• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUCCESS STORY DAN PROGRAM BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN (BPTP) ACEH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SUCCESS STORY DAN PROGRAM BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN (BPTP) ACEH"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

1

SUCCESS STORY 2005 – 2009

DAN PROGRAM 2010 – 2014

BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN (BPTP) ACEH

Oleh :

Basri A. Bakar

Abdul Azis

Jamal Khalid

T. Iskandar

KEMENTERIAN PERTANIAN

BADAN LITBANG PERTANIAN

BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN (BPTP) ACEH

2010

(2)

2

Executive Summary

Selama kurun waktu 2005 – 2009, BPTP sudah berkiprah dalam melakukan tugas dan fungsinya di Provinsi Aceh berupa pengkajian/ penelitian dan diseminasi hasil pertanian, termasuk di dalamnya program strategis seperti program Pengembangan Usaha Agribsinis Perdesaan (PUAP), Program Swasembada Daging Sapi (PSDS), SL-PTT Padi Sawah, Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN) dan lain-lain. Secara umum, kegiatan tersebut memberikan dampak positip bagi masyarakat melalui penyebaran adopsi teknologi dan peningkatan pendapatan. Namun demikian ada juga program yang dampaknya terbatas, karena kurang mendapat sokongan dan dukungan dari pihak/ lembaga terkait baik pemerintah maupun swasta.

Di antara kegiatan tersebut, ada yang dianggap berhasil sehingga menjadi Success Story, karena kehadiran BPTP telah memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan sektor pertanian di daerah yang berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Meskipun dalam hal-hal tertentu sulit diukur, namun secara kasat mata, beberapa rakitan teknologi dan pendampingan yang dilakukan, telah membawa dampak nyata bagi arah kebijakan daerah untuk masa mendatang. Salah satu indikator keberhasilan kinerja BPTP adalah jika pemerinatah daerah secara intensif memanfaatkan BPTP untuk mendukung pelaksanaan pembangunan pertanian daerah. Untuk itu program penelitian dan pengkajian yang dilakukan harus selaras dengan kebutuhan stakeholders dan praktisi agribisnis termasuk petani. Selain itu kerjasama dengan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/ kota menjadi hal yang penting dan terus diupayakan.

Tujuan penulisan Success Story ini adalah Menjadi bahan lesson learning untuk disebarluaskan dari hasil kegiatan pengkajian dan diseminasi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh selama kurun waktu 2005-2009 serta Menjadi acuan dalam pengembangan teknologi pertanian spesifik lokasi di Provinsi Aceh.

(3)

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tantangan Badan Litbang Pertanian ke depan semakin dinamis yaitu bagaimana teknologi, produk dan alternatif kebijakan yang dihasilkan mampu menjadi dinamisator, trendsetting dan katalisator dalam pembangunan pertanian. Dalam mendukung pembangunan pertanian daerah, BPTP senantiasa proaktif dan berperan dalam inovasi teknologi strategis adaptif spesifik lokasi sekaligus menjadi mitra kerja pemerintah daerah dalam merumuskan program dan kebijakan pengembangan pertanian di wilayah kerjanya.

Dalam upaya meningkatkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan seiring dengan otonomi daerah (UU No. 22/1999), maka Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah melakukan reorientasi dengan penataan dan pemantapan organisasi. Perubahan yang sangat signifikan ditandai dengan dibentuknya Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) pada sejumlah provinsi di Indonesia. BPTP sebagai unit pelaksana teknis di bidang penelitian dan pengembangan pertanian yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dikoordinasikan oleh Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

BPTP Aceh mulai terbentuk tahun 2003 sesuai dalam SK Mentan No. 633/Kpts/OT.140/12/2003 tanggal 30 Desember 2003, sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang Pertanian di daerah dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan penelitian kepada pengguna serta mempercepat adopsi dan pengembangan inovasi teknologi. Adapun misi BPTP adalah menjadi lembaga penelitian dan pengkajian regional yang proaktif dan responsif dengan sistem partisipatif dalam menyediakan teknologi spesifik lokasi untuk mewujudkan pertanian maju dan berwawasan agribisnis. Untuk mencapai visi tersebut, maka misi BPTP Aceh adalah menghasilkan teknologi pertanian spesifik lokasi, mempercepat proses adopsi teknologi dan mengembangkan inovasi-inovasi baru yang diperlukan untuk mewujudkan usaha dan sistem agribisnis, peningkatan produksi dan pendapatan serta peningkatan kemampuan dan keterampilan petani.

Selama kurun waktu 2005 – 2009, BPTP sudah berkiprah dalam melakukan tugas dan fungsinya di Provinsi Aceh berupa pengkajian/ penelitian dan diseminasi hasil pertanian,

(4)

4 termasuk di dalamnya program strategis seperti program Pengembangan Usaha Agribsinis Perdesaan (PUAP), Program Swasembada Daging Sapi (PSDS), SL-PTT Padi Sawah, Program Peningkatan Beras Nasional (P2BN) dan lain-lain. Secara umum, kegiatan tersebut memberikan dampak positip bagi masyarakat melalui penyebaran adopsi teknologi dan peningkatan pendapatan. Namun demikian ada juga program yang dampaknya terbatas, karena kurang mendapat sokongan dan dukungan dari pihak/ lembaga terkait baik pemerintah maupun swasta.

Di antara kegiatan tersebut, ada yang dianggap berhasil sehingga menjadi Success Story, karena kehadiran BPTP telah memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan sektor pertanian di daerah yang berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Meskipun dalam hal-hal tertentu sulit diukur, namun secara kasat mata, beberapa rakitan teknologi dan pendampingan yang dilakukan, telah membawa dampak nyata bagi arah kebijakan daerah untuk masa mendatang.

Salah satu indikator keberhasilan kinerja BPTP adalah jika pemerinatah daerah secara intensif memanfaatkan BPTP untuk mendukung pelaksanaan pembangunan pertanian daerah. Untuk itu program penelitian dan pengkajian yang dilakukan harus selaras dengan kebutuhan stakeholders dan praktisi agribisnis termasuk petani. Selain itu kerjasama dengan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/ kota menjadi hal yang penting dan terus diupayakan.

1.2 Tujuan

Tujuan penulisan Success Story ini adalah :

1. Menjadi bahan lesson learning untuk disebarluaskan dari hasil kegiatan pengkajian dan diseminasi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh selama kurun waktu 2005-2009.

2. Menjadi acuan dalam pengembangan teknologi pertanian spesifik lokasi di Provinsi Aceh.

(5)

5

BAB II

SUCCESS STORY DAN LESSON LEARN 2005 – 2009

2.1. Program Pengkajian

Dalam kurun waktu 2005 – 2009 atau pasca gempa tsunami, BPTP Aceh telah melakukan banyak judul pengkajian dengan berbagai komoditas unggulan daerah, baik subsektor tanaman pangan, perkebunan dan peternakan. Namun dari kegiatan tersebut, ada beberapa pengkajian yang dianggap memberikan dampak positip bagi masyarakat dan daerah.

a. Introduksi Varietas Unggul untuk Pengembangan Nilam

di Provinsi Aceh

Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan salah satu tanaman penghasil devisa. Dalam perdagangan dunia, minyak nilam bersama dengan 14 jenis minyak atsiri lainnya termasuk komoditi ekspor yang menghasilkan devisa.

Tanaman nilam di Indonesia tersebar di 7 provinsi dan 27 kabupaten, penyebarannya 90 % berada di pulau Sumatera dan 10 % di pulau Jawa. Di Sumatera tanaman nilam menyebar di 5 provinsi dan 22 kabupaten, mulai dari Aceh sampai ke provinsi Lampung Selatan. Di Jawa penyebarannya terdapat di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Tanaman nilam di Indonesia masih diusahakan oleh petani dengan teknologi yang sederhana dan input budidaya yang minimal, sehingga produktivitas dan mutu minyak umumnya rendah. Produktivitas di berbagai daerah sentra produksi berkisar antara 49 – 89 kg minyak/ha/tahun. Adapun rendahnya produktivitas dan mutu minyak terutama disebabkan oleh belum adanya varietas unggul yang ditanam petani, teknologi budidaya yang sederhana, adanya serangan penyakit dan penanganan pasca panen yang belum tepat.

Komponen utama minyak nilam adalah Patchouli alkohol, yang bisa digunakan sebagai pengikat (fiksatif) pada industri parfum. Dewasa ini minyak nilam juga digunakan untuk bahan antiseptik, anti jamur, anti jerawat, obat eksim, kulit pecah-pecah, ketombe dan untuk mengurangi kegelisahan dan depresi atau membantu penderita insomnia (gangguan susah tidur). Mulai era delapam puluhan minyak nilam sering dipakai untuk bahan aroma terapi.

Sejak dekade tujuh puluhan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, terutama Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat dan Aceh Tenggara merupakan sentra tanaman nilam terluas di Indonesia. Jumlah produksi minyak nilam Aceh memberikan kontribusi sebesar 70 %

(6)

6 terhadap pasokan minyak nilam Indonesia. Namun sejak tahun 1999, jumlah produksi minyak nilam Aceh mengalami stagnasi. Hal ini disebabkan oleh rendahnya animo masyarakat untuk melakukan produksi karena harga jual minyak nilam tidak stabil.

Dari hasil evaluasi lahan dan iklim yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat-obatan, pada tahun 2004 diperoleh daerah –daerah yang amat sesuai, sesuai dan agak sesuai untuk budidaya tanaman nilam di provinsi Aceh. Daerah–daerah yang memiliki potensi lahan dan agroklimat yang sesuai dari hasil evaluasi lahan dan iklim tersebut antara lain yaitu Kabupaten Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Singkil Aceh Barat Daya, Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Pidie dan Aceh Besar. Sehingga potensi Aceh sebagai penghasil minyak nilam di Indonesia perlu dipertahankan.

