en Accion Program (FA), Honduras meluncurkan The Programa de Asignacion Familiar (PRAF), Jamaika mengintroduksi The Program of Advancement Through Health and Education (PATH), sedangkan Nikaragua memperkenalkanThe Red de Proteccion Social (RPS). Program ini kemudian semakin marak diterapkan di berbagai negara.

Dijelaskan oleh Rawlings (2004) bahwa CCT bertujuan untuk memperbaiki program bantuan sosial tradisional dalam berbagai macam cara, seperti :

a. Perubahan hubungan akuntabilitas dengan memberikan hibah tunai secara langsung ke rumah tangga miskin, serta mensyaratkan transfer tersebut diberikan bersamaan dengan keikutsertaan dalam program perawatan kesehatan dan pendidikan, juga menargetkan ibu rumah tangga sebagai penerima bantuan; b. Menjawab masalah kemiskinan yang ada sekarang dan di masa depan dengan

bertujuan untuk menumbuhkembangkan akumulasi SDM di antara kaum muda sebagai cara mendobrak siklus kemiskinan antar generasi, serta menyediakan dukungan pendapatan sebagai cara untuk menangani kemiskinan dalam jangka pendek;

c. Menargetkan penduduk miskin biasanya melalui pemetaan kemiskinan untuk mengidentifikasi daerah-daerah miskin dan melakukan perkiraan dan uji kepemilikan untuk memilih rumah tangga individu;

d. Menyediakan uang tunai yang lebih fleksibel, efisien dan efektif dari segi biaya dibandingkan pemberian bantuan natura;

e. Mengembangkan sinergi dalam pembangunan manusia dengan memusatkan pada aspek pelengkap investasi dalam bidang kesehatan, pendidikan dan gizi;

(31)

f. Menerapkan evaluasi secara strategis. Distribusi informasi dari hasil evaluasi yang memberikan bukti empiris akan efektivitas program CCT turut membantu dalam menjaga kesinambungan program tersebut di tengah berubahnya rezim politik.

CCT bertujuan memberikan bantuan tunai untuk membiayai kebutuhan saat ini, namun penerimaannya mensyaratkan perilaku seperti kehadiran sekolah secara rutin atau memanfaatkan pelayanan kesehatan dasar. Benerje dan Duflo (2012) menyatakan banyak sekali bukti yang menunjukkan rumah tangga terbatas pengetahuannya mengenai tindakan yang semestinya diambil, maka program sosial yang mendorong mereka melakukan tindakan yang tepat akan mendorong perbaikan kesejahteraan. Lebih jauh Habibullah (2011) menjelaskan bahwa pelaksanaan CCT di berbagai negara selalu diikuti pengukuran dampak. Hasil evaluasinya menunjukkan keberhasilan CCT dalam meningkatkan indikator perbaikan SDM. Indikator-indikator ini umumnya sejalan dengan kewajiban yang ditetapkan dalam program CCT, seperti pendidikan dan kesehatan.

2.3 Program Keluarga Harapan (PKH)

Secara eksplisit konstitusi, dalam hal ini UUD 1945 mengamanatkan bahwa “ Negara memelihara fakir miskin dan anak-anak yang terlantar, mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan serta bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan sosial yang layak yang diatur dengan undang-undang”. Selain itu juga terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang menjamin hak kelompok masyarakat miskin.

Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka kebijakan penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui empat strategi utama yaitu perlindungan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan UKM dan pembangunan infrastruktur pedesaan. PKH merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mengembangkan sistem perlindungan sosial dan strategi intervensi pengentasan kemiskinan di Indonesia dengan mengadopsi Bantuan Tunai Bersyarat (CCT) yang sudah banyak diterapkan di berbagai negara.

