34 A. Anak Angkat Sebelum Islam
Ada dua macam anak angkat, yaitu:
1. Seorang yang memelihara anak orang lain yang kurang mampu untuk mendidik dan disekolahkan pada pendidikan formal. Orang itu memberi biaya pemeliharaan dan pendidikan sehingga anak itu nantinya menjadi orang berpendidikan dan berguna.
Pengangkatan semacam ini suatu kebaikan, agama Islam pun menganjurkan untuk itu. Hubungan waris mewaris tidak ada antara anak itu, dengan orang yang membiayainya sebagaimanajuga tidak ada hubungan kekeluargaan antara keduanya. Keadaannya dapat saling wasiat mewasiatkan hartanya apabila salah satu meninggal dunia, yang ketentuannya diatur dalam hukum wasiat.
2. Mengangkat anak menurut adat kebiasaan yang disebut tabanniy atau adopsi, yakni anak itu dimasukkan dalam keluarga yang mengangkat, sebagai anaknya sendiri, sehingga mempunyai kedudukan ahli waris.
Menurut hukum Islam pengangkatan itu tidak membawa pengaruh hukum, sehingga status anak itu adalah anak angkat, bukan anaknyasendiri, karenanya tidak dapatmewarisi dari yang mengangkat. Juga hartanya tidak dapat diwarisi oleh yang mengangkatnya itu, kecuali memang anak angkat itu ada hubungan keluarga, seperti anak saudara (kemenakan). Anak angkat ini dapat mewarisi, karena kedudukannya sebagai anak saudara, apabila tidak terhalang ahli waris yang lebih dekat.1
Tujuan pemungutan anak antara lain untuk meneruskan keturunan manakala dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Ini merupakan motivasi yang dapat dibenarkan, dan salah satu jalan keluar yang
positif dan manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang anak dalam keluarga setelah bertahun-tahun belum dikaruniai anak. Selain itu juga bertujuan untuk menambah jumlah keluarga, dengan maksud agar si anak pungut mendapat pendidikan yang baik, atau untuk mempererat hubungan keluarga. Di sisi lain juga merupakan suatu kewajiban bagi orang yang mampu terhadap anak yang tidak mempunyai orang tua, sebagai misi kemanusiaan dan pengamalan ajaran agama.2
Sebelum Islam datang, pemungutan anak telah banyak ditemui di kalangan bangsa Arab. Pemungutan anak ini diartikan sebagai pengangkatan anak orang lain dengan status seperti anak kandung. Menurut sejarah, Nabi Muhammad sendiri sebelum menerima kerasulan mempunyai seorang anak angkat bernama Zaid bin Haristah dalam status budak hadiah dari Khadijah bin Khuwailid. Kemudian Nabi memerdekakannya dan diangkat menjadi anak angkat, dan namanya diganti dengan Zaid bin Muhammad. Di hadapan kaum Quraisy Nabi Muhammad berkata, "Saksikanlah olehmu bahwa Zaid kuangkat menjadi anak angkatku, dan ia mewarisiku dan aku mewarisinya."
B. Anak Angkat Sesudah Islam
Setelah Nabi Muhammad Saw diutus menjadi Rasul, turunlah wahyu menjelaskan masalah anak angkat. Wahyu yang dimaksud yaitu:
ﱠﻠﻟﺍ ﹶﻞﻌﺟ ﺎﻣ
ﻲِﺋﺎﱠﻠﻟﺍ ﻢﹸﻜﺟﺍﻭﺯﹶﺃ ﹶﻞﻌﺟ ﺎﻣﻭ ِﻪِﻓﻮﺟ ﻲِﻓ ِﻦﻴﺒﹾﻠﹶﻗ ﻦﻣ ٍﻞﺟﺮِﻟ ﻪ