Varietas unggul

Berdasarkan perbedaan sifat tanah, iklim dan cara penanamannya, dikenal tiga varietas nilam, yaitu Nilam Aceh (Pogostemon cablin Benth) mempunyai kadar minyak 2,50 %, Nilam Jawa (Pogostemon heyneamus) dengan kadar minyak 0,50 – 1,50 % dan Nilam Sabun (Pogostemon hortensis) dengan susunan yang berbeda dengan minyak nilam Aceh.

Produksi tanaman nilam tergantung sekali pada jenis/ varietas yang ditanam, keadaan tanah dan pertumbuhan tanaman. Produksi yang baik untuk nilam dapat mencapai 15 – 20 ton/ha daun basah atau 5 ton daun kering per ha. Dengan rendemen minyak 2,5 – 4%, sehingga produksi minyak mencapai 100 – 200 kg/ha/th. Kisaran produksi ini sebenarnya masih jauh di bawah potensi hasil tanaman nilam yang mampu menghasilkan daun nilam segar sebesar 52 ton/ha.

Rata-rata produksi minyak nilam Indonesia masih rendah yaitu 97,53 kg/ha (tahun 2002), rendahnya produksi minyak disebabkan rendahnya produksi daun (4 ton /ha terna kering) dan kadar minyak (1 – 2%) yang rendah pula. Pada umumnya petani menanam jenis nilam yang kurang jelas asalnya atau disebut jenis lokal. Sedangkan di Provinsi Aceh produksi nilam di tingkat petani juga rendah berkisar ± 10 ton /ha daun basah atau ± 2 ton/ha daun kering dengan kadar minyak 2 – 3%. Hal ini disebabkan tanaman nilam masih diusahakan oleh petani dengan teknologi yang sederhana dan input budidaya yang minimal, sehingga produktivitas dan mutu minyak umumnya rendah.

Adapun rendahnya produktivitas dan mutu minyak nilam antara lain disebabkan oleh mutu genetik/ varietas tanaman nilam yang masih rendah, teknik budidaya yang sederhana, serangan berbagai penyakit, serta panen dan pasca panen yang belum tepat. Untuk

(7)

7 meningkatkan mutu genetik/varietas tanaman nilam, Balitro melakukan eksplorasi untuk mengumpulkan plasma nutfah nilam dari berbagai daerah, baik daerah sentra produksi maupun daerah lainnya.

Dari hasil eksplorasi tersebut telah terkumpul 28 nomor yang kadar minyaknya bervariasi antara 1,60 - 3,59%. Hasil seleksi dan hasil uji multi lokasi terhadap beberapa nomor nilam, telah dilepas tiga varietas unggul oleh Menteri Pertanian pada tahun 2005, baik produksi terna maupun kadar dan mutu minyaknya. Ketiga varietas tersebut adalah Tapaktuan, Lhokseumawe dan Sidikalang.

Gambaran umum masing-masing varietas unggul

a. Varietas Sidikalang

Produksi minyak 78,90 – 624,89 kg/ha Kadar minyak 2,23 – 423 %

Kadar Patchouli alkohol 30-35 %

2. Varietas Tapaktuan

Produksi minyak 11,50 – 622,26 kg/ha Kadar minyak 2,07 – 3,87 %

Kadar Patchouli alkohol 28,69- 35,90 %

3. Varietas Lhokseumawe

Produksi minyak 125,83- 380,06 kg/ha Kadar minyak 2,00 – 4,14 %

(8)

8 Pada tahun 2005, Balitro bekerjasama dengan BPTP Aceh melakukan uji adaptasi 3 varietas unggul nilam di kabupaten Pidie Kecamatan Titeue Keumala yang bertujuan untuk mendapatkan varietas yang adaptif spesifik lokasi. Kemudian pada tahun 2006 dilakukan pengkajian uji adaptasi 3 varietas unggul di 2 kecamatan yaitu Kecamatan Titeue Kemala dan Kecamatan Geumpang Kabupaten Pidie. Dari hasil uji adaptasi tiga varietas unggul diperoleh satu varietas yang adaptif yang berdasarkan produksi terna basah, terna kering, dan minyak hasil suling.

Pada tahun 2009 pengkajian 3 varietas unggul dilaksanakan Desa Kuala Bakong Kecamatan Sampoinet Kabupaten Aceh Jaya. Pada kegiatan ini BPTP memperkenalkan tiga varietas unggul dengan menggunakan teknologi anjuran. Hasil pengkajian menunjukkan varietas Sidikalang menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingka dua varietas unggul lainnya.

Umumnya petani nilam baik yang terlibat sebagai petani kooperator atau yang tidak tirlibat serta mayarakat sekitar lokasi kegiatan budidaya nilam yang dilaksanakan BPTP Aceh memberikan respon yang positif. Hal ini dapat dilihat dengan mulai berkembangnya penanaman tiga varietas unggul dengan menggunakan teknologi anjuran yang diperkenalkan. Selain itu banyak pihak seperti NGO Charita Cheska, World Vision yang berkeinginan mendapatkan varietas tersebut untuk dikembangkan di kabupaten lain agar daerah Provinsi Aceh dapat kembali menjadi sentra produksi nilam di Indonesia sehingga dapat meningkatkan PAD daerah.

(9)

9

b. Inovasi Penggunaan Benih Padi Berkualitas pada Lahan

Sawah Irigasi

Provinsi Aceh merupakan daerah agraris dan juga merupakan salah satu daerah lumbung pangan yang mendukung program pemerintah di bidang peningkatan persediaan beras nasional. Upaya peningkatan persediaan beras nasional tidak terlepas dari upaya peningkatan produktivitas padi pada daerah sentra produksi. Bagi sebagian masyarakat umum ketergantungan terhadap beras adalah merupakan suatu hal yang tidak dapat tergantikan dengan komoditi, hal ini karena beras merupakan merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyrakat di Indonesia.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh merupakan salah satu UPT Badan Litbang Pertanian yang mempunyai tupoksi melakukan pengkajian dan diseminasi hasil teknologi pertanian, khususnya terhadap upaya perbaikan produktivitas komoditi padi di Aceh. Biasanya padi akan tumbuh dan berproduksi dengan baik apabila benih yang digunakan berasal dari benih yang berkualitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan benih berkualitas dapat meningkatkan produksi padi mencapai 20 %, apabila faktor lain dalam keadaan normal.

Sejak tahun 2007, BPTP Aceh telah memperkenalkan beberapa varietas unggul padi pada beberapa wilayah di Provinsi Aceh di antaranya Aceh Utara, Pidie Jaya, Pidie, Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan. Pengenalan beberapa varietas unggul padi ini dilakukan melalui kegiatan demplot PTT padi sawah dan kegiatan perbanyakan benih/ bibit mendukung kegiatan SL-PTT.

Inovasi Teknologi

Penerapan inovasi teknologi penggunaan benih berkualitas pada beberapa kabupaten di Provinsi Aceh telah membawa perubahan terhadap peningkatan produktivitas padi, perilaku petani serta tambahan pendapatan usahatani, sehingga sampai dengan tahun 2010 luas areal pembinaan ini telah mencapai 27 ha.

Adapun inovasi teknologi yang diterapkan adalah penggunaan benih berkualitas dan penanaman sistem legowo. Penerapan sistem legowo awalnya mendapat tantangan yang cukup berat dari anggota kelompok tani, karena sistem ini dianggap tidak efisien dan banyak memakan tempat, sehingga populasi tanaman menjadi berkurang, Padahal tidak demikian, karena sistem ini dapat menambah jumlah populasi per satuan luasnya.

(10)

10

Tahun 2007

Kegiatan demplot PTT tahun 2007 dilakukan pada tiga kabupaten yaitu Kecamatan Muara Satu Kabupaten Aceh Utara, Kecamatan Ulim Pidie Jaya dan Kecamatan Manggeng dan Tangan-Tangan Aceh Barat Daya. Varietas yang di kembangkan adalah Hipa-3, Hipa-4, Rokan, Ciherang, Cigeulis, Ciapus, Batang Gadis dan Mekongga. Sebelumnya varietas ini tidak dikenal di kalangan petani, tetapi setelah adanya kegiatan SL-PTT ini petani telah mengenal adanya beberapa varietas baru dan karakteristiknya. Dari beberapa varietas yang diperkenalkan, hasil yang tertinggi dijumpai pada varietas Maro dengan rata-rata produksi mencapai 7,84 t/ha, diperoleh pada lokasi Kabupaten Aceh Barat Daya.

Tahun 2008

Pengembangan benih berkualitas pada tahun 2008 dilakukan melalui kegiatan perbanyakan benih/ bibit. Kegiatan ini dilakukan pada tiga kabupaten yaitu; Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar seluas 10 ha (42 petani), Kecamatan Sakti Kabupaten Pidie, seluas 8 ha (38 petani) dan Kecamatan Manggeng, Tangan-Tangan dan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya, seluas 3 ha (30 petani). Adapun jenis varietas yang dikembangkan adalah Krueng Aceh, Ciherang dan Mira-1. Hasil unbinan dari ketiga jenis varietas yang dikembangkan ini terlihat bahwa Varietas Ciherang menujukkan hasil yang tertinggi yaitu mencapai 7,8 t/ha.

Tahun 2009

Pengembangan benih berkualitas pada tahun 2009 juga dilakukan melalui kegiatan perbanyakan benih/ bibit. Kegiatan ini dilakukan pada tiga kabupaten yaitu; Kecamatan Meurah Dua Kabupaten Pidie Jaya, seluas 10 ha (39 petani), Kecamatan Sakti Kabupaten Pidie seluas 8 ha (48 petani) dan Kecamatan Manggeng, Tangan-Tangan dan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya, seluas 5 ha (37 petani). Adapun jenis varietas yang dikembangkan adalah Krueng Aceh, Ciherang dan Mira-1. Dari ke tiga jenis varietas yang dikembangkan ini terlihat bahwa Varietas Ciherang menujukkan hasil yang tertinggi yaitu mencapai 7,8 t/ha, hasil ini diperoleh berdasarkan hasil ubinan.