(32)

2.3.1 PKH Sebagai Bantuan Tunai Bersyarat

PKH secara internasional dikenal sebagai program CCT atau program Bantuan Tunai Bersyarat (BTB). PKH memberikan bantuan dana tunai kepada keluarga yang ada pada rumah tangga sangat miskin selama anggota keluarga tersebut memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Persyaratan tersebut dapat berupa kehadiran di fasilitas pendidikan (misalnya bagi anak usia sekolah), ataupun kehadiran di fasilitas kesehatan (misalnya bagi anak balita, atau bagi ibu hamil). Program ini awalnya dilaksanakan di Meksiko pada pertengahan tahun 1990, dengan nama Progressa yang kemudian berganti menjadi Oportunidades. Sejak itu, program BTB seperti ini mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan, pengambil kebijakan, peneliti dan akademisi.

Program ini terus dikembangkan, dipelajari, dievaluasi, dan kemudian direplikasi ke banyak program serupa di berbagai Negara. Di Indonesia, PKH dimulai sebagai program uji coba pada tahun 2007. Periode uji coba ini dimaksudkan untuk menguji berbagai instrumen yang diperlukan dalam pelaksanaan PKH, antara lain metode penentuan sasaran, validasi data, verifikasi kepatuhan terhadap persyaratan, mekanisme pembayaran dan pengaduan masyarakat. Pada saat ini dapat dikatakan bahwa PKH telah dijalankan sebagai BTB. Terdapat tiga hal yang mendasari hal tersebut. Pertama, PKH telah menjalankan kegiatan verifikasi telah dilakukan untuk memantau kepatuhan rumah tangga memenuhi kewajibannya. Verifikasi adalah esensi utama dari PKH. Kegiatan verifikasi mengecek kepatuhan peserta memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Tanpa verifikasi maka PKH tidak ubahnya dengan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang membagikan bantuan tunai tanpa syarat. Kedua, PKH telah melaksanakan pemotongan bantuan tunai bagi keluarga yang tidak mematuhi kewajiban yang telah ditetapkan. Pemotongan merupakan konsekuensi atas ketidakpatuhan peserta. Ketiga, peserta PKH mengetahui persis bahwa mereka harus memenuhi sejumlah kewajiban untuk dapat menerima bantuan tunai. Peserta adalah elemen penting dalam program BTB. Pengetahuan atas kewajiban inilah seyogyanya yang menjadi awal dari perubahan perilaku keluarga dan anggota keluarga di bidang pendidikan dan kesehatan.

(33)

2.3.2 Landasan Kebijakan dan Peraturan PKH

PKH dijalankan dengan landasan aturan perundang-undangan sebagai berikut:

1.

Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, yang mengamanatkan antara lain penyelenggaraan kesejahteraan sosial ditujukan kepada perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat (Pasal 5), meliputi antara lain jaminan sosial dan perlindungan sosial (Pasal 6, Pasal 14, dan Pasal 15);

2.

Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014, yang mengatur pemberlakuan dan pelaksanaan RPJMN 2010-2014 dalam rangka melaksanakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;

3.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Pembangunan Nasional Tahun 2010, yang menjelaskan strategi pembangunan dalam pengentasan kemiskinan dan prioritas program pembangunan dalam pengentasan kemiskinan;

4.

Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan, yang menjelaskan PKH merupakan Program Pro Rakyat dalam rangka Program Pembangunan Berkeadilan;

5.

Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, yang menegaskan peranan TNP2K sebagai institusi lintas sektor untuk mengendalikan berbagai program penanggulangan kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan dibagi menjadi tiga kelompok kerja (klaster) di mana PKH termasuk dalam kelompok kerja I, yakni Bantuan Sosial Berbasis Keluarga;

6.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2010 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang mengamanatkan pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi dan Kabupaten/Kota yang mempunyai tugas melakukan koordinasi penanggulangan kemiskinan dan mengendalikan pelaksanaan penanggulangan kemiskinan di Provinsi dan di Kabupaten/Kota. PKH merupakan salah satu program yang dikoordinasikan dan dikendalikan oleh TKPK Provinsi dan Kabupaten/Kota.

