• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. mengetahui sistem perkawinan yang ada pada masyarakat Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. mengetahui sistem perkawinan yang ada pada masyarakat Indonesia."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Studi tentang perkawinan merupakan studi yang sangat penting untuk mengetahui sistem perkawinan yang ada pada masyarakat Indonesia. Indonesia memiliki budaya yang beraneka ragam dari Sabang sampai Marauke, karena pada dasarnya masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam suku. Sistem perkawinan yang ada pada masyarakat Indonesia tentu ada perbedaan antar satu dengan yang lainya. Perbedaan tersebutlah yang menjadi ciri khas dari daerah tersebut.

Menurut Koentjaraningrat perkawinan merupakan proses peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga (1980:90). Dalam proses peralihan ini terdapat berbagai ritual yang dilakukan dan hal ini tergantung kebudayaan dari pelaku yang melakukan perkawinan tersebut. Perkawinan menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat karena perkawinan seringkali menjadi tolak ukur sah atau tidaknya hubungan suami istri.

Bagi masyararakat Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, perkawinan menjadi hal yang sangat penting dalam praktek kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan masyarakat Manggarai upacara perkawinan menjadi suatu hal yang wajib guna untuk mendapatkan restu bagi orang yang ingin hidup berkeluarga. Tradisi, istilah, makna, serta tujuan dari perkawinan pada

(2)

umumnya sama dalam kehidupan masyarakat di dunia ini, tapi yang berbeda terdapat dalam proses ritual yang ada dalam perkawinan tersebut. Pada masyarakat Manggarai upacara perkawinan tersebut terdapat berbagai upacara didalamnya seperti tukar kila (cincin), pentang pitak, paca, dan lain-lain.

Paca atau sering disebut belis1 dalam kebudayaan Manggarai merupakan

sesuatu hal yang wajib dalam upacara perkawinan, dan merupakan tradisi yang turun temurun yang dilakukan masyarakat Manggarai ketika melakukan perkawinan. Dalam upacara Paca ini ditandai dengan penyerahan mas kawin berupa binatang dan uang oleh keluarga anak wina (keluarga laki-laki) kepada keluarga anak rona (keluarga perempuan). Jumlah nilai paca atau belis ini di tentukan oleh keluarga anak rona (keluarga perempuan). Dalam paca ini terdapat adanya penukaran antara mas kawin dengan perempuan. Menurut Mauss dalam Kleden(2013:1) pertukaran semacam ini adalah pertukaran yang dilakukan oleh dua orang atau kelompok yang saling mengimbangi. Menurut Dony Kleden(2013:1) tradisi tukar menukar ini bisa menjadi sesuatu yang inheren dalam hidup manusia, sulit dilepas dari hidup keseharian manusia itu sendiri dalam relasi sosialnya.

Sistem perkawinan di Manggarai sangat menarik dibicarakan ketika paca tersebut berubah serta memberikan pengaruh bagi masyarakat itu sendiri. Pengaruh tersebut tersebar ke seluruh dan dialami masyarakat Manggarai terutama kaum muda dan orang tua. Perubahan paca tersebut terjadi seiring

1 Pada masyarakat NTT secara keseluruhan pemberian mas kawin lebih di kenal dengan nama

(3)

perkembangan zaman. Perubahan sistem dalam paca yang dimaksud terjadi pada jumlah mas kawin yang turut dirasakan oleh masyarakat Manggarai sekarang ini. Saat ini ada berbagai macam isu mengenai keluhan dari masyarakat mengenai perubahan nilai belis atau paca yang ada di Manggarai.

Isu mengenai keluhan ataupun kritik terhadap meningkatnya jumlah belis atau paca terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Manggarai disebabkan karena tidak adanya keseimbangan ekonomi dengan jumlah mas kawin atau belis yang ada. Jumlah mas kawin yang terlalu besar dibandingkan dengan pendapatan serta biaya hidup masyarakat Manggarai menjadikan belis atau paca menjadi beban ekonomi terhadap keluarga laki-laki. Berdasarkan data wawancara dengan ketua adat perubahan jumlah mas kawin atau belis bukan terjadi sejak zaman nenek moyang dahulu, tetapi perubahan jumlah mas kawin terjadi sejak tahun 2011.