Dampak Inovasi Teknologi

Inovasi teknologi yang diterapkan selalu menghasilkan dampakbaik negatif maupun positif. Biasanya dampak ini terlihat pada musim tanam berikutnya, karena pihak BPTP tidak lagi memberikan bantuan saprodi, sehingga dapat dinilai apakah petani masih mau mengikuti teknologi yang kita anjurkan atau ditinggalkan.

(11)

11 Dari hasil pemantauan tim monitoring dan evaluasi bahwa dampak teknologi, yang banyak dilanjutkan oleh petani adalah tentang penggunaan varietas berkualitas. Hal ini terlihat bahwa petani akan melanjutkan penanaman benih tersebut pada musim tanam berikutnya dengan jumlah petani yang semakin banyak. Sebagai salah satu contoh kegiatan perbanyakan benih/ bibit di lokasi Kaupaten Aceh Barat Daya mulai tahun 2008 dan 2009 luas pembinaan 8 ha dengan jumlah petani 37 orang, maka untuk tahun 2010 ini luas kegiatan ini telah mencapai 30 ha dengan jumlah petani mencapai 95 orang.

c. Pengembangan Kedelai Kipas Merah dan Anjasmoro di

Provinsi Aceh

Kedelai merupakan komoditi unggulan di Provinsi Aceh di samping padi sawah. Daerah sentra produksi kedelai terdapat di Kabupaten Bireuen, Pidie, Aceh Tamiang, Aceh Utara dan Aceh Timur. Petani menanam kedelai di lahan sawah dan di lahan kering. Pada lahan sawah kedelai ditanam setelah panen padi sawah pada bulan Maret dan panen pada bulan Juni. Pada lahan kering kedelai ditanam sepanjang tahun.

Sejak tahun 1997 terjadi peningkatan rata-rata produktivitas kedelai di Aceh dari 1,2 ton/ha menjadi 1,5 ton /ha di tingkat petani. Di tingkat penelitian yang dilakukan oleh BPTP NAD produktivitas dapat dicapai 2,0 – 2,5 ton/ha dengan adanya varietas unggul baru yang dikembangkan oleh BPTP NAD seperti : Burangrang, Kaba, Tanggamus dan Ijen.

Sejak konflik melanda Provinsi Aceh dari tahun 1998 sampai 2005 produksi kedelai di Aceh menurun drastis, karena petani banyak tidak menanam kedelai terutama di gunung/ lahan kering. Setelah terciptanya perdamaian di Provinsi Aceh pada tahun 2005, petani mulai menanam kedelai baik di lahan kering maupun di sawah setelah panen padi rendengan.

Dalam upaya pengembangan dan peningkatan produktivitas kedelai di Provinsi Aceh, BPTP Aceh telah melakukan pengkajian-pengkajian di lapangan terutama pada daerah sentra produksi kedelai dengan menerapkan teknologi PTT yang meliputi (1) menggunakan varietas unggul baru (seperti Anjasmoro, Kipas merah, Grobogan, Panderman dan Burangrang), (2) benih bermutu dan berlabel, (3) populasi tanaman, (4) pembuatan saluran drainase, (5) pengendalian OPT, (6) pemupukan berimbang, (7) perlakuan benih dengan rhizobium, (8) pemberian pupuk organik.

Dari hasil pengkajian diperoleh bahwa varietas Kipas Merah dan Anjasmoro cocok dikembangkan di Provinsi Aceh dengan hasil dapat mencapai 3 ton/ha bila ditanam pada bulan

(12)

12 Maret, panen bulan Juni. Penanaman pada bulan Juli, panen bulan Oktober hasilnya lebih rendah (1,6 – 2,0 ton/ha) baik di lahan kering maupun di lahan sawah.

d. Penangkaran Benih Kentang Bermutu melalui

Kelompoktani

Pertanian diharapkan mampu berperan sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi dan membuka kesempatan kerja, menjamin tersedianya bahan baku untuk industri, tersedianya bahan pangan yang memenuhi kebutuhan gizi serta meningkatkan devisa dan pendapatan keluarga tani.

Kebutuhan masyarakat terhadap kentang tampaknya akan terus meningkat. Menurut analisis Bank Dunia, proyeksi peningkatan permintaan sayuran 2010 – 2015 rata-rata 3,6% - 5% per tahun. Kentang sangat berperan dalam diversifikasi menu dan sangat fleksibel untuk diolah menjadi berbagai jenis makanan siap saji (fast food).

Pada tahun 2008 luas pertanaman kentang di Provinsi Aceh tercatat 1.230 ha, dengan produksi mencapai 170.460 ton, sehingga diperkirakan kebutuhan bibit kentang untuk areal seluas tersebut mencapai 1.845 ton, dengan asumsi jumlah kebutuhan benih 1,5 ton/ha.

Bibit kentang di pasaran umumnya berasal dari Berastagi Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Pengalengan Jawa Barat. Oleh karena itu potensi kentang di Provinsi Aceh dihadapkan pada dua pilihan, yakni menggunakan bibit yang berasal dari tanaman petani sendiri dengan harga lebih murah tetapi membutuhkan input lebih tinggi karena tanaman lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit lebih tinggi, atau menggunakan bibit berasal dari penangkar dengan harga lebih mahal, akan tetapi lebih tahan terhadap hama dan penyakit, serta produksi lebih tinggi.

Desa Wih Ilang merupakan salah satu desa yang berada dalam Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah dengan luas ± 1.500 ha. Jenis tanah umumnya podsolid dengan ketinggian 1.611 m dpl serta titik koordinat N 040.29”.557’ dan E 960.47”.165’.

Kegiatan yang dilakukan meliputi pembinaan/ pelatihan dan kegiatan penangkaran di lapangan, dilaksanakan dengan mengutamakan unsur partisipatif dan kemitraan antara pengkaji, penyuluh lapangan dan petani koperator. Dalam pelaksanaannya melibatkan instansi terkait, Dinas Pertanian Kabupaten, Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten, BPP Kecamatan dan Aparat desa lainnya.

(13)

13 Tabel 1. Deskripsi perakitan Teknologi introduksi pada pemberdayaan kelompok tani sebagai penangkar benih kentang.

No Komponen Teknologi Uraian

1 Lahan Tegalan

2 Pengolahan tanah 2 kali traktor dan 1 kali pacul/ratakan

3 Bedengan Lebar 50 cm, panjang tergantung lahan, tinggi 60 cm untuk lahan sawah, 30 cm untuk lahan tegalan.

4 Varietas Granola, Margahayu dari Balai Penelitian Sayuran. 5 Asal bibit Kultur jaringan/penangkar G3=Granola

6 Ukuran bibit 30 – 40 gram/knol/umbi 7 Cara tanam Tanpa lobang (musim Hujan) 8 Jarak tanam 50 cm x 30 cm

9 Bokasi Limbah kopi

3 perlakuan 300 gram/rumpun, diberikan saat tanam Paket A Tanpa Penambahan Pupuk (kontrol) Paket B penambahan Urea 2 kg/ ton kompos Paket C Penambahan NPK 2 kg/ton kompos 10 Pemeliharaan  Pembubunan  Fungisida - Antracol, Dithane - M45 Velimex, Ridomil MZ  Insektisida - Curacron, Marshal, Padan, Confidor,dll  Citowet (perekat)

Dilakukan saat pemupukan ke 2/penyiangan

Dosis anjuran, disemprot mulai umur 3 minggu setelah tanaman, dengan interval 7 hari sekali

Disemprot mulai umur 3 minggu setelah tanam dengan interval waktu 7 hari sekali

11 Perlakuan tanaman Umur 80 hari setelah tanam daun dipangkas agar cepat kering bertujuan terhindar dari hama/penyakit dan umbinya cepat matang

12 Panen Umur 100 hari setelah tanam/disesuaikan dengan kondisi lapangan

13 Pasca panen Setelah panen dibiarkan beberapa hari di ruangan agar tanah yang melekat pada umbi kering dan jatuh

14 Penyimpanan benih Dibuat rak dengan ventilasi udara baik/dengan perlakuan

Pembuatan Pupuk Organik

Proses pembuatan pupuk kompos dilakukan 1 – 2 bulan sebelum pemakaian. pupuk organik limbah kulit kopi dan pupuk kandang abu sekam padi difermentasi dengan menggunakan EM-4. Komposisi pupuk kompos limbah kulit kopi adalah sebagai berikut :

(14)

14 Tabel 2. Komposisi pupuk organik (Bokasi) limbah kulit kopi dengan proses Fermentasi.

No. Bahan Komposisi per

ton kompos (%)

Kebutuhan bahan (kg)

Keterangan 1. Limbah Kulit Kopi 18 2.200 Yang sudah mulai membusuk

2. Pupuk Kandang 66 7.900 Matang/belum matang

3. Abu Sekam Padi 10 1.250 Kulit gabah padi yang sudah dibakar

4. Sekam Padi 6 650 Kulit Gabah Padi

5. Gula Merah 1 kg/ton 10

6. EM – 4 1 liter/ton 10 Aktivator

7. Air Cucian Beras Secukupnya Sumber Karbohidtrat

Tabel 3. Tanggap Berbagai Komposisi Pupuk Kompos

Paket Pemupukan Jumlah umbi Jumlah umbi konsumsi Jumlah umbi bibit A = Kompos + 2 kg Urea 11,80 1,17 10,63 B = Kompos + 2 kg NPK 13,60 1,56 11,04 C = Kompos + 0 kg pupuk 12,43 1,57 10,86

Pada tabel di atas terlihat bahwa perimbangan antara pemberian pupuk organik dan pupuk anorganik sudah cukup baik dalam menekan jumlah umbi konsumsi per rumpun, hal ini sangat penting karena tujuan kegiatan adalah untuk menghasilkan bibit kentang bermutu.