(34)

Selama dalam periode uji coba, tahun 2007-2011, PKH telah mengalami berbagai perbaikan sistem dan praktek pelaksanaan. PKH menggunakan data BPS secara konsisten, dengan basis RTSM sebagai sasaran program. Rangkaian perbaikan PKH juga dituangkan dalam Inpres 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan, yang meliputi: (i) perbaikan prosedur verifikasi, (ii) percepatan proses pembayaran, dan (iii) perbaikan koordinasi antar kementerian dan pemerintah daerah. Salah satu bentuk perbaikan koordinasi antar K/L terkait dalam pelaksanaan PKH sebagai program nasional adalah diterbitkannya surat K/L yang ditujukan kepala K/L lainnya yang dapat dijadikan landasan kebijakan pelaksanaan PKH, antara lain:  Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi:

Surat kepada:

 Menteri Sosial RI No. B.223/Men/PPK-PNKPA/X/2011 tertanggal 6 Oktober 2011 tentang Rencana Penarikan Pekerja Anak dalam rangka Mendukung PKH (PPA-PKH) Tahun 2012;

 Menteri Kesehatan RI No. B.224/Men/PPK-PNKPA/X/2011 tertanggal 6 Oktober 2011 tentang Rencana Penarikan Pekerja Anak dalam rangka Mendukung PKH (PPA-PKH) Tahun 2012;

 Menteri Agama RI No. B.225/Men/PPK-PNKPA/X/2011 tertanggal 6 Oktober 2011 tentang Rencana Penarikan Pekerja Anak dalam rangka Mendukung PKH (PPA-PKH) Tahun 2012;

 Menteri Pendidikan Nasional RI No. N.226/Men/PPK-PNKPA/X/2011 tertanggal 6 Oktober 2011 tentang Rencana Penarikan Pekerja Anak dalam rangka Mendukung PKH (PPA-PKH) Tahun 2012;

 Menteri Agama No. B.66/MEN/PPK-PNKPA/III/2011 tertanggal 29 Maret 2011 tentang Dukungan dalam Pelaksanaan Program PPA-PKH Tahun 2011;

 Menteri Sosial No. B.67/MEN/PPK-PNKPA/III/2011 tertanggal 29 Maret 2011 tentang Dukungan dalam Pelaksanaan Program PPA-PKH Tahun 2011;

 Menteri Kesehatan No. B.68/MEN/PPK-PNKPA/III/2011, tertanggal 29 Maret 2011 tentang Dukungan dalam Pelaksanaan Program PPA-PKH Tahun 2011;

 Menteri Pendidikan Nasional No. B.69/MEN/PPK-PNKPA/III/ 2011 tertanggal 29 Maret 2011 tentang Dukungan dalam Pelaksanaan Program PPA-PKH Tahun 2011;

(35)

 Direktur Pembinaan SD, Direktur Pembinaan SMP, Direktur PK-PLK Dasar Ditjen Pendidikan Dasar, Direktur Pembinaan SMA, Direktur PK-PLK Dasar Ditjen Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan Nasional tertanggal 21 Juli 2011 tentang Permohonan Beasiswa Miskin bagi Pekerja Anak PPA-PKH Tahun 2011.  Kementerian Kesehatan:

 Surat Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan kepada Kepala Dinas Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota di wilayah PKH, BM. 02.SJ.B/1038, 15 November 2007 tentang Dukungan Pelaksanaan PKH Bidang Kesehatan;

 Surat Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat kepada kepada Kepala Dinas Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota di wilayah PKH, No. IR.02.02/B.IV/2977/2010, 5 Agustus 2010 tentang Dukungan Sektor Kesehatan terhadap Program Keluarga Harapan.

 Kementerian Dalam Negeri:

 Surat Menteri Dalam Negeri (yang ditandatangani Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil) kepada Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota No. 471.13/ 505/MD, 28 Januari 2011 tentang Penerbitan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi Penduduk Peserta PKH.