ﻢﹸﻜﹸﻟﻮﹶﻗ ﻢﹸﻜِﻟﹶﺫ ﻢﹸﻛﺀﺎﻨﺑﹶﺃ ﻢﹸﻛﺀﺎﻴِﻋﺩﹶﺃ ﹶﻞﻌﺟ ﺎﻣﻭ ﻢﹸﻜِﺗﺎﻬﻣﹸﺃ ﻦﻬﻨِﻣ ﹶﻥﻭﺮِﻫﺎﹶﻈﺗ
ﹶﻞﻴِﺒﺴﻟﺍ ﻱِﺪﻬﻳ ﻮﻫﻭ ﻖﺤﹾﻟﺍ ﹸﻝﻮﹸﻘﻳ ﻪﱠﻠﻟﺍﻭ ﻢﹸﻜِﻫﺍﻮﹾﻓﹶﺄِﺑ
)
ﺏﺍﺰﺣﻷﺍ
:
4
(
Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulut saja. Dan
Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan. (Q.S. Al-Ahzab: 4).3
ﻢﻫﺀﺎﺑﺁ ﺍﻮﻤﹶﻠﻌﺗ ﻢﱠﻟ ﻥِﺈﹶﻓ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ﺪﻨِﻋ ﹸﻂﺴﹾﻗﹶﺃ ﻮﻫ ﻢِﻬِﺋﺎﺑﺂِﻟ ﻢﻫﻮﻋﺩﺍ
ِﻪِﺑ ﻢﺗﹾﺄﹶﻄﺧﹶﺃ ﺎﻤﻴِﻓ ﺡﺎﻨﺟ ﻢﹸﻜﻴﹶﻠﻋ ﺲﻴﹶﻟﻭ ﻢﹸﻜﻴِﻟﺍﻮﻣﻭ ِﻦﻳﺪﻟﺍ ﻲِﻓ ﻢﹸﻜﻧﺍﻮﺧِﺈﹶﻓ
ﹰﺎﻤﻴِﺣﺭ ﹰﺍﺭﻮﹸﻔﹶﻏ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻥﺎﹶﻛﻭ ﻢﹸﻜﺑﻮﹸﻠﹸﻗ ﺕﺪﻤﻌﺗ ﺎﻣ ﻦِﻜﹶﻟﻭ
)
ﻷﺍ
ﺏﺍﺰﺣ
:
5
(
Artinya: Panggillah mereka dengan memakai nama bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atas mu terhadap apa yang khilaf kamu padanya, tetapi yang ada dosanya apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Ahzab: 5).4
Begitu juga dalam ayat 37
ِﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻢﻌﻧﹶﺃ ﻱِﺬﱠﻠِﻟ ﹸﻝﻮﹸﻘﺗ ﹾﺫِﺇﻭ
ﻚﺟﻭﺯ ﻚﻴﹶﻠﻋ ﻚِﺴﻣﹶﺃ ِﻪﻴﹶﻠﻋ ﺖﻤﻌﻧﹶﺃﻭ
ﻪﱠﻠﻟﺍﻭ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻰﺸﺨﺗﻭ ِﻪﻳِﺪﺒﻣ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺎﻣ ﻚِﺴﹾﻔﻧ ﻲِﻓ ﻲِﻔﺨﺗﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ِﻖﺗﺍﻭ
ﺎﹶﻟ ﻲﹶﻜِﻟ ﺎﻬﹶﻛﺎﻨﺟﻭﺯ ﹰﺍﺮﹶﻃﻭ ﺎﻬﻨﻣ ﺪﻳﺯ ﻰﻀﹶﻗ ﺎﻤﹶﻠﹶﻓ ﻩﺎﺸﺨﺗ ﻥﹶﺃ ﻖﺣﹶﺃ
ﲔِﻨِﻣﺆﻤﹾﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋ ﹶﻥﻮﹸﻜﻳ
ﻦﻬﻨِﻣ ﺍﻮﻀﹶﻗ ﺍﹶﺫِﺇ ﻢِﻬِﺋﺎﻴِﻋﺩﹶﺃ ِﺝﺍﻭﺯﹶﺃ ﻲِﻓ ﺝﺮﺣ
ﹰﻻﻮﻌﹾﻔﻣ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ﺮﻣﹶﺃ ﹶﻥﺎﹶﻛﻭ ﹰﺍﺮﹶﻃﻭ
)
ﺏﺍﺰﺣﻷﺍ
:
37
(
Artinya: Dan. ingatlah, ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu juga telah memberi nikmat kepadanya. Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah lah yang paling berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya, Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang
3Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Departemen Agama, 1986, hlm. 666
4
mukmin untuk mengawini isteri-isteri anak-anak angkat mereka apabila anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya kepada isterinya. Dan, adalah ketetapan. Allah itu pasti terjadi. (Al-Ahzab: 37).5
Ayat ini menerangkan kasus Zaid dan Zainab untuk menjelaskan bahwa:
1. Pengangkatan anak dalam tradisi zaman jahiliyah yang memberi status kepada anak pungut sama dengan anak kandung tidak dibenarkan oleh Islam.
2. Hubungan antar anak pungut, orang tua yang memungut dan keluarga anak yang dipungut tetap seperti sebelum pemungutan, yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan, baik anak pungut itu dari interen kerabat sendiri, seperti di Jawa, maupun diambil dari luar lingkungan kerabat.6
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa yang dilarang adalah pengangkatan anak sebagai anak kandung dalam segala hal. Dari sini terlihat ada titik perbedaan ketentuan hukum adat di beberapa daerah di Indonesia yang menghilangkan atau memutuskan kedudukan anak pungut dengan orang tuanya sendiri, yang dapat merombak ketentuan mengenai waris.