B. Rumusan Masalah

Berbagai macam masalah terjadi berkaitan dengan perubahan mas kawin (belis atau paca) dalam kehiduan masyarakat Manggarai. Bagi masyarakat Manggarai perubahan jumlah mas kawin salah satunya menjadi beban ekonomi. Dalam penelitian ini saya mencoba untuk mengetahui mengapa terjadi perubahan nilai mas kawin atau belis dalam masyarkat Manggarai?. Beberapa rumusan pertanyaan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana praktek pemberian mas kawin atau belis dalam perkawinan di Manggarai?

(4)

2. Bagaimana pengaruh mas kawin atau belis dalam kehidupan masyarakat Manggarai?

3. Bagaimana perubahan dalam pemberian mas kawin atau belis?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan apa yang melatarbelakangi perubahan nilai mas kawin atau belis pada masyarakat Manggarai. Demikian juga menjelaskan bagaimana pengaruh mas kawin atau belis dalam kehidupan masyarakat Manggarai.

D. Kajian Pustaka

Peneliti yang memfokuskan penelitiannya pada sistem perkawinan pada budaya tertentu sudah banyak. Namun kita pun bisa yakin bahwa walaupun sudah banyak peneliti yang memfokuskan penelitiannya pada tradisi perkawinan, mereka tentu mempunyai metode, fokus dan analisisnya yang berbeda-beda.

Di antaranya yang sudah membahas tema perkawinan ini adalah Alison M. Buttenheim (2009) melakukan penelitian tentang Ethnic diversity, traditional norms, and marriage behaviour in Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan secara umum bahwa norma pernikahan tradisional dapat bertahan bahkan ketika masyarakat sedang dalam proses pengembangan sosio-ekonomi yang cepat. S.Pompe (1998) menuliskan tentang Mixed Marriages In Indonesia: Some Comments On The Law And The Literature. Tulisan Pompe menjelaskan tentang perkawinan campur serta hukum perkawinan Indonesia yang menetapkan pernikahan dengan dasar agama.

(5)

Hal ini menimbulkan komplikasi dalam kasus perkawinan campuran antara pasangan agama yang berbeda dan mengacu pada undang-undang perkawinan 1974 yang menetapkan dasar agama perkawinan di Indonesia hanya mengacu pada penerapan hukum agama. Lena Edlund (2006) melakukan penelitian tentang The Price of Marriage: Net vs. Gross Flows and the South Asian Dowry Debate. Fokus penelitian ini adalah wilayah India. Penelitian ini secara khusus menjelaskan tentang tingginya nilai mas kawin dalam perkawinan di India yang berdampak pada kehidupan kaum perempuan di India. Mildred Dickemann (1991) juga menulis tentang Women, Class, and Dowry. Dalam tulisan ini menjelaskan tentang, perempuan, Class, dan mas kawin. Tulisan ini menyimpulkan bahwa mas kawin perempuan berpengaruh terhadap status sosial. J. P. Jain (1989) menuliskan tentang Dowry as Property. Tulisan ini menjelaskan tentang mas kawin di New Delhi India. Dalam artikel ini Jain menyimpulkan bahwa mas kawin dilihat sebagai sesuatu kekayaan yang diwariskan.

Di Jawa juga terdapat hal yang sama tentang perkawinan Novita Purnamasari (2000) untuk skripsinya mengambil tema Perkawinan sebagai risetnya. Judul skripsinya “Upacara Tradisi Perkawinan Jawa dan Perubahan Bentuk Sumbangan di Yogyakarta”. Novitasari menjelaskan bahwa upacara perkawinan bagi masyarakat Jawa dilakukan untuk menunjukan keberadaan diri sebuah keluarga dalam masyarakat. Sementara itu penyelenggaraan upacara besar-besaran merupakan sarana untuk mempertunjukan status sosial

(6)

atau Praja (gengsi). Fokus Novitasari adalah studi kasus pada upacara perkawinan Keluarga Alm. Moelyono dan Keluarga Bambang Sutrisno.