 Kementerian Pendidikan Nasional:

 Surat Edaran Menteri Pendidikan Nasional kepada Gubernur dan Bupati serta Walikota Seluruh Indonesia No. 90/MPN/LL/2009 tanggal 25 Juni 2009: untuk dapat memberikan prioritas kepada anak-anak usia sekolah wajib belajar dari RTSM untuk memperoleh Beasiswa Miskin yang anggarannya disediakan Pemerintah;

 Surat Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Menengah (yang ditandatangani Direktur Pendidikan Pembinaan TK dan SD) kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Seluruh Indonesia up. Kepala Bidang yang Menangani SD No. 728/C2/KU/2010 tertanggal 19 Juli 2010 tentang Kegiatan Penyediaan Beasiswa Bagi Siswa Miskin Jenjang Sekolah dasar APBN-P.

 Kementerian Sosial:

 Surat Menteri Sosial No. B/B.22/BJS/V.09/MS tanggal 28 Mei 2009 kepada Menteri Pendidikan Nasional.

(36)

 Sekretariat TNP2K:

 Surat Deputi Sekretaris Wakil Presiden RI Bidang Kesra dan Penanggulangan Kemiskinan selaku Sekretaris Eksekutif TNP2K kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. B-169/Setwapres/D-3/TNP2K.03.04/07/2011 tertanggal 25 Juli 2011 tentang Tindak Lanjut Rapat Pleno TNP2K Tentang Perbaikan dan Perluasan PKH;

 Surat Deputi Sekretaris Wakil Presiden RI Bidang Kesra dan Penanggulangan Kemiskinan selaku Sekretaris Eksekutif TNP2K kepada Menteri Dalam Negeri No. B-170/Setwapres/D-3/TNP2K.03.04/07/2011 tertanggal 25 Juli 2011 tentang Tindak Lanjut Rapat Pleno TNP2K Tentang Perbaikan dan Perluasan PKH;

 Surat Deputi Sekretaris Wakil Presiden RI Bidang Kesra dan Penanggulangan Kemiskinan selaku Sekretaris Eksekutif TNP2K kepada Menteri Pendidikan Nasional No. B-171/Setwapres/D-3/TNP2K.03.04/07/2011 tertanggal 25 Juli 2011 tentang Tindak Lanjut Rapat Pleno TNP2K Tentang Perbaikan dan Perluasan PKH;

 Surat Deputi Sekretaris Wakil Presiden RI Bidang Kesra dan Penanggulangan Kemiskinan selaku Sekretaris Eksekutif TNP2K kepada Menteri Sosial No. B-172/Setwapres/D-3/ TNP2K.03.04/07/2011 tertanggal 25 Juli 2011 tentang Tindak Lanjut Rapat Pleno TNP2K Tentang Perbaikan dan Perluasan PKH;

 Surat Deputi Sekretaris Wakil Presiden RI Bidang Kesra dan Penanggulangan Kemiskinan selaku Sekretaris Eksekutif TNP2K kepada Menteri Kesehatan No. B-173/Setwapres/D-3/TNP2K.03.04/07/2011 tertanggal 25 Juli 2011 tentang Tindak Lanjut Rapat Pleno TNP2K Tentang Perbaikan dan Perluasan PKH;

 Surat Deputi Sekretaris Wakil Presiden RI Bidang Kesra dan Penanggulangan Kemiskinan selaku Sekretaris Eksekutif TNP2K kepada Menteri Agama No. B-174/Setwapres/D-3/TNP2K.03.04/07/2011 tertanggal 25 Juli 2011 tentang Tindak Lanjut Rapat Pleno TNP2K Tentang Perbaikan dan Perluasan PKH. 2.3.3 Tujuan PKH

Tujuan umum PKH adalah untuk mengurangi angka dan memutus rantai kemiskinan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta mengubah perilaku kurang mendukung peningkatan kesejahteraan dari kelompok paling miskin. Tujuan

(37)

tersebut sekaligus sebagai upaya mempercepat pencapaian target Millennium Development Goals (MDGs). Secara khusus, tujuan PKH adalah:

1.

Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi Peserta PKH;

2.

Meningkatkan taraf pendidikan Peserta PKH;

3.

Meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu hamil (bumil), ibu nifas, bawah lima tahun (balita) dan anak prasekolah anggota KSM.