Bertitik tolak pada uraian sebelumnya dapatlah dipertegas bahwa pengangkatan anak yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah telah dihapuskan oleh Islam melalui al-Qur'an surat al-Ahzab ayat 4 dan 5 :
ﻢﹸﻛﺀﺎﻨﺑﹶﺃ ﻢﹸﻛﺀﺎﻴِﻋﺩﹶﺃ ﹶﻞﻌﺟ ﺎﻣﻭ
)
ﺏﺍﺰﺣﻷﺍ
:
4
(
Artinya: dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu. (al-Ahzab: 4).
5
Ibid, hlm. 673.
6Uraian lebih lanjut dalam perspektif hukum Adat dapat dilihat B. Terhaar Bzn,
Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terj. Soebakti Poesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hlm. 191 - 185
Dengan ketetapan dari ayat al-Qur'an tersebut, maka berarti lembaga "Adopsi" tidak diakui oleh hukum Islam. Akibat-akibat hukum dari adopsi banyak sekali di antaranya hak mewaris bagi anak angkat. Semua akibat hukum dari adopsi juga tidak diakui oleh ajaran Islam.
Apakah dengan demikian berarti Islam mencegah penyantunan terhadap anak-anak yang terlantar? mengingat bahwa pengangkatan anak pada umumnya dilakukan oleh orang kaya terhadap anak orang lain yang terlantar, atau oleh orang (yang mampu) yang tidak punya anak terhadap anak kerabatnya yang kurang mampu.
Dalam hal ini lebih jelasnya dibawah ini disajikan penjelasan dari ulama Besar Mahmud Syaltut didalam kitab "al Fatwa" sebagaimana dikutip Muslich Maruzi, yang membedakan dua macam pengertian anak angkat sebagai berikut:
1. Penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya sebagai anak orang lain kedalam keluarganya dengan perlakuan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhan, bukan diperlukan sebagai anak nasabnya (turunnya) sendiri. Oleh karena itu ia bukan anaknya secara hukum (karena tidak dibenarkan oleh syariat). Pengambilan anak angkat ini merupakan suatu amal kebajikan yang dilakukan oleh sebagian orang yang mampu lagi baik hati yang tidak dianugerahi anak oleh Allah Swt. Mereka mematerikannya didalam satu jenis pendekatan diri kepada Allah dengan mendidik anak-anak si fakir yang terbengkelai dari kecintaan ayahnya atau ketidak kemampuan orang tuanya. Tidak diragukan lagi bahwa usaha semacam itu merupakan suatu amal yang disukai dipuji dan mendapat pahala. Syariat Islam membuka kesempatan kepada sikaya untuk mencapai amal itu lewat wasiat dan memberikan hak kepadanya untuk mewasiatkan sebagian dari peninggalannya kepada anak untuk menutup kebutuhan hidupnya dimasa depan, sehingga anak tersebut tidak kacau penghidupannya dan tidak terlantar pendidikannya.
2. Yaitu yang dipahamkan dari pengertian tabany (adopsi) secara mutlak. Menurut adat kebiasaan yang berlaku pada manusia, tabany ialah memasukkan anak yang diketahuinya sebagai anak orang lain kedalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya sebagai anak sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum sebagai anak. Seperti hak menerima warisan sepeninggalnya dan larangan kawin dengan keluarganya. Yang demikian ini telah dikenal oleh masyarakat Jahiliyah dan dianggapnya sebagai salah satu sebab dari sebab-sebab mewarisi.7
Ketika Islam datang menjelaskan jumlah ahli waris laki-laki dan perempuan dan hal-hal yang diakui sebagai sebab mewarisi, maka gugurlah hak mewarisi karena pengangkatan anak dan terbataslah sebab-sebab mewarisi itu hanya berdasarkan keturunan, kebapakan, keibuan, perjodohan, persaudaraan dan kekerabatah menurut tertib.mereka masing-masing. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Anfal ayat 75. Islam tidak hanya sekedar menyetop unsur pengangkatan anak ala Jahiliyah sebagai sebab mewarisi saja, tetapi bahkan menjelaskan batalnya pengangkatan anak, menghilangkan akibat hukumnya dan memberi petunjuk kepada Nabinya untuk berpegang kepada kenyataan yang sehat, sebagai tertera dalam surat al-Ahzab 4, 5 dan 40.