Pupuk organik dapat memperbaiki sifat fisik tanah, dapat digunakan sebagai sumber kimia di dalam tanah yang sangat penting artinya dalam memberikan tingkat kesuburan tanah. Pemberian pupuk organik dapat dipertahankan pada tingkat yang lebih tinggi dan juga harus dianggap sebagai sumber Nitrogen dan hingga tingkat tertentu sebagai sumber P dan K. Demikian juga tambahan pupuk anorganik berupa pupuk Urea, ZA, SP-36, KCl dan NPK juga cukup membantu dalam upaya memperkaya pupuk organik dalam hal kandungan unsur hara terutama unsur makro.

Gambar 1.

Pertumbuhan tanaman kentang pada umur 40 hari setelah tanam

(15)

15 Gambar 2.

Kunjungan Mahasiswa di lokasi kegiatan

Gambar 3.

Peninjauan lapangan oleh Kepala BPTP Aceh

Gambar 4.

Ketua Kelompok tani Mitra Lestari sedang melakukan panen.

(16)

16 Gambar 5.

Hasil Penen saat berada di gudang dan dilakukan sortasi kelas benih

e. Pengembangan Kopi Arabika Dataran Tinggi Gayo

Pasca Konflik

Bagi masyarakat Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, kopi identik dengan kehidupan, karena sebagian besar penduduk di dua wilayah dataran tinggi ini menggantungkan hidupnya dari komoditas kopi dengan luas areal mencapai 84.000 ha. Sekitar 85 % dari luas lahan tersebut ditanami dengan Kopi Arabika, sedangkan sisanya ditanami Kopi Robusta. Sayangnya sejak konflik melanda Provinsi NAD (terutama periode 1998 – 2004), produksi kopi terus menurun. Kebanyakan petani membiarkan kebun mereka tanpa rawatan, sehingga hampir 37% (31,45 ha) rusak atau tidak produktif. Akibatnya produktivitas kopi menurun pada tingkat 400 – 500 kg/ ha, padahal produktivitas kopi Arabika dapat mencapai 2.000 kg/ ha/ tahun.

Pembinaan oleh BPTP

Sejak penandatangan MoU antara GAM dan RI pada 15 Agustus 2005, Aceh mulai kondusif, sehingga petani mulai bergairah kembali mengurus tanaman kopi dengan melakukan peremajaan dan pemupukan. Melalui kerjasama dengan berbagai pihak, BPTP melakukan pembinaan dan pengkajian. Salah satunya kerjasama dengan Aceh Partnerships for Economic

(17)

17 Development (APED) UNDP dan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember selama setahun melakukan penelitian terhadap beberapa varietas kopi yang ada di dataran tinggi Gayo.

Dalam penelitian tersebut diperoleh tiga varietas kopi specialty citarasa prima yakni P 88,

Borbor dan Timtim. Ketiga varietas ini merupakan varietas-varietas unggulan kopi yang baik

dan berpotensi untuk dikembangkan di dataran tinggi dengan produktivitas rata-rata 900 kg/ha. Drs Mustafa Ali ketua Forum Kopi mengaku sangat gembira dengan hasil penelitian tersebut. “Saya mengharapkan agar ketiga jenis kopi yang berpotensi dikembangkan di dataran tinggi Gayo bisa segera dilepas oleh Menteri Pertanian,” ujarnya pada acara seminar akhir tahun 2008 lalu.

Sebelumnya pada tahun 1987 – 1989, BPTP NAD juga melakukan pengkajian budidaya kopi Arabika Organik dan sejak 1990 mulai diikuti para petani kopi di Aceh Tengah. Kemudian sejak tahun 1992 kopi Arabika Organik telah diekspor ke beberapa negara seperti Eropa, Amerika dan Jepang melalui Perusahaan Daerah (PD) Genap Mupakat (Gayo Mountain Specialty Coffee). Juga beberapa perusahaan lain yang ikut serta sebagai eksportir kopi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Periode Januari – September 2008, nilai ekspor kopi Arabika mencapai US 21,255 juta atau meningkat 17,66 persen dibanding tahun 2007 yang hanya US 18,890 juta.

Borbor Juara Tiga Nasional Uji Cita Rasa

Pada Kontes Kopi Specialty yang digelar Asosiasi Ekspor Kopi Indonesia (AEKI) kerjasama dengan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember Indonesia yang berlangsung Oktober 2008 di Jakarta, Kopi Borbor keluar sebagai Juara Ketiga. Kontes tersebut diikuti puluhan kopi jenis Arabika Specialty Indonesia dengan parameter yang digunakan uji fisik dan citarasa.

Untuk melayani permintaan para petani, saat ini Kebun Percobaan (KP) Gayo yang berada di bawah BPTP NAD bekerjasama dengan NGO Mamamia dan BRR melakukan pembibitan Kopi sebanyak 400.000 bibit terdiri dari varietas Timtim dan Ateng Super.

Resmi Dipatenkan

Setelah melalui perjuangan cukup lama, akhirnya kopi Arabika Gayo (arabica gayo coffee) berhasil meraih sertifikat Indikasi Geografis (IG) atau hak paten dari Dirjen Hak dan Kekayaan Intelektual (HaKI) Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) Republik Indonesia.

(18)

18 Sertifikat IG kopi arabika diserahkan oleh Menteri Hukum dan HAM RI, Patrialis Akbar, yang didampingi Dirjen HaKI Kementerian Hukum dan HAM, Drs Andy N Sommeng, kepada Bupati Aceh Tengah, Ir H Nasaruddin MM, pada Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kekayaan Intelektual Se-Dunia ke-10 di Jakarta Convention Center (JCC) Jakarta, Kamis 27 Mei 2010.

Proses permohonan IG telah dimulai sejak dua tahun lalu oleh masyarakat Gayo yang melibatkan para petani, agen, pedagang, peneliti kopi dan para eksportir kopi di daerah itu. Dengan keluarnya sertifkat IG kopi arabika gayo, maka Hak Paten Kopi Gayo sudah menjadi milik masyarakat Gayo.

“Dengan keluarnya sertifikat IG kopi gayo, maka nama kopi gayo sudah menjadi hak komunitas masyarakat Gayo,” kata Ketua Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo (MPKG), Drs H Mustafa Ali, kepada Serambi, Rabu (26/5). Menurut Mustafa, nama kopi gayo pernah dipatenkan oleh seorang pengusaha negara Belanda. “Padahal, Belanda tidak memiliki kebun kopi arabika gayo,” sebutnya. Mustafa Ali menjelaskan, secara hukum, IG merupakan indikasi yang dapat menerangkan dengan jelas bahwa suatu produk berasal dari suatu kawasan atau wilayah tertentu suatu negara, memiliki kualitas baik, reputasi (ketenaran), dan sifat-sifat lainnya yang secara mendasar (essential) terkait erat dengan asal geografisnya.

IG mencerminkan sebuah sistem yang merupakan hubungan antara produk, produsen dan kawasan produksi. Dari segi produksi meliputi komponen iklim, tanah, altitude (ketinggian tanah dari permukaan laut), pengetahuan tradisional baik kelembagaan maupun sejarahnya. Dari aspek produk meliputi mutu, kekhasan, reputasi dan lainnya.

Hingga kini luas kopi arabika gayo tercatat 84.000 ha dengan melibatkan 66.000 Kepala Keluarga (KK), masing-masing di Kabupaten Aceh Tengah 48.000 ha (33.000 KK), Bener Meriah 39.000 hektare (29.000 KK) dan Gayo Lues 7.800 ha (4.000 KK). “Sertifikat IG Kopi Arabika Gayo ini dimiliki secara kolektif oleh masyarakat tiga kabupaten tersebut,” kata Mustafa. Upaya memperoleh IG Kopi Arabika Gayo sangat panjang dan melibatkan banyak komponen, selain MPKG sebagai komponen utama, juga dibantu oleh Pemerintah Aceh, Aceh Pertnership for Economic Development (APED), Forum Kopi Aceh dan pemerintah tiga kabupaten di dataran tinggi Gayo. Sedangkan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh sebelumnya memfasilitasi proses pendaftaran sertifikasi tiga varietas unggul kopi Gayo yakni Bor-Bor, Tim-tim dan P-88.

(19)

19

f. Pemanfaatan Limbah Kakao untuk Pakan Kambing

Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang mempunyai potensi cukup baik di bidang perkebunan kakao dengan luas 46.427 ha dan produksi mencapai 17.705 ton. Salah satu sentral perkembangan kakao yang sesuai dengan kondisi agroklimat terdapat di Kabupaten Pidie Jaya dengan luas areal mencapai 5.048 ha dan tingkat produksi mencapai 1.779 ton (Badan Pusat Statistik NAD, 2008). Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan Kabupaten Pidie Jaya dengan tingkat produktivitas mencapai 766 kg/Ha, lebih rendah dari tingkat produktivitas rata-rata Propinsi Aceh sebesar 822 kg/Ha.

Dari hasil produksi tersebut diperkirakan sekitar 228,4 ton/tahun cangkang (limbah) tidak dimanfaatkan oleh petani, bahkan sebagian besar petani membuang limbah tersebut ke sungai sehingga berakibat terjadi pencemaran lingkungan. Berdasarkan hasil evaluasi fisik dan kimia, produksi limbah kakao berupa cangkang sebesar 72,88% dari total berat buah dan bagian biji 27,12%, mengandung protein, serat kasar, energi kalori serta nilai-nilai produktif khususnya K, N, serat kasar, lemak dan sejumlah asam organik yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak maupun sebagai pupuk organik.