Di Nusa Tenggara Timur juga banyak peneliti yang menuliskan tentang perkawinan dan kondisi sosial masyarakat. Paulina Nani (2004) untuk skripsinya mengambil tema belis sebagai risetnya. Judul skripsinya, “ Makna Belis Dalam Perkawinan Masyarakat Sumba”. Dalam tulisan Nani menyimpulkan bahwa sah atau tidaknya suatu perkawinan pada masyarakat Sumba adalah dengan tanda bukti yang di sebut Belis. Lembaga Penelitian SMERU (2006) menuliskan “Tantangan Pembangunan di Nusa Tenggara Timur”. Tulisan ini menjelaskan tentang berbagai pendapat tentang belis dan kesejahteraan masyarakat, serta belis dan Relasi Gender di NTT. R.A.F. Paul Webb (1986) juga menuliskan Adat And Christianity In Nusa Tenggara Timur: Reaction Andcounteraction:Traditional Custom And Modern Development In Eastern Indonesia. Tulisan ini menjelaskan tentang bagaimana benturan antara agama dan adat di Nusa Tenggara Timur ketika gereja mendorong masyarakat untuk menerima cara yang lebih baik yang akan memperkaya secara material dan spiritual, hingga adat tidak berbuat apa-apa kecuali melawan.

Sementara di Manggarai sendiri, R.A.F. Paul Webb (1994) juga menuliskan tentang Manggarai dengan tema The Children Of Mori Kereng: Education And Development Strategies In Manggarai, Flores. Dalam tulisan ini ia mejelaskan bagaimana kepercayaan orang Manggarai kepada Mori Kraeng dan menganggap diri mereka sebagai anak Mori Kraeng. Adi M.

(7)

Nggoro (2013) juga menuliskan tentang perkawinan di Manggarai dalam bukunya yang berjudul “Budaya Manggarai Selayang Pandang”. dalam tulisannya ini Nggoro menjelaskan secara umum tentang budaya Manggarai. Hasil tulisan Nggoro secara umum berupa deskripsi/lukisan tentang Manggarai. Demikian juga Catherine Allerton (2004) yang mengadakan penelitian tentang “The Path of Marriage-Journeys and Transformation in Manggarai, Eastern Indonesia”. Penelitian ini berlangsung selama dua tahun, yaitu: sejak bulan September 1997-Maret 1999. Fokus dari penelitian ini adalah wilayah Manggarai Selatan, di sebelah barat pulau Flores Indonesia. Penelitian ini secara khusus menjelaskan pengalaman pribadi dari proses perkawinan, dalam rangka untuk menunjukkan bagaimana hubungan perkawinan dapat dipahami bukan hanya sebagai seperangkat aturan dan klasifikasi, tetapi sebagai urutan berbasis tempat, tindakan praktis.

Berdasarkan kajian pustaka tersebut, bisa diposisikan atau ditempatkan fokus analisis dalam tulisan ini yang membedakan dengan yang sudah ada, bahwa tema penelitian dan tulisan yang membedakan dengan yang sudah ada, bahwa tema penelitian ini dan tulisan ini bukanlah tema yang baru, dengan demikian dalam hal ini analisisnya difokuskan pada perubahan nilai mas kawin serta pengaruh belis terhadap kehidupan sosial masyarakat Manggarai.

E. Landasan Teori

Belis adalah prosesi penyerahan uang dan binatang kepada pihak keluarga mempelai wanita yang menjadi suatu persyaratan sebelum seorang pria resmi meminang seorang gadis untuk dijadikan istrinya. Jumlah belis tersebut sudah

(8)

ditentukan oleh pihak keluarga mempelai wanita secara adat. Prosesi belis ini merupakan istilah yang digunakan masyarakat Nusa Tenggara Timur, kata lain dari belis ini lebih dikenal dengan mas kawin.

Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Pengantar ilmu Antropologi (Koentjaraningrat,2009:153), mengatakan bahwa nilai budaya yang dalam “teori” dilihat sebagai tingkat yang paling tinggi dan abstrak dari adat istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai sesuatu yang ada dalam alam pikiran sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi pada masyarakat sesungguhnya tidak hanya demikian. Pada kenyataannya meskipun nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep. Dalam hal ini Koentjaraningrat mengatakan suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Dapat dikatakan di sini bahwa, menurut Koentjaraningrat, nilai budaya tidak hanya dilihat sebagai tingkat yang paling tinggi dan pedoman hidup. Nilai budaya juga dapat dilihat sebagai konsep dan bersifat sangat umum.

Koentjaraningrat (2009) mempunyai keyakinan bahwa dengan sifat nilai budaya yang umum, dan tidak kongkret itu, maka nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dan kebudayaan bersangkutan. Selain itu, para

(9)

individu tersebut sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsep-konsep itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Dapat simpulkan bahwa itulah sebabnya nilai-nilai kebudayaan tidak dapat tergantikan oleh kebudayaan lain dalam waktu singkat.

Lebih lanjut Koentjaraningrat (2009) mengatakan bahwa dalam tiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya satu dengan yang lain berkaitan hingga merupakan suatu sistem. Sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan yang memberi motivasi kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya. Pemahaman yang demikian ini juga menegaskan bahwa nilai budaya ini memperkuat arah hidup masyarakatnya.

Pemikiran Koentjaraningrat yang demikian ini bisa dijadikan kerangka teori pijakan untuk memotret kehidupan masyarakakat Manggarai, khususnya dalam tradisi belis pada upacara perkawinan. Belis yang terjadi di Manggarai pada upacara perkawinan punya nilai yang sangat kuat. Dengan demikian pemikiran Koentjaraningrat dapat menjadi pintu pembuka bagi penelusuran lebih lanjut tentang perubahan-perubahan dan pengaruh belis pada perkawinan di Manggarai.

Berbicara tentang belis memiliki hubungan dengan teori Mauss tentang pemberian. “Pemberian-pemberian hadiah dilakukan secara sukarela, tetapi dalam kenyataannya semuanya itu diberikan dan dibayar kembali dalam suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pelakunya. Dapat dikatakan

(10)

bahwa setiap pemberian tidak bersifat tulus tapi diikuti pemberian kembali. Teori pemberian Mauss ini juga dapat memotret tentang belis di Manggarai.

F. Metode Penelitian

Penelitian Etnografi ini dilakukan dengan metode kualitatif yaitu jenis penelitian yang menghasilkan data-data yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur statistik atau kuantitatif (Spradley, 1997:Xx). Penelitian ini juga berupa deskriptif dan selanjutnya digunakan untuk memperoleh pemahaman secara mendalam dan menyeluruh terhadap apa yang diteliti. Dalam penelitian ini data yang diperoleh tetap dipertahankan keutuhannya dengan cara menjelaskan seadanya.

Pada saat di lokasi penelitian, penulis mengikuti prosesi paca atau belis pada saat prosesi itu berlangsung. Selama prosesi berlangsung penulis mengambil gambar atau mendokumentasi prosesi paca atau belis tersebut. Prosesi belis ini berlansung selama dua atau tiga hari, jadi dua pasangan yang melakukan prosesi belis ini berlangsung selama satu minggu untuk dua pasangan. Selama prosesi berlangsung juga penulis mengamati bagaimana prosesi belis ini berlangsung.

F.1 Lokasi penelitian

Kecintaan untuk melihat tradisi belis pada upacara perkawinan itu berawal dari pengalaman sejak kecil hingga SMA selama di Manggarai. Hal yang menarik untuk dikaji menurut penulis ketika penulis keluar dari Manggarai dan perubahan nilai belis dalam perkawinan Manggarai terjadi ketika saya berada di perantauan, sehingga memberikan motivasi

(11)

tersendiri bagi saya untuk melihat kembali apa yang melatarbelakangi sehingga membuat nilai Belis meningkat.