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa pengangkatan anak sebagai suatu tindakan sosial (amal kebaikan) adalah dianjurkan oleh Islam. Tetapi pengangkatan anak sebagai suatu tindakan hukum adalah tidak dibenarkan oleh hukum Islam.
C. Anak Angkat Dalam Al-Qur’an
Berdasarkan Al-Qur'an Surat Al-Ahzab ayat 4, 5, 37, dan 40 jelas bahwa agama Islam melarang mengangkat anak orang lain menjadi anak kandung dalam segala hal. Setelah terjadi peristiwa Rasulullah mengangkat
7Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Pustaka Amani, Mujahidin, Semarang,
anak, maka tidak ada lagi tempat untuk memungut anak di dalam syari'at Islam.
Ahmad Al-Barri menjelaskan bukan hanya Islam yang membatalkan anak pungut, tetapi juga agama-agama lain. Memungut anak sudah dikenal juga di kalangan bangsa Yunani dan Romawi pada zaman purba.
Islam dengan tegas mengharamkan perbuatan itu karena:
1. Memungut anak adalah suatu kebohongan di hadapan Allah dan di hadapan masyarakat manusia, dan hanya merupakan kata-kata yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak mungkin akan menimbulkan kasih sayang yang sesungguhnya sebagaimana yang timbul di kalangan ayah, ibu dan keluarga yang sebenarnya. Allah berfirman:
ﹶﻞﻴِﺒﺴﻟﺍ ﻱِﺪﻬﻳ ﻮﻫﻭ ﻖﺤﹾﻟﺍ ﹸﻝﻮﹸﻘﻳ ﻪﱠﻠﻟﺍﻭ ﻢﹸﻜِﻫﺍﻮﹾﻓﹶﺄِﺑ ﻢﹸﻜﹸﻟﻮﹶﻗ ﻢﹸﻜِﻟﹶﺫ
)
ﺏﺍﺰﺣﻷﺍ
:
4
(
Artinya; Yang demikian itu hanyalah perkataanmu yang kamu
ucapkan saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar (Q.S. Al-Ahzab: 4).8
Jadi, memungut anak hanyalah mengucapkan kata-kata yang tidak menunjukkan kebenaran dan hanya mencampuradukkan keturunan, yang kelak menyebabkan hilangnya kebenaran dan runtuhnya ikatan keluarga yang asli. Mungkin ini akan mengakibatkan kutukan Allah.
2. Memungut anak sering dijadikan sebagai suatu cara untuk menipu dan menyusahkan kaum keluarga. Misalnya, seorang laki-laki memungut anak yang akan menjadi pewaris dari harta kekayaannya. Dengan demikian berarti orang itu tidak memberikan bagian dari hartanya kepada saudara-saudaranya dan ahli waris yang lain, yang mempunyai hak dalam harta pusaka itu menurut ketentuan Allah. Hal inilah yang menyebabkan perbuatan itu dilarang.
3. Memungut anak dan menetapkan statusnya sama dengan anak kandung kadang-kadang menjadi beban dan tugas yang berat bagi keluarga ayah angkatnya. Bila ayah angkatnya meninggal, maka keluarganya bertugas memberi nafkah kepadanya. Hal ini menyebabkan pelimpahan tugas-tugas kepada keluarga yang sama sekali tidak ada hubungan darah dengan si anak angkat. Kemudian, pada gilirannya mengakibatkan haramnya apa yang halal atau sebaliknya, karena anak angkat itu lantas menjadi muhrim dari wanita-wanita dari keluarga yang sebenarnya bukan muhrimnya. Dia lalu merasa boleh melihat bagian-bagian tubuh mereka yang sebenarnya tidak boleh dilihatnya. Dan di pihak lain menyebabkan ia tidak boleh menikah dengan wanita-wanita yang sebenarnya halal dinikahinya. Demikianlah seterusnya, banyak lagi kerancuan dan kerusakan hubungan keluarga karena anak pungut itu.