Limbah buah kakao mempunyai kelemahan apabila digunakan langsung oleh ternak kerena mengandung serat yang tinggi, alkaloid theobromin dan asam filtrat yang mengakibatkan diare pada ternak dan menurunkan kemampuan usus dalam menyerap zat–zat makanan. Untuk meningkatkan daya guna sebagai pakan ternak, limbah kakao harus difermentasikan dahulu sebelum diberikan pada ternak. Setelah difermentasi maka kadar lignin dapat diturunkan, kadar protein dapat ditingkatkan dari 9,88% menjadi 17,12% dan kadar serat kasar diturunkan dari 7,10% menjadi 4,15%. Dengan dilakukan introduksi teknologi, limbah kakao dapat disimpan lebih lama dalam jumlah yang relatif banyak. Melalui proses fermentasi, limbah kakao layak digunakan sebagai pakan penguat (konsentrat) untuk pakan ternak (sapi, kambing) dan untuk ternak unggas sebagai substitusi penganti dedak dalam ransum.

Limbah kakao dengan kandungan nutrisi tersebut, selain dapat digunakan sebagai pakan ternak juga apabila limbah kakao dicampur dengan kotoran ternak lalu dapat diolah menjadi pupuk organik. Kotoran ternak mengandung bahan organik yang dapat menyediakan zat hara yang dibutuhkan oleh tanaman, penggunaan kotoran ternak sebagai kompos akan memperbaiki struktur dan komposisi hara tanah sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman kakao.

Menurut hasil penelitian yang menggunakan limbah kakao sebagai pakan ternak kambing dewasa sebanyak 2–3 kg/ekor/hari sebagai pengganti hijauan pakan, terbukti dapat

(20)

20 meningkatkan pertambahan berat badan sebesar dua kali lipat dibandingkan dengan ternak tanpa diberikan limbah kakao, dilanjutkan penelitian yang lain terbukti bahwa penggunaan limbah kakao fermentasi untuk ternak sapi potong sampai tingkat 18% dari berat hidup dapat meningkatkan pertumbuhan sebesar 99%.

Selain itu, di sekitar lahan kebun kakao juga banyak ditumbuhi gulma dan tanaman penaung yang juga dapat digunakan sebagai pakan ternak. Daun-daun leguminosa (gamal dan lamtoro) lebih mudah dicerna oleh ternak dan kandungan proteinnya rata-rata 26%. Limbah pertanian yang disuplementasi dengan dedaunan leguminosa akan menunjukkan peningkatan pertumbuhan ternak kambing. Penambahan daun lamtoro sebanyak 1 kg/hari/ekor pada pakan dasar ternak akan meningkatkan bobot badan ternak 44 gram/ekor/hari dan memperbaiki efisiensi pakan.

Sistem integrasi tanaman-ternak berpotensi untuk dikembangkan di Provinsi Aceh, hal ini didukung oleh sumber daya hayati yang cukup melimpah, salah satunya adalah perkebunan kakao yang saat ini perkembangannya cukup pesat terbukti dengan banyaknya masyarakat yang membudidayakan tanaman tersebut.

Selama ini para petani kebun kakao hanya berorientasi menangani komoditas dalam usaha tani akibatnya tingkat pendapatannya masih cukup rendah, akan tetapi bila usaha tersebut dipadukan dengan usaha peternakan dalam upaya pemanfaatan lahan seoptimal mungkin, tingkat pendapatannya dapat bertambah dimana limbah kakao dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, sedangkan hasil ikutan ternak berupa kotoran dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik sehingga usaha tani tersebut sama-sama memberi nilai yang positif yang bebas dari limbah (zero waste) dan dapat menekan input pemeliharaan ternak, pembersihan lahan sekaligus menghemat pemupukan yang pada akhirnya dapat meningkatkan nilai jual ternak. Dengan demikian sistem integrasi tanaman kakao dengan ternak kambing diharapkan dapat meningkatkan pendapatan usaha tani secara berkelanjutan.

BPTP NAD telah melaksanakan pengkajian mengenai integrasi kakao dengan ternak kambing dengan introduksi teknologi Pakan konsentrat racikan : Limbah kakao 35%, Bungkil kelapa 10%, Sagu 20%, Jagung 20%, Garam, 1% Feed supplement 0,5%. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan berat badan kambing yang diperoleh selama pengkajian 110 hari, dan dilakukan penimbangan sebanyak 10 hari sekali. Dengan penambahan konsentrat sebanyak 200 Gram perhari, dapat mencapai penambahan berat badan sebesar 0.41 Kg/ekor/10 hari atau 41 gram/ ekor /hari. Untuk penambahan konsentrat sebanyak 300 gram perhari dapat menghasilkan kenaikan berat badan 0.48 Kg/ekor/10 hari

(21)

21 atau 48 gram/ekor/hari. Sedangkan tanpa perlakuan kosentrat, hanya pemberian hijauan dan legum menghasilkan pertambahan berat badan sebesar 0.31 Kg/ekor/10 hari.

Pemanfaatan limbah perkebunan untuk pakan penguat memberikan dampak percepatan pertumbuhan kambing lokal. Pertambahan berat badan kambing pada pola pemeliharaan secara tradisional rata-rata 31 gram/ekor/hari, meningkat jika dibandingkan dengan pertambahan berat badan kambing yang di pelihara secara intensif dan diberi pakan penguat yaitu sebesar 48 gram/ekor/Hari. Peningkatan ini dapat memperpendek masa pemeliharaan kambing, waktu yang dibutuhkan petani untuk mengurus ternak kambing juga lebih efisien karena dengan pemberian kosentrat konsumsi ternak akan hijauan dan legum akan menurun dari 1.91 kg/ekor/hari menjadi 1.15 Kg/ekor/hari. Hasil tambahan lain di peroleh dari penggunaan kompos untuk tanaman kakao, selain dapat menghemat biaya untuk pembelian pupuk juga dapat meningkatkan produksi kakao dari 2.266Kg/Hektar/Musim menjadi 2.500 kg/ha/Musim.

Dilihat dari keuntungan pemeliharaan kambing setiap sepuluh hari pemeliharaan dapat dihitung sebagai berikut. Harga per Kg berat hidup ternak kambing Rp 28.000, (15 kg berat kambing awal x Rp. 28.000,=Rp.420.000,-) Harga per Kg konsentrat Rp 1.200. Kambing yang diberi konsentrat pertambahan berat badan 48 gram/ekor/hari x 90 hari pengemukan = 4.320 gram, jika berat awal kambing 15 kg maka kambing yang diberi konsentrat total beratnya 19.32 kg . konsentrat yang digunakan selama pengemukan 90 hari x 200 gram pemberian= 18 kg. Biaya konsentrat selama 90 hari pemeliharaan= Rp 1.200 X 18 kg =Rp.21.600.(total pengeluaran Rp.420.000 +Rp.21.600=Rp.441.600) Pendapatannya yaitu = 19.32 Kg X Rp 28.000 =Rp 541.000. Keuntungan = Rp 541.000 - Rp.441.000 = Rp 100.000. Keutungan bersih dalam 3 bulan dengan sistem pengemukan mengunakan konsentrat, berkisar antara Rp 99.400-100.000,-/ekor perkambing, maka dapat kita simpulkan untuk kambing penggunaan konsentrat limbah kakao fermentasi dengan ratio B/C 1,22, artinya layak dikembangkan untuk skala usaha. Sedangkan kambing yang tidak diberi konsentrat pertambahan berat badannya 31 gram/ekor/hari (31 x 90 hari=2,790 gram + 15 kg berat awal kambing = 17.7 total pertambahan barat badan dalam 90 hari), Biaya ransum = 0 karena hanya menggunakan hijauan ,sedangkan pendapatannya yaitu = 17.7 Kg X Rp 28.000= Rp495.600. Keutungan bersih dalam 3 bulan dengan sistem pengemukan tanpa konsentrat (Rp.495.600-420.000. harga awal kambing = Rp.75.600), maka dapat kita simpulkan untuk kambing tanpa menggunakan konsentrat ratio B/C 1,1, (masih layak diusahakan).

Perbandingan ratio antara ternak yang diberi konsentrat dengan ternak yang hanya diberi hijauan terdapat perbedaan walaupun selisih angka yang kecil, tapi perlu dicermati yang

(22)

22 bahwasanya penggunaan konsentrat dapat menekan pemberian hijauan dengan demikian petani dapat mengatur penanaman hijaun makanan ternak dengan baik. Dari hasil keuntungan diatas dapat disimpulkan, jika petani memanfaatkan limbah kakao yang diolah menjadi konsentrat maka pendapatan petani akan meningkat sebesar 33.3%.

Selama penelitian berlangsung produksi kakao tidak bisa tercatat karena baru dilakukan pemupukan pupuk organik 2 Kg/ batang dengan jarak pemupukan 1.5 -2 meter dari pangkal pohon. Sedangkan jarak tanam pohon kakao yaitu 3X3 meter sehingga jumlah pohon secara keseluruhan yaitu 100 batang / Ha. Namun penggunaan kompos dari kotoran kambing telah digunakan oleh petani kooperator.

2.2. Program Kerjasama

Guna mendukung kegiatan pengkajian untuk semua sektor komoditas, BPTP Aceh melakukan kerjasama dengan berbagai pihak yakni : Pemerintah Daerah dan pelaku agribisnis, Unit Kerja Lingkup Badan Litbang Pertanian, Perguruan Tinggi, NGO baik dalam dan luar negeri dan dunia usaha.

Pasca tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004, BPTP Aceh banyak menjalin kerjasama dengan lembaga donor luar negeri seperti ACIAR Australia, AVRDC Taiwan, International Organization for Migratin (IOM), FAO, Canadian Red Cross (CRC), ADB, dan sebagainya. Di antara lembaga tersebut, kerjasama dengan ACIAR memberikan dampak yang besar terutama rehabilitasi lahan yang terkena tsunami di beberapa kabupaten. Kegiatan yang dilakukan meliputi perbaikan lahan sawah yang tingkatb salinitas tinggi melalui teknologi konservasi, pemupukan, drainase dan lain-lain. Sedangkan kerjasama dengan AVRDC khusus pada kegiatan pemanfaatan pekarangan dan lahan kosong untuk sayuran.

a. Petani Desa Cot Seulamat Berhasil Mengatasi

Endapan Lumpur Tsunami

Pada tahun 2007, BPTP NAD bersama para peneliti dari Balittanah Bogor, BB Padi Sukamandi, dan NSW DPI yang berkolaborasi dalam proyek kerjasama penelitian telah berhasil merehabilitasi 60 hektar lahan sawah di Desa Cot Seulamat yang merupakan salah satu dari banyak desa di daerah pantai di Kabupaten Aceh Barat.