2.3.4 Penerima Manfaat PKH

PKH diberikan kepada Keluarga Sangat Miskin (KSM). Keluarga yang dapat menjadi Peserta PKH didapatkan dari Basis Data Terpadu dan memenuhi sedikitnya satu kriteria kepesertaan program berikut, yaitu:

1. Memiliki ibu hamil/nifas;

2. Memiliki anak balita atau anak pra sekolah;

3. Memiliki anak usia SD dan/atau SLTP dan/atau anak 15-18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar.

Basis Data Terpadu adalah basis data berisikan 40% penduduk Indonesia dengan status sosial ekonomi terendah yang memuat informasi nama, alamat, dan data dasar individu, keluarga dan rumah tangga. Basis Data ini dikelola oleh Sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia. Pembayaran bantuan PKH didasarkan atas unit penerima keluarga. Seluruh keluarga di dalam suatu rumah tangga berhak menerima bantuan tunai apabila memenuhi kriteria kepesertaan program dan memenuhi kewajibannya. Keluarga baru yang terbentuk, misalnya akibat pernikahan anggota rumah tangga, harus dilaporkan kepada pendamping untuk di data dan dilaporkan ke UPPKH.

Bantuan dana tunai PKH diberikan kepada ibu atau perempuan dewasa (nenek, bibi atau kakak perempuan) dan selanjutnya disebut Pengurus Keluarga. Dana yang diberikan kepada pengurus keluarga perempuan ini telah terbukti lebih efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan penerima bantuan. Pengecualian dari ketentuan di atas dapat dilakukan pada kondisi tertentu, misalnya bila tidak ada perempuan dewasa dalam keluarga maka dapat digantikan oleh kepala keluarga. Sebagai bukti kepesertaan PKH, anggota KSM diberikan Kartu Peserta PKH. Kartu ini diberikan kepada pengurus keluarga perempuan. Saat ini kartu tersebut dapat

(38)

berfungsi sebagai kartu Jamkesmas untuk seluruh anggota keluarga Peserta PKH tersebut (Berdasarkan Buku Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas, 2009). Untuk meningkatkan pelayanan Jamkesmas kepada Peserta PKH, maka Kartu Peserta PKH seyogyanya juga memuat nama para anggota keluarga. Hal ini terkait dengan ketentuan bahwa penerima manfaat Jamkesmas adalah individu dan bukan rumah tangga atau keluarga.

Peserta PKH akan diupayakan juga mendapatkan layanan program Bantuan Sosial secara terintegrasi. Karena Peserta PKH merupakan kelompok yang paling miskin, maka idealnya Peserta PKH juga secara otomatis mendapatkan program lainnya seperti Jamkesmas, Bantuan Pendidikan bagi Siswa Miskin, Raskin, dan lainnya. Selain itu, PKH juga diharapkan dapat mengurangi jumlah pekerja anak dan anak jalanan, dan mengembalikannya ke satuan pendidikan.

2.3.5 Kewajiban Peserta PKH

Agar memperoleh bantuan tunai, Peserta PKH diwajibkan memenuhi persyaratan dan komitmen untuk ikut berperan aktif dalam kegiatan pendidikan anak dan kesehatan keluarga, terutama ibu dan anak.

 Kesehatan

KSM yang sudah ditetapkan menjadi Peserta PKH dan memiliki kartu PKH diwajibkan memenuhi persyaratan kesehatan yang sudah ditetapkan dalam protokol pelayanan kesehatan seperti di bawah ini :

o Anak usia 0-6 tahun:

 Anak usia 0-28 hari (neonatus) harus diperiksa kesehatannya sebanyak 3 kali;

 Anak usia 0–11 bulan harus diimunisasi lengkap (BCG, DPT, Polio, Campak, Hepatitis B) dan ditimbang berat badannya secara rutin setiap bulan;

 Anak usia 6-11 bulan harus mendapatkan Vitamin A minimal sebanyak 2 (dua) kali dalam setahun, yaitu bulan Februari dan Agustus;

 Anak usia 12–59 bulan perlu mendapatkan imunisasi tambahan dan ditimbang berat badannya secara rutin setiap bulan;

 Anak usia 5-6 tahun ditimbang berat badannya secara rutin setiap bulan untuk dipantau tumbuh kembangnya dan atau mengikuti program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD/Early Childhood Education) apabila di lokasi/posyandu terdekat terdapat fasilitas PAUD.