Syari'at Islam yang ditegakkan di atas kebenaran dan kejujuran untuk membina masyarakat dengan landasan hubungan yang murni dan wajar dalam mengatur susunan keluarga, tidak mungkin mengesahkan peraturan pengambilan anak pungut yang diperlakukan seperti anak kandung itu.9
Pada sisi lain, Islam mewajibkan siapa saja yang menemukan bayi terlantar untuk segera menyelamatkan jiwanya. Orang yang membiarkannya akan berdosa, yang menyelamatkannya akan mendapat pahala. Allah berfirman:
ﹰﺎﻌﻴِﻤﺟ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﺎﻴﺣﹶﺃ ﺎﻤﻧﹶﺄﹶﻜﹶﻓ ﺎﻫﺎﻴﺣﹶﺃ ﻦﻣﻭ
)
ﺓﺪﺋﺎﳌﺍ
:
32
(
Artinya: Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah memelihara kehidupan manusia semuanya. (Q.S. Al-Maidah: 32)
Islam memerintahkan untuk menyantuni anak-anak terlantar yatim piatu baik yang diketahui nasabnya maupun yang tidak melalui Yayasan Panti
9Kurnial Ilahi, dalam Chuzaimah T.Yango, Problematika Hukum Islam
Asuhan atau dititipkan kepada keluarga-keluarga Muslim yang dapat dipercaya untuk mengasuh dan mendidiknya.10
Pemungutan anak yang diperintahkan adalah yang memberikan penekanan dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan segala kebutuhannya, bukan memperlakukannya sebagai anak kandungnya sendiri. Pemungutan anak seperti ini merupakan amal baik yang bisa dilakukan oleh orang yang tidak dianugerahi anak oleh Allah SWT. Mereka melakukannya dalam suatu jenis pendekatan diri kepada Allah dengan mendidik anak yang terbengkalai dari kecintaan keluarganya atau ketidakmampuan orang tuanya.
Hal ini sesuai dengan misi keadilan sosial dalam Islam, di mana syari'at Islam memberikan hak kepada orang-orang kaya untuk mewasiatkan sebagian dari harta peninggalannya kepada anak pungutnya untuk menutupi kebutuhan hidupnya di masa depan.
Syari'at Islam menuntut masyarakat untuk memelihara anak-anak terlantar itu demi melaksanakan tugas kemanusiaan, persaudaraan seagama.
Allah berfirman:
ﺧِﺈﹶﻓ ﻢﻫﺀﺎﺑﺁ ﺍﻮﻤﹶﻠﻌﺗ ﻢﱠﻟ ﻥِﺈﹶﻓ
ﹸﻜﻧﺍﻮ
ﻢﹸﻜﻴِﻟﺍﻮﻣﻭ ِﻦﻳﺪﻟﺍ ﻲِﻓ ﻢ
)
ﺏﺍﺰﺣﻷﺍ
:
5
(
Artinya: dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. (Q.S. Al-Ahzab: 5).11
Jadi masyarakat bertugas memelihara mereka sebagai konsekuensi dari persaudaraan. Umat Islam dapat mengambil dan memelihara anak-anak terlantar itu, mendidiknya, dan menanggung nafkahnya sehingga anak itu dewasa dan tidak membutuhkan pemeliharaan lagi, tanpa menetapkan hak-hak
10
Ibid, hlm. 123.
dan hukum-hukum anak kandung kepadanya. Pemeliharaan yang ditetapkan Islam itu sudah cukup untuk menjamin kesejahteraan mereka.12
Berangkat dari realitas dan kondisi obyektif proses perkembangan zaman, dalam masyarakat Islam berkembang pengertian bahwa hukum Islam mengatur peri kehidupan manusia secara menyeluruh, mencakup segala macam aspeknya. Hubungan manusia dengan Allah diatur dalam bidang ibadah, dan hubungan manusia dengan sesamanya diatur dalam bidang muamalah dalam arti luas, baik yang bersifat perorangan maupun yang bersifat umum, seperti perjanjian-perjanjian, perkawinan, perkawinan, pewarisan, ketatanegaraan, kepidanaan, peradilan dan sebagainya.13
Hukum Islam tidak mengenal pemungutan anak, yang ada hanyalah kebolehan untuk memelihara anak yang terlantar, dan bukan menjadikannya sebagai anak kandung.14 Tim Pengkajian Bidang Hukum Islam pada Pembinaan Hukum Nasional dalam Seminar Evaluasi Pengkajian Hukum 1980/1981 di Jakarta mengusulkan pokok-pokok pikiran sebagai bahan untuk menyusun RUU tentang Anak Angkat di Indonesia di pandang dari sudut hukum Islam sebagai berikut:
1. Lembaga pemungutan/pengangkatan anak tidak dilarang dalam Islam, bahkan agama Islam membenarkan/menganjurkan dilakukannya pengangkatan atau pemungutan anak untuk kesejahteraan anak dan kebahagiaan orang tua;
2. Ketentuan mengenai pengangkatan/pemungutan anak perlu. diatur dengan Undang-Undang yang memadai;
3. Istilah yang dipergunakan hendaknya disatukan dalam perkataan "pengangkatan anak" dengan berusaha meniadakan istilah-istilah lain;
12Kurnial Ilahi, dalam Chuzaimah T.Yango, op. cit, 1999, hlm. 124.
13Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), UII
Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 6- 7.
14Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm.