Sebelumnya, sebagian besar lahan-lahan desa-desa di pesesir pantai barat Aceh telah mengalami kerusakan dan ditinggalkan oleh petani sebagai akibat hempasan gelombang tsunami yang meninggalkan timbunan endapan yang tebal bercampur dengan tanah gambut di

(23)

23

lahan yang biasa ditanami dengan padi, juga pada saluran-saluran air irigasi dan drainase. Lapisan endapan tersebut sangat tebal dan telah bercampur dengan lapisan tanah asal, sehingga tidak ada upaya yang dapat dilakukan untuk membuangnya.

Setelah mengalami kegagalan pada dua musim tanam pada pasca tsunami, peneliti BPTP NAD dibantu oleh petugas penyuluh setempat melaksanakan satu pengkajian yang melibatkan petani secara partisipatif untuk menentukan penyebab kegagalan pertumbuhan tanaman yang diikuti dengan pengujian beberapa varietas padi dan teknik budidaya yang sesuai untuk lahan yang mengandung endapan gambut.

Lahan Sawah Kembali Produktif

Pengujian dengan menggunakan beberapa varietas padi yang ditelah diadaptasikan untuk daerah pantai bergambut ternyata telah memberikan hasil yang memuaskan. Varietas-varietas padi untuk kondisi pantai bergambut ternyata menunjukkan keragaan tanaman dengan pertumbuhan terbaik dan semua varietas dapat memberikan hasil dengan melakukan beberapa perbaikan dalam pengelolaan tanah dan tanaman sebagaimana didemonstrasikan. Kunjungan para peneliti pada bulan Maret 2010 untuk mengevaluasi dampak penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa lahan yang sebelumnya belum pernah ditanamai kembali setelah bencana tsunami, ternyata kini sudah dapat ditanami kembali dengan padi. Jumlah lahan yang mulai dapat ditanami kini mencapai 60 hektar, disamping 20 hektar yang sudah dapat ditanami kembali sejak enam tahun lalu.

Ada dua faktor utama yang menjadi pendorong bagi terlaksananya restorasi lahan di daerah tersebut. Proyek ACIAR sebelumnya mensponsori kegiatan kunjungan petani-ke-petani ke daerah penanaman padi pada lahan gambut di Sumatera Selatan, dimana para petani dari Aceh Barat mempelajari metode penanaman dan penggunaan varietas padi. Dari hasil pengalaman tersebut, petani Aceh Barat mencoba menerapkan teknik-teknik budidaya yang sesuai untuk kondisi lahan di Desa Cot Seulamat.

Kunjungan Duta Besar Australia, Bill Farmer pada tahun 2007, telah memberikan dorongan pada pemerintah daerah untuk memperbaiki jaringan saluran irigasi dan drainase yang memungkinkan terlaksananya usaha-usaha pemulihan usahatani padi di Cot Seulamat.

(24)

24

Lima tahun setelah tsunami, petani Cot Seulamat dapat terus memanfaatkan benih varietas padi untuk lahan gambut dari hasil penelitian tahun 2007 dan mereka puas dengan hasil produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum tsunami. Petani kini merasa tanah mereka telah kembali pulih melalui cara-cara budidaya yang baik dan mereka saat ini dapat menanam varietas-varietas padi lainnya yang sesuai dengan keinginan mereka.

b. 1.168 Petani Ikuti Field Farmer School

Field Farmer School (FFS) atau Sekolah Lapang bagi Petani dilaksanakan kerjasama dengan proyek AVRDC Taiwan khusus untuk sayuran pada lahan pekarangan dan tegalan di 5 Kabupaten yakni Kabupaten Bireuen, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Besar dan Aceh Utara.

Sebelum kegiatan FFS dilakukan, terlebih dahulu dilakukan Kegiatan TOT dan workshop yang berlangsung di UPTD Balai Diklat Pertanian Saree Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh tanggal 13 - 24 Oktober 2008.

Perserta kegiatan TOT adalah para pengamat hama dan penyakit tanaman yang berasal dari Kabupaten Aceh Besar, Bireuen, Pidie Jaya, Pidie dan Aceh Besar. Sedangkan peserta Workshop adalah para peneliti, penyuluh dan petani yang berasal dari BPTP Aceh, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Aceh, BPTPH, Penyuluh dari Kabupaten Bireuen, Pidie dan Aceh Besar. Jumlah peserta TOT dan Workshop 35 orang.

Dana untuk pelaksanaan kegiatan ini sepenuhnya berasal dari proyek Integrated Soil And Crop Management For Rehabilitation Of Vegetable Production In The Tsunami-Affected

(25)

25 Areas Of NAD Province, Indonesia (CP/2005/075) yang dibiayai oleh ACIAR Australia melalui AVRDC Taiwan.

Total lokasi FFS sampai dengan akhir bulan September 2009 adalah 77 lokasi dengan jumlah petani 1.618 orang, terdiri Aceh Besar 30 FFS, Pidie 13 FFS, Pidie Jaya 17 FFS, Bireun 5 FFS dan Aceh Utara 12 FFS.

Tabel berikut menjelaskan jumlah FFS yang dilaksanakan BPTP.

No. Kabupaten

Kecamatan

Jumlah FFS

1.

Aceh Besar

Masjid Raya

Lhong

Lhoknga

Peukan Bada

Darul Imarah

Darul Kamal

Baitussalam

Darussalam

Seulimum

Jantho Baro

Kuta Baro

4 lokasi

4 lokasi

6 lokasi

2 lokasi

4 lokasi

1 lokasi

2 lokasi

1 lokasi

1 lokasi

1 lokasi

2 lokasi

2.

Pidie

11 lokasi

3.

Pidie Jaya

Tringgadeng

Meurah Dua

Meureudu

Ulim

Bandar Dua

4 lokasi

4 lokasi

4 lokasi

3 lokasi

2 lokasi

4.

Bireuen

5 lokasi

5.

Aceh Utara

Simpang Keramat

Tanah Pasir

Syamtalira Aron

Muara Batu

Kuta Makmur

Sawang

Nibong

2 lokasi

2 lokasi

2 lokasi

2 lokasi

2 lokasi

1 lokasi

1 lokasi

(26)
(27)

27 Belajar bersama di

lapangan untuk memecahkan masalah

Tim AVRDC bersama BPTP Aceh membimbing langsung para peserta FSF di lapangan

(28)

28

2.3. Program Diseminasi, Teknologi transfer/ Promosi

Keberhasilan kegiatan penelitian dan pengkajian pertanian ditentukan oleh tingkat pemanfaatan hasilnya oelh pengguna sasaran. Penerapan hasil litkaji tersebut diharapkan dapat mendorong pembangunan pertanian di daerah sehingga sektor pertanian mampu

Praktek membuat kompos

(29)

29 berfungsi sebagai mesin penggerak perekonomian nasional. Penyampaian informasi teknologi hasil-hasil penelitian dan pengkajian kepada petani, pihak swasta dan pengguna lain perlu dilakukan media media dan strategi yang tepat dan terus menerus agar hasil litkaji dapat tersebar secara meluas ke tengah masyarakat. Selama kurun waktu lima tahun (2005 – 2009), BPTP telah melakukan berbagai kegiatan diseminasi/ transfer teknologi dalam berbagai bentuk baik melalui media tercetak (bulletin, banner, brosur, leaflet), elektronik (TV, radio, website), demplot, klinik teknologi, sekolah lapang dan lain-lain. Kegiatan tersebut juga dimasudkan mendukung program stategis nasional seperti PUAP, PSDS, P2BN, SL-PTT dan lain-lain.

a. Gapoktan Makmu Beusare Menuju LKM-A

Tahun 2008 Provinsi Aceh mendapatkan alokasi desa penerima BLM PUAP sebanyak 600 desa, dengan total bantuan per desa senilai Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) yang disalurkan melalui Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) sebagai lembaga perkumpulan kelompok tani untuk mendapatkan tambahan modal usaha produktif petani, buruh tani dan rumah tangga tani, dengan demikian total anggaran dari 600 desa/ Gapoktan adalah senilai Rp.60.000.000.000,- (enam puluh milyar rupiah).

Selanjutnya tahun 2009 provinsi Aceh menerima lagi alokasi dana sebanyak Rp. 26.100.000.000,- untuk 261 desa di 19 kabupaten/kota. Dana tersebut telah diterima oleh 261 gapoktan pada bulan Desember 2009 dan telah direalisasikan kepada masing-masing anggotanya.

Pengawalan pengelolaan dana BLM PUAP melalui sosialisasi dan pembinaan oleh BPTP Aceh terus dilakukan secara intensif untuk menumbuhkan kesadaran dan memotivasi petani dalam pengembalian dana PUAP. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan mengedepankan pendekatan agama di antaranya pemberian sanksi yang tegas kepada anggota gapoktan yang tidak melakukan pengembalian, sedangkan kepada Gapoktan yang tingkat pengembaliannya lancar diberikan penghargaan (reward) yang layak.

Mekanisme penyaluran dana bantuan PUAP diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing kabupaten untuk disesuaikan dengan kondisi daerah dengan tetap mengacu pada peraturan-peraturan yang ada. Penyesuaian mekanisme pencairan dana kepada Gapoktan tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dana baik oleh Gapoktan, PMT, Tim Teknis ataupun pihak-pihak lain.

Manfaat adanya dana BLM PUAP sudah sangat dirasakan oleh seluruh anggota gapoktan penerima BLM PUAP. Seperti yang dirasakan oleh gapoktan Makmu Beusare di Desa Baet Meusagoe Kecamatan Suka Makmur Kabupaten Aceh Besar.