Lokasi penelitian yang dipilih adalah berada di Desa Kajong, Kecamatan Reok Barat, Manggarai, Flores NTT. Alasan penulis memilih lokasi ini adalah karena penulis cukup akrab dengan informan dan di sana terdapat prsosesi belis sehingga penulis dapat mengikuti secara langsung prosesi tersebut dan memudahkan penulis dalam mendapatkan atau memperoleh data penelitian sesuai yang diinginkan.

F.2 Informan

Dalam memilih informan, tentu seorang peneliti harus mampu mengambil jarak dari berbagai kedekatan emosional untuk melihat dan menentukan, siapa-siapa yang bisa dijadikan informan kunci. Hal ini dilakukan agar peneliti tidak memiliki hambatan dalam melakukan penelitian. Harapan dibalik penentuan informan ini penulis mendapatkan data yang sesuai dengan yang diinginkan.

Informan yang dipilih dalam peneltian ini guna mendapatkan data adalah tokoh adat, pasangan pengantin, masyarakat, dan kepala desa yang sudah tentu akrab dengan situasi mereka sendiri dengan berbagai upacara adat. Ketua adat kiranya menjadi fokus bidikan untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya terkait dengan upacara belis, sehingga selama penelitian mendapatkan data sesuai yang diinginkan. Tokoh adat dapat diandalkan karena dalam upacara adat, perkawinan, dan belis sering libatkan. Pada saat prosesi belis berlangsung yang juga diikuti oleh

(12)

peneliti, tokoh adat tersebut juga sebagai jubir dari pihak anak wina (keluarga perempuan) pada saat prosesi berlangsung.

Informan pemerintah desa dalam penelitian ini untuk menggali informasi terkait perubahan yang ada dalam masyarakat, berkaitan dengan kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya. Informasi pengantin dalam penelitian ini adalah untuk menggali informasi terkait pendapat mereka tentang belis di Manggarai. Dalam penelitian ini jumlah informan yang dipilih oleh peneliti juga dibatasi yaitu dengan jumlah 5 orang, diantaranya 1 orang tokoh adat, 2 orang pengantin, 1 orang masyarakat, dan 1 pemerintah desa.

F.3 Teknik Pengumpulan Data

Pada saat di lokasi penelitian, penulis mendapatkan dua kali kesempatan untuk menghadiri upacara belis. Pada saat menghadiri upacara belis ini penulis melihat secara langsung prosesi dilakukan. Pada saat mengikuti prosesi belis ini peneliti berada dalam pihak keluarga anak wina.

Pada kesempatan pertama peneliti menghadiri upacara menuju kampung keluarga anak rona (dalam tradisi Manggarai prosesi belis ini dilakukan di kampung/keluarga anak rona atau pihak istri). Peneliti menggunakan sepeda motor menuju lokasi. Sampai di lokasi semua anak wina berkumpul di depan rumah pihak anak rona dengan juru bicara dari pihak anak wina atau biasa disebut tongka anak wina. Setelah semuanya dipersiapkan keluarga anak wina masuk kedalam rumah keluarga anak

(13)

rona. Pada saat keluarga anak wina ini masuk kedalam rumah anak rona, dari sinilah prosesi mulai dan berakhir hingga keesokan harinya sampai pada belis ini sudah dibayar atau lunas.

Pada kesempatan kedua peneliti juga menghadiri upacara belis ini dengan posisi yang sama yaitu berada pada pihak rombongan keluarga anak wina (penerima istri). Pada saat menuju lokasi, kami satu rombongan menaiki bis kayu atau dalam istilah Manggarai dikenal dengan nama oto Kol sambil memukul gong dalam perjalanan. Sampai di lokasi kami juga melakukan hal yang sama berkumpul di depan rumah pihak anak rona dengan juru bicara dari pihak anak wina atau biasa di sebut tongka anak wina. Setelah semuanya dipersiapkan keluarga anak wina masuk kedalam rumah keluarga anak rona. Pada saat keluarga anak wina ini masuk kedalam rumah anak rona, dari sinilah prosesi mulai dan berakhir hingga keesokan harinya sampai pada belis ini sudah dibayar atau lunas.