4. Pengangkatan anak tidak menyebabkan putusannya hubungan darah antara anak angkat dengan orang tuanya dan keluarga orang tua anak yang bersangkutan;
5. Hubungan kehartabendaan antara anak yang diangkat dengan orang tua yang mengangkat dianjurkan untuk dalam hubungan hibah dan wasiat; 6. Dalam melanjutkan kenyataan yang terdapat dalam masyarakat hukum
adat kita mengenai pengangkatan anak hendaknya diusahakan agar tidak berlawanan dengan hukum agama;
7. Hendaknya diberikan pembatasan yang lebih ketat dalam pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang asing;
8. Pengangkatan anak oleh orang yang berlainan agama tidak dibenarkan. Sedangkan pendapat Majelis Ulama yang dituangkan dalam Surat Nomor U-335/MUI/VI/1982 tanggal 18 Sya'ban 1402 H/l0Juni 1982 yang ditanda tangani oleh Ketua Umum MUI K. H. M. Syukri Gazali sebagai berikut:
1. Pemungutan atau pengangkatan anak dengan tujuan pemeliharaan, pemberian bantuan dan lain-lain yang sifatnya untuk kepentingan anak angkat dimaksud adalah boleh saja;
2. Anak-anak yang beragama Islam hendaknya dijadikan anak angkat oleh ayah/ibu angkat yang beragama Islam pula, agar keislamannya itu ada jaminan tetap terpelihara;
3. Pengangkatan anak angkat tidak akan mengakibatkan hak kekeluargaan yang biasa dicapai dengan nasab keturunan. Oleh karena itu pengangkatan anak tidak mengakibatkan hak waris/wali-mewalii, dan lain-lain. Oleh karena itu ayah/ibu angkat jika akan memberikan apa-apa kepada anak angkatnya hendaklah dilakukan pada masa masih sama-sama hidup, sebagai hibah biasa;
4. Adapun pengangkatan anak yang dilarang ialah:
- Pengangkatan anak oleh orang yang berbeda agama, misalnya Nasrani dengan maksud anak angkatnya dijadikan pemeluk agama Nasrani, atau sedapat-dapatnya dijadikan pemimpin agama itu.
- Pengangkatan anak Indonesia oleh orang-orang Eropa dan Amerika atau lain-lainnya, biasanya berlatar belakang seperti tersebut di atas. Oleh karena itu hal ini sedapat-dapatnya dicegah.
Inti pengangkatan anak menurut hukum Islam adalah mubah. Namun, sesuai dengan sifat mubah dalam Islam yang dapat tergantung pada situasi dan kondisi serta maksudnya, maka kedudukannya bisa menjadi sunat atau sebaliknya, haram.
Berdasarkan Al-Qur'an Surat Al-Ahzab ayat 4, 5, 37, dan 40 jelas bahwa agama Islam melarang mengangkat anak orang lain menjadi anak kandung dalam segala hal. Itulah sebabnya beberapa tafsir menunjuk persoalan anak angkat sebagai tema yang patut mendapat penjelasan.
Dalam Tafsîr al-Marâgî, dijelaskan bahwa sesudah Allah memerintahkan nabi-Nya agar bertakwa kepada-Nya, takut kepada-Nya dan memperingatkannya agar jangan menuruti kemauan orang-orang kafir dan orang-orang munafik, serta hendaknya ia bersikap hati-hati terhadap mereka. Lalu Dia membuat perumpamaan buat kita untuk menjelaskan, bahwa sesungguhnya tidak dapat dikumpulkan antara takut kepada Allah dan takut kepada selain-Nya. Untuk itu Allah menuturkan bahwa tiada bagi manusia dua hati sehingga ia dapat mentaati salah satu di antaranya, kemudian mengingkari lainnya. Dan apabila tidak ada bagi seseorang itu melainkan hanya satu hati, maka manakala hati itu mengarah kepada sesuatu di antara dua perkara, niscaya ia berpaling dari yang lainnya. Maka taat kepada Allah berarti menutup jalan untuk taat kepada selain-Nya. Dan bahwa tidak dapat berkumpul di dalam diri seseorang wanita berstatus istri dan ibu, dan demikian pula anak kandung dan anak angkat dalam diri seseorang.15
Asy-Syaikhani, Imam Tirmizi dan Imam Nasa'i serta segolongan muhaddisin lainnya telah meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu Umar. Ibnu Umar ra. telah menceritakan bahwa Zaid, maula (bekas budak) Rasulullah Saw bila kami memanggilnya, maka kami hanya menyebutnya dengan
15Ahmad Mustafâ Al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî, Juz. 21, Mustafa Al-Babi Al-Halabi,
panggilan Zaid ibnu Muhamad (Zaid anak Muhammad), sehingga turunlah firman-Nya:
ﻢِﻬِﺋﺎﺑﺂِﻟ ﻢﻫﻮﻋﺩﺍ
)
ﺏﺍﺰﺣﻷﺍ
:
5
(
Artinya: Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan nama bapak-bapak mereka..." (Al-Ahzab, 33 : 5).