(30)

30 Gapoktan penerima dana BLM PUAP tahun 2009 ini telah berhasil mengembangkan dana tersebut dari Rp.100.000.000,- menjadi Rp. 112.522.000,- selama 7 bulan berjalan melalui usaha produktif tanaman pangan, peternakan, industri rumah tangga, dan pemasaran hasil pertanian. Berkat kesungguhan dari pengurus gapoktan dalam mengelola dana BLM PUAP dan prestasi gapoktan dalam mengembangkan usaha agribisnis, sehingga gapoktan ini masuk dalam nominasi calon penerima penghargaan gapoktan berprestasi tingkat provinsi tahun 2010 untuk diajukan menjadi gapoktan berprestasi tingkat nasional.

Kondisi Awal Gapoktan

Gapoktan Makmu Beusare dibentuk sejak tanggal 24 April 2006 yang di ketuai oleh Karnaidi, sekretaris Mahdi dan bendahara Masdiana. Gapoktan ini merupakan gabungan dari 3 kelompoktani dengan jumlah seluruh anggota 75 orang.

Fasilitas yang dimiliki gapoktan umumnya sudah ada, tetapi belum lengkap semua, seperti adanya papan nama, bangunan/kantor untuk sekretariat gapoktan, lemari arsip, poster struktur organisasi, stempel, buku daftar nama, buku keuangan, buku tamu, buku inventaris, buku notulen rapat, ada contoh produk yang dihasilkan gapoktan, dan koleksi leaflet/brosur.

Gapoktan tersebut telah memenuhi kriteria dalam kelengkapan administrasi seperti identitas gapoktan dan pengurus, rekomendasi tertulis, keanggotaan gapoktan, mempunyai AD/ART secara tertulis. Kelengkapan lain yang sudah ada seperti stempel, buku daftar nama, buku keuangan, buku tamu, buku inventaris, buku notulen rapat. Pengelolaan keuangan telah dikelola secara baik dan dapat diketahui setiap transaksi keuangan yang dikeluarkan untuk anggota maupun yang diterima dari anggota sebagai pembayaran pinjaman.

Penyaluran Dana untuk Usaha produktif

Pada bulan Desember 2009 dana BLM PUAP gapoktan Makmu Beusare disalurkan kepada 23 anggota yang berasal dari 3 kelompok tani. Usaha produktif yang dikembangkan oleh gapoktan ini yaitu usaha produktif tanaman pangan, peternakan, industri rumah tangga, dan pemasaran hasil pertanian.

Bantuan pinjaman untuk usaha produktif tanaman padi sawah diberikan dalam bentuk saprodi dengan nilai keseluruhan pinjaman sebesar Rp. 20.000.000,-. Pinjaman ini sudah lunas dikembalikan pada bulan Mei 2009 dengan jasa yang diterima oleh gapoktan dari usaha padi sawah sebesar Rp. 1.000.000,-.

Komoditi usaha produktif peternakan yang dikembangkan adalah ternak sapi dan itik dengan nilai pinjaman sebesar 11.000.000,-. Jangka waktu pengembalian pinjaman oleh

(31)

31 anggota untuk komoditi peternakan selama 1 tahun. Pengembalian dana dilakukan akhir tahun berikut bunga sebesar 1 % per bulan atau 12 % setahun.

Usaha lainnya yang dilakukan oleh anggota gapoktan untuk pengembangan usaha industri rumah tangga berupa pembuatan beberapa jenis kue yang dipasarkan ke warung kopi dan melayani pesanan. Usaha ini dilakukan oleh kaum wanita anggota gapoktan seperti ibu rumah tangga dan remaja putri yang putus sekolah. Pinjaman yang disalurkan untuk kegiatan ini sebanyak Rp. 12.000.000,-. Lama pinjaman satu tahun dengan per bulan cicilan ditambah jasa 1 % per bulan. Jasa yang sudah diterima oleh gapoktan sampai dengan bulan Juli 2010 untuk usaha ini sebesar Rp. 840.000.-

Unit usaha pemasaran hasil pertanian gapoktan Makmu Beusare merupakan unit usaha berskala mikro yang disebut dengan “muge” (pedagang pengumpul). Realisasi penyaluran dana untuk unit usaha ini sebanyak Rp. 80.000.000,- dengan pengembalian pinjaman dicicil selama 12 bulan dengan jasa per bulan 1 %. Dana pinjaman diberikan kepada 16 anggota dengan besaran rata-rata per orang Rp. 5.000.000,-. Penerimaan jasa untuk gapoktan dari unit usaha ini sebesar Rp. 4.930.000,-

Sistem Peminjaman

Pengajuan peminjaman oleh anggota ke gapoktan didasarkan atas RUA (Rencana Usaha Anggota) melalui kelompok tani. Pengurus gapoktan akan menilai apakah layak untuk disetujui atau ditolak. Jika layak disetujui anggota yang mengajukan harus menandatangani surat perjanjian peminjaman bermaterai yang diketahui oleh keucik selaku penasehat. Isi surat pinjaman menjelaskan besarnya pinjaman, jangka waktu peminjaman serta sanksi yang berlaku. Pencairan dana kepada anggota disalurkan melalui kelompok tani, demikian juga dengan pengembalian peminjaman oleh anggota melalui kelompok tani yang akan disetor oleh ketua kelompok ke bendahara gapoktan.

Perkembangan Modal Gapoktan

Sebelum menerima dana BLM PUAP Gapoktan Makmu Beusare memiliki modal awal sebesar Rp. 1.360.000,- yang berasal dari simpanan pokok sebesar Rp. 50.000/anggota dan wajib Rp. 5.000,-/anggota/bulan. Pada bulan November 2009 modal gapoktan Makmu Beusare bertambah dengan adanya dana BLM PUAP yang diterima melalui rekening gapoktan sebanyak Rp. 100.000.000,-. Sehingga modal gapoktan pada saat itu menjadi Rp 101.360.000,- Sampai dengan Juli 2010 simpanan anggota yang sudah terkumpul dari simpanan wajib, simpanan pokok dan simpanan sukarela di gapoktan sebanyak Rp. 5.752.000,-. Jasa

(32)

32 yang diterima Rp. 6.770.000,- dari usaha produktif adalah sebanyak Gapoktan penerima dana BLM PUAP tahun 2009 ini telah berhasil mengembangkan dana tersebut dari Rp.100.000.000,- menjadi Rp. 112.522.000,-

Gapoktan Makmu Beusare sudah siap untuk membentuk LKM (Lembaga Keuangan Mikro) sebagai salah satu unit permodalan gapoktan yang ditumbuhkembangkan atas inisiatif petani anggota gapoktan didukung dengan aspek administrasi dan keuangan yang sudah dikelola dengan baik sebagai syarat pembentukan LKM.

b. Pengembangan Informasi Pertanian

Pengembangan Informasi Pertanian merupakan salah satu bentuk kegiatan penyuluhan pertanian yang dilakukan dengan menggunakan berbagai media komunikasi. Penyuluhan pertanian sebagai pendidikan non formal bagi petani memiliki peranan mengisi proses transfer teknologi hasil pengkajian untuk terjadinya perubahan perilaku, meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan sehingga petani mempunyai kedudukan strategis dalam pembangunan pertanian.

Kegiatan pengembangan informasi pertanian dilakukan dengan tujuan untuk menyampaikan informasi teknologi pertanian kepada pengguna, dengan menggunakan beragam media komunikasi yang representatif dan mudah diterima mereka, sehingga sasaran peningkatan produksi dan produktivitas usahatani tercapai seiring meningkatnya tingkat adopsi terhadap teknologi yang sesuai yang mereka terima pada saat yang tepat.

Beragamnya media komunikasi yang digunakan disebabkan karena masing-masing media mempunyai keunggulan sendiri, di samping tingkat keterdedahan yang berbeda di tingkat pengguna.

Sampai 2010, kegiatan Pengembangan Informasi Pertanian telah memproduksi media cetak Buletin Info Teknologi Pertanian, Leflet Serambi Pertanian dan Poster/kalender. Buletin Info Teknologi Pertanian berisi tentang berbagai informasi pertanian dalam arti yang luas, kebijakan, budidaya, teknologi, hama penyakit dan lain-lain yang relevan dengan perkembangan pembangunan pertanian di Propinsi Aceh. Leaflet Serambi Pertanian berisikan informasi yang sedang berkembang di Propinsi Aceh, dengan pembahasan singkat dan sederhana yang diharapkan memberikan informasi kepada pengguna di saat yang tepat. Sedangkan poster/kalender juga menginformasikan kegiatan BPTP NAD secara singkat.

(33)

33 Adapun judul-judul Leaflet Serambi Pertanian yang sudah diterbitkan adalah :

1. Pengelolaan Praktis Pada Tanah Salin 2. Pemurnian Kedelai Varietas Kipas Putih 3. Perangkat Uji Tanah sawah

4. Bagan Warna Daun

5. Penanganan Penyakit Kambing Secara Tradisional

6. Komponen Teknologi Budidaya Kedelai pada Lahan Kering 7. Teknologi Budidaya Bawang Merah

8. Pengendalian Penyakit Parasit pada Kambing 9. Teknologi Budidaya Kentang

10. Teknologi pengembangan kedelai pada lahan sawah pasca tsunami 11. Teknologi peningkatan produksi padi sawah di lahan tsunami

12. Teknologi pengembangan padi pada lahan sawah gambut pasca tsunami 13. Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi sawah 14. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Kedelai

15. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Jagung 16. Program Swasembada Daging

17. Penerapan Teknologi Peternakan dalam Mendukung Program Pencapaian Swasembada Daging Sapi (PSDS)

18. Pakan Berbasis Bahan Baku Lokal Untuk Ternak Sapi 19. Pemangkasan Tanaman Kakao

20. Pengelolaan Tanaman Terpadu Kacang Tanah

c. Demplot PTT Padi Sawah

Salah satu kegiatan diseminasi yang akan dilaksanakan dalam upaya meningkatkan adopsi teknologi yaitu kegiatan demplot PTT. Demplot ini diharapkan dapat memberi suatu daya tarik tesendiri terhadap petani dalam memecahkan masalah. Dengan pendekatan sistim demplot PTT juga diharapkan petani dapat berpatisipasi aktif sejak perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan menentukan paket teknologi yang terbaik dan sesuai dengan potensi lokal

(34)

34 tentang teknologi paket PTT yang nantinya diharapkan dapat ditiru dan diadopsi oleh pengguna lain secara berkelanjutan.