(39)

o Ibu hamil dan ibu nifas:

 Selama kehamilan, ibu hamil harus melakukan pemeriksaan kehamilan di fasilitas kesehatan sebanyak 4 (empat) kali, yaitu sekali pada usia kehamilan sekali pada usia 0-3 bulan, sekali pada usia kehamilan 4-6 bulan, dua kali pada kehamilan 7-9 bulan, dan mendapatkan suplemen tablet Fe;

 Ibu melahirkan harus ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan;

 Ibu nifas harus melakukan pemeriksaan/diperiksa kesehatan dan mendapat pelayanan KB pasca persalinan setidaknya 3 (tiga) kali pada minggu I, IV dan VI.

 Pendidikan

Peserta PKH diwajibkan memenuhi persyaratan berkaitan dengan pendidikan dan mengikuti kehadiran di satuan pendidikan/rumah singgah minimal 85% dari hari sekolah dalam sebulan selama tahun ajaran berlangsung.

a. Apabila dalam keluarga terdapat anak yang berusia 5-6 tahun yang sudah masuk sekolah dasar dan sejenisnya, maka yang bersangkutan dikenakan persyaratan pendidikan;

b. Jika memiliki anak berusia 7-15 tahun. Anak Peserta PKH tersebut harus didaftarkan/terdaftar pada satuan pendidikan (SD/MI/SDLB/Salafiyah Ula/Paket A atau SMP/MTs/SMLB/Salafiyah Wustha/Paket B termasuk SMP/MTs terbuka); c. Jika memiliki anak usia 15-18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar,

maka Peserta PKH diwajibkan mendaftarkan anak tersebut ke satuan pendidikan yang menyelenggarakan program Wajib Belajar 9 tahun atau pendidikan kesetaraan;

d. Apabila anak tersebut di atas masih buta aksara, maka diwajibkan untuk mengikuti pendidikan keaksaraan fungsional di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) terdekat;

e. Apabila anak tersebut bekerja, atau disebut Pekerja Anak (PA) atau telah meninggalkan sekolah dalam waktu yang cukup lama, maka data anak tersebut akan didaftarkan dan disampaikan kepada Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Pendidikan di tingkat Kabupaten/Kota;

f. Apabila anak tersebut terpaksa di jalanan, atau disebut Anak Jalanan (AJ) dan telah meninggalkan sekolah dalam waktu yang cukup lama, maka data anak tersebut

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Guru-guru berperan aktif untuk menciptakan alur komunikasi dua arah antara guru dengan murid dengan memberikan pertanyaan yang mengarah pada pendapat mereka agar

DYAN FAJAR CHRISTIANTI. Analisis Asupan Zat Gizi dan Status Gizi pada Remaja Putri yang Sudah dan Belum Menstruasi di Bogor. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN. Penelitian

Tabel 2. Persentase ketuntasan siswa juga mengalami peningkatan pada siklus pertama yaitu 68,44% yang sebelumnya pada tes prasiklus, persentase ketuntasan siswa

(1) Pengurangan retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Daerah diberikan kepada pasien umum yang berobat pada hari-hari tertentu seperti

Protokol ini sangat erat hubungannya dengan protokol SMTP (Simple Mail Transfer Protocol) dimana protokol SMTP berguna untuk mengirim surat elektronik dari

Dengan berfokus pada pesan yang disampaikan lewat media sosial Twitter akun personal Jokowi, dimana pada akun ini secara personal Jokowi bisa melakukan political branding

Tingginya harga input produksi dan rendahnya kesuburan tanah, mendorong petani untuk menanam pohon, terutama pada lahan yang miring. Pengusahaan tanaman semusim dianggap

Majelis Jemaat mengucapkan terima kasih kepada segenap jemaat yang telah berpartisipasi dalam mendukung dana MPI ke-28, bagi yang belum mengisi lembaran komitmen MPI,