Maka ketika itu juga Nabi saw. bersabda:
ﻞﻴﺒﺣﺮﺷ ﻦﺑﺔﺛﺭﺎﺣ ﻦﺑﺍﺪﻳﺯ ﺖﻧﺍ
"Engkau, (sejak sekarang namamu) adalah Zaid ibnu Harisah ibnu Syurahbil."
Kisah Zaid ini pada mulanya menjadi tawanan sedang ia masih kecil, ia berasal dari kabilah Karo. Kemudian ia dibeli oleh Hakim ibnu Hizam untuk diberikan kepada bibinya, yaitu Siti Khadijah. Maka ketika Nabi mengawini Siti Khadijah, lalu Siti Khadijah menghadiahkan Zaid kepada beliau. Setelah itu ayah pamannya datang memintanya dari Rasulullah. Maka Rasulullah Saw menyuruh Zaid untuk memilih, apakah tinggal bersama Rasulullah ataukah ikut dengan ayahnya? Tetapi Zaid memilih untuk tinggal bersama dengan Rasulullah. Kemudian Rasulullah saw memerdekakan dan mengangkatnya menjadi anak angkat dan setelah itu, orang-orang selalu menyebut (memanggil) Zaid menjadi Zaid ibnu Muhammad.16
Ketika Rasulullah Saw kawin dengan Siti Zaenab bekas istri Zaid yang ditalaknya, lalu orang-orang munafik mengatakan, bahwa Muhammad telah mengawini bekas istri anaknya, padahal ia sendiri melarang hal tersebut. Maka turunlah ayat untuk menolak, bahwa anak angkat tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan anak kandung dalam hal hak-haknya.
16
ِﻪِﻓﻮﺟ ﻲِﻓ ِﻦﻴﺒﹾﻠﹶﻗ ﻦﻣ ٍﻞﺟﺮِﻟ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻞﻌﺟ ﺎﻣ
)
ﺏﺍﺰﺣﻷﺍ
:
4
(
Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya (Q.S. al-Ahzab: 4).
Orang-orang Mekah sering mengatakan, sesungguhnya Ma'mar Al-Fahriy mempunyai dua kalbu karena ia memiliki daya hafal yang luar biasa. Menurut satu riwayat disebutkan bahwa Ma'mar pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku mempunyai dua kalbu, aku dapat memahami dengan salah satunya, pemahaman yang lebih banyak dan apa yang dipaham oleh Muhammad." Orang-orang Arab dahulu mempunyai anggapan, bahwa setiap orang yang memiliki kecerdasan dan daya hafal yang kuat mempunyai dua kalbu. Maka Allah mendustakan hal tersebut melalui ayat ini, baik perkataan Ma'mar ataupun anggapan yang berlaku di kalangan mereka.
ﻢﹸﻜِﺗﺎﻬﻣﹸﺃ ﻦﻬﻨِﻣ ﹶﻥﻭﺮِﻫﺎﹶﻈﺗ ﻲِﺋﺎﱠﻠﻟﺍ ﻢﹸﻜﺟﺍﻭﺯﹶﺃ ﹶﻞﻌﺟ ﺎﻣﻭ
)
ﺏﺍﺰﺣﻷﺍ
:
4
(
Artinya: dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu. (Q.S. al-Ahzab: 4).17
Di zaman jahiliyah, apabila seorang lelaki mengatakan perkataan ini kepada istrinya, maka jadilah si istri haram baginya untuk selama-lamanya. Kemudian datanglah agama Islam dan mencegah larangan untuk selama-lamanya ini. Agama Islam menjadikan pengharaman ini untuk sementara, sehingga pihak laki-laki membayar kifarat (denda) terlebih dahulu, karena ia telah melanggar kehormatan agama, yaitu mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah.
ﻢﹸﻛﺀﺎﻨﺑﹶﺃ ﻢﹸﻛﺀﺎﻴِﻋﺩﹶﺃ ﹶﻞﻌﺟ ﺎﻣﻭ
)
ﺏﺍﺰﺣﻷﺍ
:
4
(
Artinya: dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (Q.S. al-Ahzab: 4).