Demplot Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah yang dilakukan hampir di seluruh kabupaten dalam kurun waktu 2005 – 2009 memberikan dampak positif bagi petani karena selain menyebarnya paket teknologi juga mampu meningkatkan produktivitas padi dari rata-rata sebelumnya 5,5 ton/ ha menjadi rata-rata 7,0 ton ha. Sedangkan rata-rata produktivitas padi di Aceh menurut BPS Aceh hanya 4,3 ton/ ha.

Komponen teknologi yang diterapkan pada demplot PTT

1. Varietas unggul baru (4 varietas komposit dan 3 varietas hibrida) sesuai dengan karakteristik lahan, lingkungan dan keinginan petani setempat.

2. Benih bermutu (daya kecambah tinggi) 3. Bibit muda (15 - 21 hari setelah semai)

4. Jumlah bibt 1-3 btg perlubang dan jajar legowo 2;1 atau 4;1 dengan populasi minimum padi 250.000 rumpun/ ha

5. Pemupukan pertama dilakukan 10 HST berupa 200 kg Urea (1/3 diberikan bersamaan dengan 100 kg SP 36 dan 50 kg KCl/ha dengan cara disebar merata). Pemupukan N susulan diberikan berdasarkan pengukuran Bagan Warna Daun (BWD) dan umumnya pemberiannya hanya 2 kali.

6. Pemupukan P dan K dilakukan berdasarkan status hara tanah, PUTS atau petak omisi 7. Bahan organik (pupuk kandang 2 t/ha) diberikan 2 minggu sebelum tanam

8. Pengairan berselang atau intermittent irigation

9. Pengendalian gulma secara terpadu dilakukan 2 kali yaitu umur 15 HST dan 30 HST. 10. Pengendalian hama penyakit didasarkan pada konsep PHT

11. Panen beregu dan pasca panen dengan memakai perontok

Dalam pelaksanan di lapangan tidak semua komponen teknologi tersebut dapat diterapkan, namun disesuaikan dengan ketersediaan sarana dan prasarana serta potensi setempat.

Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk demplot yang dibuat dengan ukuran 1 ha di masing-masing Kabupaten. Manfaat dan dampak yang diperoleh berupa meningkatnya adopsi teknologi oleh pelaku utama dan pelaku usaha secara mandiri dan berkesinambungan. Selain itu meningkatnya pendapatan petani secara siknifikan.

(35)

35

BAB III

PROGRAM 2010 – 2014

Tugas pokok dan fungsi BPTP Aceh sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 350/Kpts/OT.210/6/2001, tanggal 14 Juni 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nanggroe Aceh Darussalam, dengan tugas utama melaksanakan pengkajian dan perakitan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi. Di samping itu juga melaksanakan diseminasi hasil pengkajian kepada petani pengguna.

Dengan dukungan sumber daya manusia yang mencapai 111 orang yang terdiri dari 10 orang peneliti, 10 orang penyuluh dan sisanya Peneliti Non Kelas, teknisi dan tenaga administrasi dan fungsi dari 3 (tiga) Kebun Percobaan yaitu KP Lampineung luas 1 ha dengan tipologi lahan kering iklim kering, KP Paya Gajah dengan luas 141 ha tipologi lahan kering iklim kering dengan komoditi utama kelapa, KP Pondok Gajah dengan luas 19 ha tipologi lahan kering iklim basah dengan komoditi utama kopi arabika dataran tinggi Gayo, laboratorium analisis tanah Tipe C, laboratorium diseminasi dan perpustakaan serta sarana lainnya, BPTP Aceh memainkan peran yang sangat strategis dalam mendukung program pembangunan pertanian di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kelengkapan database penting wilayah seperti peta status kesuburan lahan P dan K skala 1:50.000, paket rekomendasi teknologi, serta sumber referensi digital, memposisikan BPTP Aceh sebagai salah satu pilar sumber informasi perkembangan teknologi pertanian daerah yang penting. Dengan program peningkatan kompetensi SDM yang terus ditingkatkan, eksistensi BPTP Aceh semakin diperhitungkan oleh pemerintah daerah Provinsi Aceh, yang tercermin dengan semakin bertambahnya peran strategis yang diberikan untuk mengawal dan mendampingi program penting pembangunan pertanian daerah.

Luasnya rentang kendali unit kerja yang tersebar di seluruh Provinsi Aceh dengan luas 57.365,57 Km2, dimana BPTP Aceh dituntut untuk dapat mengelola tata managemen inovasi

teknologi pertanian spesifik lokasi. Selain itu dengan belum maksimalnya penanganan beberapa permasalahan seperti penanganan aset dan kesinkronan fokus kegiatan dengan pihak Balit Komoditas, Pemda, Perguruan Tinggi, dan kurang terpenuhinya harapan petani, pelaku agribisnis, dan para pengguna akhir produk BPTP lainnya. BPTP Aceh telah menunjukkan kinerja yang signifikan di Provinsi ini, seperti pengembangan teknologi kopi

(36)

36 dataran tinggi Gayo, kedelai dan padi spesifik lokasi, namun belum dilakukan secara maksimal. Hal ini di antaranya terkait dengan kurang meratanya proporsi, distribusi dan tingkat pendidikan serta bidang kepakaran tenaga peneliti dan penyuluh antar BPTP.

Pekembangan isu strategis yang berpeluang bagi peningkatan peran BPTP Aceh ke depan antara lain : 1) Perhatian Pemerintah Daerah terhadap kemajuan pembangunan pertanian di wilayahnya semakin meningkat seiring dengan program otonomi dan pemekaran daerah, 2) Kegiatan sektor pertanian di daerah belum sepenuhnya berbasis pada penerapan inovasi pertanian yang benar meskipun telah tersedia di unit lingkup Badan Litbang Pertanian, 3) Pesatnya perkembangan teknologi informasi, memungkinkan proses produksi dan distribusi inovasi pertanian dapat dilakukan lebih cepat dan tepat sasaran, 4) Perlindungan komersialisasi hak kekayaan intelektual (HKI) yang berdampak pada kegairahan menemukan inovasi pertanian yang lebih prospektif.

Selain hal tersebut di atas isu-isu strategis yang memberikan tantangan bahkan ancaman bagi pengkajian dan diseminasi ke depan di antaranya adalah:

1. Sebagai UPT Pusat di daerah, BPTP Aceh bertugas melakukan pendampingan program strategis Deptan yang cenderung meningkat, selain melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.

2. Pertambahan penduduk yang berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan produk pertanian yang harus dihasilkan dari lahan yang semakin terbatas, sehingga memerlukan penyesuaian startegi pengkajian dan diseminasi inovasi yang lebih baik.

3. Diratifikasinya piagam ASEAN (ASEAN Charter) oleh DPR-RI pada tanggal 8 Oktober 2008 yang berdampak pada peningkatan persaingan kualitas, kuantitas dan harga produk-produk pertanian, sehingga diperlukan inovasi teknologi untuk meningkatkan daya saing.

4. Perubahan iklim global berdampak langsung pada produksi pertanian sehingga menuntut penataan ulang sistem pertanian.

3.1. Program Penelitian

No Program Sub Program Indikator Kinerja Utama Kegiatan 1 Inventarisasi sumberdaya pertanian spesifik lokasi. Optimalisasi pengelolaan dan pengembangan sumberdaya pertanian spesifik lokasi.

Paket informasi dasar tentang pemetaan potensi wilayah. Paket informasi tentang upaya optimalisasi pengembangan sumberdaya spesifik lokasi.

Gambar

Tabel 3. Tanggap Berbagai Komposisi Pupuk Kompos
Tabel berikut menjelaskan jumlah FFS yang dilaksanakan BPTP.

Referensi

Dokumen terkait

Saran yang dapat diterapkan dalam upaya peningkatan mutu pelayanan rekam medis rawat inap pasien BPJS di RSI Sultan Agung Semarang adalah 1) Review kuantitatif pada

Bagi yang bukan multalaf, penerimdaan harta Hibah boleh dibuat oleh wali, wasi atau penjaga, Syarat lain, Hibah mesti dilakukan dengan pengetahuan penerima Hibah disebabkan

48 Layanan monitoring, pengukuran, validasi dan penertiban pemanfaatan sumberdaya pos dan Informatika Balmon Kelas II Semarang.. Balai/Loka/Pos

Hasil ini jauh lebih kecil dibandingkan penelitan yang dilakukan oleh Sist dan Saridan (1998) di KHDTK Labanan, Kabupaten Berau dalam bentuk petak ukur permanen sebanyak 12 plot

Pada penelitian ini, fokus penelitian yang diteliti dari latar belakang tersebut adalah bagaimana Penerapan Komunikasi Asertif Pendeta pada Jemaat Gereja Kristen

Pernyataan singkat berikut diberikan oleh ardina juga sependapat dengan yang diberikan oleh murid lainnya jika terdapat murid yang belum mengerti, maka Nubuat

Ide kepentingan nasional mengacu pada perangkat ideal dari tujuan-tujuan nasional yang harus ditemukan sebagai dasar dari hubungan luar negeri dan politik luar negeri

Apabila spesifikasi khusus tersebut berupa teknologi yang baru dan tidak menambahkan atau terkait dengan seksi pekerjaan yang telah ada, maka nomor seksi pekerjaan