Dari dua kesempatan ini peneliti menyaksikan tahap demi tahap prosesi ini dilakukan. Dari pengalaman ini penulis menyadari bahwa untuk mendapatkan data yang akurat dan valid, salah satu langkah yang harus ditempuh oleh peneliti dengan melihat atau menyaksikan secara langsung prosesi dilakukan. Dengan cara ini sehingga peneliti dapat membuat kesimpulan sesuai dengan tema riset. Dalam rangka itu, maka data yang dikumpulakan dengan cara; teknik pengamatan terlibat, teknik

(14)

F.3.1 Teknik pengamatan terlibat (observasi partisipasi)

Terkait dengan pengamatan terlibat ini, peneliti menghadiri secara lansung upacara belis atau paca. Dengan pengamatan terlibat ini penulis merasa sangat membantu untuk mendapatkan data sesuai yang diinginkan.

F.3.2 Teknik wawancara mendalam.

Metode wawancara mendalam dilakukan untuk memperoleh data sesuai yang diinginkan. Metode wawancara mendalam merupakan metode yang sangat penting dimana peneliti berkomunikasi langsung dengan informan dan juga peneliti mendapatkan data utuh dari informan. Hambatan dari metode ini adalah adanya ketidaksamaan informasi dari setiap informan. Metode ini sangat penting guna untuk mendapat kepastian data terkait apa yang kita lihat serta apa yang kita rasakan dengan cara wawancara.

F.3.3 Teknik Studi Kepustakaan

Selain dari penelitian lapangan, saya juga melakukan penelitian kepustakaan. Hal ini saya lakukan untuk kepentingan teoritis dan melengkapi data-data hasil penelitian yang dapat mendukung catatan etnografi Manggarai di Indonesia.

F.3.4 Analisis Data

Data yang terkumpul melalui pengamatan terlibat dan wawancara merupakan data yang utuh. Untuk tujuan analisis data

(15)

akan dipillah-pilah dan yang tidak sesuai dengan topik penelitian ini akan dihilangkan. Pada tahap berikutnya akan ada pemisahan antara data yang sesuai dengan data tidak sesuai dengan topik.

Referensi

Dokumen terkait

digunakan untuk mengambil kesimpulan dari berbagai pendapat pakar tentang permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu berkaitan tentang kedudukan advokat

Oleh sebab itu seorang doktor lulusan Prodi Doktor FTMD harus mampu melakukan penelitian di bidang teknik mesin yang dapat memberikan kontribusi secara langsung

Kus (41 tahun) dengan keluhan tinnitus tanpa vertigo dan pendengaran menurun sejak empat hari sebelumnya, didiagnosis SNHL telinga kiri dengan PTA 93,75 dB

a) Melakukan identifikasi kurikulum berjalan untuk memahami aspek, teknik serta indikator materi lingkungan yang telah tercakup di dalam kurikulum SMA IT Nur Hidayah. b)

Dari hasil penelitian sederhana di kelas bahasa dan sastra Jepang, Universitas Bina Nusantara semester enam, tampak bahwa teori kognitif yang diejawantahkan melalui strategi

8.2.1 : Dipilih dan diisi prosedur penetapan bentuk evaluasi lembaga sesuai dengan jawaban yang telah tersedia & lampirkan bukti. 8.2.2 : Dipilih dan diisi prosedur

Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Gresik Nomor 5 tahun 1960 tentang Pembuatan Reklame dan Mengadakan serta Penarikan Pajak Reklame yang disahkan oleh Presiden

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi petunjuk dan rahmat serta Rosulullah Muhammad SAW yang senantiasa memberikan syafaat kepada umatnya