Allah tidak sekali-kali menjadikan seorang di antara kalian yang mengangkat anak orang lain, bahwa ia sebagai anak yang sebenarnya hanya berdasarkan pengakuannya saja. Di dalam ungkapan ini terkandung pengertian yang membatalkan tradisi yang berlaku di masa jahiliyah dan permulaan Islam. Tradisi itu mengatakan bahwa apabila seseorang mengangkat anak orang lain sebagai anak angkatnya, maka anak tersebut dihukumi sebagai anak kandung sendiri. Rasulullah Saw telah mengangkat Zaid ibnu Harisah sebelum beliau diangkat menjadi Rasul sebagai anak angkatnya, dan Umar bin Khattab mengambil 'Amir ibnu Rabi'ah sebagai anak angkatnya, dan Abu Huzaifah mengambil Salim sebagai anak angkatnya.
Selanjutnya Allah SWT mengukuhkan hal tersebut melalui firman-Nya:
ﻢﹸﻜِﻫﺍﻮﹾﻓﹶﺄِﺑ ﻢﹸﻜﹸﻟﻮﹶﻗ ﻢﹸﻜِﻟﹶﺫ
)
ﺏﺍﺰﺣﻷﺍ
:
4
(
Artinya: Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja (Q.S. al-Ahzab: 4).
Hal yang telah disebutkan tadi, yaitu perkataan seorang suami kepada istrinya, "Engkau bagiku seperti punggung ibuku," dan pengakuan seseorang terhadap anak yang bukan anaknya sendiri, lalu dia mengakuinya sebagai anak kandung sendiri. Sesungguhnya hal tersebut hanyalah perkataan yang diucapkan oleh lisan kalian dan tidak ada kenyataannya. Maka istri selamanya tidak akan menjadi ibu, dan pengakuan anak angkat tidak akan menjadikannya sebagai anak senasab.18
ﹶﻞﻴِﺒﺴﻟﺍ ﻱِﺪﻬﻳ ﻮﻫﻭ ﻖﺤﹾﻟﺍ ﹸﻝﻮﹸﻘﻳ ﻪﱠﻠﻟﺍﻭ
)
ﺏﺍﺰﺣﻷﺍ
:
4
(
Artinya: Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan. (Q.S. al-Ahzab: 4).
Ibn 'Asyur menyebutkan dua hakikat penting yang ditegaskan ayat 4 surat al-Ahzab:
Pertama: berkaitan dengan hakikat kepercayaan guna menegakkan suatu agama yang memiliki akidah yang shahih dan membuang jauh kepercayaan yang bertentangan dengan kenyataan. Ini karena meluruskan pemikiran merupakan kunci baiknya amal perbuatan. Untuk itu ayat di atas menegaskan bahwa Allah menetapkan satu sistem yang sama buat semua orang. "Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya.
Kedua: Berkaitan dengan substansi dan hakikat amal-amal perbuatan guna tegaknya syariat. Ini karena substansi dan hakikat-hakikat sesuatu adalah yang melekat pada dirinya, bukan atas dasar dugaan atau pengakuan seseorang. Inilah yang diisyaratkan oleh "Dia tidak menjadikan istri-istri kamu yang kamu zihar itu sebagai ibu-ibu kamu".19
Tujuan ayat ini adalah mengingatkan tentang kepalsuan sekian banyak hal yang diakui atau dipercaya oleh masyarakat jahiliah. Antara lain seperti pengakuan seseorang yang dikenal kuat hafalannya dan sangat licik yaitu Jamil Ibn Mu'ammar al-Jumahy yang mengaku memiliki dua hati yakni akal yang saling bekerja sama lalu mengaku dapat menghidangkan apa yang lebih baik dari apa yang disampaikan oleh Rasul saw. Ini serupa juga dengan pengakuan Abdullah Ibn Khathal at-Timy.
Kata (
ﻞُﺟَر
) rajul pada firman-Nya: (ِﻦْﻴَﺒْﻠَﻗ ﻦﱢﻣ ٍﻞُﺟ
َﺮِﻟ ُﻪﱠﻠﻟا َﻞَﻌَﺟ ﺎﱠﻣ
) ma ja'ala Allah li rajulin min qalbaini berbentuk nakirah/indefinit yang ditampilkan dalam bentuk negasi. Ini berarti tidak seorang pun yang memiliki dua hati. Penggalan ayat ini sebagai mukaddimah untuk menyatakan bahwa anak angkat seseorang tidak bisa menjadi persis sama dengan anak kandungnya, sehingga memiliki hak yang sama, tidak juga istri yang dipersamakan dengan ibu kandung menjadi sama dengan ibu dalam keharaman "menggaulinya". Kedua hal ini berlaku pada masa Jahiliah dan awal masa Islam tetapi dibatalkan melalui surah ini.
19M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an,